Anda di halaman 1dari 3

Suku Bunga, Inflasi dan Ketidakadilan Ekonomi

Oleh: Andi Irawan

Uang bekerja secara alami ketika ia membiayai kegiatan produksi dan membuahkan keuntungan
dari produksi tersebut. Karenanya, jumlah uang akan bertambah sesuai dengan pertambahan
hasil produksi. Dengan kata lain, penambahan kesejahteraan haruslah berbanding lurus dengan
usaha yang dilakukan. Penambahan jumlah uang yang tidak diimbangi dengan penambahan
jumlah produksi barang dan jasa akan mengakibatkan nilai uang menurun terhadap barang dan
jasa. Kita menyebutnya inflasi.

Inflasi Vs. Suku Bunga

Pandangan umum yang berlaku saat ini, suku bunga memiliki hubungan negatif dengan inflasi,
menaikkan suku bunga berarti menurunkan inflasi. Ketika suku bunga dinaikkan, maka orang
akan tertarik untuk menyimpan uang di bank, sehingga akan mengurangi jumlah uang beredar,
akibatnya saat itu inflasi turun. Tetapi konsekuensi dari penerapan suku bunga ialah adanya
besaran tertentu yang nilainya sudah ditentukan di awal. Nilai itu harus dibayar bank kepada
nasabah pada saat bunga tersebut jatuh tempo.

Misal, pada awal proses ekonomi terdapat uang beredar sebanyak Rp 3.000 triliun, lalu dengan
bunga sebesar 10%, sektor perbankan berhasil menyerap sepertiga dari dana tersebut atau setara
dengan Rp 1.000 triliun. Maka terjadi deflasi, jumlah uang beredar dalam perekonomian tersebut
turun menjadi duapertiganya atau Rp 2.000 triliun. Tapi, setahun kemudian, ketika bunga telah
jatuh tempo, perbankan harus membayar sejumlah 10% dari Rp 1.000 triliun atau Rp 100 triliun
kepada perekonomian. Maka, total uang dalam perekonomian dan perbankan menjadi Rp 3.100
triliun. Jadi, alih-alih untuk mengurangi inflasi, penerapan suku bunga justru berpotensi
mendatangkan inflasi yang lebih besar di kemudian hari.

Melanjutkan contoh tadi, sebetulnya tidak menjadi masalah ketika jumlah uang dalam
perekonomian tersebut bertambah Rp 100 triliun, asalkan perekonomian itu juga mampu
menghasilkan tambahan produksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam tempo yang sama.
Jika hal itu dilakukan, maka tidak akan terjadi inflasi karena penambahan jumlah uang diikuti
dengan penambahan jumlah barang dan jasa. Tapi yang jadi masalah saat ini, tidak adanya
keterkaitan antara sektor riil dengan sektor finansial.

Dalam contoh di atas, melalui suku bunga sebesar 10%, sektor finansial menentukan bahwa
dalam setahun ke depan jumlah uang akan bertambah sebanyak Rp 100 triliun, sedangkan yang
menentukan bertambahnya jumlah barang dan jasa adalah sektor riil, yang belum tentu mampu
memproduksi barang dan jasa senilai Rp 100 triliun dalam setahun. Ketika sektor riil tidak
mampu menandingi ‘kinerja’ sektor finansial, maka yang terjadi adalah inflasi. Karena itu, perlu
dikoreksi pendapat yang menyebutkan tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan tingkat
inflasi.

Ketidakadilan Suku Bunga


Dalam buku pengantar ilmu ekonomi selalu disebutkan ketika pemerintah mencetak uang terlalu
banyak, maka yang terjadi adalah inflasi. Tapi seringkali kita lupa, bank juga dapat ‘mencetak’
uang dengan cara menyalurkan kredit dan mengenakan bunga atasnya, money creation by the
bank, dan itupun dapat menyebabkan inflasi. Inflasi akan merugikan orang yang berpenghasilan
tetap, yakni naiknya nominal harga tidak diikuti naiknya nominal pendapatan kita. Tetapi akan
menguntungkan mereka yang memiliki deposito dalam jumlah besar di bank konvensional.
Penerapan suku bunga akan menambah jumlah uang ke dalam suatu perekonomian, tetapi yang
jadi masalah adalah uang yang baru masuk ke dalam perekonomian tersebut tidak
terdistribusikan secara merata kepada seluruh pelaku ekonomi, melainkan ke tangan segelintir
pemilik modal saja, yaitu mereka yang memiliki sejumlah besar uang di bank. Akibatnya, biaya
inflasi sebagian besar ditimpakan kepada orang yang tidak menerima uang baru tersebut, yaitu
orang-orang miskin yang tidak memiliki uang di bank.

Kita mengenal inflation tax sebagai pajak yang diambil pemerintah dari orang yang memegang
uang dengan cara pemerintah mencetak lebih banyak uang untuk membiayai kebijakan ekspansi
ekonomi. Tapi ternyata inflation taxbisa juga bermakna sebagai ‘pajak’ yang diambil pemilik
modal dari masyarakat umum, ketika perbankan ‘mencetak’ uang dengan cara menyalurkan
kredit dan mengenakan sejumlah bunga atasnya. Bahkan, kita harus lebih mewaspadai efek
inflasi akibat penciptaan uang oleh bank daripada penciptaan uang oleh pemerintah, karena bank
selalu menciptakan uang, sedangkan pemerintah lebih jarang.
Menarik untuk diteliti tentang kemunculan para milyuner dunia pada abad ke-20. Apakah hal ini
terkait dengan terjadinya industrialisasi ataukah lebih terkait dengan berubahnya sistem finansial
dunia, dimana praktik pembungaan uang dan lepasnya nilai uang dari nilai emas sudah disahkan?
Pasalnya, industrialisasi sendiri sudah dimulai beberapa abad sebelumnya, tapi mengapa para
milyuner itu baru muncul sekarang? Ditambah lagi kemunculan mereka diikuti dengan
meluasnya kemiskinan di seluruh dunia. Apakah sekarang sedang terjadi penambahan
kesejahteraan akibat industrialisasi ataukah sedang terjadi eksploitasi kesejahteraan alias
konsentrasi kekayaan akibat praktik pembungaan uang?

Back It to It’s Nature


Dunia perbankan yang menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar seharusnya memiliki
tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di sektor riil. Karena menurut cara
kerja alamiahnya, sektor riil-lah yang ‘memberi makan’ sektor finansial, sektor riil-lah yang
menentukan penghasilan sektor finansial, bukan sektor finansial yang menentukan berapa harga
yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya.
Jika suku bunga terlalu tinggi, sektor riil yang bekerja dan menanggung risiko usaha justru hanya
mendapat sedikit dari hasil usahanya, sebagian besar habis untuk membayar bunga yang tinggi.
Sedangkan sektor finansial yang tidak bekerja dan tidak menanggung risiko justru mencetak laba
yang tinggi. Seperti dikatakan Willem Hoogendijk, sektor perbankan saat ini disebut mesin
transfer yang memindahkan uang secara otomatis dari tempat yang kekurangan uang (debitor) ke
tempat yang kelebihan uang (kreditor).

Tidak ada cara lain, untuk menyelamatkan perekonomian, kita harus membenahi dulu sistem
perbankan dengan mengembalikan logika bahwa sektor riil-lah yang menentukan pendapatan
sektor finansial, bukan sektor finansial yang menetapkan berapa harga yang harus dibayar oleh
sektor riil atas dana yang dipinjamnya. Perbankan harus mengubah pola interaksinya terhadap
sektor riil, dari yang selama ini menetapkan keuntungan di awal menjadi menetapkan
keuntungan di akhir, dari sistem suku bunga menjadi sistem bagi hasil.

Anda mungkin juga menyukai