Anda di halaman 1dari 7

HADIS-HADIS “FAQDURŪ LAH”

Oleh Muh. Zuhri

Pendahuluan
Bermula dari perintah puasa yang disebutkan dalam Al-Quran surah al-Baqarah 183
dan 185. Pada ayat 183 disebutkan
‫ﻳﺎﺍﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﻣﻨﻮﺍ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻛﻤﺎ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮﻥ‬
“Hai orang-orang mukmin, ditetapkan atas kamu menjalankan puasa seperti yang
telah ditetapkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahkan kamu bertaqwa.”
Kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan dipastikan dalam Al-Quran surah al-
Baqarah
...‫ ﻓﻤﻦ ﺷﻬﺪ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﻓﻠﻴﺼﻤﻪ‬...
“Siapa berada di bulan Ramadhan harus berpuasa.”
Akan halnya syari’at Ibadah haji, sebuah hadis menyebutkan ‫ﺍﳊﺞ ﻋﺮﻓﺔ‬
“Haji itu (wukuf) di Arafah (pada tanggal 9 Zulhijjah).” Untuk mendapatkan
tanggal 9 Zulhijjah diperlukan penetapan tanggal 1 Zulhijjah. Karenanya diperlukan
kegiatan seperti menjelang tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal.
Tidak seorang Islam pun membantah bahwa puasa Ramadhan dimulai pada tanggal
satu, dan dikerjakan sebulan penuh. Persoalannya, kapan tanggal satu?
Untuk memahami bagaimana memasuki Ramadhan dalam ayat tersebut diperlukan
bantuan keterangan hadis Nabi

‫ﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺼﻮﻣﻮﺍ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺘﻤﻮﻩ ﻓﺄﻓﻄﺮﻭﺍ ﻓﺈﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻗﺪﺭﻭﺍ ﻟﻪ‬
(Bila kamu melihat bulan berpuasalah dan bila kamu melihat bulan ber-Idul Fitri-lah. Bila
terlindung awan maka perkirakanlah).1
Berdasarkan ayat Al-Quran dan hadis tersebut, orang Islam melakukan ru`yah di
akhir bulan Qamariyah, tepatnya tanggal 29. Ru`yah pada tanggal 30 tidak ada gunanya
karena berhasil melihat bulan atau tidak, hari berikutnya adalah tanggal satu bulan
berikutnya, karena usia bulan Qamariyah itu maksimum 30 hari.
Teknis penetapan bulan Qamariyah, utamanya Ramadhan dan Syawal didasarkan
hadis yang berbunyi
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻬﻢ‬
َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬ َ ‫ن َرﺳُﻮ‬ ‫ﻋﻨْﻬﻤَﺎ َأ ﱠ‬
َ ‫ﻋ َﻤ َﺮ َرﺿِﻲ اﻟﻠﱠﻬﻢ‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻋ ْﺒﺪِاﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ‬ َ ‫ﻦ‬ْ‫ﻋ‬َ -١
‫ﺣﺘﱠﻰ‬
َ ‫ﻄﺮُوا‬ ِ ‫ل َوﻟَﺎ ُﺗ ْﻔ‬َ ‫ﺣﺘﱠﻰ َﺗ َﺮوُا ا ْﻟ ِﻬﻠَﺎ‬
َ ‫ل ﻟَﺎ َﺗﺼُﻮﻣُﻮا‬
َ ‫ن َﻓﻘَﺎ‬ َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َذ َآ َﺮ َر َﻣﻀَﺎ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬َ
(‫ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬... ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗ ُﺪرُوا َﻟ ُﻪ‬
َ ‫ﻏﻢﱠ‬
ُ ‫ن‬
ْ ‫َﺗ َﺮ ْو ُﻩ َﻓِﺈ‬
atau hadis lain yang semakna dengannya, misalnya
‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻬﻢ‬ َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬ َ ‫ن َرﺳُﻮ‬ ‫ﻋﻨْﻬﻤَﺎ َأ ﱠ‬ َ ‫ﻋ َﻤ َﺮ َرﺿِﻲ اﻟﻠﱠﻬﻢ‬ ُ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﺑ‬
ِ‫ﻋ‬ َ -٢
‫ﻋ َﻘ َﺪ ِإ ْﺑﻬَﺎ َﻣ ُﻪ ﻓِﻲ‬
َ ‫ل اﻟﺸﱠ ْﻬ ُﺮ َه َﻜﺬَا َو َه َﻜﺬَا َو َه َﻜﺬَا ُﺛﻢﱠ‬ َ ‫ب ِﺑ َﻴ َﺪ ْﻳ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻀ َﺮ‬ َ ‫ن َﻓ‬ َ ‫َذ َآ َﺮ َر َﻣﻀَﺎ‬
‫ﻦو‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻗ ِﺪرُوا َﻟ ُﻪ َﺛﻠَﺎﺛِﻴ‬
َ ‫ﻲ‬ َ ‫ﻏ ِﻤ‬
ْ ‫ن ُأ‬ْ ‫ﻄﺮُوا ِﻟ ُﺮ ْؤ َﻳ ِﺘ ِﻪ َﻓِﺈ‬ ِ ‫اﻟﺜﱠﺎِﻟ َﺜ ِﺔ َﻓﺼُﻮﻣُﻮا ِﻟ ُﺮ ْؤ َﻳ ِﺘ ِﻪ َوَأ ْﻓ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﻏﻢﱠ‬ ُ ‫ن‬ ْ ‫ل َﻓِﺈ‬
َ ‫ﺳﻨَﺎ ِد َوﻗَﺎ‬ ْ ‫ﻋ َﺒ ْﻴ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﺑ َﻬﺬَا ا ْﻟِﺈ‬ُ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأﺑِﻲ‬ َ ‫ﻦ ُﻧ َﻤ ْﻴ ٍﺮ‬ ُ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ا ْﺑ‬
َ
‫ﻦ‬ ُ ‫ﺤﻴَﻰ ْﺑ‬ ْ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َﻳ‬
َ ‫ﺳﻌِﻴ ٍﺪ‬َ ‫ﻦ‬ ُ ‫ﻋ َﺒ ْﻴ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ‬
ُ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
َ ‫ﺚ َأﺑِﻲ ُأﺳَﺎ َﻣ َﺔ و‬ ِ ‫ﺣﺪِﻳ‬ َ ‫ﺤ َﻮ‬ ْ ‫ﻦ َﻧ‬ َ ‫ﻓَﺎ ْﻗ ِﺪرُوا َﺛﻠَﺎﺛِﻴ‬

1
Al-Shan’ani, Subulus Salam, Juz. 2, h. 151. Hadis Muttafaq Alaih dari Ibn Umar
2

‫ﺳﱠﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻬﻢ‬ َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬ ُ ‫ل َذ َآ َﺮ َرﺳُﻮ‬ َ ‫ﺳﻨَﺎ ِد َوﻗَﺎ‬
ْ ‫ﻋ َﺒ ْﻴ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ِﺑ َﻬﺬَا ا ْﻟِﺈ‬
ُ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ﺳﻌِﻴ ٍﺪ‬ َ
‫ل ﻓَﺎ ْﻗ ِﺪرُوا َﻟ ُﻪ‬َ ‫ن اﻟﺸﱠ ْﻬ ُﺮ َه َﻜﺬَا َو َه َﻜﺬَا َو َه َﻜﺬَا َوﻗَﺎ‬
َ ‫ﺸﺮُو‬ ْ‫ﻋ‬ ِ ‫ﺴ ٌﻊ َو‬ ْ ‫ل اﻟﺸﱠ ْﻬ ُﺮ ِﺗ‬ َ ‫ن َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫َر َﻣﻀَﺎ‬
(‫ )ﻣﺴﻠﻢ‬.‫ﻦ‬ َ ‫ﻞ َﺛﻠَﺎﺛِﻴ‬ْ ‫َوَﻟ ْﻢ َﻳ ُﻘ‬
Isi hadis itu, Rasulullah menyuruh ru`yah untuk memasuki Ramadhan dan Idul
Fitri. Bila bulan sabit terlindung awan supaya ditaqdirkan (faqdurū lah). Hadis kedua
menyebutkan faqdurū lah tsalātsīn. Hanya, dipenghujung hadis ke dua ini dikutip jalur
periwayatan lain dengan faqdurū lah wa lam yaqul tsalātsīn (maka perkirakanlah – tanpa
menyebut 30 hari).
Berdasarkan hadis-hadis ini maka dalam kurun waktu panjang, umat Islam
menetapkan awal bulan dengan ru`yah. Bila bulan sabit terlindung awan maka bulan
Qamariyah digenapkan 30 hari, baik bulan Sya’ban maupun Ramadhan berdasarkan
pemahaman hadis-hadis ini. Ketika Ilmu Hisab mulai dapat ”menggantikan” posisi
ru`yah, maka ada yang berpegang pada hasil Hisab, awan tidak lagi menjadi penghalang
untuk memastikan keberadaan hilal. Bahkan, hilal yang diperkirakan tidak dapat diru`yah
dapat dipastikan keberadaannya ketika matahari terbenam pada ”Bulan Baru”. Tetapi ada
pula yang tetap berpegang pada pemahaman harfiyah terhadap teks hadis yang
memerintahkan penggenapan bulan menjadi 30 hari. Persoalannya, apakah hadis itu harus
dipahami seperti itu? Atau apakah teks yang menyebut angka 30 hari itu memang otentik
dari Rasulullah atau merupakan redaksi tambahan dari periwayat tertentu?

Varian Hadis-Hadis ”Faqdurū lah”


Tulisan ini menelusuri 30 jalur hadis sesuai judul makalah. Jumlah ini meliputi
hampir semua jalur periwayatan. Dari 30 jalur itu ditemukan 8 varian redaksi.
1. Hadis dengan teks ”faqdurū lah”
2. Hadis dengan teks ”fa akmilu al-’iddata tsalatsin”
3. Hadis dengan teks ”fa shūmū tsalatsin yauman”
4. Hadis dengan teks ”fa ’uddū tsalatsin”
5. Hadis dengan teks ”faqdurū tsalatsin”
6. Hadis dengan teks ”fa akmilu al-’adad”
7. Hadis dengan teks ”fa akmilū tsalatsin”
8. Hadis dengan teks ”fa akmilū al-’iddata”
Varian hadis yang jumlahnya 8 itu diharapkan dapat membantu memahami hadis
secara lebih tepat. Hadis-hadis dari 8 varian yang berasal dari 30 jalur tersebut sebagian
besar berkualitas ”shahih”. Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh 4 orang (yang nama-
namanya disebut) di bawah Rasulullah dan satu jalur tidak menyebut nama, tetapi ashab
Rasulillah. Mereka adalah (1) Abdullah Ibn Umar, (2) Abu Hurairah, (3) Abdullah Ibn
Abbas dan (4) Rab’i. Perlu dicatat bahwa Rab’i bukan shahabat, tetapi tabi’i, wafat tahun
104 H. Karena itu hadis jalur Rab’i mursal. Begitu juga dengan sebutan ashab Rasulillah,
menjadi majhul, hadisnya juga ”mursal.”
- Hadis dengan redaksi ”faqdurū lah” melalui Ibn Umar;
- redaksi ”fa akmilu al-’idata tsalatsin” melalui Ibn Umar dan Ibn Abbas;
- redaksi ”fa shūmū tsalatsin yauman” melalui Abu Hurairah dan Rab’i;
- redaksi ”fa ’uddū tsalatsin” melalui Abu Hurairah;
- redaksi ”faqdurū tsalatsin” melalui Ibn Umar dan Abu Hurairah;
- redaksi ”fa akmilu al-’adad” dan ”fa akmilū al-’iddata” melalui Abu Hurairah,
- dan redaksi ”fa akmilū tsalatsin” melalui Ashabu Rasulillah (mubham).
Dari pemilahan ini dapat diketahui bahwa:

Dari sisi sumber hadis di bawah Rasulullah


3

1. Ibn Umar meriwayatkan 2 varian redaksi, (1)”faqdurū lah” saja dan (2) redaksi
yang menyebut angka 30 hari.
2. Abu Hurairah tidak meriwayatkan redaksi ”faqdurū lah”, tetapi redaksi yang
menyebut angka 30 hari (dalam 3 varian) dan redaksi yang memerintahkan
menyempurnakan bilangan tanpa angka 30 hari (dalam 2 varian).
3. Ibn Abbas dan Rab’i meriwayatkan redaksi hadis yang menyebut angka 30 hari,
tidak meriwayatkan dengan redaksi ”faqdurū lah”.

Dari sisi Penulis Kitab (Kolektor)


Bila kita melihat dari sisi kolektor hadis, mereka adalah Imam Malik, Ahmad, Al-
Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasai, Ibn Majah dan al-Turmudzi.
- Al-Bukhari meriwayatkan 2 varian, (1)”faqdurū lah” dan (2)”fa akmulu al-’idata
tsalatsin”.
- Imam Muslim, al-Nasai dan Ahmad meriwayatkan 3 varian, (1)”faqdurū lah”, (2)
angka 30, dan (3) perintah menyempurnakan bilangan tanpa menyebut angka 30.
- Imam Malik meriwayatkan 2 varian, (1)”faqdurū lah” dan (2)”fa akmulu al-’idata
tsalatsin”.
- Abu Daud dan al-Turmudzi masing-masing meriwayatkan 1 varian, redaksi yang
memerintahkan menyempurnakan bilangan tanpa angka 30 hari.
- Ibn Majah meriwayatkan 2 varian, (1)”faqdurū lah” dan (2)”fa shūmū tsalatsin
yauman”.

Implementasi Hadis ”Faqduru lah” Pada Masa Awal


Hadis yang sedang kita bicarakan ini mengalir dari masa Nabi hingga hadis
dikoleksi para Ulama Hadis dalam suasana Ilmu Hisab belum berkembang menjadi
matang. Pada data yang diverifikasi dalam bentuk bagan sanad, kita menemukan seorang
Ibn Umar meriwayatkan hadis dengan 2 redaksi ”faqdurū lah” dan redaksi ”fa ’uddū
tsalatsin”. Bila ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa ia tidak mempersoalkan
perbedaan redaksi yang implisit (faqdurū lah) dari yang eksplisit (fa ’uddū tsalatsin).
Selanjutnya, kemungkinan besar ia berpendapat bahwa redaksi ”faqdurū lah” itu
maknanya menggenapkan bulan menjadi 30 hari. Begitu juga dengan shahabat lain yang
meriwayatkan hadis ini, baik dengan redaksi eksplisit maupun implisit, berpendapat
sama. Dengan demikian, mereka tidak memandang penting perbedaan redaksi hadis yang
memerintahkan ru`yah untuk memasuki puasa dan memasuki Idul Fitri.
Para ulama Hadis sekaliber Imam al-Bukhari dan Muslim beserta para kolektor lain
tampaknya juga tidak mempersoalan apakah redaksi hadis hanya faqdurū lah atau ada
tambahan keterangan angka 30. Dapat dipastikan bahwa menurut pemahaman mereka,
faqdurū lah itu isinya angka 30 hari itu. Karena satu-satunya media penetapan tanggal itu
dengan rukyah (ilmu hisab belum dimiliki oleh Ulama Hadis maupun Ulama Fiqh), maka
ketika mata tidak berhasil melihat hilal, baik karena terhalang oleh awan maupun karena
posisi hilal yang amat rendah, maka dalam keadaan semacam ini mereka mengambil
istikmāl, menggenapkan bulan Qamariyah tersebut menjadi 30 hari. Sikap ini diperkuat
dengan hadis yang mengakui bahwa ummat ummiy tidak memiliki kemampuan hisab
seperti akan kita bicarakan.

Ilmu Hisab Menyingkap Misteri


Ru`yah tampaknya menjadi cara satu-satunya menetapkan awal bulan sebelum Ilmu
Hisab berkembang menjadi matang. Ilmu Nujum yang berkembang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karenanya, ungkapan dalam Hadis Nabi dengan ”
faqdurū lah” (bila bulan sabit terlindung awan maka perkirakanlah!) menunjukkan
alangkah bijaksananya beliau. Beliau juga menegaskan bahwa Nabi adalah bagian dari
4

masyarakat Ummiy yang tidak bertradisi tulis menulis dan matematika. Dijelaskan pula,
usia bulan Qamariyah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari seperti tercantum
dalam hadis
‫ﺐ‬
ُ ‫ﺴ‬
ُ‫ﺤ‬
ْ ‫ﺐ َوﻟَﺎ َﻧ‬
ُ ‫ل ِإﻧﱠﺎ ُأ ﱠﻣ ٌﺔ ُأﻣﱢﻴﱠ ٌﺔ ﻟَﺎ َﻧ ْﻜ ُﺘ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأﻧﱠ ُﻪ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠﻬﻢ‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ِ‫ﻋ‬َ
‫ﻦ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬ َ ‫ﻦ َو َﻣ ﱠﺮ ًة َﺛﻠَﺎﺛِﻴ‬ َ ‫ﺸﺮِﻳ‬ْ‫ﻋ‬ ِ ‫ﺴ َﻌ ًﺔ َو‬ ْ ‫اﻟﺸﱠ ْﻬ ُﺮ َه َﻜﺬَا َو َه َﻜﺬَا َﻳ ْﻌﻨِﻲ َﻣ ﱠﺮ ًة ِﺗ‬
(‫وﻣﺴﻠﻢ واﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ واﺣﻤﺪ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ‬
Dari Nabi saw., “kita adalah umat ummiy, tidak (bertradisi) menulis dan
(menggunakan ilmu) Hisab. Satu bulan itu begini, terkadang 29 hari dan terkadang 30
hari.”
Tentu, penegasan ini langsung diterima oleh masyarakatnya karena bulan
Qamariyah merupakan cara penetapan siklus bulanan yang familier bagi mereka. Wilayah
Arabia tidak relevan dengan siklus penanggalan Syamsiyah. Hadis yang hanya disebarkan
oleh seorang shahabat, Ibn Umar, ini kualitasnya shahih.
Dengan pernyataan beliau sebagai masyarakat ummiy, semakin jelas bahwa ru`yah
pada awal Islam menjadi jalan satu-satunya menetapkan awal bulan. Dari pernyataan ini
tersirat bahwa bagi masyarakat yang pada suatu saat bisa menggunakan Ilmu Hisab, maka
ru`yah merupakan opsi yang dapat diganti dengan Hisab sebagai opsi lain. Bagi Ulama
yang menekuni Ilmu Hisab, angka 29 dan 30 hari sebagai hitungan usia bulan Qamariyah
merupakan misteri yang menantang mereka untuk menyibaknya. Dan, misteri itu baru
tersibak dengan tepat setelah Ilmu Hisab menjadi matang.
Mengapa usia bulan Qamariyah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari, karena
dalam Ilmu Hisab, usia bulan Qamariyah rata-rata, atau peredaran bulan mengelilingi
bumi dari sebuah titik ijtima’ ke titik ijtima’ berikutnya adalah 29 hari 12 jam 44 menit
2,8 detik. Setelah diadakan perhitungan cermat, usia tahun Qamariyah adalah 354 hari 8
jam 48,5 menit, yang kalau disederhanakan menjadi 354 11/30 hari.2 Titik permulaan
perjalanan peredaran bulan disebut ijtima’. Dengan demikian, hisab murni
mendefinisikan bulan (syahr/wulan) adalah “dari ijtima’ ke ijtima’.” Ijtima’ adalah
keberadaan bulan dengan matahari dalam satu garis (longitude) dilihat dari bumi.
Peristiwa ijtima’ ini terjadi pada waktu yang sama, ada yang sedang berada pada siang
hari, ada yang sedang berada pada malam hari, pagi hari, petang hari, dan sebagainya.
Hadis yang memerintahkan ru`yah mengandung maksud mengetahui apakah setelah
terjadi ijtima` itu hilal berada di atas ufuk atau tidak. Hasil hisab dapat memberi
informasi tentang posisi hilal sesudah ijtima’. Inilah yang dimaksud bahwa hisab (yang
belum berkembang di masa Rasulullah) dapat membantu melaksanakan hadis Nabi
mengetahui posisi hilal yang dulu ditempuh dengan ru`yah. Berhubung terdapat pendapat
bahwa hilal ba’da al-ijtima’ harus disaksikan dengan mata kepala, maka untuk
kepentingan ini, hisab dilanjutkan dengan target mengetahui kemungkinan hilal tersebut
dapat dilihat dengan mata kepala, misalnya memunculkan konsep Ufuq Mar`i dengan
ketinggian hilal pada derajat tertentu.

Bila Harus dinilai ”ta’ārudh”, mana yang otentik?


Banyak orang salah duga lalu berkata, Hadis itu sabda, perbuatan atau hal ihwal
Nabi. Tidak. Hadis itu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi.3 Boleh jadi, ia benar-benar
dari Nabi, boleh jadi itu palsu; bukan dari Nabi diklaim sebagai berasal dari Nabi. Karena
itu dalam Ilmu Hadis kita mengenal ada hadis maqbul dan hadis mardud. Maka hadis

2
Badan Hisab & Rukyat Dep. Agama, Almanak Hisab Rukyat, Proyek Pembinaan Badan Peradilan
Agama, hlm. 43.
3
Selanjutnya ada perkembangan, yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in juga disebut hadis,
diberi nama Mauquf dan Maqthu’.
5

dalam pengertian yang umum melibatkan peran para periwayat yang tercantum sebagai
sanad hadis, sehingga sebuah materi hadis yang dari Nabi meggunakan redaksi x, setelah
sampai pada para kolektor menjadi y, z, t, o, k dan sebagainya. Jadi, shahih dan tidaknya
sebuah hadis ditentukan oleh orang-orang yang menjadi sanad hadis, dan kolektor ikut
bertanggungjawab. Tetapi memang ada juga kolektor yang dalam menyajikan hadis
dengan segala sanadnya punya maksud memberi informasi bahwa ini sebuah hadis.
Adapun otentik atau tidaknya terserah pada penelitian para pembaca. Kalau masing-
masing redaksi pada tingkat kolektor itu isinya sama, maka tidak berbahaya. Tetapi kalau
isinya berbeda akan menimbulkan konflik.

1. Kapan Hadis ini muncul? Dan apakah Hadis tema ini muncul satu kali, atau
berulang-ulang?
Di muka telah disebutkan bahwa baik generasi Shahabat maupun generasi Kolektor
Hadis tidak menganggap ada ”pertentangan serius” antara redaksi hadis (1)”faqdurū lah”
dengan (2)”fa akmulu al-’idata tsalatsin” atau redaksi lain yang menyebut angka 30 hari.
Mereka tidak merasa risih dengan meriwayatkan dua redaksi yang ”berbeda”. Agaknya
perlu ditelusuri, kapan muncul perintah ru`yah sebagaimana terekam dalam hadis itu?
Dan berapa kali peristiwakah Nabi menyatakannya?
Melihat redaksi hadis yang isinya sama, perbedaan pada penyebutan angka 30 hari
dan tidak, serta jumlah penerima hadis (shahabat) hanya 2 atau 3 orang, diperkirakan
hadis ini melaporkan sebuah peristiwa (satu kali kejadian), tidak berulang-ulang. Tidak
diragukan bahwa puasa Ramadhan itu dimulai pada tahun 3 H. Hadis tema ini muncul
tidak jauh dari Ramadhan pertama di masa Rasulullah. Bila ini patokannya, maka tiga
orang shahabat yang menerima langsung hadis itu dari Nabi hanya Ibnu Umar dan Ibn
Abbas. Abu Hurairah tidak mendengar langsung dari Rasul, tetapi melalui sahabat lain,
karena ia masuk Islam 3 tahun sebelum Rasul wafat, sekian tahun (4 tahunan?) dari
munculnya hadis ini. Hanya, Abu Hurairah tidak menyebut shahabat siapa yang
menyampaikan hadis ini kepadanya. Tentunya sumber hadisnya dari Ibn Umar. Karena
itu dapat dimengerti bila Imam al-Bukhari tidak meriwayatkan hadis tema ini dari jalur
Abu Hurairah, tetapi al-Bukhari melalui jalur Ibn Umar dan Ibn Abbas. Akan halnya Ibn
Abbas, ketika hadis ini muncul, ia berumur sekitar 6 tahunan. Boleh jadi juga Ibn Abbas
mendapatkan informasi hadis ini dari Ibn Umar juga.
Sebagian besar jalur periwayatan hadis yang bersumber dari Ibn Umar
menggunakan redaksi ”faqdurū lah” saja. Beberapa jalur yang diriwayatkan oleh Al-
Bukhari dan riwayat Abu Daud dan Muslim, ada tambahan angka 30 hari. Adapun hadis
melalui jalur Ibn Abbas dan jalur Abu Hurairah, ada ungkapan tambahan perintah
menyempurnakan bilangan 30 hari, dan ungkapan perintah menyempurnakan bilangan.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini melalui 2 sumber, Ibn Umar dan Abu
Hurairah. Dengan sumber Ibn Umar, Imam Ahmad mempunyai 4 jalur, semuanya
menggunakan redaksi ”faqdurū lah” saja. Sedangkan dengan sumber Abu Hurairah,
sebagian besar redaksinya menyebut angka 30 hari, dan dua jalur menyebut fa akmilu al-
’iddah tanpa angka 30 hari.4

4
Imam Ahmad memperoleh hadis ini dari 2 sumber (Ibn Umar dan Abu Hurairah) melalui paling
tidak 18 jalur dengan ragam redaksi.
- Redaksi Faqdurū lah bersumber Ibn Umar = 4 jalur (no 4285, 4382, 5042, 6041).
- Redaksi Fa shūmū tsalatsin bersumber Abu Hurairah = 3 jalur (no 7203, 7265, 7448).
- Redaksi Fa ’udd ū tsalatsin bersumber Abu Hurairah= 6 jalur (no 7526,9007,9476, 9680, 14001, 10047).
- Redaksi Fa akmilū al-’iddat tsalatsin bersumber Abu Hurairah = 3 jalur (no 9094, 9188, 9189).
- Redaksi Fa atimmū tsalatsin yauman bersumber Abu Hurairah = 1 jalur (no 9277).
- Redaksi Fa atimmū al-’iddah bersumber Abu Hurairah = 1 jalur (no 15702).
6

Sebagian besar ulama, seperti disebut di muka, berpendapat bahwa ”faqdurū lah”
itu tafsirannya menyempurnakan bilangan bulan 30 hari. Mereka tidak menemukan
ta’arudh antara dua redaksi itu. Hal ini berlangsung terus meskipun Ilmu Hisab sudah
semakin matang. Ulama yang datang belakangan pun dengan penuh hormat kepada
ulama terdahulu, menerima pendapat ini dan mempertahankannya ketika ada pendapat
yang berbeda.
Hadis yang kandungannya sama, redaksinya berbeda beriringan dengan perbedaan
jalur tidak dipersoalkan oleh ulama Hadis. Misalnya, hadis Innamal a’māl bin niyyat,
atau al-maulūd yūladu ’alal fithrah, dalam jalur yang berbeda redaksinya berbeda-beda,
tidak dipersoalkan, mana yang otentik dari Rasulullah dan mana yang tidak. Mereka
mengatakan, itulah hadis riwayat bi al-ma’na. Otentisitas dipersoalkan ketika ada
kekhawatiran terjadi ta’ārud karena redaksi yang beragam. Ketika kita menemukan
perbedaan redaksi (antara ”faqdurū lah” saja dengan fa akmilū al-’iddah tsalātsīn
misalnya) membawa implikasi ”ta’arudh” maka otentisitas kedua redaksi itu terasa perlu
dipersoalkan. Mustahil satu peristiwa yang melahirkan ucapan Rasulullah yang
dilaporkan dengan dua redaksi yang ”ta’arudh” itu kedua-duanya otentik.

2. Pendapat ”Minoritas”
Ada pendapat yang menyatakan bahwa faqdurū lah itu punya maksud supaya
memperkirakan posisi hilal di balik awan.5 Artinya, tidak harus menyempurnakannya 30
hari. Pendapat ini agaknya tidak meyakini bahwa redaksi yang memerintahkan bilangan
bulan 30 hari itu sebagai redaksi yang otentik, tetapi sisipan (idrāj). Asumsinya, hadis itu
didengar oleh Ibn Umar dengan redaksi faqdurū lah, kemudian diterima oleh Ibn Abbas
dan Abu Hurairah lalu diriwayatkan dengan idrāj. Namun demikian, idrāj dapat juga
terjadi pada periwayat thabaqah di bawah shahabat. Pemikiran ini diperlukan karena
sebuah peristiwa yang melahirkan ucapan Nabi tentunya hanya satu versi redaksi yang
otentik, yang lainnya riwāyat bi al-ma’nā. Persoalannya, redaksi mana yang otentik, dan
redaksi mana pula yang riwāyat bi al-ma’nā.
Sesuai dengan penelusuran di atas, hadis ini diterima oleh Ibn Umar, menggunakan
redaksi faqdurū lah. Redaksi menjadi berkembang dengan penyisipan pada proses
periwayatan seperti yang terlihat dalam jalur yang bersumber Abu Hurairah. Dan,
penyisipan atau penggantian redaksi menjadi fa ’uddū tsalatsīn, atau fashūmū tsalatsin,
atau fa atimmū tsalatsin, itu dimungkinkan karena secara konteks tidak berbahaya. Kalau
kita melihat pada jalur lain yang bersumber dari Ibn Umar dengan redaksi fa akmilū al-
’iddata tsalatsin, agaknya terjadi ”distorsi” pada proses periwayatan orang-orang
generasi sesudah Ibn Umar. Penulis sendiri berkesimpulan bahwa Hadis yang otentik dari
Nabi adalah hadis yang melalui jalur Ibn Abbas dengan redaksi ”faqduru lah” tanpa
tambahan keterangan angka 30. Dalam mengamalkan perintah ”faqduru lah”, karena
tempo dulu belum ada Ilmu Hisab yang memadai, maka menggenapkannya 30. Tetapi
setelah Ilmu Hisab dapat menjelaskan posisi hilal, maka perintah ”faqduru lah” disambut
dengan memperhitungkan posisi hilal berdasarkan Ilmu Hisab.

5
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz 4., h. 122. Di sana terungkap:
‫ وذهﺐ ﺁﺧﺮون إﻟﻰ ﺗﺄوﻳﻞ ﺛﺎﻟﺚ ﻗﺎﻟﻮا ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻓﺎﻗﺪروﻩ ﺑﺤﺴﺎب اﻟﻤﻨﺎزل ﻗﺎﻟﻪ أﺑﻮ‬...
‫اﻟﻌﺒﺎس ﺑﻦ ﺳﺮﻳﺞ ﻣﻦ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ وﻣﻄﺮف ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﻣﻦ اﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ وﺑﻦ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﻣﻦ‬
...‫اﻟﻤﺤﺪﺛﻴﻦ‬
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (juz 7 h. 186) menyebutkan dengan ungkapan yang mirip:
‫ واﺧﺘﻠﻒ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻲ ﻣﻌﻨﻰ ﻓﺎﻗﺪروا ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺿﻴﻘﻮا ﻟﻪ‬...
...‫واﻗﺪروﻩ ﺗﺤﺖ اﻟﺴﺤﺎب وﻣﻤﻦ ﻗﺎل ﺑﻬﺬا أﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ‬
7

Penutup
Berikut ini adalah contoh hadis riwayat bi al-ma’na.6
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ُﻣ َﻮﱢﻟﻴًﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬ َ ‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ‬
ُ ‫ﺴ ُﻪ ﻗَﺎ َم َﻓﺮَﺁ ُﻩ َرﺳُﻮ‬ ُ ‫ﺠِﻠ‬ ْ ‫ل َﻣ‬َ ‫ﺣﺘﱠﻰ إذَا ﻃَﺎ‬ َ ‫ﻞ‬ ُ‫ﺟ‬ ُ ‫ﺲ اﻟﺮﱠ‬ َ ‫ﺠَﻠ‬ َ ‫ َﻓ‬...
‫ل‬
َ ‫ﻋ ﱠﺪ َدهَﺎ َﻓﻘَﺎ‬ َ ‫ل َﻣﻌِﻲ ﺳُﻮ َر ُة َآﺬَا َوﺳُﻮ َر ُة َآﺬَا‬ َ ‫ن ﻗَﺎ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ْ ‫ل ﻣَﺎذَا َﻣﻌَﻚ ِﻣ‬ َ ‫َﻓ َﺪﻋَﺎ ِﺑ ِﻪ َﻓَﻠﻤﱠﺎ ﺟَﺎ َء ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻖ‬
، ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬ ٌ ‫ن { ُﻣ ﱠﺘ َﻔ‬ ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ْ ‫ﺐ َﻓ َﻘ ْﺪ َﻣﱠﻠ ْﻜ ُﺘ َﻜﻬَﺎ ِﺑﻤَﺎ َﻣﻌَﻚ ِﻣ‬
ْ ‫ل ا ْذ َه‬ َ ‫ل َﻧ َﻌ ْﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻇ ْﻬ ِﺮ َﻗ ْﻠﺒِﻚ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫َﺗ ْﻘ َﺮ ُؤ ُهﻦﱠ‬
‫ﺴِﻠ ٍﻢ‬
ْ ‫ﻆ ِﻟ ُﻤ‬
ُ ‫وَاﻟﱠﻠ ْﻔ‬
Riwayat tersebut menggambarkan, Rasulullah akhirnya menikahkan seorang pria denga
mahar bacaan surat-surat tertentu dalam Al-Quran dengan ungkapan akad nikah:
‫ن‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ْ ‫( اذهﺐ َﻓ َﻘ ْﺪ َﻣﱠﻠ ْﻜ ُﺘ َﻜﻬَﺎ ِﺑﻤَﺎ َﻣﻌَﻚ ِﻣ‬Pergilah sungguh aku telah menetapkan wanita itu
menjadi milikmu dengan mahar ayat Al-Quran yang kamu miliki). Hadis ini dikutip dari
redaksi yang ada dalam Shahih Muslim. Tetapi dalam riwayat lain, ucapan akad
berbunyi:
{‫ن‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ْ ‫ﺟ ُﺘ َﻜﻬَﺎ َﻓ َﻌﱢﻠ ْﻤﻬَﺎ ِﻣ‬
ْ ‫ﻖ َﻓ َﻘ ْﺪ َز ﱠو‬
ْ ‫ﻄِﻠ‬
َ ‫ل } ا ْﻧ‬
َ ‫ َوﻓِﻲ ِروَا َﻳ ٍﺔ ﻗَﺎ‬،
Inthaliq bukan idzhab (artinya sama, pergilah), lalu disebut dengan faqad zawwajtuka ....
bukan faqad mallaktuka hā seperti versi di atas. Kemudian dalam riwayat al-Bukhari
redaksinya berbunyi:
{‫ن‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬
ْ ‫ي } َأ ْﻣ َﻜﻨﱠﺎ َآﻬَﺎ ِﺑﻤَﺎ َﻣﻌَﻚ ِﻣ‬
‫َوﻓِﻲ ِروَا َﻳ ٍﺔ ِﻟ ْﻠ ُﺒﺨَﺎ ِر ﱢ‬
Amkannāka hā, bukan faqad mallaktuka hā, bukan pula faqad zawwajtuka hā.
Dari hadis ini, yang hendak kita lihat adalah redaksi aqad nikah yang dituturkan
oleh Rasulullah seperti dilaporkan hadis ini. Sebuah peristiwa, tentunya peristiwa
akadnya satu kali, tetapi redaksi akadnya menjadi 3 versi. (1) Amkannāka hā, (2) faqad
mallaktuka hā, (3) faqad zawwajtuka hā. Dari ketiga redaksi itu boleh dimajukan
pertanyaan, mana yang otentik dari Rasulullah. Tetapi karena ketiga versi redaksi itu
dipandang sama isinya, dan sulit ditelusuri otentisitasnya serta tidak berbahaya bila
dibiarkan begitu saja, maka hanya dikomentari ”inilah hadis riwayat bi alma’na.” Jadi,
hadis semacam ini meninggalkan pekerjaan bila kita ingin menelusuri otentisitas.
Mustahil, Nabi berbicara dengan sebuah redaksi, tetapi redaksi lain dinyatakan otentik.
Hadis yang temanya sedang kita diskusikan ini punya kesamaan nasib dengan hadis
yang baru saja kita contohkan. Hanya, karena faqdurū lah itu akhirnya memiliki multi
makna yang tidak mudah disatukan, maka pengarahan ke satu makna (berpuasa 30 hari)
menggugah kesadaran mendiskusikan otentisitas redaksi secara lebih tuntas.

6
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz 4, h. 445.

Anda mungkin juga menyukai