Anda di halaman 1dari 390

balada dosmud

Lembar Kisah
Lembar Kisah 1

PROLOG 3
Sekilas Dari Arjuna 3
Sekilas Dari Andanang 9

BALADA SATU: AFTER STORY 14


Intro: sendiri 15
Bahagiaku, Ya Kamu. 20
Soal Bercanda 40
Welcome To Arjuna’s Playground 69
Tanya Tanpa Jawab 85
Permata Kecil 125
Playdate 150
outro: rumah 166
Belajar Seumur Hidup 175
Permataku Jadi Wanita 196
Mencintai Cinta 223
Soal Menua dan Bersama 241

BALADA DUA: UNRELEASED SCENE 252


Mengenal Lazuardi 254
Cemburu Menguras Dompet 268

1
balada dosmud

BALADA TIGA: WHAT IF THE SERIES 280


Patah Separuh Sayap 284
Balada Bayi I 320
Balada Bayi II 334
Pilihan Bukan Pilihan 351
Imperfect 370

Author Notes 389

2
balada dosmud

PROLOG

Sekilas Dari Arjuna


Kalau ditanya kenapa Arjuna mau jadi Dosen? Maka jawabannya
gak jauh-jauh dari menyempurnakan ekspektasi keluarga soal
dirinya; gagah, tampan, pintar dan berkelas. Sempurna bukan?
Ekspektasi yang yang disematkan pada Arjuna itu, luar biasa
tinggi; Bapak yang berharap pundaknya bisa jadi pengganti saat tua
menghampiri. Ibu yang titip putri-putri cantiknya buat dijaga tanpa
tapi. Adik-adik yang meski begitu mengerti, namun tetap saja
butuh Arjuna buat tempat kembali.
‘Dengan ini, kami nyatakan Lulus dengan Nilai sangat memuaskan.’
Dan kali ini, salah satu dari sekian banyak ekspektasi itu jadi
nyata—ditandai dengan wajah bahagia di bangku penonton sana
itu. Tersenyum bangga buat sahnya gelar doktor Arjuna.
‘Luar biasa mas!’ — Ada adik yang senang.
‘Hebat, anak e ibuuk.’ — Ada ibu yang bangga.
Juga seorang bapak yang lebih pilih diam dan bertepuk tangan
pelan.
‘Ayo semuanya, angkat bannernya!’ — Terakhir, ada suami yang
ributnya luar biasa dengan kejutan yang ada-ada saja dan berhasil
buat satu ruangan tersenyum geli.
Kok ya bisa punya ide bikin banner full muka Arjuna begitu itu?

3
balada dosmud

Arjuna cuma senyum, sambil tengok profesor kanan kiri buat


beri pernyataan — iya, itu suami saya.
Sekarang, ganti lagi pertanyaannya—kalau semua bertumpu, lalu
kemana Arjuna bisa sejenak pergi menjadi diri sendiri?
“Mas! Ini fotonya pake banner ini ayo cepeeet!”
Tentu aja ke sini— ke lelaki yang sibuk bawa buket bunga cantik
buat lengkapi sempurnanya hari ini.
“Bentar!” Suami kecilnya ini tahan fotografer, hadap Arjuna
sebentar buat sisir poni yang agak kuyu akibat tetes keringat dingin
sejam lalu, “udah! cakep nih, ayo foto!”
Sempurna.
Hari ini berjalan sempurna. Gelar yang mati-matian diraih ini,
syukurlah terkejar meski beriringan dengan usahanya kejar bahagia
buat diri sendiri.
Masih terasa jelas capek kepala dan badan sewaktu harus
seimbangkan ujian doktoral ditengah kisah cinta yang sempat
rumit.
Arjuna mesti kesampingkan hal-hal kecil buat fokus kejar dua
hal besar dalam hidup; Pendidikan dan Pernikahan. Dua hal besar
yang begitu semuanya tercapai, maka terbitlah gelar — sempurna.
Soal sempurna.
Definisi Sempurna bagi orang sekitar, mungkin adalah Arjuna
dan segala hal baik yang ada pada dirinya— namun bagi Arjuna,

4
balada dosmud

sempurna adalah saat bersamai satu lelaki yang dengan segala


tingkah konyolnya ini tetap berhasil buatnya jatuh cinta.
“Mas! Tunggu dulu bentar di sini.”
Arjuna gak tau, ini suaminya punya kejutan apalagi selain
banner panjang full muka Arjuna terpampang di ruang sidang
barusan.
“Oke ibu, bapak, arini, anjani, mamah, bang eja, dika baris udah
semuanya — ya! SATU DUA TIGA!”
Semua yang berbaris membelakangi Arjuna ini berbalik,
masing-masing bawa kotak kado dengan berbagai macam ukuran
dan kertas yang kalau digabungkan tiap katanya adalah;

“Congraduation and Happy birthday Masku—Masmu— Mas kita semua!”

Demi Tuhan, rasanya ini mau ikut melebur ditelan bumi— tapi ya
anehnya juga, kok tetap aja ada setitik haru di hati.
Arjuna gak peduli riuhnya sorak sorai saudara dan teman
sampai kue ulang tahun yang Ibu bawa. Bahkan waktu tiup lilin
sekalipun fokusnya cuma satu— ke lelakinya yang sumringah luar
biasa.
Oh, jadi ini yang bikin dia hilang seharian kemarin?
“Hehe! Aku dibantuin Arini sama Anjani! Tapi mesen-mesen
kadonya sama Dika wkwkw!”

5
balada dosmud

Arjuna cuma bisa geleng-geleng kepala, tarik cintanya ke


pelukan buat dibisiki satu kalimat sederhana yang mewakili seluruh
rasa harunya.
Kalimat itu, terimakasih.
Terimakasih karena nyatanya memang cuma kamu yang paling
mengerti, kalau Arjuna juga suka diberi apresiasi begini.
Terimakasih karena kamu yang paling berani, dengan pilih
konsep yang meski orang yakin akan buat Arjuna malu, tapi tetap
bisa kok buat direalisasi.
Dan dari segala ucapan terimakasih yang layak kamu dapatkan,
Terimakasih … buat hadirnya kamu yang buat harinya Arjuna gak
lagi sepi.
Dulu, S1 dan S2 Arjuna gak ada perayaan berarti, tapi di S3 ini
akhirnya ada satu kenangan yang gak akan pernah luntur dan
selamanya tersimpan rapi.
Sempurna. Ketika pencapaian, cinta dan harapan itu
terselesaikan dan rampung sesuai harapan.
“Mas.”
“Hm?”
“Mas.”
“Ya.”
“Mas.”
“Dalem, sayang.”

6
balada dosmud

Kamu itu tau gak, Na? Arjuna gak pernah bosan dipanggil begitu
itu sama kamu. Tiap ‘Mas’ yang kamu ucap, Arjuna justru seperti
sedang diyakinkan kalau kamu masih akan selalu butuh Arjuna.
“Mas keren banget! Aku tadi klepek-klepek liat mas presentasi!”
“Heleh, mosok?”
“Beneran! Seksi banget!”
“Loh ya dari dulu.”
Tertawa berdua begini, menyenangkan ya? Rengkuhan erat
kamu dan halusnya rambutmu yang gelitik ujung hidung ini akan
selalu jadi momen-momen dinanti setiap hari.
Katanya, yang jatuh tersungkur buat cinta adalah orang yang
siap dibodohi emosi metafora.
Tai kucing rasa coklat. — gak logis, gak sampai masuk ke logika
seorang lelaki dengan pahatan luka cinta pertama masa remaja.
Cinta sewajarnya, supaya gak jatuh.
Begitu awalnya … sampai kemudian Andanang Lazuardi hadir
dan bawa batas logikanya jatuh ke dasar. Arjuna gak suka
meromantisasi sesuatu, tapi kalau soal peluk, mungkin jadi satu
pengecualian.
Peluk kamu begini ini, seperti satukan degup jantung yang
meski sudah seirama sekalipun tetap harus selalu diajak tukar
dengar. Supaya kalau salah satunya mulai gak bergemuruh riuh,
bisa kembali dipantik dan disamakan riuhnya sebagaimana
awal-awal cinta itu terbentuk.

7
balada dosmud

Na, Mas itu gak sempurna … tapi kamu selalu berhasil buat Mas
semangat sekali ingin jadi sempurna buat kamu. Setelah ini, hari
kita masih panjang … semoga gak bosan, gak berpikir buat
tinggalkan Mas sendirian ya. Semoga, ya?
***

8
balada dosmud

Sekilas Dari Andanang


Kalau ditanya bagian mana dari kehidupan yang paling Nanang
syukuri, maka mengenal Arjuna Putra Mahaprana adalah jawaban.
Mulai dari yang bukan siapa-siapa, sampai jadi satu yang paling
lelaki itu prioritaskan dalam hidup.
“Dek, lah? Mimisan ini kamu?! Sek, duduk dulu di sana.”
Masih jelas dalam ingatan, betapa dulu dirinya gak lebih berarti
dari selembar kertas kuesioner nyaris basah di bawah rintik hujan,
tapi kini— binar mata khawatir lelaki ini, cuma tertuju buat dirinya
seorang.
“Mas kan bilang, kalo capek itu ya ngomong,”
Arjuna ini meski bicaranya kadang suka kelihatan persis
marah-marah, anehnya di telinga Nanang tetap terasa luar biasa
seperti disayang.
“kayak gini kan ya sama aja. Jalan-jalan gak jadi, khawatirnya
iya.” Dilap noda merah ini lalu direbahkan kepalanya ini di paha.
Binar mata khawatir ini— sekesal apapun di dalam sana, tetap
kalah kalau harus beradu tatap dengan netra cantik yang balas tatap
Arjuna penuh kekaguman dan cinta.
Sorot mata yang pendarnya gak pernah berubah sejak awal takdir
pertemukan mereka .
Arjuna hela nafas pelan, “kamu jangan begini lagi. Ada apa-apa
bilang sama mas.” usapan tangan Arjuna di pipi Nanang berhenti,

9
balada dosmud

begitu jemari hangat Nanang genggam dan bawa ke pipi buat


diusap-usap halus.
Nanang gak pernah sangka jadi satu-satunya poros perhatian
Arjuna yang meski sederhana, tapi rasanya masih dan akan selalu
sama— debarnya, hangatnya, senangnya — semuanya. Masih
mampu buatnya berkali-kali jatuh buat sang Putra Mahaprana.
Soal Arjuna, ya?
Pernikahan berjalan mau setahunan— dan ya, Arjuna masih lah
Arjuna yang Nanang kenal. Minim kata cinta dan besar aksi.
Ya tentunya gak cuma begitu aja.
Namanya hidup dalam pernikahan, artinya bertumbuh bersama.
Mencoba melebur jadi satu kesatuan supaya tegak pernikahannya
dan gak ambruk di tengah jalan.
Arjuna, kini jauh lebih vokal, jauh lebih lucu dan paling penting
adalah jauh lebih jadi diri sendiri. Meski tegas lelaki ini gak luntur,
tapi ada lembar kepribadian darinya yang cuma sudi diperlihatkan
buat Nanang seorang.
Mas, kamu itu kok bisa ya, galak tapi tetep aku cinta?
Nanang gak pernah berencana buat cintai lelaki yang notabene
dosennya sendiri. Gak pernah juga berencana buat jatuh ke Arjuna
sampai ke titik andaikata Arjuna mati ya dia juga ikut mati.
Arjuna itu, seperti satu yang misterius namun begitu memikat.
Seperti satu yang mustahil disentuh tapi punya segudang alasan
buat dimiliki seutuhnya.

10
balada dosmud

Nanang gak tau, sampai kapan gelora cintanya membara begini


buat Arjuna, tapi Nanang berharap … jangan sampai padam. Tolong
terus jadi bara api yang meski gak lagi membara, tapi tetap hangat
buat dirasa.
“Angkat sebentar kepalamu, sek tak masukan gulungan tisu ini
ke hidungmu ya? Biar darahnya berhenti.”
Kalau gak sama Arjuna, Nanang gak tau apakah akan disayang
sebegininya sama seseorang.
Kali terakhir ada yang beri sebagian jiwa buat lengkapi Nanang
tanpa menuntut balasan, adalah kakaknya sendiri. Bang Sahrul yang
sudah lama gak ada di bumi.
“Kamu itu ya, tak bilangin kan dek kalau soal badan itu ya
jangan nyepelekan …”
Dan kini, ia temukan sosok itu di diri lelaki yang meski tegas
dan banyak diam, tapi berhasil lengkapi satu tempat yang sudah
lama kosong di hati.
Lelaki ini, Arjuna Putra Mahaprana.
Hari ini setahun peringatan pernikahan. Niatnya mau dirayakan
di kebun raya bogor sambil lihat danau buatan di tengah
sana—sampai satu tetes darah mengalir di hidung Nanang ini
buyarkan rencana dan buat Arjuna kalang kabut sendirian.
Acaranya berubah, jadi duduk berdua di bangku yang
membelakangi jalanan dengan Nanang yang tiduran berbantalkan
paha Arjuna.

11
balada dosmud

Dari arah matanya ini, Arjuna kelihatan sekali khawatirnya.


Mata tegas ini gak berbohong buat tutupi binar sendu di sana.
Nanang senyum, usap tangan Arjuna yang bertengger di
dadanya ini. Diusap sayang sambil tersenyum dan biaskan hal yang
sama di wajah aristokrat lelaki jawa kecintaannya.
Andanang ini tanpa suara seperti tenangkan Arjuna, kalau
mimisan kali ini gak ada sangkut pautnya sama apapun selain
memang ya apesnya kejadian sekarang.
Nanang paham, Arjuna pasti punya banyak praduga di benak.
Soal mungkin Arjuna yang kurang peka sama sikon badan Nanang
atau bahkan mencari-cari dimana kegiatan Nanang yang sekiranya
kuras tenaga sama mimisan. Padahal ini ya kebetulan aja kok.
“Mas ..”
“Hm? Kenapa? Ada yang sakit tah?”
Sekali lagi Nanang terkekeh, “Happy Anniversary!”
Nah, kan. Muka Arjuna kelihatan bingung, mau ikut senang atau
kesal karena Nanangnya ini gak bisa diam.
“Jutek banget sih ih!”
Hela nafas dalam Arjuna ini beriringan dengan merunduknya
kepala lelaki ini buat sematkan cium di kening Nanang. Agak lama,
sambil diusap sayang rambut halusnya dan genggam tangan mereka
berdua.
Ini tahun pertama.

12
balada dosmud

Arjuna mungkin meminta maaf karena cuma sesederhana


jalan-jalan ini yang bisa disiapkan buat perayaan. — karena malam
nanti, Arjuna sudah harus terbang ke Malaysia buat studi banding
universitas.
Ya Tuhan ..
Arjuna harusnya sudah paham dong ya? Kalau pemberian lelaki
ini, akan selalu Nanang apresiasi tanpa pandang soal apa dan
bagaimana bentuk hadiahnya.
Sedari pagi, semua yang Arjuna berikan itu bukanlah sekedar
‘cuma’. Ciuman manis di awal pagi. Suguhan spesial di atas meja
makan dengan buah karya masakan Arjuna hingga genggaman
tangan hangat yang gak lepas sampai detik ini. Semuanya cukup.
Nanang cuma butuh cintanya Arjuna.
Mas. Selamat ulang tahun pernikahan!
Semoga makin tahun, aku makin boleh lihat soal apa-apa dari
Mas yang belum berkenan diperlihatkan sekarang. Aku mau kenal
mas luar dalam, seluruhnya soal kamu, tolong bagi ke aku. Aku siap
tampung soalnya ruang hatiku cuma buat kamu seorang, yang lain
ngontrak!
***

13
balada dosmud

BALADA SATU:
AFTER STORY

Jika kisah pertama berhenti di ikrar janji suci. Maka kisah ini
berlanjut dengan buka lembar kisah baru soal biduk kehidupan
rumah tangga Arjuna dan Andanang.

Kisahnya beragam, mana yang paling berkesan dan beri pelajaran,


itulah yang diceritakan.

Kisahnya mungkin sederhana, tapi semoga bermakna buat


kamu-kamu yang baca, ya!

14
balada dosmud

Intro: sendiri
Bogor, Jawa Barat.
“Mas! Bentar!”
“Ayo cepet, Dek.”
Nanang ini padahal ya udah tau kalau jalan ke jakarta di jam
berangkat kerja begini ini macetnya kayak apa, tapi kok ya sempet
gitu telat. Bukan apa-apa, soalnya ya ini Arjuna sama Nanang
berangkat bukan buat jalan-jalan— tapi Arjuna ada jadwal kelas
umum di satu fakultas musik di satu institut seni di jakarta pusat.
Pengantin baru setahunan ini pilih pindah tinggal ke bogor
karena memang Arjuna gak lagi perlu mobilitas tinggi di Jakarta
sebagaimana S3 kemarin. Pilih tinggal di sau perumahan yang cuma
beda blok sama rumahnya Reza Dewangga sekeluarga—
hitung-hitung supaya Nanang ada teman kalau sendiri di rumah.
“Dek. Heh ini udah jam berapa kok ya kamu itu masih bisa
cengengesan.”
Jarak jakarta bogor kalau sesekali tuh gak masalah— yang jadi
masalah, kadang ini nih … bikin telat.
“Bentar ngapa ih kaga sabar amat.”
Hobi baru Nanang sejak menikah sekarang bertambah: ikut
Arjuna kemana-mana. Mumpung belum banyak beban hidup nih gua!
Beban hidup apa? Ya nanti juga tau, ikuti aja ceritanya.
Ikut Arjuna juga ya gak setiap hari. Paling sering nih, kalau ada
kelas kuliah umum begini. Acaranya biasa di auditorium fakultas.

15
balada dosmud

Semacam mini theater lah kalau boleh dibilang. Biasanya Nanang


pilih duduk di bangku paling belakang.
“Dek, jangan kemana-mana ya.” Arjuna taruh dua kotak snack
box, usap rambut Nanang pelan lalu pamit buat naik panggung.
Sejak resmi jadi Doktor, kerja Arjuna juga bertambah. Sekarang
sudah termasuk eligible buat isi beberapa kelas kuliah S2 dan
kuliah tamu S1 di beberapa universitas.
Arjuna ini memang berasal dari jurusan seni, tapi bukan seni
yang praktisi macam rekan satunya alias Reza Dewangga. Arjuna
lebih ke Keilmuan dan Teoritis— jadi ya memang cocoknya isi kelas
umum begini.
Duh, Nanang kalau nonton Arjuna ngajar tuh suka dibawa
nostalgia ke masa-masa susah banget curi perhatian si si dosen satu
ini. Arjuna kalau isi materi, masih sama. Gayanya formal, serius
tapi santai— banyakan seriusnya tapi!
Dari ujung kursinya ini, Nanang terus ekori langkah Arjuna ke
kanan ke kiri. Cari mata suaminya buat di ajak bersitatap waktu
sama-sama saling lihat— eh? Salting tuh pak dosen dikedipin.
“Ya, sampai sini ada pertanyaan?” Arjuna taruh pointer dan
ganti amati seisi kelas. Beberapa pertanyaan datang dan dijawab
Arjuna dengan mantap.
“Pertanyaan berikutnya?”
“Saya pak!”
“Iya?”

16
balada dosmud

“Bapaknya single gak ya?”


Riuh godaan penuhi satu ruangan. Ada yang bersiul dan senggol
satu yang bertanya barusan. Arjuna? Cuma nyeringai tipis sambil
tunggu suasana ramai ini mereda dan beri jawaban singkat.
“Gak lihat cincin saya?”
Wah, ramainya jangan ditanya. Siulan dan celetukan— duh patah
hati! Ini kedengaran. Arjuna geleng-geleng kepala, tutup laptop lalu
segera tutup kelas ini dengan beberapa kalimat.
Begitu selesai, satu ruangan ekori langkah Arjuna yang
bukannya keluar pintu tapi justru naik ke bangku paling atas.
“Mas!” Nanang malu. Arjuna berdiri di depannya sambil dilihat
puluhan pasang mata.
Arjuna cuma senyum, genggam jemari Nanang lalu turun ke
bawah dan balas beberapa sapaan.
Nanang malu malu tapi seneng banget! Euforianya persis foto kita
di publish sama pacar di sosmed gitu. Alias Arjuna seperti mau satu
ruangan tau, kalau yang punya Arjuna ya cuma dirinya seorang.
Ah, Arjuna.
Meski waktu keluar ruangan digoda balik Nanang tetap aja
salting dan cuma berani balas pakai jitakan halus di kepala juga gak
apa-apa deh! Bahasa cinta orang jawa satu ini emang kayak cuaca
kok. Unpredictable!
Iya. Gak terduga. Sama halnya dengan lika liku kehidupan
setelah pernikahan yang sama-sama gak terduga.

17
balada dosmud

Setahun lebih lewat dari kali pertama mereka ucap janji suci
pernikahan. Satu tahun yang lucu banget! soalnya mereka sekarang
udah resmi jadi sepasang yang punya status ‘menikah’.
Bayangan Nanang nih, ya. Nikah itu seru, soalnya pasti bisa
terus bareng Arjuna dari pagi sampai pagi lagi. Bisa dapat guyuran
cinta yang makin lebih berani dibanding sewaktu belum resmi.
Itu bayangan ya, beda sama realita yang justru terjadi.
‘Kamu itu apa gak bisa handuk di taroh jemuran langsung?’
‘Lah? Ngapa si Mas? kaga basah engga itu.’
Setiap harinya, ada aja hal kecil yang buat perdebatan.
‘Mas! lampunya jangan gelap-gelap dong.’
‘Keterangan kalo tak naikin lagi. Wes tah, orang tidurnya juga ndak
sendiri. Sama aku ini.’
Iya, Nanang sama Arjuna bukannya makin manis berkata-kata,
tapi makin nemu aja bahan buat diadu pendapat. Gak sampai
berantem sih, paling sendal spongebob Nanang aja melayang.
But, it’s ok! Kalau kata Arjuna, ini namanya realita pernikahan.
Gak melulu manis kayak di drama korea, tapi juga gak sedramatis
sinetron tv ikan terbang.
Mungkin kalau ditanya apa bedanya sebelum dan sesudah
menikah, maka jawaban yang pasti Nanang ucap itu ya sumbu
masalah yang bukan cuma dari mereka berdua— tapi banyak. Mulai
dari keluarga, pekerjaan bahkan sampai kebiasaan-kebiasaan kecil
yang Nanang sendiri gak nyangka itu bisa jadi sumber masalah.

18
balada dosmud

Pusing? kadang sih iya.


Nyesel gak? Jelas nggak!
Karena kalau mau ditelisik lebih dalam, masalah masalah hidup
tuh pasti ada kok! Mau nikah gak nikah, pasti ada. Choose your hard
aja!
Meski setelah pernikahan nyatanya banyak ujian baru lagi buat
Nanang— terutama tuntutan dari keluarga Arjuna nih! — ya gak
apa-apa, ngejalaninnya juga berdua.
“Dek, mau pulang atau mampir makan?”
“Nonton yuk? plis ini mah! ayo pacaran!”
“Nonton tok ya di rumah aja.”
“PACARAN MAS!”
“Ya biasa aja toh ngomongnya.”
Meski berdua—nya sama orang macem Arjuna yang suka bikin
elus-elus dada, gak apa-apa … yang penting, Nanang tau kalau dia
ini gak sendirian. Maju lo masalah hidup! Biar gua majuin Arjuna! :D
***

19
balada dosmud

Bahagiaku, Ya Kamu.
Nanang itu paham kok, kalau bakat dari dirinya ini cenderung
pada hal-hal yang bersifat bebas dan menyenangkan— berbisnis,
bercerita, berkarya— bukan sibuk tenggelam pada jurnal ilmiah
apalagi konferens yang wajib kuras tenaga dan pikiran begini.
“Gila ya, kalo S3 ya apa gak masuk rumah sakit jiwa ini gua.” Ya
meski mendumal juga tetap aja masih sambil baca buku dan ketik
makalah yang deadlinenya tinggal besok.
S2. Magister.
Nanang mau jadi dosen kah? Jelas jawabannya — gila aja. Mana
mungkin. Gak pernah ada terbesit satu kalipun di benak kecil
Andanang Lazuardi buat bicara khas akademisi di depan kelas
sebagaimana Arjuna biasa lakukan.
Ini semua— pusing dan sibuknya, bukan buat apapun melainkan
satu; memperjuangkan kebahagiaannya.
Mau tau satu kisah? Iya. Kisah bagaimana bisa Nanang masuk
dunia akademik berawalan celetukan bude berkonde di malam
pertemuan keluarga besar di Malang Raya, 7 bulan yang lalu.
***
Penghujung Desember akhir yang gak mungkin Nanang lupa
seberapa campur aduk perasaannya terpojokan lewat kalimat
singkat padat menusuk bude-bude Arjuna.

20
balada dosmud

“Loh, suamine Arjuna ini cuma strata 1 tok, tah? Nyambung ndak itu
kalau ngobrol?”
Nanang gak pernah krisis rasa percaya diri. Demi apapun,
bahkan mau Arjuna sulit digapai dulu aja, Nanang percaya diri
kalau akan berhasil— tapi satu kalimat barusan, bawa rasa rendah
diri yang sekian tahun gak pernah muncul di hati Andanang itu
mendadak naik ke permukaan.
Rasanya malu, dilihat satu keluarga besar yang seperti
membenarkan ujaran tersebut. Nanang masih ingat jelas keras
muka Arjuna. Masih ingat juga bagaimana dirinya cuma bisa
genggam jemari suaminya itu supaya gak balas lontar kalimat lebih
tajam.
Kalau bukan karena Arini yang inisiatif jawab— lah buktinya bisa
menikah itu ya apa bukan tanda kalau baik-baik aja to bude? —
mungkin suasana malam itu gak akan berubah, masih tegang dan
canggung.
“Gak usah didengar, Dek.” Itu kata Arjuna setelah cuma sepi yang
terasa sepanjang perjalanan pulang ke jakarta. Nanang tahu pasti,
kalau jauh di hati suaminya itu tersinggung luar biasa.
Bagaimana gak tersinggung? Menyudutkan Nanang dari segi
pendidikan ya sama saja dengan menyalahkan Arjuna— seakan gak
becus pilih pasangan.

21
balada dosmud

Sepanjang acara, Nanang perhatikan kalau netra Arjuna gak


pernah luntur tegasnya buat jawab apapun pertanyaan bude dan
pakde.
“Ya perkara begitu itu mestinya gak dibicarakan begini bude …”
Begitu sopan memang Arjuna ini. Meski marah dan kesal, tapi tetap
berusaha bela Nanang dengan tata bahasa yang gak buat suasana
makin rusuh.
Arjuna benar, soal keluarga besar dari Bapaknya ini memang luar
biasa menyebalkan. Arjuna juga benar, soal katanya ada banyak yang
gak disuka dari berada dirumah besar kediaman kakek neneknya.
Rumah besar ini gak pernah beri kenangan hangat apapun.
Cuma ada sekelebat ingatan soal sorenya Arjuna yang dipaksa
duduk dan belajar aksara jawa sampai gak sempat bermain teman
sebaya. Juga sekelebat ingatan soal tiap prestasinya yang selalu
disebut-sebut bukan buat diapresiasi melainkan buat dibandingkan
dengan yang lain.
Ya, rumah ini cuma jadi tempat berkumpul banyak orang yang
katanya ‘keluarga’ tapi gak pernah Arjuna rasa kehangatannya—dan
Nanang rasa sendiri kali ini seberapa ‘dinginnya’.
Pertemuan keluarga ini bukan keinginan Arjuna, undangan
tiba-tiba yang mau gak mau harus dihadiri atau siap-siap ditegur
kalau gak hadir.

22
balada dosmud

Pertemuan yang cuma 2 jam tapi jadi momok pikiran sampai


seminggu kemudian. Diamnya Nanang kali ini bukan apapun selain
berpikir satu hal;
“Mas, aku S2 aja kali ya?”
“Heh?”
Arjuna sampai berhenti dari kegiatan koreksi skripsi mahasiswa
dan pilih tarik dirinya ke taman belakang rumah. Diskusi kali itu
terasa agak berbeda. Arjuna meski dengar kalimat Nanang tanpa
selak, tapi jelas kelihatan gurat gak setuju— terlihat jelas dari
kerutan kening Arjuna.
“Baik menurut siapa? Baik buat siapa? Buat kamu atau buat sekedar
turuti omongan bude yang sama sekali gak seharusnya jadi
pertimbangan? S2 itu bukan cuma masuk kelas lalu selesai, Dek. Jauh
lebih lagi sulitnya dari sekedar S1 …”
Dijabarkan lebih detail dan lebih jelas soal plus minus Magister
yang meski diucap tegas, Nanang tau, ada nada bersalah yang terasa
dari intonasi suara suaminya. Sambil mendesah pelan, Arjuna bawa
jemari kecilnya buat digenggam dan matanya diajak bersitatap
serius.
“Dek, jangan apa-apa kamu lakuin cuma demi Mas. Tolong, udah
cukup kalau kamu makin keras usaha begitu itu ya Mas yang gak suka.”
Karena Arjuna, sudah berjanji bahwa setelah ikrar pernikahan
terucap, maka sudah … tolong ganti Arjuna yang berjuang buat
‘mereka’.

23
balada dosmud

Nanang tau, Arjuna gak mungkin semudah itu beri izin … tapi
dirinya sudah lebih dulu banyak berpikir. Ada hal-hal lain yang buat
hatinya makin yakin kalau gak ada salahnya buat coba S2— dan
Arjuna gak perlu tau detail. Suaminya ini cukup tau intinya saja.
“Mas. Aku tuh berjuang bukan cuma buat kamu kok. Buat harga
diriku, nama keluargaku,” Nanang usap pipi Arjuna sambil senyum,
“dan paling penting buat kebahagiaanku.”
Iya, Arjuna cukup tau kalau Nanang mau maju dan terima
tantangan keluarga Arjuna ya tak lain tak bukan demi bahagianya
sendiri. Padahal, harusnya Arjuna paham gak sih? Bahagianya
Nanang bukan ada pada apapun dan siapapun melainkan Arjuna.
Nanang sadar betul kok S2 ini mungkin akan buat harinya agak
lebih sibuk dan berat, tapi dibanding dua hal itu, nyatanya lebih
banyak hal baik yang bisa dia beri buat Arjuna nantinya.
“Lah, Andanang ini sekarang S2 toh?”
“Iya Bude! Hehe..”
“Wah, luar biasa, semisal bisa ya jadi dosen lah biar Masnya itu ada
yang temani ngoreksi nilai atau tukar pikiran soal penelitian dan
pengabdian.”
Salah satunya dari banyak hal baik yang Nanang upayakan,
adalah rasa tenang.
“Dek, bener mau ngobrol sama bude? tak temenin, ya?”
“Gak usah! Mas sana aja sama bapak Mas yak!”

24
balada dosmud

Iya. Rasa tenang karena Arjuna gak perlu lagi susah-susah


berpikir hal apapun cuma buat mengkondisikan keadaan. Karena,
dengan statusnya sebagai mahasiswa S2 ini, Nanang bisa atasi
situasi sendiri.
“Walah, Andanang ini fotomu di luar negri toh?”
“Hehe, iya Bude, dulu SD aku ikut lomba robotik di Singapura, sama
ada lomba Piano juga di sana— aku itu memang lebih di yang begitu sih
condongnya,” Nanang geser lagi beberapa foto di layar handphone,
“ini waktu sama Papa, lagi ada private summer school di Dubai. Buat isi
liburan SMP.”
Lewat lirik mata, Nanang amati satu persatu wajah di
depan—seringai kecil ini jadi tanda kalau Nanang berhasil tembus
tembok buat sekedar jalin pembicaraan.
Selain memberikan ketenangan di hati Arjuna, Nanang Juga
mau beritahu mereka-mereka ini bahwa dirinya ini cukup pantas
buat dampingi sang putra Mahaprana. Bude-Bude ini harus tahu,
kalau gelar akademik gak selamanya jadi patokan kualitas
seseorang.
“Walah, iya pantes ambil jurusan seni musik tah ya.” Bude Ita—
kakak pertama Bapak Arjuna ini colek sang adik di sebelah.
“Padahal pas Arjuna masuk seni tuh aku yo agak piyee gitu loh mbak..
mau jadi apa ambil musik gitu itu ya.” Kekeh kecil ini dari Bude Ayu,
Kakak kedua Bapaknya Arjuna.

25
balada dosmud

“Loh, musik banyak yang dipelajari, Bude. Wah, penelitian Mas Juna
itu mahal mahal soalnya saking jarang ada yang mau neliti soal musik.
Apalagi di Indonesia …” Nanang sekali lagi bicara. Lugas jelas
tertata— bertahan demi martabat Arjuna yang jelas-jelas mau
dijatuhkan.
Ini … Ini yang Nanang maksud berjuang demi
kebahagiaannya—demi Arjunanya.
Nanang mau semua tau, kalau putusan apapun yang Arjuna
ambil dalam hidup; baik akademik, karir bahkan jodoh sekalipun,
semuanya gak bisa diukur sukses atau bagusnya cuma dari
paradigma sempit ibu-ibu yang mungkin mainnya masih kurang
jauh.
Mereka semua harus tahu, kalau jurusan yang Arjuna pilih buat
mengabdikan ilmu ini nyatanya bukanlah jurusan ecek-ecek gak
ada tujuan.
Mereka juga harus tahu, kalau jodoh yang Arjuna pilih ini bukan
berarti gak layak masuk keluarga besar cuma karena gelar belaka.
Keluarga ini, harus dapat teguran sedikit soal menilai dan
mengatur hidup seseorang, bahwa gak semua hal harus sama
seperti pola pikir yang mereka sandang.
Arjuna yang duduk di halaman belakang rumah bersama Arini
itu mungkin gak bisa dengar apa perbincangan yang ia bicarakan
bersama Bude di dalam— tapi Arjuna pasti bisa meyakini satu hal,
bahwa gak perlu kali ini lelakinya itu turun tangan.

26
balada dosmud

***
Begitulah, soal awal kenapa bisa dirinya yang paling gak suka
soal akademik ini kini sibuk bergelut dengan jurnal. Meski
stressnya ya ada sedikit, tapi cukup setimpal dengan apa yang dia
dapat setelahnya.
Keluarga Arjuna yang gak pernah lagi sudutkan dirinya di pertemuan
keluarga. Arjunanya yang luar biasa perhatian meski tetap dengan gaya
karismatik dan cuek sebagaimana lelaki ini di keseharian.
Kayak sekarang ini nih.
“Jam 11, Dek. Kok ya masih di sini.” Tegur Arjuna sembari cium
pucuk kepala Nanang pelan. Tangannya geser beberapa buku tebal
di kanan laptop buat diganti taruh air putih hangat yang barusan
diambil dari dapur.
“Tanggung. Masih dikiiit lagi.” Nanang cengengesan kecil
sambil layangkan tatapan permohonan supaya jangan ditarik dulu
ke kamar sekarang.
Arjuna gak komentar apapun lagi, tubuhnya yang berdiri di
belakang Nanang ini agak maju merapat, satu tangan bertengger di
pundak Nanang dan satunya terulur ke laptop buat geser halaman
makalah yang ia yakini disusun dari pagi gak berhenti.
Nanang dari posisi dikukung Arjuna begini cuma bisa ganti lirik
antara laptop dan muka suaminya yang serius. Sesekali gumaman
kecil soal beberapa hal juga terdengar.
“… ini bisa disingkat lagi …”

27
balada dosmud

Terus ke bawah, sampai 10 halaman akhirnya selesai Arjuna


baca secara cepat.
“… ya sudah oke kok.” Selesai. Aruna kecilkan window word lalu
paling wajah ke Nanang, “ngebut mesti ini kamu ngerjainnya.
Tumben bisa cepet 10 halaman.”
“Iya. Soalnya lagi mood—eh!” Nanang rengkuh erat leher
suaminya, “ih! Mas tuh kalo mau gendong tuh bilang kenapa sih!”
Berisik, Arjuna cuma menyeringai kecil sambil gendong
suaminya buat dibawa ke kamar.
Kalau hari-hari Nanang sibuk belajar, maka kesibukan Arjuna ya
jadi pembasuh lelah.
Pijatan setelah seharian di ruang baca
Ciuman setelah sejam belajar presentasi di depan Arjuna
Pelukan di tengah malam sehabis menangis kecil karena jurnal yang
bahasanya rumit dan gak masuk-masuk ke kepala.
Semua hal sederhana ini, bentuk dukungan Arjuna buat keras
usaha lelakinya berjuang. Meski jauh di dalam hati, Arjuna kurang
suka Nanang lagi-lagi kerepotan soal keluarganya ini, tapi juga ada
rasa bangga dan senang di hati.
Bangga, karena lelaki ini nyatanya begitu dewasa meski di
keseharian tak ubahnya bocah manja.
Senang, karena lagi-lagi Arjuna merasakan apa rasanya
diperjuangkan. Andaikata pasangannya bukan Nanang, mungkin
belum tentu semulus ini jalannya buat bisa diterima keluarga besar.

28
balada dosmud

Nanang ini cerdas, meski gak bisa dipaksa buat setara


pendidikan dan pekerjaan dengan Arjuna, tapi tetap punya cara lain
buat angkat derajat tanpa perlu merendahkan siapapun.
“Heh suamimu ki kueren pol Arjuna. Lah kok ya ndak diceritakan toh
bapaknya itu temen bapakmu? Mesti puinter ya bapaknya Andanang ini.”
Arjuna masih ingat betul puja puji bude yang jarang-jarang
hadir. Masih ingat juga rasa kagumnya lihat Nanang yang mampu
berkumpul di tengah keluarganya yang mulai hangat sejak Nanang
hadir.
‘Suamimu kok ya hebat, le.’ Bahkan Pak Adi— Bapak Arjuna
sampai geleng-geleng kepala. Karena jauh sebelum pertemuan
keluarga digelar, Arjuna dan sang Bapak sudah merencanakan
bagaimana cara terakhir buat redam julid keluarga besar tanpa
menyebabkan keributan.
Ya tapi lihat sendiri kan? Meski dipertemuan pertama masih
harus Arjuna yang turun tangan, tapi pertemuan berikutnya benar
benar Nanang yang maju sendirian. Andanang Lazuardi ini
memang bukan sembarang manusia.
Kok ya kuat ya hidup sama Arjuna dan keluarga?
Malam makin larut, Arjuna cuma mandi sebentar lalu ikut
bergabung di dalam selimut hangat bersama suaminya yang belum
terpejam dan tunggu— seperti paham kalau Arjuna mau bicara
sebentar.

29
balada dosmud

“Mas mau ngomong apa deh?” Tembak Nanang tepat sasaran.


Arjuna cubit hidung lelaki dibawah pandangannya ini sambil
kemudian mulai utarakan beberapa hal.
Soal manajemen waktu. Soal mengingat lagi janji di awal;
bahwasannya S2 ini jangan sampai buat Nanang terbebani dan lupa
waktu.
“Janjinya inget ndak?”
“Iya …”
“Apa?”
“Gak nugas sampe tengah malem.”
Arjuna hela nafas, sisir surai halus lelakinya sambil bicara pelan
tapi tegas disaat bersamaan, “Mas kasih izin S2 bukan buat liat
kamu stress. Apalagi liat kamu lupa waktu.”
“Aku gak kecapekan kok …” bisik Nanang pelan.
“Aku itu hidup sama kamu gak sehari dua hari.” Lagi-lagi
kalimat Arjuna buat Nanang bungkam.
Terlepas dari banyak hal baik dibalik S2 suaminya, Arjuna juga
perlu buat menitikberatkan hal-hal yang kalau bisa jangan sampai
terjadi dan terulang.
S2 ini gak mudah buat Nanang. Arjuna jelas paham.
Nanang gak sekuat Arjuna yang bisa baca jurnal sampai malam
tanpa perlu pusing keesokan harinya.
Nanang juga gak secepat Arjuna buat susun makalah mepet
deadline.

30
balada dosmud

Minggu kemarin, Arjuna yang pergoki suaminya mimisan di


kamar.
“Dek?! Mimisan kamu?”
Meski panik, tapi cekatan Arjuna bawa Nanang ke kamar setelah
bersihkan hidung sebentar, diberi pertolongan pertama meski yang
ditolong cuma cengengesan dan usap-usap tangan seperti gak
terjadi hal yang besar.
Nanang masih bisa senyum, padahal badannya protes kecapekan
sampai beri sinyal mimisan.
Sejak hari itu, peraturan Arjuna makin ketat. Terutama soal
waktu— dan hari ini, Nanang melanggar dengan mengerjakan
makalah sampai tengah malam.
“Maaf ih maaas.”
“Maaf terus ya gak ngerubah apapun, Dek. Ini untung rakerku
lebih cepet. Coba kalau ndak, mesti kamu gak tidur.”
Arjuna harusnya hari ini menginap di hotel dalam rangka rapat
kerja tahunan, tapi gak jadi karena ternyata bisa lebih cepat selesai.
“Mas …” Nanang tangkup wajah Arjuna. Dibawa bersitatap
sambil layangkan wajah memelas memohon maaf.
Arjuna hela nafas, tepuk punggung tangan Nanang di pipinya
sambil mengangguk pelan sebagai tanda— Iya, dimaafkan. Nanang
semringah, buka lebar tangannya buat peluk Arjuna sambil
digoyang-goyang sayang. Kalau begini ya gimana mau kesal?
“Wes tah, Dek. Tidur.”

31
balada dosmud

Nanang mengulum senyum, merapat ke dada Arjuna dan


mendongak buat cium dagu kasat belum dicukur.
“Makasih banyak ya.”
Arjuna merunduk, temukan binar senang lelakinya yang cerah
betul.
“Buat?”
“Bunganya— aduh!”
Arjuna tarik selimut tutup muka Nanang. Salah tingkah—
padahal harusnya ya udah tau kalau pasti bakal digoda begini di
akhir.
“CIE MALU Y—asbdhssj!”
“Wes ndang bobo kok ya.”
Godaan buat hadiah kecil yang Arjuna beri buat suaminya.
Karangan bunga mawar merah dengan surat cinta sederhana
bertuliskan:

To: Lazuardiku

Makan sama minum jangan lupa, soalnya disuapi cintaku lewat bunga
tok ya gak bikin kenyang.
Bojomu.

32
balada dosmud

Lucu kan? Duh, Nanang rela deh S2 kalau bisa cambuk Arjuna
romantis begini. Biar kata banyak ngeluhnya, gak apa-apa juga. Toh
ini semua demi kebahagiaan diri sendiri.
Soal bahagianya Andanang yang cuma ada pada Arjuna —
bahagiaku cuma sesederhana kamu bahagia kok Mas.
***
Kafe kecil dengan suasana tenang ini berisi dua yang sibuk
masing-masing di pojokan. Satu sibuk baca buku, satu lagi sibuk
mengarang bebas.
“Mas,” Nanang tutup ke bawah sedikit laptopnya, panggil Arjuna
yang cuma beri respon alis naik satu, “bantuin yang ini dong.”
Arjuna tutup bukunya, putar meja buat duduk di sebelah Nanang
yang mulai tunjuk satu persatu yang perlu ditanya. Sederhana
sebenarnya, cuma menyambung data dan kutipan ilmiah buat
dimasukan ke dalam makalah.
“Itu loh dek,” Arjuna taruh tangannya diatas tangan Nanang yang
pegang mouse, “nih, kamu hapus kalimat ini,” Arjuna blok satu
kalimat lalu dihapus, “ganti sama ini.” kali ini kursornya mengarah
ke satu kalimat yang dicopy buat ganti kalimat yang dihapus tadi.
Masih lagi banyak yang Arjuna jelaskan supaya sekalian beres
dan gak tanya-tanya terus buat hal yang sama. Arjuna ini kalau lagi
mode ngajar gini ini serius banget, padahal yang diajar ya suami
sendiri juga.

33
balada dosmud

“Bentar nih minum dulu.” Nanang ambil gelas J.Co isi Matchanya
buat diseeruput Arjuna sekilas, “ish jangan banyak-banyak!” Nanang
lepas cepet sedotan dari bibir Arjuna sambil di pukul pelan lengan
suaminya ini.
“Oalah medit e gak ketulungan.” Gurau Arjuna.
“Ih udah lanjut aja jelasin.”
Arjuna cuma kasih seringai kecil lalu lanjut bicara panjang.
“Mas, tapi emang boleh gitu? kan datanya gak nyambung gitu.”
Arjuna merunduk sambil mengernyitkan kening, “lah? ya kamu
ini kan cuma buat makalah. itu tadi data-datamu tuh memperkuat
tok.” Arjuna sentil pelan hidung lancip suaminya gemas.
Nanang manyun, tapi habis itu senyum sambil ucap — makaci! —
ke Arjuna yang cuma balas mesem-mesem. Baru Arjuna mau
beranjak balik ke kursi, tapi pinggangnya ditahan Nanang pakai
pelukan. .
“Heh, ini di kafe loh ya.”
“Ya mang napa si? ini ngecas energi dulu ini capek tau aku.”
“Heleh.”
Ya Arjuna bisa apa sih selain nurut? Lagipula kafenya juga aman
kok, gak ramai dan gak saling peduli juga.
Hari ini sebenarnya hari libur Arjuna. Sebagai suami yang baik
dan pengertian, jelas Arjuna pakai waktu kosongnya ini buat bawa
Nanang keluar dari rumah. Meski cuma ke kafe kecil dekat

34
balada dosmud

perumahan, tapi justru bagus karena perhatian Arjuna akan penuh


dan gak terbagi ke yang lain.
Thesisnya Nanang sudah mulai masuk penyusunan BAB awal.
Jadi seriusnya Nanang juga mulai gak ketolongan. Ibarat kata nih,
kalau Arjuna gak suapin makan, ya kayaknya sampai malem gak
bakal makan sih.
“Mas.”
“Hm?”
“Kepala Mas bertaun-taun kaya begini apa ga meledak yak.”
“Kaya gini gimana?”
“Ya ngajar, ya S3 ya kerja, gila sih.”
Arjuna terkekeh. kalau mau dijawab jujur, pasti ada juga
masa-masa sumpek dan mampet ini kepala … tapi kan yang penting
gak nyerah aja.
“Mas.”
“Apalagi?”
“Ke Malang besok bawa apa ya?”
“Bawa jawaban aja.”
Nanang lepas rengkuhan sedikit, ganti tatap Arjuna dengan
tatapan bertanya.
“Iya, jawaban, Dek. Kamu mesti ditanya-tanya. Budeku itu gak
pernah kehabisan topik ngerungsingi hidup orang.” Arjuna cubit
pipi Nanang lalu lepas pelukan dan kembali ke kursi.
“Duh, iya juga ya.”

35
balada dosmud

“Ya gak mesti dipikir gimana-gimana lah,” Arjuna ambil bukunya


sambil lanjut ke halaman yang lagi dibaca sebelumnya, “lah wong
jagonya bersilat lidah kamu itu.”
“Mas.”
Arjuna hela nafas, tutup bukunya lagi sambil arahkan badan ke
suaminya, “Apalagi toh dek?”
Nanang mengulum senyum, Tangannya merayap genggam jemari
Arjuna buat dibawa ke muka dan dicium.
“Nanti temenin terus ya?”
Arjuna terkekeh, cubit bibir ini sampai mencucu– dan ya,
langsung keluar itu sumpah serapah gak jelas buat usilnya Arjuna
barusan. — Haaah, Na … gak perlu diminta pasti yak tak temenin toh,
sayang …
***

Epilog :
“Cari apa, Pak?”
Arjuna yang lagi pegang-pegang bunga ini tersenyum kikuk,
jawab pertanyaan Mas yang jaga toko sembari melihat hamparan
bunga yang buat dia bingung ini,
“Bunga yang pualing romantis buat pasangan ini apa ya, Mas?
Bisa rekomendasikan ke saya?”
“Wah, pasangan bapaknya ini sukanya warna apa?”
“Waduh, agak random dia itu, semua warna suka.”

36
balada dosmud

“Biasanya sih bunga yang tak pernah salah tuh mawar pak.”
“Gak pernah salah?”
“Karena mawar itu perlambang cinta membara penuh gairah
pak!”
Arjuna garuk-garuk kepalanya meski gak gatal, “Walah, gitu tah.
Ya boleh lah. Satu buket ya.”
Satu buket mawar merah besar ini lekas dipersiapkan, Arjuna
sembari keliling toko bunga, lihat satu persatu isinya sambil
berpikir banyak hal di benak. Salah satunya soal suaminya yang 7
bulan sudah berkutat dengan dunia akademik.
Haah, kadangkala Arjuna ini gak habis pikir sama jalan pikiran
suaminya itu— kok ya ada aja gituloh. Katanya berjuang demi
kebahagiaan yang mana bahagianya Nanang itu ada pada Arjuna.
‘Mukaku memang biasa, tapi cintaku pada om-om luar biasa.’ —
Heran, ada aja gituloh jawabnya.
Terlepas dari hal nekat yang perlu waktu semingguan buat
Arjuna setujui itu, jujur … jauh di hati, arjuna tersanjung karena
senang rasanya mengetahui kalau kini ada yang mau membersamai
dirinya buat lawan badai apapun di kehidupan.
Arjuna, biasa apa-apa sendirian— termasuk soal berhadapan
dengan keluarga besar. Rasanya banyak hal yang mau dia utarakan
tapi sulit buat diucap. Sampai Nanang mau hadir dan bantu petakan
kalimat per kalimat yang mewakili isi hati Arjuna selama ini.

37
balada dosmud

Soal kehidupan dan pilihan. Gak ada yang salah, mau jurusan
seni yang dia ambil, mau pilih Andanang sebagai jodoh, semuanya
itu gak berhak diatur siapapun.
Arjuna sejatinya siap pasang badan kalaupun pada akhirnya
terpaksa keluarkan senjata akhir; berontak. Namun melihat Nanang
yang mau mengerti posisinya dengan berusaha mengikuti alur
keluarga Arjuna hingga berhasil tinggikan derajat keluarga kecil
mereka ini luar biasa ketuk pintu hatinya.
Arjuna merasa bahwa inilah namanya cinta— saling bahu
membahu tanpa terus memberatkan salah satunya.
Terimakasih, karena berkat Nanang yang rela terjun lagi kuliah,
Arjuna gak perlu susah-susah beradu pendapat kalau pulang ke
rumah keluarga besar.
Terimakasih, berkat Nanang dan ceria lelakinya ini, berhasil beri
satu nilai tambah yang jadi alasan lelaki ini diterima dengan baik
oleh keluarga besar— bonusnya Arjuna disanjung karena tepat
memilih pasangan.
Dari segala terimakasih yang Arjuna mau utarakan, paling
penting adalah satu; terimakasih karena dengan semua yang
Nanang lakukan ini benar-benar bawa hal baik dalam hidupnya—
Nanang berhasil, buat Arjuna bahagia.
Gak apa-apa meski selepas pulang kerja, Arjuna seperti punya
mahasiswa private di rumah yang gak cukup sejam dijelaskan soal
materi.

38
balada dosmud

Gak apa-apa juga kalau ujung akhir pekannya harus ditambah


dengan koreksi makalah tugas sementara yang punya makalah tidur
seharian sampai siang.
Gak apa-apa juga meski kadang hatinya jatuh bangun antara
bahagia dan khawatir lihat keras juang Andanangnya buat teliti
kajian jurnal dan buku sampai malam, Arjuna masih mampu topang
lelakinya ini kok kalau memang harus tumbang sebentar.
“Pak.”
“Oh, ya?”
“Ini bunganya. Ada surat kecil pak, mau ditulis?”
Surat ya? Bunganya cantik, merah merona. Harusnya lengkap
kalau ada surat cinta yang bisa tembus hangatnya ke hati si
penerima.
“Lah, udah pak? pendek bener?”
Arjuna menyeringai, sodorkan kertas kecil yang ditulis barusan
dengan senyum tanpa kata. Ia berpikir kok, soal banyak frasa cantik
yang punya korelasi antara Andanang dan mawar merah— tapi
sekali lagi, kalimat cantik manis bukanlah Arjuna.
Jadi, ya … semoga pesan singkat realistisnya ini bermakna ya.
Soal meski Disuapi cinta banyak-banyak darinya, ya tetap gak bisa
menggantikan makan dan minum di kenyataan buat sampai
kenyang. — Kalimatku memang biasa, tapi cintaku padamu yo jelas luar
biasa.

***

39
balada dosmud

Soal Bercanda
Kalau benar bisa jantung pindah ke punggung, mungkin itulah
gambaran yang Arjuna rasa sekarang.
From: Na <3
Mas, pulang. Aku kecelakaan.
Gak perlu dititah dua kali, Arjuna lari— gak peduli rapat yang
baru setengah jalan, gak peduli juga muka berantakannya yang
mungkin diketawakan.
Arjuna gak peduli. Ia cuma mau cepat sampai.
Makian buat macet merayap ini lancar menguar, diselingi
usahanya telepon beberapa orang yang mungkin bisa diandalkan
buat bantu andaikata di rumah nanti situsinya jauh lebih buruk dari
yang ia bayangkan.
Dering panggilan tunggu ini sulut kesal Arjuna makin tinggi.
Lelaki ini kebingungan dan bertanya-tanya, soal apa yang
sebenarnya terjadi?
Arjuna sibuk, matanya fokus, tangannya sibuk di kemudi. Lelaki
ini seperti berpacu dengan waktu. Bahkan begitu sampai rumah
sekalipun,m Arjuna gak repot cari parkir dan memilih langsung
turun—berlari cepat ke dalam rumah gelap. Dalam benaknya cuma
satu; cepat lihat kondisi Nanang.
“Dek! Kam—”
“TARAAAA! HAPPY BIRTHDAY!”

40
balada dosmud

Gelap, yang berubah terang ramai meski cuma ada Andanang


seorang.
“TIUP LILINNYAAA LILINNYAAA …”
Kerlap kerlip lampu dan hiasan pesta, kue cantik berhias dengan
nama Arjuna di tengah, senyum Nanang yang sumringah — ini,
bercanda?
“Hore! Ayo mas ti—”
Nanang terkesiap. Kaget dengan tepisan tangan Arjuna yang
jauh dari ekspektasinya.
“M—mas?”
Detik berjalan semakin bawa kesadaran Arjuna ke permukaan.
Degup jantungnya yang semula memburu kini bingung antara
harus tenang atau justru makin riuh gemuruh berganti amarah?
Arjuna lap mukanya kasar, mendengus pelan sambil berjalan
kasar ke kursi makan. Duduk menunduk, netralkan deru nafas yang
anehnya semakin terdengar memburu.
Demi Tuhan … Na …
Arjuna dengar Nanang yang bicara panjang di depan dalam
mata terpejam. Nanang mungkin gak paham kalau Arjuna tengah
berusaha tahan emosi sebisa mungkin, mungkin juga belum sadar
kalau tingkah lakunya yang seperti gak merasa bersalah ini sulut
emosi Arjuna naik pitam.
Andanang, kamu sadar gak lagi bangunkan macan tidur?

41
balada dosmud

“Mas dengerin aku dulu kenapa sih? Aku tuh bukan niat
bohongin, Mas! Aku tuh cuma bercanda aj-” Berhenti, kalimat
Nanang tertahan di batas tenggorokan begitu tangkap Lirikan mata
tajam Arjuna yang jauh lebih sengit dari keseharian.
“Apa katamu barusan?” Selak Arjuna cepat sambil menyeringai.
“B-bercanda.”
“Andanang Lazuardi,” Lelaki ini berdiri, perhatikan seisi
ruangan yang penuh dekorasi sambil mendecih pelan lalu paku
netra Nanang sedetik kemudian, “Bercandamu gak lucu.”
Arjuna berjalan terburu-buru ke kamar yang diekori Nanang di
belakang. Ia dengar namanya dipanggil-panggil sampai kemudian
samar begitu pintu kamar tertutup dan ganti suara pukulan pintu
dari luar.
“Mas! Denger aku dulu!”
Arjuna gak peduli. Ia merosot duduk bersandar pintu. Pijat
keningnya sambil atur nafas pelan.
“Mas …” Bahkan mau Nanang merengek sekalipun, Arjuna gak
peduli.
“Mas akutu—”
Brak!
Nanang terkesiap mundur selangkah dari pintu. .
Arjuna berdiri. Buka pintu dan berhadapan langsung dengan
lelaki yang sepertinya mulai sadar kalau situasinya ini sudah luar
biasa serius.

42
balada dosmud

Wajah Arjuna merah, mata lelaki ini tajam berembun namun


menusuk secara bersamaan.
Arjuna luar biasa marah. Tangan Nanang yang mau sentuh
Arjuna bahkan ditepis pelan tanpa lepas tautan netra mereka.
“Mas—.”
“Kamu pikir lucu bawa kata celaka cuma buat konsep kejutan?
Kamu pikir lucu?”
Nanang rasanya seperti didorong paksa ke pojokan. Ditelanjangi
sorot mata yang aneh nya makin dilihat justru makin buat ia
ketakutan.
“Jawab!” Bentak Arjuna tertahan. Nanang teguk ludah, gemetar
badannya dan terlihat jelas di mata Arjuna.
Sudah lama sejak kali terakhir suara Arjuna meninggi.
Mengingatkan lagi soal mereka yang sempat adu emosi di
detik-detik sebelum putus 5 bulanan.
Mereka berjanji, buat bicarakan segala kesalahpahaman dan gak
larut dalam masalah tanpa penyelesaian— tapi maaf, kali ini Arjuna
gak sesabar itu buat kompromi.
Kalau hati Arjuna bisa dilihat isinya, maka yang terlihat pasti
porak poranda. Butuh waktu buat ditata dan rapi seperti semula.
Jadi yang ada di benak lelaki ini bukanlah bicara berdua, tapi pergi
dan beri masing-masing diri tempat buat menyendiri sementara.
Arjuna bergerak cepat telepon seseorang, ambil kunci mobil dan
beberapa benda penting yang perlu dibawa. Nanang yang

43
balada dosmud

perhatikan Arjuna dan tindak tanduk tegas tak terbantahkan ini


cuma bisa diam.
Argumen apapun gak bisa buat runtuh tembok Arjuna— dan
entah bagaimana justru berakhir dengan Nanang yang duduk
termenung sendiri di satu kamar tamu rumah orang lain.
Iya, di rumah Reza dan Dika.
“Juna!” Reza kejar Arjuna ke mobil. Duduk di bangku samping
kemudi buat klarifikasi lagi soal keanehan temannya yang tiba-tiba
minta izin buat titip Nanang di rumah.
“Heh? Ngaco kamu ya jun?”
Arjuna gak bergeming, matanya lurus ke portal dinding blok
perumahan.
“Maksud kamu itu gimana?”
Iya, apa maksud dari Arjuna yang tiba-tiba telepon, lalu datang
cuma titip suami dan berakhir pergi begini.
“Kamu yang ngajarin aku, kalau ada masalah itu katanya
diomong, tapi sekarang?”
“Aku tanya kamu. Apa yang kamu rasa kalau tiba-tiba Dika
bilang dia kecelakaan dan ujungnya cuma bercanda?”
“Maksudnya?”
Reza meski bingung awalnya, tapi mulai paham seiring kalimat
Arjuna terdengar.
Ulang tahun Arjuna yang jatuh tepat hari ini. Acara yang
katanya Nanang persiapkan dari kemarin. Acara yang berniat

44
balada dosmud

kejutan— dan benar-benar buat Arjuna terkejut dengan beri kabar


kecelakaan cuma supaya Arjuna cepat pulang.
“Aku paham, Jun … tapi kan dia juga niatnya mau rayain ultah
kamu, kayaknya kalau sampai marah begini ini juga gak
berlebihan—”
“Coba balik posisinya kalau ini Dika ke kamu ben paham
awakmu, Za! Kamu gak berhak nasehati aku sekarang. Gak paham
kamu itu sama situasinya.”
Arjuna tatap Reza di sebelahnya dengan sorot mata ini tegas,
“kamu gak paham sepanik apa aku. Kamu juga gak tau
sekenceng apa aku ngebut sampai gak peduli kalau harus celaka
sekalipun. Terlepas dari yang tak sebutkan, bagiku soal celaka, itu
bukan bercandaan!”
Reza bahkan jauh dibungkam. Gak berani selak kalimat yang
meski gak teriak sekalipun jelas terasa kental rasa kesalnya.
Mata lelaki di depan Reza ini gak pudar sorot tegasnya, tapi juga
gak bohong kalau Reza temukan binar kecewa di sana.
“Bercanda apapun itu aku gak pernah marah, Za. Mau bahasa
kasar sekalipun atau bercandain aku juga aku gak silahkan— tapi
ini keterlaluan!”
Arjuna ini, jarang-jarang bicara kalau marah. Biasanya cuma
ambil waktu sendiri dan gak sampai sehari sudah kembali dengan
suasana hati yang meski masih kesal tapi masih bisa ditutupi.

45
balada dosmud

Jadi begitu lihat Arjuna marah dengan vokal menggebu ini, Reza
yakin kalau marahnya Arjuna jelas gak main-main.
“Aku titip dia ke rumahmu bukan apa-apa, aku cuma manusia
biasa yang bisa emosi. Aku takut kasar, takut lepas kendali kalau
ada Nanang, tapi juga kalau aku yang pergi dari rumah, sama aja dia
yang sendirian dan aku sama sekali gak bisa tenang.”
Reza mengangguk pelan, bersandar di jok dan ikuti arah mata
Arjuna mengarah.
“Mau berapa hari?”
Arjuna alih tatap sekali lagi, ke jendela kamar tamu rumah
keluarga Dewangga yang ada siluet satu lelaki duduk di jendela.
“Sampai kepalaku cukup dingin buat bicara. Sampai kepalanya
dia cukup sadar buat telaah mana salahnya.”
Iya, sampai keduanya siap.

***

Jantung Arjuna ini masihlah berdegup kencang. Nafasnya masih


agak memburu akibat adrenalinnya terpacu setelah dipaksa pulang
buru-buru. Ditambah lagi fakta kalau itu semua cuma buat temui
bercandaan yang sama sekali gak lucu.
Pintu rumah Arjuna buka dan aneh rasanya— hening tapi
kondisi di dalam ramai dengan hiasan sana sini.
‘Mas … aku cuma mau rayain ulang tahunnya mas, gak maksud bikin
mas takut …’

46
balada dosmud

Bukannya Arjuna gak menghargai jerih payah Nanang sampai


bisa hias ruang tengah rumah sebagus ini— dekorasi tema ulang
tahun sederhana tapi ceria dan lucu— khas Andanang sekali.
‘Mas, aku bukan mau bikin kaget yang gimana-gimana … aku cuma
mau mas tuh seneng pas pulang soalnya mas gak tau kalo acaranya
dirayain..’
Bukan Arjuna menyepelekan perayaan ulang tahun yang
mungkin baginya biasa, tapi berarti benar buat Nanang.
Na. Caramu. Cuma itu yang aku permasalahkan.
Arjuna menyeringai miris buat kue dengan karikatur lucu yang
pasti buat dirinya ini. Pilih ambil satu amplop coklat yang tepat
ditaruh di sisi kado kotak agak besar.

Selamat ulang tahun!


Mas, aku selalu seneng kalo tiap tahun kamu tambah umur. Aku
seneng, soalnya masih bisa liat Mas tambah tua sama aku. Terimakasih
banget udah lahir dan bertahan di bumi keras ini. Mas keren bgt! Setiap
tahunnya, harus dirayain! Aku gak bakalan tuh kehabisan konsep buat
ulang tahunnya mas! Tenang aja.
Mas, sehat terus ya? Aku gatau kalo mas sakit gitu nanti bakal sesedih
apa. Aku doain juga mas sehat sama panjang umur. Semoga pundaknya
mas selalu kuat. Hatinya mas selalu sabar ngadepin aku yang kadang
kayak bocah.

47
balada dosmud

Aku sayang sama Mas. Sayaaang banget. Aku kalo gak sama mas,
bagai taman tak berbunga. Terus hidup sama aku ya! Kalo bosen bilang,
awas aja ngilang. Gua gibang lu. :p

Na, bahkan misalkan gak pakai kejutan — cukup beri kabar


sederhana buat pulang misalnya, Arjuna itu pasti terharu kok
dengan doa baik yang jarang-jarang ia terima ini.
Arjuna suka. Suka sekali dekorasimu meski jauh di hati lebih
suka ulang tahun tanpa perayaan berarti.
Arjuna juga terharu, terharu sekali sama untai doamu yang
meski genrenya komedi tapi tetap sampai ke hati.
Arjuna suka, apapun yang kamu beri— tapi Na, kamu juga harus
tahu, kalau marahnya Arjuna karena bercandaan mu tadi itu luar
biasa serius.
“Mas?”
Itu Arini, yang geret koper masuk sambil kebingungan— rumah
ramai hiasan tapi hening ini kenapa?
“Nduk? Katanya minggu depan baru pulang?” Arjuna taruh
surat ke dalam kantong celana.
“Lebih cepat acaraku,” Arini masuk sambil tengok isi rumah,
“lah, Nanang mesti ini yang bikin,” senyum Arini terukir, “hari
ultahmu ki yo mas. Eh lah Nanang e ndi?”
Begitu netra kakak beradik ini tertaut, arini jelas tau ada yang
gak beres di sini.

48
balada dosmud

“Mas?”
Arini jauh kenal Arjuna— dan netra lelaki di hadapannya ini
jelas siratkan satu hal; kekecewaan.

***

“Ya aku kalau jadi Arjuna juga pasti kecewa, Dika.” Reza duduk
di kursi makan sebelah suaminya, senyum sambil genggam jemari
ini hangat.
Jelas Arjuna kecewa. Cinta lelaki itu sudah sampai di titik kalau
ada yang lukai Nanang maka Arjuna balas tanpa ampun — dan
sayangnya kali ini Nanang sendiri yang lukai hati Arjuna.
“Aku bingung, Bang. Nanang gak mau keluar dari kamar. Dia di
dalem juga cuma diem.”
“Dika …” panggil Reza pelan, “kamu jangan ikutan pusing ya, toh
Arjuna sama Nanang cuma butuh waktu kok.”
Sepasang ini cuma bisa bantu begini saja, karena Arjuna kalau
sudah A ya gak bisa tetiba berubah jadi B. Kalau Arjuna bilang
kecewa maka benar-benar kecewa berat.
Nanang juga sangat amat mengerti.
Lelaki yang sejak siang tadi cuma bisa menangis sendirian ini
kini terpekur dalam lamunan. Usap layar handphone yang sepi
sekali, gak ada satupun pesan dari Arjuna
“Kamu nginep di rumah Dika. Kita perlu waktu buat sendiri.”

49
balada dosmud

Nanang kalau ingat lagi sekeras apa muka Arjuna. Setegas apa
kalimat lelakinya itu, maka sakit hatinya juga terasa lebih lagi.
Nanang meski mengakui caranya salah, tapi sebagian hatinya
juga maunya meminta— tolong pahami kalau Nanang begini ini
buat Arjuna.
Nanang berhari-hari siapkan kejutan buat Arjuna. Beli
semuanya diam-diam sendirian. Rumah yang semula polos juga
dihias ramai itu dari pagi sampai kemudian selesai sejam sebelum
Arjuna datang.
Nanang cuma mau rayakan hari lahir suaminya. Maaf kalau
caranya gak bisa diterima Arjuna, tapi demi tuhan … Nanang gak
bermaksud menyepelekan hati Arjuna.
Pahamnya Nanang, mereka ini memang kalau bercanda gak
pernah ambil pusing. Mau sama-sama saling roasting sampai malu
juga gak apa-apa. Jadi Nanang pikir, beri kabar kecelakaan supaya
Arjuna cepat pulang gak akan berakhir sampai separah ini.
Nanang masih belum sampai ke penerimaan kalau dirinya
dibentak siang tadi. Belum sampai ke titik rela ditinggal sendiri di
sini.
Entah sampai kapan Arjuna mau beri jarak, Nanang gak tau
pasti. Semoga sampai hari itu tiba, Nanang juga sudah bisa
melupakan sakit hatinya. Mengakui kesalahannya dan kembali jadi
mereka yang biasanya.
***

50
balada dosmud

Arini pijat keningnya. Selesai dengar cerita versi Arjuna yang


buat dirinya juga bingung harus bela siapa. Di satu sisi Arjuna
berhak marah, tapi di satu sisi Arini juga maunya Arjuna mengerti
kalau Nanang sedang berusaha beri Arjuna perayaan spesial.
“Gak. Gak sampai ke nalarku. Buatku tetep salah.”
Keras kakak tertuanya ini memang gak ada yang mengalahkan
kok. Sekarang pun air muka tegasnya masih tercetak jelas.
Gemeretak gigi tahan emosi juga masih kedengaran.
Arjuna hela nafas dalam. Tangkup wajahnya sambil berusaha
tenangkan hati.
Arini mendekat, usap punggung Arjuna sambil bicara kalimat
terakhir buat tutup diskusi kali ini,
“Mas. Suamimu itu memang salah … semoga Mas gak lama juga
butuh waktunya. Nanang di sana pasti tunggu Mas. Maunya dia
pasti kalian berdua bicara. Semoga cepat selesai ya hatimu ki.
Kasian dia. Di rumah orang, ya wes nanggung malu, nanggung sedih
juga.”
Arini undur diri ke kamar. Tinggalkan Arjuna dan keheningan
ruang tamu ini sendirian.
***
Dika masuki kamar yang masih temaram meski pagi sudah
datang. Ditaruhnya nampan isi sarapan di nakas lalu duduk di
pinggir kasur, usap pundak yang masih tertutupi selimut.
“Nang. Makan gih.”

51
balada dosmud

“Gak laper.”
“Lu malem ga makan.”
“Gak laper.”
Nanang beringsut. Merebah dari tidur yang sebelumnya
menghadap tembok. Buka selimut buat tatap Dika.
“Lu ga tidur ya semaleman?”
“Gak bisa.”
“Mas juna ada ngabarin elu gak?”
Lagi-lagi cuma dijawab gelengan. Dika hela nafas, mengulum
senyum dan tepuk-tepuk punggung tangan Nanang, “Butuh waktu
pasti. Sabar aja, lagian Mas Juna chat Abang tiap jam makan koo
nanyain kabar lu.”
Nanang tersenyum miris, beringsut duduk dan bersandar di
kepala ranjang. Lelaki ini mendongak dan terpejam. Hela nafas
berat.
“Dik, gua salah banget ya?”
“Cara lu yang salah. Itu aja.”
“Kenapa Mas lama banget maafin gua ya …”
“Kita gak tau, Nang … sepanik apa trus apa aja yang Mas juna
melewati waktu belum tau kabar kecelakaan yang lu kasih itu cuma
bercandaan.”
Nanang buka matanya, tatap langit-langit kamar sambil berpikir
ke banyak yang penuhi kepalany sejak semalam.
“Gua baru kali ini liat dia marah, Dik.”

52
balada dosmud

“Serem gak?”
“Banget.”
Dika hela nafas, “harusnya ini juga tanda, Nang. Kalo marahnya
Mas Juna gak sembarangan. Beliau itu orangnya sabar, tapi kalo
sampe marah begini ya berarti cintanya dia ke elu besar banget.”
Nanang meringis, usap setitik airmata yang lagi-lagi jatuh, “gua
dimaafin gak ya …,” tenggorokan lelaki ini tercekat, “gua sadar
sekarang. Salah banget emang.”
“Mas Juna tuh lagi marah aja sempet mikirin elu anjir nang.
Padahal bisa aja beliau keluar rumah, pergi tinggalin elu sendiri—
tapi beliau lebih milih titip elu ke sini. Supaya elu gak sendirian.”
“Udah ah, Dik. Gua jadi mau nangis lagi nih. Capek gua.”
“Yaudah lu makan dulu gih. Gua biar ada laporan ke Abang.”
Dika tepuk pundak sahabatnya ini sambil pamit keluar.
Cuma soal waktu, sampai Andanang dan sepi kamar tamu
menyadarkannya soal marahnya Arjuna yang amat sangat
beralasan.
Amarah yang meski buat Nanang terluka tapi juga
menyadarkannya seberapa hebat cinta yang Arjuna simpan. Mas,
aku mau pulang …
***
“Nanang makan kok, sering ngobrol juga sama Dika.” Jelas Reza
sambil gigit pisang goreng yang disuguhkan Arjuna.
“Ya baguslah.”

53
balada dosmud

“Gimana?”
“Apanya?”
“Ya kamu, Jun. Siap ketemu gak?”
Siap gak? Belum tau. Arjuna masih menenangkan hati supaya
kalimatnya waktu bicara berdua gak meninggi.
“Nanang sering nangis.”
Arjuna tengok Reza yang tatap dirinya serius, “maksudmu?”
Reza senyum, “gak maksud gak menghargaimu, Jun … tapi
jangan kelamaan lah ya. Nanang kamu tinggal dalam kondisi kamu
marah besar itu ya dia pasti kebayang terus. Pasti gak enak tidur
kepikiran salahnya dan juga kepikiran kamu. Aku takut, kalau
kelamaan malah gak baik buat psikisnya.”
Reza tepuk pundak Arjuna, “kompromi itu berarti sama-sama
mengerti. Nanang mengerti kamu butuh waktu, tapi kamu juga
boleh lah ya coba ngerti kalau Nanang ini bukan tipe yang suka
masalah didiamkan agak lama begini. Ibarat anak kecil suka dapat
kado, eh kadonya ditahan orangtua buat dibuka minggu depan.
Kira-kira tidurnya nyenak gak?”
Kalimat Reza semoga berhasil buat dua sejoli ini bertemu dan
bicara. Karena jujur, Reza rasa ini sudah kelewat lama. Lima harian
dan Arjuna sama sekali gak berniat jemput Nanang.
Reza paham posisi Arjuna, tapi terlalu lama juga gak baik. Gak
ada satupun orang yang suka didiamkan apalagi Arjuna ini sampai
pisah rumah.

54
balada dosmud

***
Kalau diingat-ingat lagi, ini kali pertama Arjuna marah besar.
Arjuna juga kini berpikir ulang, seseram apa mukanya kemarin ya?
Sekeras apa gebrakannya di pintu sampai buat Nanang diam itu?
Arjuna bukan mau lari dari masalah, tapi Arjuna sadar kapasitas
dirinya yang kalau sudah marah kadangkala luar biasa seram.
Arjuna juga perang batin, antara mau lampiaskan egonya atau jaga
jangan sampai sakiti hati suaminya lebih deri sekedar kemarin.
Kalimat-kalimat Reza sampai ke hatinya.
Buat dua harinya ini mencoba terus diam dan berusaha
memaafkan. Arjuna boleh kecewa, tapi kalau harus tunggu
kecewanya hilang juga terlalu lama.
Jadi semoga hari ini, amarahnya gak lagi tersulut. Mulutnya
sudah lebih bisa bijaksana buat berkata-kata kata dan perilakunya
sudah bisa kembali halus buat beri Lazuardinya pelukan. Semoga ya.
***
Nanang baru selesai mandi dan berpakaian begitu Dika masuk
dan duduk di sebelahnya dengan wajah serius. Nanang tanya lewat
isyarat kening mengerut.
“Ada Mas Juna di depan,” Dika pegang pundak Nanang yang
tiba-tiba menegang, “mau ketemu, gak?” Dika naikan alis minta
respon Nanang yang berakhir dijawab anggukan.
Dua lelaki yang sudah sekian hari berpisah ini. Sejatinya
sama-sama berdebar dibalik tembok yang pisahkan mereka.

55
balada dosmud

Arjuna yang masih duduk di sebelah Reza ini mendongak begitu


Dika keluar kamar.
“Katanya, masuk aja, Mas.”
Setelah 5 hari saling menyendiri, apa yang akan jadi kalimat
pertama mereka berdua nantinya?
Arjuna tarik nafas dalam sambil berusaha taruh seluruh yakin
buat buka pintu ini pelan. Di sana, di kasur besar sana. Nanang
beringsut— kaget dan takut.
“Mas …”
Nanang beri senyum lebar yang susah payah diperlihatkan di
tengah kemelut batin. Nanang mau menangis, tapi ia paham soal
Arjuna yang gak pandai tangani tangis seseorang.
Arjuna kemarin sudah kerepotan, kali ini jangan tambah lagi
repotnya.
Arjuna berdiri di sana. Dengan dua tangan di saku dan perlahan
maju sampai ambil posisi duduk di sebelah Nanang.
Sorot mata lelaki ini masihlah tegas tapi gak semenyeramkan
kemarin. Netra mereka tertaut— setelah nyaris semingguan gak
bertemu.
Nanang gak bohong. Ia rindu.
Arjuna duduk di kasur. Nanang putus tautan netra mereka dan
mau merunduk— tapi tertahan jemari Arjuna yang bawa dagunya
mendongak kembali.

56
balada dosmud

Arjuna gak juga buka suara. Cuma usap dagu Nanang dengan
jempol perlahan, seperti tunggu sesuatu.
Nanang teguk ludahnya sebelum terbata panggil,
“M—mas ..”
Arjuna cuma naikan alis dan berdehem pelan. Tangan Arjuna di
dagunya lepas. Ganti bersedekap dada sambil tatap dirinya.
Nanang gak mau ulang hari Arjuna marah kemarin. Cukup
sekali ia ketakutan. Sekali saja. Sekarang tolong sudahi. Nanang
gak kuat.
“Maaf ..”
“Buat?”
“Aku bercandain mas.”
“Kamu juga biasanya bercandain Mas. Kenapa sekarang minta
maaf?”
Arjuna ini bukan berbeli-belit. Arjuna cuma mau pastikan kalau
semua ini— marahnya, tegas sanksinya— ini sampai ke Nanang
soal bagian mana yang jadi permasalahan dan gak terulang.
“Soalnya aku bercandanya kelewatan.”
“Kelewatan karena?”
“Bawa-bawa kecelakaan.” Suara Nanang sudah tercekat. Rasanya
seperti bocah kecil yang diinterogasi ibu akibat gak bawa pulang
kotak makan.
“Sudah mengerti berarti kalau yang aku permasalahkan di sini
adalah caramu yang bawa-bawa celaka?”

57
balada dosmud

Nanang mengangguk.
“Paham juga kalau aku gak sama sekali permasalahkan kejutan
ulang tahun dari kamu?”
Nanang mengangguk sekali lagi. Arjuna lirik tangan suaminya
yang mengepal erat dan sesekali bergerak gugup.
Hela nafas berat ini tanda kalau Arjuna sudah merasa cukup
dengan semua pengakuan dan refleksi diri suaminya ini.
Arjuna genggam jemari lelakinya, ditarik pelan buat masuk ke
pelukan. Nanang kaku sekali. Gak seperti biasanya yang akan
langsung bersandar penuh ke Arjuna. Mungkin takut, mungkin juga
segan. Sangat beralasan tapi tetap cubit sebagian hatinya Arjuna.
“Mau peluk, ndak? Ini kok jauh.” Arjuna coba cairkan suasana
yang tegang betul ini. Dan ya lumayan. Suaminya bergerak masuk,
rengkuh tubuhnya erat sekali. Sembunyi di ceruk lehernya tanpa
kata. Cuma dada naik turun cepat dan nafas memburu— tanda
kalau ada banyak emosi di hati lelaki ini.
Arjuna gak ucap apa-apa. Cuma bantu usap punggung sempit ini
supaya jangan takut. Nanang rasa kabut tipis di matanya. Mau
sekali menangis, tapi rasanya gak pas kalau sekarang. Arjuna pasti
bingung nanti. Apalagi ini di rumah orang. Begini saja cukup.
Arjuna bingung Nanang tiba-tiba lepas pelukan.
“Mas, tapi aku mau ucapin selamat ulang tahun boleh gak?”
Nanang teguk ludahnya, matanya meski kadangkala lari dari sorot
tegas Arjuna ini tetap berusaha terlihat tenang.

58
balada dosmud

Arjuna mengangguk, lalu rasa hangat tangkupan tangan


Andanangnya di muka.
“Selamat ulang tahun! Hehe, nanti taun depan aku cari tema lain
ya …” Senyum ini terukir, buat mata ini bentuk sabit cantik dengan
hias netra berkilau, “panjang umur, terus juga harus sehaaaaaat
terus. Aku Udah tulis surat, gak tau udah dibaca apa belum sama
Mas. Di sana aku tulis doa buat Mas.”
Arjuna tau, Nanang sulit bicara karena tahan sesuatu. Mungkin
mau bicara hal lain selain soal ulang tahun.
“A—aku minta ma–”
“Dek,” Selak Arjuna cepat, “Kalimat maaf cukup sekali aja
diucap.”
Arjuna kunci netra yang seperti bingung harus kemana. Bingung
antara mau mencebik sedih atau tersenyum.
“Kamu gak perlu bingung cari cara supaya mas kaget sama
kejutanmu … apapun itu selama kamu siapkan sendiri pakai hatimu
ya pasti tak apresiasi …”
Arjuna gak marah. Gak luapkan kata-kata kasar, gak juga pakai
nada tinggi waktu bicara. Harusnya Nanang berterimakasih karena
meski salahnya luar biasa besar, Arjuna masih mau secepat ini
memaafkan.
Nanang peluk Arjuna kembali. Bersandar wajah di pundak tegap
yang sekian hari ia rindukan. Sekali, cukup sekali mereka begini,

59
balada dosmud

ya? Nanang gak masalah soal Arjuna yang galak dan tegas— tapi
jangan ada lagi salah paham begini.
“Dek.”
“Entar dulu.”
Nanang rengkuh lebih erat Arjunanya. Coba sampaikan maafnya
lewat bisikan pelan yang Arjuna resap dalam diam.
“Maaf mas ..”
“Iya …”
“Gak mau ditinggal lagi.”
“Iya …”
“Gak suka ditinggal ..”
“Ya Mas juga gak bermaksud ninggalin. Kita butuh waktu. Mas
butuh tempat buat tenang. Bukan tak tinggal gitu aja toh?” Arjuna
hela nafas berat, usapan tangan besarnya di punggung sempit ini
memelan. Dalam pejam mata, Arjuna bicara, “Mas kalau gak sayang
kamu, gak mungkin begini.
Kalau Arjuna gak sayang Nanang. Pasti kemarin marahnya gak
akan ditahan-tahan. Pasti juga Arjuna pilih pergi dari rumah tanpa
titip Nanang ke rumah Reza dan biarkan lelaki itu sendiri di rumah
tanpa penjagaan dan pengawasan.
Nanang mengangguk. Dibawanya Arjuna merebah. Nyamankan
posisi buat berpelukan dalam posisi yang lebih nyaman.

60
balada dosmud

“Tidur dulu, bentar Mas. Aku dari kemaren gabisa bobo.” Lelaki
ini sayup-sayup terpejam dan kali ini dijamin tidur tanpa
gangguan— karena Arjunanya ada di pelukan.
Kicau burung dan semilir angin dari jendela yang terbuka ini
buai Nanang ke peraduan. Beri ruang buat Arjuna tatap wajah ini
tanpa harus berusaha pura-pura tegas.
Jemari besar ini sisir helai rambut halus yang berantakan tertiup
angin lembut. Usap kantung mata yang sedikit lebih gelap dari
biasanya lalu beri ciuman kecil di pucuk hidung cintanya.
Haaaah, jangankan Nanang, Arjuna juga sama. Gak bisa tidur dari
kemarin. Jadi, gak apa-apa. Ayo tidur dulu sebentar.
Dalam mata terpejam, Arjuna resapi eksistensi lelaki yang
beberapa hari ini absen dari sisinya
Mas juga minta maaf, Na.
Maafnya Arjuna ini karena harus buat kamu tidur sendirian
ketika Arjuna tau benar kamu gak lagi biasa tidur sendiri setelah
menikah.
Maafnya juga buat sakiti hati kamu meski itu semua beralasan.
Maaf karena berakhir buat kamu susah tidur berhari-hari. Tidur
dulu ya. Gak tak tinggal habis ini. Tak bawa pulang.
Na, Arjuna itu sayang kamu. Juga cinta sekali sama kamu. Rasa
sayang yang luar biasa sampai kalau soal kamu itu sama sekali gak
bisa dianggap bercanda.
***

61
balada dosmud

Gemuruh nafas panas dan suara-suara lirih menggema di satu


kamar luas. Di tengah kasur sana, ada dua yang berlomba raup
masing-masing cinta lewat kuluman panas dan gerayang tangan
kasar.
Arjuna resapi tiap-tiap inci tubuh porselen yang sekian hari ia
rindukan. Diberi jejak merah tanpa peduli pekik memohon lelaki di
cengkramannya ini. Seperti minta lebih dari sekedar cumbu.
Lazuardinya ini berisik, panggil-panggil Arjuna seperti hamba
memohon pada sang Tuan. Memohon buat rengkuh lebih erat dan
jelajahi lebih jauh lagi taman bunganya yang cuma milik Arjuna
seorang.
Lelakinya ini, seperti sekuntum mawar merah paling merona
yang Arjuna habisi tiap kelopaknya penuh damba.
Nanang memekik, Arjunanya yang hentak keras tanpa aba-aba
ini seperti lampiaskan banyak hal. Soal takut, kecewa, marah,
sayang dan cinta.
Netra tegas yang tatap lekat dirinya ini seperti telanjangi tubuh
tanpa ampun.
“Mas ..” Nanang peluk leher Arjuna. Mendekat lebih lagi sampai
jarak gak terkikis. Ia bernapas, hirup aroma di ceruk leher yang
menguar begitu jantan. Cengkram tangan Arjuna di pinggangnya
ini mengerat. Nanang gak diizinkan buat sekedar bicara maupun
mengeluh.
Lazuardi ini tunduk dibawah dominasi samg Putra Mahaprana.

62
balada dosmud

Ditampar bongkahan sintal sang Lazuardi supaya jangan


melemah dan terus bergerak. Bersamai Arjunanya buat sampai.
Pekik keras keduanya terdengar bersamaan. Arjuna terima
lunglai tubuh yang sejak sejam lalu ia cumbu tanpa sedikitpun beri
jeda.
Nanang dalam pejam mata mengembun ini seperti bingung mau
utarakan apalagi. Hatinya hangat, karena meski caranya
bercintanya masihlah kasar sebagaimana Arjuna biasa lakukan,
anehnya cinta lelaki ini tetap sampai.
Katanya, bercinta setelah pertengkaran hebat itu jauh lebih
dahsyat dari penyatuan dua yang sedang jatuh cinta— dan Nanang
mengakui itu.
Tanpa perlu kalimat penjelas apapun, Nanang paham kenapa
Arjuna kunci pintu dan langsung raup belah bibirnya begitu sampai
rumah.
Tiap sudut kamar, punya kisah soal bagaimana Arjuna cumbu
rayu tubuhnya di bawah dominasi tak terbantahkan— dan kali ini,
satu kisah erotis mereka ukir dengan cara yang berbeda.
Arjuna bawa amarah, kecewa, rindu dan cinta. Semua bentuk
emosi yang diestafetkan ke dalam cium tak berbelas kasih,
rengkuhan begitu posesif dan hentakan tubuh yang seperti mau cari
titik surgawi terdalam di tubuh lazuardinya.
Ditengah pagutan dan penyatuan tubuh mereka, sempat Arjuna
mau berhenti begitu lihat Nanang terisak kecil. Namun belum

63
balada dosmud

sempat Arjuna bicara, Nanang sudah lebih dulu tangkup wajah


tegas Arjunanya buat diajak bersitatap dalam kening saling
menyatu.
Dalam bisik lirih, Nanang tenangkan Arjuna, kalau airmatanya
jatuh bukan karena apapun melainkan buat basuh luka hati
kemarin yang masih terasa.
Tolong bantu supaya lupa tegas Muka Mas kemarin. Tolong bantu
supaya lupa seberapa tinggi suara lugas Mas yang buat aku sedih
berhari-hari.
Tolong bantu supaya lupakan itu semua dengan terus cintai
Nanang tanpa ampun. Tolong hisap habis saripatinya meski harus
berakhir merebah lemas dalam pelukan kamu sekalipun.
Arjuna sempatkan usap airmata setitik di pelupuk mata ini. Di
cium sayang kelopak cantik yang makin berembun justru makin
buat hatinya terluka.
Arjuna juga meski marah, tapi itu semua bukan karena apapun
melainkan karena cintanya buat Nanang yang begitu dalam.
Lazuardiku gak boleh luka.
Lelakiku ini gak boleh kenapa-kenapa.
Jadi maaf kalau bercandamu kemarin aku beri sanksi sebegininya,
karena memang gak ada satupun bagian dari diri kamu yang patut buat
dijadikan bahan bercanda.
Arjuna gak bisa berkata-kata, jadi tolong terima caranya basuh
luka hatimu ini dengan pagutan dalam yang sesekali buat kamu

64
balada dosmud

tersedak. Juga hentakan keras yang buat kamu mengalung erat


seperti diombang-ambing lautan lepas.
Arjuna mau ukir cinta lewat peluh yang makin lama makin
basah dirasa. Lewat lembab keringat yang bersatu padu dengan
cairan cinta mereka hingga begitu pekat terasa.
“Sayang.” Arjuna berbisik di telinga yang ia kulum kemudian.
Kalau di awal bercinta seperti mau lampiaskan emosi, maka kini
sudah jauh turun ke lampiaskan rindu dan cinta.
Nanang yang terkulai lemas di pangkuan Arjuna ini Sibuk raup
nafas dari pusat kehidupannya. Beristirahat dari gempuran lelaki
yang seperti mau habisi seluruh tubuhnya.
Istirahatnya cuma sebentar.
Karena Arjuna sudah kembali angkat pinggul sempit di
pangkuannya ini buat kembali disambangi dan diajak beradu cinta
sampai entah kapan selesai.
Tangan Arjuna yang merambat ke balik leher, lepaskan jemari
Nanang yang mengait di sana. Diusap sayang punggung tangan ini
sebelum akhirnya Arjuna lepas dan isi sela jemari Andanang.
Jemari tertaut ini mengerat, makin erat seiring gerak yang makin
hebat.
Arjuna dari posisinya seperti disuguhkan indah Lazuardinya
yang bergerak naik turun. Wajah merona merah ini, lagi-lagi bawa
Arjuna ke pusara cinta tak berpintu.

65
balada dosmud

Jatuh cinta kali ini, benar-benar seperti masuk ke pintu tanpa


kembali. Selamanya Arjuna cuma jatuh dan tersungkur buat
Lazuardinya seorang.
Pekik tertahan Nanang ini bersamaan dengan geram milik
Arjuna yang diredam dengan gigitan. Mereka sekali lagi ‘sampai’
berdua. Nanang bersandar di kening Arjuna. Terengah sambil
tersenyum di sela pagutan kecil-kecil barusan.
“Mas.”
“Hm?”
“Mas.”
“Hmm?”
“Mas.”
Arjuna menyeringai, lepas genggam tangan mereka buat ganti
rengkuh pinggang lelakinya dan dibawa mendekat.
Arjuna dusal hidungnya dan Nanang, “Kenapa, sayang?
Nanang terkekeh, “panggil lagi.”
“Apa?”
“Itu, barusan.”
“Yang mana?”
“Ih! Mas—”
Daripada dipanggil sayang, lebih baik ‘disayang’ aja, Na. Jadi ya
maaf kalau malam ini rasanya mungkin lebih lama dari biasanya—
karena gak tau kenapa, kamu kok ya menggoda banget buat dicintai
terus-terusan .

66
balada dosmud

“Mas!”
Terimakasih buat peredam suara yang Arjuna pasang sejak awal
di kamar. Jadi gak perlu khawatir heboh suaminya yang
menggelinjang keenakan ini kedengaran keluar.
Ah, cinta itu memang punya banyak cara buat ditunjukan,
termasuk pergumulan hangat seperti yanh Arjuna san Nanang
lakukan ini—yang entah sampai kapan baru selesai.
Satu episode rumah tangga soal bercandanya Nanang yang
kelewatan ini dicukupkan di sini. Semoga gak terulang dan jadi
pelajaran berharga ya!
***
Epilog:

Ini kayaknya bukan cuma perasaan Arjuna aja. Arini juga rasa
hal yang sama— soal Nanang yang jaga jarak. Beberapa kali kaget
kalau berpapasan sama Arjuna. Beberapa kali juga bingung kalau
bicara.
Nanang ini, takut ya?
Arjuna diam di ruang tamu ini sambil perhatikan suaminya yang
oles roti buat sarapan. Kalau biasanya, pasti gak cuma diam begitu
alias ada aja yang diomong.
Arjuna menyeringai, sekelebat ide muncul di kepalanya. Wah ini
harus dinyalakan tombolnya ini. Wes kelamaan off.

67
balada dosmud

Arjuna bersiul sambil berjalan pelan ke ruang tengah, gak


berhenti dan tangannya berakhir colek pantat Nanang sampai
akhirnya suara syahdu yang lama gak kedengeran pun akhirnya
muncul.
“MAS JUNA IH JANGAN COLAK COLEK SIH!”
Arjuna buru-buru lari keluar sambil tutup pintu supaya gak kena
lemparan sendal nanang yang meski empuk tapi kalau kena kepala
yo lumayan.
Walah, begini ini kan baru bener. Kalo diem itu kok ya kayak ada yang
kurang gituloh.
***

68
balada dosmud

Welcome To Arjuna’s Playground


Arjuna menyeringai masuki kamar. Lempar tas ke sofa dekat
lemari baju dan buka dasi sambil berjalan lurus ke satu yang sudah
tiduran bertumpu tangan di tengah kasur sana.
“Mau request baju gak?” Tawar Nanang sambil mengerlingkan
mata menggoda.
Arjuna terkekeh, “Telanjang aja ya cukup.” lempar dasinya
sembarang lalu maju dan kukung lelakinya segera.
Nanang dibawa merebah sempurna. Tangan kanan kirinya ditaut
jemari lelaki yang malam ini tumben sekali mau masuk
perangkapnya tanpa perlawanan berarti.
Arjuna itu biasanya banyak gengsi kalau diajak bercinta— meski
ujungnya ya tetap mau. Cuma kali ini berbeda. Nanang cuma
tiduran tanpa sehelai benang tunggu mangsanya masuk dan— ya,
umpannya ditangkap langsung.
Arjuna kukung badan Nanang, sambil tahan dua tangannya
diatas kepala lelaki yang cuma merem-melek terima lihai lidahnya
bergerilya. Sesekali memekik geli cuma karena kuluman di
beberapa titik sensitif yang sudah Arjuna hafal di luar kepala.
Nanang ini ikut gym sekarang sama Arjuna, tapi bukannya
berotot justru kelihatan padat berisi di titik-titik pas.
“Aduh!” Salah satunya di bongkahan sintal yang pas sekali kalau
diremat dan tampar.

69
balada dosmud

Malam ini dimulai godaan dan berakhir dengan Nanang yang


terkulai lemas di pangkuan Arjuna. Kais nafas buat penuhi rongga
parunya yang habis dipakai berolahraga barusan.
Nanang terkekeh, cium telinga Arjuna lalu berbisik pelan,
“tumben banget langsung mau.”
Arjuna cuma lirik suaminya sekilas, “kasian masa udah majang
badan tak cuekin.”
Nanang cubit pinggang Arjuna sementara yang dicubit cuma
tertawa. Kemudian tanpa aba-aba Nanang rasa tubuhnya terangkat,
naik ke gendongan Arjuna yang gendong dirinya seperti koala.
Pasti ke kamar mandi.
Arjuna itu ya, ternyata punya fantasi-fantasi yang kadangkala
buat Nanang gak percaya kalau— ini Arjuna, dosen tegas dan
penuh wibawa.
Kalau sudah mode muka tegas dan mata sensual begini, ini
Arjuna versi nakal yang cuma ditunjukan buat Nanang seorang.
Mau tau gak awal mereka bisa berani bermain jauh soal sesi
mencintai?
Semuanya berawal dari suatu malam setelah 1 tahun pernikahan.
Waktu itu, mereka berpelukan hangat setelah sesi panas di pukul
9 malam. Jarang-jarang begini— karena habis bercinta itu kalau gak
makan ya Arjuna minta merokok sebentar di balkon. Sesi
berpelukan dan deeptalk itu bisa dihitung jari— dan malam itu
adalah salah satunya.

70
balada dosmud

“Dek, ada yang mau kamu koreksi gak buat kegiatan malem kita itu?”
Nanang bertanya, koreksi bagaimana? Lah orang Nanang terima
enaknya aja kok. Jadi jelas gak ada. Mulanya Arjuna seperti ragu
utarakan, tapi kemudian jujur bilang kalau,
“Aku bosen sebenernya, semisal tak kasih variasi yang gak kaya
biasanya, mau ndak?”
Dari situlah awal mula kenapa Nanang bisa punya banyak
kostum buat ‘main’. Mulai dari pelayan, asisten sampai
kucing-kucingan. Semuanya Arjuna yang pilih.
Katanya, ini namanya roleplay.
“Gak sembarangan, Dek. Kayak begini ini kita seperti jadi orang lain.
Kayak kemarin bos-sekertaris itu, tensinya berubah. Kerasa ndak?”
Iya, permainan pertama mereka adalah Bos—Sekertaris yang
diprakarsai Arjuna. Ceritanya soal sekretaris yang salah dalam
bekerja dan dihukum bos sampai cuma bisa memekik kencang
keenakan.
Gak sembarangan, karena seperti ada alur cerita di dalam
percintaan. Nanang merasa gak bisa protes apalagi sembarangan
dititah Arjuna— karena di sini posisinya adalah sekertaris.
Kalau ditanya bagaimana rasanya, jelas cuma satu kata; luar
biasa. Nanang ingat bagaimana dirinya dicengkram erat, ditidurkan
di meja juga dihentak diatas pangkuan Arjuna yang duduk di kursi.
Terlebih waktu dasi yang dililit ke lehernya ditarik sampai agak
tercekik dan baru dilonggarkan begitu Nanang memohon.

71
balada dosmud

Gila, merindingnya masih berasa.


Jadi sejak itu, ada dua frasa beda makna soal ranjang— dicintai
dan bermain.
Kalau dicintai, berarti penuh cinta sebagaimana indahnya malam
pertama.
Kalau bermain, maka ikuti alur dan variasinya jelas berbeda.
Malam ini Nanang sudah siapkan kostum baru sebenarnya. Jas
dokter yang nanti dipakai Arjuna, sementara Nanang ambil bagian
sebagai pasien. Sayangnya gagal karena mood Arjuna sepertinya
lagi gak ke sana.
Eh, tapi jangan salah. Berarti bukan kostum yang turun tangan—
tapi toys. Tuh, lihat aja di depan wastafel sana ada yang sibuk pilih
toys mana yang sekiranya cocok buat sekarang.
“Mas.”
“Hm?” Jawab Arjuna tanpa berhenti pilih barang.
“Gamau pake itu.”
Arjuna tatap cermin, buat bersitatap dengan suaminya yang
berdiri di shower— tepat belakang tubuhnya.
“Kenapa?”
Nanang tersenyum, ulur dua tangannya seperti minta peluk,
“Mau mas aja.” Pinta Nanang dengan nada merajuk.
Arjuna terkekeh, masukan semua alat dan cuma bawa lube,
“sebentar aja berarti ya.”

72
balada dosmud

Nanang memekik senang, tarik suaminya ke bawah shower buat


mandi berdua. Ya kalau cuma dicintai biasa aja, cukup tangan
Arjuna yang turun tangan. Jelajahi jengkal demi jengkal dan
sesekali digoda pelan. Bibir Arjuna sibuk sambut undangan cinta
Andanang yang mau sesap bibirnya rakus.
Mereka sibuk, saling pagut dan bernafas di sela-sela cumbu.
Arjuna angkat suaminya ke gendongan dengan dua kaki melingkar
di pinggang. Tangannya cekatan pakaikan lube yang buat
permainan malam ini begitu mudah.
Uap panas pencampuran deru nafas dan air hangat ini bentuk
kabut putih— sampai tangan Nanang yang coba cari pegangan di
kaca ini tercetak jelas. Tubuhnya naik turun dihentak Arjuna begitu
dalam.
Gak perlu menunggu lama hingga akhirnya mereka sampai dan
berpelukan, istirahatkan masing-masing kening sampai terasa
seperti hirup nafas yang sama.
Arjuna buka mata, temukan Lazuardinya yang masih terpejam
dan terengah. Indah sekali, luar biasa indah. Mau bagaimanapun
cara mencintai dan bermain mereka, Arjuna selalu dibawa terbuai
oleh paras yang ronanya kalahkan mawar paling cantik di taman.
Ciuman di kening ini wujud terimakasih dan penghargaan
Arjuna. Terimakasih atas waktu dan kesediaannya berbagi cinta.

73
balada dosmud

Hari lelah ini gak lagi berasa, tertutup sama indah rupamu yang pasti
hantarkan mimpi indah sampai besok pagi terbangun dan kembali ke
realita.

***

Soal Arjuna dan Taman Bermain yang ia bentuk bersama


Lazuardinya seorang. Ibaratkan Arjuna sebagai pemilik taman dan
Nanang adalah taman yang jadi tempatnya bermain.
Bermain apa saja dan bagaimana caranya ya gak masalah—
selama tidak merusak dan melukai.
Kalau ditanya apa alasan Arjuna suka permainan cinta begini,
maka jawaban utamanya adalah satu. Menjaga Lazuardinya tetap
sehat sekaligus merasa dicintai.
Mengapa begitu?
Sesederhana tubuh lelaki gak semudah itu buat terus-terusan
dicintai. Perlu jeda istirahat yang mana makan waktu berhari-hari.
Sementara sebagai pria normal pada umumnya, libido mereka
baik Arjuna maupun Nanang sama-sama tinggi. Butuh penyaluran
dan Arjuna gak mau kalau gak ke suaminya.
Lalu alasan kedua, supaya Lazuardinya tetap merasa dicintai.
Arjuna daan Nanang sepakata kalau bercinta yang sampai ke inti
itu gak bisa setiap hari.

74
balada dosmud

Jadi dengan adanya permainan cinta ini, meski Lazuardinya


sedang rest sebentar dari ‘terima’ Arjuna di ‘dalam’, mereka masih
bisa tetap sampai ke ‘pelepasan’.
Entah dengan tangan atau dengan mulut— bebas. Supaya gak
bosan, dibalut dengan roleplay yang berikan experience berbeda
setiap ceritanya.
Begitu. Sambil menyelam minum air, sambil menjaga ya sambil
juga eksplorasi.
“Wah, gila.” Reza geleng-geleng kepala dengar inovasi hubungan
ranjang Arjuna.
“Yo kamu itu ya apa gak bosen genrenya vanilla tok.”
“Ya aku sama Dika sukanya itu. Nagih tau.”
“Beda genre emang kita ini.”
Reza kalau sama Dika. Genrenya selalu lembut dan manis. Paling
parah kalaupun harus sampai agak hot itu ya gak sebrutal Arjuna
Nanang. Paling pakai toys.
“Eh, Jun. Aku ada toys baru. Mau liat gak?” Arjuna buka tasnya.
Ambil handphone buat tunjukan gambar, “ini aku liat baru keluar.
Masih baru ini. Kayaknya cocok sama kamu.”
Arjuna mengernyit. Baca serius deskripsi barang yang memang
baru kali ini Arjuna lihat. Wah, sejenis outdoor toys.
“Coba sharelink, biar tak checkout.”
“Gila,” Reza tepuk pundak Arjuna, “langsung banget?”

75
balada dosmud

“Ya mainanku udah tak pakai semua, biar ada variasi lah.” Jelas
Arjuna sambil tipiskan sudut abu rokok di asbak.
Jam 13.00 sudah masuk. Waktunya dua Doktor muda ini kembali
ke seminar yang baru berakhir sore nanti. Wah, gak sabar Arjuna.
Semoga sore gosend nya udah sampai rumah.

***

“Hah? Paket apaan ini?” Nanang ambil paket dari depan rumah,
jalan masuk kamar sambil cek deskripsi paket yang kalau
deskripsinya gak tertulis, sudah pasti barang dinas.

Mas Juna

Mas, beli apaan si?

Walah, udah sampai?

Buka aja. Buat main.

Nanang buka cepat-cepat dan begitu dibuka muncul satu benda


kecil yang gak perlu dijelaskan sekalipun Nanang tau isinya apa.
Anjir, vibrator?
Sumpah ya, Arjuna ini ada aja barang yang dibeli. Mana
aneh-aneh lagi. Ini kayaknya sih bau-bau Nanang bakal dikerjain
lagi.

76
balada dosmud

Dan ya, benar sekali.


“Ayo ke mall.”
“Jangan bilang aku suruh pake itu?”
Arjuna gak jawab, cuma kasih seringai kecil lalu merunduk buat
berbisik di telinga kecil yang kegelian., “Pakai, ya. Tak tunggu di
mobil.”
Nanang ini masih malu mengakui, kalau sebenarnya Arjuna yang
ambil kontrol bermain itu ratusan kali lipat lebih menantang dan
selalu buat Nanang jatuh ke permainan.
Meski sekarang diminta pakai mainan yang agak gak nyaman di
bagian bawah pada awalnya, tapi syukurlah sepanjang perjalanan
gak kenapa-kenapa.
“Ini,” Arjuna serahkan kartu debit, “pakai aja, belanja
sepuasmu.”
“Beneran?”
“Iya. Tapi syaratnya cuma 30 menit.”
Nanang kesenengan— kapan lagi porotin Arjuna! — sampai lupa
kalau remote tersembunyi di tangan suaminya ini jadi tantangan
utama buat belanja nanti.
Kita lihat, bisa kamu belanja kalau tak mainkan, Dek?
Toko pertama, baju. Brand High-end yang harganya jelas dua
digit satu barang.

77
balada dosmud

Nanang masuk, sumringah lihat satu persatu barang. Pindah


kesana kemari sampai lupa kalau satu benda di bawah badannya ini
sebentar lagi jadi tantangan.
“Aduh!”
“Kenapa Mas?”
Nanang membungkuk sambil cengengesan, lambai tangan ke
SPG buat bilang kalau dirinya baik-baik saja. Lalu begitu SPG
pergi, matanya lirik Arjuna di kursi dalam toko yang cuma diam
dengan tangan di saku celana.
‘Anjir? Gila Mas juna.’
Nanang berjalan, getaran yang masih minim ini belum mampu
halangi langkahnya buat belanja. Kaki melangkah yang melewati
Arjuna ini seperti menantang buat diberi tambahan.
“Akh …” Nanang memekik tertahan. Tangannya berpegang ke
display topi dan sabuk di ujung toko.
Getar ini bertambah, beri gelenyar cukup terasa yang buat
libidonya naik. Syukur hari ini celana yang dipakai memang khusus
menahan, jadi gak ada kemungkinan tubuhnya menegang ini
kelihatan.
Arjuna terkekeh, suaminya ini hebat juga. Getaran segini masih
kuat bertahan. Demi moritin aku tah, Dek?
Toko kedua. IBox.
Nanang mau tantang balik Arjuna. Biar aja dia disana main
remote, Nanang juga ganti kuras isi ATM supaya sama-sama enak.

78
balada dosmud

Anehnya, getarannya berhenti. Arjuna juga di luar ibox sana cuma


bersandar ke tembok dan perhatikan Nanang dari jauh.
Aneh? Ini udahan apa kasian?
Nanang gak ambil pusing, dia pilih-pilih Macbook buat ganti
Macbook lamanya yang masih kado dari Arjuna waktu skripsian
dulu.
“Mas, boleh tanya?”
“Iya mas gimana?”
“Kalau yang ini sama yang ini, bagusan mana?”
“Ah, iya. Saya jelaskan ya, perbed— MAS? Loh?”
Nanang tepis tangan ini sambil bilang kalau dirinya baik— gak
perlu mendekat apalagi ditolong.
“Mas sakit perut? Jangan jongkok disini mas, duduk aja.”
Nanang mengulum senyum, kepalanya beralih tatap Arjuna yang
menyeringai penuh kemenangan di ujung sana. Nanang mendecih,
beri jari tengah buat Arjuna— yang jelas dibalas lebih lagi dong.
“Mas? Tambah sakit ya?”
Gila, Arjuna! Ini getarnya sampai gak bisa gerak!
Nanang hirup nafas, berdiri lalu bersikap seolah gak terjadi
apa-apa. Tersenyum dan lanjut lagi bicara.
“Ini k—kalo yan..g ihni ..” Nanang terpejam, “kalo yang ini
berarti bagus kan ya udah saya ambil satu langsung bayar gak pake
lama pilih yang paling mahal mas langsung bungkusin gak pake
lama.”

79
balada dosmud

Mas Ibox kedip-kedip bingung— gila ini orang.


Nanang sih bodo amat, dibawa keluar tas belanja ini gak peduli
barang yang paling mahal yang dia ambil. Biarin aja, biar isi ATM
orang yang jail di sana itu abis.
Toko terakhir karena sisa waktu cuma 12 menit. Showroom
mobil.
“Heh ngawur kamu.”
“Biarin wleeek.”
Nanang kayak berpacu sama tubuh yang sudah mau meledak.
Biarin aja Arjuna rugi, Nanang mau beli mobil satu buat tambahan.
Mobil listrik yang baru rilis kemarin.
Gak mahal anjir, gak usah lebay kenapa.
Demi tuhan ini Nanang udah gak sabar mau ke kamar mandi.
Getaran di bawah tubuhnya pasti Arjuna stel maximal. Sampai ini
Nanang stop mbak showroom yang mau jelaskan detail mobil dan
dia suruh buat segera buat nota.
“Totalnya seki—”
“Langsung gesek aja mbak udah buruan.”
Semua yang ada di kasir saling pandang, bingung ini orang gila
apa orang waras? Sambil kakinya gerak-gerak sambil matanya
kadang merem kadang kebuka.
Nota selesai, Nanang lari sambil tarik Arjuna ke kamar mandi.
Dibukanya satu bilik kosong lalu lepas celana dan bawa tangan
Arjuna ke bawah sana.

80
balada dosmud

“Cepet, aku udah ga kuat.”


Arjuna tertawa, lepas benda kecil yang sudah lengket ini lalu
ganti bawa tangannya bermain di tubuh cintanya yang sudah
bersandar penuh ke dinding.
Arjuna nikmati tiap ekspresi yang yang disuguhkan
Lazuardinya. Desah yang sulit-sulit ditahan, mata yang terpejam
terbuka sesekali dan tangan yang mengalung erat ke leher Arjuna.
“Akh!” Selesai, Nanang tarik nafas sambil tersenyum puas,
“tetep aku yang menang banyak tau.”
Arjuna mengangguk, dudukan lelakinya di dudukan toilet buat
bantu dibersihkan dan ganti celana dengan celana yang Arjuna
bawa dalam kantong belanja.
“Iya, gak apa-apa.”
“Ayo lagi!”
“Enggak. Miskin aku.”
“Hilih pelit.”
Ya beginilah permainan cinta kalau yang diajak bermainnya
Arjuna. Selalu penuh warna dan pengalaman. Nanang sungguh
amat merasa dijaga dan dicintai. Meski kadangkala permainannya
di luar nalar— tapi ya di sinilah serunya bermain. Jadi, ya .. welcome
to Arjuna’s playground.
***
Epilog:

81
balada dosmud

Nanang lagi-lagi cuma bisa geleng kepala. Paket misterius tanpa


deskripsi dengan nama penerima Arjuna. Apalagi kalo bukan alat
dinas.
Kata Arjuna buka aja gak apa-apa. Isinya baju main. Nanang
buka dan ya benar kok, baju hitam putih ala maid di film
jejepangan yang pernah Nanang tonton berdua sama Arjuna.
“Ih. Cakep dah. Mana badan gua udah rada bagus gegara gym.”
Nanang perhatikan baju yang dia gantung di hanger buat di foto ke
Arjuna.
Ah, pake aja kali ya?
Bajunya sempit. Ada baju sama rok kecil yang diikat dan gak
sampai nutup bagian belakang. Topinya juga lucu.
Nanang berkaca, putar-putar badan di kaca lalu foto beberapa
yang bagus buat dikirim ke Arjuna. Biasanya sih Arjuna cuma bales
jempol atau gak dibales sama sekali kalau Nanang kirim foto nakal
begini. Cuma kali ini berbeda.

From: Mas Juna


Mau tak acak-acak bajumu.

Wow, jadi takut— tapi excited juga. Kira-kira apa yang bakal
Arjuna lakuin hari ini ya?

82
balada dosmud

Sambil menunggu, Nanang dandan rapih. Mandi juga


sebelumnya supaya begitu dateng Arjuna nanti bisa tinggal
langsung dihap!
Ya, itu dia tukang acak-acaknya sampai.
Arjuna buka pintu kamar, taruh tas di kursi dan bersedekap
tangan, tersenyum tatap suaminya yang sudah duduk manis di
bawah lantai dekat kaca sana.
Dalam benak Arjuna sudah ada skenario macam-macam buat
agenda bermain kali ini.
“Loh, dibawah? Lagi apa kamu di kamar saya?”
Permainannya, Nanang adalah pelayan. Ingat, ya.
“Hm, lagi beresin kasur tadi, Mas.” Nanang jawab dengan ikuti
skenario Arjuna.
“Oh, gitu?” Arjuna mendekat, lepas dasinya yang mengikat lalu
jongkok. Setarakan muka dengan pelayannya yang sudah pasang
muka minta digoda.
“Liat saya.” Titah Arjuna tegas. Nanang mendongka dan terima
gelap kemudian— matanya ditutupi dasi yang kini melilit di mata.
Sekali angkat, Nanang dibawa dan direbah agak kasar ke atas
kasur.
“Buat apa beresin kasur kalau tau bakal berantakan lagi, hm?”
Arjuna bergerak merayap, kukung tubuh yang berkali lipat lebih
menggoda dengan kostum yang dipakai.

83
balada dosmud

Nanang terkekeh, jemarinya merayap di dada bidang lelaki yang


masih berkemeja lengkap. Merambat rengkuh leher dan tarik leher
Arjuna turun sampai hidung mereka bersentuhan.
“Jadi mau ngacak-ngacak aku gak?”
Arjuna terkekeh, “kalau jadi pelayan itu yang beretika.”
Nanang menyeringai, majukan wajah sampai bisa berbisik di
telinga Arjuna pelan, “tuanku ini mau dilayanin aja gak? Bosen
beresin rumah, saya beresin yang udah bangun aja ya.”
Skenarionya mau sepanjang apa, terserah mereka yanh pegang
lakon. Kali ini sang Tuan dan Pelayan mau habiskan malam di atas
kasur hangat— dan kamu, iya kamu yang baca … tolong mundur.
Dramanya mau dimulai.

84
balada dosmud

Tanya Tanpa Jawab


Arjuna berjalan lunglai dengan tatapan nyaris kosong sepanjang
lorong rumah sakit. Beberapa kali diperhatikan sekitar— mungkin
terlihat kasihan, karena arah kembali lelaki ini berasal dari satu
ruangan dokter yang khusus tangani satu penyakit yang akhir-akhir
ini jadi sebab banyak orang berpulang.
“Saya lalu harus apa, dok?”
“Menunggu, Pak. Cuma itu … berdoa semoga membaik dan bisa
pulang.”
“Semoga?”
“Iya … semoga, pak … karena buat sembuh dari virus tanpa obat,
caranya cuma dua, doa dan berusaha.”
Putusan akhir yang Arjuna dengar sekian menit lalu itu
berputar. Bertambah lagi pilunya cuma dengan lihat Nanang yang
merebah di ranjang rawat dalam kondisi sesak yang gak kunjung
membaik.
“Pak, maaf bisa jangan berdiri di depan pintu?”
“Oh— ya, maaf.” Arjuna bergeser, persilahkan Perawat bawa lagi
satu pasien ke dalam IGD.
Hiruk pikuk rumah sakit dengan segala kepanikan dan
kecemasan, ragam wajah di ruang tunggu yang pancarkan satu
harap yang sama; soal kesembuhan yang tersayang.
Sebagaimana Arjuna yang juga berharap kesembuhan buat
Andanangnya— yang meski sudah Arjuna jaga setengah mati,

85
balada dosmud

nyatanya tetap harus rasa satu virus paling mereka hindari. Iya,
Covid - 19. Sakit yang katanya cuma punya dua pilihan; bertahan,
atau berpulang ke Tuhan
***
Arjuna gak pernah menyangka, kalau akan tiba harinya wabah
ini sampai ke orang terdekat. Padahal kalau mau ditelisik lebih jauh
sepanjang beberapa bulan terakhir, Arjuna berada di tingkat yang
cukup waspada sejak awal pandemi ini merajalela.
Bukan cuma karena kesehatan pribadi, tapi di sisinya ada satu
orang yang andaikata terjangkit maka beban sakit yang diterima
juga berkali-kali lipat.
Covid ini virus, menyerang paru-paru. Sementara Nanang
pengidap Asma akut— masuk dalam jajaran komorbid yang harus
dijaga ekstra kuat.
‘Jalan-jalan kemana? Maskernya dobel dek.’
‘Sek, bajumu diganti dulu. Baru dari luar.’
‘Dek, vitaminnya jangan kelewat, bagus itu buat imun tubuh.’
Arjuna detail jaga suaminya. Hand Sanitizer di setiap pojok
ruangan. Alat cuci tangan baru yang terpasang di depan halaman.
Pembersih dan pelembab udara juga sudah tertempel di ruangan.
Arjuna kalau sudah perkara kesehatan, jelas gak main-main.
Sayangnya manusia, cuma bisa berencana dan menjaga.

86
balada dosmud

Kemarin malam Arjuna terbangun karena Nanang yang terus


menerus gerak gelisah. Suaminya ini bersandar di kepala ranjang
sambil berusaha tenang buat tarik napas pelan.
“Dek? Heh? Lah gak tidur kamu daritadi?”
“Gak bisa tidur, Mas …”
“Kok ya gak bangunin aku dari tadi toh, Dek.” Arjuna beringsut
bangun, tarik pelan suaminya buat beranjak sedikit dan pindah
duduk di sela kakinya, “nyender badanku sini.”
Arjuna curiga, kalau ini bukan sakit biasa. Pun begitu cek suhu
dan saturasi oksigen, saturasi di angka 90. Suhu tubuh di angka 38
derajat— yang ada di pikiran Arjuna cuma satu; harus segera ke
rumah sakit.
Arjuna kebut laju mobil buat sampai IGD. Pacu gas secepat
mungkin buat sampai ke Rumah sakit yang dari jauh sudah
kelihatan ramai karena wabah ini memang sedang tinggi-tingginya.
Beruntung ada satu ranjang kosong di IGD. Arjuna masih bisa
beri tempat layak buat Nanang menunggu bagian diperiksa.
“Mas …” Sayup mata sayu ini terbuka, panggil Arjuna yang tanpa
diminta dua kali langsung mendekat, “aku kenapa ya?”
Arjuna cuma bisa tersenyum, usap surai halus ini sambil
jelaskan sebisanya—setenang mungkin. Supaya jangan sampai yang
dengar informasinya ini ketakutan.
“... begitu, jadi ya masih dalam tahap pemeriksaan. namanya juga
sedang diusahakan supaya gak salah penanganan, makanya tak bawa ke

87
balada dosmud

rumah sakit.” Penjelasan ini selesai, bersamaan dengan nama Arjuna


yang diminta buat datang ke ruang dokter.
Seyakin Arjuna, Nanang gak mungkin covid. Kalau lihat lagi
seketat apa penjagaan yang dia usahakan di rumah.
“Hasil rontgen pasien ditemukan bercak putih di paru-paru, gejala
dan kondisi Andanang ini jelas suspect covid, Pak … dengan adanya
bercak yang kami temukan di paru-paru suami bapak ini kami harus
tetap menjalankan prosedur, harus tetap diisolasi di ruangan khusus—”
“Sebentar,” selak Arjuna cepat, ia perhatikan layar hitam di
depan, “ini masuk ke golongan parah?”
Arjuna mengernyit kening. Dokter hela nafas sebentar sebelum
kembali lanjutkan penjelasan.
“Kita evaluasi dulu 1X24 Jam, kalau keadaan makin buruk, mau gak
mau prosedur berikutnya harus kita laksanakan. Apalagi suami anda ini
komorbid asma akut.”
“Kenapa harus begitu?”
“Karena khawatir virus ini justru buat asma yang biasa-biasa saja bisa
jadi lebih parah karena ada virus ini sebagai pemicu.”
“Isolasi dimana, Dok?”
Dokter hela nafas dalam, tatap Arjuna dan ucap satu kalimat
yang buat hati Arjuna seketika jatuh ke dasar, “Isolasi ada di Lantai 3
rumah sakit. Ruang khusus yang cuma bisa dimasuki pasien dan petugas
medis.”
***

88
balada dosmud

“Mas, kok perawatnya bawa kursi roda?” Nanang dan tatapan


bertanya ini cuma bisa Arjuna jawab dengan elusan pelan di
kepala— karena Arjuna sendiri bingung, harus bilang apa.
Pagi ini Arjuna dipanggil buat diberitahu hasil uji lab— dan
keputusannya mutlak Nanang harus masuk ruang isolasi.
“Pak, suaminya mau ditaruh ke kursi roda dibantu kami atau
bapak?”
“Saya. Saya saja.” Arjuna berdiri, hadap suaminya dan gendong
buat ditaruh duduk di kursi roda. Netra keduanya tertaut, cuma
selayang pandang yang cepat-cepat dialihkan Arjuna.
“Mas …”
“Dek,” Arjuna merunduk, sejajarkan mata supaya kalimatnya
tersampaikan sehabis ini, “seperti yang Mas jelaskan ke kamu
kemarin, sesak napasmu ini ada indikasi covid, sampai hari ini
makin gak enak, toh? Supaya gak salah penanganan, kamu harus
dipisah dulu dari ruangan biasa ke ruangan isolasi.”
Arjuna usap pipi suaminya yang cuma bergeming, Nanang gak
bergeming. Sama sekali gak beri reaksi apapun sampai akhirnya
kursi roda yang dinaiki ini keluar dan berhenti di lift. Arjuna tahan
tangan Ners yang hendak tekan tombol buka karena perlu
memastikan satu hal;
“Saya bisa ikut kan?”
“Ruang isolasi tidak bisa dimasuki siapapun pak kecuali dokter
dan perawat jaga.”

89
balada dosmud

“Antar sampai pintu gitu itu apa gak bisa?”


“Maaf pak, ruangan benar-benar steril, cuma yang bertugas yang
bisa masuk.”
Arjuna masih tanya beberapa hal, soal teknis dan prosedur yang
jelas didengar Nanang. Soal ruang isolasi yang sekelebat ia dengar
khusus buat orang tertentu.
“Mas …” Panggilan pelan ini selak pembicaraan dua yang berdiri
di antara Nanang.
“Iya?” Arjuna bersimpuh, sejajarkan netra keduanya.
“Disana nanti, aku sama siapa?”
iya, sama siapa? Arjuna gak mungkin bisa naik dan temani di atas
nanti.
“Mas ikut kan?” lirih, tapi sayat hati Arjuna sekali dengar.
Netra Arjuna selami kelip sendu lelakinya, bingung susun
kalimat bagaimana buat beritahu bahwa kondisinya kini Arjuna gak
bisa sama sekali jaga Andanang.
“Dek …” Arjuna usap kepala cintanya, dalam gemuruh hati yang
juga tak kalah kalut.
Arjuna harus jawab apa? Menjanjikan dirinya selalu ada juga
gak merubah fakta kalau Nanang benar-benar sendirian di sana.
Mata Nanang ini mengembun, cengkram lemas buku tangan
Arjuna sambil layangkan tatapan penuh harap.

90
balada dosmud

Namun sayangnya Ini adalah sebuah tanya tanpa pernah bertemu


jawab. Karena Arjuna masih kebingungan sampai akhirnya pintu lift
tertutup bawa Nanang ke lantai 3 tanpa ikut sertakan dirinya.
Arjuna selalu usahakan yg terbaik buat Nanang— apapun, meski
taruhan nyawa sekalipun Arjuna beri. Tapi kali ini, pertama kali
sepanjang segala usahanya, Arjuna bahkan gak bisa berbuat apa
apa. Sekedar beri kalimat penenang juga gak mampu— ini semua,
di luar kuasa Arjuna.
Bumi yang Arjuna pijak seperti hilang, lelaki ini bingung harus
melangkah kemana. Duduk lalu hela nafas perlahan dan terus
mencoba berpikir positif di tengah hiruk pikuk rumah sakit yang
agak mencekam.
Mas .. Aku sama siapa?
Kalimat sendu ini terus terngiang sepanjang jalan pulang ke
rumah. Arjuna masuki kamar dengan pikiran yang kosong seperti
baru kehilangan hal besar.
Ini mimpi gak? Kenapa sesaknya begitu nyata? Kenapa gemetar
tubuhnya ini juga gak mereda? Tolong jawab, Arjuna harus apa?
Tuhan … kalau ini mimpi, tolong bangunkan.
***
Sayangnya, semua yang terjadi kemarin sama sekali gak mimpi.
Setelahnya, hari Arjuna gak lagi tenang. Ia cuma bisa dapat kabar
soal Nanang dengan bersabar tunggu handphonenya berdering.
“Halo, dek?” Arjuna gak peduli makannya yang baru sesuap.

91
balada dosmud

“Mas … aku keliatan gak?” Suara diseberang sana itu lemas,


terengah seperti kerahkan sekuat tenaga buat bicara.
“... tadi susternya jelasin ke aku soal kenapa harus diisolasi … di sini
isinya macem-macem mas. Ada yang udah parah banget, ada yang kayak
aku juga.”
“Kamu kalau sepi, telepon Mas ya. Soalnya kalau Mas yang
nelpon duluan, takut justru salah timing kamunya lagi tidur.”
Begitu terus sampai keesokan harinya. Masih sama, Arjuna yang
hitung tiap menit berlalu, periksa handphone barangkali ada satu
panggilan datang— yang sekalinya berbunyi pasti langsung
diangkat tanpa menunggu lama.
“Makan yang banyak ya mas? Aku bisa cepet sembuh ya?”
“Bisa. Makan teratur, semangat buat sehat. Nanti imun tubuhnya
baik. Virus ini kan dilawannya sama imun, Dek. Selain makanan
dan obat, kamunya juga harus yakin ya?”
Arjuna gak bisa berbuat apa-apa selain begini; menunggu dan
menenangkan. Selama virus di tubuh Nanang masih positif, maka
gak bisa Arjuna temani lelakinya ini si ruang rawat.
Setiap malamnya, Arjuna ketakutan. Rasa takut yang sulit sekali
buat matanya terpejam dan berakhir begadang.
Merawat orang sakit dari kejauhan begini, menyiksa batinnya.
Arjuna gak tau, apa yang ada di dalam ruang isolasi sana. Juga gak
bisa meraba bagaimana kondisi dan situasi yang harus suaminya
hadapi sendirian di sana.

92
balada dosmud

“Mas! Aku udah makaaan!”


“Habis?”
“Habis! Semuanya! Minumnya juga abiiis pokoknya!
Arjuna juga kerap kali kebingungan tiap kali pertanyaan— mas,
aku kapan pulang— itu kedengaran. Arjuna sendiri gak tau. Entah
sampai berapa hari kedepan. Bahkan apakah bertemu lagi atau
enggak juga bisa jadi masuk opsi dari segala kemungkinan yang
ada.
Arjuna ke rumah sakit juga percuma karena pasti cuman kena
usir pulang akibat gak berkepentingan.
Ini penyakit macam apa? Bisa-bisanya yang sakit harus berjuang
lawan semuanya sendirian.
Nanang itu suka susah tidur kalau gelap.
Nanang juga sering panik kalau nafasnya gak normal.
Lantas disana siapa yang bantu suaminya lawan itu semua?
Arjuna cuma bisa rasa sesak yang begitu asing di hati begitu
panggilan video mereka berhenti. Rasanya seperti dekat, tapi
ditinggal.
Padahal ruangannya cuma berjarak 3 lantai dari tempat Arjuna
berdiri ini— di tempat parkir rumah sakit. Tapi kenapa rasanya
jauh sekali?
“Mas!”
“Dek, gimana? Ada apa?”
“Mas dimana? Parkiran rumah sakit ya?”

93
balada dosmud

“Iya. Mampir sebentar. Keliatan ndak masnya dari atas?”


“Gak tau, gak bisa liat— Mas, obat aku kenapa tambah banyak? Aku
kenapa?”
“Mungkin biar makin joss lawan virus itu.”
“Ih! Gitu ah.”
Arjuna juga takut, Na. Sangat takut begitu diberi tau kondisi kamu itu
makin memburuk.
“Mas?”
“Ya?”
“Ih diem aja deh! Eh iya— aku tadi makannya enak banget.
Lumayan!”
“Oh ya? Makan apa?”
Cuit suara yang meski lesu tapi terdengar ceria ini mengalun,
masuk telinga dan mampu redakan kemelut batin Arjuna yang
habis dibolak-balik keadaan belakangan.
Selama Lazuardinya Masih bicara tenang dan ramai begini,
Arjuna seperti masih punya harapan baik— karena hal yang paling
Arjuna harapkan buat gak terjadi adalah suaminya ketakutan.
Iya, ketakutan sendirian— karena kalau sampai itu kejadian,
jelas gak ada hal apapun yang bisa ia lakukan selain diam.
***
Arjuna ini pulang selalu malam dan bangun selalu pagi. Hidup
seperti gak peduli waktu dan diri sendiri. Pulang pergi rumah sakit

94
balada dosmud

ketika jelas tahu kalau sampai sana juga gak akan bisa bertemu
Nanang.
Arini bukan gak menghargai jerih payah Arjuna, tapi apa
bedanya kalau nanti Arjuna sama-sama tumbang?
Arini sudah ambil bagian bantu Arjuna di beberapa hal, tapi
tetap gak diizinkan buat bantu soal hal yang berhubungan dengan
Nanang. Setingkat ganti buat follow up ke rumah sakit juga Arjuna
maunya diri sendiri, enggan digantikan.
“Mas, apa gak baiknya kabari keluarga di Malang atau Bekasi?”
“Nanti aja.” Arjuna lap bibir pakai tisu. Beranjak buat pergi.
“Mas?”
Arjuna berhenti. Dari posisi belakangi Arini begini ini, ia cuma
bisa hela nafas dan berkata final, “kalau sikon sudah tenang, nanti
tak kabari.”
Arjuna punya alasan sendiri kenapa mau urus suaminya tanpa
libatkan siapapun.
Arjuna ini cuma meminimalisir banyak hal yang buat situasinya
makin rumit. Melibatkan keluarga, berarti ada banyak kepala yang
juga akan beri pendapat dan pemikiran terbaik masing-masing soal
penyembuhan Nanang.
Arjuna bukan meragukan, tapi ia juga manusia yang cuma punya
dua telinga buat mendengar dan satu kepala buat menimbang
keputusan.

95
balada dosmud

Arjuna takut, kalau dari sekian banyaknya pendapat, beberapanya


justru pojokan dan salahkan Arjuna.
***
Arjuna baru mau mencoba terpejam buat redam lelah seharian.
Sampai telepon tiba-tiba di tengah malam ini buatnya bangun
kembali dan terkaget.
Nanang?
Suaminya ini gak pernah telepon selain di jam makan. Gak
pernah di jam-jam istirahat apalagi tengah malam begini.
“Dek?” Arjuna khawatir. Layar panggilan video ini gelap.
“Halo? Ada apa? Kenapa, dek?” Arjuna beringsut dari duduknya.
Berdiri dengan kening mengernyit penasaran. Suara yang terdengar
cuma bising mesin dan suara-suara malam.
“Mas … sepi … takut …”
“Dek, dinyalakan videonya coba biar masnya nemenin.”
Tidak diubah. Nanang seperti enggan dan cuma terisak pelan.
Arjuna duduk di pojokan. Frustasi— karena bingung harus
bagaimana tenangkan suaminya tanpa ada aksi nyata apapun yang
bisa dilakukan.
“Dek … mas boleh coba dilihatkan sikonnya disana gimana?”
“Takut … mas.” Cuma satu kalimat ini yang bisa wakilkan betapa
kalit hati lelaki yanh cuma bisa meringkuk diatas ranjang putih ini
sendirian.

96
balada dosmud

Nanang selalu berusaha tidur sebelum malam datang, bukan


karena apapun melainkan enggan lihat hal-hal yang buat dirinya
ketakutan.
Bangun malam yang tiba-tiba ini dipicu derit roda ranjang rawat
yang berasal dari samping kasurnya. Tanpa harus bertanya, Nanang
tahu kenapa ranjang sebelah dibawa keluar.
Karena sudah gak lagi bernyawa.
Meski berusaha ceria, Nanang gak bodoh buat paham kalau
ruangan ini seperti pintu akhir dari virus hebat yang mana
kosongnya cuman karena dua hal; sembuh atau berpulang ke tuhan.
Bukan sekali dua kali Nanang curi dengar pembicaraan ranjang
kanan kiri yang cuma bisa berharap doa dan ketakutan. Kemarin
Nanang lihat ranjang sebelahnya ini masih beri senyum padanya,
tapi barusan sudah tertutup kain putih dan keluar.
Nanang sedari awal yakin bisa sembuh— tapi rasa takut
tiba-tiba menyeruak ini buat dirinya ketakutan setengah mati.
Takut luar biasa sampai gemetar gak bisa balas suara suaminya di
seberang panggilan.
Telepon putus sepihak.
Arjuna mencelos, netranya kaku kaku bergerak seperti hilang
fokus. Jemarinya mengerat. Dalam benaknya gak ada hal apapun
yang terlintas selain satu; pergi secepat mungkin ke rumah sakit.
***
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

97
balada dosmud

“Suami saya! Di lantai 3. Barusan telepon saya sambil ketakutan,


apa bisa tolong dilihat ada apa?”
“Maaf sekali pak, kami harus tunggu jadwal dokter jaga yang
masuk ke atas buat memastikan.”
“Tapi suami saya ini sendirian! Apa gak ada cara lain?”
Kalimat-kalimat penjelas ini sama sekali gak membantu. Karena
pada akhirnya sama saja gak ada jalan kelur dari kekhawatiran
Arjuna yang sudah diujung tanduk.
“Kalau begitu apa gak bisa saya yang naik? Pakai APD atau
apapun terserah! Bayar juga sama sekali gak masalah!”
Kali ini, Arjuna gak peduli mukanya mau ditaruh mana, ia cuma
mau lihat Andanangnya kenapa sampai terisak pilu sendirian.
Susah, yang Arjuna lawan kali ini adalah protokol kesehatan
sebuah rumah sakit. Bahkan mau semarah dan sekesal apapun, gak
sembarangan keputusan bisa diambil.
Rematan tangan Arjuna di handphonenya mengerat, matanya
yang tegas nyalang ini cuma sembunyikan rasa takut—ketakutan
yang sama yang pernah ia rasa dulu, sewaktu mendiang adiknya dirawat.
“Saya ini minta tolong, andaik—.”
“Arjuna?”
Seluruh mata beralih, ke satu pria dengan tagar nama Direktur
rumah sakit yang baru saja turun dari lantai 2.

98
balada dosmud

Pria berkemeja kotak ini maju, ke hadapan Arjuna. Keduanya


bersitatap, rasanya bukan lagi sekedar cuma kenal— tapi seperti
teman lama yang akhirnya kembali dipertemukan.
***
Nanang tau ada satu langkah agak tergesa ke arahnya. Seperti
biasa, dengan tampilan putih-putih APD yang entah kenapa makin
hari makin buat Nanang selalu ketakutan.
“Mas Andanang?”
“I—iya?” Nanang seka airmatanya. Mendongak tatap satu mata
yang begitu asing terlihat.
“Masnya ada apa ya? Suaminya di bawah khawatir sekali.”
Nanang mengerjap pelan. Beralih tatap handphone yang punya
puluhan panggilan tak terjawab dari Arjuna. Dalam benak lelaki ini
gak sangka kalau Arjuna sampai rela berlari ditengah malam cuma
demi memastikan keadaannya.
“Coba dihubungi suaminya ya, saya kembali ke bawah.”
Nanang memang ketakutan. Rasa takut yang sampai buat lelaki
ini bingung harus bagaimana supaya tenang— karena makin ia
dengar suara Arjuna justru bukan tenang yang ia dapat.
“Dek! Halo?”
Nanang teguk salivanya pelan sebelum jawab panggilan.
“M—mas ..”
“Gimana? Ada apa? Kenapa telepon masnya gak diangkat-angkat?”

99
balada dosmud

Nanang lihat wajah Arjuna yang di layar. Wajah yang tetap


mencoba tenang meski kelihatan benar gurat kekhawatiran.
Arjuna khawatir luar bisa sampai mau mati. Gak tau apa jadinya
kalau gak ada temannya yang bantu tadi.
‘Tolong satu yang jaga malam ini naik, saya minta kabari direct ke
saya. Setiap 2 jam, cek berkala.’
Nanti, pasti Arjuna ceritakan bagaimana bisa akhirnya ada satu
keistimewaan buat dirinya dan Nanang. Nanti juga pasti ia
ceritakan soal kenapa dirinya dan direktur rumah sakit ini saling
kenal— kenal dekat sampai bisa beri jalan buat Arjuna ketahui
kondisi Nanang di atas sana meski terhadang prosedur ini itu.
Paling penting sekarang adalah Arjuna mau tahu, kenapa
Nanangnya ketakutan sampai menangis.
“Takut Mas …”
“Takut apa, Dek?”
“Tadi ada yang meninggal baru di bawa keluar …”
Arjuna teguk ludahnya.
“Mas …”
“Iya?”
“Aku gak takut mati …,”
“Dek, ngomongnya ..”
“aku cuma takut, kalau emang harus pergi, masa cuma begini
perpisahannya ..”

100
balada dosmud

“Dek.” Arjuna tegas bicara, “ngomongin yang baik-baik aja. Gak


suka Mas dengernya.”
Arjuna hela nafas dalam, rapatkan jaket buat halau angin malam
di teman rumah sakit yang cuma berisi Arjuna sendirian.
“Masih susah nafas ndak?”
“Cuma berat Mas … tapi dari kemaren makin berat gitu..”
Nanang cerita banyak hal, semuanya diaminkan Arjuna lewat
senyuman dan jawaban-jawaban singkat. Beberapa kali terbersit
kekhawatiran karena Nanang yang sibuk bicara ini berbanding
terbalik dengan situasi pernafasannya yang kurang baik … tapi
Arjuna coba tepis rasa khawatirnya dengan berganti berpikir
positif— suaminya kuat sekali, pasti sebentar lagi sembuh.
“Mas baterai hpnya mau abis, bisa dicas besok nunggu susternya
dateng.” Nanang kelihatan panik. Lelaki ini takut kalau tiba-tiba
panggilan terputus.
“Sek, aku bawa powerbank ini. Sebentar tak kasihkan ke dokter
jaga. Kamu tunggu disitu ya. Mas masuk dulu.”
Arjuna gak matikan panggilan video. Berjalan sedikit lari ke
dalam dengan kamera yang entah disengaja atau enggak masih
menghadap ke muka.
Arjuna gak bisa berbohong kalau panik, mukanya jelas
kelihatan, beriringan dengan deru nafas memburu dan penekanan
di tiap kalimat.

101
balada dosmud

“Malam, saya mau titip …” Arjuna tegas memastikan barang


sekecil powerbank ini sampai ke atas.
Arjuna panik begini, menyadarkan Nanang pada hal bodoh yang
dia lakukan setengah tahun lalu— waktu beri kabar bohong
kecelakaan cuma demi Arjuna pulang.
Mungkin sebegini ya paniknya Arjuna? Apalagi kalau sambil
bawa mobil … pasti ngebut. Arjunanya gak berbohong soal gak ada
namanya kata bercanda buat Nanang.
“Sudah ya — loh? Dek? Kok Nangis? Ada apa?” Arjuna duduk di
bangku depan taman rumah sakit. Nanang yang masih berbaring
dengan mata berembun jatuh ini cuma geleng kepala kecil.
“Ada yang sakit tah? Semisal ada biar tak kabari, atau kalau
misal urgent sekali nanti tak—”
“Kangen sama Mas.” Selak Nanang lirih, jemarinya usap satu titik
luruh di pipi kanan, “mau pulang …”
Arjuna berakhir cuma bisa diam dan tatap lelakinya.
Mengangguk-ngangguk kecil sambil coba bicara pelan— kalau
pasti kamu pulang, ayo sehat dulu ya.
“Mas dingin gak di situ? Ke hotel aja ..”
“Ndak ik, adem kok ya.” Arjun mengulum senyum kecil, “Ayo
tidur? Tak temenin sampai kamu tidur, baru nanti panggilannya tak
matikan.”

102
balada dosmud

Mata cantik kecintaan Arjuna ini sayup-sayup terpejam. Arjuna


dan Nanang saling selami netra dalam hening. Cuma diam tapi,
seperti jelaskan banyak hal.
Soal rindu dan harapan. Soal nyatanya meski jarak gak seberapa,
tapi tetap sakit yang terasa.
Arjuna mau usap-usap sayang rambut cintanya sampai terlelap,
mau pastikan lelakinya tidur tanpa perlu ketakutan soal apapun.
Hening malam ini cuma ditemani suara jangkrik, dingin gak
begitu Arjuna pedulikan. Ia cuma perlu pastikan malam ini
Nanangnya tidur nyenyak.
Terpejam, sempurna. Dengkur halus terdengar pelan. Arjuna
matikan microphone, supaya lelakinya gak perlu terbangun dengar
berisiknya Arjuna tahan tangis sendirian di sini.
Binar tenang di matanya berubah— menyendu sampai
mengembun. Kamera berganti agak turun ke dada, gak lagi
tunjukan wajah Arjuna. Karena Arjuna sibuk— sibuk seka
airmatanya yng sejak tadi tertahan.
Ya Tuhan, sudah hari ketujuh … apa gak bisa cepat selesai?
Arjuna ini payah kalau beri afeksi lewat kata … kadangkala
merasa kalimatnya gak bagus dan gak cukup buat ganti absen
hadirnya di sisi Nanang. Ia mau genggam jemari lelakinya sambil
diusap sayang, dipeluk sambil didoakan. Arjuna lebih suka kelelahan
merawat dibanding lelah tidak bisa berbuat apapun.

103
balada dosmud

Jempol besarnya usap-usap layar yang menampilkan wajah polos


tertidur Andanang. Semoga lekas sehat, gak mimpi buruk ya … Mas mau
cepat bisa peluk kamu.

***
Situasinya semakin memburuk. Kabar-kabar gak mengenakan
itu silih berganti datang. Arini cuma bisa menghela nafas melihat
betapa keras kakak tertuanya ini bergerak.
“Keluarga Andanang? Ini obat yang harus ditebus …”
“Keluarga Andanang? Berdasarkan keterangan, hari ini kondisi paru
masih berat …”
“Keluarga andanang?”
Masih banyak lagi. Arjuna seperti setrika yang mondar mandir
kesana kemari. Apotek—resepsionis—atm— rumah. Berulang terus
begitu tanpa pernah dapat satu berita yang buat hatinya lega.
“Sampai saat ini saturasi suami anda masih dibawah sekali,
beberapa alat bantu sudah kami pasang, tapi ini adalah kondisi
paling rendah setelah sekian hari kebelakang, Pak.”
Ya Tuhan … Rasanya muak.
kalimat dokter ini bersahutan dengan Carut marut berita covid
yang justru marak hadir ditengah dirinya yang terus memupuk
harap buat kesembuhan Nanang. Sejak kondisi kesehatan Nanang
dikabarkan menurun, rasanya raga Arjuna seperti dipaksa berpacu
dengan dua hal; waktu dan kesempatan.

104
balada dosmud

Arjuna selalu tancap gas tiap kali pemberitahuan tebus obat


datang, gak mau ulur waktu sampai Nanang telat ditangani. Arjuna
selalu waspada, ditengah malam sepi sekalipun, getar handphone
sedikit sudah mampu buat matanya terjaga.
“Mas, ayo tak anter ke rumah sakit. Badanmu ini ambruk kalau
terus-terusan nyupir sendiri bolak balik.” Arini gak terima
penolakan. Tarik kakak nya ke bangku penumpang dan ganti bawa
mobil dengan kecepatan sedang.
Arini ini mengerti sekali soal Arjuna dan isi hati lelaki ini.
Iya, Arini mengerti. Jadi gak ada hal apapun yang bisa Arini
upayakan selain berdoa supaya gak ada kabar buruk lagi yang
datang— karena Arini enggak Arjuna rasakan kehilangan dengan sebab
yang sama buat kedua kalinya.

***
Ada alasan soal kenapa Arjuna gak menganggap remeh
kesehatan. Juga alasan kenapa Arjuna juga selalu rajin ajak
keluarga dan orang tercinta buat cek setidaknya 6 bulan sekali.
Bukan karena apapun melainkan Arjuna enggan kalau penyakit
jadi sebab perginya orang orang tersayang.
Arjuna berusaha, buat gak punya urusan lebih dengan rumah
sakit selain check up atau sekedar penanganan pertama.

105
balada dosmud

Kalau ditanya, kenapa menghindar? Maka jawabannya


sesederhana melupakan rasa takut tak berdasar yang masih
menghantuinya sampai hari ini.
Arjuna pernah menunggu sembuhnya seseorang di dalam ruang
bau obat yang nyatanya berujung kehilangan.
‘Mas, Aksara sudah ndak ada’
Arjuna pernah disalahkan buat usahanya yang sudah
mati-matian.
‘Yo kamu sih, Juna. Mbok ya harus hubungi bude! Kok ke rumah sakit
yang ini, kan bude tau mana yang luwih apik! Budemu ki dokter loh ya!’
Arjuna pernah benci ruang serba putih ini sampai
bertahun-tahun dan baru berani lawan rasa takutnya begitu mau
tak mau harus berurusan kembali di sana.
Arjuna yang sekarang keras kepala enggan dibantu dan mau
urus segalanya sendirian ini, sejatinya cuma manifestasi ego buat
memperbaiki hal yang dulu gak bisa disempurnakan— Dengan cara
mengusahakan yang terbaik buat Nanang.
Itulah kenapa Arjuna berhati-hati sekali soal kesehatan
Nanang— bahkan ketika covid ini menyerang. Arjuna memilih buat
urus sendirian ketika masihlah ada keluarga yang juga bisa bantu. .
Arjuna gak mau dibantu siapapun, supaya kalau perlu ada
pengambilan keputusan terkait penanganan suaminya ini gak perlu
menunggu lama— karena dulu, Arjuna pernah menunggu hadirnya
seseorang yang berujung keterlambatan.

106
balada dosmud

‘Mas, bapaknya tidak bisa dihubungi ya? Ini perlu keputusan apa
Adiknya mas harus masuk ICU atau tidak.’
Dulu, Arjuna gak bisa ambil keputusan langsung soal
penanganan sang adik karena umurnya masih belum cukup dewasa.
Jadi kali ini, mau sampai titik darah penghabisan sekalipun,
Arjuna terjang supaya Andanangnya terselamatkan.
Berat .. berat sekali yang harus Arjuna lewati sembari mengurus
Nanang begini— karena sama saja sengan mengundang lagi
memori-memori sakit hati dahulu.
Arjuna bukan cuma pernah sekedar kehilangan, lelaki ini juga pernah
disalahkan.
Arjuna ini bawa rasa bersalah yang gak berdasar sepanjang
umurnya. Sekedar kalimat penenang apalagi wejangan dari Arini
juga gak akan mempan.
Karena Arjuna kini bukan hanya sekedar mengusahakan
kesembuhan seseorang, melainkan melengkapi kepingan-kepingan
dari gagalnya Arjuna jaga Aksara dahulu itu.
Mas, kematian Aksara dulu itu bukan salahmu.
Arini baru mau kembali ke rumah sakit setelah bereskan
beberapa keperluan yang Arjuna butuh, sampai telepon berdering
dan begitu kalimat Arjuna selesai, detik itu juga Arini banting setir
ke bekasi— ke rumah seorang ibu yang lahirkan Andanang.
***

107
balada dosmud

“Saturasi pasien di angka 75. Kami berusaha sekuat mungkin


pak, bapak berdoa semoga pasien masih kuat bertahan dan gak
menyerah.”
Arjuna bisa apa?
Lelaki yang katanya kuat ini, nyatanya cuma bisa meringkuk di
bangku pojok, gemetar dalam riuh gemuruh perasaan yang anehnya
makin berusaha diikhlaskan justru buat dirinya terluka.
Dalam benak lelaki akhir 30–an ini terus muncul sekelebat
kenangan-kenangan buruk yang sulit sekali dilupa. Arjuna seperti
kembali merasa dipojokan dengan kalimat-kalimat yang
menyudutkan dirinya.
Arjuna sekarang benar-benar gak bisa mengusahakan apapun,
ya? Arjuna kembali ketakutan. Takut akan banyak hal yang sialnya
gak bisa ia atasi dengan tangannya sendiri.
Harus doa bagaimana lagi yang diucap? Arjuna ini punya salah apa?
Kenapa selalu jadi yang terakhir antar orang tercinta ke ruang ICU?
Lalu setelah ini, kalau takdir gak berpihak padanya, apa lagi-lagi
ia akan disalahkan? Buat semua jerih payah usahanya yang sudah
sampai di ujung penghabisan ini, masih juga ya bisa disalahkan?
Arjuna juga sama … cuma manusia biasa yang gak bisa buat
semuanya sempurna. Arjuna minta maaf buat perginya Aksara
dahulu, tapi mohon .. apa gak bisa Andanangnya jangan susul
adiknya itu sekarang? Biar ia tambal kurangnya dahulu itu. Apapun
akan ia usahakan supaya Andananganya selamat.

108
balada dosmud

Arjuna makin melebur bersama Airmata yang mulai berjatuhan.


Bersama rasa sakit yang seperti ikut terpahat di tiap tembok putih
rumah sakit.
Dulu Arjuna gagal pertahankan Aksara karena mungkin masih
belum cukup umur buat menentukan keputusan. Sekarang, apa?
Apa yang jadi alasan? Kenapa kok sulit sekali Nanangnya buat
sembuh? Kenapa semakin hari justru berita buruk yang sampai ke
telinganya?
“Arjuna!” Bu Ayun lari, peluk menantunya yang meringkuk
sendirian, “Arjuna … ini Mamah.”
Apa mungkin, jalannya disusahkan begini juga karena Arjuna yang
gak meminta restu dari orang yang lahirkan Nanang ke dunia?
Arjuna mungkin lupa, kalau doa-doa baik, gak semua dikabulkan
semesta. Harusnya pinta doa itu seperti tebar jala— tebar seluas
mungkin karena yang tersangkut gak mungkin seluruhnya.
“Arjuna— eh!”
Lelaki yang sudah gemetar ini bahkan memilih bersujud,
meminta maaf buat sesuatu yang padahal sama sekali bukan
salahnya.
“Ma … Arjuna gak pernah merencanakan situasi seperti ini, tapi
kalau mungkin ini semua ada kaitannya dengan perilaku Arjuna
yang kurang berkenan di hati Mama, Arjuna mau memohon maaf,
Ma ..”

109
balada dosmud

Meski Bu Ayun berusaha keras lepas Arjuna di kakinya, tetap


saja lelaki ini lebih keras bertahan.
“Arjuna …” Bu Ayun usap muka lelaki kecintaan sang putra,
“mamah amat sangat ngerti sama perasaan kamu,” diusap ujung
mata berair sang menantu, “gak ada yang salah di sini ya?
Sama-sama berdoa, mamah pasti bantu Arjuna.”
Bu Ayun meski kesal karena gak dapat berita sang putra sejak
awal, tetap saja gak bisa lampiaskan kesalnya ke Arjuna. Karena
wanita ini paham sehebat apa Arjuna berusaha buat kesembuhan
sang putra.
Jadi kali ini, sini, Nak. Tolong terima pelukan ini sambil resapi
satu persatu kalimat ini— bahwa Arjuna juga manusia, punya letak
salah dan lupa. Bahwa Arjuna, juga sudah berusaha sedemikian
rupa. Ayo berdoa? Semoga ada kabar baik besok ya?

***

Tiap detik dan menit yang lewat, rasanya seperti berpacu antara
hidup dan mati. Arjuna di kamar hotel sebelah rumah sakit ini
cuma bisa terpekur di kasur. terpejam buat redam berisik kepalanya
yang makin jadi.
Setelah ditenangkan Bu Ayun, akhirnya Arjuna berani utarakan
soal soal kenapa Arjuna gak hubungi siapapun sejak awal Nanang
dirawat— dan dari semua cerita lelaki ini, terangkum Bu Ayun tarik
kesimpulan kalau Arjuna ini gak salah, lelaki ini cuma takut.

110
balada dosmud

Banyak ketakutan yang berasal dari kejadian lalu. Pada akhirnya


jadilah Arjuna yang pilih rawat Nanang tanpa intervensi siapapun.
Sampai-sampai lupa … kalau Nanang juga punya ibu. Harusnya
sejak awal, Arjuna libatkan Bu Ayun selaku ibu kandung. Diajak
bertukar pendapat supaya gak semuanya Arjuna yang tanggung.
Doa baik seorang ibu, bisa jadi lebih hebat dibanding doanya yang
cuma lelaki biasa banyak luka.
Andaikata Nanang benar gak selamat dan Bu Ayun paling akhir
tahu, sama saja Arjuna estafetkan lukanya ke wanita paruh baya ini.
Maaf … untuk yang ini .. Arjuna mengaku salah. Arjuna terlalu jauh
jatuh dalam rasa takut sampai gak berpikir jauh.
Arjuna juga belajar satu hal penting, yaitu kesabaran.
Arjuna ini gak dibiasakan buat bujuk orang dengan lempar
kalimat manis, tapi Nanang berhasil buat Arjuna lakukan hal itu
tanpa kesulitan berarti.
Arjuna juga gak biasa bersabar buat hal-hal yang bisa ia dapat.
Kalau perlu bayar kemudahan, kenapa harus menunggu? — tapi covid
dan prosedur yang gak melulu soal uang ini, mengajarkannya buat
bersabar dengan segala peraturan yang harus ia ikuti. Namun
kenapa uji sabarnya harus sampai tingkat tinggi begini?
‘Pak, suami bapak benar-benar kritis.’
Semalam kabar ini datang, di saat Arjuna sudah gak tau lagi
harus berbuat apa selain mengikhlaskan sejak awal— karena gak
ada lagi yang bisa diusahakan selain berharap.

111
balada dosmud

Satu tetes airmata yang jarang-jarang hadir ini luruh jatuh dari
mata yang sejak tadi terpejam. Riuh jatuhnya bak hujan tengah
malam tadi.
Na, kamu itu kuat … ayo bertahan … tolong.
Arjuna cuma bisa bicara pada angin. Berharap disampaikan
harapnya dan didengar seisi bumi buat diaminkan. Semoga kalimat
pengharapannya ini sampai, buat kuatkan satu yang terengah
berjuang antara hidup dan mati di ruang ICU sana.
Di dalam ruang sepi gedung rumah sakit yang riuh bunyi mesin
sahut-sahutan.
Nanang mungkin terpejam, tapi seperti sadar dan tidak, di
dalam benak lelaki yang bertumpu hidup pada keajaiban ini ada
banyak skenario berjalan.
Nanang cuma mau pulang … mau bertemu Arjunanya dan kembali
hidup bersama.
Tolong jangan buat ruang bau obat ini sekali lagi jadi luka.
Arjuna gak perlu lagi rasa kehilangan dan tanggung perasaan
bersalah buat hal yang sebenarnya jauh diluar kuasa lelaki itu.
Katanya, cara terbaik mencurangi takdir adalah dengan mempercepat
perelaan. Iya, katanya begitu — karena ujian hidup memang
diperuntukan buat menguji seberapa besar sabar dan rela manusia.
Arjuna sudah berusaha merelakan, memasrahkan diri buat yang
terbaik bagi suaminya. Ego lelaki yang sejak kemarin masih tinggi
sekali kalau bisa lebih hebat dari kehendak semesta ini kini

112
balada dosmud

merendah, berharap belas kasih buat perelaannya yang susah-susah


didapat.
Arjuna kamu hebat sekali, kamu tahu?
Disaat kamu terpojok dengan segala kemungkinan yang seperti
pedang tajam menghunus ini, kamu sama sekali gak mengutuk
takdir. Kamu mau mencoba merendah, mau mencoba mencari titik
baik dari semua hal rumit yang terjadi begitu tiba-tiba ini.
Arjuna, kamu juga harus tahu, kalau cara kerja takdir, kadangkala
lucu dan gak masuk akal.
Bagaimana bisa? baru saja Arjuna menyerahkan jiwa raga pada
putusan langit, tapi dering telepon dengan suara berat ini buat
matanya terbelalak gak percaya.
“Pak Arjuna, Bersyukur ya pak, suami Bapak … lewat masa kritisnya.
kami …,”
Cuma butuh satu hari.
Satu hari berpasrah.
Satu hari menyerahkan kehendak pada takdir.
Satu hari mengharap restu seorang ibu.
Semuanya, selesai.
Suara sebrang telepon gak lagi terdengar jelas. Arjuna lari buat
peluk Ibu Mertua yang dengar seluruh kalimat dokter ini dalam
derai tangis yang sama. Andanang mereka — selamat …
***

113
balada dosmud

Begitu hasil uji lab dinyatakan negatif, detik itu pula Arjuna
berlari ke satu ruang rawat VVIP yang berisi Lazuardinya
sendirian.
Arjuna medekat, usap-usap kening lelakinya sambil dipanggil
pelan, “Dek .. sayang …” mata lelaki ini masihlah awas dan waspada,
baca air muka yang masih tak bergeming waktu dipanggil pelan.
“Dek, ini mas.” Panggil Arjuna lagi.
Gerak. Bulu mata lentik ini bergerak seiring mata Nanang
mengerjap dan terbuka perlahan. Nanang buka mata, seperti
ketakutan— takut kalau lagi-lagi cuma bangun dan temukan diri ini
sendirian.
“Dek?”
Tapi kali ini, Nanang gak sendiri …
“Mas ..” pelan, pelan sekali seperti habis tenaga buat sekedar
bicara. Jemari Arjuna yang pijat kening cintanya ini merambat
turun ke pipi, ditangkup sambil masih coba tanya hal-hal dasar—
soal apa ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?
Nanang rasa netranya mengembun sampai gak jelas lagi rupa
Arjuna. Membaur bersama luruh airmata yang kali ini jatuh sebagai
tanda lega hatinya.
“Mas …” Panggilan ini seperti sampaikan, kalau Nanang cuma
butuh Arjuna seorang. Hembus nafas lega Arjuna ini berbarengan
dengan rengkuhan erat pada lazuardinya. Diusap sayang pucuk
kepala cintanya supaya gak perlu lagi ketakutan.

114
balada dosmud

“Mas …”
Arjuna terpejam, hirup aroma tubuh yang masih khas
Andanangnya sekali. Ya Tuhan, masih ketemu … masih bisa ketemu …
Arjuna gak bisa beri kalimat apapun, tenggorokannya tercekat,
segala hal menumpuk berhari-hari kemarin ini rasanya sirna cuma
dengan miliki Andanangannya dalam pelukan.
“Mas.” Nanang masih terus panggil Arjuna, seperti takut kalau
berhenti dipanggil maka Arjuna hilang dan ia kembali sendirian.
“Iya …” Arjuna cium cuping telinga ini, merambat naik ke pucuk
kepala lalu ke kening yang ia beri cium lebih lama.
Sepasang yang sekian hari belakangan saling ketakutan ini
dibiarkan memiliki waktu berdua. Bu Ayun pilih tutup pintu dan
putuskan ambil waktu muncul setelah rindu putranya itu mereda
Arjuna juga gak peduli meski masih peluk sambil berdiri begini.
Meski membungkuk buat rengkuh sampai sejam kedepan juga gak
masalah. Ia mau raih eksistensi lelaki yang bawa separuh jiwanya
ke ruang isolasi ini kembali.
Meski bisik lirih Lazuardinya kini mengeras jadi isak tangis juga
gak masalah, terus aja nangis juga gak apa-apa selama lelaki ini
menangis disini di dekapannya … tepat di pusat detak jantungnya.

**

Ruangan bau obat ini gak lagi mencekam— hangat rasanya. Ada
Mama yang bagi banyak pembicaraan dan Nanang sesekali tertawa.

115
balada dosmud

Arjuna gak banyak kata, cuma diam tersenyum sambil suap makan
siang Nanang sampai mulai habis gak bersisa.
“Dek, coba ini tegak dulu kasurnya, minum obat.” Arjuna
bergerak gesit dan fokus. Masih dengan wajah tegas dan minim
ekspresi khas lelaki ini.
Dua hari sudah lewat dari peluk penuh emosi di awal Nanang
buka matanya. Hari itu, Arjuna gak lepas dari sisi Nanang. Meski
lebih banyak diam, tapi gerak gerik lelaki ini berusaha buat Nanang
nyaman.
Arjuna sepertinya banyak gak tidur hari-hari belakangan, jadi
begitu mereka bisa satu ruangan bersama, gak sampai 1 jam hening,
Arjuna sudah jatuh terlelap dengan posisi duduk di kursi dan
kepala bersandar di kasur. Tidurnya lelap, Nanang usap kepalanya
juga gak terbangun. Kantung matanya hitam. Pasti capek ya.
Nanang juga, gak sampai 15 menit sudah turut susul Arjuna ke
peraduan. Karena ia juga sama, gak ada namanya tidur nyenyak
sejak pintu lift pisahkan mereka berdua.
Tiap malamnya, Nanang selalu ketakutan. Meski berusaha ceria
di tiap panggilan telepon Arjuna, namun begitu panggilan terputus,
Nanang kembali terisak sendirian.
Ruang isolasi, selamanya sisakan trauma di jiwa. Baik buat
Nanang maupun Arjuna. Tiap kali dokter masuk, cengkraman
tangan Nanang di jemari Arjuna mengerat. Nanang selalu takut ada
kabar buruk yang kembali datang.

116
balada dosmud

Arjuna juga sedang mengusahakan bagaimana supaya cepat


rawat jalan. Syukurlah ada kabar baik dari dokter, kalau mulai lusa,
Arjuna dan Nanang gak perlu lagi menginap di rumah sakit.
Hari ini, Mama bantu urus dan temani Nanang, sementara
Arjuna perlu turun buat urus administrasi dan segala macam
persyaratan rawat jalan.
Mama cerita banyak hal— terutama soal Arjuna yang sampai
bersujud di kaki wanita ini dan memohon maaf buat kesalahan
apapun yang pernah diperbuat.
“Mamah tuh yah duuuh dedeeek, gak tega waktu itu Arjuna
sampe begitu teh. Kayak aduh— gak salah ih pilih mantu. Sibuk
kesana kemari ngurus kamu. Cinta banget dia sama kamu ih.”
Masih banyak lagi yang mama utarakan, dan semuanya buat
Nanang terharu sampai kalau bisa ya maunya nangis aja.
Arjuna dan airmata itu bukan satu kesatuan. Bisa dihitung jari
kemunculannya— dan begitu dengar kalau Arjuna sampai setakut
itu, rasanya Nanang gak mau meragukan apapun dari Arjuna.
Lelaki itu benar mencintainya.
“Dek, coba jangan gerak-gerak kamu. Itu infusnya loh.”
Meski tegas dan lugasnya gak hilang. Meski cuma balas
ungkapan cinta dari Nanang dengan ciuman. Gak apa-apa.
Terimakasih, Mas, karena sudah cintai aku sebegitunya!
“Mas.”
“Hm?”

117
balada dosmud

Nanang tepuk kasurnya yang agak lebar, “tidur sini.”


Arjuna hela napas, beri jawaban kalau gak boleh selain pasien
yang tidur disitu, tapi ya Nanang tetap Nanang yang gak gampang
menyerah … dan Arjuna tetap Arjuna yang gak pernah bisa menang
dari rajukan Lazuardinya.
“Hehe, deketan sini.”
“Cerewetnya. Tidur ayo. Besok pulang.”
Arjuna peluk Nanang erat, direngkuh dan diusap-usap sayang
supaya tidurnya nyenyak. Tidur yang nyenyak, Dek … Masnya di sini.
***

“Sudah ya, ini ndak ada yang ketinggal toh?” Arjuna tengok
Nanang sambil masukan baju-baju kotor ke tas laundry.
“Kayaknya udah.”
Pagi ini, resmi sudah Nanang bukan pasien rumah sakit. Arini
sudah di depan lobi dan sekarang tinggal tunggu Arjuna selesai
cek-cek barang di kamar.
“Oke, beres.”
Semua barang masuk tas sudah. Kursi roda juga barusan Arjuna
ambil dari luar buat bantu bawa Nanang keluar ruangan.
“Eh? mas?” Nanang kaget, soalnya Arjuna tiba-tiba tutup
telinganya pakai Airpod.
“Biar gak keberisikan di luar.” Kata Arjuna dengan wajah
sebagaimana lelaki ini di keseharian— serius tapi menenangkan.

118
balada dosmud

Arjuna senyum, ambil tas buat dibawa dan dan dorong kursi
roda ini keluar. Rumah sakit cukup ramai di depan sana, tapi cukup
sepi di lorong ini. Jadi sebenarnya Nanang agak aneh waktu Arjuna
bilang airpods ini buat redam berisiknya kesibukan di luar.
Dari lirik mata, Arjuna tau kalau suaminya ini kelihatan
senang— kepala yang angguk-angguk dan bibir yang bergumam
pelan ikuti iringan lagu favoritnya yang mengalun cukup keras di
telinga.
Cukup keras, Volumenya hampir full— karena Arjuna pakaikan
airpod memang bukan asal— tapi buat redam suara bisik di meja
admin. Suara berisik yang seperti sengaja dikeraskan begitu tau Arjuna
mau lewat.
“Ih itutu si orang kaya.”
“Oh itu?”
“Iya. Mentang mentang kaya, bisa dicek berkala itu pasiennya.”
Arjuna enggan bersitatap. Terus tatap lurus jalanan depan
dengan wajah tegas dan lugas. Gak peduli soal omongan karyawan
yang harusnya bisa saja Arjuna adukan ke rekannya yang direktur
rumah sakit ini.
Arjuna gak peduli, selama kalimat jahat itu gak sampai ke
telinga cintanya yang tengah tersenyum lebar secerah mentari ini.
Ya sudah. Lupakan. Cukup Arjuna yang dengar, Andanangnya gak
usah. Ayo pulang, Na. Rumah sepi ndak ada kamu.
***

119
balada dosmud

Epilog 1:

“Suamimu?”
“Iya,” Arjuna pejamkan mata sejenak, “jantungku … mau jatuh
rasanya.”
Andre tersenyum, tepuk pundak rekan kuliahnya ini sambil
bergumam, “tenang, Juna. Dari laporan medisnya aman. Cuma
syok.”
Arjuna mengangguk, bersandar di kursi sambil tatap Andre,
“Suwun yo, aku gak tau gimana kalau ndak ada kamu.”
“Tenang o Jun. Untung aku baru pulang jam segini.”
Dua lelaki ini terkekeh, sebelum tanya soal kabar dan kehidupan
terbaru masing-masing itu mengalun.
“Wes jadi dokter bener kamu itu ya.”
“Heleh, gak sebanding sama bapak Doktor kita yang terhormat
ini.”
Nyatanya benar, kekuatan relasi itu nyata adanya. Arjuna
rasanya di ujung harap ketika gak ada satupun jalan buat dirinya
tau keadaan Nanang di atas sana.
Ketika uang bahkan gak bisa beli prosedur, Tuhan kirimkan
bantuan lewat bertemunya dua sekawan yang bukan cuma sekedar
kenal, tapi juga partner berjuang.
Terimakasih buat komunitas peneliti muda yang pertemukan
mereka dahulu. Karena kalau gak sama-sama merintis komunitas
itu, mungkin Arjuna dan Andre gak akan kenal satu sama lain.

120
balada dosmud

“Aku makasih banget yo, Ndre. Demi apapun aku puanik tadi.”
“Yo santai lah. Covid ya suamimu itu?”
“Iya.”
“Paling penting didukung, Jun. Dikasih semangat. Memang
lawan covid ini selain obat ya keinginan pasien buat sembuh kok.”
Kopi hangat ini sudah nyaris tandas, bersamaan dengan mentari
pagi yang mulai terlihat semburatnya dari jendela sana.
Arjuna selesai menangis di taman rumah sakit jam 4 pagi, waktu
Nanangnya sudah terlelap dan sama sekali gak terbangun. Sebagai
orang yang paham tatakrama dan etika, Arjuna lekas temui rekan
baiknya ini buat ucap banyak terimakasih atas kemudahan ditengah
keadaan darurat Arjuna tadi.
“Aku balik Ya, Jun. Mau pakai ruanganku buat istirahat ndak?
biar tak sampaikan ke staff nanti.”
“Oh— ndak .. ndak usah wes. ngerepotin, aku pulang aja ke
rumah. Deket kok gak sampai setengah jam.” Arjuna tepuk pundak
andre lalu pamit, “suwun yo, nanti lek misalkan luang, mesti mau ya
tak ajak makan siang bareng.”
Andre tertawa, beri jempol lalu berpisah di lift yang bawa
Arjuna ke lantai dasar.
Lorong ini sepi, cuma ada cleaning service dan beberapa petugas
jaga. Arjuna perlu kemari buat beri satu powerbank lagi yang ia
mau titipkan ke Nanang.
“Mbak saya mau titip ini ya.”

121
balada dosmud

“Oh, buat yang orang kaya itu ya?”


Arjuna mengenyit, “maksudnya?”
“Oh, ini soalnya sama aja titipannya kayak yang semalem. ada
yang bilang buat yang orang kaya. begitu.”
Demi Tuhan, ini Arjuna disindir?
Arjuna cuma diam, bingung harus apa dan berakhir pulang.
Sejak saat itu, gak pernah lagi Arjuna mau lewat depan admin.
Mending tak muter sisan ke belakang.
***
Epilog 2:

“Jadi begitu Ma .., haduh maafin rini ya baru ngabarin pas


akhir-akhir.. Rini itu tunggu Mas buat gerak, tapi kayaknya Mas ini
keras pendirian banget mau apa-apa sendiri. Cuma waktu kritis
kemarin itu Rini mikir, yo kalo ini harus mamanya Nanang juga
hadir toh.”
Bu Ayun mengangguk, “iya .. saya juga tuh sebenernya gak tega
ih atuh sampai sujud si Juna di kaki saya— eh tapi bener emang ya
itu Arjuna pernah digituin keluarga besar? Disalahin gitu?”
“Iya, Ma. Dulu Aksara itu DBD atau apa gitu aku lupa. Bapak
lagi ke luar negeri. Ibuk lagi di luar kota. Mas umurnya baru 17
tahun, harus ngurus Aksara yang tiba-tiba sakit dan drop.
Sepahamku, Mas itu bawa ke rumah sakit terdekat. Hubungi bapak
gak diangkat, hubungi ibu itu ya sudah, tapi namanya gadget jaman

122
balada dosmud

dulu kan ndak canggih ya. jadi lama. Saat itu Aksara kritis.
Keputusan tindakan kan tunggu orangtua … mas nunggu lama,
sampai akhirnya baru sempat kepikiran telepon bude. Nah disitu
itu, Ma .. Mas juna malah dimarahi, disalah-salahi. Padahal mas
juga itu posisinya panik, yo anak SMA bisa apa.”
“Terus meninggal?”
“Iya .. dan Mas yang paling terpukul. Aksara itu satu-satunya
adik lelaki. Mas pasti kehilangan. Pasti juga merasa gak becus
karena terlambat nangani Aksara, belum lagi disalah-salahi
keluarga besar .. makanya waktu Nanang ini, Mas gak mau ada
intervensi. Mas itu takut. Takut kalau terulang lagi kejadian dulu
itu. Mas mau tambal gak becusnya dulu itu dengan berusaha
semaksimal mungkin ke Nanang. — padahal ya mertuane baik gini
kok ya masih takut kan aneh yo mas ku itu, Ma.”
Bu ayun terkekeh kecil, “ih atuh paham mamah mah. Arjuna
juga beralasan sekali kok kenapa bisa begitu.”
“Mama tau? Nanang itu dari jaman pacaran sama Mas Juna,
selalu medical check up 6 bulan sekali. Panas badan dikit langsung
ke klinik. Skripsi stress sedikit langsung dibantu buat nyusun.
Waduh, pokoknya kalau soal kesehatan, Mas tuh ndak main-main.”
“Ih kakak kamu itu ya udah mah ganteng, pinter perhatian lagi!
mamah juga mau lah suami begitu mah.”
“Heh? Heh?” Arini tersedak, tertawa sambil colek Ibu mertua
Arjuna ini meledek, “tak bilang papa agung yo? iya mau?”

123
balada dosmud

Biarlah, tinggal aja dua wanita ini berbincang heboh di ruang tamu.
Lumayan, daripada ganggu yang lagi asyik jemur pagi di depan
rumah sana tuh yang lagi rame, satunya sibuk peluk, yang satunya
sibuk titah buat— jemur yang bener to, Dek!
***

124
balada dosmud

Permata Kecil
Buat 2 Tahun penuh perjuangan Nanang selesaikan Thesis,
rasanya gak ada satupun permintaan hadiah yang bisa Arjuna tolak.
Bahkan minta bumi seisinya juga kalau bisa ya Arjuna beri.
Termasuk permintaan kali ini—yang meski kedengaran
sederhana tapi tetap butuh pertimbangan sana sini buat
dikabulkan.
“Mas, aku tau mau hadiah wisuda apa.”
“Apa?”
“Anak. Boleh ya?”
Arjuna malam itu cuma diam. Belum beri respon apa-apa terkait
pintanya Nanang. Iya, sederhana … tapi gak sesederhana
kedengarannya. Ini soal satu orang yang akan mereka ambil dan
disematkan kata ‘keluarga’.
“Dek, sudah dipikirkan ulang?”
“Udaaah. Gak apa-apa ya?”
Soal Anak, bukan sekali dua kali jadi topik bicara mereka berdua
sebagai pasangan. Ada malam-malam yang entah siapa yang duluan
mulai justru muncul celetukan soal ‘mau punya anak kapan ya kita?’.
Biasanya Nanang yang lebih vokal, Arjuna cuma sekedar dengar
dan beri pendapat.
Pendapat Arjuna gak jauh-jauh; soal kesiapan, baik Arjuna
maupun Nanang.

125
balada dosmud

Bukan cuma sekedar siap mengasuh, tapi juga siap pasang badan
dan telinga buat kemungkinan pro kontra dari keluarga— terutama
keluarga besar Arjuna yang pasti bawa-bawa bibit bebet dan bobot.
Juga soal siap berkomitmen seumur hidup, kalau ada satu yang
harus mereka jaga sebagaimana jaga diri sendiri.
“Aku bisa kok, Mas!” — Iya, Arjuna juga lihat dengan mata kepala
sendiri kok, kalau Nanang memang benar suka anak-anak, bukan
cuma sekedar gemas sendiri waktu Dika Reza bawa Raka main ke
rumah.
“Aku maunya anak perempuan, Mas.” — preferensi mereka juga
sebenarnya sama, maunya ada satu putri kecil percantik rumah
mereka ini.
Namun sekali lagi, ini gak sesederhana ada anak kecil lucu,
melainkan soal banyak ketakutan yang Arjuna pendam sendirian.
Soal hal-hal yang semoga cuma ketakutannya sendiri dan gak
sampai terjadi.
“Mas, ayo masuk!” Tarikan Nanang ini erat sekali, bawa masuk
Arjuna ke dalam satu panti asuhan terkemuka yang terjamin status
berdirinya di dinas sosial.
Ada bayi, batita, balita. Semuanya seperti tatap Arjuna dan
Nanang penuh harap. Cerita pengasuh panti iringi langkah mereka.
Soal katanya banyak yang memang sengaja dititip kemari, tapi juga
ada yang tau-tau muncul di depan pintu tanpa ada jejak orangtua
asli sama sekali.

126
balada dosmud

“Ya ampun, kamu kecil banget, sayang.” Nanang kelihatan


sumringah sekali. Senyum lelaki itu gak luntur sejak tadi.
Dari sini Arjuna baru menyadari kalau Nanang ini ternyata
penyayang, ya? Maksudnya, meski kelihatan manja atau banyak
tingkah, tapi begitu berhadapan sama anak kecil, jiwa
kebapakannya muncul secara naluriah.
Arjuna hampiri suaminya yang genggam jemari satu bayi usia 7
bulanan. Arjuna usap kepala Nanang sampai kemudian
mendongak, tersenyum dan Arjuna beri jawilan kecil di hidung.
“Gimana Mas?”
“Hari ini survey dulu. Nanti dibicarakan lagi di rumah. Gak
perlu buru-buru.”
Masih banyak waktu. Gak bisa langsung diputuskan sekarang,
karena Arjuna sendiri masih perlu selesaikan beberapa hal dalam
dirinya terkait adopsi anak. Salah satunya adalah rasa takut.
***
Kalau ditanya apa ketakutan yang ada di benak Arjuna, maka ada
3 Hal; Soal Bagaimana tanggapan keluarga besar? Lalu soal
bagaimana kalau nanti lagi-lagi Nanang yang kena hujat? Dan
terakhir soal Apakah sudah cukup pantas bagi Arjuna buat
mengasuh anak?
“Menurutku ya, takutnya kamu itu gak terlalu harus dipikirin
gitu sih,” Kata Reza sembari sesap kopinya sejenak, “maksudku,

127
balada dosmud

soal anak itu ya keputusanmu sama Nanang. Sama kayak aku yang
mentingin Dika diatas keputusan jadi adopsi Raka atau nggak.”
Reza telaah wajah Arjuna, meski terlihat bimbang, tapi
sebenarnya Reza yakin kalau lelaki di depannya ini sudah punya
jawaban— cuma ya, butuh diyakinkan.
“Lagian ya, Jun. Kamu ya pantes aja kok punya anak. Ya
namanya jadi orangtua kan juga terus belajar seumur hidup, gak
apa-apa. Paling penting mentalmu siap, finansialmu cukup. Jadi si
anak terjamin keamanan dan kenyamanan hidupnya.”
Arjuna jarang-jarang ajak ngobrol serius sampai dibawa ke kafe
private begini— dan kalau sampai seperti ini, berarti memang
masalah serius dan benar-benar butuh pendapat. Soal pro kontra
adopsi anak dan paling penting adalah soal gender anak yang mau
diadopsi.
“Wah, Anak perempuan, Jun? Agak susah sih.”
Susah, karena Arjuna dan Nanang ini keduanya lelaki. Ada
batas-batas tak tertulis yang jadi penghalang interaksi antara
mereka sebagai orangtua nantinya. Bukan berarti jadi mempersulit,
tapi resikonya berarti Arjuna dan Nanang harus punya satu yang
pegang peran ‘wanita dewasa’ di rumah.
“bukan mau mengotak-ngotakan gender, apalagi orientasi
seksual ya, Jun .. tapi kita kan memberikan hak si anak ya, salah
satunya adalah memberikan tempat yang mendukung tumbuh
kembangnya. Kalau Raka— anak aku itu laki-laki, ya gak masalah

128
balada dosmud

orangtuanya laki-laki, kalau kamu? Ya masa anak perempuan


dipaksa hidup dengan cara hidup laki-laki? Gak sesuai haknya dong
buat tumbuh sebagaimana seharusnya perempuan dididik? Jangan
sampai dia krisis identitas.”
Iya, Arjuna mengerti.
Analoginya sama dengan apakah jika anak lelaki diasuh dua ibu
berarti harus jadi lelaki kemayu? Jelas tidak. Pun sama jika Arjuna
adopsi anak perempuan, apakah anaknya nanti harus jadi tomboy?
jelas tidak juga.
Pahamnya Arjuna, anak mereka nanti harus tetap tumbuh
dengan naluri kewanitaannya, perkara di kemudian hari si anak ini
lebih cenderung tomboy atau feminim, itu hak dia buat memilih.
“Kalau soal itu, aman harusnya, ada Arini. Aku juga yakinnya
karena selain ada adek ku itu, ya aku sendiri pengalaman urus adek
yang semuanya perempuan. Maksudku ya gak akan terlalu kaku
juga nantinya.” Arjuna sandarkan punggung ke kursi, tatap
langit-langit kafe sembari terus berpikir.
“Kamu juga baiknya punya pengasuh perempuan Jun, supaya
kalau perkara privasi kayak mandi dan ganti baju itu ada yang
khusus.”
Arjuna lirik Reza penasaran, “kenapa gitu ik?”
“Ya ini pemikiranku sih ya, mohon maaf nih kalau gak sejalan,
tapi menurutku, namanya anak perempuan itu kan ya dijaga ya.
Khawatirnya nih, kalau terbiasa hal privat aja diurus kamu sama

129
balada dosmud

nanang, nanti si anak ini jadi gak paham sama batasan mana dari
tubuhnya yang boleh dilihat lawan jenis— kan bahaya kalau ada
laki-laki asing mau buka bajunya dia dan dia ngerasa fine karena ya
kebiasa dibuka juga bajunya sama bapak-bapaknya. Paham gak? Ya
seenggaknya kita jaga-jaga di umur-umur si anak ini belum bisa
berpikir cepat lah, mungkin sampai SD gitu itu kan masih polos
polosnya.”
Arjuna mengangguk. Jelas paham kemana arah bicara Reza.
Satu insight baru juga kini masuk, jadi pertimbangan lagi soal
adopsi anak.
“Juna.”
“Hm?”
Reza tepuk pundak Arjuna sambil menyeringai kecil, “kamu itu
punya Nanang yang kuat banget sih menurutku. Jangankan
ngadepin apa-apa yang jadi ketakutan kamu, lah dia aja bertahan
banget sampai bisa dapet kamu. Harusnya ya ga usah ditakutin lah.”
Reza kerlingkan matanya— goda Arjuna.
Arjuna mendecak kecil, terkekeh pelan sambil tegakan duduk di
kursi, “Nyesel aku cerita soal itu ke kamu.”
Celetukan Arjuna ini dibalas tawa geli Reza yang masih akan
terus ketawa kalau ingat ceritanya Arjuna yang baru jujur kalau
dulu sempat break 5 bulan sama Nanang.
“Putus ya putus ae, segala ada bahasa rehat.” Goda Reza sambil
menghindar dari pukulan maut Arjuna.

130
balada dosmud

Reza gak akan lupa ya sama kalimat satu itu— kalimat yang
diucap Arjuna buat Reza jaman break sama Dika — enteng banget
ngomong, giliran sendirinya sama Nanang break ya tetap aja gak
berani bilang putus kan? Memang kok, dibilang kalau urusan cinta
itu ya susah ditakar pakai logika.
Haaah, tapi Reza ya benar. Arjuna punya Nanang yang kuatnya
luar biasa, kenapa harus takut? Arjuna harusnya gak lupa, kalau ini
bukan cuma soal dirinya yang mau jadi orang tua, tapi berdua.
Semua ini, gak seharusnya jadi momok pikiran sendirian. Sudah
seharusnya dibagi dan ambil keputusan berdua.
“Mas gak percaya sama aku ya?” Nanang usap pipi Arjuna
setelah kalimat panjang lelakinya ini selesai diutarakan. Soal
banyak hal yang jadi ketakutan lelaki ini perkara adopsi anak
nantinya.
Arjuna menggeleng, genggam jemari cintanya buat digenggam
dan matanya diajak bersitatap serius, “bukan gak percaya, cuma gak
mau kamu kesusahan.”
Nanang mengulum senyum, “cie? apa apa tuh? gak mau aku
kesusahan?” godanya sambil colek dagu Arjuna, “yaelah, maaas,
kayak sama siapa aja sih.” gemas Nanang cubit-cubit pipi arjuna
sampai si empunya pipi sibuk ngehindar dan berakhir tarik selimut
buat tutup Nanang sebadan-badan.
“Ih! Mas Juna!”

131
balada dosmud

Biar aja. Susah-susah ini Arjuna kumpulin niat buat ngomong


panjang lebar soal hatinya. Sekarang malunya baru datang. Wes,
tidur ae lah. penting urusan kelar.
***
Kalau Arjuna takut, maka Nanang gak begitu. Nanang bukan
mau anak putri buat sekedar main-main semata— memang serius
kok! Sejak beberapa kali ikut bantu asuh anaknya Dika, Nanang
kerap kali berpikir soal serunya jadi orangtua.
Mungkin gak semudah itu sih, jelas ada juga susahnya— dan
sudah dijabarkan Arjuna juga — tapi bisa gak fokusnya jangan ke
susahnya dulu?
Nanang mau punya anak, karena selain percaya pada
kemampuan diri sendiri, dirinya juga percaya kalau partner
hidupnya ini bisa diandalkan. Arjuna punya dua adik putri, punya
pengalaman lebih dari Nanang yang cuma anak bungsu dan tunggal
kini. Perkara nanti apa omongan orang, biar aja dah!
Kesepakatan mereka berdua pada akhirnya adalah; boleh adopsi,
tapi harus dari bayi.
“Aku belum punya bayangan harus gimana jelaskan soal adopsi ke
anak yang rada besar. Kalau bayi kan dari dia belum bisa apa-apa itu
udah sama kita.” — ini kata Arjuna beberapa bulan kemarin.
Nanang ya setuju, meski sebenarnya kalau dari dirinya sendiri
gak ada syarat khusus selain anaknya sehat sempurna.

132
balada dosmud

Perkara izin ke keluarga, Nanang dan Arjuna sudah utarakan—


dan gak ada penolakan berarti. Orangtua Nanang mendukung,
apapun itu asalkan putra mereka bahagia.
Sementara orangtua Arjuna minta buat berhati-hati dalam
mencari, kalau bisa jangan yang terlalu terlihat berbeda dengan
jenis fisik mereka. Katanya, menjaga perasaan sang Anak kalau
sudah besar, supaya gak terlalu kelihatan orang kalau anak angkat.
Jadi dengan semua syarat dan saran yang ada, terkumpulah soal
ciri-ciri bagaimana anak yang akan mereka ambil hari ini.
“Silahkan, Pak …”
Arjuna dan Nanang kembali lagi ke panti ini setelah satu tahun
kurang minta waktu buat berpikir. Dikenalkan beberapa yang
sekiranya cocok dengan kriteria yang mereka sebutkan di awal.
Tentunya kebanyakan bayi usia 7-12 bulan.
Dialog calon orangtua dan pihak panti ini berlangsung lancar,
hampir ke titik akhir keputusan— sampai Nanang gak sengaja
bersitatap dengan satu bocah perempuan yang duduk meringkuk di
pojokan.
“Oh, dia ya …” pihak panti bahkan agak bingung mau jelaskan,
“5 bulan lalu ada yang menemukan di depan. gak ada tanda
pengenal apa-apa. selain surat singkat. Anaknya juga cuma diem
aja. Kemungkinan besar ditinggal orangtuanya.”
“Berapa umurnya?” Tanya Nanang tanpa mengalihkan
pandangan ke pojok sana.

133
balada dosmud

“Waktu ditemukan, di dalam suratnya tertulis 3 tahun. Berarti


sekarang 3,5 tahun.”
Arjuna ini kenal Nanang. Kenal juga binar mata lelakinya ini
bermakna apa sampai terlihat jelas pendar sendu dan hangatnya.
Jadi begitu Nanang beralih cepat buat tatap netranya ini, Arjuna
tau kalau mereka sudah keluar dari rencana yang disusun
sebelumnya.
“Mas.”
“Dek,” Arjuna hela napas dalam, “inget rencananya?”
Iya. Rencana buat pilih anak yang berumur 7-12 bulan. Bukan
justru anak umur 3 tahunan.
Tapi Nanang tetaplah Nanang yang kalau sudah suka sesuatu dan
merasa cocok, maka akan terus dikejar.
“Halo, namanya siapa?” Nanang bicara, terus bujuk supaya anak
ini bicara. Bahkan meski gak tersenyum sekalipun tetap kelihatan
kalau begitu cantik.
Arjuna mau larang, tapi binar mata Nanang waktu panggil
Arjuna buat mendekat ini kelihatan bahagia sekali. —Arjuna ya apa
tega?
***
“Namanya, Adira—”
“HAH? ADIRA?” Nanang berjengit kaget, “mas! namanya
sama!”

134
balada dosmud

Nama yang Arjuna rencanakan kalau suatu hari mereka adopsi


satu anak putri yang kebetulan belum diberi nama.
Satu lagi kebetulan yang makin buat Nanang merasa bahwa
pilihannya buat ambil bocah 3 tahun ini sebagai anak merupakan
keputusan tepat.
“Sek, denger dulu penjelasannya.” Arjuna genggam jemari
Nanang supaya diam dulu.
“Iya, dari kertas surat yang kami temukan, namanya Adira.
Kesimpulan yang kami ambil dari surat singkat itu, Adira ini
seorang putri dari ibu muda yang cuma asuh sendirian. Ditentang
keluarga sampai ada ancaman pembunuhan. Jadilah putrinya
ditaruh di panti asuhan tanpa akta maupun dokumen. Karena
sepertinya Adira ini memang disembunyikan sang ibu dari dunia
luar.
“Berarti anggepannya ini anaknya hidup sama ibunya aja gitu
ya?”
“Sepertinya begitu. Kami sudah datangkan dokter dan psikolog
anak buat cek keadaan jiwa raganya, semua sehat dan normal.
Cuma Adira ini masih merasa gak nyaman, jadi susah buat bicara.”
“Dia gak merengek mau ketemu ibunya?” Ini Arjuna yang
penasaran.
Ibu Panti ini menggeleng, “sama sekali enggak.
Kemungkinannya dua, antara memang Adira gak dekat dengan sang
ibu atau justru anak ini gak mengingat apa-apa.”

135
balada dosmud

Adira dititip ke panti sekitaran usia 3 tahun. Masih terlalu kecil


buat memahami situasi sekitar. Kemudian tumbuh berbulan-bulan
di panti sampai sekarang usia 3,5 tahunan. Bukan gak mungkin satu
dua pemahaman dalam benak batita ini bergeser sudah, bahwa
memang beginilah kehidupannya— ramai bersama anak-anak yang
punya satu ibu, yakni ibu panti.
Nanang hela nafas, tutup surat lusuh ini buat ditaruh kembali ke
atas meja. Diusapnya tangan Arjuna, seperti memohon supaya
tolong permintaannya ini dikabulkan.
Nanang ini jatuh cinta di pandangan pertama.
Netra sendu perempuan kecil yang tarik perhatiannya cuma
dengan sekali lihat. Ditambah bumbu kisah di balik hadirnya Adira
kemari juga turut buat rasa iba itu makin menggebu.
“Dek,” Arjuna tatap serius muka Nanang. Mereka diberi waktu
buat bicara privasi berdua, “anak yang sudah agak besar dengan
yang masih bayi itu punya cara berbeda. Adaptasinya lebih butuh
usaha. Kamu tau kan Mas itu gak pandai kalau bujuk-bujuk orang?
Nanti misalkan jadi, terus kamu yang turun buat ajak anaknya
adaptasi ya apa kamu nggak capek?”
“Masnya dukung, kan?”
“Dukung ya dukung tapi—”
“Yaudah, beres.” Nanang usap pipi suaminya buat kemudian
ditangkup dan dicium sekilas, “mas, kita adopsi bukan cuma
menuhin maunya kita, tapi juga ngebantu yang bener-bener butuh

136
balada dosmud

ditolong. Anak bayi pasti banyak yang mau adop, tapi kalau seumur
Adira, pasti gak banyak mas. Kasian kalau dia harus tumbuh besar
di sini.”
Alasan Nanang masuk akal. Mereka ini pada dasarnya
membantu— mencoba memberikan kehidupan lebih layak buat
mereka-mereka yang masih kurang beruntung.
Arjuna merunduk, hela nafas dalam sebelum kemudian
mengangguk dan bawa suaminya ke pelukan. Bahkan gak perlu ada
kalimat sekalipun Nanang paham kalau Arjuna, setuju.
***
Renovasi kamar ini dibawah arahan Arini. Dua kamar kosong
langsung dihias dan direnovasi. Satunya jadi kamar Arini dan
satunya kamar calon putri sang Kakak.
Arini tau kalau Arjuna mau adopsi anak, tapi sepaham Arini ya
anak bayi. Jadi begitu tau kalau anak yang akan dibawa nanti adalah
putri kecil usia 3 tahun, jelas tanpa perlu diminta sekalipun Arini
putuskan buat menetap di Bogor— di rumah Arjuna dan Nanang.
“Aku ya kepikiran, Mas. Mesti kamu-kamu ini kan butuh aku
yang perempuan buat urus hal-hal privatnya nanti.”
“Ya bener, aku ya gak sempet bilang kamu dari awal karena ya
tak pikir kan mau ambil bayi. semisal bayi ya aku masih bisa rawat
seenggaknya sampai 2 tahunan.” Jelas Arjuna sambil mengarahkan
tukang furniture buat masuk-masukan barang ke dalam kamar.
“Mesti Nanang ya yang mau?”

137
balada dosmud

“Iya. Jatuh cinta dia sama anak putrinya.”


“Walaaah, mesti lucu ik! Gak sabar aku! Anjani wes besar, gak
bisa tak ajak main lucu-lucuan.”
“Heh, jangan dimacem-macem sek lah, anaknya butuh adaptasi.”
“Iyo-iyo Mas!”
Persiapan Arjuna luar biasa terperinci; kamar dengan nuansa
perempuan, perlengkapan dan baju yang dia serahkan Arini buat
beli seperlunya sampai bawa langsung pengasuh Adira yang khusus
diberikan dari sang ibu di malang.
Sempurna. Tinggal tunggu berkas-berkas terkumpul dan
putusan resmi itu turun—soal Arjuna dan Nanang yang resmi jadi
orangtua asuh.
“Om nyayaaaaang!”
“Eh, Rakaaaaa!”
Dika geleneg-geleng kepala lihat anaknya itu asal lari aja masuk.
Reza di sebelah Dika langsung ke sebelah Arjuna, lihat situasi
makeover kamar buat calon anak sementara Dika duduk di sebelah
Nanang yang sibuk pangku putranya.
“Lu beneran deh, Nang. Gua diceritain Abang soal lu yang
jadinya ambil anak umur 3 tahunan.”
“Ih, anaknya cakep, Dik! gua jatuh cinta.” Kata Nanang sambil
tertawa.
“Kapan rencana dateng?”
“Minggu depan! doain ya! Duh, gua deg-degan anjir.”

138
balada dosmud

Nanang gak sabar mau bawa si kecil cantik itu pulang. Suasana
rumah yang mulai berubah ini pasti makin seru dengan hadirnya
sang putri nantinya.
Meski ada sedikit ganjal di hati kalau ingat lagi Arjuna pasti di
awal-awal nanti perlu waktu buat beradaptasi, semoga gak terlalu
lama, ya? Semoga calon putri kecil mereka nantinya juga mau
membantu dengan berkenan mengenali mereka pelan-pelan sebagai
orang tua.
***
“Adira, ikut kakak pulang yuk?”
Nanang maju selangkah, coba berjongkok dan sejajarkan netra
dengan perempuan kecil yang sudah rapih berbaju coklat dan pita
putih di kepala.
Hari ini, hari penjemputan. Arjuna cuti sampai seminggu ke
depan buat sama-sama adaptasi bersama Nanang. Mereka
berencana buat berkenalan lewat acara-acara menyenangkan yang
semoga bisa membantu Adira mengenal mereka lebih dekat.
Adira …
Jujur, Arjuna awalnya kaget waktu dengar nama anak ini sama
persis dengan apa yang dia utarakan waktu Nanang buka topik soal
anak.
“Mas, nama aku kan Andanang. Mas kan Arjuna, nah anak kita tuh
harusnya A juga. Kira-kira apa?”
“Adira, Adira Lazuardi.”

139
balada dosmud

Adira artinya perempuan kuat. Arjuna mau putrinya tumbuh jadi


wanita yang mampu lawan dunia di atas kakinya sendiri tanpa perlu
berpangku pada orang lain. Tumbuh dewasa dan cantik secantik
Lazuardi— batu permata yang indahnya dipuja-puji.
Namanya cantik, Arjuna suka. Pun begitu lihat putri kecil ini
juga rasanya pas sekali buat sandang nama tersebut. Perawakan
bocah ini kurus tinggi buat perempuan seusianya. Kulit putih
langsat, mata bulat dengan ujung agak sipit dan rambut lurus
sedikit ikal dibawah.
Kalau boleh jujur, Arjuna awalnya sama sekali gak mau kalau
harus Adopsi anak usia 3 tahunan begini. Arjuna cuma takut, kalau
ada penolakan dari si kecil nantinya. Bagaimana kalau nanti dia
meraung ingat ibunya? Bagaimana kalau nanti gak sudi diadopsi Arjuna
dan Nanang?
“Eh, pinter sekali, tangan Adira kecil ya, pas nih kakak gandeng
nih!”
Namun semua ketakutannya seperti gak berdasar, karena buat
tau sesuatu yang harus dicoba. Adira ini mungkin jodohnya
memang sama mereka. Sudahlah nama dan gender sesuai yang
diinginkan, ditambah lagi belum ada penolakan berarti sejauh
mereka bawa pulang sampai berakhir masuk ke rumah seperti
sekarang.
“Nah, ini kamar Adira! Mau masuk? Liat yuk!”

140
balada dosmud

Adira mendongak, tengok kanan kiri dan berjalan pelan masuki


kamar. Sejak tadi, genggam tangan perempuan ini ke Nanang sama
sekali gak lepas.
Biarlah ya, sekarang biar Nanang yang ambil bagian buat
perkenalkan rumah ke Adira. Arjuna masih punya tugas yang lebih
berat. Iya, soal mengenalkan dirinya dan Nanang ke Adira sebagai
orangtua.
***
Adira sama sekali gak tau, kenapa bisa punya teman banyaaak
sekali. Katanya Ibu, itu saudara-saudara Adira. Lalu kalau itu semua
saudara, kenapa cuma Adira yang di bawa pergi ke rumah ini?
Adira belum bisa mengerti situasi, kepala kecilnya cuma
mengingat sebagian-sebagian kecil yang masih sekelebat muncul.
Adira ingat hujan yang basahi tubuhnya sambil berlalu di
dekapan seorang wanita. Adira ingat tangisan seseorang yang
meminta maaf karena harus tinggal dirinya pergi dan berakhir
duduk sendiri di depan panti. Janjinya, nanti kembali …
“Hiks .. Hiks …”
“Dira? Nangis ya? Kenapa?”
Adira gak tau kenapa sedih. Adira juga gak tau kakak ini kenapa
baik sekali. Sejak kemarin Adira di ajak main dan diberi banyak
makanan enak.
“Gak apa-apa, ikut tidur di kamar kakak mau?”

141
balada dosmud

Adira digendong, kemudian tidur di tengah-tengah dua lelaki


yang berbeda sekali. Satunya lucu dan satunya seram. Adira
kadangkala takut.
“Kenapa, Nduk … takut hujan ya? Ada petirnya ya?”
Tapi kakak yang seram ini juga kenapa pelukannya hangat
sekali? Adira bingung.
Adira ini, siapa? Kenapa disayang sekali sama mereka?
Pelan-pelan Adira hafal muka mereka. Di rumah ini ada 2 lelaki
yang beri Adira perlindungan, ada 1 wanita cantik yang ajak Adira
bermain dan belajar. Lalu ada satu ibu yang suka bantu
memandikan dan memakaikan adira baju.
Mereka ini, siapa? Adira bingung.
“Adira, kami ini orangtuanya Adira …. saya ini Papanya Adira.
Kalau ini, Abahnya Adira.”
Katanya, begitu. Katanya .. mereka itu, orangtua Adira.
Orangtua? Iya, katanya yang akan sayangi Adira sampai kapanpun.
Jadi, Adira punya orangtua, ya? Sama seperti om-om yang
kemarin ke sini sama anak kecil laki-laki itu? Sama juga seperti
tokoh kartun yang Adira tonton kemarin kan ya? Tokohnya
jalan-jalan bersama keluarga naik mobil.
Adira juga begitu sejak kemarin. Dibacakan dongeng sebelum
tidur. Diajak naik mobil ketemu hewan-hewan di kebun binatang.
Disuapi makanan-makanan yang Adira bebas pesan. Digendong
dan disayang.

142
balada dosmud

Adira gak pernah panggil dua lelaki ini dengan sebutan dan
nama. Adira cuma diam sepanjang berminggu-minggu ada disini.
Kalau perlu sesuatu, Adira cuma tarik baju dan tunjuk.
Adira gak berani buat bicara … Adira gak tau harus bagaimana …
Adira sering ketakutan, tapi juga ketakutannya cuma hilang kalau
dipeluk mereka. Adira bingung.
***
“Ya sabar, Dek. namanya juga adaptasi.”
“Tapi dira belum mau ngomong, Mas. Kenapa ya?”
“Menurutku, diamnya dia itu cuma bingung. Kalau memang
Adira gak nyaman, pasti dia itu nangis, berontak.”
Nanang hela nafas, terpejam merapat tubuh di pelukan Arjuna
tengah malam ini. Sisiran tangan Arjuna di sela rambutnya bantu
tenangkan hatinya yang sudah berminggu-minggu kebingungan.
Arjuna juga sama. Bingung. Dua minggu lalu sudah coba bicara
dan perkenalkan diri sebagai orangtua ke putrinya, tapi gak ada
respon selain diam dan mengangguk. Entah apakah benar mengerti
atau enggak.
Mungkin Adira perlu waktu buat mencerna keadaan. Ya gak
apa-apa. Toh putri mereka gak menolak buat didekati. Gak
berontak kalau dipeluk dan diusap sayang. Adira mungkin sedang
mencerna bentuk kasih sayang yang baru kali ini dirasakan.
“Mas.”
“Hm?”

143
balada dosmud

“Makasih banyak ya. Mas tuh aku kira bakal jutek gitu ke Adira.
Eh ternyata malah keliatan sayaaaang banget. Terharu aku.”
Arjuna merunduk, tatap netra yang bersandar di pelukannya ini
serius, “ya aku juga masih nyoba. Masih belum bisa kalau heboh
kayak kamu itu. Paling bisaku ya nimpali obrolanmu tok.”
Nanang terkekh, colek dagu suaminya gemas, “gak apa-apa! Itu
udah bagus banget. Makasih banyak ya!”
Iya, sama-sama. Apapun kalau buat Lazuardinya senang ya
Arjuna sukarela kok. Semoga besok ada hal baru dari Adira.
Semoga besok Adira mulai mengerti, kalau mereka ini bukanlah
sekedar orang lain melainkan orangtua.
***
Satu isi rumah ini sudah gak memaksa apapun. Gak juga
terus-terusan beri paham soal siapa peran mereka di rumah kepada
Adira. Mereka mencoba beri waktu, sampai Adira benar-benar
paham dengan sendirinya soal siapa mereka.
“Ayo nduk ayuuuu, main sama buleeek.” Arini yang selalu temani
sang keponakan bermain.
“Dira, sini yuk anter Papa mau ke kantor tuuuh.” Nanang yang
selalu libatkan Adira di setiap kesempatan interaksi keluarga.
“Nduk, mau jajan?” Arjuna yang selalu coba berikan rasa aman
dan tenang dengan penuhi segala yang dibutuhkan.
Mereka, benar-benar berusaha.

144
balada dosmud

Usaha yang pelan-pelan berhasil ketuk pintu hati si putri kecil


dan mengamini benar kalau mereka semua ini; orang-orang dewasa
yang bersamai dirinya ini, adalah keluarga.
Nanang mungkin gak tau, kenapa Adira turun dari sofa dan
berjalan pelan ke arahnya. Nanang juga belum sadar, kalau Adira
berdiri di sebelahnya. Nanang gak sadar, sampai satu panggilan
kecil terdengar,
“Abah …”
Nanang terkesiap. Handphone di tangan jatuh ke sofa. satu
tarikan di bawah kausnya buat Nanang merunduk dan sekali lagi
dengar,
“Abah …”
Demi? Ini Adira bener panggil gua?
“Dira,” Nanang jongkok, setarakan mata mereka buat bersitatap
serius, “coba ulang lagi?”
“Abah …”
Nanang tersenyum, matanya mengembun dengan binar haru
yang gak terbendung. Buru-buru di telponnya Arjuna. Gak perlu
waktu lama sampai diangkat dipanggilan kedua.
“Mas! Bentar coba dengar— Dira, coba ulang lagi?”
“Abah ….”
Arjuna di seberang sana berhenti dari geraknya menulis.
Matanya berkedip, minta Nanang buat memastikan sekali lagi.

145
balada dosmud

“Dira, coba deh ya .. kalau ini kan abah, kalau ini nih yang di
foto ini? Siapa?”
“Papa …”
Arjuna menyeringai, mengangguk-ngangguk senang dan cuma
bisa berpikir buat batalkan acara sorenya agar bisa pulang segera.
Sambungan telepon masih terdengar jelas, gak dimatikan dan bisa
Arjuna dengar isinya.
“Dira, ini Abah sama Papa ini siapanya dira?”
“Orangtua ..”
“Berarti Dira sayang gak sama Abah dan Papa?”
“Sayang …”
“Seperti kartun itu ya? yang sedang peluk orangtuanya ya?”
“Iya …”
Arjuna seka airmata yang cuma setitik sampai di pelupuk.
Keraskan suara panggilan sambil segera kebut pekerjaan.
Kalau kemarin-kemarin Arjuna selalu bingung soal apa esensi
dari punya anak selain menjadi orangtua yang baik dan benar—
maka kini ia temukan sudah jawabannya, bukan hanya menjadi …
tapi juga menjaga.
Dengan terdengarnya panggilan ‘Papa’ dari sang putri, Arjuna
merasa kalau memiliki Adira, berarti ada satu orang lagi yang akan
ia jaga dan perjuangkan sampai titik darah penghabisan.

146
balada dosmud

Satu permata kecil yang akan ia jaga supaya gak gak hilang
kilaunya sampai buat orang pangling; karena permata satu ini tak
terpajang dan gak sembarangan bisa genggam.
Adira, semoga berkenan ya .. dibersamai kami yang juga masih perlu
banyak belajar. Semoga kamu tumbuh jadi wanita paling bahagia
sedunia.
***
Epilog 1:

“Mas. kenapa pake Lazuardi sih?”


“Ya gak apa-apa.”
“Ih, pake Mahaprana juga cakep!”
Arjuna hela nafas, tutup ipadnya lalu bicara pelan,
“Namamu itu, Andanang Lazuardi. Andanangnya kan sudah tak
spesialkan khusus buat panggilanku ke kamu. Kalau Lazuardinya
biar anaknya yang punya. Jadi pas. ‘Na’ –nya di aku, ‘Lazuardi’-nya
di anaknya. Adil toh?”
“Ih cakep banget!”
Arjuna mendecak, matanya udah merem melek ini ngantuk tapi
gak merem-merem soalnya diajak ngobrol gak selesai.
“Mas.”
“Apalagi, to dek? ndang tidur lah ini mataku wes kriyep-kriyep.”
“Ih, bentar, satu lagi! kalo panggilannya? Aku maunya Abah.”
Arjuna menyeringai sambil terpejam, “Kenapa Abah?”

147
balada dosmud

“Ya soalnya lucu ajaaaa. Kayak kalo misalnya nanti anaknya


manggil aku di tempat umum tuh, yang bakal nengok cuma aku,
soalnya jarang orang yang manggilnya Abah.”
Iya juga ya. Arjuna ya gak kepikiran sampai sana
“Nah kalo, Mas?” Nanang menyamping, tengok Arjuna yang
udah tarik selimut dan tidur, “maunya dipanggil apa.”
“Yang Mulia.”
“Dih, konslet.”

Epilog 2:

“Ih, Abaaaah!”
“Apa sik Diraaaa.”
Arjuna berhenti. Terpejam hela nafas pelan.
Demi tuhan, ini dua ini apa gak bisa gak usah rebutan? Dari tadi
ini yang kecil di gendongannya ini sibuk cari perhatian peluk leher
Arjuna. Satu lagi yang besar ini gelayutan di tangan sambil nyandar
di pundak dan ya berakhir kena tangan Adira.
“Ih abaah rambutnya kena tanganku.”
“Kan mau nyender ke Papa ih.”

148
balada dosmud

Arjuna bisa apa sih selain sabar dan lanjut dorong troli? Ini lagi
belanja loh, kok ya pada gak bisa sabar nunggu sampai rumah?
Tenang wes nanti tak peluk satu-satu.

149
balada dosmud

Playdate
Bagasi penuh, ada tas besar serta beberapa kotak isi makanan yang
jadi perbekalan buat acara penting hari ini. Acaranya sederhana,
cuma bermain di taman bermain khusus keluarga yang ramah anak.
Iya, harus ramah anak, soalnya sekarang gak cuma sekedar Double
date— tapi playdate.
“Gak mbok servis tah, Za? Kok masih gak enak ini?” Ini Arjuna
yang tanya-tanya sambil rasa-rasa mobil yang lagi dia panasin
sebelum berangkat.
“Lupa, Jun. Ya gimana ya, namanya akhir tahun. Mobilnya
kepake terus bolak balik kampus.” Reza tutup bagasi, jalan
mengitari mobil buat masuk ke kursi samping kemudi.
“Mas!”
“Kuaget heh. Suaramu tuh loh.” Arjuna tengok ke bangku
belakang, naikan alis bertanya kenapa Nanang panggil.
“Nanti kita mampir supermarket dulu gak sih? Lupa bawa
minyak angin tau.”
“Gua ada, Nang,” Timpal Dika. “bawa kok ada di tas belakang.”
“Oh yaudah dah kalo gitu. ”
Empat orang dewasa ini ribut, diperhatikan dua anak kecil yang
terpaut beda usia 3 Tahun. Raka di pangkuan Reza dan Adira di
tengah antara Dika dan Nanang.

150
balada dosmud

Inilah kenapa disebut playdate, karena masing-masing bawa


anak. Ide ini tercetus pertama kali waktu google meet santai akhir
pekan.
Nanang yang asal celetuk soal — kangen tau gak pernah double
date lagi! — ditimpali ide lanjutan dari Reza, soal ada taman
bermain yang baru buka di daerah Puncak.
Idenya menarik, Arjuna juga setuju. Selain refreshing bawa
keluarga jalan-jalan. Adira juga jadi punya kesempatan buat
kenalan sama Raka.
Ya … supaya lebih akrab dan punya teman kan? Karena meski
rumah mereka cuma beda blok perumahan, tapi kesempatan
mainnya juga jarang.
Raka sudah masuk sekolah dasar, sementara Adira baru ada
bersama Arjuna dan Nanang sekitar 2 Bulan belakangan, masih
perlu waktu buat adaptasi lingkungan.
“Abah ….” Lirih panggilan putri cantik Arjuna Nanang ini sita
perhatian seluruh orang dewasa yang asyik bicara. semuanya kini
tertuju ke Adira yang tarik kaos Nanang pelan buat bilang— aku
ngantuk.
“Ya ampun, iya cantiiiik, sini sini nih.” Nanang bawa kepala
Adira merebah di pahanya, “kakinya naik aja ke paha Om Dika ya.”
Perjalanan agak panjang, jadi ini anak-anak jangan sampai gak
nyaman, soalnya nanti yang ribet ya mereka-mereka juga sebagai
orangtua, kan? Jadi, ya .. ayo berangkat!

151
balada dosmud

***

“Hadeuh, apa gabisa ini kalo liatnya ga rusa lagi rusa lagi?”
“Heh, namanya bawa anak.”
Ya namanya juga jalan bawa anak, jangan berharap bisa anak
ynag ikutin orangtua, justru kebalikan dong. Orangtua yang ikutin
anak, mulai dari waktu sampai ke mood-moodnya yang gak keduga.
“Duh, Rakanya bad mood deh kayaknya.” Dika garuk kepala
bingung sambil lihat Reza di pojok yang sibuk bujuk anaknya
supaya mau lanjut jalan.
“Lah kenapa, Dik?”
“Itu, Nang. Abang janjinya katanya ada jerapah, lah itumah
taman safari dong. Mana anaknya inget lagi sama omongan
bapaknya itu. Padahal kayaknya Abang juga ngejanjiinnya itu asal
nyeletuk aja deh.”
Jadilah berakhir dengan rencana berubah. Makan siang yang
semula berniat diadakan di satu tempat sesuai susunan acara, justru
berakhir di taman bermain ini.
But, it’s ok! Kita punya Nanang yang serba bisa— apalagi jadi MC
mendadak anak-anak begini oh jangan ditanya. MC Ultah McD aja
kalah!
“Wah! Selanjutnya kayaknya Raka ni yang mau nyanyi sama om
di depan, iya gaaak?” Nanang sodor mic portablenya ke Raka.

152
balada dosmud

“Ih, malu-malu amat ini.” Reza cubit pipi putranya sambil lirik
Adira di pangkuan Arjuna, “itu ada Adira loh, Ka. Ayo ajak nyanyi
sekalian.”
Raka mencebik, mendongak tatap Reza lalu melebur ke pelukan
sang papa sambil bergumam— malu, papa…
Semua yang ada tertawa, terutama Dika yang masih gemes
banget rasanya kalau putranya dan Reza ini malu-malu begini.
Jarang-jarang loh! Raka ini dari TK sudah dapat penghargaan social
butterfly. Bergaulnya cepat dan gak kaku.
“Eh, Ka .. Dira katanya mau liat kelinci tuh di sana, boleh minta
tolong temani tidak?” Ini Dika yang bicara.
Raka berpikir, matanya lirik Adira yang masih malu-malu duduk
di pangkuan Arjuna, “Adiranya mau tidak?”
Nanang dekati Adira, dibisik pelan dan dapat jawaban anggukan
dari putri kecil. Raka jemput Adira, digenggam tangannya buat
diajak lihat kelinci di pojokan dekat pohon sana.
Bagus, jadi ini orangtuanya bisa isi tenaga dulu. Maklum ya,
yang nyupir capek, calon supir ronde berikutnya alias Reza juga
butuh tenaga buat diisi.
“Anakmu, Za. Malu-malu mau.”
“Ya kalo dapetnya kayak Dira sih aku ya kasih restu.”
“Besanan? samamu? Muales.”
“Heh, awas karma ya pak.”

153
balada dosmud

Ya biar aja dua bapak dosen itu ngobrol ya, kasian juga daritadi
cuma diem ajak ngobrol anak.
Setelah ini, mereka punya destinasi berikutnya, yaitu wisata
outbound, jadi banyak yang bisa dinaiki nantinya.
“Yang nemenin flying fox nanti Dika sama Nanang, ya? Biar pas
berkuda, Aku sama Juna.” Jelas Reza sambil lihat list permainan di
wisata berikutnya.
Nanang sama Dika beri jempol, sementara Arjuna sibuk foto dua
bocah yang sudah asyik sendiri sama kelinci di sana itu.
***
Nanang sama Dika ini sama-sama suka tantangan ekstrim
sejenis outbound, mulai dari ketinggian macam flying fox,
spider–net sampai permainan basah-basah di lumpur yang perlu
kerjasama tim.
Sayangnya permainan yang ramah anak di tempat ini cuma dua;
Flying fox dan Berkuda. Karena cuma dua itu yang bisa dilakukan
bersamaan dengan orangtua.
Arjuna sama Reza tunggu di tikar yang di gelar di bawah pohon.
Masuk Arena flying fox agak jauh naik ke bukit buatan, jadi dua
bapak ini pilih duduk sambil ngobrol santai.
“Jadinya Arini di rumah kamu ya, Jun?”
“Iya, bantu-bantu. Bener katamu, ya ternyata kalau anak
perempuan agak harus hati-hati. Keluargaku semuanya wanti-wanti
soalnya, sampai dikasih asisten khusus buat Adira dari ibuku.”

154
balada dosmud

“Wah, Adira diterima banget berarti ya di keluarga?”


“Banget. Kemarin pas akhir bulan tak bawa ke malang, wah itu
sama bapak ibuk gak dilepas itu. Diajak main, sampai staycation
kita semua. Pokoknya aku sama Nanang jadi honeymoon lagi
rasanya, lah wong anak e dipegang orang terus.” Jelas Arjuna sambil
tersenyum.
Reza lambai tangan ke Dika dan Raka yang baru meluncur, “wah
tapi Adira ini gak kaku kan berarti, ya?”
“Enggak, pengamatanku, Adira ini anaknya pendiem tapi bukan
diem yang gimana. Dia itu kayak banyak mikir. Entah ya apa ini
termasuk asal analisa atau enggak, tapi ya menurutku begitu.”
Dua bapak ini bicaranya gak jauh-jauh, kalau gak soal anak ya
soal pekerjaan.
“Berarti kamu ini status di prodi gimana, Jun?”
“Ya sejak kamu keluar dari prodi itu, jabatanku masih sama.
Sekprodi. Cuma kan selesai masa jabatan setahun setelah nanang
wisuda, toh. Aku ngajukan buat gak masuk kandidat Kapordi.
Soalnya masih ngejar penelitian sama proyek-proyek pasca
doktoral. Wes mumet kalo dijelasin, pokoknya ya gitu.”
“Ada niatan pindah ke Jogja dong berarti?”
“Ya pasti ada, lah wong kampusnya di situ.”
“Gak apa-apa, bagus Jun. Biar aku kalo kangen Jogja bisa ada
alesan buat kesana, ya main ke rumah kamu gitu lah.”

155
balada dosmud

Nanang dan Dika kelihatan sudah dekat. Dua bocah kecil ini
sudah lebih dulu berlari, Raka ke Reza dan Adira yang berjalan
lebih pelan buat ke Arjuna.
“Haus gak, nduk?” Arjuna buka botol minum, diberi sedotan
supaya bisa mudah masuk minumnya.
Adira mengangguk, sedot air seperti kehausan. Sepertinya panas
benar di atas tadi, ya? Ini rambutnya sampai lepek begini, harus
diseka tisu.
Arjuna juga tepuk-tepuk bagian belakang tubuh putrinya yang
kelihatan kotor, dilap tisu basah dua tangan kecil ini sebelum
terima kue yang disodorkan Raka barusan.
Dika tersenyum, bisik — bapaknya protektif ya— ke Nanang yang
cuma tersenyum dan mengangguk setuju.
Arjuna ini kalau dilihat-lihat protektif loh. Mungkin gak yang
larang-larang, tapi sikapnya jelas menunjukan begitu. Tuh— kayak
itu tuh, anaknya cuma jalan sebentar ke ujung, matanya Arjuna gak
lepas dan terus diperhatikan sampai kembali duduk.
“Dir, ada rumah pohon tuh, manjat pohon apa, yak!”
“Heh,” Arjuna cubit pipi suaminya yang bicara asal, “anakmu
perempuan. Ngawur. Ajak Raka aja kalau manjat-manjat, jangan
anaknya.”
Dika senggol Nanang sambil geleng-geleng kepala— sumpah ada
aja celetukan ni orang satu.

156
balada dosmud

Setelah isi perut sebentar, sekarang gantian Arjuna sama Reza


yang gerak. Kali ini acaranya naik kuda. Berhubung kalau kuda poni
baru bisa dinaiki anak seusia Raka, jadi supaya adil, semuanya naik
kuda besar tapi berdua bersama orangtua.
Arjuna bawa kudanya gak kencang, cukup jalan aja supaya gak
buat Adira takut.
“Pa …”
“Iya?”
“Kudanya besar.”
“Iya, besar nduk. Kalau kecil itu ya kamu.” Arjuna terkekeh, usap
tangan kecil yang genggam erat pegangan kuda di depan.
Interaksi bapak dan anak putri ini sama sekali gak lepas dari
pengamatan Dika— yang justru merasa kalau Arjuna ini berbeda
sejak ada Adira.
“Jadi tambah banyak senyum gak sih laki lu, Nang?”
“Banget,” jawab Nanang sambil ngunyah roti, “apalagi kalo ke
Dira, beeeuh kalah saing udah gua.”
Arjuna sejak awal berangkat, gak terlalu kaku dan tegas seperti
biasanya. Cenderung datar, tapi lebih ekspresif. Belum lagi tindak
tanduk yang meski tanpa kata tapi halusnya terasa. Ya bener kata
Reza, Arjuna cocok kalau punya anak perempuan.
“Eh, Dik, lucu ya. Dulu kita masih double date, sekarang udah
playdate aja.”
“Iya, lebih ke aneh aja sih kata gua.”

157
balada dosmud

“Aneh kenapa?”
“Kayak— elu akhirnya jadi sama Mas juna. terus kayak gue
punya anak — itutuh gak pernah nyampe kadang-kadang di kepala
gua, Nang.”
“Iya sih, kayak kalo diliat-liat lebih banyak kaga mungkinnya.”
“Makanya, jadi ngeliat kita sekarang tuh gua bersyukur banget.”
“Sukur!”
“Bukan begitu maksudnya Nang.” Dika jitak kepala Nanang
antara sebal dan gemas. Sementara yang dijitak sih cuma cekikan.
Haaah, ada-ada aja.
***
4 Sekawan ini dulu pernah bicara asal di depan api unggun
Ranca upas, beberapa tahun agak kebelakang.
‘kalau bisa nih, double datenya naik tingkat lah ke playdate.’ — Reza
yang cetus dan cuma diaminkan heboh oleh Nanang yang memang
percaya dirinya luar biasa. Sementara Dika dan Arjuna cuma
aminkan dalam hati.
Kini begitu punya foto bersama di depan taman wisata dengan
gendong anak masing-masing, rasanya jadi terharu lagi.
Mungkinkah doa sembarang ucap dulu itu diaminkan semesta
ya? Karena kalau ditelaah lebih jauh lagi, jalan masing-masing
pasangan buat ke titik sekarang ini lebih banyak gak mungkinnya
dibanding mungkin.

158
balada dosmud

Reza senyum lebar betul terima 4 lembar foto yang punya pose
berbeda. Satu foto keluarga. Satu foto bersama dan dua lagi foto
Dika dan Raka sendirian.
“Cakep ya, Dik.”
“Iya, Bang.”
Pun Arjuna yang perhatikan Nanang senyum lebar sekali lihat
hasil foto yang serupa jenisnya dengan yang dipegang Reza.
“Mas, ih ini entar kita pajang ya— Dira, liat deh kamu cantik
banget loh.” Nanang berbagi lihat foto ini ke Adira di gendongan
Arjuna.
Dua Lazuardinya Arjuna ini sama-sama senang, sama-sama
bahagia. Gak ada hal lain yang lebih berarti dari ini semua. Meski
kalau inget lagi besok udah senin dan Arjuna masih harus nyetir ini
agak bikin capek, tapi gak apa-apa. Selama dua Lazuardinya ini bisa
punya satu kenangan baik buat dikenang.
Haah, sudah ya … besok lagi kalau playdate yang dekat-dekat aja.
Arjuna ini jomponya sudah mulai timbul tenggelam alias habis ini
pasti butuh kerokan.
***
Epilog:

Nanang sama Dika lari, gak peduli mie ayamnya yang tinggal
sedikit lagi habis di meja itu. Mereka lari ke suara ribut di ruang

159
balada dosmud

bermain yang mulanya berisik khas anak kecil tapi berganti sudah
jadi lengking teriak Adira dan isak tangis Raka yang sesenggukan.
Dika peluk Raka yang langsung sembunyikan wajah di ceruk
leher sang Ayah. Bocah ini tersedu sedu mengadu soal kenapa bisa
sedih begini. Sementara Nanang bawa Adira ke pojok. Diusap
sayang poni halus sang putri yang sudah lembab keringat.
Adira dan Raka ini sudah setahunan sering bermain. Berawalkan
pertemuan playdate dan berakhir Adira yang sering berkunjung ikut
Nanang ke rumah Dika buat main.
Biasanya juga, Raka selalu ajak si adik kecil ini buat bermain
dengan kumpulan mainannya tanpa pandang bulu. Suka juga
tertawa bersama buat hal-hal lucu. Sesederhana balok yang jatuh
atau Raka yang salah pasang lego.
Dua bocah ini, hampir gak pernah berseteru. Jadi wajar kalau
Nanang dan Dika sama-sama panik begitu dengar teriakan dan
tangisan ini.
Nanang kenal sekali bagaimana Adira. Gak mungkin main
tangan apalagi menendang. Sambil diajak duduk dan bersitatap,
Nanang coba tanya sang putri. Tanya lembut dan halus
sebagaimana Arjuna biasa lakukan di keseharian.
“Nda mau, Bah.”
“Gak mau apa, Dira?”
“Gak mau aka.”
Nanang mengernyit heran— apa maksudnya gak mau raka?

160
balada dosmud

“Rakanya jahatin Dira, gak?” Tanya Nanang lagi, dan dijawab


angguk— eh gelengan pelan. “Loh, jadinya jahatin apa enggak
deh?”
Nanang ganti lihat Dika yang fokus dengar Raka cerita.
Kayaknya sedih banget, sampai sesenggukan itu. Nanang jadi gak
enak, khawatir justru Adira yang lukai Raka.
“Lah, Dik? Lu ngapa senyum?”
Dika di dekat rak buku kecil sana itu tersenyum, peluk Raka
sambil diusap-usap sayang.
“Dik?”
Dika terkekeh, pakai isyarat tangan minta Nanang bawa Adira
mendekat.
“Ka, itu adeknya tuh.” Raka lirik pakai satu matanya, lalu
kembali tenggelam di ceruk lehernya Dika.
Dika ulur tangan, minta Adira buat genggam. Awalnya gak mau,
tapi dengan bujukan Nanang, akhirnya Adira genggam lalu sekali
tarik pelan, sudah ada di pangkuan Dika.
Dika senyum, colek pipi tembam Adira lalu bertanya, “Dira
kaget ya dipeluk Raka?”
Ajaib. Adira mengangguk.
“Adira gak suka?” Tanya Dika lagi. Kali ini jawabannya agak
lama. Justru putrinya Nanang ini malah ikut mau terisak.

161
balada dosmud

“Loh,” Dika terkekeh, “kok nangis sih cantik? Nanti Rakanya


ikut sedih lagi nih.” Dika ajak Raka buat duduk tegak. Syukurnya
mau, meski enggan tatap Adira.
Nanang perhatikan dua bocah ini. Cuma saling diam dan tetap
berakhir Adira yang kelihatan gak nyaman.
“Ka, Duduk di bangku situ ya?” Dika arahkan Raka buat agak
menjauh, duduk di kursi agak jauh dari Dika.
Iya, menjauh, supaya gantian bisa ajak bicara si kecil cantik ini.
“Kenapa sih, Dik?”
“Biasa. Beda love language.” Bisik Dika.
“Lah? Bisa gitu?” Dika minta Nanang diam dulu. Biar ganti Dika
bicara sama Adira. Dika gak bohong, anak mereka berseteru cuma
karena salah paham.
Dari ceritanya Raka, Dika bisa ambil kesimpulan. Kalau Raka
sedih karena merasa ditolak Adira. Merasa tidak dianggap teman
karena perhatiannya gak diterima.
Raka ini, anak peluk banget. Terbiasa buat bagi perhatian dan
sayang lewat usap penuh perhatian dan pelukan hangat— persis
orangtuanya.
Sementara Adira, sepaham Dika justru gak begitu. Setahunan
belakangan, Dika cukup paham kalau bentuk perhatian Adira itu
seperti Arjuna yang diam diam bergerak beri perhatian.
Seperti tiba-tiba minta dua gelas minum, ternyata satunya buat
Raka. Atau waktu baru pulang dari Malang kemarin. Adira bawa

162
balada dosmud

satu mobilan kecil yang ditaruh di tempat mainan Raka— sepertinya


oleh-oleh. — Dan dari semua kumpulan karakter dua anak ini,
sangat wajar kalau hari ini ada kesalahpahaman.
Raka dan Adira sedang lomba bentuk Lego. Siapa yang cepat, dia
yang menang. Sayangnya Lego Adira runtuh tengah jalan. Padahal
sedikit lagi menang.
Pahamnya Raka— pasti sedih ya legonya runtuh? Jadilah Raka
beranjak beri pelukan. Berniat menenangkan kalau— gapapa roboh,
jangan sedih.
Sayangnya, Adira gak suka. Mungkin di hati si bocah kecil ini,
rasanya seperti dikasihani, seperti diledek. Iya, bahasa cintanya
Raka ini gak tersampaikan ke Adira. Berakhir Adira tepis pelukan
Raka dan Raka sakit hati.
‘Diranya gamau aku, Ayah.’
Raka gak biasa dapat penolakan. Bocah ini juga dapat contoh
dari Reza yang gak pernah ditolak Dika setiap beri pelukan. Jadi
rasanya sakit … begitu teman kecilnya ini tolak perhatiannya.
“Ya ampun, Diraaa ..” Nanang usap surai halus putrinya sambil
tersenyum, “dira gak suka dipeluk?”
Adira diam.
“Dira coba tenang dulu aja ya. Coba sini liat Abah sini.”
Adira tatap Nanang sambil bingung, antara mau menangis
karena dengar Raka yang masih terisak atau mau membela diri
karena— aku gak salah, abah …

163
balada dosmud

Adira butuh waktu. Butuh memahami hal yang belum sampai ke


akal kecilnya ini. Sampai kalimat pelan Nanang mengalun …
pertanyaan kecil buat validasi hati sang putri.
Adira sedih? Adira kesal? Adira tidak suka dipeluk peluk ya?
Pertanyaan sederhana itu, buat Dira gak merasa dipojokan. Merasa
diberi ruang buat validasi perasaan yang sama sekali gak merasa
bersalah.
“Iya, Abah …”
“Ya udah, sini peluk duduk sama Abah dulu sini.”
Dua bocah ini, cuma belum paham kalau rasa sayang tiap
manusia itu memang berbeda. Jadi gak apa-apa deh. Cukup
sekarang paham dulu ya kalau Raka gak berniat buruk ke Dira—
pun Raka juga paham, kalau Dira gak bermaksud tepis Raka seakan
gak butuh dan gak mau berteman.
“Dira sudah oke?” Tanya Dika
Adira mengangguk. Nanang bisik sesuatu ke Adira. Lalu si kecil
segera berjalan ke dapur dan kembali dengan susu coklat ultra milk
dingin.
Adira sampai ke sisi Raka. Jongkok buat cari mata putra
Dewangga ini. Begitu bersitatap, Adira senyum, julurkan indomilk.
Raka meski ragu-ragu tapi tetap ambil dan ucap terimakasih.
“Ayo, Dir. Minta maaf dulu sama Raka yak!” Nanang semangati
dari tempatnya duduk. Dira duduk, ambil tangan Raka buat
digenggam lalu ucap permintaan maaf.

164
balada dosmud

“Tidak didorong lagi ya akunya ..” jawaban lirih Raka ini buat
Dika dan Nanang tahan tawa dipojokan.
Drama kali ini, rasanya buat Nanang dan Dika jadi berpikir
berdua. Kayaknya kalau Arjuna nikahnya sama Reza, ya kayak gitu
itu kali ya? Emang udah paling bener Arjuna sama Nanang, terus
Reza sama Dika sih.
“Anak lu Dik. Drama kayak bapaknya.”
“Anak lu juga noh.”
Sumpah, ini anak kecil dramanya udah kayak apa aja buset. Gemes!
***

165
balada dosmud

outro: rumah
Yogyakarta, Indonesia.

Lelaki awal 40an ini berencana langsung masuk rumah dan


merebah dari hari lelah di universitas seharian, tapi langkahnya
justru bukan mengarah ke pagar, melainkan ke pohon di tengah
taman kecil rumah. Ke satu pohon Sukun besar yang terlihat
seorang gadis kecil bertengger sambil bersiul santai— siulan indah
yang berganti cengengesan begitu sadar diperhatikan dari bawah.
“Adira Lazuardi.”
“Hehe,” Adira garuk kepalanya meski gak gatal, perlahan pegang
batang buat turun dari pohon, berdiri di hadapan Arjuna sambil
bingung harus bilang apa selain— “kata Abah boleh soalnya.”
Arjuna masih bersedekap dada, tatap lurus permata kecilnya
yang salah tingkah.
“Dir, udahan manjat— eh, si bapaknya pulang ternyata.” Ini
Nanang yang muncul dari jendela kamar sambil cengengesan lihat
Arjuna yang geleng-geleng kepala.
Ya Tuhan, Apa pohonnya Arjuna tebang aja ya? Kemarin akses naik
ke genteng sudah ditutup— sekarang masa pohon yang ditebang?
Padahal mall deket kok ya, kenapa gak hobi nya tuh belanja aja
gitu loh, ini justru kalau gak naik genteng, ya manjat pohon. Anak
ajaib, sama aja kayak Abahnya.
“Papa jangan marah.”

166
balada dosmud

“Gak marah, nduk. Ini namanya khawatir.” Arjuna bawa putri


kecilnya ke gendongan. di bawa masuk ke dalam rumah cantik yang
sudah jadi saksi bisu kehidupan keluarganya lima tahun
belakangan.
Tahun kelima lewat sudah dari pertama kali Arjuna boyong
keluarganya kemari— ke kota yang katanya setiap sudutnya punya
cerita. Iya, kota ini adalah Yogyakarta.
Kalau ditanya apa kabar terbaru yang bisa diceritakan, maka
kurang lebih ya ini; Adira sekarang sudah sekolah dasar, masuk
kelas 2 di salah satu sekolah internasional yang khusus Arjuna
pilihkan. Nanang meski gak bekerja di luar, tapi berkegiatan urus
bisnis bersama Arini di beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan
marketing. Sementara Arjuna sendiri, resmi sebulan lalu disahkan
jadi Kaprodi jurusan— gantikan bu Rani yang sudah naik ke
Dekanat Fakultas.
Sibuknya Arjuna semakin hari ya jangan ditanya. ibarat kata,
kalau mau bertemu, ya harus buat janji dulu seminggu sebelum.
Bukan cuma karena pekerjaan, tapi karena Arjuna memasukan
waktu bersama keluarga dalam urutan prioritas pembagian
waktunya.
“Anaknya kok ya dibiarin manjat pohon sih, Dek?”
“Daripada panjat sosial.”
“Heh.”

167
balada dosmud

“Wkwkwk. Iya ih! Maaaap. soalnya anaknya juga keliatan


pengen banget.
“Ya jangan ditinggal lah seenggaknya.” Arjuna cium kening
suaminya sambil ditarik masuk ke rumah.
Soal rumah.
Rumah hangat keluarga Arjuna ini berlokasi di dalam
perumahan mewah, tepat bersebelahan dengan satu hotel ternama
di Yogyakarta.
Rumah yang meski Arjuna beli jadi, tapi tetap ada sentuhan
Nanang di tiap sudutnya— meski soal cat tetap gak jadi hijau orang
kaya sebagaimana celetukan dulu itu ya — tapi mulai dari furniture
sampai hiasan, semuanya Nanang yang urus.
‘Ini tuh gak bagus feng shui nya!’
‘Ini bagusnya di sudut deh, soalnya bentuknya oval.’
‘Ini keluarin aja mas, gak bagus di dalem’
Buat Arjuna, rumah ya yang penting sesuai fungsi, tapi bagi
Nanang, estetika harus betul-betul diperhatikan. Ya jadilah rumah 2
Lantai yang siapapun sekilas lihat pasti rasa betapa hangatnya
rumah yang cuma diisi 4 orang ini.
Rumah ini, meski isi orang-orangnya sibuk, tapi gak pernah
hilang kehangatannya. Rumah ini juga yang jadi saksi betapa Arjuna
dan Nanang setiap harinya bertumbuh dan belajar bersama soal banyak
hal.
“Capek bener tu muka.”

168
balada dosmud

Arjuna gak jawab. Cuma duduk di pinggir ranjang dengan


tangan bertumpu di kasur dan kepala menengadah ke atas. Diputar
putar pelan lehernya sambil terpejam. Nanang naik kasur,
bersimpuh di belakang tubuh Arjuna.
“Nah gitu itu— agak kiri pundak— ah, uenak e.” Arjuna
menyeringai kecil.
“Tegang amat ni urat, abis ngapain sih?” Tanya Nanang sambil
terus pijat pundak suaminya kuat kuat.
“Banyak rapat. Banyak adu argumen. Banyak mikir. Begitu.”
Nanang senyum, melongok sedikit dari pinggir buat lihat muka
Arjuna.
“Apa?” Arjuna tanya balik sambil lirik Nanang yang
senyum-senyum.
“Nggak dih. Mau liat aja kenapa sik?”
“Bayar.”
“Dih.”
Arjuna genggam tangan Nanang di pundaknya. Sekali tepuk dan
langsung arahkan lelakinya buat turun lalu duduk di pangkuan.
“Aduh ih.” Tangan Nanang melingkar di leher Arjuna. Mengerat
supaya gak jatuh.
Jemari Arjuna merayap pelan rengkuh pinggang sempit di
pangkuan. Tanpa kata bersandar di dada Nanang seperti bayi yang
cari kenyamanan buat terpejam.

169
balada dosmud

Nanang terkekeh. Usap surai Arjuna pelan tanpa bertanya. Ia


suka waktu Arjuna manja begini. Mukanya masih tegas lugas tapi
tingkahnya justru berbanding terbalik.
Sekian tahun hidup dampingi Arjuna ini justru buat Nanang
temukan hal-hal baru yang memang cuma akan diperlihatkan pada
dirinya seorang; manjanya, sumringah senyumnya, tawa kecil khas
bapak-bapak yang meski garing tapi candu buat didengar.
“Wangi, udah mandi ya kamu?”
Nanang terkekeh geli rasa endusan Arjuna di sekitar lehernya.
“Ya kali nyambut anda masih bau, pak.”
“Mandi lagi ya.”
Lucu kan? Tau-tau Nanang digendong pergi ke kamar mandi.
Didudukan di sebelah wastafel sementra Arjuna atur air di bathtub
supaya hangat.
Dari tempatnya ini Nanang cuma bisa nikmati pemandangan
yang mau dilihat seumur hidup juga gak akan bosan. Arjunanya
yang gulung kemeja sebatas siku dan berjongkok buat atur air.
Kemudian berdiri sambil lepas dasi dan lirik kanan kiri seperti
berpikir— mau disayang atau diterkam ya?
Netra keduanya tertaut, tanpa butuh banyak kata seperti sudah
tau soal isi masing-masing benak yang berakhir saling peluk dan
cium pelan.
Nanang yang duduk di wastafel ini sejengkal lebih tinggi dari
Arjuna, jauh lebih bisa eksplor pagutan yang makin intim terasa.

170
balada dosmud

Jamahan tangan Arjuna di sekujur piyama satin Nanang juga


buat bulu kuduknya meremang seketika, begitu ahli jemari kasar
lelakinya ini buka satu persatu kancing tanpa perlu melihat ke
bawah.
Pagutan terlepas dan ganti Arjuna sapa tiap inci kulit tubuh
lazuardinya penuh pemujaan. Seperti mau utarakan rindu tapi
dengan cara berbeda dari kebanyakan orang.
Gaya Arjuna, ya begini. Meski kadang buat Nanang kepayahan—
karena harapannya ya cuma tidur berdua di kasur sambil berbicara
hangat soal hari Arjuna yang katanya berat itu. Namun ya mau
bagaimanapun bentuknya, toh gak bisa juga Nanang tolak.
Hangat air sapa kulit keduanya yang sudah bebas dari kain.
Polos terendam air yang rilekskan tubuh. Nanang peluk Arjuna.
Bersandar di dada suaminya yang bercerita pelan soal beberapa hal
hari ini lebih rinci.
Kalau ditanya soal deep talk, maka deep talk versi mereka ada dua
genre; hangat di kasur atau panas di beberapa tempat. Tergantung
apakah pembicaraan tersebut perlu tukar pendapat atau sekedar
butuh didengar.
“Masnya terus gimana?”
“Ya aku coba usahakan dulu supaya gak perlu sampai
berbulan-bulan juga studi banding ke luar negri.”
Pembicaraan kali ini seputar pekerjaan Arjuna di universitas.
Pembicaraan dalam yang tidak terlalu butuh saran apapun dari

171
balada dosmud

Nanang. Arjuna cuma butuh didengar. Jadi ya wajar kalau bicaranya


sambil buat Nanang terpejam keenakan disayang-sayang begini.
Arjuna bicara, sambil jarinya terus bergerilya sana sini. Sesekali
ganti Nanang yang usap sabun ditubuhnya sembari terus dengar
ceritanya tanpa selak berarti.
20 menit, berakhir dengan Arjuna semat cium di kening dan
tarik tubuh cintanya buat diajak keringkan tubuh dan berpakaian.
Di balik banyak gantung baju yang coba Arjuna pilih ini ia
tersenyum geli. Hatinya yang semula banyak simpan kesal sisa
rapat seharian justru berangsur lapang.
Terimakasih buat Andanangnya yang makin hari makin mau
mengerti kalau kadangkala Arjuna memang gak bisa buat bagi soal
isi hati lewat kata. Semoga juga tersampaikan, kalau Arjuna meski
minim kata begini tetap butuh Nanang buat bagi sebagian beban
pundaknya supaya terasa ringan.
“Mas. Sini!” Nanang yang sudah merebah sambil bertumpu
kepala di tangan ini senyum-senyum ajak Arjuna buat gabung di
kasur.
Kalau Arjuna bagi kisah di ujung hari begini soal dunia luar,
maka Nanang berbeda. Seringnya cerita soal apa dan bagaimana
Adira seharian.
Meski ya gak bohong, kadang Arjuna capek juga harus pasang
kuping waktu matanya 5 watt begini, tapi ya namanya juga bagi
peran, ya gak apa-apa. Ceritanya juga gak lama, cuma sekian belas

172
balada dosmud

menit dan berakhir dengan tukar pendapat sederhana yang gak


perlu dipikir keras.
“Iya, wes nanti tak pikirkan lagi.”
“Makasihnya mana?”
Arjuna lirik suaminya heran— yang dilirik cuma kasih tunjuk
pipi sambil ditunjuk-tunjuk— walah, minta cium tah?
“Daritadi udah kok ya.”
“Beda! ini tuh apresiasi buat aku yang udah sabar banget
ngadepin Adira yang minta naik pohon. Coba yak, nih bayangin,
aku tuh mengerahkan sekuat tenaga loh membujuk dengan baik
dan benar sebagaimana arahan bapak Doktor Arjuna Putra
Mahaprana—” Senyum, Nanang cengengesan begitu satu cium
sampai di pipinya.
Sudah, ayo istirahat.
“Mas”
“Tidur, Dek …”
“Good night sayaaaang!”
“Hm…”
Haah, Sekian tahun berlalu, nyatanya mereka masihlah sama
tanpa ada perbedaan berarti. Meski genrenya kadang lucu begini
tapi rasanya seperti diingatkan lagi— soal mau seberat apapun
beban dihadapi nanti, Arjuna selalu punya tempat buat pulang dan
berbagi. Iya, ke rumah tak beralamat yang selalu jadi tempatnya

173
balada dosmud

berpulang tanpa perlu takut dihakimi apalagi disakiti. Rumah itu,


selamanya adalah Andanang Lazuardi.
***

174
balada dosmud

Belajar Seumur Hidup


Pagi di rumah Arjuna selalu begini; ramai. Mulai dari kicau Arini
yang komentari tata rambut keponakannya, Nanang yang sibuk
komentari ini itu soal berita di TV dan Adira yang suka sekali
menimpali pembicaraan siapapun di rumah.
Arjuna yang cuma bisa dengar semua berisik ini dalam diam dan
seruput kopi di teras depan ya sudah biasa. Justru aneh rasanya
kalau rumah ini mendadak hening dan sepi.
“Dira, ayo itu papa kamu nunggu tau.”
“Bentar, Bah!”
Lari kecil perempuan berkuncir kuda ini sambil beri lambaian
tangan buat Nanang yang cuma bisa antar sampai gerbang.
“Pagi Yang Muliaaaa!” Adira cium tangan Arjuna, pasang
seatbelt sambil tiap tindak-tanduknya ini diperhatikan Arjuna.
“Tasmu baru ya nduk?”
“Hehe, dibelikan bulek, Pa!”
Arjuna geleng-geleng kepala sambil tancap gas mobil— susah
kalau udah kena rayu Arini, mesti belanjanya macem-macem. Ya
tapi gak apa-apa sih, daripada malah naik genteng lagi kayak
kemarin-kemarin.
Punya anak putri, nyatanya seperti ada aja kejutan tiap harinya.
Soal tumbuh kembang, soal mengenal jiwa dan karakter keputrian
Adira, dan masih banyak lagi. Belajar menjadi orangtua yang mana

175
balada dosmud

gak ada sekolah khusus buat belajar. Karena semuanya, berdasar


insting dan pengalaman.
“Pa, aku sekarang udah bisa baca novel-novel abah loh.”
“Walah, wes lancar tah?”
“Lumayan! Aku baca …” Kicau suara lucu ini lagi-lagi bicara soal
hal baru yang akan Arjuna catat buat jadi pengingat.

Soal Adira
1. Hari ini, katanya dia bisa baca novel.
○ Catatan buat kita; harus segera pisahkan novel
dewasa dan ganti dengan buku cerita anak-anak
usia 8 Tahun

Soal menjadi orangtua, nyatanya gak semudah teori yang tiap


malam selalu Arjuna baca dari banyak penelitian dan jurnal. Selisih
paham dan pendapat juga bukan sekali dua kali mereka hadapi—
namun terimakasih karena selalu ada titik temu dari segala
perdebatan tersebut.
“Papa! Ih aku cerita tauuuuu! denger gaaaak?”
“Denger kok ya cah ayu.” Arjuna tarik rem tangan. Berhenti di
parkir satu sekolah internasional, “tasnya awas ketinggalan.”
“Pokoknya aku entar cerita lagi, soalnya masih panjang.” Adira
lepas seatbelt, cium tangan dan pipi Arjuna lalu melambai tangan

176
balada dosmud

dan pamit. Arjuna perhatikan langkah putri kecilnya sampai hilang


di balik tembok besar.
Haaah, kok ya gak kerasa makin besar kamu itu nduk .. nduk.
***
Minggu pagi, biasanya diisi acara khusus keluarga, kalau gak
jalan keluar rumah, ya berarti dirumah aja. Mungkin diisi dengan
kegiatan beberes rumah atau sekedar temani Adira bermain.
Khusus minggu pagi ini, sesuai pembicaran semalam, Arjuna
mau Nanang pisahkan novel-novel yang gak relevan buat anak usia
Adira. Karena Arjuna gak tau mana novel yang pas dan enggak, jadi
ya ini Nanang yang sibuk seleksi di lemari buku.
Bukunya lumayan banyak, Nanang gak sangka kalau
novel-novelnya ini sudah menumpuk. Sekarang aman, yang tersisa
di rak buku depan ini semua ramah anak, sementara yang gak
ramah dipisah dulu kamar dalem yak— takut berantem tu buku wkwk.
“Dir, bantu Abah sini dong.”
“Aku lagi sibuk, Bah!”
Arjuna yang sedang persiapkan bahan ajar buat minggu depan
di kursi tamu waktu itu beralih, tatap Adira dengan tatapan
menyelidik.
“Ih, bentar aja Dir, bawa buku nih ke dalem yuk.”
“Abah liat deh, aku lagi sibuu—”

177
balada dosmud

“Jawabnya apa itu, nduk?” Tanya Arjuna halus tapi tegas secara
bersamaan. Adira yang sibuk gambar ini berhenti bergerak—jadi
salah tingkah dan bingung.
Arjuna tutup Ipad, berjalan hampiri sang putri yang awasi
pergerakan sang Papa sedikit ketakutan. Nanang di balik tubuh
Adira sudah beri kode— udah ih mas, gak apa apa! — namun Arjuna
gak peduli.
“Coba ulangi jawabannya.” Arjuna duduk di samping Adira,
tunggu putri kecilnya bicara.
“Pa …”
“Loh, coba ulangi lagi?”
Nanang cuma bisa pijat kening, bingung harus bagaimana. Di
satu sisi, Nanang gak merasa ada yang salah sama jawaban Adira,
tapi di satu sisi, dia gak bisa terang-terangan bela Adira sekarang—
karena bagaimanapun, namanya orangtua harus satu suara di depan
anak.
“Kalau besok Adira minta tolong papa, lalu papa jawab begitu,
apa kamu berkenan?” Arjuna tanya tanpa lepas sorot tegasnya dari
sang putri.
“E—enggak … Pa.” Adira, baru kali ini kena tegur
terang-terangan. Arjuna biasa beri nasihat sebelum tidur jika
memang ada beberapa perilaku Adira yang kurang berkenan bagi
Arjuna. Seperti waktu naik genteng dan naik pohon, Arjuna gak
marah, tapi beri nasihat sambil diusap sayang sebelum tidur.

178
balada dosmud

Dan kali ini, Arjuna luar biasa terlihat kurang sukanya.


“Papa sama Abah ndak pernah contohkan buat jawab
permintaan tolong ketus begitu, apalagi gak noleh waktu jawab.”
Kalimat final Arjuna berakhir dengan tepukan halus di kepala Adira
kemudian pergi, ke kamar.
Nanang hela nafas begitu Arjuna buka pintu kamar dan masuk
tanpa tutup kembali pintunya— seperti beri isyarat buat Nanang
ikut masuk.
“Abah …”
“Bentar, ke dalem dulu ya.”
Hari ini minggu tapi suasananya berubah agak kaku. Adira
berakhir duduk sendiri di ruang tengah, kepala kecilnya merunduk
dengan tangan yang sudah gak lagi mood buat lanjut menggambar.
Dalam diam, perempuan ini masih coba telaah kalimat sederhana
sang Papa yang bilang kalau Adira katanya gak sopan.
“Mas! Aku gak kenapa-kenapa loh!” Nanang buka suara setelah
pastikan pintu tertutup sempurna.
“Gak bisa, Dek. Itu masuk etika. Aku gak pernah mau anakku
arogan begitu.”
Ya, sekali lagi Arjuna dan Nanang berdebat. Mereka kali ini ada
pada pendapat berbeda. Nanang dengan pola asuh yang santai dan
Arjuna yang selalu menitikberatkan tatakrama.
Dulu sekali, waktu Adira usia 4 Tahun, Arjuna sudah pernah
sekali bicara soal pola asuh Nanang yang kadangkala kelewat

179
balada dosmud

santai. Rasanya seperti teman, tapi kalau dibiasakan justru bisa


buat mereka gak punya harga diri sebagai orangtua— dan Nanang
mengakui itu.
Kali ini, Arjuna juga gak mau sampai kecolongan.
“Dek,” Arjuna ajak Nanang duduk, bicara tegas dengan mata
yang saling tertaut, “Dira ini sekarang sudah sekolah, ada campur
tangan dunia luar di tingkah lakunya,”
jempol besar Arjuna usap punggung tangan Nanang halus, “aku
kenal putriku, baru kali ini dia arogan begitu. khawatirnya, itu dia
dapat contoh dari teman atau gak sengaja lihat tv.”
Nanang resapi satu-persatu kalimat Arjuna yang ada benarnya.
Putri mereka kini punya dua dunia; rumah dan sekolah. Ada
sebagian waktu yang gak bisa mereka pantau sebagai orangtua.
“Tapi Diranya kasian tadi mas, dia takut.” Nanang genggam
jemari Arjuna, dibawa ke pipi buat diusap sayang.
Arjuna hela nafas pelan, “habis ini tolong kamu diem dulu di
kamar, biar aku yang ngobrol sama Dira.”
“Kapan mau ngomong ke Dira?”
“Sore aja, biar dia sekarang ambil waktunya buat mikir dulu.
Biar bagaimanapun itu salah, gak sopan bicara begitu ke orang
lebih tua.”
Nanang mengangguk, mengamini kalimat Arjuna yang
jelas-jelas masuk akal.

180
balada dosmud

Mereka berdua diam. saling tatap lalu sama-sama senyum dan


berpelukan.
“Maaf ya, Mas.”
“Loh kenapa?”
“Kayaknya dira begitu juga gegara aku yang ga tegas kali ya.”
“Mungkin?”
“Hm … entar deh, aku pikir-pikir lagi kalo misal mau ngomong
sama dira.”
“Iya, bagus begitu. Biar gak salah.”
***
Arini tau, kalau Arjuna tadi sempat tegur Adira. Entah teguran
apa, tapi yang pasti berhasil buat Arini gak jadi turun ke lantai
bawah.
“Bulek …” Satu ketukan di pintu ini jelas Arini tau siapa.
“Masuk.”
Adira masuk, berjalan lunglai lalu ambil posisi berbaring
merebah di sebelahnya. Perempuan kecil ini diam, lalu kemudian
perlahan terisak tanpa beritahu apapun ke Arini. Isaknya sendu tapi
gak keras, lebih kepada sedih tapi bingung.
Arini cuma bantu tenangkan dengan usap surai panjang ini
perlahan, dibuat nyaman sampai akhirnya satu persatu kalimat
keluar dari bibir si keponakan cantik.

181
balada dosmud

Katanya, Adira gak sengaja jawab pertanyaan Abah dengan tidak


sopan. Adira juga gak sadar kalau jawabnya begitu dan bahkan
sampai gak tengok Abah sewaktu jawab.
“Papa tegur Adira berarti?”
“Iya bulek … t—terus, a–aku …” isaknya muncul lagi, kali ini
Adira masuk ke pelukan Arini.
“Terus apa?”
“Terus aku dimarahin Papa …”
Arini tau kok, Arjuna pasti gak tinggal diam kalau soal etika
begini. Dulu, waktu Arini jutek ke bapak aja langsung ditegur di
tempat. Ya pasti juga Adira dapat perlakuan yang sama.
Meski begitu, Arini tau pasti cara tegur Arjuna seperti apa.
Bukan dimarahi sebagaimana penjelasan Adira, tapi ditegur dengan
kalimat tegas.
“Sudah belum ini nangisnya?”
“Sudah …”
“Denger bulek ya,” Arini bawa muka Adira buat diajak
bersitatap, “papa itu bener loh, memang yang kamu lakuin itu gak
sopan … papa berhak sekali marahi kamu.” Arini tersenyum, jawil
hidung keponakannya gemas.
“Papa marah banget ya bulek?”
“Enggak, itu Papamu cuma tegas. Enggak ngebentak toh?”
Adira menggeleng, “tapi serem.”

182
balada dosmud

“Loh ya memang sudah dari sananya kalau urusan mukanya


serem, tapi bulek jamin, papa itu cuma tegur. Harapannya supaya
kamu gak salah lagi. Udah gak usah dipikirin ya? Yang penting
kamu mengakui kalau salah dan gak mengulangi.”
Adira mengangguk, usap air matanya lalu kembali peluk Arini.
Di kepala kecil Adira, sekarang cuma berpikir bagaimana caranya
meminta maaf ke papa? Pintunya tadi ditutup, Adira takut mau ketuk.
***
From: Arini
Mas, anak wedokmu nunggu depan kamarmu itu, baru mandi
langsung turun. Kayaknya mau ngomong tapi gak berani ketuk pintu.
Kasian itu habis nangis. Kayaknya teguranmu ya masuk kok ke
telinganya.

“HUWAAA ANAK AKUUU.”


“Sssst, tenang aja, Dek. Gak kenapa-kenapa anaknya.”
“Ih, tapi nangis dia.”
“Ya gak apa-apa, berarti masuk tegurannya. Wes aku aja yang
keluar, kamu tunggu sini ya.”
Arjuna buka pintu, sambangi Adira yang sisir rambut di ruang
tengah— seperti sengaja tunggu orangtuanya keluar setelah 4 jam
gak muncul.
“Nduk, baru mandi?”

183
balada dosmud

Adira mengangguk, sepertinya masih takut dan bingung mau


bicara apa. Arjuna hampiri sang putri, ambil sisir pink di tangan
sang kecil ini buat diambil alih alih.
Mulanya hening, cuma Adira yang tatap sang Papa yang sibuk
sisir rambutnya perlahan. Sampai kemudian Adira buka suara.
“Maaf, Papa.”
“Loh, kok maaf ke Papa?”
Iya, Adira minta maaf karena sadar betul kalau jawaban
ketusnya waktu sang Abah minta bantuan itu memang gak pantas.
“Adira paham gak dimana letak salahnya?”
“Adira nggak liat muka Abah waktu jawab. Terus jawabnya
ketus.”
Arjuna mengangguk, masih sisir rambut yang kini diberi belah
tengah buat poni, “terus menurut Adira bagusnya jawabnya seperti
apa?”
“Hm … harusnya aku berhenti gambar terus bantu Abah, atau
kalau gak kayaknya aku bilang abah misal sebentar lagi ya abaaah—
gitu gak, Pa?”
“Boleh, begitu itu lebih enak di dengar kan?”
“Iya…”
“Terus, apalagi?
Perempuan cilik ini juga utarakan, kalau jujur saja— ia takut.
“Papa serem tah, nduk?” Arjuna pasang jepit kecil di sisi poni.
“Serem.”

184
balada dosmud

“Padahal papa gak teriak, iya kan?” Arjuna terkekeh, taruh sisir
di sebelah mereka yang duduk saling berhadapan ini.
“Denger papa ya,” Arjuna taruh tangan di pundak kecil Adira,
“papa gak suka sama sikapnya Adira tadi itu. Anak cantik kok
ngomongnya ketus gitu? Yo ga cocok sama mukanya yang kayak
princess ini.” Arjuna senyum sambil jawil hidung sang putri yang
mulai bisa tersenyum
“Maaf ya, Pa.”
“Minta maafnya sama Abah. Mau?”
Adira mengangguk antusias. Begitu dipersilahkan buat masuk
kamar orang tuanya, bocah ini berlari dan tubruk Nanang yang
asyik rebahan di sofa kamar.
“Diraaa ya ampun Abah ni kurus oy!” Gurau Nanang sambil
angkat sang putri ke pangkuan.
“Hehe! Abah tadi minta tolong apa? Maaf ya tadi akunya fokus
gambar.”
“Hadeuh, emang ni fokus banget, kayak lagi lomba gambar
internesyeneeeel!” dipeluk erat putrinya sampai si kecil mengaduh
dan panggil-panggil Arjuna minta tolong.
Nanang terkekeh, kedipkan mata buat Arjuna yang di pinggir
pintu cuma berdiri bersedekap tangan di dada.
Sekali lagi, mereka belajar. Pelajaran baru yang cuma bisa
didapat dari kejadian. Pelajaran kali ini, soal bahu membahu
kompak dan satu suara.

185
balada dosmud

Terimakasih buat Nanang yang mau mengerti dengan gak selak


teguran Arjuna serta memilih diam tunggu waktu buat bicara
berdua.
Karena mau sehebat apapun cara yang mereka pilih dalam
mendidik Adira, gak akan pernah berhasil kalau masih punya cara
berbeda yang gak satu suara.
***
Nanang bergelayut manja di lengan Arjuna. Cengengesan sambil
bicara banyak yang agak gak jelas sebenarnya tapi tetap sukarela
Arjuna dengar.
Arjuna mencoba buat menghargai waktu mereka yang khusus
cuma buat berdua, karena sejak Adira datang ke kehidupan, rasanya
quality time berdua begini bisa dihitung jari frekuensinya tiap
bulan— dan kali ini cottage pinggir pantai wisata jadi pilihan buat
habiskan waktu siang hingga petang.
Cottagenya mewah, ada bilik privasi yang mengarah langsung ke
pantai cantik di sana.
“Mas! Aku mau makan ini deh.”
“Ya pesen aja, gak usah kayak orang susah lah.”
Arjuna masih fokus lihat pantai, biar aja suaminya yang pesan
buat makan siang. Arjuna lebih pilih merenung sebentar sebelum
setelah makan siang nanti bakal bicara banyak berdua sama
Nanang.

186
balada dosmud

Kalau ditanya apa perbedaan signifikan yang paling kelihatan


dalam pernikahan, mungkin salah satunya adalah cara diskusi
mereka yang makin variatif.
Dulu, awal-awal mungkin sebatas obrolan tengah malam atau
pagi sebelum berangkat kerja. Biasanya juga sebatas
masalah-masalah sepele yang bisa diselesaikan berdua.
Namun tahun beranjak, nyatanya rumit masalah juga perlu
dipikir matang buat diselesaikan— dan itu berarti gak cukup kalau
cuma di kamar.
Nanang yang pertama usul buat cari tempat-tempat cantik kalau
mau bicarakan hal-hal krusial. katanya sih, supaya gak bosan.
Pernah di Bali, pernah juga di dataran tinggi jawa barat, bahkan ke
luar negri. Biasanya juga gak lama, cuma 3 hari. Tapi ini bukan
seberapa lama waktu, melainkan seberapa intens pembicaraan.
Arjuna ini masih sama seperti dulu. Bukan pembicara manis
yang handal. Seringkali bicara buat ambil konklusi dan pendapat.
Namun dengan adanya waktu berdua begini, sedikit banyak Arjuna
juga belajar, buat lebih menimpali pembicaraan sebagaimana
Nanang inginkan.
Nanang itu, maunya kalau bicara harus hati ke hati. Berarti,
duduknya gak berjarak, harus saling peluk dan beri sentuhan
sayang supaya terasa kalau ini namanya deeptalk.
Mulanya juga Arjuna kaku sekali. Sekedarnya
bergerak—senalurinya saja — tapi Nanang ini tau kalau Arjuna bisa

187
balada dosmud

lebih berani andaikata terbawa suasana. Jadi … ya, beberapa kali


terjebak suasana yang kadangkala romantis. Kadangkala tiba-tiba
erotis, kadangkala juga mendadak melankolis.
‘Mas tuh, kan punya aku. Harusnya jangan aku mulu yang dijaga, gua
laki ya kalo you lupa.’
Lucu, itu celetukan pertama yang keluar waktu Arjuna sedang
terbawa suasana sendu akibat beberapa urusan keluarga besar di
Malang. Arjuna cuma cerita, tapi gak sadar lama-lama sedih dan
bertopang kepala di pundak Nanang.
Apakah Arjuna malu? Enggak. Justru baru kali itu ia sadar,
hatinya bisa lapang kembali cuma dengan jujur dan jadi diri
sendiri.
Inilah hebatnya pernikahan … rasa cinta yang gak lagi menggebu
itu pada akhirnya menghangat dan rubah rasa cinta romansa itu
jadi sayang tak terbilang.
Belasan tahun pernikahan, rasanya berubah dari mulanya punya
satu yang harus selalu dijaga, menjadi seperti punya sahabat buat
diajak susah senang tanpa malu-malu.
Arjuna rasa perbedaan itu setelah merasa — kok ya aku nyaman
ya cerita semua hal dan lepas semua emosi ke dia ini? Kok bisa aku gak
gengsi?
Meski tolong digaris bawahi— harus terbawa suasana dulu ya.
Karena kalau gak terbangun vibes sendu atau seriusnya, ya Arjuna

188
balada dosmud

masihlah lelaki yang maunya dominasi keseluruhan dan berikan


yang terbaik buat mereka yang tersayang.
Dan siang kali ini mereka pilih cottage sebagai tempat buat
bangun suasana pembicaraan. Makan siang sudah berakhir sejam
lalu, sekarang Nanang sibuk bicara soal beberapa hal yang perlu
didiskusikan.
“Aku tuh kemaren sebel sama Mas. Soalnya Mas badmoodnya
jelek banget. Ya aku kan kerja juga, Mas. Maafin dong kalo ada juga
yang kelewat macem telat tau kalo Dira sakit. Lagian anaknya juga
udah gede, udah bisa ngomong kalo sakit.”
Arjuna tersenyum, menghindar sedikit dari colekan Nanang di
dagunya,
“Ya namanya juga kaget. Aku ya bisa apa?”
“Ya tapi suka nyadar ga sih kalo template muka Mas tuh udah
jutek? aku tuh suka kadang salah paham. Mas cuma diem aja tuh
aku suka ngerasa— duh, ada salah ga ya gua?— apalagi Mas
badmood beneran, aku mau nyenggol aja ngeri dibacok.”
“Iya …,” Arjuna merunduk, selami netra yang merajuk di
dekapannya ini, “ya terus biar dimaaafin ya aku harus apa?”
“Ga harus apa-apa sih. Cuma mau menumpahkan kekesalan saya
aja ini kepada yang mulia baginda raja wakanda Arjuna Putra
Mahaprana.” Nanang terkekeh sambil kegelian digelitik
pinggangnya, “aduh ih! Geli!”
“Yasudah. Jangan dipunggungi lagi Masnya pas tidur.”

189
balada dosmud

Nanang tertawa. Gak nyangka jurus barunya itu mempan luar


biasa. Waktu Arjuna marah ke Nanang gara-gara lalai sampai gak
tau Adira sakit itu, mereka berdebat hebat. Berakhir Nanang yang
dua harian tidur punggungi Arjuna dan sama sekali gak merajuk
apalagi manja.
Ternyata Arjuna casing aja sangar, baru sekali dicuekin,
besoknya sudah bujuk rayu pakai dinner berdua. Ya gak
dimanis-manisin sih, tapi ya bukan Nanang namanya kalau gak
luluh sama sisi romantisnya Arjuna.
“Hahaha, iya—iyaaa, gak lagi tapi term and condition berlaku
yes.”
“Heleh kayak belanja wae.”
“Cot.”
“Heh!”
“Santai sih ga ada anaknya wkwk.”
Arjuna peluk Nanang— gueeemes kok yaa ada aja itu ngelesnya.
“Gak bs naphaaas!”
Biar aja, Arjuna mau peluk sampai merah, kalo bisa sih dikunyah!
***
Jam sudah turun ke angka 4, senja mulai merangkak gantikan
silau mentari siang. Topiknya juga berubah sudah, jadi soal
keluarga dan anak.
“Mas.”
“Hm?”

190
balada dosmud

“Coba kita main parents rule ya. Nih aku bacain.”


“Gimana toh itu?”
“Ya ini kayak peraturan dari kita buat Adira. Misal soal kencan,
kalo mas gimana kalau aku gimana, gitulah!”
“Yawes mulai aja dulu.”

Pertama: jam bermain


“Kalo Mas ya, bebas … tapi pulang pergi harus sama kita atau
supir.”
“Aku setuju.

Kedua: bawa main temen laki-laki.

“Aku sih santai, kalau Mas?”


“Yo santai. Belum tentu juga anaknya suka laki-laki.”
Nanang tertawa. Iya juga njir!
“Ya paling penting mainnya di ruang tengah, supaya kita bisa
merhatiin.”
Nanang juga setuju!

Ketiga: Adira minta uang jajan lebih dari jatah.

“Aku sih tim tergantung sikon, Mas.”


“Mas juga. Soalnya anak belum dewasa itu ya bahaya juga kalau
pegang uang banyak.”

191
balada dosmud

Keempat: Adira pacaran.

“Kalo Mas, selama dia belum punya ktp, gak tak bolehkan.”
“Cinta monyet gitu kaga boleh.”
“Enggak. Cukup fokus pendidikan aja.”
“Ya aku juga sama kayak mas.”

Kelima: Adira clubbing.


“Bagaimana bapak Arjuna yang terhormat?” Nanang colek dagu
suaminya menggoda, “sebagai pro player, ada jawaban?”
“Boleh.”
“Yakin?”
“Tapi tak temenin.”
Nanang tertawa sekali lagi. Sungguh jawaban yang sangat bisa
diprediksi.
“Kalo aku sih, No!”
“Ya tapi cara larangnya kita ya begitu itu, Dek. Ikutin dia.
Supaya dia juga cukup nyoba aja semisal penasaran. Loh ya lebih
bahaya kalau gak diizinkan, terus dia minta anter siapa mboh gitu
diem-diem.”
“Iya boleh nyoba tapi kalo berkelanjutan, No!” Arjuna cium
pucuk hidung suaminya sebagai jawaban. — iya-iya.

Keenam: Adira ngerokok.


“Yo ndak bisa lah. Jelas sekali. Wong Abahnya anti asap kok ya.”

192
balada dosmud

“Kalo Adira mau nyoba?”


“Nanti kita buat acara merenung malam, pakai mic sambil minta
adira— bayangkan … asap rokokmu berakhir dengan pertaruhkan nyawa
abah, Dira … bayangkan ..”
“Buset kayak acara renungan pramuka.”
“Yo dari pada enggak?”

Ketujuh: Adira pakai baju seksi bin ketat.


“Waduh, anakku ayu ik, rodo ngeri sebenernya, tapi ya gak
apa-apa selama tau sikon dan tempat. Selama gak melanggar etika
di tempat kakinya berpijak.”
“Maksudnya?”
“Ya misal acara amal dia pake tanktop itu kan gak begitu cara
mainnya.”
“Iya juga ya.”
“Kalo aku bebas sih, tapi jangan kebuka banget-banget.”

Kedelapan: Adira mau cari orangtua kandungnya.


“HUWA AKU SIH PATAH HATI MAS.”
“Ya Mas juga gak rela, tapi kan itu haknya.”
“Huhu apalah aku yang flatshoes.”
Arjuna diam.
Seperti berpikir — maksudnya? — sebelum kemudian
menyeringai paham, “Aku itu ndak suka ya kalo ketawa harus

193
balada dosmud

loading.” Dijitak pelan kening suaminya sambil kemudian dipeluk


lagi.

Kesembilan: Adira ciuman


“Ranah privasi dia sebenernya, cuma kalaupun iya, minimal yang
dicium ndak bau mulut lah. Anakku ayu wangi begitu dapetnya
yang juorok yo ndak rela.”
“wkwkwk, anda juga bau mulut kali pas cium.”
“HEH MOSO?”
“BERCANDA. WKWK”
“Heleh, aku sikat gigi berkali-kali kok pasti sebelumnya.”
“Aciyaaat terharu deh gue. Padahal aku aja ga gosok gigi tiap
mau anda sosor.”

Terakhir: Adira having sex sebelum menikah


“Enggak bisa.”
“Ndak boleh.”
Nanang ulur tangan yang kemudian dibalas jabatan Arjuna. Fix,
yang ini mereka sepakat dan no debat. Bapaknya aja mati-matian
nunggu nikah, masa anaknya diperbolehkan duluan sebelum resmi.
Gak bisa pokoknya.
Hari ini berakhir dengan Arjuna dan Nanang yang akhiri sesi
diskusi hati lewat peluk dan cium sampai gak tau juga jam berapa.

194
balada dosmud

Biasanya kalau agak lama gini ini, Nanang yang cari-cari cara
supaya Arjuna gak inget waktu.
“Buka baju aja gak si”
“Heh bukan kamar ini!” Arjuna tarik Nanang buat jatuh ke
pelukannya. Capek ciuman sambil berdiri.
“Haaaah, aku seneng deh, Mas ternyata makin tahun makin
cakep banget kalo deeptalk. Apalagi kalo inget awalnya Mas tuh
kayak gak bisa terima Adira, duh akutuh sempet mikir, ini kalo Mas
Juna juteknya sama kayak jutekin gua dulu apa ga kasian adiranya
ya.”
“Ya mungkin Adira itu salah satu bentuk pendewasaanku setelah
kehidupan yang kadang kayak bajingan itu. Kamu tau?”
“Kenapa jadi bentuk pendewasaan?”
“Gak paham spesifiknya, tapi seingetku waktu Adira pertama
kali panggil aku Papa, ada rasa baru gitu yang tak rasakan. Kayak ..
wah, ada satu yang ketuk hatiku gitu. Ini loh, ada anak yang harus
tak kasihkan hidup baik sampai dewasa. Perempuan cantik ini gak
boleh kenapa-kenapa … ya semacam motivasi lah. Jadi kayak aku
nyari uang makin semangat, nyari ilmu jadi bapak juga makin
semangat.”
“Aku seneng deh, duh kalo ga ada dira kayaknya aku bingung
cari topik ngobrol sama manusia blasteran kulkas ini, mana seumur
hidup lagi.”

195
balada dosmud

“Sembarangan disamakan sama kulkas, aku kulkas yo kamu apa?


Kompor meledug kayaknya.”
Ya, terlepas dari ngawurnya dua orang ini, mereka itu orangtua
yang luarbiasa sempurna buat Adira, Kok! Terimakasih, Adira.
karena kamu, kami berdua punya banyak hal buat dibicarakan
setiap harinya.
Lewat kamu, kami berdua terus belajar mengenali diri
masing-masing yang masihlah kadang payah jadi orangtua.
Terimakasih sudah hadir ya, Guru kehidupan kami. Semoga bisa
terus tumbuh sehat dan hebat, jadi versi terbaik dari Adira Lazuardi yang
janji kami jaga sampai mati.
***

Permataku Jadi Wanita


“Cari siapa ya Mom?”
“Adira, Adira Lazuardi.” Arini lepas kacamata hitamnya, “Saya
ditelepon pihak sekolah sejam lalu.”
Iya, Arini ngebut dari tempatnya meeting buat sampai ke
sekolah menengah pertama keponakan cantik satu-satunya ini.
Arini jelas panik.
Pertama, ini masih jam sekolah.
Kedua, kenapa Arini yang dihubungi ketika notabene wali Adira
adalah Arjuna?

196
balada dosmud

Dalam benak wanita awal 40-an ini banyak hal berseliweran—


apakah Adira kecelakaan? atau ada kejadian gak mengenakkan yang
mau gak mau perlu dijemput pulang?
“Mas, ini anakmu minta jemput ik.”
“Lah? Kenapa?”
“Ya mboh,” Arini sambil senyum beri kunci mobil ke Valet
parkir, “ya aku ini masih tunggu Missnya bawa anakmu keluar.
Nanti tak kabari lagi.”
Arini ini juga salah satu yang pegang peran di pengasuhan
Adira— terutama soal keputrian. Soal bagaimana bersikap sebagai
wanita dan juga temani putri kecil kakaknya ini jika butuh tempat
cerita.
Soal sekolah, bukanlah ranahnya. Jadi heran juga, apalagi begitu
Adira muncul, wajah gadis ini nampak malu dan segera minta ke
mobil tanpa pamit berarti ke pihak sekolah.
“Heh, kenapa, Dir?” Cecar Arini sembari menyalakan AC mobil.
“Malu.”
“Hah? Kenapa?”
Gadis rambut sepinggang dengan poni cantik ini pada akhirnya
berani mendongak, tatap Arini sambil bergumam lirih, “berdarah…”
“HAH? APANY— Lah?” Arini terdiam begitu Adira tunjukan
rok yang ada setitik noda darah di sana.

197
balada dosmud

Noda yang terlihat gelap di rok biru gadis 2 SMP ini. Belum
pekat tapi cukup banyak terlihat. Arini agak diam sebentar, lalu
terkekh kemudian, “Ya ampuuun, ih. Kirain kenapa deh.”
Arini gak tanya-tanya, segera pacu mobil buat sampai ke rumah
yang cuma punya jarak 3 KM dari sekolah.
“Dir— lah? melengos aja sih?” Nanang tengok Arjuna yang
sama-sama beri tanda tanya buat tingkah putri mereka yang begitu
masuk rumah gak salam sapa dan langsung masuk ke kamar.
Arjuna lirik Arini, beri tatapan tanya yang cuma dibalas seringai
kecil dan jawaban singkat, “Iki bagianku mas, sampeyan duduk wae,
yo? Santai wes.”
Iya, ini saatnya Arini ambil bagian sebagai satu-satunya wanita
dewasa di rumah ini.
Kamar khusus Arini dan Adira ada di lantai 2, bersebelahan. Jadi
sangat amat terjaga privasinya dari dua pria di bawah sana. Arini
ketuk pintu, minta izin masuk.
“Bulek ..”
Arini duduk di samping Adira, usap kepalanya sambil bertanya
— kenapa?
“Malu.”
“Sama?”
“Papa sama Abah.”

198
balada dosmud

Arini paham sekarang, kenapa Adira pilih telepon dirinya buat


jemput. Paham juga kenapa begitu masuk tadi melengos seperti gak
sopan. Gadis ini, malu.
“Ini pembalutnya, bisa pasangnya kan?”
Ini tanggal berapa? Arini mau catat hari ini sebagai satu tanggal
bersejarah. Keponakan cantiknya yang selalu terlihat seperti
boneka barbie kecil baginya ini kini sudah dewasa.
Hari ini, hari pertama Adira menstruasi.
Arini masih mengulum senyum antara haru dan lucu. Terharu
karena tumbuh gadis kecilnya ini cepat sekali. Lucu kalau ingat lagi
paniknya pasti luar biasa di sekolah tadi.
Ah, Arini jadi ingat menstruasi pertamanya dulu, cukup unik
karena ketika anak seumurannya segera panggil ibu buat mengadu,
maka Arini berbeda. Sampai 7 Bulanan ia gak bilang apa-apa.
Berakhir Ibu yang interogasi begitu lihat noda merah di kasur yang
baru ketahuan bekasnya.
Pintu kamar mandi terbuka. Adira keluar malu-malu sambil
jalan agak kaku. Pasti gak nyaman karena kali ini baru pertama kali
pakai.
“Mules?”
“Nyeri dikit doang bulek.”
“Bawa tidur, ya?” Arini susun bantal, tarik Adira buat segera
tidur. Karena Arini masih punya tugas lain setelah ini.

199
balada dosmud

Iya, tugas menjelaskan keadaan kepada dua lelaki yang cuma


bisa diam begitu Arini jelaskan kalau putri mereka ini, Menstruasi.
“Errr, duh …” Nanang garuk kepalanya yang gak gatal. Pun
Arjuna yang cuma diam sambil mengulum bibir seperti berpikir.
Arini silangkan kaki, bersedekap dada lalu mulai bicara lagi,
“tadi itu panik dia, jadinya telepon aku. Kenapa gak telepon
orangtuanya? Soalnya Adira malu. Masuk akal menurutku. Aku wae
dulu jangankan ke Bapak, ke ibu aja mau bilang kalau aku
menstruasi itu kok ya malu sama takut.”
Arjuna dan Nanang masih serius perhatikan Arini. Sementara
yang ditatap ini jadi agak gimana gitu ya.
“Serius banget, ik? Lu juga ngapa sih, Nang? biasa aja itu muka.”
Arini geleng-geleng kepala, sesap teh hangat yang sudah
mendingin tanda pembicaraan kali ini sudah begitu lama.
“Sek, Rin.”
Arini berhenti dari geraknya sesap Teh, tunggu Arjuna lanjut
bicara.
“Adira malu? Maksudnya itu malu tok, kan? gak yang sampai
gamau banget kita berdua tau?”
Arini mengangguk, “Mungkin … Soalnya ya Mas, Dira gak bilang
begitu ik. Dia cuma bilang malu. Aku ya gak tau dia itu gimana
beberapa hari ke depan bersikap sama kamu-kamu ini, tapi ya
tolong maklumi aja ya? Jangan dibahas kalau Dira gak bahas,” Arini

200
balada dosmud

majukan wajah, taruh tangan di pinggir bibir seperti mau berbisik,


“Iki top secret anak wedok.”
***
Gak biasanya Nanang cuma mondar mandir di dekat Adira.
Biasanya ada aja topik yang dibahas. Mulai dari kenapa ikan koi
mangap sampai sereceh lelucon yang buat tertawa berdua.
“Ehm … jadi kamu izin ya hari ini, Dir?” Nanag coba tanya
sambil duduk di depan Adira.
“Iya.” Adira jawab tanpa repot lihat wajah Abahnya yang makin
bingung harus gimana.
Arjuna yang perhatikan interaksi berdua itu dari ruang tamu
juga cuma bisa hela nafas. Sesusah-susahnya cari topik bicara sama
Nanang, lebih susah cari topik bicara ke Adira yang mode sensitif
begini ternyata.
“Aku tak pamit berangkat ya, Dek.” Arjuna cium kening
suaminya, lalu ganti berdiri ke sebelah Adira. “mau titip apa? Nanti
pulang papa belikan.” Tanya Arjuna sambil usap kepala putrinya
sayang.
“Enggak usah.” Lagi-lagi jawaban singkat.
Arjuna dan Nanang saling lirik, kemudian Nanang beri isyarat
supaya Arjuna cepat pergi aja.
Bingung deh. Ini kan gak lagi marahan ya, tapi kenapa
suasananya tegang ya?

201
balada dosmud

“Dir, Abah stay di ruang kerja Papa yak? Kalo ada


kenapa-kenapa gedor aja.”
Nanang baru mau beranjak— tapi berhenti begitu sadar Adira
berhenti dari gerak suap nasinya.
“Eh? Loh? Dira Nangis? Dir kamu—Diraaa? Eh kok pergi gitu
aja sih?” Nanang bingung, Adira langsung taruh sendok dan lari ke
lantai dua. Arini yang baru selesai mandi dan berniat sarapan
bahkan dilewat begitu aja di tangga.
“Rin! Cek anak guaaa.” Bisik Nanang dari bawah. Arini
mendesah pelan sambil beri jempol dan jalan lagi ke atas— ya opo
ndak bisa tunggu bulekmu isi perut sek tah nduuuuk.
***
Jangan tanya Adira dulu deh sekarang. Soalnya dia sendiri juga
gak tau kenapa hatinya kok sensitif banget? Adira itu dididik buat
jadi permpuan dengan penuh etika dan tatakrama. Adira tau pasti
kalau bicara tanpa tatap orangtua tadi itu gak sopan.
“Dira.”
Nanti dulu, ya Bulek. Adira peluk Lek Rini dulu sekarang. Perlu
tempat buat airamata yang daritadi ditahan ini tumpah.
“Loh, kok tiba-tiba sih?” Arini usap punggung keponakannya
sayang. Dibuat nyaman supaya cepat reda dan cepat cerita.
Nyatanya setengah jam lebih masih belum ada suara juga. Arini
juga gak mungkin paksa. Adira itu tipikal jarang menangis tanpa

202
balada dosmud

alasan. Jadi kali ini jelas Arini heran. Atau pengaruh hormon datang
bulan ya?
“Dir,” Arini coba buka suara. “bulek tuh ya, kalau menstruasi tuh
biasanya suka banyak anehnya.”
Adira cuma diam, tapi Arini sadar kalau Adira dengar.
“kadang ya, tiba-tiba lapeeeer banget. Terus tiba-tiba mau
ngamuk— akhirnya kadang ngambekin Papamu itu. Perkara
Papamu gak mau beliin jajanan di depan SMP aja aku marah lo.”
Arini terkekeh, goyang pelan kanan kiri pelukannya dan Adira
seperti menimang bayi.
“apapun ya Dir, yang kamu rasain sekarang— meski aneh kayak
bukan kamu banget— itu tuh normal. Itu alesan kenapa menstruasi
itu gak sekedar keluar darah tok. Ada hormon yang bikin kita juga
agak berbeda dari keseharian. Yo ndak beda-beda banget lah kayak
gila gitu … paling jadi kok ya lebih rakus atau lebih moody aja.”
Arini lepas pelukan. Dipegang pundak Adira lalu sisir poni ini
buat dirapikan, “kamu kenapa? Abahmu panik tad—eh laaah? kok
nangis lagi?”
“A—aku ga enak sama Papa Abah, Bulek …. aku tadi gak sopan
banget … tapi gatau aku takut liat mereka. Kayak aku habis
ngelakuin kesalahan gitu … malu terus gak berani liat.” Isak
perempuan ini sedih sekali terdengar, sambil susah-susah utarakan
isi hati yang begitu abstrak sampai-sampai si empunya hati juga
bingung deskripsikan soal dirinya sendiri.

203
balada dosmud

Kalimat abstrak Adira ini tapi dipahami Arini cukup sempurna.


Adira cuma malu. Kalau ditanya malunya kenapa, ya sesederhana
malu tok.
Kalau kata Arini sih, Adira ini cuma bingung bagaimana caranya
mengaku ke Arjuna Nanang kalau kini Adira sudah menstruasi.
Rangkaian kata seperti apa yang harus diucap tanpa merasa malu.
Karena sekali lagi, Adira ini masih SMP … masih belum paham
benar soal diri sendiri. Masih butuh bantuan Arini buat temukan
sisi kewanitaan yang makin beranjak tahun juga semakin matang.
“Papa sama Abahmu itu tau, kok. Bulek cerita. Kamu gak perlu
jelasin detail gitu ke mereka. Kamu bener kok, Papa Abahmu kan
tetep laki-laki, ada beberapa hal yang emang cuma aku yang paham,
nduk.”
Arini sampirkan poni cantik ini ke selipan telinga. Ditangkup
wajah keponakan cantiknya dan diajak buat senyum.
“Kalau butuh waktu, gak apa-apa … tapi Papa sama Abahmu
pasti nunggu kamu buat ngomong kok. Mereka itu bingung, harus
gimana enaknya ngadepin kamu yang lagi datang bulan. namanya
laki-laki, nduk. Gak pandai ngeraba sesuatu yang gak jelas— se gak
jelasnya hati perempuan kayak kita. Iya toh?” Arini terkekeh, jawil
hidung Adira lalu pamit buat pergi.
Adira perlu waktu menyendiri. Perlu waktu buat mengenali hati
sendiri. Perlu waktu juga menerima fakta kalau kini, Adira bukan
anak kecil lagi.

204
balada dosmud

Satu bungkus pembalut di meja rias itu ingatkan lagi betapa


gemetarnya Adira waktu pegang pertama kali. Apa semua
perempuan seperti ini ya? Rasanya tuh persis naik panggung seni—
nervous gitu. Haaah, gak tau ah … Aku mau tidur.
***
Arjuna menelisik jejeran kue-kue cantik di etalase.
Macam-macam bentuk, tapi satu Red Velvet dengan keju melimpah
itu jadi pilihan.
Sebagai seorang Pria yang cuma bersinggungan dengan wanita
sebatas adik perempuan dan Ibu kandung, Arjuna jelas gak
sepenuhnya mengerti soal hal yang sedang Adira alami.
Sepengalaman Arjuna juga, perempuan kalau menstruasi itu
sukanya banyak makan. Kadang juga marah-marah gak jelas dan
agak sensitif— sebagaimana Adira 3 hari kebelakang.
Adira masih enggan bicara, tapi raut muka yang kadang jutek
tapi kadang berubah jadi sendu itu Arjuna pahami sebagai
perubahan mood perempuan datang bulan. Juga pancingan kue
coklat yang Arjuna taruh di nakas depan kamar Adira juga nyatanya
habis dimakan kok.
“Ini aja pak?”
“Iya— oh ya, ada kertas? Saya mau buat pesan.”
Arjuna mungkin gak bisa pahami putrinya sejauh Arini yang
notabene perempuan— tapi Arjuna pastikan, ia dan Nanang akan
selalu ada kalau Adira butuhkan.

205
balada dosmud

Meski cuma kue yang lagi-lagi ditaruh di nakas begini ini,


semoga tetap tersampaikan ya .. bahwa kami ini ada buat kamu
nduk, jangan sungkan buat cerita.

Untuk: Permata cuiiilik


Katanya ini enak loh, pas buat isi perutmu yang kayaknya sering
keroncongan ya? Kalau kurang, bilang ya. Nanti Papa bawakan yang
banyak besok.
Papa

206
balada dosmud

Nah, kan … kemarin aja waktu Papa cuma taruh kue di sini,
Adira nangis … apalagi sekarang pakai surat begini?
Ya Adira bisa apa selain jalan cepat ke ruangan di lantai satu
yang entah kenapa kok kayak sengaja dibuka sedikit.
“Nduk? Kamu itu?”
Adira kaget. Diam dan bingung harus bagaimana. Sampai suara
Arjuna lagi-lagi kedengaran.
“Masuk aja, cuma papa sendirian di sini.”
Arjuna dari dalam coba tahan senyum yang mau merekah begitu
kepala putrinya muncul. Arjuna mengangguk, beri isyarat buat
masuk dan tutup pintu.
Mungkin kali ini, Father and Daughter time, ya? Karena Adira
yang langsung berlari mendekat dan merebah di sofa berbantalkan
paha Arjuna ini persis adegan sesi curhat bapak anak di film. .
Arjuna sisir rambut Adira. Kepala sang putri ini menghadap ke
perpustakaan kecil di depan, mungkin belum mau kalau tatap
Arjuna langsung.
“Pa …”
“Iya?”
“Aku minta maaf.”
Adira meminta maaf. Buat tingkahnya yang buat pusing Arjuna
dan Nanang. Buat sikapnya yang kadangkala kelihatan gak sopan.
Buat beri banyak tanya di benak kedua orangtuanya.

207
balada dosmud

Gadis kecilnya Arjuna ini utarakan semuanya sambil terisak


kecil dan sama sekali gak Arjuna tenangkan— biar aja, biar puas,
biar lepas.
“... aku tuh bingung … padahal tinggal bilang aja ke Papa sama
Abah. Cuma aku gatau kenapa aku malu banget, kayak habis
ketauan manjat genteng atau manjat pohon. Lebih malu malah.
Terus takut juga, kayak habis dimarahin Papa dulu itu. Kayak habis
ditegur Abah gara-gara ngasih uang tapi caranya dilempar …”
Arjuna ambil tisu, diserahkan ke Adira yang ucap terimakasih
lalu lap mukanya pelan. Isak perempuan ini mulai reda. Kini ganti
Arjuna ambil bagian buat bicara.
“Papa sudah boleh bicara?”
Adira mengangguk.
“Boleh sambil lihat Papa, Nduk?”
Adira bergerak dari posisi menyamping jadi merebah, tatap
Arjuna yang menunduk sambil tersenyum.
“Kalau bingung sama hatimu sendiri, biar papa bantu jelaskan
ya?” Arjuna hela nafas, “kamu ini cuma malu. Rasa malu yang lain
dari biasanya kamu rasa. Gak sama seperti waktu ketauan Papa
manjat pohon atau lagi ngedance di depan tv gitu, ini malu … yang
tumbuh seiring tambahnya usia kamu,”
Arjuna senyum, cari kata paling sederhana buat jabarkan fakta
kalau Adira kini sudah Dewasa.

208
balada dosmud

“Datang Bulan, itu tandanya Adira sudah naik tingkat, dari


perempuan lucu, jadi wanita anggun. Sepaham papa, akan banyak
sekali yang berubah di raga kamu, liat bulekmu itu? Dulu itu
guenduuut kayak buntelan, eh begitu sudah resmi jadi wanita,
banyak perubahan sampai jadinya cuaaantik kayak sekarang.”
Arjuna baca air wajah sang putri, coba telaah apa ada kalimatnya
yang salah dan serang titik malu sang putri. Sepertinya aman,
karena Adira cuma mengangguk serius.
“Tanda jadi wanita, selain perubahan fisik, salah satunya adalah
perubahan di jiwamu. Pelan-pelan kamu dewasa, dan yang terasa
banget sekarang itu adalah rasa malumu ke lawan jenis.”
Adira mengernyit, seperti temukan satu hal baru yang
menakjubkan.
“Papa dan Abah, mungkin orangtuamu … tapi kami laki-laki,
ada beberapa hal yang memang cukup kamu dan bulekmu yang
tau— dan hal ini berlaku ke semua lawan jenis di luar sana.”
Arjuna hela nafas dalam buat lanjut lagi kalimat panjangnya,
“Harga diri wanita, ada pada rasa malunya. Dengan rasa malu,
kamu jadi lebih hati-hati bertingkah. Sekarang Adira mungkin baru
malu buat sekedar beritahu soal datang bulan ke Papa dan Abah,
nanti berlanjut Adira malu buat bertingkah aneh di depan laki-laki
di luar sana. Itu bukan kenapa-kenapa, nduk.”
Arjuna jawil hidung putrinya,

209
balada dosmud

“rasa malumu itu muncul buat bentengi diri, itu berarti, naluri
kewanitaanmu sudah aktif. Permatanya Papa dan Abah ini, sudah
jadi wanita.”
Adira tersenyum haru, rasanya seperti ada kumpulan tanya
abstrak dibenak yang seketika temukan jawaban.
“umumnya rasa malu wanita untuk hal-hal privasi ya jelas
memang ke pria … tapi kalau rasa malu buat jaga image, itu
biasanya sih ya tanda jatuh cinta.”
Arjuna terkekeh liat muka putrinya yang memerah malu,
“Ih papaaa.”
“Loh ya bener. Malu yang jaga image gitu itu kan juga ada.
Nduk, papa gak pernah mengotakan gender loh ya? kalau suatu hari
adira rasa malu yang begitu itu selain ke lelaki sekalipun juga ya
gak apa-apa. Bebas.”
Kalimat Arjuna ini seperti air mengalir tenang di pedesaan,
riaknya menenangkan.
“Abah marah gak ya, Pa. Aku cuekin dari kemaren.”
“Enggak. Jelas Papa sama Abah itu mengerti. Paling coba besok
kamu peluk ya? Coba dibujuk-bujuk kayak biasanya supaya
khawatirnya itu ilang.”
Bapak Anak ini selesai sudah bicara hati ke hati— pembicaraan
panjang yang didengar Nanang dan Arini lewat sambungan telepon
grup yang Arjuna sembunyikan di saku celana.

210
balada dosmud

Nanang rasanya mau tepuk tangan sama kalimat-kalimat Arjuna.


Demi apapun, memang bapak Doktor kebanggan kita ini gak ada
lawan. By the way, besok Adira mau bujuk nanang kan? Mau
pura-pura ngambek ah, biar dibujuk-bujuk anak cantik.
Selamat ya, Adira! sekarang sudah gak jadi biji kecambah. Naik
tingkat jadi toge!
***

“Masa pakai begini ini toh dek?”


“Ish! ribut banget bapak. Pake aja kenapa sih.”
“Loh ya—”
“Ih berisik! itu nanti anaknya banguuuuun.” Nanang menggeram
pelan. hati-hati takut suaranya bangunkan si cantik yang tengah
tertidur lelap di sana.
“Nang, sini nyalain dulu lilinnya.” Arini datang dari arah tangga,
bawa pemantik api kecil buat nyalakan lilin di atas kue cantik yang
bertuliskan— Happy Birthday, Adira!
Hari ini, hari lahir Adira.
Iya, tanggal masuknya Adira jadi bagian keluarga Arjuna dan
Nanang … juga hari pertama dimana nama Lazuardi tersemat di
belakang nama putri cantik yang kini genap berusia 13 Tahun.
“Nduk, sayang …” Arjuna usap kaki putrinya perlahan supaya gak
kaget dan pusing begitu bangun.

211
balada dosmud

Arini dan Nanang yang sembunyi dibawah Ranjang ini


cekikikan, tambah lagi mau tertawa begitu suara— Papa? Kenapa
Papa? — itu kedengaran.
Arjuna pastikan Adira bangun dan sadar, setidaknya sampai
mengernyit heran kenapa sang Papa bisa di kamarnya selarut ini
dengan topi kerucut gambar princess?
“Surprise!” Ini Nanang yang muncul pertama.
“Abah!”
“Happy Birthday!” Ini Arini yang langsung maju peluk
keponakan kecilnya dan dicium-cium gemas.
Arjuna tersenyum, usap surai lurus Adira sambil berujar pelan,
“ulang tahun kamu, Nduk …. lupa?”
Adira mengerjap pelan, sampai benar-benar sadar dan baru
senyum lebarnya muncul ke permukaan.
“Ih! Iya! Aku tambah umur ya Papaaaa!”
“Gimana sih ah, kok lupaaa.” Nanang ajak Adira duduk dan
sodorkan kue buat ditiup lilinnya, “ayo make a wish dulu!”
Adira mengangguk, binar mata cantik ini gak bohong— Adira
luar biasa senang. Jemari lentik mungil ini tertaut, beriringan
dengan mata yang turut terpejam dan lantunan harap yang Adira
ucap tanpa suara.
Tuhan, terimakasih ya … aku tambah umur.
Di 13 Tahunnya ini, Adira sudah banyak mengerti soal
kehidupan. Perempuan ini mengerti benar, kalau tanggal lahirnya

212
balada dosmud

ini bukan tanggal lahirnya ke dunia, melainkan tanggal dimana ia


jejaki langkah di pintu rumah keluarga yang meski kecil tapi hangat
luar biasa.
Terimakasih, karena Papa, Abah juga Bulek masih sayang
sekali sama aku.
Di 13 Tahunnya ini, Adira juga sudah amat mengerti, kalau
mereka-mereka yang berdiri di depannya ini sama sekali gak
memiliki ikatan darah apapun— mereka, sejatinya cuma sekedar
orang baru di kehidupan si putri kecil banyak luka.
Tuhan, Adira gak minta banyak-banyak. Minta tolong aja
supaya dibantuin jadi orang hebat. Jadi bangsawan— eh? iya? eh
gak tau, pokoknya jadi orang hebat kayak di cerita-cerita yang
suka Abah certain!
Di 13 Tahunnya ini, Adira juga sudah amat mengerti kalau
tugasnya di Bumi, bukan cuma buat hidup, tapi juga membalas jasa
yang meski diukur pakai nominal juga gak akan ketemu seberapa
banyaknya.
Tuhan, dipanjangin ya usia Adira. Usia Papa, Abah juga
Bulek Rini. Soalnya Adira gak tau hidup sama siapa kalau
mereka gak ada.
Jempol besar Arjuna usap satu airmata luruh di pipi hangat sang
putri tanpa bertanya. Gak mau ganggu khidmat doa yang meski gak
kedengaran sekalipun tetap bisa Arjuna rasa betapa tulus isinya.

213
balada dosmud

‘Nduk, mencintai seseorang itu gak mesti lewat berapa banyak barang
yang diberi … tapi tulus doamu buat yang tercinta, itu juga salah satu
yang luar biasa.’ — Arjuna yakin, kalau kalimat sederhananya ini
sampai. Kalimat sederhana diwaktu nasehati sang putri yang
memaksa pecah celengan cuma buat beli kado ulang tahun Arjuna.
“Sudah?” Arjuna bawa putrinya mendekat, “tiup kalau begitu
ayo lilinnya.”
Adira tersenyum, semangat tiup lilin sampai mati dan berakhir
tepukan tangan. Satu persatu cium ia terima— Papa di pucuk
kepala, Abah di tangan dan Bulek di pipi kanan kiri.
Lagu potong kue juga mengalun riang dari semua yang ada di
kamar hangat ini. Dinyanyikan riang sekali dan berakhir saling
suap.
Suapan pertama buat Arjuna. Buat lelaki yang meski kadangkala
kelihatan seram tapi cintanya begitu luar biasa buat Adira.
Suapan kedua buat Abah. Buat lelaki yang kadangkala
ocehannya buat Adira berpikir soal — kok bisa Abah nikah sama Papa
ya? — tapi tetap punya sisi dewasa yang kadangkala buat Adira
segan dan mengaminkan tiap nasihatnya.
Suapan terakhir buat Arini. Buat perempuan cantik yang sejak
awal jadi orang pertama yang jadi teman tidur dan ngobrol Adira.
Bulek cantik yang ajari Adira bagaimana dandan cantik dan pilih
baju buat main.
Malam ini, Adira resmi masuk umur 13 Tahun.

214
balada dosmud

Doanya Papa, semoga Adira tambah dewasa dan sehat sentosa.


Doanya Abah, semoga Adira makin cantik dan pintar.
Doanya bulek, semoga Adira cepat besar supaya bisa temani
Bulek jalan-jalan.
Doanya beragam, tapi semuanya mengharap kebaikan buat Adira.
Boleh jujur gak? Adira sebenarnya tadi gak tidur. Adira ingat
banget kalau hari ini ditandai sebagai hari lahirnya Adira kok.
Meski tiap tahunnya pasti ada perayaan, tapi Adira kerap kali
merasa gak percaya diri buat berharap kalau perayaan itu akan
selalu ada.
Adira kadang merasa gak pantas buat berharap. Kadang merasa
— aku itu siapa sih? — karena kepala kecilnya ini mengolah
informasi soal Adira yang cuma anak adopsi ini jadi bentuk
perintah buat gak menuntut apapun.
Makin tambah umur Adira, ada satu bagian kedewasaan yang
mulai lengkapi keping jiwanya. Kalau dulu-dulu Adira cuma
sekedar paham — oh, iya, Abah dan Papa bukan orangtua kandungku
— maka sekarang sudah jauh berbeda.
Mau kandung atau bukan, mereka tetap orangtua Adira.
Adira diajarkan Papa, kalau namanya kebaikan harus dibalas
dengan kebaikan — dan kebaikan Papa Abah yang angkat Adira
jadi putri paling bahagia ini harusnya juga Adira balas dengan
kebaikan. Untuk saat ini, adira gak bisa berikan apapun selain

215
balada dosmud

berusaha semaksimal mungkin buat gak merepotkan Abah dan


Papa.
“Loh kok nangis toh, nduk.” Arjuna terkekeh, peluk Adira yang
makin deras menangis begitu kalimat panjang harapan Arjuna buat
sang putri ini selesai.
“Heh, nangis kenapa si cantiiiik.” Nanang juga coba hibur,
dengan cium-cium jemari lentik ini.
Arini cuma diam, tersenyum. Ia paham apa yang Adira rasa,
karena tanpa pernah Arjuna dan Nanang ketahui, Adira selalu bagi
semua hal di hati ke Arini. Bukan, bukan berarti Adira gak percaya
kedua orangtuanya itu, melainkan karena ya ini suatu hal yang
sepertinya bisa dimengerti buat yang sama-sama perempuan.
‘Bulek, tadi aku gak sengaja bikin Papa marah.’
‘Bulek, aku nanti gede gak mau tinggalin Papa sama Abah tau.’
‘Bulek, kok bisa si Papa sama Abah mau ambil aku waktu di panti?’
‘Bulek, aku sayang banget tau sama Papa sama Abah.’
Jadi, Arini jelas mengerti kenapa Adira bisa seterharu ini meski
perayaan ulang tahun selalu ada tiap tahunnya. Adira cuma masih
dan akan selalu terharu, karena kalau bukan Arjuna dan Nanang
yang angkat Adira, mungkin kisahnya juga berbeda.
“Nduk, iya sudah gak apa-apa. Nanti sesek napas yo kayak
abahmu itu kalo asma lo. Ngap-ngap kayak ikan.”
“Ih! Mas!”

216
balada dosmud

Kan, lucu banget kan? Adira yang lagi nangis begini jadi ikut
ketawa cuma gara-gara dinamika hubungan dua lelaki hebat ini.
Dua lelaki ini, yang akan selalu jadi guru kehidupan Adira. Beri
pelajaran lewat tindak tanduk di keseharian yang pasti Adira
perhatikan dan ambil baik buruknya buat diaplikasikan di
kehidupan.
Mungkin sampai usia 13 tahun ini, pelajaran hidupnya baru
setingkat kedisiplinan sebagaimana Papa yang selalu berusaha
on-time setiap janji. Juga soal Kebaikan sebagaimana Abah yang
selalu ajak Adira berbagi ke panti-panti asuhan setiap bulan.
Pelajarannya akan terus bertambah, mungkin nanti akan sampai
ke dalam kasus percintaan atau penyelesaian masalah. Iya, masih
panjang … karena sejatinya Adira ini belajar seumur hidup dari
guru kehidupan paling hebat yang mengajarkan segala hal tanpa
pamrih. Guru itu, adalah mereka— Papa dan Abah yang janji Adira
balas peluh dan lelahnya sampai nanti, sampai mati.
***

Epilog 1:
Nanang serius amati satu-satu display berbagai macam merek
pembalut di depan. telunjuknya susuri satu-persatu sambil gumam
pelan— warna biru … biru … biru …nah!
“Eh? tapi kayak bukan ya.”

217
balada dosmud

“Dapet, ndak?” Ini Arjuna yang muncul dari arah belakang


sambil bersedekap dada.
“Bentar deh,” Nanang ambil handphonenya lalu panggil satu
nomor yang gak ada lima detik langsung diangkat, “Diraaaa.”
Adira di layar sana kelihatan baru bangun tidur, usap-usap mata
sambil berdehem pelan jawab panggilan sang Abah.
“Dir, ini bukan sih?” Tanya Nanang sambil tunjuk satu bungkus
pembalut.
“Ih, Bukan baaaaah, yang biru tapi ada sayapnya.”
“Hah? Sayap?” Nanang senggol Arjuna, “emang ada gitu?”
“Yo Ada, kurang edukasi kamu itu.”
Adira masih mengantuk, tapi tertawa geli lihat dua orangtua ini
sibuk debat cuma sesepele ‘kirain cuma burung yang punya sayap.’
“Duh, kaga ada yang bersayapnya kata mbaknya Dir, ini aja dah
ya?”
“Gak mau.”
“Lah ngapa si? entar terbang loh kalo ada sayapnya— aduh, mas
juna! ih kenapa dicubit sih.”
Arjuna geleng-geleng kepala dan ganti ambil handphone di
tangan Nanang, “Nanti dicari di sebelah ya, nduk. yang penting
bener kan ya ini mereknya? Iya? Yawes kalau begitu, Papa sama
Abah jalan lagi ya.”

218
balada dosmud

Arjuna matikan handphone dan kembalikan ke pemiliknya yang


sibuk ngedumel di sebelah, “Pembalut bersayap itu biar ndak
gerak-gerak.”
“Dih? Emang tau?”
“Yo tau.”
“Cara pasangnya gimana coba?”
Arjuna berdehem, sambil matanya tatap arah lain yang penting
gak ke Nanang yang menyeringai jahil.
“Yeeee, sama aja kan. Kita tuh sama-sama gatau Mas,” Nanang
senggol Arjuna pelan. ”jangan merasa paling paham deh anda.” lalu
pergi lebih dulu ke depan.
Tinggalkan Arjuna yang jauh di keterdiamannya ini justru punya
satu hal baru buat dipikir— lah iya ya? itu dipasangnya gimana toh?
***
Epilog 2:

“Hadeuh, ini kalo bukan gegara anak cantik yang cuma sebiji
nih mana mau gua begini.”
“Wes tah, jangan ribut.”
“ABAAAH! PAPAAAA! KUAT GAAAK?”
Arjuna yang baru bantu ikat tali sepatunya Nanang ini kasih
jempol, supaya putrinya yang sudah sampai di ujung bukit kecil itu
bisa tenang. Nanang cuma nyeringai kecil aja sambil gumam —
seneng bener tu bocah ya.

219
balada dosmud

“Wes. Kelar.” Arjuna tepuk-tepuk tangannya buat bersihkan


kotoran tanah, “tinggal dikit lagi kok ya. Sabar, Dek.”
Iya, sedikit lagi sampai kok.
Sedikit sih, tapi ini nafasnya Nanang udah mau berhenti.
Dibilangin, Nanang tuh mau naik bukit kalo bukitnya ada eskalator.
Cuma udah berusaha bilang gitu juga tetep aja gak rela kalau harus
lepas Adira naik bukit di tempat lihat sunset paling hits di
yogyakarta ini.
Bukitnya sih gak tinggi, lebih kayak karang tinggi aja. Cuma
naik tangganya ituloh! perjuangan. Herannya, itu anak perempuan
sama sekali gak kecapekan. Mungkin beda ya punggung anak
remaja 14 tahunan sama mereka yang mau akhir 40 an ini.
“Abah! minum nih minuuuum.” Adira buka Aqua buat Abahnya
yang persis ikan koi kalo napas.
Arjuna pinta Adira buat cari tempat enak, biar bisa lihat
matahari terbenam tanpa perlu urus Arjuna Nanang yang emang
maunya duduk agak jauh dari kerumunan.
“Kalau mulai gak enak napasmu, bilang Dek.” Arjuna rapatkan
resleting jaket suaminya sambil tatap serius netra di depannya ini.
Angin pantai ini cukup dingin, meseki gak terlalu, tapi tetap
buat Arjuna khawatir asma suaminya ini datang tiba-tiba.
“Iya sayangku,” Nanang usap pipi Arjuna, “udah ih, mas juga
sini duduk aja.”

220
balada dosmud

Mereka duduk berdampingan dengan Nanang yang akhirnya


bersandar di pundak lebar Arjuna. Gak ada obrolan berarti, sibuk
kais napas dan isi tenaga buat turun tangga nanti dua jam setelah
ini.
Adira ini memang benar kata Nanang— anak alam. Dulu, umur 6
tahunan sukanya manjat genteng. Lanjut manjat pohon yang
akhirnya Arjuna alihkan beri kegiatan outbound tiap minggu. Eh,
sekarang begitu masuk SMP nambah lagi jadi sukanya naik gunung.
Minggu kemarin, debatnya panjang. Arjuna dan Nanang gak
izinkan kalau naik gunung. banyak kekhawatiran terutama soal
adira yang notabene perempuan belum dewasa.
Ya tapi namanya sayang Anak? Akhirnya tetap berangkat meski
berbeda opsi jadi ke bukit-bukitan yang masih asma–friendly
supaya Nanang bisa ikut.
Shoka Bukit Senja ini tawarkan spot lihat matahari terbenam,
gak terlalu tinggi buat sampai tapi cukuplah buat halau rasa
penasaran Adira soal sunset di atas bukit.
“Anak itu ya, dibilang tomboy tapi perawakannya cantik anggun.
Jadi aneh Mas nyebutnya ik, ya genrenya apa dia itu.”
“Genrenya perempuan kuat kali mas. Biar kata cantik semampai
mirip Arini gitu itu badannya tapi jiwanya— beuuuh, anjing
tetangga kalah.”
“Heleh.”
“Dih ya bener.”

221
balada dosmud

Dari tempat mereka duduk, kelihatan Adira yang duduk di sela


pepohonan sendirian. Mungkin kontemplasi atau sekedar
menikmati pemandangan yang luar biasa indah.
“Mas. Jodohnya Adira nanti siapa ya?”
“Yo ndak tau.”
“Kalo dia nanti pacaran, mas izinin gak?”
“Ya kalau umurnya sudah cukup, ya kasih.”
Nanang merapatkan pelukan ke Arjuna, “tapi aku gak rela tau.”
Arjuna cuma senyum, usap sayang kepala nanang sambil
bergumam— ya podo ae. aku ya gak rela.
Lucu ya, si kecil cantik ini makin tumbuh. Kedepannya akan jadi
satu wanita yang semoga pancar auranya berkilau sebagaimana arti
nama yang tersemat sejak awal hadirnya di rumah keluarga Arjuna.
Lazuardi satu-satunya Arjuna dan Andanang ini, semoga masih
sudi libatkan mereka di setiap rekam jejak kehidupan ya? Iya, kamu
yang sekarang tersenyum lebar begitu matahari terbenam ini,
semoga selalu libatkan kami di setiap hal baru dalam hidup—
sebagaimana lihat matahari terbenam di atas bukit pertama kali
begini.
***

222
balada dosmud

Mencintai Cinta
“Nduk, mau bantu papa besok?”
“Bantu apa?”
“Bantu jadi juru foto.”
“Bisa!”
“Tapi Papa minta tolong ya.”
“Apa?”
“Jangan bilang Abah.”
Kemarin sore, Adira diberi permintaan aneh dari sang Papa.
Katanya, minta tolong buat jadi juru foto. Foto apa? Enggak tau,
Adira cuma dikasih satu kamera polaroid dengan 3 bundle refill
kertas buat dipegang.
“Siap, nduk?”
“Siap!”
Dari tempatnya duduk, Adira perhatikan papa yang tersenyum
sambil benarkan kacamata hitam lalu gas mobil dan jalan. Adira
masih gak paham, kenapa tiba-tiba papa minta Adira buat bantu
foto. Adira kenal Papa seperti apa. Bukan Papa sekali kalau niat
foto begini— diajak selfie aja susah kok.
Jalan kali ini, rasanya agak jauh— dari rumah mereka di utara
jogja ini turun ke selatan. Papa cuma diam, nikmati alunan musik
dari musisi yang Adira tau sempat hits di era 2020 an. Jauh sebelum
Adira mengerti soal musik itu sendiri.

223
balada dosmud

Sampai setelah 30 menit, mobil berhenti di pemberhentian


pertama. — kampusnya Papa?
“Papa mau ngajar?”
“Yo ndak.” Arjuna buka pintu sisi Adira. Di ajak turun buat
melangkah ke satu parkiran fakultas yang agak sepi.
Di sini, Adira diminta nyalakan kamera. Sementara Arjuna
berdiri membelakangi Adira— cuma beri punggung dengan tangan
mengait di belakang tubuh.
“Tema fotonya ngawasin parkiran, Pa?”
Arjuna terkekeh, “foto aja nduk.”
Bunyi shutter kamera kedengaran. Perlahan keluar satu kertas
yang makin lama makin jelas gambarnya.
“Cakepnya. Anak siapa dulu yang foto.” Arjuna acak halus
kepala Adira sambil ucap terimakasih.
Adira perhatikan sang Papa yang kemudian duduk di pinggiran,
ambil spidol dari saku lalu seperti menerawang ke banyak hal yang
cuma bisa dipahami Arjuna sendirian.
Adira mendekat, perhatikan tulisan tangan Arjuna.
‘Pertama ketemu.’
“Hah?” Adira tatap Arjuna penuh tanya. Sementara yang ditatap
cuma senyum dan ajak lagi sang putri berkelana. Kali ini, Adira
dibawa ke jejeran ruang kelas. Sepi, karena gak ada yang masuk di
hari minggu begini.

224
balada dosmud

Arjuna buka satu kelas di pojok. Bangkunya ada 30an. Arjuna


berdiri di antara kursi-kursi dan lagi-lagi dengan posisi yang sama.
Menghadap papan tulis dan belakangi Adira.
Blitz sekilas ini tanda fotonya selesai. Arjuna ambil lagi
kertasnya dan duduk termenung sebelum kemudian bubuhi satu
kalimat di bagian bawah foto.
‘Pertama kenal kamu.’
Adira mendongak. Matanya berbinar karena sekarang mulai
paham kemana arah tujuan sang Papa.
“Abah ya?!”
Arjuna terkekeh, usak rambut Adira tanpa jawaban berarti dan
kembali ajak ke ruangan lantai.
Kali ini ke lantai 3 — Ini kantor Arjuna. Adira jelas tau karena
beberapa kali diajak kemari.
Cuma ada satu staf yang kelihatan sibuk beri stempel tumpukan
ijazah. Beri salam hormat ke Arjuna yang berniat masuk ke satu
ruang sebelah ruangan kerjanya.
“Loh, ruang papa kan yang itu!”
Iya, Arjuna gak masuk ke ruang Dekanat, tapi ke ruang dengan
papan bertuliskan — Ruang Dosen.
Ruang ini cuma punya dua meja. Arjuna pilih satu yang dekat
jendela. Kali ini posisinya gak berdiri— tapi duduk di kursi namun
dengan badan menghadap selain ke kamera.

225
balada dosmud

Blitz menyala dan foto ketiga selesai. Kali ini Adira buru-buru
duduk dan kasih kertas foto ke Arjuna— penasaran, apa yang mau
papanya tulis soal ruangan ini.
‘Asdosku ribut. Berisik.’
Adira mengulum senyum jenaka yang kemudian ditimpali cubit
Arjuna.
“Habis ini kemana lagi pa?”
“Kosan abahmu.”
Iya, ke satu kos-kosan elite yang dulu cuma satu lantai dan kini
sudah berubah bentuk jadi kosan 4 lantai. Arjuna masuk, minta izin
ke pemilik kosan buat foto bangunan.
“Silahkan pak, barangkali cocok anaknya kos di sini.”
Adira terkekeh, senggol Arjuna yang cuma menimpali dengan
celetukan— piye nduk? Mau ngekos tah?
Adira dorong pelan sang Papa buat ambil posisi dan foto. Kali
ini, soal apa? Adira penasaran.
‘Kosan seribu kisah.’
Adira tatap wajah sang Papa dengan seringai menyelidik, “hayo?
Ngapain papa sama abah di kosan?”
Arjuna remat muka putrinya sampai mengamuk minta dilepas,
“pikiranmu nduk, kejauhan.”
Cukup. Ayo jalan lagi. Kali ini gak jauh, cuma belok sedikit ke
lapangan ujung perumahan. Lapangan serbaguna yang kalau lihat
raut muka Arjuna, sepertinya bukan kenangan menyenangkan.

226
balada dosmud

Arjuna ambil sesuatu di saku jaket. Berjalan ke tengah lapangan


buat taruh satu bunga mawar di sana.
“Lah? Papanya gak mau foto?”
“Enggak. Tolong fotokan lapangannya aja.”
Adira gak paham kenapa, tapi tetap difotokan dan kali ini pun
tulisannya agak menyedihkan.
‘Tidak untuk dikenang.’
Adira tahan tangan Arjuna yang kembali ajak jalan ke tempat
lain. Putri Arjuna ini memaksa buat minta diceritakan soal apa-apa
dibalik foto yang sedari tadi di ambil.
“Nanti. Pasti kamu tau ceritanya.” Arjuna tepuk pundak Adira
dan bawa pergi ke satu tempat yang punya kenangan lebih lagi soal
‘mereka’.
Agak jauh, terletak di tengah kota. Satu hotel bintang lima
samping Mall ternama. Arjuna dan Adira gak turun. Cuma masuk
ke parkiran lalu foto gedung.
Kali ini, fotonya cuma tangan Arjuna yang ikut. Jemari yang
punya satu cincin perak itu jadi objek utama selain gedung tinggi
cantik di belakang.
“Aku tebak! Pasti ini hotel tempat Papa lamar Abah!”
Tepat. Sekali, karena tulisan kali ini berbunyi — Terimakasih,
karena memilih kembali.
Adira memekik gemas. Dipeluknya lengan Arjuna sambil
bergurau — aku mau juga dong dapet pasangan romantis kayak Papa!

227
balada dosmud

“Jangan yang kayak Papa persis lah …” Arjuna tap kartu parkir
keluar, “harus yang lebih baik dari papa.”
Senja mulai datang. Kali ini mobil bergerak lurus ke tempat yang
Adira tau benar ke mana. Ke dataran gunung kidul. Tempat
pantai-pantai cantik berada. Dua jam, Adira sampai tertidur dan
baru bangun waktu sang Papa elus kepalanya perlahan.
Pantainya sepi tapi cantik. Ombaknya gak begitu besar, banyak
karang tumpul buat duduk dan menikmati terbenamnya matahari.
Kali ini, fotonya Arjuna berdiri hadap matahari.
Setelahnya ternyata gak langsung tulis di foto, tapi Arjuna ambil
ranting buat ukir sesuatu. Arjuna serius ukir sesuatu, lalu selesai
dan Adira baca.
‘Siap Melangkah?’
Adira masih bingung, sampai kemudian Arjuna lanjut ukir lagi.
Ukirannya banyak sekali. Ukiran tahun; mulai dari tahun pertama
pernikahan sampai ke tahun ini. Totalnya, 20 Tahun.
Aaah? Anniversary? —Kini Adira mengerti kenapa Papa mau
foto-foto sebegininya. Kenapa juga pilih ajak Adira dan bukan
Abah. Karena Papa sepertinya merencanakan sesuatu buat perayaan
hari jadi.
“Sudah difoto, nduk?”
“Udah, ini yang tahunnya gimana?”
“Foto tiga aja, tahun pertama. Tahun ke—enam sama tahun
paling akhir.”

228
balada dosmud

Adira berhenti dari langkah setelah foto tahun pertama, “kenapa


cuma tahun ke enam?”
Tapi tanyanya segera terjawab begitu Sang Papa taruh kaki
Adira di sebelah kiri dan kaki Arjuna di taruh sebelah kanan.
Mengapit tulisan sebuah tahun— tahun dimana Adira hadir ke
kehidupan Arjuna dan Nanang.
“Selesai.” Arjuna tarik tangan sang putri buat duduk di satu
gubuk kecil.
Adira diminta menunggu, sementara Arjuna ke mobil ambil satu
tas agak besar yang waktu dibuka ternyata berisi 3 macam; Tripod,
kamera dan wireless mic.
“Papa mau bikin vlog?”
“Mau jadi yutuber.” Celetuk Arjuna asal. Tangannya yang sibuk
utak-atik perlengkapan ini akhirnya selesai. Diminta Adira buat
buat bergeser, supaya bisa Arjuna posisikan arah kamera ini dengan
benar.
Arjuna ambil posisi di sebelah Adira, dibawa merapat sedikit
sang putri buat lebih dekat.
Ini semua, adalah rencana yang Arjuna rencanakan jauh-jauh
hari. Rencana buat rayakan hari jadi pernikahan yang kali ini tepat
di angka 20.
Lama juga ya? Rasanya agak disayangkan kalau gak pakai
perayaan yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

229
balada dosmud

Arjuna punya banyak rencana— mulai dari makan fancy di resto


terbaik sampai staycation di hotel mewah dengan latar pantai
terbaik di dunia — Namun itu semua, rasanya terlalu duniawi.
Sesuatu yang memang bagus tapi agak tidak tersampaikan soal
memaknai 20 tahun berjalannya bahtera rumah tangga Arjuna dan
Nanang.
Jadi, rencana sederhana inilah yang Arjuna pilih buat
direalisasikan. Adira pasti penasaran, kenapa foto polaroid tadi
dijajarkan di depan berurutan— dengan posisi gambarnya gak
kelihatan. Heran juga kenapa ada kamera yang sorot mereka dan
lengkap dengan mic terpasang di baju.
“Ekhem,” Arjuna buka suara, “Dira, kamu lihat kan ya di
depanmu ini fotonya berjajar?”
Adira mengangguk, berniat ambil salah satunya tapi ditahan
Arjuna, “Eits, gak begitu … ambilnya sesuai urutan. itu ada
nomornya. Ayo sesuai urutan.”
Adira ambil satu foto. Gambar ini bukan yang adira fotokan. Ini
foto pernikahan kedua orangtuanya di pigura yang difoto ulang
pakai polaroid.
“Nduk, kamu daritadi bertanya-tanya … kenapa papa bawa kamu
jadi tukang foto kan ya? Bertanya-tanya juga buat apa … ya foto itu
jawabannya. Hari ini, peringatan hari dimana orangtua kamu ini
janji buat sehidup semati.”

230
balada dosmud

Kali ini Adira diminta ambil ke foto sebelahnya. Ini foto langit.
Iya, cuma langit yang entah kenapa Arjuna ambil.
“Perayaan itu sejatinya adalah refleksi. Sudah sejauh apa
berjalan? Masih sama orang yang sama atau enggak? Biasanya,
setiap tahun … Papa sama Abah itu refleksinya sambil lihat langit.
Abahmu suka bintang soalnya— tapi terlepas dari bintangnya,
kenapa pilih sambil lihat ke atas, ya karena langit itu luas. Jadi
makin terasa kalau diantara milyaran manusia yang ternaungi di
bumi, nyatanya tuhan pertemukan kami buat satu sama lain.”
Adira ambil foto berikutnya. Ini foto keluarga mereka— ada
Abah, Papa dan Adira.
“Adira sekarang sudah besar. Sudah berapa tahun? Iya, 17 tahun
ya. Sudah bisa mengerti apa itu perkawinan. Sudah bisa memahami
soal perjuangan. Jadi, buat tahun ini papa mau ceritakan awal mula
kisah kami ini sebagai bentuk refleksi dan Papa mau refleksinya
juga ada kamu. Supaya kamu bisa tau— oh, ini toh kisah
orangtuaku? Ternyata dibalik kesempurnaan kami ini, ada loh
cacat-cacat kecilnya.”
Berlanjut ke foto berikutnya. Ini foto Arjuna di parkiran yang
Adira ambil.
“Kalau Papa bilang, Abahmu pertama kali jatuh cinta ke Papa itu
di parkiran, ketawa gak nduk?”
“Hah? Beneran?”

231
balada dosmud

“Iya. Padahal Papa cuma bantu satu mahasiswa yang kok kasian
sekali itu motornya mogok, lah yang dibantu kok ya jatuh hati itu
kan lucu ya?”
Bapak Anak ini tertawa berdua. Kisah lucu itu mengalun lagi,
soal motor mogok, soal katanya Arjuna ini mirip mendiang
Kakaknya Nanang yang luar biasa dewasa. Adira dengar semuanya
seperti satu cerita baru yang menarik buat didengar.
“Lah? Itu berarti Abah ngejar Papa banget dong?
“Coba buka foto berikutnya, itu.”
Foto selanjutnya. Ini foto Ruang kelas dan Arjuna.
“Ngejarnya itu ya, sampai tugas rela mepet diakhir supaya kena
omel. Cover mika sengaja beda warna sendiri supaya Papa itu
panggil namanya dia dan maju ke depan. Luar biasa kan? Tapi, ya
bener … disitu itulah Papa tau kalau — oh, ini si Andanang
namanya.”
Kali pertama Arjuna kenal Nanang, ya di kelas. Kali pertama
terpahat di ingatan soal inilah Andanang Lazuardi, si mahasiswa
cerewet yang sukanya salah-salah kalau buat tugas.
“Ih, Abah modus ih!”
“Loh, itu belum modus, ada lagi lanjutannya.’
Foto berikutnya Adira buka, ini foto Papa di ruang dosen.
“Abahmu itu, sampai rela jadi Asdos. Papa suruh buat sebar
kuesioner, input data ini itu, sampai kadang pulangnya ya agak telat

232
balada dosmud

dari biasanya. Papa kira, Abahmu ini ya mahasiswa cari ceperan


uang kuliah— lah padahal anak e wong sugih kok ya.”
Adira tertawa lagi. Lah iya ya? Abah itu dari keluarga kaya tau!
kenapa mau jadi suruhan papa?
Cerita Arjuna berlanjut. Soal inilah awal-awal kedekatan
mereka. Soal Nanang yang pertama kali jujur kalau punya perasaan
ke Arjuna. Juga soal betapa Arjuna yang tanpa siapapun kira justru
pada akhirnya jatuh ke Nanang.
“Panjang kalau diceritain, tapi intinya berawal dari situ. Coba
buka foto lagi sebelahnya itu.”
Foto ini, foto kos-kosannya Nanang.
“Kenapa Papa bilang kos-kosan seribu kisah? ya karena banyak
kisahnya di sini.”
Adira dengar dengan seksama. Katanya, di sini Papa pernah
celingak-celinguk bingung mau ketemu Abah. Soalnya waktu itu
Papa merasa bersalah sudah bikin Abah sakit gara-gara disuruh
sebar kuesioner sampai kehujanan.
Di sini juga katanya, Papa pertama kali cium Abah. Ciuman
yang penuh cinta dan tanpa sadar dilakukan karena terbawa
suasana.
“Tuh kan! Papa macem-macem!”
“Heh, semacem tok itu. Gak lebih. Kamu juga kalau nanti— sek,
mungkin Papa gak bisa larang-larang kamu dan pergaulanmu … tapi

233
balada dosmud

seenggaknya kalau kebawa suasana beigtu itu ya tau batas ya,


nduk.”
“Enggak ih! Aku gak mau pacaran, mau kayak lek Rini jadi
independent women— eh tapi kenapa foto selanjutnya ini foto
lapangan dikasih bunga mawar?”
Arjuna menyeringai, “Ya karena memang itu tempat yang gak
perlu dikenang … cukup dijadikan pelajaran buat ga terulang.”
diliriknya Adira yang penasaran, “lapangan ini saksi bisu, Papa
sama Abah bertengkar, dan bodohnya itu kok ya bisa Papa cuma
diem tok.”
“Hah? Terus putus?”
“Iya. sampai 5 bulan.”
Arjuna urai lagi kisah sedih yang bermulakan kesalahpahaman.
Soal Arjuna dan Nanang yang gak sampai pada satu titik kompromi
dalam hubungan. Soal Arjuna yang bingung soal diri sendiri dan
berakhir pergi tinggalkan Nanang dalam status yang gak ada
kejelasan.
“Terus yang ngajak balikan?”
Arjuna ambil satu foto, ini foto jemari Arjuna yang tersemat
cincin dan berlatarkan hotel, “Papa yang memohon.”
Kisah kali ini jauh lebih serius. Adira dengar semuanya tanpa
terputus. Soal Papa yang berusaha perbaiki diri dan memahami
lebih lagi apa yang Abah mau. Soal Papa yang baru kali itu merasa
takut akan kehilangan seseorang.

234
balada dosmud

“Abahmu lucu. Padahal Papa wes gemeteran ya pas ngomong


‘Dek, tak nikahi mau?’ itu, lah jawabannya tau?”
“Apa?”
“Diterima, tapi Papa harus ucap dulu— i wufff youu— gitu.”
Adira tertawa terbahak-bahak. Gak aneh sih kalau Abahnya begitu
itu, sampai sekarang juga masih kadang-kadang diluar nalar.
Arjuna ambil satu foto yang berisi Arjuna menghadap pantai
dan bertuliskan ‘Siap melangkah?’
“Semua yang kamu denger ini, nduk … awal mula bagaimana bisa
akhirnya Papa sama Abah yang kayak bumi dan langit ini nyatu.”
Diambil lagi satu foto yang berisi ukiran tahun— tahun pertama
pernikahan.
“awal mula dimana akhirnya setelah janjinya terucap, maka baik
Abah maupun Papa itu ya sudah gak lagi seorang, tapi sepasang.
Apa-apa dalam hidup, harus soal ‘kita’, bukan lagi sekedar maunya
Arjuna ataupun maunya Nanang,”
Arjuna buka lagi foto berikutnya. Foto ukiran sebuah tahun
dengan kaki adira dan Arjuna di sisi kanan kiri.
“termasuk keputusan memiliki kamu. Itu semua bukan maunya
salah satu … tapi ini maunya kami.”
Adira lirik sang Papa kaku-kaku. Bapak Anak ini bersitatap
dalam netra yang sama-sama senyum tapi berpendar sendu.
“punya kamu di dalam hidup kami berdua itu juga salah satu
titik pendewasaan. Kalau ndak ada kamu, nduk … mungkin Papa

235
balada dosmud

gak bisa seluwes ini bicara panjang. Karena ya gak mungkin Papa
banyak bicara ke Abahmu. Suka malunya lebih besar Papa ini.
Karena kamu juga, Abahmu yang petakilan itu jadi lebih dewasa.
Jadi kalau ditanya kenapa foto yang Papa ambil cuma tahun
pertama, tahun kedatangan kamu dan,”
Arjuna ambil foto terakhir.
“tahun sekarang ini .. Itu semua karena 3 Tahun ini yang paling
berarti dalam hidup. Tahun pertama, itu paling berat— karena mau
gimanapun, kami ini baru pertama kali jadi sepasang yang
setingkat mau tidur tapi keganggu suara dengkur aja gak boleh
protes. Tahun kamu datang, itu tahun pendewasaan, karena kami
juga jadi harus belajar lagi jadi orangtua.”
Arjuna taruh semua foto, ubah posisi duduk kini menghadap ke
Adira. Dipegang pundak sempit sang putri dan diajak bersitatap
lurus satu sama lain,
“Tahun ini, tahun cantik. Angka 20 itu cantik karena termasuk
sudah lama tapi juga belum selesai perjuangannya. Tahun ini,
spesial, karena refleksinya sama kamu. Supaya, Adira Lazuardi ini
mengerti…,”
Arjuna sampir poni sang putri yang tersibak angin pantai ini ke
sela telinga,
“kalau namanya mencintai cinta itu gak mengenal angka dan
usia. Harus sampai menutup mata. Juga soal mencintai cinta itu
juga caranya luar biasa beragam. Kali ini papa pilih buat libatkan

236
balada dosmud

kamu dalam refleksi tahunan Abah dan Papa. Supaya di angka


cantik ini, ada pembeda dari tahun-tahun sebelumnya, sekaligus
penanda buat kami— kalau putri kami ini sudah gak kecil lagi.
Sudah remaja menuju dewasa. Iya toh?”
Adira rasa satu hal hangat di hati yang pompa kantung
airmatanya buat keluar. Gak coba ditahan juga, karena makin ia
lihat sang Papa tersenyum tulus begini, Adira justru semakin mau
menangis.
Dilibatkan dalam perayaan cinta dua yang padahal sama sekali
gak punya hubungan darah itu rasanya menakjubkan. Adira merasa
dihargai— merasa benar kalau dirinya ini putri dari sepasang yang
saling mencintai.
“Aku beneran deh, Pa. Makin gak mau nikah.”
“Loh, kenapa?”
“Standarnya Papa sama Abah soalnya.”
Arjuna tertawa. Berdehem sebentar lalu lanjut lagi bicara.
“Dira, coba tolong ucap doa buat Papa sama Abah.”
“Doa?”
“Iya … biasanya, refleksi tahunan selalu ditutup sama doa-doa
baik buat setahun ke depan. Biasanya juga, Papa atau Abah yang
ucap— tapi sekarang, coba Papa maunya kamu yang doakan.”
Adira tatap netra sang Papa dalam keheningan. Dalam benaknya
berputar soal banyak hal baik yang maunya ia harapkan buat
Arjuna dan Nanang.

237
balada dosmud

Doanya mungkin setulus doa Pada saat Adira ulang tahun, atau
selembut waktu Adira sakit dan dibisik pelan sebelum tidur. Doa
ala Papa itu selalu sederhana, realistis dan tulus.
Jadi, tolong dengar ya, Pa! ini doanya Adira buat Abah dan Papa.
“Adira haraaap banget, Papa sama Abah itu berumur panjang!
Kalau bisa kita tuanya bareng, nanti aku mau kerja sampai kaya
raya supaya bisa punya tabungan hari tua deh! Terus, juga semoga
Abah sama Papa gak pernah berantem yang gimana-gimana ya!
soalnya kalau sampai putus lagi duh, aku yang patah hati.”
Adira senyum, Arjuna usap satu airmata luruh di pipi sang putri.
“T—terakhir … aku gak mau doa, tapi maunya bilang makasiiiih
banget soalnya udah dibolehin ikut Papa sama Abah. Dikasih lihat
kisah hidup kalian begini tuh rasanya seneng banget. Aku sampe
lupa dikit tadi kalo aku gak dilahirin dari Papa sama Abah.”
Adira peluk Arjuna. Punggungnya diusap-usap tangan besar
yang sudah jaga dirinya sejak dulu kecil hingga sedewasa sekarang.
Hari ini, selesai sudah. sederhana memang, tapi begitu hangat
rasanya.
20 tahun kisah Arjuna Nanang dan akan terus bertambah lagi
angkanya. Semoga panjang umur dan sehat ya!

***
Layar home theater yang sejak sejam lalu tampilkan video yang
menguras airmata ini kini berakhir dengan adegan Arjuna yang
berjalan, lambai tangan ke kamera lalu matikan kamera dan

238
balada dosmud

berganti sudah menjadi layar hitam dengan tulisan panjang


bergerak dari bawah ke atas.

20 Tahun Berlalu.
Dek, semoga tersampaikan ya. Soal kenapa cuma sesederhana ini
perayaannya.
Mas mau untuk tahun ini, ada satu orang yang dengar kisah kita
secara utuh … supaya kalau di masa tua nanti kita mulai pikun dan lupa
soal detail-detail kisahnya, masih ada yang ingat dan bantu ceritakan
ulang— dan orang itu gak lain gak bukan jelas anak wedok satu-satunya
yang kita punya.
Semoga dengan diestafetkannya kisah kita yang agak rumit di awal itu
bisa juga beri pelajaran hidup baru buat Adira. Lah wong anak e sampai
ndak mau nikah itu gara-gara standarnya kita berdua.
Terlepas dari itu semua, Mas mau ucap selamat buat kita. Hebat toh?
20 Tahun itu bukan waktu sebentar loh. Mas makin berasa sudah tuanya.
Mas ini gak segagah dulu. Semoga masih tetap jadi kebangganmu, ya.
Sebagaimana kamu yang selalu jadi kebangganku meski sudah ada
keriput di sepanjang matamu.
Selamat ulang tahun pernikahan. Semoga bahtera rumah tangganya
selalu berjalan meski ada hambatan, semoga berakhir selamat ke
tujuan— ke keabadian.

239
balada dosmud

Nanang mendecak sebal. Dibuat nangis terus ketawa terus nangis


lagi tuh apa kaga keliatan gila ini gua? Sial. Kemarin tuh Nanang
seharian khawatir anak sama suaminya hilang dan baru pulang
malam-malam.
Ditata lagi foto-foto polaroid yang Nanang buka sesuai instruksi
video tadi itu. Dirapikan dan ditaruh ke kotak yang tau-tau ada di
samping kasur waktu Nanang bangun.
Arjuna nih pantes aja nyuruh Nanang nonton sendiri. Ya kalau
ikut nonton pasti malu itu bapak satu. Masalahnya manis banget itu
omongannya di video barusan.
“Mas Juna!”
“Opo toh.”
“Dih? Sweet dikit kenapa?”
“Swat swit swat swit iki loh aku bikin kopi sek— heh! Panas ini!
Awas tanganmu!”
Adira geleng-geleng kepala, sambil matikan layar dan bawa
tisu-tisu bekas abah ini ke tempat sampah. biar aja deh itu berdua
mau heboh juga, katanya itu termasuk love language— Act of gelud.
***

240
balada dosmud

Soal Menua dan Bersama


Makin tahun, namanya cinta berangsur turun. Bukan lagi
menggebu sebagaimana awal-awal ikrar itu dimulai. Gak juga
sepanas bagaimana awal-awal memadu cinta berdua.
Makin tahun, cinta membara itu mulai meredup berganti jadi
satu kata— hangat. Iya, hangat yang kalau gak dijaga bara apinya
supaya tetap menyala, maka cuma berakhir jadi abu dingin yang
serbuknya bubar diterjang angin.
‘Acara sumpah pengantin, akan segera dimulai .. kepada seluruh tamu
undangan dan anggota keluarga, diharap segera menempati tempat yang
telah disediakan..’
Arjuna kalau berada di acara pernikahan begini ini selalu
kembali lagi terbawa ke masa dimana jantungnya gak berhenti
berdebar kencang. Debaran yang makin dekat lazuardinya justru
makin kencang terasa.
Kali ini, juga sama. Entah kali berapa hadiri pernikahan, tapi
haru dan debarnya selalu sampai ke hati Arjuna. Bukan karena
menakutkan, melainkan karena seperti rasa kembali betapa
sakralnya acara ikat dua hati jadi satu sehidup semati.
Soal pernikahan ya? Katanya, ini adalah momen penyatuan dua
cinta. Katanya juga, ini mengikat dua orang supaya selalu jadi
sepasang dan tidak terpisahkan.
‘Pengantin Wanita, memasuki altar ..’

241
balada dosmud

Padahal kalau bagi Arjuna sih, gak begitu. Pernikahan itu


tempatnya ujian hidup, tambah stress dan masalah baru yang kalau
kamu mau tau nih ya, Arjuna sendiri baru menemukan
masalah-masalah kecil yang cuma bisa muncul dalam dunia
pernikahan.
Jadi kalau romantisme pernikahan sebatas cinta saja, kayaknya
kurang luas ya pemahamnnya. Jalan ke Altar itu, kalau bisa jangan
cuma bawa cinta … tapi juga tujuan.
Pada akhirnya, cinta itu fluktuatif— kadang naik dan turun, tapi
pasti tetap bertahan kalau kembali ingat tujuan awal bersatunya
mereka sampai detik ini.
Dan lagi, tujuan utama hidup berdua, adalah buat saling
mendampingi baik suka maupun duka— bagaimanapun bentuk dan
caranya.
Kalau pernikahan cuma berlandaskan cinta, maka harusnya gak
ada yang lajang di muka bumi.
Kenapa juga susah sekali memantapkan diri buat menikah
padahal sudah menemukan sosok buat dicintai? Ya sesederhana gak
semua yang kita cinta itu mau punya satu tujuan bersama.
Jadi, ketika putri kecil Arjuna ini berhasil labuhkan hati ke
sesosok yang dengan murah hatinya siap satukan tujuan, ya Arjuna
bisa bilang apa selain;
“Saya titip putri saya ya.”

242
balada dosmud

Kalimat titip ini gak sekedar penjagaan semata— tapi titip apa
yang sudah Arjuna berikan sepanjang umur kedewasaan Adira buat
dilanjutkan lebih baik lagi.
“Pasti. Pasti dijaga.”
Tugas Arjuna, selesai begitu genggam tangannya dan jemari
cantik ini terlepas. Pindah sudah ke genggaman lelaki yang belum
punya keriput di punggung tangan.
Meski sebagian hati masihlah berat— karena seorang anak
putri, akan tetap jadi anak kecil di mata seorang bapak— tapi hidup
harus berjalan. Arjuna harus estafetkan penjagaan Lazuardi
cantiknya itu sebelum raganya gak lagi mampu buat beri penjagaan
sebagaimana kemarin.
“Mas. Tisu nih. Gak apa-apa sih nangisin aja. Diranya gak liat.”
Sekali lagi, pernikahan itu … soal tujuan. Arjuna pernah lalui
banyak hal hebat dalam hidup.
perjuangkan cintanya karena tujuannya adalah pernikahan.
Perjuangkan karir dan pendidikan supaya karena tujuannya adalah
ke titik derajat yang diinginkan. Pun pernah perjuangkan ilmu dan
kemampuan mendidik anak karena tujuannya supayabisa besarkan
seorang gadis cilik hingga menjadi wanita cantik.
Semua itu adalah tujuan-tujuan kecil yang buat tiap harinya
selalu terarah—tau apa yang harus dikejar dan dicapai. Semua
tujuan-tujuan kecil yang dikejar bukan buat apapun melainkan buat
sangga tujuan utama Arjuna.

243
balada dosmud

Tujuan utamanya adalah kebahagiaan, kedamaian dan


keseimbangan hidup pernikahannya dan Andanang Lazuardi.
Supaya pernikahan yang berlangsung seumur hidup ini gak monoton
dan berakhir bosan.
Nanang juga sama. Semua hal yang Arjuna kejar itu juga
Nanang kejar dalam hidup. Karena mereka, punya satu tujuan yang
sama dalam pernikahan.
Dengan terus punya tujuan ke depan, maka Arjuna dan Nanang
akan selalu punya hal buat dibicarakan dan dipikir berdua soal
apa-apa yang harus dikejar dan diperbaiki ke depan.
Sesederhana tujuan, tapi mampu meminimalisir keretakan
bahtera rumah tangga yang kadangkala sumbu konfliknya gak
terduga.
Jadi, begitu ada satu yang dengan beraninya minta izin buat
bawa Adira ke jenjang pernikahan … Arjuna dan Nanang cuma beri
satu pertanyaan buat lelaki ini.
‘Apa tujuan kamu? Kenapa juga mesti Adira?’
Pertanyaan ini gak menjebak. Gak juga merendahkan maksud
kedatangan lelaki yang bawa dua orang tuanya langsung 6 bulan
yang lalu itu. Arjuna dan Nanang, cuma mau tau saja.
Supaya kalau nanti putri mereka gak sesempurna yang
diharapkan, setidaknya tujuan pernikahannya tetap mampu
pertahankan. Supaya kalau nanti putri mereka suatu hari kecewa

244
balada dosmud

dengan beberapa hal soal pasangan, setidaknya masih ada satu dua
hal baik yang buat perempuan ini bertahan.
Inilah pernikahan, bukan soal sekedar cinta— tapi soal
bagaimana caranya supaya bisa menua bersama.
“Papa! Abah”
Arjuna dan Nanang yang duduk berdua di kursi ini terkekeh,
terima peluk si putri cantik yang menawan luar biasa.
“Mas, ih itu nangis tau anaknya!”
“Ya biar aja, kan sudah ada suaminya— ya kan nduk?”
Adira gak peduli make upnya luntur sekalipun. Harunya masih
sesak menumpuk sejak tadi di ruang tunggu sampai berakhir
genggam tangannya bukan lagi Arjuna.
Hari ini, Adira resmi labuhkan hidup ke satu lelaki yang punya
segudang cara lucu buat luluhkan hatinya yang susah ditembus.
Satu lelaki yang meski sudah Arjuna dan Nanang percayai
sekalipun tapi tetap mau buat berjuang selayaknya orang baru pada
umumnya.
Adira gak pernah membayangkan soal pernikahan— bertahun
hidup bersama Arini yang menganut tegas prinsip lebih baik
sendiri dibanding pusing — ini secara gak langsung bentuk
mindset yang sama di hati.
Adira gak punya tujuan apapun di bumi selain satu; jaga
keluarganya ini sampai mati. Namun lelaki sejuta kata yang sentuh
titik terdalam hatinya lewat kalimat;

245
balada dosmud

“Aku dan kamu itu sama, Dira. Gak ada tujuan lain di hidup selain
mau balas budi buat dua yang sudi angkat kita dari gelapnya hidup tanpa
penjagaan— tapi Dir, bukan berarti bahagianya kamu juga berhenti di
situ. Kamu berhak punya kehidupan.”
Sore itu, lelaki yang pernah jadi teman masa kecilnya ini sengat
hatinya lewat satu kalimat sederhana dan tatap mata sendu,
“Dira, yang aku tau … perempuan hebat sekalipun tetap butuh
ditemani. Aku bener gak?”
Benar … karena kuatnya Adira ini cuma tameng buat tutupi
banyak hal lain yang gak perlu orang lain ketahui— dan lelaki ini,
luar biasa mau mengerti, bahwa Adira gak cuma bawa diri sendiri,
tapi 2 sekaligus — yang mana jika mau Adira, maka harus terima
juga buat senantiasa sayang Arjuna Nanang.
“Aku temenin, ya? Buy 1 Get 3 loh. Terima aku, berarti dapet Papa
Eja sama Ayah Dika. Nanti kalo mereka tua gitu, kita bangun rumah
lansia–friendly. Biar main bareng deh itu berempat.”
Bener kata Papa— anaknya Reza itu ya keras juangnya sama saja
kayak bapaknya, belum lagi mulutnya mesti muanis to nduk?
Jadi, ya Adira mau menikah karena berakhir temukan satu yang
mampu yakinkan dirinya … kalau pernikahan gak akan menghalangi
baktinya sama sekali pada dua orang yang ia peluk sekarang ini.
“Loh ini kok ya nangis terus toh.”
“Diraaaa, yailah Diraaaa itu malu luntur maskara itu kayak
tuyul.”

246
balada dosmud

“Ih! Abah!”
Arjuna tertawa. Lucu, putri kecil yang warisi diam dan tegasnya
Arjuna ini tengah jujur soal hati.
“Pokoknya Abah sama Papa tuh ada apa-apa bilang Dira loh!”
“Loh ya kita kan masih sama-sama toh nduk? Mau kamu pindah
rumah juga kan ya masih di bumi yang sama.”
Meski harus legowo lepas putrinya ke pelukan putra Dewangga,
tapi Arjuna gak masalah juga … toh mereka masih ada di satu bumi
yang sama. Meski ya tetap sih, Adira pergi dan Arjuna Nanang
ditinggal.
Arjuna lirik Reza dan Dika yang sibuk bicara ke Raka. Mungkin
ulur waktu supaya Istrinya bisa punya waktu luapkan emosi
sebelum dipajang di pelaminan 5 jam sampai resepsi selesai ya.
Dipikir-pikir lucu ya? Diantara milyaran manusia, kok ya
ketemunya mereka lagi … mereka lagi. Kayak sempit sekali ya bumi
ini? Ya atau memang Arjuna ditakdirkan buat seumur hidup
geleng-geleng kepala sama kelakuan Reza Dewangga?
“Juna, nangis dong Jun, itu videographer sia-sia itu ngeshoot
kamu.”
“Mulutmu ya, Za.”
Cukup. Biar aja dua bapak-bapak itu saling ledek, mari antar dua
pengantin baru ini ke pelaminan ya. Biar satu Ballroom hotel ini
bisa lihat seberapa bersinarnya putri cantik yang Arjuna Nanang
jaga sampai kilaunya buat semua pangling begini.

247
balada dosmud

Nanang juga sama, gak menangis. Terima tamu sambil terus


senyum sumringah. Selalu siaga angkat gaun Adira kalau mau
pindah-pindah. Juga sedia tangan buat kasih minum dan suapi
makanan. — karena ini kayaknya terakhir Nanang bisa beri
perhatian buat putri yang tarik netranya di awal temu panti asuhan
dahulu.
Setelah ini, ada Raka yang semoga sabar ya hadapi putri yang
tegasnya mirip Arjuna tapi recehnya sesekali mirip Nanang ini.
Adira layak sekali buat bahagia. Meski gak ada darah mengalir di
tubuh putrinya ini, tapi Nanang siap bakar Raka kalau suatu hari
putrinya disakiti.
“Yailah, Ka. Dulu Papa kamu itu diancem juga sama aja itu. Kalo
sampe nyakitin ayah, mau dibakar katanya.” Dika senggol Reza yang
lagi minum Aqua.
“eh— oh iya tuh, Ka … tapi tenang aja Nanang, simpen aja bara
apinya buat bakar ayam tahun baruan. Soalnya gak bakal kepake
tuh.”
Raka yang tarik Adira ke rengkuhan sambil tertawa ini gak lepas
dari netra tegas Arjuna di pojokan pintu masuk tamu sana— netra
tegas tapi kemerahan akibat tangis kecil yang dipaksa segera keluar
setengah jam lalu di kamar mandi sendirian.
Ya Tuhan, putriku sudah punya orang … baru kemarin tak tuntun
jalan, Nduk …
***

248
balada dosmud

Penutup hari lelah ini, berdua duduk di balkon kamar yang


punya view merapi. Hangat rasanya, duduk di dekapan Arjuna yang
meski sudah sekian tahun berlalu tapi eratnya selalu sama, gak
pernah mengendur sedikitpun.
“Mas.”
“Hm?”
“Tinggal berdua kita.”
“Ya moso bertiga. Setan satunya.”
Mereka bicara banyak hal berdua malam ini. Terutama soal sang
putri yang sudah resmi bukan lagi tanggungan mereka ini.
“Mas aneh gak sih? Aku tuh ngiranya Dira bakal kayak Arini
yang gak nikah gitu.”
“Aku nggak aneh sih. Adira itu keliatan kok kalau butuh orang
di hidup. Dia itu gak sekeras Arini. Makanya aku itu ya masih
bingung dia itu genrenya apa sebenernya.”
“Tapi mas seneng ga?”
“Seneng, soalnya gak perlu khawatir lagi.”
“Khawatir?”
Iya, khawatir— karena jauh di tiap lantun Doa Arjuna, selalu
terselip harap kalau putrinya bisa temukan satu orang yang
dampingi hidup nantinya. Apapun gendernya, siapapun orangnya,
asalkan mau bersamai dan terima Adira tanpa pamrih.
“Aku gak mau egois, Dek. Masa Adira temenin kita sampai tua
tapi kitanya gak bisa temenin dia juga sampai tua?”

249
balada dosmud

Arjuna merunduk, bawa dagu lancip suaminya buat mendongak


dan diajak bersitatap sayang, “Aku ini pernah hidup yang bener
sendirian sampai kamu dateng— ya kalau boleh milih, memang
hidup sendiri itu gak enak. Lebih enak pas aku punya kamu.”
Nanang mengerjap pelan, lurus matanya selami netra yang
meski sudah terlihat garis halus usia yang makin senja tapi tetap
masih begitu rupawan.
“Liat nikahnya Adira, aku jadi inget jaman tak nikahi kamu dulu
itu. Deg-degannya, sakralnya itu ya masih bikin merinding.”
Nanang tau, Arjuna sekarang dalam lingkup emosional yang
cukup kental, pada akhirnya membuat lelaki yang biasa penuh
keterdiaman ini mampu berkata-kata cukup panjang.
“Sama sih aku juga. Jadi kangen ya! Hehe.” Nanang dusal
hidungnya ke hidung Arjuna. Diajak bercanda sampai terkekeh
berdua dan terus lanjut buat bagi cinta yang hangatnya gak kalah
sama kamar pengantin baru di pojokan sana itu.
Ini soal episode menua bersama. Pada akhirnya, cinta paling
romantis dan erotis akan kalah dengan cinta yang terus subur
sampai berakhir layu pada waktunya. Cinta ini gak menggelora
seperti waktu muda. Rasanya lebih tenang … lebih hangat.
Cinta itu, adalah ‘Mereka’. Iya, definisi cinta itu ya Arjuna dan
Andanang yang meski berbeda sekalipun tetap Tuhan satukan buat
berakhir bahagia, menua bersama sampai maut tiba nantinya.

250
balada dosmud

251
balada dosmud

BALADA DUA:
UNRELEASED SCENE

Ini soal beberapa kisah yang belum sempat dikemukakan.


Kisahnya meski dirasa gak begitu penting, namun sayang
rasanya kalau tidak dibagi ke kalian!

Semuanya dirangkum singkat, disini.

252
balada dosmud

253
balada dosmud

Mengenal Lazuardi
Arjuna berlari, buru-buru masuk ke ruang kamar kos ekslusif
lantai 2 kamar 37. Arjuna lari secepat mungkin dari ruang dosen
begitu satu panggilan Nanang masuk dan cuma kedengaran suara
sesak yang tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut sekalipun jelas
paham apa situasinya.
“Dek,” Gak repot ketuk pintu dan langsung melesak masuk buat
bawa lelaki yang diam di pojokan kamar itu ke pelukan. Arjuna
tangkup wajah yang mulai sedikit pucat itu buat ditenangkan.
Ditatap lekat netra yang tersirat kepanikan itu supaya tenang,
“nafas dulu pelan, iya … bener begitu.”
Mata Arjuna lirik kanan kiri waspada, cari satu benda yang biasa
ada di sekitar Nanang— ada, di pojok sana. kaleng besar oxycan
yang sepertinya belum terpakai. Ia ambil sekali gerak, dekatkan
telinga ke dekat mulut Nanang buat dengar nafas lelakinya ini
apakah masih berbunyi atau sudah mulai nyaman. Ternyata cuma
sedikit berisik, masih bisa ditangani tanpa perlu ke UGD.
“Dek, tak pakaikan inhaler ya ini?” Tanya Arjuna memastikan
sekali lagi. Diarahkan oxycan kecil ini ke daerah hidung dan mulut,
disemprot waktu Nanang siap tarik nafas dan dilakukan beberapa
kali sampai mulai tenang.
Arjuna sanggah tubuh yang merosot tiba-tiba ini lalu
disandarkan ke kepala kasur. digenggam jemari dingin lelakinya
buat di bawa ke wajah Arjuna.

254
balada dosmud

“Liat Mas sebentar.” Titah Arjuna.


Nanang mendongak sedikit, masih tersengal tapi coba fokus
tatap netra Arjuna yang usap buku tangannya sambil beri contoh
bernafas pelan. Dibuat nyaman supaya lekas bisa bernafas normal.
Dua insan ini cuma diam dan bicara lewat sorot mata tanpa kata.
Arjuna seperti hantarkan banyak rasa lewat sorot tegas yang gak
luntur meski kekhawatirannya begitu nyata terasa.
Netra cantik Lazuardinya yang berembun sayu ini sekali lagi
gores pilu di hati Arjuna. Dirinya ini pasti—dan akan selalu
khawatir. Rasa khawatir yang sama sebagaimana awal-awal ia
berada di situasi yang baru kali itu ia temukan. Waktu itu, waktu
pertamanya meraba-raba soal lelaki ini … masa-masa Arjuna
mengenali Lazuardinya.
Waktu dimana Nanang Asma pertama kali dan Arjuna sama sekali
gak bisa berbuat apapun selain panik.
***
Terakhir kali Arjuna dandan rapih buat jemput seseorang
begini, mungkin hampir sekian belas tahun lalu. Masih di
masa-masa remaja tanggung sebelum akhirnya dikecewakan dan
mati rasa.
Preferensi kencan Arjuna juga minim. Gak ada pikiran lain
selain ajak makan dan sekedar jalan. Apalagi buat awal-awal
berpacaran yang notabene masih sama-sama berusaha mengenal
pasangan.

255
balada dosmud

“Mas!”
Arjuna serahkan helm ke lelaki yang sudah kelihatan rapi meski
cuma pakai kaos putih berbalut jaket hitam dan juga celana jeans.
Cocoklah sama Arjuna yang pilih pakai kemeja hitam dan celana
jeans.
Hitungan bulan, harusnya ini masuk satu bulan sudah dari kali
pertama Arjuna minta Nanang buat jalin hubungan. Permintaan
yang Arjuna mati-matian ucap setelah puluhan kali latihan di
depan cermin sendirian.
“Mas, mau makan itu aja gak?”
“Kamu mau yang tenda mana? Aku ngikut.”
“Itu yang ada bebek bakar!”
Di bulan pertama ini, kalau mau dihitung jari, kencan mereka
mungkin sekitar 3 kali? Iya. Karena sabtu—minggu kemarin,
Arjuna gak luang waktu akibat rapat kerja. Jadi anggap aja ini rapel
dari minggu kemarin.
“Mas, kemaren—.”
“Makan dulu, dikunyah,” Selak Arjuna sambil pindahkan bebek
miliknya yang sudah disuwir ke piring Nanang, “keselek nanti.”
Nanang ini cerewet ya. Arjuna kadang-kadang agak capek buat
ngimbangin dia yang gak pernah habis topik— ada aja gitu yang
dibahas. Kadangkala serius, kadangkala cuma hal sepele yang buat
geleng-geleng kepala.

256
balada dosmud

Meski begitu, Arjuna sama sekali gak keberatan. Karena dengan


begini ia bisa lebih mudah mengenali lelaki ini tanpa perlu sibuk
mengulik satu persatu.
Pacaran itu kan katanya waktu buat saling mengenal— dan
memang benar karena setiap harinya selalu ada hal baru soal lelaki
ini yang Arjuna dapat.
Kencan pertama, soal Nanang yang punya alergi beberapa jenis
makan.
Kencan kedua, soal hobi dan kebiasaan.
Maka di kencan ketiga kali ini jelas Arjuna antisipasi sekali soal
kira-kira hal baru apa yang bisa masuk ke dalam catatan di
handphonenya?
Na.
● gak bisa makan minum mengandung susu.
● hari jumat jadwalnya ikut kegiatan hima.
● suka denger lagu mellow.
● “Mas! Aku gak suka badut.”
Arjuna gak pernah tulis sesuatu soal orang lain seserius ini.
Ditaruh di notes khusus buat dilihat lagi barangkali suatu hari
kelupaan.
Kenapa juga sampai ditulis? Sesederhana Arjuna gak mau
melewatkan apapun soal lelaki ini. Lelaki yang anehnya meski
bukan tipe Arjuna sekali tapi berhasil buat jantungnya banyak

257
balada dosmud

degup kencang setiap hari. Asdosnya yang ribut gak bisa diem –
Andanang Lazuardi.
Arjuna gak pernah membayangkan bisa mau sabar jemput
seseorang buat kencan. Sebagaimana ia jemput Nanang dan rela
tunggu seperti ojek panggilan.
“Mas! Hehe lama ya?”
“Dandanmu itu ya. Mau manggung dimana?”
Gak pernah juga membayangkan bisa beri panggilan seseorang
selain nama lengkap. sebagaimana panggilan unik yang disematkan
khusus buat kontak Andanang— Na <3.
Arjuna juga sama sekali gak pernah membayangkan kalau
sebagian dari dirinya ini berakhir mau terbuka buat sayangi
seseorang selain diri sendiri.
Arjuna ini, jatuh cinta.
Meski belum tau harus bagaimana dan seperti apa mencintai
seseorang, tapi cara Arjuna yang jadikan setiap harinya harus selalu
ada selipan hal baru soal kamu, semoga diterima sebagai salah satu
bentuk cinta.
Karena terakhir kali mengenal seseorang begitu dalam, Arjuna
justru dikecewakan— dan semoga yang kali ini gak beri
pengalaman yang sama. Semoga ya. Semoga gak ada satupun hal
penting dari kamu yang tak lewatkan.

258
balada dosmud

Arjuna bawa telapak tangannya buat cek jatuhnya air langit.


Terasa tetesnya meski sedikit— tanda hujan besar sekian menit lalu
sudah mulai mereda.
Arjuna lirik lelaki di sampingnya yang mengeratkan jaket sambil
lirik gelapnya malam. Berakhir buat Arjuna ragu apakah benar
harus memaksa pulang atau tunggu sampai benar-benar reda.
“Mas, gerimis doang. Terobos aja yuk?”
“Ya tetep aja masih gerimis.”
“Gak apa-apa dih. Asik kaliii.”
“Parkirannya jauh, Na.”
“Ya gapapa sambil jalan aja.”
Mereka ini gak sadar jalan dari alun-alun satu ke alun-alun lain
yang punya jarak lumayan. Berakhir hujan dan waktu mau pulang
begini ya bingung karena mau gak mau harus jalan ke parkiran
awal.
Arjuna gak mau, tapi Nanang paksa sampai akhirnya mau gak
mau ya ikut jalan. Jalannya sekitar 3 KM. Arjuna masih ragu-ragu
karena perasaannya bilang ini hujan bisa tiba-tiba deras lagi— dan
benar.
“Na! Neduh ke sana.”
Arjuna tarik Nanang buat lari ke depan warung yang sudah
tutup di sana. Meski gak terlalu jauh tapi tubuh mereka kuyup
karena hujan tiba-tiba turun deras sekali.

259
balada dosmud

Arjuna bawa Nanang duduk di emperan yang punya kursi dari


semen ini. Dibiarkan menunggu sementara Arjuna pilih pesan
gocar pada akhirnya.
“Mesti lama ini gocarnya. Rame yang minta kalau hujan.”
Arjuna bicara, tapi hening dan gak ada suara menimpali dari
sekitar.
“Kamu apa ada Grab, Na? Biar coba ambil grabcar.”
Arjuna bicara, tapi gak ada jawaban. Kening lelaki ini
mengernyit heran.
“Na—heh? Lah kenapa?”
Arjuna gak tau kenapa lelaki yang awalnya baik baik saja ini kini
meringkuk sambil gemetar. Dadanya naik turun seperti susah sekali
hirup udara.
“Na?”
“Dingin, Mas ..” mata sayu ini mendongak tatap Arjuna. Bunyi
nafasnya seperti engsel pintu berkarat. Bunyi yang biasanya ada
pada penderita Asma.
“Kamu punya asma?! Kok gak bilang, Na.” Arjuna panik. Lepas
jaket basahnya Nanang supaya gak tambah lembab. Coba Arjuna
bawa lelaki ini pelukan sambil terima satu botol kecil yang baru kali
ini Arjuna pegang.
“Di … ke .. mlutku …” Bicara Nanang gak jelas. Sahut-sahutan
bersama deru angin yang buat Arjuna makin panik dibuat.

260
balada dosmud

Katanya taruh mulut— mungkin seperti inhaler? Arjuna gak tau.


Jujur, paniknya luar biasa. Arjuna taruh kaleng bertuliskan oxycan
ini ke mulut. Sepertinya disemprotkan— tapi begitu disemprot
justru makin parah dan batuk-batuk.
Arjuna dalam diamnya ini berpikir banyak hal. Lirik kanan kiri
gelap dan sepi. Gak ada yang bisa diminta bantuan. Mau nekat
gendong dan bawa ke motor lebih gak memungkinkan. Aplikasi
panggil gocarnya juga belum ada yng ambil sama sekali.
Arjuna harus apa?
Nanang genggam jemari Arjuna. Erat seperti bertumpu harap
ditengah nafasnya yang susah-susah masuk.
Netra mereka bertemu. Arjuna gemetar karena netra sayu
lelakinya ini makin sayu. Makin lemas dan Arjuna gak tau seperti
apa kedepannya kalau masih cuma diam begini.
Beberapa kali Arjuna tanya ke Nanang biasanya bagaimana buat
penanganan awal— tapi ya susah. Jangankan buat bicara, buat nafas
aja gak gampang.
Arjuna gak punya pilihan lain selain minta bantuan— dan
beruntung sekali ada satu mobil berhenti. Keluar dan tawari Arjuna
buat bantu bawa ke klinik terdekat.
Arjuna angkat Nanang ke gendong, buru-buru bawa masuk dan
sepanjang perjalanan cuma bisa genggam tangan ini sambil terus
berdoa dalam diam.

261
balada dosmud

Gak sampai 3 menit sampai dan berakhir dengan Nanang yang


terbaring di IGD dikelilingi beberapa petugas medis.
Arjuna gak tau, kalau lelaki ini punya Asma. Andaikata tau,
sejak awal Arjuna gak akan mau kalau harus terobos hujan.
Sekarangpun Arjuna gak membantu, cuma bisa ikut panik dan
berakhir merasa gak berguna sendirian.
15 menit penanganan pertama dan Nanang sudah mulai gak
kesulitan bernafas. Seenggaknya begitu menurut Arjuna.
Nanang di kasurnya juga sama sekali gak menyangka kalau
Asmanya justru kambuh di saat-saat gak terduga seperti tadi.
Nanang gak mau merepotkan siapapun, terutama Arjuna yang
sekarang berdiri di depan pintu sana sambil bersandar dan
bersedekap dada.
Mata Arjuna lurus tegas tatap dirinya tanpa ekspresi berarti
selain satu; khawatir. Mereka gak bicara, di sela perawat yang bolak
balik ke kasurnya ini, Nanang cuma lurus tatap Arjuna yang entah
kenapa begitu penanganan selesai justru memilih pergi keluar.
Arjuna kenapa?
Na, kamu harus tau kalau Arjuna sekarang dilingkupi rasa bersalah
yang luar biasa.
“Loh Mas ya apa ndak tau pacarnya punya asma? Ini bahaya
Mas, kayaknya pacarnya mas asmanya akut.”
Arjuna duduk di bangku ruang tunggu administrasi ini sambil
merenungi kalimat tanya petugas medis barusan. Tangannya

262
balada dosmud

gemetar kedinginan tapi hatinya carut marut bingung posisikan diri


soal apa yang dirasakan di hati.
Sejam lebih, sampai administrasi dan obat selesai diurus. Kini
Arjuna masuki ruang yang sepi senyap dengan Nanang yang
tertidur lelap.
Arjuna duduk, gak berani ganggu dengan sekedar beri usapan. Ia
cuma tatap Nanang yang terpejam dalam deru nafas masih agak
berat.

Na
….
● Nanang ada asma. Gak boleh lagi hujan-hujana kayak
tadi.

Arjuna hela nafas. Masukan handphone ke kantung lalu pilih


keluar ruangan. Bertemu satu perawat buat ia tanyakan satu hal.
“Suster, saya boleh diajarkan pertolongan pertama orang Asma
ndak ya?”
Arjuna selalu penasaran soal hal baru apa yang akan ia pelajari
dari Andanang— dan kali ini, Arjuna belajar satu hal besar. Soal
satu penyakit yang syukurlan diketahui lebih awal.
“... oxycan begini mas, mungkin kalo dari penjelasannya Mas, itu
mas salah aja pasangnya. Harus disemprotkan waktu pasiennya
tarik nafas mas, jangan sampai bertolak belakang …”

263
balada dosmud

Arjuna rekam setiap penjelasan ini detail dalam kepala, supaya


dikemudian hari gak ada satupun yang terlupa.
Kalau bukan benar sayang, gak mungkin Arjuna mau korbankan
waktu istirahatnya buat belajar satu hal perkara orang lain. Kalau
bukan karena cinta, ia juga gak mungkin ketakutan. Rasa takut
kalau harus lagi cuma bisa berdiam diri tanpa bisa melakukan
apapun seperti barusan.

***
Kejadiannya lama, sudah 2 tahun yang lalu. Namun masih akan
selalu membekas baik di benak Arjuna maupun Nanang. Nanang
kalau ingat lagi sudah sejauh apa Arjuna kenali dirinya, rasanya
tetap gak bisa buat gak terharu. Arjuna sudah jauh lebih mahir
dibanding awal-awal tangani asmanya.
“Sudah tenang? Ini Mas lepas ya?”
Cara Arjuna yang serius tapi halus disaat bersamaan ini selalu
membuka lagi ingatan Nanang akan sang Kakak yang sudah jauh
pulang ke pangkuan Tuhan.
“Dek, coba liat Mas.”
Cara Arjuna tangkup wajahnya buat diajak bersitatap dan
diusap pelan. Cara lelaki ini yang begitu hebat tenangkan dirinya
yang kadangkala masihlah panik meski sudah bertahun hidup
bersama penyakit yang suka kambuh di waktu gak terduga ini,
mirip sekali dengan mendiang sang kakak.

264
balada dosmud

‘Dedek, coba liat abang sebentar. Napas ya?’


Arjuna benar-benar belajar bagaimana cara menangani orang
asma sampai kini gak kelihatan sama sekali paniknya. Nanang jauh
dibawa netra lelaki ini sampai rasa tenangnya juga ikut sampai.
“Kok nangis? sakit tah? ini tak bawa ke klinik ya?”
Nanang tahan Arjuna yang mau bergerak, menggeleng pelan dan
beri isyarat kalau dirinya cuma butuh pelukan sekarang. Nanang
gak kesakitan, tapi hatinya gak pernah bisa kompromi terima
bentuk cinta Arjuna yang makin hari makin terasa besarnya.
Arjuna gak pakai kata-kata penenang, cuma pelukan yang
eratnya gak menyakitkan. Usapan sayang di punggung yang sekali
lagi bawa dirinya jatuh cinta lebih dalam.
“Mas.”
“Sst, jangan ngomong dulu kamu. Diem aja, masih ngik-ngik itu
kalo narik napas.”
Nanang terkekeh, mengerat lebih lagi ke pelukan lelaki yang
kini cuma diam sembari balas beberapa chat soal mungkin
pekerjaan yang ditinggal buat sekedar lari ke sini.
Mas, obatnya aku tuh cuma kamu. Jadi jangan kemana-mana. Aku
butuh kamu.
***

Epilog:

265
balada dosmud

Nanang kaget. Kali ini yang jemput bukan lagi motor besar
melainkan Pajero hitam.
“Lah? Mas?”
“Ayo masuk.”
Nanang masuk, pakai seatbelt dan tatap Arjuna penuh tanya.
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kok pake mobil? Perasaan Mas gak ada mobil deh.”
“Yo bawa pas pulang dari Malang,” Arjuna putar setir buat
sebrang jalan raya, “biar gak kepanasan kehujanan.”
Arjuna beneran begini? Sumpah.
Nanang awal Arjuna gak merokok di depannya aja agak kaget,
apalagi waktu ditanya alasannya kenapa, jawaban arjuna cuma
sesingkat— ya sekarang kan aku ada kamu, gak bisa sembarangan—
terus ditambah ini tiba-tiba bawa mobil cuma supaya gak
kehujanan lagi.
Nanang lirik interior mobil, lalu gak sengaja matanya tangkap
satu botol yang jelas familiar buat orang asma kayak dia ini.
Sumpah demi apapun, itu beneran botol oxycan di kursi belakang.
Gila, ini Nanang bingung antara mau kesel gara-gara kemaren
mau cium tapi gak diwaro atau jatuh cinta lagi hari ini sama si
laki-laki jawa paling act of service.
“Senyam-senyum kenapa?”
“Gak papa, Mas ganteng.”

266
balada dosmud

“Heleh.”
Biarin dah mau dia ini galak juga gua tetep cinta kalo begini sih.
I love you goceng, Mas!
***

267
balada dosmud

Cemburu Menguras Dompet


“Sekarang banget?”
“Lah ya masa besok, Dek?”
Nanang kaget begitu tiba-tiba Arjuna pulang jam 5 sore— ketika
biasanya baru sampai rumah jam 7 malam di hari kerja. Katanya
pulang cepat soalnya mau ajak Nanang makan di salah satu rumah
makan terkenal di PIK jakarta utara.
“Aku nemu tadi gara-gara rekomendasi prof di kampus,” Arjuna
jelaskan sambil putar setir buat cari parkiran, “katanya ini tempat
makan seafood paling enak di jakarta.” mobil berhenti, Arjuna
sejajarkan mobil baru kemudian tarik rem tangan.
Rumah makannya di pinggir pantai ujung jakarta. Gak terlalu
ramai, terkesan terbuka karena memang fresh picked alias menunya
langsung pilih dari ikan hidup di penangkaran.
Dari ujung netranya, Nanang perhatikan Arjuna yang antusias
pilih seafood mulai dari kepiting, udang sampai cumi.
‘laper apa ni bapak satu?’ — pasalnya Arjuna gak biasa makan
banyak. paling mentok makan sepiring itu juga kalau laper banget.
Nanang gak masalah sih sebenernya, cuma kalau boleh jujur … dia
ini gak suka seafood.
“Dek, mau makan apa?” Tanya Arjuna sembari mendekat ke
Nanang yang kelihatan bingung pilih menu.
“Ikut Mas aja deh, berdua gitu gapapa kan?”

268
balada dosmud

“Yo ndak apa-apa, takut kamunya justru kurang, perutmu kan


biasane gak cukup sepiring.” Arjuna cubit perut Nanang sambil
menyeringai kecil dan berlalu ke tempat taruh menu buat dipesan.
Nanang jalan ke ujung dekat pinggiran pantai. Pilih satu meja
yang paling bersih dan tunggu Arjuna di sana. Lumayan sih, meski
makan di tempat yang gak terlalu Nanang suka, seenggaknya jadi
kencan berdua sama pak suami yang susah banget diajak keluar
kalau hari kerja.
Nanang rasa satu tangan usap rambutnya yang berantakan
tertiup angin, “Gak dingin tah?” ini Arjuna, yang langsung duduk
di depan Nanang sambil cek beberapa notifikasi di handphone—
cek sebentar aja kok, karena peraturan tak tertulis Arjuna dan
Nanang itu salah satunya adalah kalau makan, handphone gak
boleh di atas meja.
“Enak di sini, adem.”
“Iya sih.” Timpal Arjuna sambil masukan handphone ke saku
celana.
“Mas tumben banget ngejar makan di tempat begini, lagi laper
apa kepengen dah?”
“Pengen aja. Kayak udah lama juga ndak makan seafood.”
Arjuna ini, selain suka banget rawon, ya suka seafood. Nanang
tau waktu pertama kali ke Malang— ke rumah Arjuna.
Kalau masalah makanan, Arjuna sama Nanang ini banyak gak
cocoknya. Arjuna suka rawon, sementara Nanang enggak. Arjuna

269
balada dosmud

suka soto bening, sementara Nanang sukanya soto bersantan.


Arjuna suka Seafood, sementara Nanang sejujurnya, gak suka.
Cuma ya … karena satu keluarga Arjuna suka dan terlebih arjunanya
sendiri luar biasa suka, jadi Nanang mau coba.
Cumi bakar. Kepiting Asam Manis. Udang goreng tepung.
Lengkap juga sama sayur-sayur dan nasi hangat ini tersaji di meja.
Nanang senyum, soalnya binar mata Arjuna cerah banget. Persis
anak kecil dikasih mainan kesukaan.
Dimulai dari kepiting yang dengan lihai dibuka satu-satu
cangkangnya buat dikeluarkan isi dagingnya. Ditaruh di satu piring
kecil yang kemudian Arjuna beri ke Nanang.
“Kalau kurang nanti pesen lagi aja ya.” Ujar Arjuna sambil masih
sibuk kupas daging kepiting buat diri sendiri. Serius banget
mukanya— Nanang jadi lebih suka lihat Arjuna dibanding isi piring
yang penuh lauk ini.
Nanang mulai makan sedikit-sedikit waktu Arjuna mulai suapan
pertama. Gak ada obrolan berarti, cuma beberapa komentar soal
rasa di awal-awal suapan— sampai satu suara interupsi keduanya
seketika.
“Nanang gak sih?”
Arjuna berhenti makan, Nanang juga ikut mendongak ke satu
yang tiba-tiba berhenti dan berdiri di samping meja makan mereka
ini.

270
balada dosmud

Lelaki ini, berkemeja flanel dan rambut cepak, tatap Nanang


dengan wajah sumringah— seperti baru bertemu teman lama yang
sudah lama gak dijumpa.
“Elu—”
“Lah beneran Nanang anjir?! Lu ngapain di tempat seafood
Nang? Udah suka seafood sekarang?”
Arjuna mengernyit, tatap Nanang yang agak gelagapan ini
seperti minta penjelasan lebih.
“Lah, lu mah parah, gua aja yang mantan lu tau Nang.”
“Berisik amat lu anj–”
“Ekhm,” Deheman berat Arjuna putus pembicaraan dua lelaki
ini, “Mas ini siapa ya?” Tanya Arjuna lagi.
Lelaki ini tersenyum, begitu santai julur tangan buat genggam
tangan Arjuna yang ogah-ogahan berjabat, “Kenalin saya Vian—
Alvian. Kenal Nanang soalnya mantannya Nanang sih.”
“Oh, mantan?”
“Iya, waktu SMA, Mas.”
Suasana mendadak hening. Nanang bingung, masih perhatikan
tindak tanduk Arjuna yang tenang tapi dingin. Suaminya ini cuci
tangan sebentar sambil bergumam santai, “Oh, teman jaman SMA
ya berarti … wah, reuni mungkin ini.” Arjuna percikan air di tangan
lalu lap sambil tatap Vian, “Masnya ini kayaknya banyak tau soal
suami saya ya?”

271
balada dosmud

“Jelas! Lah saya pacaran serius, si Nanang aja nih yang ga mau
diseriusin.”
Nanang baru mau selak tapi Arjuna lebih dulu bicara, “Wah,
kalau gitu harusnya saya bisa ya tanya Mas Vian ini soal suami saya
ya?”
Nanang mendelik ke Arjuna, tapi gak digubris dan lebih
anehnya justru Vian dipersilahkan buat duduk dan pilih menu
makanan. Nanang senggol kaki Arjuna di bawah meja, tapi cuma
dibalas lirikan dan gak ada jawaban berarti.
‘Ini kenapa jadi begini sih?’ — sungut Nanang dalam hati. Jujur,
mata Arjuna gak terbaca. Apa kesal atau marah atau justru biasa
aja?
Yakinnya Nanang, Arjuna gak cepat tersulut emosi kok, tapi ini
beda kasus … karena jujur, Arjuna memang sama sekali gak tau soal
Nanang yang gak suka makan Seafood— dan Nanang takut kalau
Arjuna salah paham.
“Mas! Ih, kok dibiarin ikut makan sama kita sih?” Bisik Nanang
tertahan begitu Vian pergi ke meja kasir buat serahkan menu.
Arjuna gak beri jawaban apapun, cuma lirik Nanang sambil sesap
teh hangat pelan-pelan.
“Mas! Ih, itu tuh cuma mantan waktu SMA. Pacaran juga cuma
setaun buat iseng doang, gak penting orangnya juga ih!” Nanang
senggol kaki Arjuna sekali lagi dan masih gak ada jawaban selain
deheman kecil dari suaminya itu.

272
balada dosmud

Arjuna tiba-tiba tarik piring kepiting di depan Nanang, diganti


fuyunghai yang memang tadi Arjuna pesan di awal sebagai
pelengkap makanan.
“Makan dulu.” Gumam Arjuna sambil beri sendok garpu ke
Nanang, “agak geser dudukmu coba ke sini biar mantanmu itu ada
tempat duduk.”
Nanang gak habis pikir, gak paham juga sama isi kepalanya
Arjuna ini. Digenggamnya tangan Arjuna buat sekali lagi diajak
bersitatap serius, “Mas. Beneran deh, Mas marah?”
Arjuna mengenyit, “Enggak. Kenapa memangnya?”
Nanang mendecak sebal, “Bohong, aku kenal Mas ya.”
diremasnya pelan tangan Arjuna, “aku bisa kok makan seafood.
Beneran.”
Arjuna mengangguk, “Ya, habisin aja dulu fuyunghai nya itu.”
Dilepas pelan tangan Nanang buat kembali makan.
Nanang cuma bisa geleng kepala pasrah, gak tau soalnya ini
jalan pikiran Arjuna kali ini mau apa. Karena begitu Vian kembali
lagi ke kursi, Arjuna bukan ajak debat justru ajak bicara seperti
tanya jawab yang buat Nanang agak mau ketawa tapi juga bingung.
Sumpah, ini Arjuna cemburu gak sih?
“ … oh, begitu? Selain ndak suka seafood, kira-kira apa lagi ya
yang masnya tau ini?”
Mana ini si mantan kocak satu juga asik banget nimpalinnya—
ini sih beneran mau numpang makan kata gua.

273
balada dosmud

“ … gitu, Mas. Lah emang saya mah apa si yang gatau soal ni
bocah satu, ya gak Nang?.”
“Bacot lu.” Nanang tendang kecil kaki Vian lalu bersitatap sekali
lagi dengan netra Arjuna yang lihat interaksi mereka berdua dalam
tatapan penuh selidik.
Nanang cuma bisa perhatikan suaminya ini bicara. Gayanya khas
Arjuna sekali— lugas tegas serius tapi santai. Persis gaya bicara
kalau berhadapan sama Mahasiswa. Namun agak sedikit berbeda
karena kali ini ada penekanan di tiap penggal kata ‘suami saya’ dan
‘mantan pacar’.
Arjuna seperti mau bentuk garis pembatas tinggi antara mereka,
bahwa disini, Arjuna adalah suami Nanang dan Vian cuma sekedar
mantan.
Seenggaknya begitu yang Nanang tangkap— karena sekali lagi,
Arjuna tetap Arjuna yang sulit sekali ditakar apa isi hatinya cuma
lewat raut muka.
Satu jam mungkin ada. Pembicaraan yang sesekali diselingi
banyak pesanan datang dan makan. Vian pamit pulang gak lama
begitu makanan habis, sambil cekikikan pergi kayak gak berdosa
—padahal baru aja senggol macan tidur.
Nanang cuma bisa ketawa sama kejadian malam ini. Ketawa
buat tingkah lucu Arjuna yang cemburu. Ketawa juga sama
dumalan sebal Arjuna waktu lihat struk panjang yang didominasi
pesanan si mantan pacar Nanang yang gak tau malu itu.

274
balada dosmud

“Mantanmu ki perutnya karet mesti. Makan kok porsi tiga


orang.” Sungut Arjuna sambil tarik tangan Nanang buat berjalan ke
parkiran.
“Ya salah siapa juga diajak makan.” Goda Nanang sambil
bergelayut manja ke Arjuna. Nanang tertawa begitu yang digoda ini
cuma bisa bergumam gak jelas sambil cubit cubit pinggangnya.
Begitulah, satu episode cemburu Arjuna yang katanya paling
bisa berpikir logis tapi tetap namanya hati kadang jauh lebih main
peran kalau soal cinta begini.
Lucu banget anjir Arjuna kalo cemburu. Apa gua keluarin aja
mantan-mantan gua supaya gemesnya bisa keliatan lagi ni laki ya?
***

Epilog:

Dua lelaki beda tinggi ini keluar dari satu rumah sakit. Satunya
bawa map besar satunya lagi sibuk bergelayut di lengan yang lebih
tinggi.
“Dibilangin ngapa gak percaya sih mas.”
“Ya namanya juga perlu kepastian.”
Nanang mendecak kesal, tangannya garuk lengan yang masih
bentol-bentol sisa uji Tes Alergi barusan.
“Aku tuh cuma susu aja kan bener paling parah tuh. Sisanya
santai.”

275
balada dosmud

“Heleh santai-santai. Buktinya ketauan kalau kamu juga alergi


banyak jenis makanan lain.”
Arjuna ini beneran deh, gak bisa ditebak jalan pikirannya.
Setelah kejadian mantan Nanang ikut makan itu, Arjuna memang
cuma diam— tapi Nanang tau, ini pasti ada misi besar di kepala
suaminya itu.
‘Kemana Mas?’
‘Lab.’
‘Buat?’
‘Tes Alergi.’
Begitulah. Arjuna gak membahasakan cemburu gara-gara si
Mantan yang lebih tau soal Nanang itu dengan kalimat, tapi
bergerak segera buat tutupi celah mana yang sempat terlewat.
Sekarang, Arjuna punya daftar list apa-apa saja yang Nanang gak
bisa makan. Kalau mau diadu lagi sama Mantan, ya jelas Arjuna
berani.
Sampai rumah, Arjuna masih sibuk aja itu merhatiin tabel soal
apa-apa aja yang Nanang gak bisa makan. Mau dihapal atau gimana
juga gak tau deh.
“Kamu kok ya gak pernah bilang Mas kalau gak suka seafood?”
“Lah, kan cuma gak suka ajaaa, bukan yang alergi gitu mas.
Anggepannya nih ya, dulu Papa aku tuh gak suka duren, tapi karena
Mama suka, jadi Papa nyoba buat suka. Nah aku tuh begitu.

276
balada dosmud

Seafood tuh aku cuma gak nyari aja sih, bukan gak suka banget. Jadi
kalau dicoba makan ya masih bisa.”
Arjuna hela nafas pelan, lepas kacamatanya sambil taruh map ke
nakas sebelah kasur. Ganti arah ke suaminya yang sudah merebah
di kasur.
Posisi Arjuna yang duduk bersandar kepala Ranjang ini buat
Nanang mendongak lurus buat bersitatap. Satu tangan Arjuna
turun, belai pipi hangat lelakinya sambil bergumam kecil, “Ya
padahal diomong aja, Dek. Gak mesti apa yang Mas suka itu harus
kamu suka juga.”
Nanang ambil tangan Arjuna, digengggam lalu bawa buku
tangan lelakinya ini buat dicium, “Aku tuh kalo emang gak bisa
banget pasti ngomong kok. Itu seafood karena bisa, jadi gak perlu
juga diomong.”
Nanang tarik tangan Arjuna, buat suaminya ini berakhir timpa
badannya dan nyaris menindih kalau gak segera tahan pakai tangan
yang bertengger di sisi kepala Nanang.
Pendar lampu terhalang, berganti jadi rupa Arjuna yang meski
cuma tertimpa silau temaram lampu nakas masih mampu terlihat
tegas dan rupawan.
Nanang terkekeh, gesek hidung Arjuna menggoda sambil bicara
lirih, “Mas kalo cemburu lucu banget, aku gemes liatnya.”
Arjuna gak sempat balas kalimat Nanang, kalah cepat disumpal
bibir manis di bawahnya ini buat diajak berbagi pagutan pelan.

277
balada dosmud

Arjuna menyeringai— meski malas karena cemburunya ketahuan—


tapi ya sudahlah, biar aja.
Kejadiannya memang 2 hari lalu, tapi sehari setelah kejadian,
tanpa siapapun tahu, Arjuna berpikir sendirian.
Kalau diingat lagi, dibanding kesal … Arjuna lebih merasa malu.
Bisa-bisanya tau informasi begini dari orang— lebih parahnya
mantan pacar.
Arjuna gak paham kriteria cemburu itu bagaimana … tapi kalau
rasa kesal dan sebal kemarin itu adalah salah dua kriteria, berarti ya
benar … Arjuna cemburu. Cemburu yang buat mulutnya bicara asal
dan berakhir menguras dompet.
Tangan Arjuna di kanan kiri kepala Nanang ini merambat buat
cengkram dagu dan pinggang. Geraman kecil ini tanda kalau laju
pertukaran saliva ini sudah berada di bawah dominasi Arjuna—
yang kalau sudah begini, biasanya sih gak cukup cuma sekedar
cium.
Jadi, ya sudah … tirai di tutup, biar dua pengantin baru ini lewati
malam panjang setelah satu pembelajaran kemarin. Soal
pernikahan yang nyatanya awal dari berkenalan seumur hidup.
Semoga kata ‘lelah’ itu gak pernah sampai ke mereka ya, karena
Arjuna dan Nanang, sejatinya masih— dan akan terus menemukan
hal-hal baru soal masing-masing diri selama masih bernafas di
bumi.
***

278
balada dosmud

279
balada dosmud

BALADA TIGA:
WHAT IF THE SERIES

Bagaimana mimpi bisa gugah hati dua yang saling jahil tiap hari.

“Kamu manja begini ini kenapa?”


“Mimpi Mas pergi …

Cuma mimpi, tapi datang berkali-kali pada Andanang dan Arjuna


silih berganti.

“Mas kenapa ngeliatin aku gitu sih?”


“Enggak, mastiin aja bukan mimpi.”

Kehilangan, kesakitan, perjuangan, kesepian.

Beberapa situasi yang meski darinya akan beri banyak pelajaran,


tetap saja … jangan sampai dirasa di kehidupan.

Ini kumpulan kisah abstrak yang meski terasa nyata, tapi syukurlah
masih bisa diceritakan sebagai kisah yang berujung pada kalimat;

“Untung cuma mimpi, ya.”

280
balada dosmud

Prelude:

Arjuna sadar, Nanang daritadi curi pandang. Ia juga sadar, kalau


keterdiaman mereka semingguan ini bukan tanpa alasan.
“Teh manis?” Tawar Arjuna.
“Hm? Makasih Mas..” Nanang ambil gelas hangat ini lalu
kembali diam di ujung sofa. Arjuna mengangguk, ambil tempat
kosong yang menjorok di pojok sofa sebelah sana.
Mereka duduk berdua, berdampingan tapi berjarak. Dua lelaki
ini gak biasa begini. Harusnya mereka ada satu dua hal sepele yang
jadi bahan ribut-ribut cinta, bukan malah sepi senyap begini.
“Mas.”
“Hm?”
“Kita kompak banget ya.”
Kompak, soalnya semingguan ganti-gantian ngigau buat mimpi
luar biasa di tengah malam.
“Iya.”
“Mas.” Nanang bergerak dari duduk, ganti hadap Arjuna yang
lirik dirinya malas-malas, “Apa kita sharing aja mimpi kita
kemaren-kemaren ya?”
“Hush, aku ada mimpi buruknya, ndak baik kalo diceritain itu.”
Jawab Arjuna sambil betulkan posisi duduk lebih tegap.
Lagi, mereka diam. Cuma termenung di depan TV menyala
tanpa ada niat buat ditonton.

281
balada dosmud

“Mas.”
Arjuna hela napas, “ Apalagi, dek?”
“Tapi aneh, kita mimpinya selalu gantian tiap sehari sekali. Pasti
seru kalo tuker-tukeran—ssut bentar! lagian ya, aneh! masa mimpi
doang tapi aku inget banget tiap detailnya. Kan gilaaa.”
Iya juga, kenapa kalau cuma bunga tidur tapi sesak dan sedihnya
bahkan masih Arjuna rasa, ya?
Arjuna lirik Nanang yang menatapnya penuh harap– lagipula,
Arjuna penasaran, mimpi apa suaminya itu sampai ngigau namanya
berkali-kali bahkan menangis?
“Oke.”
“Yes!”
Nanang beringsut mendekat ke Arjuna, ambil tangan suaminya
buat dibawa ke balik leher dan bergerak mendekat bersandar di
pundak.
“Siapa dulu?”
“Aku!”
***

282
balada dosmud

bridge:
Kisah pertama ini soal Arjuna yang divonis penyakit
mematikan dan cuma berujung kematian. Rasa sakit dan sesak itu
menjalar kembali, Nanang seperti merasakan bagaimana sulit
Arjuna berusaha kuat dan cuma punya dirinya sebagai motivasi
buat lawan penyakit dan kembali sehat.
“Mas tuh nyembunyiin sakitnya. Takut aku malah sedih gitu
katanya.”
“Lah ya pasti begitu toh?”
“Ih tapi sedih tau!”
“Ya wes mulai aja ceritamu.”
Mimpi ini, meski berakhir perpisahan, tapi begitu terbangun
justru buat Nanang sadar satu hal— bahwa Arjuna, gak pernah
menyepelekan apapun dari dirinya— termasuk senyum dan
cerianya yang justru jadi kunci semangat hidup lelaki ini.
***
tw: angst – major character death

283
balada dosmud

Patah Separuh Sayap


Tangan Arjuna mengepal, jantungnya berdegup gak karuan,
matanya tatap nanar dokter yang bicara seperti gak bercanda.
“Autoimun atau penyakit kelainan kekebalan tubuh. Padahal,
jika dibiarkan, kondisi ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan
pada organ tubuh bahkan hingga memicu kematian.”
Cukup, tolong bilang ini cuma mimpi.
“Perlu pemeriksaan lebih lanjut, Pak Arjuna … tapi karena bapak
meminta penjelasan soal kemungkinan terburuk, maka cuma ini
yang bisa saya jelaskan.”
Sayangnya mau Arjuna cubit kulitnya berkali-kali pun, ia tetap
di sini, di ruangan serba putih bau obat yang dinginnya menusuk
tulang.
Arjuna gak peduli perutnya kosong sejak siang. gak peduli juga
bajunya yang berantakan diacak-acak buat lampiaskan kesal.
Bahkan gak peduli mau dashboard mobilnya rusak sekalipun.
“Sial! Bajiangan! Asu!” Bahkan mulut penuh tatakrama ini
melanggar batas etika yang dipegangnya sekian puluh tahun
dengan umpatan tongkrongan.
Hari ini jadi jawaban atas segala rasa penasaran soal kenapa dan
ada apa dengan tubuhnya? Soal rasa sakit yang kadangkala mendera
dan tubuh yang makin terasa gak biasa.
Deras hujan samarkan pilu tangis lelaki patah jiwa ini sendiri di
dalam mobil. Diupayakan semua emosinya cukup tumpah di sini

284
balada dosmud

saja— karena begitu sampai rumah, semuanya harus kembali baik-baik


saja.
Arjuna sembunyikan hasil uji lab di tas paling sulit terjangkau.
Usap airmata dan rapikan baju seakan gak ada guncangan batin
sebelumnya.
“Mas! Hehehe, kok lama sih?”
“Iya, tadi ada urusan sebentar,” Dalam gemuruh riuh hatinya, ia
cium pucuk kepala cintanya pelan, “sudah makan, dek?”
“Nungguin Mas tau, soalnya ga enak makan sendirian.”
Astaga, Tuhan.
Mati-matian Arjuna bertingkah biasa. Bersikap tenang meski
jauh di hati mau terisak kencang. Bahkan begitu malam merayap
datang dan Andanang terlelap jauh di pelukan, matanya juga masih
segar penuh bayang menakutkan.
Kematian.
Berarti Arjuna pergi dan Andanang sendirian.
Kenapa? Kenapa di saat hatinya baru saja diperbaiki keadaan,
disaat hidupnya baru mulai riuh ceria dan tertata … kenapa cobaan
ini datang?
Sakit ini gak serta merta sembuh cuma dengan obat yang
diam-diam Arjuna telan di ruang kerja. Tubuhnya gak bisa diajak
kompromi, sampai-sampai sekitarnya mulai sadar soal ada yang
berbeda dari dirinya.

285
balada dosmud

“Mas? kok mas sekarang gampang pucet sih? mau aku anter ke
dokter gak?”
Arjuna gak bisa beri jawaban apapun selain—paling perasaanmu
tok, Dek.
Netra cantik lelakinya ini berubah sendu. Binar cantik gemerlap
kecintaannya itu hilang sekejap cuma karena sadar ada yang lain
dari Arjuna — meski sebatas wajah berubah pucat. Ini … Ini yang
Arjuna takutkan dari semua hal buruk yang tiba-tiba datang.
Arjuna bukan takut mati …
Arjuna cuma takut kalau ceria lelakinya ini pergi.
“Tapi Nanang harus tau, Juna!”
“Kamu gak ngerti, Za!”
Meski Reza kali ini jauh lebih mainkan logika dengan pinta
Arjuna buat beberkan semua keadaan menyedihkannya ini ke
Nanang, tapi Arjuna gak begitu. Logikanya kalah, jauh jatuh ke
bawah dan naikan hatinya sebagai pemenang serta penentu
keputusan. Bahwa sakit parah ini, biar Arjuna coba selesaikan dulu
sendirian.
“Jun? Kan kamu yang sering marahi aku kalau soal perkara
begini. Katamu itu apa-apa harus dijelasin, supaya semua jelas—
nah? Kamu sekarang?” Reza tatap Arjuna dengan binar mata sulit
bisa dipercaya.

286
balada dosmud

Arjuna balas, dengan netra sendu yang baru kali ini Reza sadari
muncul di wajah rekan kuatnya ini. Binar itu perpaduan cinta,
sayang dan putus asa.
“Kamu gak ngerti, Za …”
Iya, Reza gak akan mengerti … Ini gak sesederhana Arjuna jujur
lalu semua beres. Ada harga yang dibayar dari itu semua— dan
Arjuna belum siap. Sama sekali belum siap kehilangan.
“Nanang kalau tau, bisa-bisa ikut sedih kayak aku, Za.”
Bahkan jika hidup 1000 tahun sekalipun tapi tanpa senyum
Lazuardinya ini, ya sama saja… Sejak awal, Arjuna sudah lebih dulu
mati.
Ambil apapun dari Arjuna, tapi jangan buat satu yang cerianya
secerah mentari itu meredup..
Reza usap mukanya kasar, tatap nanar sekitar … ikut bingung
karena sebagian hatinya pahami putusan Arjuna yang jauh dari kata
logis ini.
Reza paham, sepatah apa hati Arjuna kalau hari Andanang gelap
begitu tau suami yang mati-matian ia perjuangkan ini nyatanya
dikejar bayang-bayang penyakit mematikan.
Reza juga jelas paham kalau patah hatinya Andanang, berarti
patahkan jiwa seorang Arjuna yang cintai Andanang begitu dalam.
Sulit … seperti buah simalakama.
“Jun,” Reza remat pundak tegap temannya yang mulai mengurus
ini. Ditatap serius sambil coba utarakan pendapat akhir yang bisa ia

287
balada dosmud

beri, “cepat atau lambat, Nanang bakal sadar … dan itu jauh .. jauh
lebih sakit karena dia pasti merasa dibohongi kamu … merasa gak
dipercaya kamu.”
“Apa yang aku gak sadar?”
Arjuna dan Reza lupa, kalau Dika dan Nanang cuma pergi sebentar
lalu kembali pulang gak sampai satu jam.
“Apa yang aku gak sadar, Mas?” Nanang bergerak maju,
tinggalkan Dika di belakang.
“Dek …” Arjuna teguk ludahnya. Tubuhnya yang biasa kuat
nyatanya lemah begitu lihat netra lelakinya berembun sudah.
“M—Mas janji gak bakal tutupin apa-apa dari aku.” Kalimat ini
diucap begitu tegas, jauh dari kata ramah apalagi bercanda. Ini
serius, Reza pilih mundur dan ajak Dika pulang segera. Biar dua
yang punya masalah di belakang yang selesaikan.
***
“Sejauh apa kamu denger obrolanku sama Reza?”
“Soal aku yang harus tau sesuatu.”
Sudah, ini sudah di ujung. Arjuna gak bisa tutupi apapun lagi
meski susah payah. Rematan tangan suaminya itu mengerat, selaras
dengan netra penuh tanya yang makin dalam tatapannya justru
makin sayat hati Arjuna.
Arjuna ulur tangan, tarik Nanang duduk di satu sofa
bersamanya. Sekali hela nafas dalam, kalimat pembuka ini terucap,

288
balada dosmud

“Aku gak bermaksud bohongi kamu, gak juga bermaksud gak


percaya sama kamu.”
Ya Tuhan, ini baru awal … tapi sesaknya luar biasa. Netra Arjuna
tatap lurus lelakinya serius. Kalimat berikutnya nyaris keluar, tapi
ada satu hal yang harus Arjuna pastikan.
“Na … Mas mau bilang, tapi boleh mas minta satu hal?”
“Apa? Cepet bilang. Aku lakuin.”
“Jangan nangis, bisa?”
“Gila kali ya?! Mas tutupin ap–”
“Dek … bisa?”
Nanang mati-matian tahan umpatan, sesak hatinya jauh
merangkak naik ke permukaan, “B—bisa.”
Arjuna mengangguk, terpejam sebentar lalu bicara sekali tarikan
nafas, “Aku divonis autoimun stadium tinggi—” telunjuk Arjuna
tahan bibir lelakinya yang sudah pasti mau bicara, “vonisnya belum
pasti, tapi aku ada di taraf cukup tinggi, dengan probabilitas
tertinggi dikalahkan penyakitnya, Dek.”
Kalimat ini diucap tenang, buat Nanang bingung apakah ini
cuma candaan atau kebenaran.
“Ya, Mas gak lagi bercanda.” Arjuna usap bibir yang lelakinya
gigit kuat-kuat ini, “Mas bukan gak mau cerita, tapi Mas sendiri
masih di tahap belum bisa terima ini semua. Mas masih belum
mampu sangga diri sendiri … itulah kenapa Mas belum bisa cerita
ke kamu karena Mas gak janji bisa kuat, Dek.” Kini ganti,

289
balada dosmud

jempolnya usap satu butir luruh di pelupuk mata cintanya, “Mas


cuma gak mau kamu sedih.”
Ternyata dugaan Nanang selama ini benar. Ada yang gak beres
soal Arjuna. Nanang gak bodoh buat sadar kalau Arjuna cukup
berbeda sekian bulan belakangan. Gak bodoh buat sadar ada
jam-jam tertentu suaminya itu pilih mendekam di ruang kerja
sendirian. Nanang juga gak sebodoh itu buat gak sadar kalau
Arjuna ini jelas jauh dari kata sehat. Namun Nanang gak pernah
duga kalau sakit yang mendera Arjuna sebegini jahatnya— dan ia
baru diberitahu setelah gak sengaja curi dengar obrolan. Bukan jadi
prioritas pertama.
“Pada akhirnya aku tetep sedih kan?” Lirih Nanang bicara.
“Iya, Mas paham. Sedih sekali pastinya,” Kini dua tangannya
tangkup wajah cintanya pelan, diusap sayang pipi merah ini seakan
takut hilang, “tapi seenggaknya kalau mas utarakan waktu mas
sudah lebih kuat, kamu gak perlu nahan nangis begini, karena mas
sudah kuat buat topang kamu nantinya.”
Pertama kali seumur hidup, Nanang rasa sirat putus asa di
kalimat lelaki kuatnya ini. ia sadar, Arjuna gak bohong waktu
bilang masihlah rapuh dan belum kuat sangga diri sendiri.
“K—kenapa harus gitu sih? Kan kita udah janji buat ada pas
sehat atau sakit, Mas ..”
“Karena Mas, cuma bisa kuat kalau kamunya semangat— dan
kalau di posisi saat ini kamu meraung-raung gitu itu, Mas gak janji

290
balada dosmud

buat gak ikut jatuh, dek … Mas juga manusia, yang gak selamanya
auto kuat. Perlu waktu, dan sampai hari ini Mas masih
mengumpulkan itu semua.” Senyum Arjuna getir, kelihatan kalau
lelaki ini tahan segalanya kuat-kuat di hati.
Nanang masih sibuk tahan emosi yang datang bak guncang
gempa tiba-tiba. Masih coba telaah satu persatu situasinya lewat
binar mata tajam dan sendu Arjuna yang seperti yakinkan dirinya
supaya kuat. Arjuna cuma butuh Nanang buat tetap hidup, cuma itu.
Mereka berdua terdiam, sama-sama kebingungan. Arjuna yang
pergi sebentar ke kamar lalu kembali dengan satu map besar
berlogo rumah sakit ini benar-benar bawa kesadaran Nanang ke
permukaan, bahwa ini sama sekali gak bercanda.
Satu persatu diagnosa, hasil periksa dan keterangan medis ini
diperdengarkan, masuknya lewat telinga tapi yang teriris pedih
justru di hati..
Arjuna tutup map dan taruh ke samping. Ia diam sebentar,
dongak tatap langit buat sekedar tenangkan batin. Nanang remat
jemarinya kuat, deru nafasnya memburu dan ini semua gak luput
dari netra Arjuna.
“Dek, kalau gak kuat banget, nangis gak apa-apa …” Arjuna
berembun sudah, wajah lelakinya mulai samar tak terlihat. Kalau
setelah kalimat ini Andanangnya meraung, maka saat itu juga
Airmata yang mati-matian ia tahan ini jatuh.

291
balada dosmud

“Enggak!” Nyatanya Andanang sudah jauh tumbuh dewasa setelah


hidup bersama Arjuna, “bisa kok! aku aku gak nangis nih!” Lelaki ini
mau kesampingkan hatinya cuma supaya situasi gak makin buruk.
Meski susah-susah kondisikan bibir yang bingung mau
melengkung ke bawah atau ke atas— tersenyum atau mencebik
sedih — tapi Andanang mengerti.
Jemari Arjuna dilingkupi genggam tangan hangat Nanang.
Dibawa ke pipi buat diusap sayang. Senyum Lazuardinya akhirnya
muncul, meski masih dengan netra berembun jatuh riuh— gak
apa-apa. Masih mampu obati hati Arjuna supaya gak ikut jatuh.
“Mas tuh bisa sembuh kan?” Tanya Nanang lugas.
“Bisa dan sedang berusaha lebih tepatnya.”
“K—kalo aku bantu semangatin, makin kuat kan ya?”
“Bisa.”
Arjuna takjub. Andanang Lazuardi yang luar biasa manja dan
bergantung padanya ini sungguh berbeda sekali sebagaimana di
keseharian. Secepat kilat tegakan tubuh dan usap airmata. Tepuk
pipi Arjuna pelan sambil terkekeh kecil,
“Kalo gitu semangat! Aku sedih tapi kalo Mas mau semangat
sembuh cuma karena aku senyum, bisa kok! Aku temenin!”
Arjuna rasa tubrukan kencang di badan. Suaminya peluk erat
sambil melesak masuk ke ceruk lehernya. Meski Arjuna tahu ini
cuma pelukan menyamarkan airmata, tapi terimakasih … terimakasih
karena mau mengerti… Arjuna punya semangat hidup kalau begini.

292
balada dosmud

“Mas harus cerita semuanya! soal sakitnya, kapan datangnya,


mulai berobatnya dari apa aja, pokoknya aku harus tau. Awas aja ya
gak dikasih tau, nanti gak aku temenin tidur.”
Arjuna terkekeh, “Kalo gak ditemenin tidur, paling kamu yang
nyamper aku.”
Nanang cubit perut Arjuna kencang, “Ih? Pede ya, aku tuh ..”
Terimakasih, Na. Suara kamu yang berisik ini buat Mas gak merasa
sendirian dan gagal. Tolong terus ada, terus hidup dan jadi sinar buat
Mas yang entah kenapa rasanya mulai redup. Tolong bantu, ya? Mas mau
hidup lebih lama sama kamu …
***
Nanang gak main-main waktu ia bilang janji buat semangat
bantu topang Arjuna supaya lekas sehat.
“Mas, obatnya!”
“Mas, tidur sekarang, nanti sore ke rumah sakit ih!”
“Mas, istirahat aja udah jangan kerja dulu. Aku sama Arini kan bisa
handle. Mas ga percaya ya aku bisa kerja?”
Nanang bangun lebih pagi dan tidur paling malam, selalu
memastikan pekerjaan aman dan Arjuna tidur nyaman. Nanang
juga gak pernah lewatkan waktu buat rawat Arjuna; mulai dari
memastikan kontrol kesehatan bahkan setingkat jam-jam minum
obat.
Nanang juga bantu yakinkan Arjuna buat terus terang bicara ke
keluarga besar soal sakit yang mendera ini. Meski ditolak

293
balada dosmud

awalnya—karena ya, ini Arjuna yang enggan tunjukan lemah


dirinya pada banyak orang — namun terimakasih karena bujuk rayu
Nanang berhasil bawa Arjuna berani bicara.
Kaget? Bukan lagi. Keluarga Arjuna sampai butuh waktu
berhari-hari buat meyakinkan kalau ini semua benar kenyataan. Bu
Tini yang minta waktu bicara berdua dengan sang putra itu
berakhir dengan tangis pilu berdua di dalam kamar. Arjuna tetaplah
putra kecil yang butuh ibu buat mengadu soal sakit di tubuh. Butuh
ibu buat meyakinkan kalau dirinya tetap bisa sembuh.
Keluarga Nanang sendiri jauh lebih tenang, meski Bu Ayun tetap
gak bisa tutupi rasa sedih, tapi dukungan buat kesembuhan Arjuna
mengalir deras. Mulai dari rutin kunjungan sampai permintaan
supaya segala hal soal dana dan kehidupan biar ditanggung
keluarga Nanang.
“Gak mau, Ma. Aku juga bisa kok, Mamah lupa ya aku kan laki-laki
juga ih!”
Ya, ditolak Nanang. Mau bagaimanapun ini masalah rumah
tangganya dan gak ada yang mewajibkan kalau soal nafkah
kehidupan cuma bisa Arjuna yang cari. Nanang juga sama kuatnya
kok! Manjanya selama ini ya cuma kamuflase aja, supaya bisa
dimanja Arjuna.
“Arini! Meeting anjir kita!”
“Iya bentar gua blow rambut ini!”

294
balada dosmud

Syukurlah Arini bisa jadi rekan yang bantu topang Nanang di


awal-awal terjun ke dunia yang biasa Arjuna jalani ini; meeting
penting, pitching sampai cek unit bisnis sana sini.
Semua ini— sibuknya, keras juangnya serta tulus perhatian
tanpa pamrih — gak luput dari perhatian Arjuna. Patah hatinya
Arjuna, ada di tiap kali cuma bisa lihat suaminya sibuk tanpa bisa
berbuat apa-apa selain beri semangat. Arjuna paham betul
semelelahkan apa pekerjaannya, dan kali ini Nanang yang tanggung
semuanya.
Jauh di lubuk hati, Arjuna lebih mau Nanang diam dan cukup
nikmati hari bersamanya, tapi realita kehidupan gak bisa cuma
begitu saja. Ada yang namanya biaya hidup dan itu semua gak
cuma-cuma turun dari langit. Pengobatan dan kehidupan terus
berjalan, manusia tetap butuh sumber dana supaya semuanya
berjalan sebagaimana tujuan.
“Mas, bantu jelasin ini dong.”
“Mana? Sini.”
Arjuna cuma bisa bantu monitoring dan arahkan Nanang soal
apa-apa saja yang kiranya belum benar-benar dimengerti.
Dijelaskan detail perlahan supaya mudah dipahami dan gak ada
kendala berarti di esok hari.
Arjuna dan Andanang ada pada masa rumah tangga mereka
diuji. Soal kesabaran dan juga perjuangan.

295
balada dosmud

Nanang gak bohong, sejak semua kegiatan Arjuna dia pegang,


badannya sering kali protes, gak kuat. Berat jadi Arjuna …pergi
sana-sini, belum lagi bisnis Arjuna ini nyaris klien yang dipunya
bukan sembarang klien. Perlu persiapan matang sebelum
pertemuan.
Makin banyak hari dilalui, makin banyak hal-hal sederhana yang
perlu di kontemplasi lebih lagi. Soal betapa Arjunanya luar biasa
hebat selama ini— bisa seimbangkan prioritas antara kerja, rumah
tangga dan diri sendiri.
“Capek banget ya jadi Mas tuh.” Keluh Nanang suatu malam,
“aku jadi sadar diri gitu tau mas, aku kayaknya nambahin beban
pikiran mas juga ya kemaren-kemaren.”
Iya, kalau dilihat lagi kilas balik sebelum Arjuna sakit, Nanang
banyak sekali ribut minta perhatian Arjuna— dan begitu berada di
posisi Arjuna begini, Nanang sadar bahwa pikiran suaminya itu
nyatanya luar biasa terbagi ke banyak hal.
“Repot ya pasti, tapi ndak beban juga, dek.”
“Maaf ya.”
“Heleh, kok ya minta maaf. Kan Mas juga ngelakuinnya ndak
beban toh.”
Arjuna yang bersandar di dada Nanang ini terpejam, dengar
degup jantung menenangkan lelakinya. Usapan jemari halus
Nanang di kepalanya juga turut buat kantuk yang dinanti ini
datang.

296
balada dosmud

“Mas tuh hebat banget ya … kerjanya keras banget, tapi masih


mau nanggepin aku yang kadang cuma minta beli ayam geprek tapi
harus sama mas.”
Arjuna enggan jawab, dibiarkan kalimat panjang lelakinya itu
terus mengalun pelan.
“Aku pengen banget Mas sehat, supaya nanti kalo udah jalan
kayak normal lagi, kerjaan mas selain ngedosen tuh bisa aku bantu
pegang, biar Mas gak kecapekan.”
Pejaman mata Arjuna mengerat, supaya matanya gak berakhir
berembun dan jatuhkan airmata detik ini juga. Namun gagal—
begitu satu cium di pipinya terasa.
“Makasih banyak ya Mas … makasiiiih banget udah ada buat
aku.”
Ya Tuhan, Nanang bisa diam aja gak? Ini Arjuna susah payah
tahan gemuruh di dadanya supaya gak makin sesak. Lemahnya
Arjuna di kamu, di permintaan dan sendu bicaramu. Kamu harusnya
ribut aja, berisik kayak biasanya. Arjuna bingung kalau begini.
Lampu dipadamkan, Nanang juga turut terbawa kantuk dan
berakhir tidur dengan kepala terkulai di pucuk kepala Arjuna.
Dengkur halus khas Lazuardinya ini terdengar pelan, tanda kalau
sudah jauh di bawa ke dalam alam bawah sadar.
Tangan Arjuna merayap naik, bertengger di dada kiri lelakinya
buat diusap pelan. Usapan halus yang bukan sembarang sentuhan,
ini usapan penuh harap dan doa. Dalam temaram bulan yang masuk

297
balada dosmud

di selipan tirai, semesta perhatikan satu lelaki yang tulus doanya


menguar di ketenangan malam. Jatuh satu bulir airmata ke bawah,
makin ribut tetesnya meski tak bersuara.
Kamu juga semoga sehat, selalu kuat. Dijaga Tuhan dimanapun dan
kapanpun. Ditabahkan, dimudahkan segala urusan, Na. Lazuardiku
paling kuat … Lazuardiku paling hebat.
***
Nanang hampir lupa hari ini jadwal Arjuna rutin ke rumah sakit.
Buru-buru ia pulang buat bangunkan suaminya yang tidur siang.
Meski gak tega, tapi gak boleh ada namanya check up rutin
terlewat.
“Capek ndak kamu? disupirin Arini aja kalau capek.” Arjuna
usap pipi Nanang yang tengah sibuk suapkan makanan sambil
tersenyum kecil.
“Santai kenapa sih, aku juga seharian cuma denger orang
meeting doang, gak capek kok.” Nanang colek hidung Arjuna.
Keluar bawa piring kosong sebentar lalu kembali dan ajak Arjuna
turun ke bawah.
Sepanjang perjalanan, keduanya cuma banyak diam, dengar
musik mengalun sambil sibuk tenggelam dalam benak
masing-masing kepala.
Nanang kalau di perjalanan ke rumah sakit begini ini suka
berpikir— sampai kapan begini terus ya? Apa gak bisa hidupnya kembali
normal seperti dulu? Karena kalau boleh jujur, kadangkala lelahnya

298
balada dosmud

luar biasa. Bukan … bukan lelah temani Arjuna— tapi lelah buat
terus berpura-pura ceria.
“Lah, itu Reza ya?” Arjuna tengok kaca luar ruang rawat. Lambai
tangan di luar sana itu Reza dan Dika yang memang sudah bilang
Nanang mau berkunjung.
Reza masuk langsung peluk Arjuna, lempar banyak candaan
sambil disaut balasan Nanang supaya suasana semakin terlihat
santai.
“Auk dah ya bang eja, padahal Mas juna nih ganteng aja dah
perasaan, sukanya tuh bilang ke aku kalo sekarang kagak ganteng—
lah kalo mas juna ga ganteng kan aku apalagi yak!”
Tertawa, tersenyum, sumringah.
Semuanya Nanang perlihatkan cuma supaya Arjunanya gak
perlu merasa ketakutan soal apapun— dan jelas ini semua gak luput
dari perhatian Dika.
“Aku bawa Nanang main bentar ya. Jajan.”
Dika bawa keluar Nanang tanpa sibuk minta persetujuan
siapapun. Tinggalkan Arjuna dan Reza di dalam sementara mereka
berdua kini duduk berdua di taman rumah sakit yang jauh dari
kamar rawat.
“Lu nangis di sini aman kali Nang.”
“Dik?”
“Gua tau,” Dika tengok Nanang, usap pundak sahabatnya pelan,
“capek kan?”

299
balada dosmud

Nanang ini berusaha bangun tembok supaya hatinya kuat, tapi


kena sentil sekali begini langsung turun semua yang mati-matian
tertahan.
Dika dengar semuanya dalam diam. Soal Nanang dan semua isi
hati lelaki yang jadi satu-satunya tumpuan hidup Arjuna.
“.... gua gak bisa nangis, Dika. Mas Juna cuma butuh gua. Dia
butuh senyumnya gua buat terus bertahan …”
Luruh bulir airmata ini dibiarkan turun, kasihan … sekian bulan
cuma bisa luruh di tengah malam sepi tanpa suara.
“ … gua biasa liat Mas yang apa-apa kuat, sekarang liat Mas yang
jalan aja kadang sempoyongan tuh gua ancur, Dika.”
Dika jarang peluk Nanang. Mereka punya cara berbeda buat bagi
afeksi dan kasih sayang— tapi sekarang … pelukan ini jelas yang
paling Nanang butuhkan. Pelukan hangat buat redam tangis yang
tiap isaknya sayat hati siapapun yang dengar.
Gak apa-apa, gak perlu terus-terusan ditahan. Nanang bebas jadi
diri sendiri di sini karena gak ada siapapun yang dengar.
Gak apa-apa, sekarang lemah sebentar … karena besok dan
seterusnya, Nanang harus semakin kuat jalani hari yang makin gak
pasti ini.
Berlembar-lembar map rumah sakit makin menumpuk di meja
kerja. Selalu Nanang rapikan sesuai urutan tanggal periksa. Satu
persatu catatan yang isinya soal apa-apa saja yang perlu Nanang

300
balada dosmud

perhatikan mengenai Arjuna ini juga begitu rapih tertulis di satu


buku kecil.
Kalau ruang kecil ini bisa bicara, mungkin bosan rasanya cuma
bisa lihat satu lelaki yang setiap hari cuma bisa habiskan malam
sendiri di sini; Di ruang kerja yang begitu Arjuna buka, cuma
keheningan yang menyapa.
Arjuna taruh teh hangat yang berniat ia beri buat Nanang
Namun begitu buka pintu, yang ia lihat pertama kali adalah
suaminya yang tertidur di atas meja.
Arjuna melangkah pelan, tangannya merayap usap surai halus
cintanya supaya gak terbangun. Dengkur halus yang terdengar agak
keras dari biasanya ini seperti tanda kalau si empunya tubuh
tertidur karena kelelahan.
Arjuna dan sorot mata sendu ini isyaratkan banyak hal;
permintaan maaf, rasa khawatir dan sakit hati. Gak pernah
sekalipun Arjuna berencana buat estafetkan kesulitan hidup ini
pada lelaki yang jauh dihati ia janjikan cuma kebahagiaan.
“Dek …” Arjuna usap pipi hangat ini pelan, “tidur di kamar ayo.”
meski sudah dipanggil tetap gak ada jawaban. Arjuna meski agak
lemas, tapi diusahakan buat bawa lelakinya ke kamar dalam
gendongan.
Arjuna bawa Nanang dengan gendongan di selipan kaki dan
leher, “Kok enteng, Dek.” Padahal terakhir kali gendong begini ini,
masih agak berat.

301
balada dosmud

Nanang mengulat kecil begitu tubuhnya cium kasur empuk.


Arjuna tenggak obat terakhir lalu ikut bergabung ke balik selimut,
bawa Nanang buat tertidur berbantalkan lengannya.
Pelukan hangat Arjuna ini sampai hangatnya ke alam bawah
sadar Nanang—yang tanpa siapapun tahu jatuh tidurnya di ruang
kerja tadi bukan karena apapun melainkan menangisi kehidupan
dalam diam.
Aku mau Mas sehat, balik lagi jadi Arjuna yang kuat pundaknya, tegas
tutur katanya. Tuhan, bisa gak ya sakitnya pindah ke aku aja? Masku
gak usah kenapa-kenapa.
***
Mau motivasi tinggi, alat paling canggih bahkan rumah sakit paling
hebat sekalipun, nyatanya gak serta merta jadi jaminan sembuh itu
cepat kembali. Arjuna masih di sini, diam di rumah tanpa bisa
berbuat apapun karena harus jaga stamina tubuhnya supaya gak
makin jatuh.
“Mas aku hari ini meeting sama klien keren banget! Aku yang
pitching kemaren!”
Meski raut bicara lelaki di hadapan cermin itu begitu ceria, tapi
lingkar mata menghitam dan tubuh makin kecilnya gak bisa
berbohong kalau nyatanya sekian bulan belakangan begitu
melelahkan buat Nanang yang biasanya gak sesibuk ini.
“Mas, aku pulang nanti agak maleman ya, soalnya bantu arini.
Mas gak boleh lupa ..” Panjang, kalimat Nanang panjang soal

302
balada dosmud

apa-apa yang gak boleh Arjuna lewatkan—dan cuma diamini


deheman dan anggukan pelan.
“Sini.” Arjuna tarik suaminya mendekat, berdiri ke tepi ranjang
tempat Arjuna duduk bersandar. Dibawa tubuh Nanang sedikit
merunduk buat dia semat cium di kening, “di jalannya hati-hati,
dek.”
Nanang tersenyum, terpejam terima lamat basah hangat di
keningnya. rasanya selalu sama— tenang dan mendebarkan. Arjuna
turun buat cium hidung, pipi dan berakhir di bibir manis yang
semakin hebat lengkungnya.
“Senyum-senyum kenapa toh.” Arjuna jawil pucuk hidung
lelakinya sambil buat gerak isyarat kalau nanang boleh keluar.
Lelakinya Arjuna itu terkekeh, jalan ke pintu lalu lambai tangan.
Tinggalkan Arjuna yang mulai pudar senyumnya dan berganti
raut sendu. Lelaki ini, merunduk … sekali lagi biarkan airmata yang
susah susah ditahan buat mengalir turun.
Arjuna mau hidup, mau sekali. Mau hidup lebih panjang, mau
habiskan masa tua bersama yang tercinta— tapi ia juga jelas sadar
bahwa tubuhnya makin hari makin susah diajak kompromi.
“Halo, Pak Arjuna. Ada yang bisa saya bantu?”
“Halo Mas Wiyan,” Arjuna remat telepon genggamnya pelan,
bisa ke rumah saya sebentar?”
“Ah? bisa-bisa. Ada apa ya pak?”

303
balada dosmud

Alwiyan, Lawyer pribadi Arjuna yang tidak diketahui siapapun


selama ini bekerja buat Arjuna.
“Soal semua yang kemarin, sudah beres?”
“Ah, sudah pak. Data aset dan balik nama kepemilikan juga beberapa
hak yang—”
“Wiyan.” Selak Arjuna cepat.
“Iya pak?”
“Tolong ke rumah saya, ada satu hal lagi yang saya mau
bicarakan.”
“Bapak bicarakan apa? biar saya persiapkan materinya.”
“Surat.” Arjuna teguk ludahnya dan terpejam erat, “saya mau
buat surat wasiat.”
***
Hari ke sekian dan bulan ke berapa, entahlah. Sudah begitu panjang
waktu terlewat yang gak berani Nanang hitung. Namun satu yang
pasti, tiap harinya selalu ada berita baik. Soal kesehatan lelakinya—
soal Arjuna.
Terakhir kali, beritanya baik … berakhir dengan pelukan berdua
dan isi hari sore di pinggir pantai sambil nikmati cemilan ringan
berdua.
Harusnya hari ini juga, ada satu kabar baik buat mereka berdua.
Harusnya juga hari ini berakhir dengan makan es krim di tengah
lapangan hijau alun-alun kota.
Harusnya …

304
balada dosmud

Sampai raut wajah Arjuna yang kalut itu muncul di ruang


tunggu pengantar pasien.
“Mas? Gimana?”
Arjuna berjalan, lurus dan peluk Nanang tanpa kata. Pelukan
erat yang sekali lagi Nanang tanya soal apa hasil pemeriksaan akhir
Arjuna.
“Mas? Jawab dong.”
Masih diam— dan diamnya Arjuna ini makin buat Nanang
ketakutan.
“Mas!” Nanang coba lepas pelukan tapi Arjuna seperti eratkan
lebih lagi. Lelakinya Andanang ini seperti ada pada batas kuatnya
dan memilih berpaling wajah supaya isi hatinya gak kelihatan.
“Mas!” Nanang mulai bingung harus kuatkan lagi senyum
pura-puranya atau ikut jatuh bersama diamnya Arjuna, “Mas kalo
diem aja begini na—nanti …,” Nanang gak bisa, airmatanya luruh,
“nanti aku gak bisa nepatin janji aku! Aku nangis ini!”
Arjuna gak peduli, ia rengkuh lebih erat lagi cintanya, dipeluk
kencang supaya jangan lihat Arjuna ini berantakan— berantakan
dengan mata basah dan hidung merah sembab.
“Mas!” Nanang terisak, pukul pundak suaminya meski pelan,
“kenapa?!” dan selanjutnya Nanang benar-benar runtuh, seiring
isak tangis Arjuna terdengar lirih mengalun. Inikah ujungnya? Inikah
saatnya?

305
balada dosmud

“Mas mau hidup sama kamu ….” Susah payah Arjuna bicara,
“Mas mau ada buat kamu …” Isakan lelaki ini gak main-main,
Runtuh sudah. Gak lagi ada Arjuna yang kuat pundaknya. Nanang
peluk Arjuna, menangis tersedu-sedu di pundak gemetar lelakinya.
Ia peluk erat, seakan kalau lepas sedikit maka Arjuna hilang, gak
lagi ada di pelukan.
“Mas …..” Panggilan ini, percuma … karena Arjuna sudah gak lagi
bisa sok kuat cuma buat Andanang. Mereka berdua resmi
dikalahkan keadaan. Kebersamaan mereka kini cuma soal waktu
dan harapan. Baik Arjuna dan Andanang, mereka hancur … tanpa
tahu apakah hati porak poranda ini bisa disusun kembali atau
justru jatuh sudah dan jadi puing berserakan.
***
Vonis akhir yang jatuh dua minggu lalu bukan cuma bercandaan.
Setiap harinya seperti ada satu daun jatuh dari raga Arjuna, lelaki
ini kehilangan satu persatu kekuatan raga yang berakhir cuma bisa
berbaring di kasur putih dan ruangan bau obat.
Setiap harinya cuma ada harapan, doa dan kesempatan. Nyala
berisik mesin tanda kehidupan ini satu-satunya yang jadi tumpuan
Andanang, kalau Arjuna masihlah ada bersamanya.
“Kita tinggal bisa mengharap doa ya, Mas Andanang.”
Bahkan meski dokter sudah puluhan kali kuatkan hatinya,
Nanang masih mau lantunkan secuil pengharapan buat lelakinya—
buat Arjunanya yang terkulai lemah di ranjang.

306
balada dosmud

Sulit buat berpura-pura, tiap hari tangisnya luruh. Jatuh basahi


sprei putih dekat pundak Arjuna. Berkali-kali Nanang bicara tanpa
pernah dapat jawaban berarti.. Lelaki kuatnya ini kini sudah tak
berdaya dengan jarum tertusuk dan selang cairan di kanan kiri.
Meski begitu, dalam pejaman mata lelahnya ini juga Arjuna
merengut kesal. Ia marah .. marah pada diri sendiri yang gak bisa
berbuat apapun waktu cintanya sedih begini.
“Mas … gak boleh pergi … nanti aku sendirian ..”
Ya Tuhan ..Tolong cabut nyawaku nanti-nanti dulu.
Nanang usap pipi suaminya yang cuma bisa bergetar dan
luruhkan airmata perlahan. Ia tau, Arjuna sama sedih seperti
dirinya.
“Mas …” Nanang beringsut, peluk Arjuna sembari berbisik
lirih-lirih kecil di telinga. Bisikan soal kalimat perelaan yang sulit
sekali hadir. Andanang ini cuma bocah kecil yang rindu pelukan
hangat seorang kakak. Kalau Arjuna pergi, hidupnya entah
bagaimana.
“Mas, aku sayang sama mas.” Nanang cium-cium halus pipi
cintanya. Sejajarkan pipi buat saling menempel dan kais
kehangatan tersisa.
Arjuna mau bergerak. Mau sekali. Tapi kenapa sulit? Ia mau peluk
Andanang, mau halau segala ketakutan lelakinya. Mau ucap kalau semua
baik-baik saja … akan selalu baik.
“Mas ..”

307
balada dosmud

Nanang sesak, seperti mau utarakan satu kalimat yang datang


jauh dari lubuk hati terdalam,.
“K—kenap … kenapa aku ditinggal terus …”
Andanang akan rasa lagi sakitnya kehilangan. Pertama sang
Kakak dan kini Arjuna. Susah payah, susah payah Arjuna coba
gerakan tangan. Sekuat tenaga, ia mau coba … meski nafasnya
seperti sudah di ujung kerongkongan, tolong kuat sebentar …
Sampai akhirnya jemarinya bisa genggam jemari mungil ini..
Demi Tuhan, Arjuna gak pernah mau biarkan lelaki baiknya ini
kesakitan sendirian.
“Mas ….”
Arjuna mau ucap kalimat penenang, mau usap airmata luruh
cintanya perlahan, tapi tubuhnya seperti sudah dikunci mutlak.
Cuma bisa gemetar dan tangisi diri sendiri yang tak berdaya sama
sekali.
Arjuna gak pernah berniat buat lagi-lagi berikan luka di hati
lelakinya lewat kepergian. Ia janji buat jaga adik semata wayang
Sahrul ini sampai maut datang …. tapi kenapa mautnya harus
datang sekarang? Datang di waktu Arjuna belum buktikan apapun.
Setelah ini, Andanang bagaimana? Berapa lama lagi waktu yang
dibutuhkan lelaki ini buat berdamai dengan keadaan? Akankah
lelaki ini juga dipertemukan dengan obat hati sebagaimana
temukan Arjuna dahulu?

308
balada dosmud

Kenapa? Kenapa gak Andanang saja yang lebih dulu pergi? Biar
Arjuna yang rasa sakitnya kehilangan, jangan Andanangnya…
Arjuna gak mau seperti Sahrul, yang gak bisa melakukan apapun
waktu Andanang menangis sendirian di bumi.
Susah rasanya …. tolong … sekali saja Tuhan … sekali, kalaupun harus
berpisah sekarang, tolong buat kali ini ada salam supaya lelakinya gak
merasa ditinggal sendirian.
Arjuna seperti kerahkan seluruh tenaga tersisa, gemetar hebat
sampai akhirnya Nanang ditarik mundur petugas medis ke
belakang—karena setelahnya, degup jantung Arjuna melemah, nada
mesin ganti memburu makin nyaring.
Sahut-sahutan suara petugas medis yang berlatar pekik tangis
lelaki kecintaan Arjuna itu jadi penutup sebelum matanya gelap
tutup.
Arjuna dengar lengking teriakan menyayat dari pojok kamar
dengan jelas, satu yang teriakan namanya tanpa peduli lagi soal
etika. teriaknya kencang, seperti memohon supaya Arjuna jangan
pergi.
‘Na, Mas sayang kamu. Mas cinta kamu.’
Arjuna seperti temukan satu cahaya silau yang tarik dirinya
perlahan, pergi dari raga yang sudah terpejam enggan buat terbuka.
Raga yang sudah makin tak bersisa apapun selain tubuh tanpa jiwa.
Nanang pasti mimpi …

309
balada dosmud

Iya, pasti mimpi. Gak mungkin suster yang kabarkan berita duka
padanya ini kenyataan .. gak mungkin. Sayangnya sampai tubuh
Arjuna ditutup kain putih keseluruhan, Nanang masih bisa lihat
semuanya tanpa merasa terbangin dari bunga tidur.
Hari ini pasti kiamat, karena perginya Arjuna sama dengan akhir
kehidupan Andanang. Buminya runtuh sudah, bunyi nyaring tak
terputus dan raut menyerah petugas medis jadi penanda, kalau
Arjuna sudah gak lagi ada bersamanya. Arjuna pergi, buat selamanya.

***
Teruntuk:
Andanang Lazuardi yang berisiknya setengah mati.

Na, ini Mas. Maaf ndak bilang ke kamu soal surat ini. Mas cuma
gak mau patahkan rasa optimis kamu soal sakitnya Mas … Mas juga
gak pernah berharap surat ini sampai ke kamu— tapi kalau kamu
saat ini baca, berarti Mas sudah gak lagi ada sama kamu.
Lazuardinya Mas paling hebat, terimakasih banyak buat
juangnya. Mas mungkin seharusnya gak sampai sepanjang ini
bertahan, tapi justru berhasil ya mungkin salah satunya berkat
kamu itu. Senyum kamu, motivasi kamu, semuanya buat Mas
bener-bener mau buat sembuh … tapi Dek, Mas yang lebih paham
sakitnya … Mas yang rasa apa tubuh mas ini membaik atau ndak —

310
balada dosmud

dan Mas pilih tulis surat ini, karena Mas rasa ya waktunya sudah
gak lama lagi.
Mas punya cita-cita tinggi sekali … mau bahagiakan kamu, mau
tutupi luka hati kamu yang Mas tinggal 5 bulan gak ada kepastian
dulu itu dengan ganti temani dan cerita soal banyak hal seumur
hidup. Mas terpuruk sekali, kok ya bayangin kamu lagi-lagi nangis
ditinggal yang tersayang tuh beneran buat hati Mas sakit sampai
nangis.
Dek, Mas gak tau apa surat ini bisa sembuhkan luka hatimu atau
ndak, tapi semoga bisa ya. Semoga seajaib sapu tangan mendiang
abangmu. Semoga tiap untai kata Mas ini bisa beri peluk tak kasat
mata di tengah dukamu.
Astaga, Mas nangis loh ini nulisnya. Bisa ndak ya, tulisan ini
ndak usah sampai ke kamu? Biar Mas aja yang langsung peluk
kalau kamu kenapa-kenapa.
Cintanya Mas, cintanya Arjuna yang cuma satu ini, semoga
cepat dilapangan tuhan hatinya, semoga cepat sampai kata relanya,
semoga mau maafkan Mas yang nyatanya masih gak sekuat orang
lain kira. Mas selalu berdoa, semoga Danangku dijaga selalu meski
bukan aku yang jaga.
Bahkan meski Mas susah buat bilang rela … tapi Mas berdoa,
semoga Adek dipertemukan dengan pengganti Mas yang lebih
panjang umur dan sehat … supaya bisa bantu temani hidupnya
kamu yang kurang ajarnya Mas tinggal sendirian.

311
balada dosmud

Andanang Lazuardi …
Mas sudah wasiatkan banyak hal, mungkin yang bisa mas
usahakan cuma materil, supaya kamu ndak kesusahan setelah Mas
pergi. Rumah, tanah dan aset semuanya sudah diurus sama lawyer
pribadi Mas. Asuransimu paling terbaik sudah tak lunasi sampai
usia produktifmu selesai. Jadi kamu bisa fokus tata keuangan buat
yang lain. Kamu jangan kesusahan, jangan kesulitan. Mas gak suka
nanti liatnya.
Dek, tangan mas kok ya gemeteran ya? ini lemes atau emang
sedih ya mas gak tau … jadi dicukupkan saja ya. soal lebih jelasnya,
bisa tanya Mas Wiyan.
Mas bahagia sekali punya kamu, gak ada lagi pencapain terhebat
selain punya kamu di bumi. Semoga di kehidupan berikutnya kita
masih selalu jadi kita — bahkan ibarat kata mau bentuknya pohon
sekalipun, semoga ditanamnya berdekatan.
Na, tak sudahi dulu ya. Dilaminating suratnya, di fotocopy
supaya ndak ilang.
Sehat-sehat, dek … oxycan kecil selalu dibawa … kalau mulai
vertigo jangan dipaksa jalan. Jangan keluar rumah kalau hujan sama
berangin. Jaketnya selalu dipakai. Simpan nomor rumah sakit
paling pertama ya, nomor Arini juga. Mas cinta kamu, semoga
dimaafkan semua kesalahan Mas ya. Apapun itu.
Suamimu,
Arjuna

312
balada dosmud

Sekian bulan lewat sudah dari kali terakhir Nanang bawa wajah
Arjuna dalam sentuhan dan entah kali ke berapa surat ini lagi-lagi
terbaca. Kini hari-hari sudah mulai membaik, meski gak akan
pernah lagi sama sejak Arjuna dikebumikan.
“Mas Andanang, saya Wiyan, Lawyer Pak Arjuna.”
Nanang sama sekali gak mengetahui kalau mendiang suaminya
ternyata punya Lawyer pribadi.
“Maaf, ada yang perlu saya sampaikan … ini semua, amanat Pak
Arjuna.”
Hari itu, semuanya terkuak.
Soal Arjuna yang diam-diam buat surat wasiat.
Soal Arjuna yang diam-diam hitung banyak hal demi kebaikan
Nanang andaikata tiba waktunya ditinggal pergi; Dana darurat,
Dana Pensiun, Dana kesehatan dan Asuransi Jiwa— masih banyak
lagi. Arjuna, bahkan tetap mau jaga Nanang meski maut terlebih
dulu datang.
“Surat ini, saya gak pernah baca isinya. Pak Arjuna tulis sendirian lalu
masukan amplop dan ditutup rapat setelahnya..”
Waktu itu, Nanang gak tahu harus beri reaksi bagaimana. Air
Matanya jatuh lurus sederas hujan sore. Surat ini dibacanya di
depan tanah merah yang ia enggan tinggal sampai 3 jam setelah
antar Arjuna ke peristirahatan terakhir.

313
balada dosmud

Hangat, rasanya seperti ada nada suara khas yang berdengung di


telinga. Lugas tegas nada bicara Arjuna sungguh terasa di tiap untai
kata paling panjang dari segala tulisan Arjuna yang pernah Nanang
terima. Selipan doa tulus itu juga sama, selalu berharap segala hal
baik buat dirinya— bahkan setingkat semoga diberi pengganti
Arjuna dikemudian hari.
“Mas …” Nanang cuma bisa peluk surat yang diharapkan Arjuna
bisa jadi pelipur lara di kala dukanya melanda ini. “Aku sayang sama
mas ..” terisak lagi, sampai perlu sekitar satu jam buat Wiyan
lanjutkan pembicaraan.
Meski sedih, namun rasanya Nanang tetap mau berterimakasih
karena surat kecil ini jadi satu hal soal Arjuna yang bisa dikenang
buat seumur hidup selain memori.
Hidup berjalan, meski gak lagi sama sejak Arjuna dikebumikan.
Setahun lewat sudah, dan rasanya sudah gak semencekik
kemarin. Nanang sudah bisa mulai senyum baca tulisan Arjuna.
Mulai bisa terima kalau kini Mas kesayangannya itu sudah gak lagi
ada.
Meski kadang kala masih hinggap sesak di ujung malam,
kadangkala juga buat Nanang kutuk kehidupan soal— kenapa selalu
dirinya yang ditinggal? kenapa? — tapi itu semua adalah bagian dari
pelajaran hidup yang harus ia terima.

314
balada dosmud

Teh hangat yang sudah gak lagi mengepul asapnya ini tanda
kalau lelaki ini butuh waktu panjang cuma buat selesaikan surat
entah ke berapa ratus kali dibaca.
Nanang kini sudah jauh lebih kuat, jauh lebih mandiri. Nanang
sudah bisa cekatan ambil oxycan dan tenangkan diri sendiri waktu
asma mendera, karena kini gak lagi ada yang bisa bantu atur nafas
sembari usap pipinya perlahan sebagaimana Arjuna biasa lakukan.
Kesibukannya juga bertambah, sibuk stabilkan dan majukan
semua hal yang sudah Arjuna rintis supaya gak berhenti tengah
jalan. Meski semua lelah dan pusingnya cuma bisa ditelan
sendirian, karena gak lagi ada pelukan buat ia berpulang.
Mendiang suaminya itu pasti bangga, karena suami kecil yang
katanya manja ini nyatanya banyak ambil pelajaran hidup dari
Arjuna. Soal bertahan dalam luka, soal berjuang dan tidak termakan
duka.
Surat lusuh ini masuk kembali ke dalam amplop, ditaruh di
ujung meja karena si empunya surat beralih ke satu benda di tengah
meja.
“Selamat ulang tahun pernikahan, Mas.” Nanang nyalakan lilin
di atas kue kecil dengan miniatur dua kepala lucu. ditiup apinya lalu
tepuk tangan sendirian.
5 Tahun, meski cuma 4 tahun bergandeng tangan dalam ikrar
janji suci, tapi cinta yang mereka punya, tetap sama sampai mati.

315
balada dosmud

Selamat ulang tahun pernikahan, meski satu pengantinnya sudah gak lagi
ada di bumi.
Arini perhatikan iparnya itu dalam sorot mata sendu. Wanita ini
beranjak buat berdiri dan peluk lelaki kecintaan sang Kakak.
“Nang ..”
“Rin..”’
Mereka berdua, sudah cukup berpacu dengan banyak hal sekian
bulan terakhir. Keduanya juga rasa hal yang sama— soal sedihnya
lihat lelaki yang biasa kuat buat mereka itu harus terbujur kesakitan
sendirian. Jadi dengan tertutupnya mata Arjuna buat selamanya,
berarti juga tutup segala kesakitan yang tanpa sadar sakiti setiap
hati yang ada.
Arini juga gak paksa Nanang buat berhenti menangis—
silahkan, menangis kalau perlu. Namanya berduka, jelas selamanya.
“Rin.”
“Apa?”
“Lu ga kawin bukan karena ngincer gua kan?”
“Anjir Nang, pertanyaan lu!”
Mereka ini bercanda, cuma buat tutupi luka yang sama-sama
menganga. Luka hati Arini pasti juga besar dan gak bisa Nanang
takar … tapi kalau ditanya seberapa luka hati yang dirinya punya,
maka analoginya sederhana;

316
balada dosmud

Ibarat kata merpati cantik yang punya sepasang sayap, maka


separuh sayap milik Andanang sudah patah dan jatuh … gak lagi
mampu bawa dirinya terbang bebas sukacita lewati langit biru.
Nanang akan terus di bumi, berjalan dan cuma bisa mendongak
ke langit, merindukan hari-hari dimana kepak sayapnya bawa ia
dan Arjuna terbang bebas berdua— karena kini, yang terbang
tinggi, cuma Arjuna. Terbangnya terlalu tinggi sampai-sampai
tinggalkan Nanang di bumi tanpa pernah kembali.
Langit cantik, aku titip cintaku di sana ya! Nanti kalau tiba waktunya
buat aku naik, tolong aku diketemukan sama mereka yang sudah lebih
dulu ada di sana, ok? Soalnya aku kangen banget, gak kuat mau peluk.
Abang sama Mas Juna jangan berantem di sana, harus akur! See you
when i see you!
***

317
balada dosmud

Bridge:

“Heleh wiyan wiyan ki sopo, dek. Beneran mimpi itu. Ndak


mungkin nyata lah wong orangnya aja gak ada—Loh, nangis banget
kamu ik.”
“Sedih banget.”Nanang usap matanya yang sudah banjir, “aku
kerasa sakitnya kalo mas pergi gitu… gak mau.”
Arjuna tersenyum kecil, bantu usap airmata yang sudah mulai
luruh sejak pertengahan cerita ia mulai. Nanang mendongak, lalu
tiap kelopak matanya terima cium hangat dari Arjuna.
“Ya Mas sendiri masih ndak tau gimana jadinya kalau itu bukan
mimpi. Gak mau juga ngerasain. Biar kalau ada yang pergi, kamu
aja duluan.”
“Ih? Kok gitu? Mas mau cari gantinya aku ya?!”
“Loh, ya ndak … Mas gak tau kamu gimana nantinya kalau mas
gak ada.”
Biasanya Nanang jawab kalimat Arjuna yang begini dengan
godaan semacam— dih, pede banget— tapi kali ini enggak, karena
memang benar … Nanang gak tau apa jadinya kalau Arjuna gak ada
di bumi.
“Mas.”
“Hm?”
“Jaga kesehatan ya kita.”

318
balada dosmud

Arjuna terkekeh, jawil hidung cintanya gemas, “Ya itu makanya


jangan males kalau tak ajak medical check up.”
Nanang mengangguk antusias, cium pundak lelakinya lalu
kembali bersandar dan siap lanjutkan kisah, “Sekarang gantian Mas
dong.”
“Mimpiku agak aneh. Jangan marah ya kamu.”
“Emang kenapa?”
“Aku mimpi kamu hamil— aw! Kok mbok cubit seh?”
“Ish! Anjir mimpinya aneh banget?!”
“Lah ya makanya tak bilang kok, emang aneh mimpinya.”
Mimpi kedua ini, soal Andanang yang tiba-tiba bersikap aneh
bin ajaib. Buat Arjuna pusing tujuh keliling.
“Di mimpinya, hamil gitu?”
“Wes udahlah ya hamil, tau-tau pas lahiran disuruh milih
selametin kamu atau bayinya.”
“Terus mas pilih apa?!”
Dan di mimpi kali ini, Arjuna dihadapkan pada situasi yang
membuatnya sadar satu hal— bahwa kalaupun ada pilihan nyawa
dengan nyawa, maka tanpa ragu Arjuna tetap pilih Lazuardinya
buat bertahan. Karena jika Andanangnya pergi, maka Arjuna juga
ikut mati.
***

319
balada dosmud

Balada Bayi I
Arjuna bingung, kenapa suaminya ini mendadak mellow begini.
“Tumben? Ndak sakit kan kamu?” Arjuna berniat menggoda, tapi
yang digoda anehnya hari ini cuma diam, sibuk gigit bibir seperti
tahan kalimat dalam diam.
Arjuna hela nafas pelan, bawa lelakinya ke pelukan. Diusap
Pelan pundak yang sibuk naik turun akibat hirup nafas panjang di
sela lehernya.
“Kenapa?”
Nanang cuma geleng kepala pelan, bingung juga harus jawab
apa. Hari ini rasanya sedih. Padahal bukan hal baru buat lepas
Arjuna pergi dinas atau urusan kerja. Biasanya juga cuma berpisah
sambil saling goda dan bertaruh siapa yang kira kira kangen
duluan.
“Heh? Lah kok nangis?” Arjuna kelabakan. Lelaki kecilnya ini
tersedu— sedih sekali.
“Dek, coba ngomong sama masnya ini kenapa? Gak biasanya
kamu begini ik.”
Arjuna lebih tenang kalau nanang lepas perginya sambil tertawa,
bukan begini. Arjuna cek kening, badan sampai tatap netra sendu
ini serius. Mau pastikan kalau suaminya ini ia tinggal bukan dalam
keadaan sakit apalagi sikon yang butuh perhatian. Nyatanya sehat,
normal. Badan Nanang juga gak gemetar apalagi lemas.

320
balada dosmud

“Mas cepet pulang …” Pinta Nanang sambil usap matanya


sekilas.
Arjuna fokus berporos di netra yang baru kali ini ia lihat
kembali sedih dan sayunya. Kalau Nanang begini, Arjuna juga mana
tega?
“Mas jangan lama-lama …” pinta lelaki ini lagi.
Demi Tuhan, Arjuna bingung. Arjuna coba beri seringai kecil,
colek dagu lelakinya sembari berkata,
“Kamu nih ya gak bisa hidup tanpa aku toh?”
“Banget.”
Haduh, kok jadi beneran mellow? Padahal Arjuna berharap tepisan
seperti — pede banget deh! — sebagaimana biasanya.
Kali ini, Arjuna serius. Ditangkup wajah cinta buat diajak bicara.
“Kamu kenapa?”
“Gak tau … sedih.”
“Kalo kamu ndak tau ya apalagi Mas,” Jempol Arjuna bantu usap
satu butir luruh di pipi, “coba nanti pas Masnya pergi, sambil
dipikir kamu sedihnya kenapa. Biar jelas nanti tak urus sebab
sedihnya. Apa mungkin bener sedih ga ada Mas atau karena ga ada
dompetnya—”
“Ih! Seriuuuus.” Nanang cubit perut Arjuna— tapi yang punya
perut sudah lebih dulu menghindar sambil menyeringai tipis.

321
balada dosmud

Arjuna ambil tangan Nanang buat ditarik mendekat, dipeluk


erat sambil dibisiki kalimat penenang. Lucu sih, tapi ya masih tetap
aneh rasanya.
Kenapa kok tiba-tiba jadi manis—oke, dia ini ya dari dulu
manis— tapi manis yang guemes gitu itu. Ini beda, manis yang
manis nurut minta tak sayang-sayang gitu ituloh. Haduh kamu begini
ini ya aku ya apa gak tambah bingung, Dek?
Gimana gak bingung, soalnya ini Arjuna harus keluar kota
semingguan. Belum lagi pasti bakal susah dihubungi nanti saking
sibuknya. Jadi ini begitu mobil jalan buat bawa Arjuna ke bandara,
matanya gak lepas dari suaminya yang tunggu di depan rumah
sampai kemudian gak lagi kelihatan.
Semoga baik-baik aja, semoga gak ada hal buruk yang tiba-tiba
datang di waktu Arjuna masih ga ada di dekat lelakinya ini.
***
Maaf Arjuna, tapi keadaan justru gak baik-baik aja begitu kamu jauh
di sana— dan pagi kamu kali ini dibuat kacau setelah satu kabar
sampai tiba-tiba.

From: Arini
Mas! Nanang masuk rumah sakit!
Kamar Anyelir no 3. Jangan ngebut!

322
balada dosmud

Iya, benar. Paginya Arjuna kacau. Mulai dari kejar pesawat yang
punya jadwal terbang paling dekat. Uji skill setir sopir taxi dengan
minta bawa mobil yang ngebutnya gak kira-kira hingga berakhir
kejutkan isi rumah sakit begitu turun dan tanpa babibu berlari
kesetanan.
“Dek!” Arjuna buka pintu dan langsung mingkem begitu yang
pertama muncul justru muka Arini yang taruh telunjuk di bibir—
sst! berisik sampeyan!
Arini tarik tangan Arjuna masuk, “itu suamimu. Ngobrol aja
berdua. Aku tinggal kalian keluar.”
Arjuna berkacak pinggang, mengangguk sambil hirup nafas
dalam-dalam. Sek, nyawanya ini belum sampai. Meski begitu, matanya
tetap kemudian terpatri ke lelaki yang cuma diam genggam selimut
sebatas leher dan tatap Arjuna sambil kedip-kedip mata.
“Bener gak sehat kamu.” Arjuna merunduk, cium kening
lelakinya.
“Hah?”
“Iya, kok diem begini. Mesti ada yang konslet—aw!” Arjuna usap
pipinya yang dicubit pelan, “kenapa toh?”
“Ya Mas sih, asal bener ngomong.”
“Lah ya emangnya kenapa bisa kamu di sini? Mesti bawa motor
ngebut terus nyerempet? atau jatuh di kamar mandi pas dance?
at—”

323
balada dosmud

Arjuna diam begitu Nanang ulur satu benda. Sek, iki alat tes cek
buat …
“Covid?!”
“Bukan anjir, Mas! Aku hamil!”
“HAH?”
“HAH HOH HAH HOH, SITU YANG BIK—”
“Ekhem.” Ini Arini, yang udah sumpek banget kayaknya harus
ngingetin lagi kalau, “ini rumah sakit. bukan rumah sampeyan yang
kedap suara.” lalu pintu tertutup.
“Aduh!” Arjuna elus tangannya yang ditabok, “kenapa toh, dek?”
“Ya komentar kek, apa kek. diem-diem bae.”
“Yo sabar,” Arjuna tarik kursi. “sek,” duduk dan ambil alat yang
punya garis dua merah di tengah ini, “ini bener?”
Nanang rotasikan mata malas, “ahelah ya masa becanda.”
“Anakku?”
“Anak setan.”
“Heh!”
“Ya anak kamu, Mas!” Nanang geleng-geleng kepala, merebah
lagi tidur sambil pijat kepala. Pusing.
Arjuna masih diam, masih berpikir dan masih mencerna
keadaan. Hamil? Ada anak ya? Lah aku jadi bapak tah?
Arjuna rasanya masih seperti mimpi. Tiba-tiba ada kabar satu
nyawa baru kini hidup berdampingan bersama mereka berdua. Satu

324
balada dosmud

nyawa yang nantinya tumbuh 9 bulan buat berakhir dibawa melihat


dunia.
Ini benar bukan mimpi ya? Kalau benar bukan mimpi … berarti
apa Arjuna harus siap-siap buat jadi suami siaga mulai hari ini?
***
Iya. Siap siaga, karena sejak hari itu hidup Arjuna selalu
dibayang-bayangi tingkah suaminya yang benar-benar seperti orang
hamil pada umumnya.
“Huweeek!”
“Dimuntahin, Na.”
“Ya ini juga lagi dimuntahin!”
Arjuna mengulum bibir. Lagi-lagi kena semprot.
Arjuna pijat tengkuk Nanang supaya nyaman. Setelah semua isi
perutnya keluar, baru bantu lap mulutnya dan dibawa buat istirahat
sebentar di dudukan toilet.
Arjuna bersimpuh, sejajarkan wajah buat usap kening yang
lembab keringat dingin ini.
“Gimana?”
“Gak enak, Mas … mualnya pait.”
Arjuna kalau sudah begini jadi lupa mau goda-goda suaminya
supaya ketawa. Justru ikut diam dibawa netra berkabut yang seperti
mau menangis ini.
“Kamu maunya apa? Biar tak coba turuti.”

325
balada dosmud

“Masnya jangan kemana-mana …” Nanang genggam jemari


Arjuna. Memohon supaya jangan pergi.
Arjuna mengangguk, berdiri lalu bawa lelakinya ini ke
gendongan dengan selipkan tangan di sela leher dan betis. Nanang
mengalung erat di leher Arjuna, gak mau lepas bahkan sampai
sudah merebah di kasur sekalipun.
“Loh, ini Masnya gak bisa kemana-mana ini.”
“Ya jangan kemana-mana ….”
Katanya, trimester awal ini ujian buat mereka. Mulai dari
Morning sickness yang buat Arjuna harus ikut Nanang lari
terbirit-birit ke kamar mandi. Lemas badan yang kadangkala buat
Arjuna sendu sendiri hingga penolakan Nanang soal beberapa hal
yang biasanya gak dipermasalahkan.
“Mas ih, jangan deket-deket!”
Seperti suatu sore kesekian Arjuna pulang kerja. Padahal
sebelum ke kasur Arjuna jelas mandi dulu, tapi Nanang justru tutup
hidung dan berakhir mual-mual dan lari ke wastafel kamar mandi
buat muntah.
“Dek, butuh tak—” Arjuna berhenti di pintu. Nanang beri
isyarat Arjuna buat gak mendekat ditengah usaha lelaki itu
memuntahkan isi perut.
“Dek? Bisa ndak?”
Nanang muntahkan isi perut yang sudah gak keluar apa-apa
selain air. Tangannya menyangga tubuh dengan berpegang di

326
balada dosmud

sisi-sisi wastafel. Arjuna takut suaminya ini limbung dan jatuh, tapi
ini jangankan mau bantu, jarak segini aja Arjuna diminta mundur.
“Mas! dia itu gak kuat sama baumu, minggir keluar kamar wes.”
Ini Arini yang selak masuk gak pakai salam karena tau sedari siang
iparnya ini mual-mual kalau dekat dengan barang-barang Arjuna.
Arjuna endus badannya sambil mengernyit heran, “lah aku ndak
bau ik.”
Arini mendecak sebal, kibas tangan usir Arjuna supaya pergi
cepat. Ini benar Arjuna gak bisa ketemu suaminya ya?
Benar, karena sampai tengah malam juga Arjuna gak bisa masuk
kamar. Cuma bisa selonjoran di sofa depan sambil terima cerita
adiknya yang bilang kalau Nanang begini ini sejak tadi pagi.
“... jangankan kamunya, bajumu ae, Mas. Bikin mual dia itu.”
“Gitu itu kenapa?”
“Yo ndak tau, mungkin hormon aja.”
Lah ya terus ini Arjuna gimana bisa jaga Nanang kalau masuk
kamar aja gak bisa?
Arjuna rasa handphonenya berdering, Nanang yang telepon.
Begitu diterima, muncul muka suaminya yang merah dengan netra
sayu. Badan tertutupi selimut sampai sebatas dagu.
“Mas … pusing.”
“Aku ke kamar ya?”
“Gak bisa. Ada Mas tambah mual.”

327
balada dosmud

Aduh, ini hatiku kok nyeri, ya. — Arjuna berakhir nekat jalan, buka
pintu kamar dan bertaut netra dengan lelaki yang kini meringkuk
sendirian di sana.
“Dek?”
“Maaf ya, Mas ..”
Arjuna mengulum bibir, mengangguk sambil buka pintu lalu
duduk dan bersandar di sana.
“Aku kalau di sini ini ganggu, gak?”
“Enggak, gak kecium banget.”
“Aku baunya gak enak tah?”
“Gak tau, Mas. Baunya aneh .. aku gak kuat.”
Padahal Arjuna gak ganti parfum. Mandi juga rajin kok. Ya tapi
kenapa kok baunya bisa beda begini sekarang?
“Mas di sini aja berarti ya? Kalau ada apa-apa panggil aja.”
“Di situ dingin. Mas di sofa depan aja.”
“Nanti gak kelihatan kalau kamu kenapa-kenapa, udah kamu
tidur aja sekarang, istirahat.”
Orang hamil ini kok aneh ya. Ada aja gitu yang jadi masalah.
Anehnya juga cepat betul ganti-ganti moodnya. Arjuna kadang jadi
kasihan. Nanang sendiri juga soalnya gak paham kenapa dia
maunya begini begitu.
Kayak sekarang yang gak bisa terima Arjuna dekat-dekat ini
pasti menyiksa juga. Nanang itu kayaknya gak suka tidur kalau gak
ditemani. Jadi gak nyenyak, gelisah gerak kanan kiri.

328
balada dosmud

Oh, jelas gak cuma Nanang kalau masalah tersiksa— Arjuna juga.
Ini perkara bau Arjuna yang gak bisa diterima indera penciuman
suaminya berlanjut sampai berhari-hari.
Arjuna gak bisa cium kening waktu berangkat kerja.
Arjuna gak bisa bantu kalau mual muntah tengah malam.
Arjuna juga gak bisa ketemu dalam jarak dekat.
Ini calon anak mereka paham gak ya? Kalau bapaknya juga
kangen ini mau pelukan sama yang lagi berbagi badan sama kamu.
Sepaham Arjuna, ini cuma trimester awal kok, jadi ya ayo
sabar-sabar ya, Jun. Gak apa-apa sekarang merana dulu, yang
penting itu berdua sehat gak kurang apapun.
***

Fase mual muntah yang gak jelas itu berakhir sudah sebulan
lalu. Berakhir dengan Arjuna yang terima peluk suaminya di suatu
malam dengan kalimat — Mas wangi! Aku suka!
Kalau dihitung bulan, ini berarti masuk trimester 2. Katanya
yang berpengalaman, tantangannya ada di ngidam dan keinginan
aneh yang pasti merepotkan Arjuna.
“Mas, mau dielus perutnya.”
“Ya sini.”
“Sama bang eja.
“HEH LAH?! Aku bapak e loh, Dek!”

329
balada dosmud

Arjuna gak tau kenapa ngidamnya Nanang ini semuanya diluar


nalar. Pertama harus repotkan Reza sekeluarga dengan berkunjung
jam 12 malam cuma karena minta diusap perutnya.
Reza gak heran sebenarnya, gak nolak juga— toh cuma minta
diusap. Herannya justru satu. Kok bisa Arjuna ngizinin?
“Ya aku dicuekin 2 harian.” Jawab Arjuna nelangsa betul.
Iya, karena tolak permintaan Nanang itu, Arjuna dipunggungi
kalau tidur. Gak dilihat waktu ngobrol dan paling parah gak mau
kalau dipegang. Arjuna ya bisa apa?
Kalau ngidam makanan, gak parah. Cuma ya tetap aja diluar
nalar. Belinya mungkin harus keluar planet juga saking anehnya.
Seblak bening.
“Ya mana ada dek–”
“ADA.”
Iya, pakmil selalu benar. Ayo jadi Arjuna bakat masaknya mari
dikeluarkan—karena ya orang gila mana yang jual seblak bening?
Arjuna masak malam-malam di rumah Reza. Supaya gak
ketahuan Nanang kalau ini Arjuna emang gak beli.
“Sop apa seblak, Jun? Bening amat.”
“Belum jadi bapak rasah komentar.”
“Dih? Nanya, Jun.”
Terserahlah. Paling penting seblak beningnya enak. Kuncinya
kencurnya kerasa tok. Syukur aja itu Nanang gak sadar kalau
seblaknya hasil masak Arjuna.

330
balada dosmud

Itu baru seblak ya, ada lagi yang aneh.


Geprek mang udin— dan ini adanya di Jogja, sementara mereka
ini di Bogor.
Arjuna sampai jastip sama temannya yang kebetulan hari itu
mau pulang dinas dari jogja. Nitipnya juga agak banyak cuma
supaya suaminya ini ngidamnya keturutan.
Terakhir ini jelas gak bisa Arjuna kabulkan— pengen pelihara
kucing yang notabene bulunya itu sebab pemicu Asma.
Pusing gak Arjuna? Jangan ditanya. Setiap harinya seperti buka
kado yang gak tau apa isinya— apakah besar kecil, fantastis atau
biasa saja. Ya tapi demi anak, apa yang enggak?
“Mas. Mau ke Karen's Dinner.”
“Enggak.”
“Ih? Kok gitu? Mas tuh akunya kan udah bilang dari kemaren,
aku udah reservasi, jadi ini mau gak mau harus dateng. Aku liat di
tiktok soalnya pasti seru itu bisa—”
“Iya, yuk ayo. Apalagi ayok sekalian.” Arjuna hela nafas, ambil
kunci mobil sambil jalan diapit lengan sama si mungil yang
bawa-bawa buntelan di perut.
Haah, Arjuna hari ini baru mau rehat, tapi kalau gak dituruti,
pasti nantinya debat. berakhir ini yang minta-minta ini nanti
nangis, sesenggukan sampai capek terus muntah. Yowes, Karren’s
Dinner yuk, berangkat.
“Dih? Kok dilempar sih?”

331
balada dosmud

“Ya maunya diapain? Disayang?”


“Dih? Ngajak ribut?”
Arjuna pijat kening— ya tuhan, ini yang reservasi ini kan dia.
Harusnya dia tau kan konsep Karen's Dinner ini ya memang
marah-marah.
“Pesen burger doang? Miskin.”
“Mulut lo ya anjir!”
Arjuna kunyah burger sambil nikmatin aja ini suaminya adu
mulut sama mbak-mbak yang anehnya juga mau aja nyautin kalimat
suaminya.
Beginilah drama bapak-bapak bawa orang bagi badan sama
anak. Semoga semua bapak yang sedang mengalami hal yang sama
seperti Arjuna ini dikuatkan, jangan goyah karena ini juga bukan
maunya dia kok.
“Anjir mbak, ini gua pesen cola yang gak berbusa.”
“Ya mana ada anjir, mas?! Cola dimana-mana ada busanya.”
Yak, terus berantem wes rapopo. Sampai puas, Dek ben aku ndak kena
semprotmu kalau di rumah.
***
Terlepas dari rumitnya hadapi Nanang, Arjuna senang karena
sampai detik ini semuanya masih bisa ia penuhi. Mau permintaan
aneh sampai minta ditemani pun juga bisa.
Senangnya juga nih, selain karena hal di atas, gak tau kenapa
waktu hamil begini ini, Nanang kok tambah menarik ya?

332
balada dosmud

Coba itu, lagi mandi berendam, nyembul sedikit baby bump dari
air, kelihatan putih mengkilap. Rasanya mau Arjuna cumbu tiap
inci kulit porselen suaminya ini.
“Maaas.” Nanang merengek, ulur tangan minta digendong keluar
dari bathtub.
Haduh, ujian batin, Jun. Kuatno aku, Tuhan.
“Udah?”
“Hehe, iya udah.”
Nanang mengalung ke leher Arjuna, sambil kakinya
goyang-goyang gemas. Arjuna taruh suaminya di kasur dan dilap
handuk seluruh tubuhnya. Matanya fokus, tapi hatinya jangan
ditanya.
Ambyar.
Ya tapi dasar Nanang dan tingkahnya yang banyak rupa— ada
aja cara buat goda Arjuna. Ditariknya tangan Arjuna yang sibuk lap
badan, dibawa buat pegang badan lembabnya ini sembari ditatap
menggoda. Netra keduanya tertaut, Arjuna jelas paham kalau dia
ini digoda.
“Dek, jangan macem-macem heh.” Arjuna baru mau lepas
tangan tapi Nanang lebih dulu maju dan sesap bibir Arjuna pelan.
Kalau begini, jangan salahkan Arjuna ya. Dek bayi, tak nengok
kamu ya sebentar. Disuruh bapakmu ini.
***

333
balada dosmud

bridge:

“Lah, buset ribet banget orang hamil wkwk.”


“Ya kamu itu ribet.”
“Ih tapi katanya ceritanya sedih? itu mah kocak.”
“Ya sabar, ini baru mau masuk nih.”

Setelah drama ini itu yang masih bisa diambil titik lucunya,
Arjuna sampai pada kisah dimana sedihnya justru lebih terasa.
Soal Nanang yang dibawa lemah serta calon Anak mereka yang
butuh dipertahankan.
Hingga berakhir Arjuna harus memilih soal siapa diantara dua
permatanya itu yang harus diselamatkan.
***

334
balada dosmud

Balada Bayi II
Arjuna buka pintu kamar yang sudah temaram. Wajah lelahnya
kembali ukir senyum cuma dengan temukan cintanya yang istirahat
tenang di tengah kasur besar sana.
Arjuna duduk hati-hati sekali, gak mau bangunkan lelaki yang
sulit tidur nyenyak beberapa hari ke belakang. Bukan karena
mual-mual sebagaimana awal, tapi lebih kepada pikiran yang gak
bisa tenang sejak kalimat dokter soal anak mereka itu terdengar.
“Ada kelainan di dalam tubuh Andanang. Dengan kata lain, hadirnya
calon buah hati ini mempengaruhi kesehatan tubuh Andanang sebagai
inang. kami masih pelajari lebih lanjut, tapi kemungkinan terburuk
adalah jabang bayi gak bertahan di sana.”
Arjuna cuma bisa dapati lelakinya menangis sampai beberapa
hari setelah check up. Selalu diberi tanya— Mas, bayinya sehat kan?
Kok gak gerak ya? — disaat Arjuna jelas gak bisa beri jawaban
apapun selain usapan menenangkan.
Arjuna jaga cintanya luar biasa ketat. Jangan kecapekan, jangan
kemana-mana sendirian. Supaya jangan sampai ada kejadian yang
gak diinginkan.
“Mas …”
Suara lirih Nanang yang terbangun ini bawa Arjuna naiki kasur,
mendekat buat cium kening.
“Mas daritadi? Kok gak bangunin aku?” Tanya Nanang sambil
beringsut bangun, bersandar di kepala kursi.

335
balada dosmud

Arjuna senyum, usap surai halus cintanya pelan, “ya nanti kamu
kebangun.” Arjuna buka selimut, cium calon bayi yang mungkin
sedang tidur di dalam sana. Beri sapa setelah seharian ditinggal
pergi bekerja.
Arjuna usap pelan sambil diiringi cerita dari Nanang, katanya
calon bayi menendang, sampai buat Nanang beberapa kali harus
diam karena ngilunya mulai terasa.
Memasuki 8 bulan ini, beban yang dibawa Nanang berat, kaki
yang biasanya kurus ini jadi agak membengkak. sesekali kram dan
kesemutan.
Arjuna gak bisa lakukan apapun selain bantu supaya Nanang
gak merasa tanggung beban ini sendirian. Seperti pijatan dan
sentuhan-sentuhan halus yang buat suaminya nyaman.
“Kakinya kebas ndak?”
“Agak sih,” Nanang angkat kakinya dari dalam selimut, “gede
banget ya, kaya gajah dah.”
“Hush, kok ya disamakan sama gajah.” Arjun bawa tangannya
buat pijat betis yang mulai mengeras dan besar ini. Ditekan-tekan
telapak kakinya juga supaya peredaran darahnya lancar.
Nanang terkekeh, usap-usap sayang rambut Arjuna. Berterima
Kasih buat perhatian yang diberikan bahkan meski Arjuna sendiri
baru pulang kerja.

336
balada dosmud

Nanang sadar banyak repotkan Arjuna sekian bulan


belakangan— dan dengan sabarnya yang luas itu, Arjuna mau turuti
satu persatu permintaannya yang kadangkala diluar nalar.
Nanang kalau gak ada Arjuna kira-kira jadi apa ya? Pasti sedih kalau
dapatnya pasangan yang gak berusaha seperti Arjuna.
Sabarnya Arjuna itu luas sekali, bahkan kemarin waktu dengar
vonis dokter saja, masih kuat topang Nanang yang rasanya mau
mati.
Waktu Nanang terpuruk, Arjuna gak lepas dari sisinya. Selalu
ada di waktu-waktu Nanang terbangun tiba-tiba entah akibat
mimpi buruk atau karena kaget.
Arjuna mungkin gak ucap banyak hal buat menenangkan
suasana, tapi dari cara lelaki itu yang gak panik, tetap berusaha
membuat hari-hari ini gak jauh berbeda dari kemarin sebelum
putusan itu hadir— sudah amat sangat bantu Nanang buat turut
merasa tenang.
Di malam-malam hening, Nanang seringkali dengar Arjuna
bicara sendiri, seperti mengharap hal baik buat keluarga kecil
mereka. Sering juga merasa ada usapan sayang di kepala dan
ciuman hangat di keningnya waktu sayup-sayup antara tidur dan
tidak.
Arjuna gak mungkin gak kepikiran, Nanang kadangkala mau tau
apa sih yang ada di hati Arjuna? Bisa gak bagi juga ke dia supaya

337
balada dosmud

kita yang sama-sama calon orangtua ini gak berat sebelah


bebannya.
“Mas”
“Iya?”
“Makasih banyak ya.”
“Kenapa?”
“Gak tau, mau makasih banyak banyak ajaaa.”
Arjuna terkekeh, lepas pijatan di kaki suaminya ini lalu beranjak
buat ikut masuk ke selimut, dekap cintanya yang mau ia jaga
sampai kapanpun.
Jangan berterima kasih begini, Mas mau kasih kamu semua yang
kamu butuh. Jangan bilang terimakasih seperti orang yang mau
pergi. Kamu harus kuat, harus tetap hidup ya, Na.
Biar, Biar Arjuna yang simpan takut atas semua praduga
dokter— karena yang Nanang dengar kemarin barulah sebagian.
Sementara keseluruhan putusannya cuma Arjuna yang dengar.
‘Pak, ini kalau dipertahankan, kemungkinan terburuk di meja operasi.
Harus ada yang diprioritaskan, keselamatan Anak bapak, atau pasangan
bapak. Cuma itu.’
Tuhan, kenapa gak repotkan Arjuna dengan kemauan yang
sulit-sulit tapi masih bisa diusahakan? Kenapa justru beratkan
Arjuna dengan pilihan yang harus taruhkan nyawa?
***

338
balada dosmud

“Mas, tapi ya apa gak pada akhirnya nyakitin suamimu misalkan


begitu itu?” Arini masih dan akan selalu berusaha keras bujuk
kakak tertuanya ini supaya jujur … tolong bilang ke Nanang kalau
nyatanya Arjuna tetap pilih keselamatan Nanang dibanding anak
mereka.
“Aku gak bohong. Aku upayakan keselamatan dua-duanya.
Kalaupun terpaksa ada yang harus aku pilih, itu hak aku buat pilih.”
Jawab Arjuna final.
Arini gak sangka kalau ujungnya begini.
Awal-awal rasanya seperti jalan tanpa hambatan. Cuma ada tawa
geli darinya buat sang kayak yang seperti dikerjai habis-habisan
turuti maunya Nanang— sampai diagnosa dadakan di bulan ke 7 itu
rubah suasana rumah yang hangat menjadi penuh ketakutan.
Arini gak mau ikut campur, tapi cara Arjuna yang gak jujur ke
Nanang kalau nyatanya lelaki ini diberi pilihan buat memilih salah
satu diantara anak atau pasangan— jelas gak bisa kalau Arini diam.
“Sek, denger aku dulu, nduk. Aku ini pilih dua-duanya. Usahakan
yang terbaik buat mereka berdua. Gak ada sejak awal aku
prioritaskan Nanang itu ya ndak— tapi, kalau sampai ada situasi
yang membahayakan dan harus pilih siapa yang diprioritaskan,
pilihanku ya selamatkan Nanang.”
Arjuna juga selalu berharap jangan sampai situasi tersebut
benar terjadi— Arjuna cuma bersiap-siap.

339
balada dosmud

Jadi tolong, jangan anggap Arjuna seakan berencana bunuh anak


sendiri … dia ini cuma sedang mempersiapkan rencana, mulai dari
yang paling mungkin sampai yang paling buruk.
****
Nanang punya banyak harapan buat diwujudkan satu persatu.
Mau bawa calon bayinya lihat dunia. Mau tuntun langkah
pertamanya, juga mau jadi teman baik anaknya sampai dewasa
nanti.
Banyak malam-malam yang suka Nanang lewati bersama Arjuna
buat sekedar bicara merajut mimpi. Kalau Arjuna mungkin ke
akademik— sekolah di mana, nanti les apa bahkan profesinya juga
sudah dibayangkan.
Semua itu rasanya mau mereka wujudkan satu persatu. Nanti,
setelah bayinya lahir. Sayangnya Nanang sendiri gak tau kenapa
tubuhnya justru gak bisa diajak kompromi.
Bahasa medis soal kenapa akhirnya kelahiran anak mereka
beresiko ini cukup rumit, Nanang juga gak tau dan gak mau bahas.
Nanang cuma mau tau soal apa-apa yang harus dia lakukan supaya
semua praduga kurang baik itu bisa diminimalisir.
Nanang duduk di hadapan cermin besar dengan kaki lurus ke
depan. Piyama coklat longgarnya ia buka di bagian perut, sampai
baby bump yang sudah agak besar itu mencuat, mengkilap.
Ada nyawa di sini, semoga mau bersama-sama berjuang supaya bisa
lahir dan bertemu di bumi.

340
balada dosmud

“Loh, loh. Pada ngobrol tah ini?” Ini Arjuna yang masuk kamar
langsung ambil posisi duduk di belakang Nanang. Kakinya dibawa
lurus ke depan— mengapit suaminya yang kini berada di dalam
pelukan.
Indah bukan? Coba lihat di cermin. Arjuna yang bersandar dagu
di pundak Nanang ini sekarang tengah usap perut besar di
dekapannya pelan. Diusap sayang seperti ajak bicara bayi yang
sudah beberapa hari ini enggan tendang-tendang.
“Mas.” Nanang panggil Arjuna tanpa mengalihkan netra dari
cermin, “anaknya nanti kalo lahir, mirip siapa yak?”
“Maunya mirip siapa?”
“Mirip aku!”
“Yaudah, mirip kamu kalau gitu.” Arjuna cium pundak cintanya
lalu peluk erat, mendusal di sela leher yang sejak hamil ini baunya
berubah jadi bau bayi.
Nanang terkekeh geli sambil tangannya genggam tangan Arjuna
yang melingkar di dekat perutnya. Dua orang ini tertawa.
Sepertinya supaya melupakan sejenak kalau sebenarnya mereka
berdua dibayang-bayangi banyak hal kurang baik belakangan.
Arjuna sibuk cumbu leher cintanya ini sampai kemudian
berhenti begitu pekikan kecil terdengar.
“Akh!”
“Dek?”

341
balada dosmud

Nanang meringis, mendongak tatap Arjuna seperti kesakitan.


Nanang genggam erat tangan suaminya, berharap ini cuma sakit
biasa yang bisa hilang dalam waktu sebentar.
Sayangnya nggak begitu …
Sakit ini tanda kalau sudah tiba waktunya.
Antara pilihan mana yang mau diutamakan.
Antara siapa yang akan bertahan.
Nanang sejak awal gak tahu, kalau Arjuna sudah diberi pilihan
buat pertahankan yang paling mau dipertahankan. Nanang sama
sekali gak tahu, tapi instingnya jelas gak bisa berbohong kalau
Nanang curiga.
Arjuna di luar tengah ambil minum— sengaja Nanang minta
supaya Nanang bisa tukar handphonenya dengan milik Arjuna
ditaruh di dalam tas. Supaya nanti, waktu Arjuna bicara bersama
Dokter, Nanang bisa dengar apa keputusan akhirnya.
Ada yang bilang, mencari tahu lebih dalam akan sesuatu itu gak
baik, karena sama dengan sengaja mengundang luka.
“kami ga berani menjamin pak, tapi kami akan usahakan yang
terbaik.”
“Suami saya. Tolong, prioritas saya adalah keselamatan suami saya.”
Kalimat-kalimat yang tiap katanya tusuk hati siapapun yang
dengar ini nyatanya sampai ke telinga lelaki yang terisak di ruang
rawat sendirian. Dari balik airpodsnya, Nanang dengar detail soal
apa-apa yang jadi pilihan Arjuna.

342
balada dosmud

Nanang sudah menangis— sebagaimana Arjuna yang begitu


masuk ruangan juga sudah memerah.
Arjuna gak bodoh buat sadar kalau ada yang gak beres dengan
tersematnya airpods di telinga suaminya— dan benar saja. Arjuna
gak sadar kalau handphone yang ada di kantong celananya ini
terpasang mode hearing— sehingga Nanang bisa dengar suara di
sekitar handphone dengan jelas.
Arjuna kecolongan.
“Mas … kok diem di pintu?”
Kenapa Arjuna gak mau Nanang tau kalau dirinya diberi
pilihan? Sesederhana Arjuna sudah tau jawaban apa yang akan
keluar dari bibir lelakinya ini.
Arjuna tau benar, kalau Nanang akan dengan sukarela
korbankan diri demi satu nyawa baru.
“Mas …”
Dan Arjuna bisa lebih dilema kalau sampai permohonan ini
disampaikan lelakinya secara langsung.
Arjuna cuma duduk dalam diam. Matanya gak lihat Nanang—
melainkan fokus ke tembok di depan. Gemeretak giginya
kedengaran kasar.
Nanang tau, Arjuna kesal karena kini ia tau apa yang lelaki itu
sembunyikan. Nanang juga tau, Arjuna enggan dengar kalimatnya
karena sudah pasti jawabannya nanti adalah pilihan yang yang gak
mau Arjuna ambil.

343
balada dosmud

“Mas … “ Nanang coba senyum, ambil genggam tangan Arjuna


buat dibawa ke pipinya yang sudah basah.
“Enggak.”
“Mas, katanya Mas sayang aku, kan? Katanya aku mau minta apa
aja pasti Mas turutin.”
Jemari Arjuna mengerat, air mukanya turut mengeras.
“Mas.”
Arjuna tau, kemana arah bicara Nanang.
“Mas, ini anaknya udah nunggu ketemu kamu, tau.”
“Gak usah ketemu kalau aku yang harus pisah sama kamu.”
Kalimat Arjuna tegas. Derai air mata jatuh ini kontras sekali
dengan netra yang sorotnya begitu tajam.
Nanang harus bagaimana bujuk Arjuna?
“Mas—“
“Na! Tolong pahami hatiku ini apa gak bisa?” Arjuna terisak,
kalimat lelaki ini tercekat di tenggorokan, “buat apa anaknya hidup
kalau gak ada kamu?!”
Dua orang ini sudah sama-sama di ujung tanduk. Sama-sama
gak tutupi apapun soal isi hati yang punya pilihan bertolak
belakang. Nanang senyum meski terisak, terus usap tangan gemetar
Arjuna sambil memohon.
“Mas, bantu aku boleh gak? Biar anaknya liat mas. Biar ketemu
sama mas.”

344
balada dosmud

Arjuna geleng kepalanya tanpa berkata apapun. Matanya basah


sudah. Hatinya sudah campur aduk banyak kemelut— marah kesal
sedih dan takut, semua jadi satu.
“Mas ..” Nanang teguk ludahnya, “ini anaknya Mas. Anaknya
Aku. Anaknya kita.”
Terus kenapa? Buat Arjuna, paling penting itu ya kamu, Na. —
Arjuna teguh pendirian. Gak mampu dipatahkan meski lelaki
kecintaannya ini memohon sampai sesak.
Na, tolong mengerti soal Aku yang nantinya belum tentu bisa hidup
kalau gak sama kamu.
***
Arjuna cuma bisa antar lelakinya sampai depan kamar operasi.
Cuma bisa beri cium lamat yang lama sekali itu sebagai perpisahan
sebelum nyala lampu ruang operasi menyala.
Arjuna tetap pada pendirian, selamatkan dua-duanya. Kalaupun
ada yang harus diselamatkan, maka tolong … selamatkan
Andanangnya.
Soal Anak. Iya, benar. Memang keputusan soal anak haruslah
kesepakatan berdua. Arjuna juga pada akhirnya ikuti maunya
Nanang dengan tetap minta selamatkan keduanya.
Tapi soal kamu, ini mutlak keputusan Arjuna. Kalau harus pilih
kamu selamat atau enggak, maka Arjuna pilih kamu selamat—
meski harus taruhkan nyawa malaikat kecil yang hidup
berbulan-bulan denganmu.

345
balada dosmud

Na, tolong pahami. Kalau mengurus anak itu harus ada aku dan
kamu, bukan cuma aku sendirian.
Na, tolong jangan benci aku. Andaikata nanti kamu terbangun dan
cuma temukan aku tanpa pernah bertemu si kecil yang
kemarin-kemarin tendang perut kamu.
Na, aku juga cuma manusia yang punya ego tinggi. Buatku, soal
Anak bukanlah prioritas kalau harus dibandingkannya sama kamu.
Aku gak bermaksud bunuh dia, apalagi gak sayang dia. Aku cuma
pilih yang terbaik— dan yang terbaik menurut kamu itu jelas sama
sekali bukan yang terbaik buatku.
Arjuna duduk dalam diam dan lantun harap yang terus terucap.
Nanang didalam sana sudah mulai nyaris lemas dalam bius yang
mulai kuasai tubuh.
Nak, bisa gak ya kita berdua selamat? Jangan cuma salah satu dari
kita.
Takdir, apakah bisa kali ini hal baik berpihak buat keluarga kecil
kami? Kami mau hidup bertiga. Mau terus ada buat satu sama lain
sampai menutup mata.
Mas, kalau aku gak buka mata setelah ini, aku titip bayi. Tolong
dijaga, di setiap aliran darahnya ini ada darahku juga. Di pahatan
wajahnya nanti pasti ada sedikit yang mirip sama aku juga.
Mas, jangan benci dia andaikata nanti yang keluar kamar operasi
cuma bayi sendirian. Dia gak salah apa-apa.

346
balada dosmud

Mas, aku cinta Mas. Aku sayang sama Mas. Gak tau akhirnya
nanti seperti apa, semoga baik aku atau Mas sama-sama dikuatkan
buat terima hasil akhirnya.

***

“Tuan Arjuna.”
Hening lorong ini buat satu panggilan ini terasa menakutkan.
“Selamat ..”
Tolong, jangan cuma satu.
“Anak anda lahir dengan selamat. Perempuan cantik dan sehat.”
Mata Arjuna membola perlahan seiring hening yang kembali
terasa— telinganya tolong jangan salah dengar. Itu bukan tanda
titik, kan? Kalimatnya gak berhenti kan?
Sayangnya, berhenti.
Arjuna diminta ikut berjalan, buat hampiri satu yang terbaring
di ranjang sana. Jantung Arjuna, rasanya baru mau berhenti.
“Mas…”
Sampai suara ini, buat degup jantungnya kembali terasa.
Suaminya … masih ada.
“Sini! Anaknya lucu banget, hehe.”
Nanang dalam kekehan kecilnya ini menangis haru. Di sana
Arjuna berjalan dengan rengekan kecil di bibir. Kemudian
bersimpuh di lantai dengan berpegang erat ke ranjang rawat.

347
balada dosmud

Kalimat syukur Arjuna ini terdengar. Mungkin sampai ke putri


mereka yang ada di dekapannya— yang juga ikut menangis riuh
iringi tangis dua orangtuanya.
Gak ada yang perlu pergi. Semuanya selamat. Semuanya hidup
dan bernafas di satu udara yang sama bersama.
Arjuna, Andanang … selamat.
Hidupnya masih terus bersama, ditambah peri cantik yang kini
buat keluarga kalian lengkap. Bertiga, sampai maut menyapa.

***

348
balada dosmud

bridge:
“Tapi sumpah deh ya, Mas. Emang bener ya kalo lahiran gitutuh
ada kasus yang suruh pilih prioritas? Aku kira di drama doang.”
“Yo ndak tau.”
“Kalaupun ya aku beneran hamil begitu, aku sih bakal marah
kalo Mas malah pilih anak.”
“Kenapa gitu?”
“Logikanya ya, buat apa anaknya lahir tapi ga ada aku? Kasian
dia. belum lagi kalo bapaknya nikah lagi. Malah punya orangtua tiri.
Belum tentu juga baik. Lagian ya, anak kan bisa bikin lagi anjir,
Mas. Pertahanin pabriknya lah! Produknya tinggal dirancang lagi
wkwk.”
Arjuna jitak kepala suaminya ini sambil bergerak ambil teh
hangat di meja. Haus cerita gak berhenti dari tadi.
“Gantian kamu sekarang.”
“Ah iya, ada nih. Mimpinya buat aku sedih sih, cuma emang
kaga masuk akal juga situasinya.”
“Sedih gimana?”
“Iya, soalnya di mimpi aku tuh, mas sok kuat banget. Kayak mau
jadi hero tanpa mau mikirin perasaan mas sendiri.”
“Lah piye?”
“Ceritanya fantasy! kita lagi terjebak di pulau yang mana bisa
selamat cuma beberapa orang.”

349
balada dosmud

Kisah ketiga ini soal Arjuna dan Andanang yang berusaha


selamat dari ancaman mati di sebuah pulau antah berantah. Soal
Arjuna yang mengorbankan dirinya cuma demi Andanangnya
selamat— tanpa mau mengerti bahwa meski Andanang selamat,
sama saja pada akhirnya mati karena gak bersama Arjuna.
Kisah ini semacam fantasy, benar-benar terasa mimpi … tapi dari
sini, Andanang paham kalau Arjuna juga punya rasa ketakutan
andaikata harus ditinggal sendirian tanpa teman.
Serta meyakinkan kembali kalau ada pilihan antara siapa siapa
yang harus lebih dulu diselamatkan, maka bagi mereka pilihan itu
bukanlah pilihan. Karena yang ada cuma dua; Selamat berdua, atau
mati berdua. cuma itu.
***

350
balada dosmud

Pilihan Bukan Pilihan


Nanang buka matanya. Mengerjap pelan terima sinaran mentari
yang sorot mukanya langsung tanpa penghalang. Pusing, rasanya
kepala seperti baru terbentur benda keras. Kering mencekik
lehernya ini dimuntahkan lewat batuk keras yang buat air mengalir
keluar.
“Keluarin, Dek. Batukin.” Ini Arjuna yang topang badan lemas
Nanang sambil tepuk-tepuk punggung pelan.
Perlahan Nanang sadar, mereka gak berada di tempat yang
familiar. Ini pulau sepi, dengan pepohonan kanan kiri dan
orang-orang yang juga duduk lemas di beberapa titik berbeda.

Ya Tuhan … Nanang baru ingat, semalam mereka tenggelam.

‘Pakai pelampung semua! Kapal bocor! Kapal bocor!’


Nanang sekelebat ingat sekencang apa rengkuhan Arjuna buat
jaga dari tarikan jatuh kapal. Mereka terombang ambil dan nyaris
terpisah di tengah selat yang jauh dari kehidupan.
‘Dek! Berenang ke pinggir Dek!’
Gelap malam itu buat Nanang gak tau dimana Arjuna. Suara
lelakinya sahut-sahutan bersama teriak ketakutan penumpang.
Beberapa juga panik, kadangkala justru tenggelemakna Nanang
dengan dalih mencoba cari pijakan buat bertahan di atas air.

351
balada dosmud

Lemas akibat gerak terus menerus dan dinginnya malam buat


kesadaran Nanang mengabur. Dimanfaatkan beberapa yang gak
peduli kemanusiaan dengan paksa buka pelampung di badan
Nanang buat dicuri.
Nanang pasrah, rasanya cuma bisa lihat cahaya bulan dan
kemudian terdengar teriak kesakitan kencang di belakang
tubuhnya. Itu suara orang yang tengah berusaha curi pelampungnya
namun dipukul mundur pukulan Arjuna.
Iya, Nanang ingat … setelahnya ia pingsan dan baru sadar
semenit lalu. Tengah merebah di atas dedaunan dan lemas.
“Dek? Bisa nafas? Ada yang sakit?”
Wajah Arjuna ini panik. Ada luka memar di kening dan pipi
lelaki ini. Nanang lihat baju Arjuna masih sama dari terakhir ia
lihat, gemetar tubuh lelaki ini juga sama seperti dirinya.
“Mas …” Nanang raba wajah suaminya. Hangat, nyaris panas.
Lelaki ini pasti masuk angin, entah sudah istirahat atau belum,
karena pasti semalam capek berenang bawa dirinya buat sampai
pulau ini.
Arjuna cium genggam tangan mereka, minta Nanang buat
bersandar di pohon besar ini dan tunggu dirinya cari sesuatu buat
ganjal perut sementara.
Tubuhnya lemas, Arjuna gak bohong. Supaya tetap hidup,
mereka harus isi perut. Seenggaknya bisa bertahan sampai bala
bantuan datang.

352
balada dosmud

Sejak pagi, Arjuna amati pulau ini buat mencari


kemungkinan-kemungkinan kecil yang bisa selamatkan mereka,
entah tanda-tanda kehidupan ataupun kapal buat seenggaknya
menyebrang selat.
Ini bukan perjalanan lintas samudera seperti Titanic, cuma selat
yang pisahkan dua pulau. harapan hidupnya masih tinggi. Namun
tetap gak mungkin juga bisa selamat kalau gak ada satupun yang
tahu mereka di sini.
Semua barang Arjuna ada di koper. Sandang, pangan dan alat
elektronik. Arjuna lihat tiang pemancar sinyal di kejauhan, di pulau
paling dekat dengan tempat mereka. Harusnya masih
memungkinkan andaikata telepon genggam ada di tangan.
“Mas, cari makanan? Di sana ada pohon buah pisang.” Itu satu
penumpang kapal yang juga terdampar di sini. Arjuna ucap
terimakasih lalu buru-buru ke tempat yang dimaksud.
Iya, ada. Arjuna ambil sebanyak mungkin buat bekal
seenggaknya dua harian. Iya, seenggaknya sampai Arjuna temukan
cara buat pulang.
***
Gak ada orang yang merencanakan celaka. Sebagaimana Arjuna
dan Nanang yang akhirnya justru terdampar di pulau antah
berantah ini.
Tujuan mereka adalah menghabiskan liburan akhir tahun di satu
resort yang terletak di satu pulau wisata. Rencana yang disusun

353
balada dosmud

rapih ini nyatanya kandas di tengah jalan dan berakhir bertaruh


nyawa yang entah sanggup bertahan atau enggak.
Nanang ini tau, badannya sekarang remuk. Paling takut kalau
asmanya justru kambuh saat ini. Badannya mengigil kena angin
malam. Bivak sederhana yang Arjuna buat ini gak sanggup halau
angin yang makin lama makin kencang.
Arjuna mendekat, dekap lelakinya ke pelukan supaya meredam
dingin yang makin menusuk. Mereka gak peduli meski tubuhnya
kotor sekalipun, karena kekalutan dan kekhawatiran jauh lebih
dominasi akal dan hati.
Mau sampai kapan begini? Arjuna sudah susuri pulau dan gak
ada tanda-tanda kehidupan. 2 hari lewat dan gak ada sama sekali
tanda-tanda bantuan. Beberapa yang gak kuat mulai tumbang.
Seperti beberapa lansia yang merebah tenang di bawah
pohoh-pohon itu—entah masih bernafas atau engga.
Arjuna juga mulai sadar badannya gak beres. Luka di kaki mulai
infeksi. Panas dingin badannya mulai terasa— tapi prioritas Arjuna
tetap lazuardinya lebih utama.
Arjuna gak punya apapun buat hangatkan tubuh meringkuk di
dekapannya ini. Coba hangatkan leher ini dengan uap nafasnya juga
gak mempan. Arjuna dan Nanang mungkin sama-sama lemah, tapi
Nanang lebih harus diwaspadai.
‘Jangan kambuh sekarang … jangan, Tuhan.’

354
balada dosmud

Arjuna gak tau harus berbuat apa kalau asma suaminya kambuh
sekarang.
“Mas.”
“Iya.”
“Kalo gak selamat, gimana?”
Arjuna gak beri jawaban apapun selain pelukan erat.
“Mas.”
“Iya?”
“Mas istirahat … jangan urus aku terus.”
Arjuna mengangguk. Gak berniat beri jawaban apapun— ya
karena memang gak ada kalimat penenang buat mereka yang
posisinya darurat begini.
Satu yang bisa Arjuna harapkan hanya koper milik mereka.
Semoga ada keajaiban hanyut dan terdampar di sini. Setidaknya,
harapan terakhir buat hubungi daratan masih bisa dilakukan.
Namun itu juga hanya harapan, karena nyatanya lebih memungkinkan
mereka buat mati di sini dibandingkan selamat.
***
Nanang tau permainan yang punya pertanyaan— apa yang akan
kamu bawa andaikata terdampar di pulau. Dulu a jawab dengan
lantang Handphone dan uang.
“Dek, ini makan dulu. Aku masih tak nyari beberapa lagi.
Minumnya di itu batok kelapa. Airnya dari embun itu. Gak
apa-apa.”

355
balada dosmud

Tapi Nanang mau ubah jawabannya kemarin itu dan dengan


lantang akan ia jawab— bawa Arjuna.
Nanang tau Arjuna ini mandiri dan kuat, tapi juga gak sangka
ilmu bertahan hidupnya cukup hebat. Buat bivak darurat, suling air
pantai jadi air minum, berburu tumbuhan yang memungkinkan
buat dimakan dari hutan. Semua itu, Arjuna yang lakukan.
Nanang kasihan sama mereka-mereka yang gak punya Arjuna.
Pasti kebingungan sekali ya?
Ribut-ribut di ujung sana juga tarik perhatian. Rupanya ada satu
koper tak bertuan yang jadi rebutan. Arjuna juga di sana, dan
kembali dengan beberapa lembar pakaian dan selimut cukup tebal.
Suaminya ini sibuk, sampai Nanang perlu tarik dan peluk supaya
bisa istirahat sebentar.
“Mas istirahat … aku gak punya siapa-siapa lagi kalo Mas
kenapa-kenapa.” Nanang peluk Arjuna makin erat. Mulanya cuma
diam, tapi kemudian Arjuna juga turut balas dan usap
punggungnya.
Dua yang saling raup tenaga dari masing-masing jiwa ini
terdiam. Jauh di lubuk hati sama-sama tersentil buat kalimat — gak
punya siapapun di sini— yang Nanang bilang.
Kalau boleh jujur, Nanang sudah gak peduli selamat. Badannya
juga sudah gak bisa kompromi buat bertahan. Seenggaknya
kalaupun harus mati disini, tolong buat ia mati di sisi lelakinya— di
sisi Arjuna.

356
balada dosmud

***
Arini masih terus bolak balik pelabuhan dan Tim SAR. Ditemani
orang tua Nanang. Raut kekhawatiran wanita ini gak mengendur 3
hari belakangan. Sampai detik ini sang kakak masih juga gak
ditemukan.
Katanya juga, meski memang kapal itu hilang cuma di selat, tapi
tetap saja kecil kemungkinan ada yang selamat— mengingat 3 hari
sudah lewat dan sama sekali belum ada jejak.
“Kita praduga dari keadaan ya mba. Cuaca ekstrim, belum lagi
kalaupun terdampar, korban pasti gak ada asupan nutrisi dan cuma
lemas. Kami berusaha, semaksimal mungkin … tapi kapal yang
Kakak anda tumpangi ini keluar dari jalur koordinat yang sudah
seharusnya. Hingga perlu usaha lebih buat lacak.”
Takut, jujur di hati semua yang menanti kabar ini cuma satu
kata itu buat deskripsikan perasaan. Arini takut, sang kakak gak
kembali .. Pun orangtua Nanang yang sama-sama cuma bisa berdoa.
Kalaupun … kalaupun kemungkinan hidupnya cuma 99%, maka
Arini mau berpegang teguh pada 1% tersisa. Arini yakin, Arjuna
pasti berusaha sampai titik darah penghabisan buat selamat.
***
Nanang tau pasti kalau Arjuna ini gak berhenti cari cara supaya
bisa pulang. Terus cari cara mulai dari sesederhana cari koper
hanyut hingga paling ga memungkinkan seperti mau coba buat
kapal-kapalan dari kayu.

357
balada dosmud

Nanang tau juga kalau Arjuna lelah, tapi Nanang gak berani
tegur apalagi asal menyepelekan usaha Arjuna— karena sibuknya
Arjuna ini ya buat selamatkan mereka.
Nanang cuma bisa bantu dengan berusaha gak menambah beban
Arjuna. Bisa sebenarnya Nanang jalan ikut berburu makanan, tapi
Nanang tau pasti akan lebih merepotkan Arjuna kalau Asma justru
kambuh karena lelah.
dari 20 orang yang terdampar, miris sekali beberapa lansia
seperti sudah gak bernyawa. Ada isak tangis kemarin malam dan
esoknya Nanang gak lagi lihat jasadnya— mungkin dibuang ke
dalam pulau.
Beberapa lagi sama seperti Arjuna, berusaha keras supaya
menemukan jalan pulang— dan pagi ini, keributan terlihat di depan
sana.
‘Kapal! kapal!’
‘Ayo Naik!’
Semua yang masih punya tenaga ini berenang, berupaya ke
tengah buat capai kapal yang lewat tapi seperti gak berkenan buat
mendekat. Mungkin khawatir overload, jadi lebih baik menjauh dan
seleksi lewat siapa yang mampu capai kapal maka itu yang selamat.
Egois manusia mulai terlihat. Anak yang tinggalkan orangtua.
Suami yang tinggalkan istri yang meraung-raung sembari peluk
anak. Semuanya Nanang rekam dengan mata kepala sampai
kemudian Arjuna tutupi dengan pelukan.

358
balada dosmud

Arjuna peluk erat, seperti gak mau Nanang kepikiran lebih lagi.
Karena harusnya, Arjuna punya kesempatan buat selamat. Lelaki ini
perenang handal.
“Mas itu—”
“Enggak.”
Arjuna gak mau, karena Nanang gak punya cukup tenaga buat
berenang ke tengah laut sana. Arjuna sendiri juga gak jamin
tenaganya yang tinggal sedikit tersisa ini mampu bawa Nanang ke
sana.
“Biar aja, biar yang selamat itu yang kabari ke darat. Kita cari
cara lain.” Arjuna cium kening suaminya ini lamat, lama sekali …
rasanya seperti coba tenangkan mereka berdua.
Tangan Nanang di dada arjuna turun, merambat pelan peluk
pinggang lelaki yang Nanang gak peduli mau meski kotor terkena
panas pantai dan tanah hutan— ia gak peduli, karena cuma pelukan
ini satu-satunya semangat hidup yang Nanang punya. Ayo bertahan,
jangan tumbang.
***
Sepi yang terasa sejak perginya orang-orang pagi tadi ini buat
berisik yang cuma sedikit ini bangunkan Nanang dari tidur.
Matanya coba fokus— kapal?
‘iya, itu suami saya.’

359
balada dosmud

Nanang lihat Arjuna tunjuk dirinya sambil bicara ke satu


bapak-bapak yang cuma berdua di atas kapal. Nanang gak tau apa
yang dibicarakan— tapi Arjuna kelihatan senang.
Tanpa pembicaraan berarti, Arjuna lari lalu gendong Nanang
sambil sepatah-patah terengah bilang— bisa pulang dek!
Nanang ditaruh berbaring di kapal, badan lemasnya sejak
kemarin ini dijaga betul supaya gak banyak gerak, simpan tenaga
buat hal-hal darurat andaikata butuh mobilisasi seperti hujan lebat.
Jadi sekarang juga ia cuma diam, tunggu Arjunanya buat naik.
Kapal ini cuma muat 4 orang. harusnya pas buat mereka. Iya, pas
buat bawa Arjuna dan Nanang ikut serta— tapi kenapa Mas cuma
kasih uang? dan gak ikut naik?
“Mas?” Binar mata Nanang ini tangkap pendar lain di netra
Arjuna.
“Dek, ini sampai pelabuhan nanti kamu diantar bapaknya ke
puskesmas setempat ya? Kamu langsung telepon rumah. Kabari
lokasi di sini kalau perlu buat keterangan.” Buru-buru Arjun bicara,
gak beri jeda buat Nanang selak dan berakhir ciuman di kening.
Nanang rasa cium ini lepas, netra mereka tertaut, “Dek, hati-hati
di jalan …” kalimat terakhir Arjuna ini buat Nanang sadar satu hal—
Arjuna, gak ikut pulang.
“Berangkat Pak!”
Mesin secepat kilat menyala dan melaju.
Enggak …. enggak mungkin? Mas Juna?

360
balada dosmud

Arjuna rasa sebagian jiwanya dibawa pergi. Netranya mengabut


terima jarak yang semakin jauh. Arjuna rasanya bahagia betul lihat
ada satu kapal yang subuh tadi merapat. Katanya dapat info dari
kapal sebelumnya.
‘satu orang 2 juta. cash’
Namun piciknya manusia memang luar biasa. Arjuna pegang
satu-satunya uang yang sengaja ditaruh kantong celana sejak awal.
Pas sekali. 2 juta. Itu berarti cuma satu yang bisa naik.
Tanpa harus diminta, jelas Arjuna pilih suaminya buat dibawa
pulang. Arjuna biar menyusul, nanti kalau Nanang sampai darat
dan beri kabar ke pihak berwajib. Meski gak ada jaminan berapa
rentang waktu buat Arjuna selamat.
“Dek …” deru nafas Arjuna ini naik turun, baru mau berbalik
buat kembali meratapi keadaan tapi netranya seketika membola
kaget, “DEK!”
Itu Nanang, yang meloncat turun ke laut pas sekali sebelum
batas tengah. Batas aman buat berenang— tapi demi tuhan! Na, kamu
lagi sakit!
Arjuna gak peduli, dihantamnya gelombang buat bawa suaminya
yang susah payah berenang ke tepian ini. Mereka berdua memang
perenang handal, tapi ini laut! Gak semudah kolam renang. Arjuna
harus telan banyak air laut sampai akhirnya bawa genggam tangan
Nanang dan dibawa cepat ke dataran buat yang bisa dipijak kaki.

361
balada dosmud

“Kenapa turun!” Arjuna membentak tanpa sadar. matanya merah


tanda emosinya luar biasa.
“Mas juga kenapa tinggalin aku!” Balas Nanang gak kalah sengit.
“Kamu bisa selamat! Ikut aja! Harusnya—”
“Apa?! Harusnya apa?! Kenapa ngegampangin gitu sih?!”
“Gampangin apa?! Aku mau kau kamu selamat! Kamu pulang!”
“Terus masnya sama siapa?!”
Sahut sahutan teriak ini mengaung di luasnya langit. Arjuna
bergeming. Matanya bergetar lirikannya gak fokus tatap netra
cantik yang riuh airmatanya mengalir sudah.
“Kalo aku selamat terus Mas di sini sama siapa?! Mas juga takut
kan sendirian?! Kenapa sih?!“
Nanang tepis tangan Arjuna. Mulutnya masih mau bicara.
Hatinya masih sesak kalau ingat lagi tadi hampir terpisah jauh dari
Arjuna.
“Mas pilih tinggal. Supaya aku selamat— Iya, paham. Mungkin
aku bisa kasih kabar ke darat kalau mas ada di sini— TAPI SIAPA
YANG BERANI JAMIN BEGITU AKU KESINI LAGI MAS
MASIH HIDUP?! SIAPA?!”
Nanang gak tau susunan kalimat bagaimana lagi yang bisa bantu
utarakan kalau Arjuna kali ini kelewatan.
“Mas mau bikin aku hidup penuh penyesalan sampai mati?! Iya?!
Mas! Bahkan kalau ada pilihan antara siapa siapa yang harus

362
balada dosmud

diselamatkan antara aku atau mas—itu tuh sama sekali bukan


pilihan!”
Arjuna yang mengorbankan dirinya cuma demi Andanangnya
selamat— tanpa mau mengerti bahwa meski Andanang selamat,
sama saja pada akhirnya mati karena gak bersama Arjuna.
Bahkan kalau harus jalani sisa hari di pulau antah berantah ini
berdua juga gak apa-apa, karena janji mereka kan memang hidup
berdua sampai mati.
Arjuna ini mau yang terbaik buat Nanang, tapi Arjuna juga lupa
kalau Nanang lebih kenal Arjuna bahkan dibanding diri Arjuna
sendiri.
Arjuna gemetar, kalimat tinggi suaminya yang gak pernah
membentak ini masuk jauh ke ujung hati.
Usapan tangan dingin Nanang di pipi Arjuna ini sadarkan
dirinya sekali lagi, bahwa lelaki ini— Lazuardinya yang memilih
kembali disaat Arjuna ikhlaskan buat pergi— memang benar-benar
yang paling mengerti.
Mengerti, bahwa secuil hatinya juga mau selamat.
Mengerti, bahwa sebagian dirinya juga butuh teman buat temani
sepi di sini.
Mengerti, bahwa jauh di balik sikap sok pahlawannya tadi, ada
sebagian diri yang menangis tersedu-sedu tanpa siapapun ketahui.
Nanang peluk Arjuna. Menangis terisak di pelukan lelaki ini,
“Mas itu p—pasti takut …. pasti b—bingung, apalagi tambah harus

363
balada dosmud

sendirian, Mas …” sulit sekali buat Nanang bicara, tapi Arjuna harus
paham kalau bukan begini cara terbaik yang mereka punya.
“Dek ..”
“J—jangan … jangan pernah tinggalin aku lagi kaya tadi! Jangan,
Mas …” Nanang terisak gak peduli suara yang mulai habis
sekalipun. Tangannya remat kerah jaket Arjuna kuat-kuat.
Kalimat-kalimat Nanang ini seperti telanjangi hati Arjuna
sedikit demi sedikit sampai terbuka sempurna— karena apa yang
Nanang ucap, semuanya benar.
Nyatanya, tadi … tadi sekali waktu kapal yang bawa Nanang mau
menjauh, Arjuna memang ketakutan. Rasanya, seperti benar-benar
sendirian.
Pada akhirnya Arjuna juga cuma manusia, yang banyak
takutnya. Egonya mau sekali buat bilang — Dek, temenin Mas ya —
tapi gak bisa. Arjuna gak mau tawarkan penderitaan ke permatanya.
Arjuna gak bisa berikan kenyamanan atau keamanan di sini, lebih
baik Nanang pergi meski tanpa Arjuna.
Itu kata logikanya, tapi hatinya jauh berbeda. Arjuna juga butuh
Andanang. Jadi, dengan Nanang yang sukarela kembali ini, jujur
saja, ada secercah senang dan haru yang tutup segala ketakutannya.
“Tapi, Mas gak bisa jamin apapun buat kamu di sini, Dek.”
Arjuna, kamu tau gak? Nanang lebih pilih mati di pelukan kamu
dibanding harus hidup sendirian. Bahkan walaupun akhirnya kamu

364
balada dosmud

duluan yang gak sanggup bertahan, ya gak apa-apa. Biar kamu juga
tutup mata di pelukan Nanang.
Gak apa-apa, meski akhirnya berakhir tragis juga Nanang gak
masalah, yang penting tolong jangan pernah begini lagi … jangan
korbankan diri sendiri cuma demi dirinya. Tolong kalau berjuang
dan bertahan, harus berdua. Tolong ya, Arjunang, Tolong libatkan
Nanang, apapun kondisi dan situasinya.
***
Arjuna sudah jauh lebih tenang meski semua yang bisa
dilakukan cuma duduk di tempat beralaskan pohon— asalkan
Nanangnya tertidur di pelukannya. Di dadanya.
Dramatisnya kejadian tadi pagi berakhir dengan bicara berdua
meski yang dibicarakan juga mulai gak jelas arahnya. Arjuna juga
sudah berpasrah. Benar kata Nanang, gak ada yang bisa dipilih
kalau pilihannya adalah antara mereka berdua.
“Mas …”
“Iya.”
“Aku sayang banget sama Mas.”
“Meskipun aku gak mandi berhari-hari?”
“Iya!”
Mereka tertawa. Coba halau angin malam dengan suasana
hangat. Angin malam yang makin hari makin gak terasa menusuk
saking terbiasa.

365
balada dosmud

Na, jauh di hati Arjuna, dia ini mau meminta maaf— maaf
karena gak bisa beri kamu tempat tidur hangat, pakaian yang layak dan
isi perut kamu dengan makanan yang gak bikin lemas.
Juga mau sekali ucap terimakasih— terimakasih, karena kamu
benar-benar buktikan kalau bersama dalam suka maupun duka atau sakit
maupun sehat itu nyata.
“Mas.”
“Hm?”
“Peluk lagi …”
Rengkuhan Arjuna mengerat. Andanangnya ini sudah lemas
sekali. Cuma bisa bersandar di badan dan gak tau … mungkin
mereka berdua cuma tinggal tunggu waktu buat sama-sama ‘pergi’.
Nanang terpejam, tapi airmatanya mengalir pelan.
Bukan … bukan takut mati, tapi membayangkan andai tadi gak
nekat turun, pasti Arjuna lewati malam ini sendiri.
Mas, aku sama sekali gak nyesel balik ke kamu. Aku masih bisa denger
suara kamu, bisa dipeluk kamu. Meski badan aku sekarang mati rasa juga
gak peduli. Aku butuh kamu.
Dua yang bagi hangat dalam peluk ini sama-sama menyedihkan,
tapi gak ada terbesit rasa buat mengasihani diri. Mereka bahagia,
dengan terus ada meski gak ada jaminan esok siapa yang berduka.
Gak ada sama sekali yang bicara, masing-masing sibuk dengar
suara alam dan debur ombak. Dilingkupi gelap malam sampai
kemudian terbersit sinar mentari yang malu-malu datang.

366
balada dosmud

Di tengah jiwa yang mulai mau lepas ke peraduan, di tengah


hiruk pikuk alam dan langit biru yang masihlah gelap, Arjuna rasa
satu titik kuning sinari wajah.
‘Mas Juna!’
Arjuna cuma lagi halu ya? Iya … pasti halusinasi.
Gak mungkin sinar kuning itu makin terang mendekat,
bersamaan dengan kapal yang makin nyata wujudnya.
Gak mungkin …

“Hehe, bapaknya beneran nagih uang kayaknya nanti.”


Arjuna bingung. Nanang dengan suara lemas dan lirih ini bicara,
pelan sekali,
“Waktu di kapal, bapaknya bilang katanya Mas bayar supaya aku
bisa dibawa pergi, tapi karena aku mau loncat balik ke Mas. Aku
bilang ke bapaknya, kalo berhasil bawa polisi ke sini, nominalnya
aku kali 20.”
Nominalnya 2 juta, dikali 20 berarti ..
“Hehe, ATM mas abis deh.”
Arjuna perlahan sadar, diam lalu terkekeh lemas … astaga. ini
lucu dan membahagiakan buat di dengar.
“Dek.”
“Iya ..”
“Selamat kita ..”
“Iya. Gak jadi mati ya.”

367
balada dosmud

Arini gak tau apa yang diketawakan dua yang saling peluk di
bawah pohon sana, tapi pasti mereka rasa satu hal yang sama
sebagaimana Arini dan Bu Ayun rasa saat ini. Rasa itu adalah, Lega.
Pulau ini selamanya simpan cerita, kalau pernah ada satu kisah
cinta yang dramatis seperti drama, tapi juga realistis buat dirasa.
Bahwa jika benar cinta, memang gak lagi ada yang namanya aku
atau kamu, melainkan kita.
Jadi, kalau ada pilihan antara siapa siapa yang harus lebih dulu
diselamatkan, maka bagi mereka pilihan itu bukanlah pilihan. Karena
yang ada cuma dua; selamat berdua, atau mati berdua. cuma itu.
***

368
balada dosmud

bridge:

“Loh ya tapi aku itu bener loh mikirnya. Kamu ke darat, panggil
polisi lah terus ya aku selamat.”
“Ih, paan sih, aku tuh sampe masih nyesek loh ini mikirin
sesedih apa mas ditinggal sendiran. Aku tuh kayaknya puas banget
gitu neriakin mas di mimpi— kek apaan sih lu? lu juga takut kan?
yaudah takut berdua! jangan sendirian— ah gatau ah!”
Arjuna tertawa terima buntelan yang masuk ke pelukan buat
selesaikan tangisan yang muncul sejak awal cerita.
“Gak mau kalo hidupnya gak sama mas ..”
“Iya, sama aku kan ini?”
Arjuna mungkin tertawa kecil, tapi jauh di dasar hati gak kalah
sendu dibanding suaminya ini.
“Aku sayang mas pokoknya..” Nanang bergumam sambil bentuk
lukisan acak di dada Arjuna. Lucu, persis anak kecil merajuk.
“Iya, iya.” Arjuna cuma bisa khidmat iyakan sambil bersandar
dagu di pucuk kepala cintanya.
“Lanjut gak, Mas?”
“Ada, ini satu mimpiku pualing baru.”
“Soal?”
Arjuna menyeringai, “gak perlu preview, langsung denger aja.”
***

369
balada dosmud

Imperfect
Kalau bisa memohon, Arjuna mau terus berdoa semoga ini cuma
mimpi. Semoga hari-hari berat setengah tahun belakangan ini
punya ujung yakni bangun tidur yang begitu lega karena sadar
semua ini cuma fana.
Harapan Arjuna, begitu. Namun kali kesekian pulang dan cuma
temukan Nanang yang duduk di pojokan dekat balkon kamar ini
lagi-lagi buat harapannya putus— karena nyatanya, semua ini
masihlah terasa nyata buat sekedar dibilang cuma mimpi.
“Mas?”
Arjuna tersenyum. Lazuardinya yang semula beri raut waspda
itu kini tersenyum. Tangan hangat itu raba wajah Arjuna sampai
pas benar buat ditangkup.
“Mas gak ngetok pintu ih! Aku kaget tau.” Dumalan lucu ini
sekali lagi bawa senyum Arjuna ke permukaan. Sekali gerak, ia
bawa Nanang ke gendongan buat diajak duduk di kasur dengan
bersandarkan tubuhnya.
Jam di dinding tepat pukul 5 sore, dan sinar keemasan yang
masuk dari celah jendela ini buat Arjuna kesilauan.
“Mas, menurut Mas,sore hari ini gimana?”
“Cantik, mataharinya cerah, ini sampai silau begini.” Arjuna
terpejam sambil bersandar dagu di pundak Nanang.

370
balada dosmud

“Cantik banget ya?”


“Iya.”
“Mas.”
“Hm?”
Tangan Nanang terangkat naik, raba wajah Arjuna yang masih
setia bersandar pundaknya, “kapan cukuran, kasar banget dah.”
Arjuna tersenyum, “iya, nanti, belum sempat.”
Terbenam matahari mulai selesai, gelap mulai datang, temaram
lampu mulai terlihat lebih bersinar. Pantulan lampu sorot kamar
buat wajah Nanang makin terang, makin indah terlihat.
Arjuna hela nafas, ambil tangan Nanang di pipinya buat
digenggam dan dicium perlahan.
“Makan malem ya. Mas bawakan kesini aja.”
“Enggak! Makan bareng aja. Aku cuci muka dulu. Tungguin ya?”
Arjuna berusaha buat baik-baik saja … tapi tertatih langkah
lelakinya ke kamar mandi ini sekali lagi buat kesadaran Arjuna
kembali ke permukaan.
“Ih! Aduh nabrak, hehe.”
Arjuna sadar, bahwa gak pernah lagi ada yang namanya baik-baik
saja dalam hidupnya setelah Netra cantik kecintaannya itu gak lagi
hidup dan memillih diam diselimuti gelap … begitu gelap
sampai-sampai buat berjalan aja gak bisa kalau gak lepas dari
tongkat.

371
balada dosmud

***
“Mas.”
“Hm?”
“Aku takut tau.”
“Takut apa?”
“Takut lama-lama lupa muka Mas gimana.”
Nanang lupa bentuk sore bagaimana. Nanang juga lupa bentuk
pagi bagaimana. Dari segala hal yang mulai terlupa, Nanang paling
takut satu hal; lupa soal bentuk rupa Arjuna—karena sejak gelap
kuasai netranya, sejak itu satu persatu soal dunia mulai pudar dari
benak.

Gelap ini, adalah gelap yang gak pernah sekalipun Nanang


rencanakan buat hadir.

‘Mas? Mati lampu apa kenapa?! Kok aku gak liat apa-apa?!’
Gelap yang hadir dari benturan di ujung sore ia jemput Arjuna
buat rayakan anniversary ke-2.
‘Apa gak ada donor mata, dok?’
‘Sulit, Pak Arjuna. Sangat sulit.’
Hari itu, dunia Nanang runtuh. Hatinya dibawa jatuh ke dasar
palung kekecewaan yang cuma bisa diluapkan lewat tangis
semalaman.
‘Takut, Mas! Gelap banget!’

372
balada dosmud

Arjuna juga sama.


Sama-sama jatuh dan bingung. Cuma bisa peluk erat Nanang
sampai jatuh tertidur. Sejak hari itu, gak lagi ada binar cantik yang
tiap harinya selalu Arjuna rindu gemerlap kilaunya. Karena yang
tersisa cuma netra sayu yang gak lagi bersinar.
‘Mas … aku cacat ya.’
Gak ada yang mampu buat Arjuna menangis, selain
kalimat-kalimat sederhana yang gak bisa Arjuna beri jawaban.
‘Mas … bakal ninggalin aku gak?’
Gak pernah juga Arjuna semarah itu cuma karena satu kalimat
tanya.
‘Ih, cakep cakep mauan sama orang buta’
Dan gak pernah sekalipun Arjuna mau baku hantam kalau bukan
karena celetukan kurang ajar di sore pertama Nanang mau diajak
keluar rumah.
Entah berapa airmata, berapa kesedihan dan kekalutan yang
sudah Arjuna dan Nanang lewati buat sampai di titik ini— titik
merelakan bahwa takdirnya ya memang begini.
Soal Andanang yang harus berkawan dengan gelap entah
sampai kapan
“Sama sekali gak bisa diusahakan ya?”
“Bisa Arjuna, tapi itu … jangan berharap dulu karena
kemungkinannya kecil.” Dokter ini tautkan jemari, tatap rekan
sejawat dosen di depannya ini mendesah kecewa.

373
balada dosmud

Kecewa, karena lagi-lagi selalu sama. Soal belum adanya


kepastian donor mata yang bisa Arjuna dapat.
“Sejauh ini, suamimu gimana?”
Arjuna bersandar lelah di kursi menengadah, tatap langi-langit
serba putih ini dalam sorot mata sayu. Mengingat lagi bulan ke
bulan bagaimana Nanang beranjak dari keterpurukan.
“Dia itu hebat, berusaha banget gak mau buat aku sedih.”
Bulan pertama, mungkin berat … tapi Nanang mau beranjak di
sejak bulan kedua dan terus berlanjut hingga hari ini.
Belajar buat adaptasi dengan tongkat penunjuk jalan— dan
berakhir bisa berjalan jalan di sekitar rumah tanpa bantuan.
Belajar buat merubah semua akses hidup supaya lebih ramah
buat diri sendiri, seperti merubah tata cara menelpon dengan
panggilan cepat, merubah tatanan kamar supaya gak terantuk dan
terluka benda keras — dan berakhir terbiasa dengan cara-cara
tersebut.
“Dia banyak belajar, supaya gak melulu repotkan aku katanya.”
“Kamu kerepotan?”
Arjuna tengok rekannya ini, beri seringai kecil sebelum dengan
lugas jawab, “minta nyawaku aja mesti tak kasih, kok ya bisa aku
ngerasa kerepotan?”
Pinta apapun dari Arjuna, silahkan … tapi Nanang tetaplah
Nanang yang gak pernah mau terpuruk di satu keadaan tanpa
beranjak.

374
balada dosmud

‘Mas panas banget badannya! Aku ambilin obat dulu ya!’


‘Mas tadi itu aku bikinin roti! Hehe, maafin kalo berantakan yak!’
Nanang gak pernah tahu, kalau di setiap gerak lelaki itu, ada
Arjuna yang selalu usap airmata buat situasi yang makin coba
direlakan justru makin buat Arjuna terluka.
Pernah sekali, Arjuna larang Nanang buat bergerak dan bantu
Arjuna di keseharian, namun justru berakhir dengan Arjuna yang
lukai hati lelakinya tanpa sengaja.
‘Mas tuh bikin aku ngerasa gak berguna.’
Cuma perkara Arjuna yang tegaskan soal Nanang yang gak perlu
kerepotan tangani Arjuna yang sakit, tapi dari situlah Arjuna sadar
bahwa itu sama saja dirinya memandang remeh Nanang dan
keadaan lelakinya.
Arjuna cuma bisa beri pelukan dan meminta maaf terus menerus
semalaman. Serta berjanji gak akan membedakan perlakuan
sebagaimana Nanang sewaktu masih bisa melihat dahulu.
Meski harus tahan sakit di hati waktu Nanang perlahan berjalan
cuma buat sekedar ambilkan obat di laci, atau beberapa kali
khawatir Nanang tersandung waktu mau bantu carikan barang
Arjuna di kamar, setidaknya itu semua bisa buat rasa percaya diri
Nanang gak menghilang. Rasa percaya kalau Nanang masihlah Arjuna
butuhkan.

375
balada dosmud

Arjuna butuh Nanang buat tetap hidup, butuh lelakinya itu buat
ceritakan hari-hari yang akan jauh lebih berat kalau sehari gak lihat
Lazuardinya.
“Aku udah tanya banyak relasiku, semoga ada kabar baik
secepatnya ya, Jun.” Rekan Arjuna ini tepuk pundak Arjuna
sebelum akhirnya pamit buat pulang.
Langkah gontai Arjuna ini karena banyak sekali pikiran di
benak. Ada banyak perandaian yang selalu ribut terdengar.
Andaikan hari itu Nanang gak perlu jemput Arjuna dan berakhir
terserempet mobil di jalan. Pasti hari ini mereka masihlah mereka
yang jahil dan ribut satu sama lain.
Andaikan waktu bisa diputar, mungkin yang sambut dirinya di
kamar begini ini bukanlah raut lelakinya yang datar tak bergeming.
Meski Nanang berusaha kuat, tapi bukan sekali dua kali Arjuna
pergoki suaminya itu merenung sendiri di keheningan kamar.
Seperti sore ini.
Arjuna bersimpuh di hadapan Nanang. Ada bercak airmata di
pelupuk mata cantik kecintaanya.
“Kamu kenapa?”
Nanang biasanya cepat perbaiki raut wajah, beri raut ceria
supaya buat suasana baik-baik saja— namun kali ini, berbeda.
Wajah tirus ini mencebik, seperti sedih yang bingung bagaimana
caranya diutarakan.

376
balada dosmud

“Ada yang ganggu kamu?” Selidik Arjuna lagi. Pasalnya raut


wajah begini ini terakhir kali Arjuna temukan waktu ada yang asal
celetuk soal kekurangan Nanang di taman kota.
Arjuna tau, ada yang gak beres.
“Mas, aku tuh gak nyusahin Mas kan ya? Enggak kan?”
“Siapa yang ganggu kamu?”
“Aku kan juga berusaha yak biar bisa hidup normal meski gak
bisa liat begini ….”
“Siapa yang ganggu kamu?!”
“Aku enggak nyusahin kok, soalnya Mas aja sering bilang aku
hebat banget bisa berusaha buat mandiri, ya kan yak?”
Nanang, kamu tau gak ini Arjuna sudah gemetar tahan emosi? Kamu
juga tau gak ya, kalau hati lelakimu ini sudah jatuh hancur berkeping
lihat kamu yang masih berusaha kuat begini ini?
“Mas?”
Bahkan rabaan tangan kamu ini dibiarkan buat sentuh wajah
yang kerasnya luar biasa.
Kamu juga tau gak ya? kalau jauh di hati Arjuna ini mau beri banyak
pembalasan buat siapapun yang kurang ajar jatuhkan semangat dan rasa
percaya diri kamu.
“Aku gak maksud bikin Mas sedih, cuma mau tanya aja. Iya kan,
aku gak nyusahin kan ya? Tadi tuh aku habis denger orang
ngomong jelek soal aku. Ya biasalah, katanya aku nyusahin doang,

377
balada dosmud

dih padahal Mas aja tuh gak pernah kok bilang begitu! Hehe, ih mas
jangan diem aja dong.”
Maaf, Na. Maaf karena kali ini yang disakiti mereka itu ya kamu.
Harusnya kamu gak perlu dengar apapun kalimat jahat orang-orang.
Kamu hebat, kamu kuat sekali, mereka gak paham seberapa juang kamu
buat bangkit dari keadaan.
“Mas ..”
“Enggak, gak ada yang nyusahin. Kamu hebat kok. Mereka cuma
sok tau.”
“Iya yak! Emang kok, dasar julid hahaha!”
Rengkuhan Arjuna di pinggang Nanang mengerat, sekeras
rematan di hati begitu satu kalimat Nanang barusan menguar.
Ya Tuhan, Arjuna rindu bersitatap dengan netra yang biasanya
fokus buat dirinya ini.
Maaf, buat sekarang cuma bisa bantu tenangkan hati kamu lewat
peluk … semoga besok mas bisa kasih lagi ketenangan di hidup kamu
lewat kemampuan buat melihat dunia ya? Mas sedang— dan akan terus
berusaha.
***

Marahnya Arjuna Putra Mahaprana gak pernah semenggebu dan


sekasar ini; buka pintu gak pakai salam, masuk gak ada etika
langsung minta ketemu buat bicara— apalagi ini ke notabene
saudara.

378
balada dosmud

“Ya opo, Juna? Dateng—”


“Bude yang kenapa!” Suara Arjuna menggema. Bungkam semua
yang ada di rumah besar berisikan satu keluarga.
Arjuna maju selangkah, tatap nanar Bude yang seringkali jadi
sebab luka hatinya dan juga Andanang.
Dulu sekali, Arjuna pernah dimaki-maki dan disalahkan karena
dituduh jadi sebab meninggalnya Aksara.
Beberapa tahun lalu, Arjuna juga dipojokan soal perkara
memilih suami yang katanya gak sekufu, sampai akhirnya Nanang
pilih buat S2 demi selamatkan harga diri Arjuna.
Sekarang? Apa harus sampai bertandang ke rumah cuma buat
lukai hati lelakinya itu dengan berkata yang kurang pantas?
“Bude benci sama aku? Aku aja yang yang dihina! Gak perlu
sampai turun ke suamiku!” Mata Arjuna tajam bak belati siap tusuk
hati siapapun yang melihat. Gemetar tubuhnya ini kembali datang
akibat berkumpul lagi kalimat-kalimat Arini yang ceritakan detail
soal Bude dan kalimat tajamnya di kunjungan awal pagi dua hari
lalu.
“Jadi manusia mbok ya jangan sampai lupa kalau punya hati!”
“Arjun—”
“Diem kamu!” Arjuna tunjuk sepupunya yang coba lindungi
sang ibu, lalu kembali ke Bude yang seperti sok kuat meski jauh di
hati pasti gemetar, “apa? Argumen apa yang mau Bude bilang buat
membenarkan kalau menghina kekurangan suamiku itu benar?

379
balada dosmud

Apa? Cepet ngomong!?” Semua yang ada di ruang ini berjengit


kaget dengar gertak Arjuna.
Deru nafas Arjuna ini bergemuruh. Jangan ditanya soal jantung
yang berdegup begitu kencang. Arjuna gak peduli soal tatakrama
dan etika kalau berhadapannya juga sama yang gak pegang dua hal
tersebut dan dijadikan pedoman hidup.
‘Aku gak tau kalau Nanang denger, Mas. Aku udah usaha usir Bude,
tapi makin kurang ajar beliau, malah ngomong keras keras— ‘iparmu itu
masih diem aja? Apa ya nggak nyusahin Arjuna aja itu berarti seumur
hidup? Wes tak kandani, nyari jodoh jangan asal.’
Jahat.
Sungguh amat jahat.
Disaat Arjuna susah payah satukan keping hati lelakinya yang
luluh lantak, wanita ini dengan seenaknya hancurkan lagi sampai
jauh lebih hancur.
Kemarin, Arjuna sampai harus pura-pura keluar kamar cuma
supaya Nanang bisa punya waktu menangis sendirian. Nanang yang
gak tau kalau Arjuna bersembunyi di dekat pintu itu berakhir
utarakan isi hati, jauh dari apa yang sering diucapkan ke Arjuna.
‘Aku kenapa masih dibiarin hidup, Tuhan? Gak ambil sekalian aja
akunya? Mas tuh hidup sama aku yang begini ya sama aja cuma sedih
terus-terusan.’
Arjuna meringkuk di pintu kamar dalam diam.

380
balada dosmud

‘Aku capek. Capek ketakutan terus. Gelap banget, ada Mas Juna juga
sama aja, rasanya kayak sendirian…’
Kalimat-kalimat semacam itu terus dilantunkan sampai Nanang
kelelahan dan tertidur di sofa dan Arjuna akhirnya punya waktu
buat menangis tertahan di pojok sana itu.
Lazuardinya patah. Maka Arjuna juga ikut patah.
Itu sebabnya gak peduli jarak jauh sekalipun Arjuna kebut ke
Malang buat sambangi rumah yang kerap jadi sumber masalah
hidup mereka.
Wanita yang meski salah tapi tetap merasa benar. Merasa paling
waras dalam segala hal.
“Ya bener toh? Suamimu itu bikin malu keluarga, tok! Apa nama
keluarga gak kecoreng lek misa—”
Satu tamparan keras berhentikan kalimat tajam dan gerak
semua yang hadir.
“ARJUNA! JIANCOK!” Sepupu Arjuna maju buat balas pukul
tapi maaf, Arjuna lebih kuat dan gesit.
Sepupunya terjerembab ia tendang. Budenya tersungkur
ditampar. Habis ini mungkin Arjuna dicoret dari daftar keluarga—
rapopo blas! gak sudi punya keluarga macam iblis begini, gak punya hati!
***
Nanang selalu mau jadi tempat Arjuna berpulang. Meski
matanya gak bisa lihat apapun, tapi ia mau jadi pelampiasan isi hati
lelaki yang selalu kuat ini.

381
balada dosmud

“Mas, darimana?” Nanang raba kasurnya buat temukan dimana


Arjuna duduk. “Mas—eh matanya basah sih? Mas nangis?
Kenapa?”
Arjuna terisak kencang sekali, tangannya genggam jemari yang
sibuk raba-raba wajahnya penasaran.
“Mas … kenapa?” Nanang ikut terbawa sedih. Arjunanya gak
pernah begini. Ini pasti bukan masalah sepele.
“Mas, ada masalah? soal aku bukan?” Nanang tanya sekali lagi,
tapi cuma dijawab usapan halus di pipinya.
Arjuna gak peduli sama banyak masalah menanti di belakang;
runyam hubungan keluarga, pekerjaan yang gak terpegang bahkan
hatinya sendiri yang butuh obat penenang.
“Mas— iya, sini dipeluk sama aku sini.”
Arjuna cuma mau bersandar ke dada lelaki yang detak
jantungnya tenangkan gemuruh hati. Mau terima usapan hangat
dari Nanang yang sibuk peluk dirinya seperti tenangkan bocah kecil
yang baru kehilangan mainan. Arjuna mau mengadu ke lelakinya
yang jadi satu-satunya poros hidup.
Nanang meski sedih, tapi sebagian lain di hati turut senang,
karena dengan segala cacatnya ini, dia masih bisa berguna buat
Arjuna.
“Mas kalo nangis lucu banget! Kayak aku punya adek lagi, hehe.”
Nanang raba wajah Arjuna lagi, mau kais sedikit demi sedikit jejak
wajah lelaki yang tidak boleh sampai terlupa.

382
balada dosmud

Arjuna tatap waja Lazuardinya ynag tersenyum manis sekali.


Na, tolong terus hidup … kekurangan apapun dari kamu, gak pernah
jadi kekurangan buatku. Mas jauh lebih butuh kamu, butuh detak jantung
kamu buat terus bertahan.
***
Dubai dan hiruk pikuk kotanya iringi langkah seorang bapak
yang mulai masuki usia senja. Langkah terburu-buru ke satu rumah
sakit ternama dengan fasilitas mewah luar biasa.
“Pak Agung?” Satu orang dengan bahasa lokal ini antarkan
bapak ini ke satu ruangan.
Ruangan serba putih dengan satu dokter di tengah sana yang
baru berbalik begitu dipanggil. Jika di hari-hari biasa hanya senyum
miris atau seringai tipis, maka kini jauh berbeda.
Ada kabar baik, setelah badai hantam satu tahun belakangan.
Keajaiban di tengah keadaan yang seperti gak memungkinkan. Satu
kabar yang buat Bapak yang cuma punya 1 anak tersisa ini terisak,
lalu berlari keluar buat sekedar panggil satu nomor yang juga
langsung lemas bahagia begitu kabar ini terdengar.
“Arjuna! Donor mata anak saya ada! Nanang bisa lihat dunia
lagi, Arjuna!”
Panas terik Yogyakarta dan tumpukan kertas kerja ini gak lagi
Arjuna pedulikan. Ia kebut mobilnya pulang buat segera peluk
lelaki yang semua cuma diam dan bertanya buat kepulangannya
yang tiba-tiba.

383
balada dosmud

“Dek, selamat …. doamu terkabul … terkabul, dek!” Arjuna


cium-cium pucuk kepala Nanang, turun ke kening dan dua kelopak
mata yang sudah basah betul. Terakhir ke bibir yang sudah bergetar
mau menangis.
Aku bisa liat lagi? Aku dapet mata? Tuhan, aku masih boleh bahagia
ya berarti?
Dua yang berbulan-bulan terluka ini seperti diguyur penawar
sampai nyaris sembuh seketika. Tolong, sekali ini … semoga semua
berjalan baik, tolong jangan ada halangan apapun. Mereka cuma
mau lihat satu sama lain seperti kemarin. Tolong beri cahaya buat
gelapnya Lazuardi ini. Tolong …
***
Nanang minta perawat hentikan dorongan kasurnya sebelum
masuk ruang operasi. Lewat isyarat, ia minta Arjuna mendekat.
Dipeluk erat suaminya seperti tidak lagi ada hari esok. Ganti
isyaratkan Mama Papa buat mendekat. Selain peluk, untai kata
permintaan maaf juga terucap.
Nanang mau siapkan jiwa raga masuk ke ruang operasi. Sudah
juga tabahkan hati kalau misal gak berhasil. Mereka semua— yang
Nanang gak tahu pasti benar tersenyum atau pura-pura senyum
buat samarkan tangis ini— juangnya udah begitu besar.
Nanang meminta maaf pernah jadi beban yang buat hati mereka
ini ikut luka. Semoga kali ini hal baik berpihak ke mereka, ya?
Nanang mau lihat muka Arjuna, Papa dan Mama. Hitam putih

384
balada dosmud

sekalipun juga gak apa-apa, Nanang mau lepas dari belenggu rindu
ini.
Rindu karena meski orang tercinta ada di sisinya sekalipun,
rasanya seperti jauh karena gak bisa ia lihat. Tuhan, mudahkan ..
Lancarkan … Aku mohon.
***
“Pohon, warnanya apa tuh?”
“Coklat!”
“Tirai, warnanya?”
“Biru!”
“Aku, warnanya?”
Nanang merengek, “Ah lama, Mas! Sini mau peluk!.”
Arjuna dengan tawa harunya ini mendekat, dekap lelakinya yang
sudah kembali ingat bagaimana bentuk pagi. Sudah bisa sebut
warna benda di sekitar tanpa perlu Arjuna dikte satu persatu.
“Mas, a—aku bisa liat mas lagi…”
“Iya, dek … jelek ya aku, belum cukuran.”
“Ih, mas mah rusak suasana!”
Gelenyar tawa ini kedengaran dari arah pintu masuk, ada Mama
yang langsung ikut bergabung peluk dan Papa yang taruh makanan
di meja lalu mendekat. Usap surai halus dan cium kening sang
putra lamat.

385
balada dosmud

Pagi tadi, akan selalu jadi pagi paling menegangkan dalam


hidup. Lilitan perban putih yang satu persatu dibuka dan silau yang
sudah lama Nanang rindukan itu masuk ke sela-sela mata.
Pagi tadi, akan jadi pagi yang Nanang kenang seumur hidup,
dimana paginya disuguhi rupa orang-orang tersayang dan bukan
cuma sekedar gelap.
Pagi ini, adalah pagi baru dengan netra baru yang sudah
benar–benar hidup. Netra yang Arjuna gak peduli darimana asalnya
tapi bisa beri kehidupan di sana. Terimakasih, Tuhan. Lazuardiku gak
lagi kegelapan.
***

386
balada dosmud

closing:
“Ya ampun sedih banget ih aku gak bisa liat mas gitu.”
“Ya aku aja yang liat ya sedih.”
Arjuna dan Nanang saling lirik, terkekeh lalu bersamaan ucap—
untung cuma mimpi.
Kisah-kisah haru dan sesekali lucu itu, memang cuma mimpi,
tapi mereka berdua harap gak perlu sampai terjadi. Karena jujur
saja, pundak mereka gak sekuat itu buat topang kesedihan luar
biasa macam kehilangan dan perelaan.
Perkara terpisah akibat covid bulan kemarin aja masih sisakan
luka, apalagi kalau yang terjadi di mimpi-mimpi barusan itu
kejadian? Entah, gak mau hidup mungkin.
Jadi selesai sudah ya rasa penasaran Arjuna soal kenapa Nanang
manja sewaktu bangun pagi kemarin. Juga Nanang yang sudah gak
lagi penasaran soal apa isi mimpi yang buat Arjuna sampai buat
lelakinya itu gak bisa tidur sebelum tangannya digenggam.
Mimpi, cuma bunga tidur. Datang dari alam bawah sadar dan gak
melulu soal pertanda. Mimpi, biasanya bawaan hati paling dalam
yang disimpan rapat agar jangan sampai ketahuan.
Khusus kali ini, kenapa temanya sedih-sedih ya karena yang jauh
tersimpan di dalam hati Arjuna dan Nanang adalah rasa takut
kehilangan. Saking takutnya sampai-sampai ditaruh di bagian
terdalam supaya jangan sampai terbersit di kepala apalagi
kepikiran.

387
balada dosmud

“Lah tapi Mas mimpi aku hamil? Gak diem-diem pengen nikah
lagi kan?!”
“Ngawur! Lah wong sebelumnya itu habis nonton dua garis biru
sama kamu.”
“Lah ya juga.”
Ya … Mimpi juga bisa jadi bawaan dari kegiatan paling akhir
yang kita lakukan— biasanya kalau mikirin artis ganteng, mimpinya
juga doi yang masuk.
Oke, sudah ya?
Sudah malam. Waktunya sepasang ini masuk kamar buat ekhem
dinas malam yang sudah dijadwalkan. Dinas apa? Oh ya jelas saya
bingung kalau ditanya, jadi mari nanti kita bertanya saja pada kasur
yang bergoyang. Dadaah! Sampai jumpa lagi di kisah mendatang!
***

388
balada dosmud

Author Notes

Wah, sudah ujung.


Gimana? Meski lebih kepada potongan kisah, semoga senang ya!
Sequel ini aku dedikasikan buat semua yang mendukung Arjuna
Nanang sampai bisa hadir di universe Recreathings.
Aku tulis ini gak mematok harus berapa lembar dan berapa ribu
kata— aku tulis sebanyak mungkin supaya rasa terimakasihku
sampai ke kalian semua.
Aku jelas berterimakasih, karena tokoh yang tanpa sengaja hadir
ini berhasil curi tempat di hati. Juga berterimakasih karena meski
masih banyak kurangnya sana-sini tapi masih tetap diapresiasi.
Setelah ini, semoga gak lupa yang sama Arjuna Nanang! Mereka
harus selamanya hidup di hati. Sampai meski aku sudah gak lagi
berseliweran di dunia fiksi ini sekalipun, harus tetap hidup ya!
Maafkan typo dan segala kurangnya. Semoga hangat ceritanya
tetap sampai ke hati!

Indonesia, 10 Jan 18.00 WIB

recreathings

389

Anda mungkin juga menyukai