Anda di halaman 1dari 11

SEBUAH LAGU UNTUK MAMA

Oleh: Aldisar Syafar

Copyright © 2010 by Aldisar Syafar

Penerbit

BaniBooks
www.PenerbitBaniBooks.co.cc

banibooks@gmail.com

Desain Sampul:

Zeza Fernando

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

2
PERSEMBAHAN
ku tulis untuk
belahan jiwaku Hj Farida
serta jantung hatiku sibiran tulang
Kresna Raspati Gemilang
dan istrinya Retno Hesty Palupi, S.E
dr. Pramesti Perwira Kemilau
(namamu papa abadikan dalam buku ini nak)
dr. Dewangga Gegap Gempita
(atas ide dan kegigihan kamu buku ini papa tulis,
terimakasih nak)
cucuku Tiara Aura Swargaloka

juga untuk
orang orang yang mencintai damai
di bumi yang diciptakan Allah juga untuk damai
memang yang paling indah adalah damai

serta untuk mengenang kakakku Emi Masaichi Oda


dan anaknya
yang sedang mengepak barang barangnya untuk
persiapan berangkat haji
tapi dia tak pernah sampai di Mekkah karena hilang
dalam tsunami di Banda Aceh

3
DAFTAR ISI
Daftar Isi – 5
Bab I – 7
Bab II – 29
Bab III – 91
Bab IV – 123
Bab V – 155
Bab VI – 185
Bab VII – 207
Bab VIII – 231
Bab IX – 251
Daftar Istilah – 263
Biografi Penulis – 265

5
I
Karena hidup memang susah dan ada hasrat
untuk merubah nasib, maka Sarjan ingin berangkat
ke Jakarta. Sebetulnya ia tidak mau berpisah dengan
istrinya Salamah dan anaknya Dela yang hanya
semata wayang itu. Pekerjaan Sarjan selama ini
sebagai pemetik kelapa. Padahal ia punya ijazah D3
Akutansi dari sebuah perguruan tinggi yang
menjamur di Jakarta. Di desanya ijasah seperti itu
memang tidak pernah diraih oleh orang sedesanya.
Kheucik atau kepala desa hanya tamatan SMA. Tapi
siapa yang mau mempekerjakan Sarajan di desanya.
Karena desa itu tidak punya perusahaan ataupun
kantor. Satu-satunya kantor adalah sebuah koperasi
simpan pinjam di dekat kantor kepala desa. Sekolah,
cuma ada sebuah SD, itupun berjarak sekitar lima
batu, dari rumahnya. Di sanalah Dela sekolah. Sarjan
sebetulnya agak ragu untuk mewujudkan apa yang
memenuhi pikirannya, sering ia melamun seorang
diri, tapi Salamah selalu memberinya semangat.

“Pergilah. Allah akan selalu melidungi orang


yang berjuang mencari nafkah untuk anak dan
istrinya“ kata kata Salamah meluncur lancar
sekali, selancar ombak yang berdebur
menghempas kepantai.

Rumah mereka terletak hanya sekitar seratus


meter dari bibir pantai. Beberapa pohon kelapa
berdiri kokoh seakan menantang ombak, menghadap

7
kelaut lepas. Tapi seberapa kuatkah pohon itu
meredam suara deburan laut yang setiap detik selalu
bergelora saling kejar menuju pantai? Itu sebabnya
suara ombak sedemikian keras terdengar sampai ke
kamar tidur mereka, rumah mereka terbuat dari
papan. Lebih parahnya lagi sambungan papan itu satu
sama lain tidak bisa rapat, itu sebabnya dibuat saling
berhimpitan untuk mengurangi kerasnya angin laut
menerobos ke dalam. Rumah-rumah di daerah itu
tidak berdekatan, layaknya rumah-rumah di pedesaan
lain di Pulau Sumatera dengan halaman yang sangat
luas. Pohon kelapa milik Sarjan cukup banyak
menghasilkan buah, tapi kemana hendak dijual?
Sekitar tempat tinggal mereka, setiap rumah memiliki
pohon kelapa yang tumbuh di pekarangan rumah.
Namun pohon kelapa itu pula yang membuat cantik
pemandangan di desa itu.

”Bapak, Dela sanggup jaga emak.” bisik Dela


ditelinga Sarjan ketika mereka berpelukan
untuk berpisah.
Sarjan tersenyum sambil mengusap kepala
anaknya yang masih duduk dikelas satu SD
itu.

”Bapak percaya,...” bisik Sarjan membalas.


”Kamu jangan sering bermain ke laut. Laut
itu tak bisa diduga” tambah Sarjan lagi

Dela hanya mengangguk, tapi ia tidak


mengerti apa yang dimaksud dan Sarjan pun tidak

8
menerangkan arti kalimatnya itu. Kemudian terasa
hening. Tidak ada yang bicara, meskipun dalam dada
mereka masing masing sejuta kata sudah bertumpuk
untuk diucapkan, tapi tetap saja mereka diam. Lidah
mereka kelu untuk berucap.

”Pergilah..... InsyaAllah saya dan Dela


ihklas.” Salamah memecah sunyi.

Di Jakarta Sarjan belum tentu dapat kerja. Ia


ke sana justru ingin mengadu nasib dengan bekal
ijasah D3 dan sedikit uang hasil penjualan kelapa
yang sudah ia sisihkan selama lebih satu tahun.
Sarjan melangkah dengan sangat optimis.

”Di Jakarta, banyak pekerjaan asal kita mau


dan tidak malu.” kata Muchtar pada Sarjan
sewaktu mereka bertemu di pasar setahun
yang lalu.

Muchtar berpakaian rapi dan cincin emas


dijarinya melingkar dua buah, pakai batu permata
merah dan yang satu lagi ungu. Sarjan tidak tahu
nama batu permata itu, yang pasti tentu mahal.
Muchtar satu satunya teman Sarjan yang cukup
berpendidikan. Dia tamat SMA di Jakarta, sekarang
pun dia tinggal di Jakarta. Kesini hanya untuk
berlibur sambil mengobati rindu akan masa kanak
kanak yang tidak akan pernah bisa kembali lagi.

9
“Apalagi kamu seorang Sarjana Muda. Umur
baru 32 tahun. Apa kamu akan terus memetik
kelapa sampai tua? Berapa lama kamu punya
tenaga?” celoteh Muchtar tanpa henti.

Sarjan tidak menjawab ia menelan semua ocehan


Muchtar.

”Kuatkan tekad untuk berpisah sama


keluarga, paling lama satu tahun. Setelah itu
kalian pasti akan berkumpul kembali dan
hidup di Jakarta dengan kemantapan kerja
yang kamu raih.” sambung Muchtar tanpa
menanti reaksi Sarjan.

Sejak pertemuan dengan Muchtar setahun


yang lalu itu, Sarjan mulai menabung sedikit demi
sedikit di koperasi.
Sarjan naik bus dari Banda Aceh menuju
Medan. Pemandangan yang cantik, alam yang permai
tak banyak dinikmati penumpang, mereka lebih
banyak tidur. Begitu juga dengan Sarjan. Kota
Langsa baru saja ditinggalkan, artinya tidak berapa
lama lagi Sarjan akan meninggalkan propinsi Aceh.
Bus akan memasuki propinsi Sumatera Utara. Yang
dituju Sarjan tentu saja Medan. Dari sana dia akan
naik kapal laut ke Jakarta. Naik kapal laut ada
enaknya, tidak terasa pegal, karena bisa jalan jalan
diatas kapal. Tapi pemandangan hanyalah laut
belaka. Sesekali memang terlihat pulau pulau dan itu
jadi hiburan bagi penumpang kapal. Terutama bila

10
kapal meliwati selat Berhala. Hampir semua
penumpang berada di selasar kapal. Bahkan
penumpang kelas 1 pun ikut keluar dari kamarnya
untuk menikmati keelokan alam. Pulau Berhala itu
bagus, tapi terasa seram, mungkin karena sugesti
nama pulau tersebut. Sekarang Sarjan naik bus, sebab
kapal laut jadwal kedatangannya baru lusa sampai di
Belawan. Kalau ditunggu juga oleh Sarjan, dimana
dia harus tidur selama dua malam itu? Di
penginapan? Tentu akan mengeluarkan biaya, paling
tidak akan habis 150 ribu.

”Hanya untuk tidur harus keluar uang


sebanyak itu? Alahmak! Buat apa?” pikir
Sarjan.
”Belum lagi untuk makan” gumam Sarjan.

Itu sebabnya ia putuskan naik bus saja ke Jakarta.

Ombilin, sebuah desa cantik di tepian Danau


Singkarak bus yang ditumpangi Sarjan berhenti.
Banyak sekali orang menjajakan makanan dengan
menjunjung baskom di atas kepala mereka. Ada kue
kue basah dan ada juga ikan bilih yang sudah
digoreng dan dibungkus pelastik. Bilih ini adalah
ikan khas Danau Singkarak yang ditempat lain tidak
ada. Sarjan melahap ikan itu bersama dengan nasi,
seperti supir bus ALS yang makan sambil
mengangkat kaki deatas kursi. Semua penumpang
makan di warung Mak Etek. Warung itu selalu
dipenuhi para palanggan. Tempatnya sangat serasi,

11
sebagian lantai warung itu menjorok kedanau
Singkarak. Harga makanannya sangat murah
dibanding warung atau restoran yang banyak berjejer
di tepi danau. Kecantikan danau dengan riak air yang
berkilauan diterpa sinar mentari sore, sangat
memanjakan mata siapa saja yang memandangnya.
Tapi buat Sarjan hal itu tidaklah begitu dinikmatinya.
Pikirannya bahkan sudah sampai di Jakarta,
meskipun perjalanan masih sangat jauh.

”Tiga puluh jam lagi” kata pak supir yang


bermarga Simbolon itu pada Sarjan.

Sarjan baru sekali ini naik bus dari Aceh ke Jakarta.


Dulu sewaktu kuliah dari Banda Aceh ia naik bus ke
Medan. Dari Medan naik kapal laut ke Jakarta.

Memang benar tiga puluh jam kemudian bus ALS itu


sudah memasuki Terminal Kalideres. Hampir semua
penumpang turun. Ada juga yang melanjutkan ke
Terminal Rawamangun, seperti Sarjan.

”Mau kemana pak? Rawamangun?” tanya pak


Simbolon pada Sarjan.
”E .. e .. iya Rawamangun” jawab Sarjan
tergagap, sebab ia tidak tahu pasti di mana dia
harus menghinap malam ini. Kalau besok
tidak masalah, dia sudah bisa mencari
kontrakan satu petak untuk tinggal sebulan
sementara ia mencari kerja.

12
BIOGRAFI PENULIS
Aldisar Syafar, lahir di Bukittinggi, 12 Agustus 1949.
Anak kedua dari delapan bersaudara, abangnya
Asmadi Syafar almarhum adalah pengarang Misteri
Gunung Merapi yang lebih terkenal dengan tokoh
Mak Lampir nya. Pendidikan SR nya diselesaikan
dalam waktu 5 tahun di Medan, Padang Panjang dan
Padang. SMP di Padang dan Jakarta. SMA dia
selesaikan di SMA XI Bulungan. Pernah mengecap
bangku kuliah di Universitas Krisnadwipayana
namun tidak selesai karena masalah biaya.
Aldisar Syafar salah satu pendiri dan juga
sutradara grup Teater Remaja Jakarta sebuah grup
teater pemenang Festival Teater Remaja se DKI
Jakarta yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta
dan merebut 14 medali emas, perak dan perunggu
dalam tiga tahun berturut turut. Sampai kini belum
ada grup yang mampu memperoleh medali sebanyak
itu. Belakangan dia diangkat menjadi juri pada
festival teater serupa.
Tahun 1970 pertama kali terjun kedunia film
sebagai penulis skenario dan sekaligus script pencatat
adegan, Film Gara-Gara yang dibintangi oleh grup
pelawak Reog BKAK (Badan Kesenian Angkatan
Kepolisian). Kemudian menjadi Unit Maneger dalam
film Ranjang Pengatin arahan Teguh Karya. Sempat
menjadi marketing minyak pelumas sebelum pindah
ke perusahaan susu bayi PT Sari Husada. Panggilan
jiwa dalam berkesenian membuatnya mengundurkan

265
diri dari perusahaan tersebut setelah 17 tahun
lamanya mengabdi, atasannya saat itu dengan berat
hati mengabulkan permintaannya. Sinetron yang
pertama disutradarainya, Seharun Nafasmu ya
Ramadhan, kemudian lebih dari 400 episode yang
telah dibuatnya baik sebagai sutradara maupun
penulis skenario diantaranya Abumawas, Lorong
Waktu, Oh mama Oh papa, Bapak Anak dan Kekasih,
Cinta Bumi lelaki Sinjai, Kantin Kencan, Rahasia
Ilahi, Allah Maha Besar, Club Cheetah, Ojekri,
Emen Anak Pesantren, Jomblo, Aminah, Jalan
Keadilan, Orang Orang Pilihan, Inang, dan banyak
lagi, Film film dokumenter juga pernah dibuatnya.
Buku ini adalah karya pertamanya sebagai penulis
novel. Dia sudah menyiapkan Trilogi untuk cerita ini.

266

Anda mungkin juga menyukai