Anda di halaman 1dari 4

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah
Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, puteri seorang adipati di Tuban.

Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang
mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha.

Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur
kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini
dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan
Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah
menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke
daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia
meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat
diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.

Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni,
sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari
sumber air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat
mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan
intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya
secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-
membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya
adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr (wafat pada 899).
Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga
digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga
menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru.
Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang.
Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental
(alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.

KEISTIMEWAAN

Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan
Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah
(peneguhan).

Makam Sunan Bonang Tuban

Salah satu ikon wisata Religi di Tuban adalah makam Sunan Bonang. Seorang diantara 9 wali
songo yang sangat terkenal di Tanah Jawa.

Menurut beberapa sumber, Makam sunan bonang terdapat di beberapa tempat. Ada yang
mengatakan di dusun Bonang Lasem kab. Rembang-Jateng, di pulau Bawean kab. Gresik-Jatim, di desa
Singkal kab. Kediri-Jatim dan di Kelurahan Kutorejo kab. Tuban-Jatim.

Tetapi diantara ke empat lokasi tersebut, Makam sunan Bonang yang terdapat di kelurahan
Kutorejo Tuban adalah yang paling banyak di kunjungi peziarah, baik yang berasal dari dalam negeri atau
turis asing.
Hampir tiap hari, terutama pada hari-hari libur, makam ini selalu dipadati oleh ratusan bahkan
ribuan peziarah. Oleh karenanya, Pemkab Tuban merasa perlu untuk membuatkan satu terminal khusus
bagi para peziarah, yang terletak kurang lebih 500 meter dari lokasi makam. Hal ini dimaksudkan agar
pengaturan lalu lintas peziarah dapat lebih terfokus sehingga tidak menimbulkan kemacetan di
beberapa ruas jalan yang lain.

Sunan Bonang atau yang bernama asli Raden Makhdum Ibrahim, dikenal sebagai salah satu
penyebar agama islam di Jawa. Merupakan keturunan dari Raden Rahmat dan Nyi Ageng Manilo. Nyi
Ageng Manilo sendiri adalah Putri seorang Tumenggung Majapahit yang bernama Arya Teja yang pada
waktu itu berkuasa di Tuban.

Dalam melaksanakan dakwahnya, beliau selalu menggunakan cara-cara persuasif melalui


pendekatan budaya lokal. Sehingga menarik masyarakat sekitar untuk mengikuti ajakannya. Salah satu
bukti pendekatan persuasive tersebut adalah Beliau menciptakan tembang Tombo Ati, yang sampai
sekarang banyak dinyanyikan dan diaransemen oleh beberapa musisi tanah air.

Menurut cerita sejarah, dalam berdakwah, Sunan Bonang sering menggunakan media bonang
(salah satu jenis alat music khas Jawa/gamelan). Ini bisa dimaklumi, karena pada waktu itu, jenis
kesenian semacam wayang kulit dan tayub, yang semuanya menggunakan gamelan, sangatlah digemari
masyarakat. Dan lewat kesenian itulah, sedikit demi sedikit, nilai-nilai Islam dimasukkan dan hal-hal yang
menyimpang dari kesenian-kesenian tersebut perlahan-lahan dihilangkan.

Salah satu hal unik yang terdapat di makam Sunan Bonang dan bisa dianggap sebagai kenang-
kenangan dari Beliau adalah adanya Tasbih Biji Pisang. Tasbih ini berwarna hitam, dan merupakan
untaian biji pisang yang sudah dari sononya seperti sudah diiris dan diberi lubang. Buah pisang ini, kalau
dikupas, isinya hanya biji-biji tasbih tersebut, nggak ada dagingnya. Begitu dikupas, anda tinggal
merangkainya menjadi tasbih. Ajaib bukan? Benar-benar ajaib.
Makam Sunan Bonang, terletak dibelakang Masjid Agung Tuban. Jalan masuknya melalui Gapuro
yang terletak di pojok Barat alun-alun Tuban. Begitu memasuki area makam tersebut, akan akan
menjumpai berbagai macam piring kuno yang tertempel di dinding-dinding area makam. Disana juga
terdapat sebuah masjid tua yang dibangun oleh Sunan Bonang sendiri, namanya masjid Astana. Masjid
ini, dulunya dipakai sebagai pusat dakwah Islam oleh Beliau.

Di depan masjid Astana, anda juga dapat menemukan peninggalan yang lain berupa tempat
wudhu dari batu. Yang masih terawat sangat baik hingga saat ini.

Jika anda berkesempatan berziarah ke Makam Sunan Bonang, setelah dari makam jangan
lewatkan kesempatan untuk menikmati kemegahan Masjid Agung Tuban dan juga keunikan Goa Akbar.
Dua lokasi tersebut sangat dekat dengan komplek Makam, dan telah menjadi trade mark tersendiri bagi
kota Tuban.

Anda mungkin juga menyukai