Anda di halaman 1dari 20

Sunan Bonang

Ujian Pengendali Mutu


Mata Kuliah
Metode Penelitian Desain
Semester Genap 2022/2023

Nama : Reza Rivaldi


NPM : 202046500177
Kelas : RC

PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2023
A. Deskripsi Objek

1. Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra sulung sunan Ampel (Raden Rahmat). Dari

perkawinannya dengan Adipati Tuban inilah kemudian Sunan Ampel

memiliki dua Putera, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Sunan Drajat

atau Syarifudin adalah adiknya. Adik bungsunya yang bernama Dewi Sarah

menikah dengan Sunan Kalijaga. Sunan Bonang bernama kecil (nama asli)

Makdum Ibrahim, lahir pada tahun 1465 M di Bonang, Tuban. Secara

silsilah, Sunan Bonang masih memiliki garis keturunan dengan Nabi

Muhammad SAW. Ia adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad melalui

Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu dalam serat Darmogandul

(karya sastra tentang runtuhnya Majapahid) ia disebut dengan julukan Sayyid

Kramat dan dikatakan sebagai orang Arab keturunan Nabi Muhammad dari

jalur ayah. Urut-urutan silsilah Sunan Bonang dari jalur ayah adalah sebagai

berikut: Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) bin Raden Rahmat

(Sunan Ampel) bin Ibrahim al-Ghazi (Ibrahim Asmaraqandi) bin Jamaluddin

al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdullah bin Abdul Malik Azmatkhan

bin Alwi Amil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali Qasam

bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al- Muhajir bin

Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidli bin Ja’far Shadiq bin Muhammad al-

Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Fatimah az-Zahra binti

Muhammad saw. Sunan Bonang di kenal sebagai juru dakwah yang

mumpuni, ia menguasai fiqh, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan


lainnya. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan yang banyak dari sunan

Bonang. Meskipun menguasai banyak cabang ilmu agama tapi Sunan Bonang

lebih kental denga tasawuf, hal ini bisa dilahat memalui berbagai karyanya.

Diantaranya adaalah sebagai berikut, Suluk Wujil, Suluk Kaderesan, Suluk

Khaliafah, Suluk Regol, Suluk Wasiyat, Suluk bentur, Gita Suluk Linglung,

Gita Suluk Latri, Gita Suluk Ing Aewuh, Suluk Sunan Bonang, dan lain-

lainnya. Sunan Bonang menimba ilmu kepada ayahnya sejak kecil yang juga

merupakan salah satu walisongo dan ulama terkemuka di tanah Jawa. Selain

itu sunan Boang bersama Raden Paku saat remaja juga pernah belajar ke

negeri sebrang yaitu di Pasai kepada “Syekh Awalul Islam” yang merupakan

ayah dari Raden Paku dan beberapa ulama lainnya. Setelah mereka belajar di

Pasai maka mereka kembali ke tanah Jawa. Raden Paku ke Giri dan

mendirikan sebuah

pondok hingga dikenal sebagai Sunan Giri sedang Sunan Bonang ke

Lasem, Rembang atas arahan ayahnya. Selain itu juga Sunan Bonang dan

Raden Paku juga pernah belajar di Melaka yang merupakan salah satu pusat

kebudayaan Islam Melayu bahkan menjadi nadi pengajaran dan penyebaran

ajaran Islam di Asia Tenggara. Makam Sunan Bonang menjadi salah satu

kontroversi dalam riwayatnya karena ada empat makam yang saat ini

dianggab sebagai makam Sunan Bonang. Yang paling masyhur adalah yang

ada di Tuban tepatnya di dekat Masjid Agung Tuban. Yang lainnya adalah di

Tambak Keramat, Bawean. Serta ada juga yang mengatakan di Singkal,


Kediri yang berada di tepi sungai Brantas. Dan yang terkahir adalah disebuah

bukit yang berada diantara Rembang dan Lasem.

Gambar 1. Ilustrasi Sunan Bonang

( Sumber: https://www.kompasiana.com/achmadeswa/5a9d697116835f52ac574ba4/ mengenal-


ajaran-luhur-sunan-bonang )

KH. Mustofa Bisri dalam kitabnya Tarikhul Auliya mengatakan

bahwa Sunan Bonang menikah dengan seorang putri Raden Arya

Jakandar atau lebih dekenal sebagai Sunan Malaka yaitu Dewi Hirah.

Begitu pula penjaga makam Sunan Boang yang Tuban juga mengatakan

bahwa Sunan Bonang itu pernah menikah. Apa yang disampaikan oleh

KH Mustofa Bisri dan penjaga makan itu berbeda dengan apa yang

disampaikan pada riwayat Sunan Bonang oleh penulis lain. Sunan

Bonang wafat pada tahun 1525 M.


2. Metode Dakwah Sunan Bonang.

1. Mendirikan Masjid

Langkah pertama dalam melakukan dak- wah adalah dengan mendirikan

tempat ibadah baik berupa masjid atau mushola. Tempat tersebut harus

dimiliki sebagai sarana ibadah dan membaktikan diri, mendidik umat, dan

memberikan penerangan tentang ajaran Islam. Jika kita perhatikan, dalam

membangun masjid para Wali Songo memberikan lambang-lambang yang

merupakan salah satu metode yang patut dihargai. Pada masa itu

masyarakat Jawa sangat menyukai perlambang-perlambang, bahkan

hingga saat ini pun masih demikian adanya. Misalnya, pada Masjid

Demak ada soko tatal yang terdiri dari pecahan-pecahan kayu (tatal) yang

diikat dengan tali ijuk dan dibalut dengan rumput lawadan.

Tatal yang diikat melambangkan ma- syarakat yang terpecah belah dari

berbagai aliran atau kepercayaan yang dapat disatukan. Dikat menjadi

satu dengan ijuk. Ijuk me- rupakan tali yang kuat, jadi diikat dengan ijuk

agar umat yang bersatu menjadi kuat. Kemudian dibalut dengan rumput

lawadan (lawatan). Lawatan berasal dari bahasa Arab shalawat,

maksudnya persatuan itu diberi shalat (ajaran Islam) sehingga persatuan

umat itu di bawah naungan dari agama Islam. Sunan Bonang sendiri juga

mendirikan masjid di tempatnya berdakwah. Masjid yang kini dikenal

dengan masjid Sunan Bonang ini berada di tengah perkampungan Desa

Bonang, Lasem yang dipercaya sebagai peninggalan Sunan Bonang.

Sunan Bonang pernah menyebarkan agama Islam di wilayah ini.


Posisinya persis di sebelah selatan makam Sunan Bonang, hanya berjarak

50 meter.

Gambar 2. Ilustrasi Masjid Sunan Bonang lasem

( Sumber: https://www.masjidinfo.net/2017/09/ masjid-sunan-bonang-rembang.html)

Waktu itu, Sunan Bonang termasuk orang yang dituakan sehingga

penduduk di wilayah itu tunduk dan menghormati akan kepribadian

beliau. Kesempatan baik itu digunakan untuk mengajarkan agama Islam.

Mulai saat itu banyak santri berdatangan dari Jawa Tengah, Jawa Timur,

dan Jawa Barat untuk berguru dan menimba ilmu dari Sunan Bonang.
2. Dakwah Melalui Kesenian

Selama perjuangannya menyebarkan Islam, Sunan Bonang selalu

memasukkan un- sur permainan dan kesenian yang membuat masyarakat

semakin tertarik untuk memeluk Islam. Seni pewayangan dan seni suara

merupakan salah satu media yang digunakan Sunan Bonang untuk

berdakwah.

A. Seni Pewayangan

Pertunjukan wayang telah ada sejak zaman Prabu Jayabaya, raja Kerajaan

Kediri yang memerintah tahun 1135-1157. Bahkan, konon dialah yang

pertama kali menciptakannya. Namun, wayang pada masa itu berupa wayang

purwa yang terbuat dari lembaran kertas, yang selanjutnya dikenal dengan

wayang beber.

Gambar 3. Ilustrasi Pertunjukan wayang beber

( Sumber: https://osc.medcom.id/community/sejarah-wayang-tertua-di-indonesia-wayang-beber-
2259)
Sebelum para wali mengambil wayang sebagai alat dakwah, mereka

mengadakan musyawarah tentang hukum dari gambar wayang yang

mirip dengan gambar manusia. Aliran Putihan yang dipimpin Sunan Giri

berpendapat, gambar yang menyerupai manusia hukumnya haram. Sunan

Kalijaga mengusulkan agar tidak menjadi haram maka gambar wayang

itu diubah bentuknya. Misalnya, tangannya lebih panjang dari kakinya,

hidungnya panjang, kepalanya agak menyerupai kepala binatang, dan

lain-lain, supaya tidak persis dengan manusia. Jika tidak serupa, tentu

saja hukumnya tidak haram lagi. Usul ini disetujui para wali.

B. Seni Suara

Kegemaran masyarakat Jawa akan seni suara mendapat perhatian yang

serius dari para wali. Seni suara itu diwujudkan dalam instrumen musik

berupa gamelan dan penciptaan lagu-lagu indah yang penuh arti dan

falsafah hidup. Musik gamelan yang terdiri atas alat musik, seperti

demung, gong, kenong, slentem, bonang, peking, gender dan beragam

instrumen lainnya saling bersautan dan membentuk sebuah nada

petatonis. Sunan Bonang mengubah gamelan Jawa yang saat itu sarat

dengan estetika Hindu dengan nuansa baru, termasuk dengan

menambahkan instrumen bonang yang lebih dekat dengan nuansa Islam.

Itulah sebabnya gamelan dapat digunakan sebagai media untuk

mengiringi zikir, pujian-pujian ataupun tembang- tembang yang berisi

pengagungan pada Allah dan Rasul-Nya.


3. Dakwah melalui Suluk

Karya seni suluk ini dipopulerkan oleh Sunan Bonang ketika berdakwah

pada abad ke- 15. Karya sastra yang digubahnya, antara lain Primbon

Bonang, Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol,

Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk.

Latri, Suluk Linglung, dan lain-lain. Suluk- suluk itu kebanyakan berisi

pengalaman beliau dalam menempuh jalan tasawuf dan beberapa pokok

ajaran tasawuf yang disampaikan melalui ungkapan simbolik dengan

perpaduan budaya Arab, Persia, Melayu, dan Jawa.

Salah satu kitab karya Sunan Bonang yang terkenal adalah Kitab Bonang

atau Primbon Bonang. Kitab Bonang merupakan ajaran Sunan Bonang

yang dicatat oleh murid- muridnya. Kitab Bonang merupakan tembang

berisi nilai islami yang bertujuan untuk dakwah Islam. Kitab ini berisi

dialog antara guru dan murid mengenai ajaran Islam.

Kitab Bonang sejak tahun 1597 hingga kini masih tersimpan di

Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Peneliti pertama Kitab Bonang

adalah B.J.O Schrieke pada tahun 1916. Pada tahun 1919, ia menjadikan

penelitiannya menjadi disertasi dengan judul Het Boek van Bonang. Sang

peneliti menuliskan bahwa Kitab Bonang berisi pengetahuan tentang

Islam dan tasawuf serta peringatan terhadap ajaran yang menyeleweng

dari Islam.

4. Dakwah melalui Fikih


Fikih berasal dari bahasa Arab fiqh, merupakan salah salah satu bidang

ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum

yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari ke- hidupan

pribadi, bermasyarakat hingga hubungan manusia dengan Tuhannya.

Diceritakan dalam serat Darmo Gandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi

tentang perjalanan Sunan Bonang bersama dua santrinya pergi ke desa

Gedah yang ada di Kediri. Kediri, pada masa itu dianggap sebagai pusat

dari ajaran sesat, ada penganut ajaran Tantrayana dari sekte Bairawa

Tantra, sebuah aliran yang memuja Dewi Durga. Bairawa Tantra

mempunyai ritual yang disebut sebagai Panca Makara atau Malima.

Malima menurut ajaran Bairawa Tantra adalah mamsa (daging), matsya

(ikan), madya (arak), maithuna (seksual), dan mudra (semedi).

Penganut Bairawa Tantra baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang

membuat lingkaran yang dikenal dengan istilah "Ksetra". Di tengah

lingkaran itu disediakan daging, ikan, dan arak. Setelah makan-makan

bersama mereka melakukan persetubuhan (maituna) beramai-ramai.

Setelah itu mereka melakukan semedi. Yang lebih mengerikan, jika

tingkatan dari para penganut Bairawa ini telah tinggi daging yang

disediakan bukan lagi daging hewan namun daging manusia, ikannya ikan

sura (hiu), sedang araknya diganti dengan darah manusia. Ritual ini tentu

sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang memakan

binatang untuk persembahan, hubungan seks bebas, dan minum-minuman

keras, apalagi sampai makan daging manusia dan meminum darahnya.


Itulah sebabnya, ketika Sunan Bonang berdakwah di Kediri, ia membuat

acara yang mirip dengan upacara Panca Makaranya Bairawa Tantra, yaitu

mengumpulkan masyarakat, terutama laki-laki untuk berkumpul di sebuah

tempat, lalu disediakan makanan. Setelah mereka berkumpul Sunan

Bonang mengajari mereka berdoa. Selesai berdoa, mereka makan

bersama. Inilah yang akhirnya kita kenal dengan nama kenduri atau

slametan. Untuk menandingi aliran Bairawa Sunan Bonang juga

menggunakan gelar Sunan Wadat Cakrawati, karena pemimpin aliran

Bairawa saat itu bergelar Cakra Iswara (Cakreswara).

5. Dakwah melalui Pendidikan

Para wali membuka pesantren-pesantren yang sederhana untuk mendidik

anak-anak negeri dengan pengetahuan agama, sebagai bekal mereka

melanjutkan perjuangan me- negakkan agama Islam. Cara ini pertama kali

dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim, seorang wali tertua dalam Wali

Songo, kemudian dilanjutkan oleh Sunan Ampel dengan membuka

pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Mengikuti jejak ayahnya, Sunan

Bonang juga menerima murid-murid yang hendak belajar Islam di Lasem,

Rembang.

Pendirian pesantren merupakan sarana yang tepat dan bahkan paling

menentukan dari kelanjutan hidup dan tersebar agama Islam. Dakwah

tanpa diiringi dengan pendidikan (pengkaderan) akan mengambang dan

dangkal. Dakwah tidak bisa hanya dilakukan melalui ceramah-ceramah


saja, akan tetapi harus disertai dengan pendidikan yang kontinu, terencana

serta terorganisir dengan rapi.

B. Manfaat dan nilai lebih Sunan Bonang

Dalam mensyiarkan agama Islam di Nusantara tidak dilakukan dengan

perang atau kekerasan, melainkan dengan kedamaian dan menggunakan

beberapa media dakwah seperti perdagangan, lembaga pendidikan, budaya,

dan pernikahan. Pola komunikasi dakwah Wali Songo bukan dalam bentuk

komunikasi mengajak, namun dalam bentuk mengkomunikasikan

kebudayaan baru yang memerankan tradisi lama yang telah berlangsung di

Nusantara, yaitu budaya agama Islam yang berintegrasi dengan budaya lokal

atau nilai-nilai kearifan lokal, sebagaimana Sunan Bonang yang berdakwah

melalui penggunaan alat musik gamelan, membangun dialog budaya baru

dengan budaya lama. Semenjak hadirnya Sunan Bonang didunia kesenian,

selain tembang-tembang suluk ada penambahan pada instrumen gamelan

jawa yaitu dengan menambahkan alat musik Rebab yang merupakan salah

satu alat musik dari Arab. Kemudian dalam ajaran Sunan Bonang, gamelan

menjadi tradisi sufi, yaitu gamelan mempunyai fungsi utama sebagai tajarrud

atau pembebasan diri dari material (dunia) melalui material (gamelan) dan

penyucian diri atau tazkiyah an-nafs. Serta gamelan menjadi sarana tawajjuh

atau meditasi, yang artinya memusatkan pikiran hanya kepada Allah SWT.

Gamelan digunakan sebagai musik untuk mengiringi karya-karya suluk

dari Sunan Bonang. Suluk itu sendiri merupakan penulisan puisi yang berisi
tentang jalan menuju pemahaman yang mendalam terhadap keesaan Allah

atau yang disebut dengan tauhid sehingga manusia dapat mengenal keesaan

Allah secara mendalam atau yang disebut dengan ma’rifat.

Berdakwah dengan menggunakan media pertunjukan Wayang merupakan

salah satu cara untuk mengajarkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat.

Media ini kemudian menginspirasi dan dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan

santri-santri yang lain. Pertunjukan Wayang Sunan Bonang sering

menceritakan kisah tentang lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa, cerita

ini sudah ada pada tradisi sebelumnya. Namun Sunan Bonang mencoba untuk

menambahkan nilai-nilai Islam tanpa mengurangi estetika dalam cerita

Wayang tersebut. Adegan perang dalam kesenian Wayang yang diajarkan

Sunan Bonang digambarkan sebagai Jihad melawan hawa nafsu untuk

mencapai pencerahan dan pembebasan dari penjajahan hawa nafsu material

(segala hal di dunia yang membuat kita lalai). Pertunjukan Wayang tidaklah

gratis, masyarakat yang ingin menonton pertunjukan Wayang wajib

mengucapkan kalimat syahadat atau kalimosodo sebagai tiket masuk.

Kelihaian Sunan Bonang dalam mempromosikan pertunjukan Wayang

kepada masyarakat membuat masyarakat tergiur ingin menyaksikan

pertunjukan tersebut, hingga pada akhirnya masyarakat tanpa sadar

mengucapkan kalimat syahadat. Salah satu adegan yang diceritakan pada

cerita Wayang adalah menjelaskan tentang arti dan makna kalimosodo atau

kalimat syahadat bahwasannya syarat memeluk agama Islam yang pertama

adalah membaca dan mengimani kalimat syahadat. Sunan Bonang dikenal


atas kegigihan dalam mensyiarkan agama Islam melalui kegiatan berkesenian.

Kesenian lokal berhasil beliau kolaborasikan dengan dimasukkannya nilai-

nilai Islam serta mengubah sistem nilai yang bertentangan dengan syariat

Islam sehingga menjadikan kesenian tersebut menjadi kesenian dengan

ekspresi baru.

C. Permasalahan

Untuk memudahkan pemahaman tentang Syari’ah Islam yang luas dan

global, ulama membagi syari’ah itu dalam dua segi yang mendasar yaitu :

a) Segi amalah sebagai sarana bagi –orang-orang muslimmendekatkan diri

pada Tunannya (hablumm minallah) disebut ibadah.

b) Segi amal usaha dalam menjalin hubunan sesama manusia (hablum

minannas) dan hubungannya dengan lingkunga, alam semesta disebut

muamalah. Masalah –masalah ibadah yang dimaksud disini adalah pokok-

pokok ibadah yang dirumuskan dalam rukun Islam yaitu (shalat, zakat, puasa

dan haji), sedangkan dua kalimat syahadat biasanya dibahas dalam masalah

aqidah. Segi muamalah adalah hubungan manusia dengan sesamanyadan

terhadap lingkungannya Masyarakat dalam pandangan Islam merupakan alat

atau serana untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang menyangkut

kehidupan bersama. Karena itulah masyarakat harus menjdi dasar kerangka

kehidupan duniawi bagi kesatuan dan kerjasamaumat menuju adanya suatu

pertumbuhan manusia yang mewujudkan persamaan dan keadilan. Dengan

pandangan mengenai status dan fungsi individu inilah Islam memberikan


aturan moral yang lengkap kepadanya. Aturan lengkap ini berisi norma-

norma yang sama dengan tuntutan religius seperti ketakwaan, penyerahan

diri, kebenaran, keadilan, kasih sayang, keindahan.

a. Kesalahan yang banyak dialami oleh pada para da`i adalah kesalahan dari

segi pemahamannya terhadap dakwah Islam. Kebanyakan mereka

merubah pemahaman sebagai seorang da`i yang menyeru kepada Allah

Swt dan pewaris nabi kepada pembentukan partai, ataupun kelompok-

kelompok yang tidak kuat. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemahaman

terhadap dakwah yang sejati. Ataupun pengaruh dari realitas dakwah yang

lain. Dakwah sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya

yaitu, dakwah kepada Allah dan melaksanakannya sesuai dengan redha-

Nya. Melaksanakan tugas yang dulu diembankan kepada Rasulullah Saw,

mengontrol mereka dalam dakwah tersebut. Dan hal ini sangat jauh dari

tujuan-tujuan yang bersifat temporal ataupun sektoral. Sebab dakwah

Islam berbeda dari segi metode, tatacara, sarana yang telah ditentukan

dalam sumber dan dalil-dalil yang digunakan.

b. Kebanyakan umat Islam kurang respon dalam menjalankan kewajiban

dakwa kepada Allah. Dalam pandangan mereka bahwa dakwah tersebut

hanya disandang oleh ulama ataupun orang-orang tertentu. Mereka

menjauhi dawah dan merasa tidak ada hubunggannya dengan berdakwah.

Hal yang juga melemahkan dakwah adalah mereka menghalangi anak-ana

untuk melakukan aktivitas dakwah.


c. Keterbatasan para pendakwah dalam memahami unsur-unsur dakwah. Ia

hanya mengamalkan konsep dakwah terntentu dan menentang konsep

dakwah yang lain. Menurut mereka dakwah itu hanya sekedar

menyampaikan atau pengajaran atau sekedar pengaturan. Pemahaman

seperti ini dapat melemahkan dakwah itu sendiri. Disi lain ia merusak

keindahan dan kekomprehensifan dakwah. Sehingga terjadilah konflik

diantara para da`i dan saling kritik mengkritik diantara mereka.

d. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa dakwah bermakna penyampaian

dan penjelasan, pendidikan dan pengajaran, praktek dan pelaksanaan. Jika

sebagian para da`i menerima untuk mengamalkan beberapa konsep

dakwah tertentu yang sesuai dengan kesiapan, situasi dan kondisinya

maka ia tidak akan menerima konsep dakwah yang lain. Bahkan mereka

mengingkarinya ataupun berpandangan bahwa konsep yang diusung oleh

orang lain itu telah keluar dari tabiaat dakwah.

Adapun solusi permasalahan ini telah saya bicarakan pada definisi dakwah

dan batasan istilah- istilah dalam ilmu ini pada pengantar yang terdahulu.

e. Dakwah menurut persepketif sebagian orang adalah nasehat dan khutbah.

Oleh sebab itu sebagian mereka menggunakan gaya sastra dalam

berkhutbah. Hal ini jauh sangat jauh dari nilai-nilai dakwah. Sebab dapat

mengurangi urgensitasnya.

f. Berkembangnya paham pemisahan antara fikih dengan pemikiran dalam

barisan para da`i. Dengan demikain banyak di antara mereka yang tidak

memahmi hukum-hukum agama. Hal ini menunjukkan bahwa mereka


semakin jauh dari kepribadian seorang ulama dan fakih dan seorang

pemikir dari sisi lain. Maka terjadilah kerancuan yang besar dalam

pemahaman serta keluar dalam pemahaman hukum-hukum syariat yang

benar. Melenceng dari alasan yang benar dan menjadikan para kader

dakwah saling bertentangan. Sehingga hal ini menuntun mereka pada

situasi dan kondisi yang aneh.

g. Kelalian para da`i dalam menentukan strandar prioritas pada setiap

aktivitas mereka. Mereka tidak mampu untuk menimbang antara

kewajiban dengan kewajiban yang lain ataupun antara satu kemungkinan

dengan kemungkinan yang lain. Ataupun antara mashalih dengna mafasid.

Dampak dari kelemhan demikan adalah, sebagian mereka mendahulukan

sesuatu yang penting dari yang lebih penting. Mendahulukan sesuatu yang

bersifat tersier dari pada yang sekunder. Lebih mendahulukan yang

sekunder daripada hal yang bersifat primer.

D. Target Sasaran

Target Sasaran yang dituju pada pembahasan ini adalah diantara lain

adalah mahasiswa juruan islam yang mengkaji metode metode dakwah para

da’I atau ulama sebagai inovasi baru dalam kajian cara berdakwah atau

menjadikan media penyebaran islam. Media perancangan buku informasi

yang bertujuan untuk mempermudah para da’I dan mahasiswa dalam mencari

informasi metode berdakwah sunan Bonang dengan harapan pembahasan

yang menjadikan buku informasi ini menjadi salah satu solusi dari
permasalahan cara berdakwah dan perbedaan sudut pandang ( Perspective )

dalam penyebaran agama islam.

E. Rencana observasi dan wawancara

Rencana observasi dan wawancara, menjelaskan observasi dan

narasumber yang akan dituju serta kebutuhan data yang akan dikumpulkan.

Rencana observasi dan wawancara, menjelaskan observasi dan narasumber

yang akan dituju serta kebutuhan data yang akan dikumpulkan.

Observasi akan dilaksanakan di Yayasan Miftahul Huda untuk

mengamati perkembangan objek serta media dakwah yang digunakan dan

mendapatkan data Deskriptif dan kualitatif tentang Peran Sunan Bonang

dalam menyebarkan agama islam dan metode dakwah yang dijalankan sunan

Bonang dalam berdakwah menyebarkan agama islam

Wawancara akan dilakukan kepada Ahmad Azid Firdaus S.Pd.I. selaku

Pimpinan Yayasan Miftahul Huda untuk mengumpulkan data tentang Metode

Dakwah dalam penyebaran islam dan Peran Sunan Bonang dalam penyebaran

Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Nur. “Perayaan Grebeg Besar Demak Sebagai Sarana Religi Dalam
Komunikasi Dakwah” At-Tabsyir 1, no. 2 (2013): 1–24.

Alfadhilah, Jauharotina. “Konsep Tuhan Perspekstif Maulana Makhdum Ibrahim


(Studi Kitab Bonang Dan Suluk Wujil)” 2017.

Anita, Dewi Evi. “Walisongo : Mengislamkan Tanah Jawa (Suatu Kajian


Pustaka)” Wahana Akademika 1, no. 2 (2014): 243–66.

Alfadhila, Jauharotina. Interpretasi Konsep Tuhan, Islamica Inside: Jurnal


Keislaman dan Humaniora, Vol 4, No 2, 2018.

Alfadhila, Jauharotina. Petuah-Petuah Sunan Bonang Tentang Ketuhanan


dalam Suluk Wujil dan Primbon Bonang. Yogyakarta: Q-Media, 2021.

Al-Ghanimi, Al-Taftazani, Abu Wafa. Tasawuf Islam (Telaah Historis


dan Perkembangannya). Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

Arif, Masykur, Walisanga Menguak Tabir Kisah Hingga Fakta Sejarah.


Yogyakarta: Laksana, 2016..
.
Hamka, Tasawuf Modern, Bahagia itu Dekat dengan Kita, Ada di Dalam
Diri Kita. Jakarta:
Penerbit Republika, 2016.

Mundzir, Ahmad dan Nurcholis, Sunan Bonang Wali Sufi Guru Sejati.
Tuban: Yayasan Mabarot Sunan Bonang Tuban, 2016.

Rahimsyah, MB. Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar. Surabaya: Penerbit
Amanah, 2012.

Sofwan, Ridin. Islamisasi Di Jawa: Walisanga Sang Penyebar Islam di


Jawa, Menurut Penuturan Babad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Sunyoto, Agus. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka Liman, 2012.

Ulum, Amirul. Sunan Bonang dari Rembang untuk Nusantara, Biografi,


Pemikiran dan Jejaring Isnad. Yogyakarta: CV Global Press, 2017.

Utama, Chandra. Lentera Para Wali. Jakarta: Guepedia Publisher, 2016

Utama, Chandra. Lentera Para Wali. Jakarta: Guepedia Publisher, 2016


Yuliyatun Tajuddin, “Wali Songo Dalam Strategi Komunikasi Dakwah,” ADDIN,
vol.8 (Agustus 2014), 369.

Mun’izul Umam | Hudan Lin Naas, Vol 1, No 2. Juli – Desember 2020

Ibid., 77.

Pamungkas, “Strategi Pembelajaran Sunan Bonang Dalam Syiar Islam Melalui


Media Seni,”

Fahmi Ardhy Pamungkas, “Strategi Pembelajaran Sunan Bonang Dalam Syiar


Islam Melalui Media Seni” (2019), 76.
Mundzir, Sunan Bonang Wali Sufi Guru Sejati (Yayasan Mabarot Sunan Bonang
Tuban), 73.
kaelani, Islam Dan Aspaek-Aspek Kemasyarakatan (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).

Anda mungkin juga menyukai