Anda di halaman 1dari 8

Saudari Tessa kami juga mengalami hal yg sama dengan anda sudah 2 bulan ini di

telpon dan di teror oleh Debt kolektor dari bank HSBC, tidak hanya atu rumah yg di
telponin terus menerus tp satu gang krn no telpon nya urutan, kami setiap hari di
teror, diancam akan di cincang, di penggal, dibunuh, dikatakan sekongkol dengan
penghutang dsb, sampai ada warga yg tidak berai keluar rumah, dan smp ada yg
shok karena di kata2 Haji anjing, haji murtad. padahal sudah berulang2 di jelaskan
kami tidak ada urusan dengan orang yg berhutang, bahkan kami menyuruh mereka
supaya datang saja k rumah kami, tp mereka tidak datang dan hanya memaki2 i tlp
setiap hari, kami sudah lapor polisi tp pihak kepolisian hanya menyuruh kami
mengabaikan tlp tersebut, tp kami merasa terganggu, kami sudah mengirim surat
lwt faximile yg kami tujukan kpd pimpinan bank hsbc supaya mereka menghentikan
teror k warga kami dan mengatur kolektornya, kl dalam 2x24 jam masih ada teror
kami akan berdemo dan menuntut perusahaan tsb k pengadilan krn sudah
menggaggu kenyamanan warga dan mengakibatkan seorang warga disini smp
masuk rs krn shok. dan kami akan mengumpulkan orang2 yg senasib dgn kami
untuk berdemo secara besar2an agar d liput stasiun tv, kami sudah
mengkonfirmasikan lewat kompa.com, detik.com, konsumen.org, dan kaskus. kl
anda msh di teror dan d intimidasi silahkan bergabung dengan kami, nanti akan ada
yg mengkontak anda. Terimakasih.

Membantu Nasabah Menyelesaikan


Masalahnya 3 (Satu dari Beberapa
Pengalaman)
OPINI | 07 February 2011 | 12:39 102 8
2 dari 2 Kompasianer menilai bermanfaat

Sekitar 2 tahun yang lalu seseorang yang berinisial HS datang berkonsultasi kepada kami untuk
mendiskusikan permasalahan yang sedang menimpa dirinya.

Dia dihimpit permasalahan Kartu Kredit, KTA, Personal yang sudah mulai macet. Kalau ditotal-
total, secara keseluruhan telah mencapai kurang lebih 150 juta. Yaitu dari 6 Kartu Kredit yang
limitnya antara 10 sampai 20 juta. Selainnya adalah Kredit Tanpa Agunan (KTA) atau Personal
Loan.
Ceritanya, dia sudah mulai didatangi debt collector. Tiada hari tanpa didatangi debt collector.
Sebelum-sebelumnyanya, ketika telepon rumah dan Hand Phone masih aktif atau diaktifkan, dia
juga sempat merasakan makian, umpatan, terror dan yang sejenisnya via telepon atau hand phone
tersebut.

Permasalahannya dia tidak bisa menghindar. Karena dirumahnya itu ada aktifitas isterinya. Satu-
satunya sumber pendapatan untuk memastikan dapur bisa ngebul, plus kelangsungan pendidikan
anaknya yang satu kelas 2 SD yang satunya lagi TK.

Dia sendiri setelah usahanya dibidang supplier kerajinan rotan hancur, belum bisa menemukan
pekerjaan yang bisa menghasilkan uang untuk menambah-nambah pendapatan yang ada.
Hancurnya bisnis supplyer rotan yang sudah ditekuninya sejak lama, akibat kaburnya beberapa
pengusaha yang disupplynya, mengakibatkan tagihannya jadi macet. Sebelumnya kepada
langganannya dia menerapkan sistim pembayaran dua minggu sampai satu bulan dibelakang.

***

Sebenarnya, percuma bapak HS ini datang berkonsultasi kepada kami. Karena sebagai Lembaga
Mediasi, tentu harus ada bahan yang dimediasikan. Seperti misalnya, rescheduling, melunasi
dengan sejumlah potongan, pengaduan nasabah dan yang sejenisnya. Kalau misalnya jadi untuk
tidak membayar sama sekali, tentu tidak bisa.

Yang mengagetkan lagi, ketika dicoba ditanyakan apakah ada asset yang bisa dijual untuk
menutupi hutang-hutang tersebuat, dia langsung mengaku bahwa rumah yang ditempati mereka
sekarang ini, juga sudah dijaminkan ke Bank, dan itupun sudah dalam kondisi macet. Mengeni
itu, diapun sudah pasrah kalau harus dieksekusi. Karena memang sudah tidak mampu bayar lagi.
Ketika dicoba membanding-bandingkan harga jual dengan saldo pinjaman yang adapun,
sepertinya pas-pasan juga, sehingga tak ada yang bisa diharapkan dari selisihnya apabila
dilakukan penjualan.

***
Karena mentok dengan bahan yang mau dimediasikan, dan sudah tahu Debt Collector akan
datang, datang dan datang lagi, akhirnya yang dapat kami tawarkan untuk kami bantu adalah,
bagaimana cara mempersiapkan mental dalam menyikapi dan menghadapi debt collector-(debt
collector) yang akan datang tersebut. Yaitu yang pada intinya adalah untuk tidak perlu takut..

Kalau ada yang marah, lebih baik diterima saja. Tidak usah dilayani. Itu pasti lebih baik.
Mungkin mereka kesal, karena sudah capek-capek tapi tidak ada hasil. Bisa saja mereka juga
membayangkan bahwa di kantornya mereka akan kena marah-marah juga, karena pulang tidak
mendapatkan hasil. Atau untuk target bulananan nanti jadi tidak tercapai. Apalagi akan
mempengaruhi kelangsungan salary atau bahkan karirnya. Dan macam-macam.

Nah, kecuali mereka bertindak diluar etika dan norma-norma umum yang berlaku, itu bisa
dilawan. Bila perlu langsung diursir saja dari rumah. Tak perlu ragu untuk melakukan itu. Sebab
meskipun punya hutang, hak masih tetap ada sesuai koridornya.

Kelihatannya, pak HS itu lega atas saran yang kami berikan. Entahlah dalam batinnya.

Karena dalam prakteknya nanti dia sendiri yang harus menghadapi gempuran-gempuran yang
sepertinya akan sangat dahsyat. Dia tidak tidak bisa menghindar. Masalahnya, bisnis kecil-
kecilan isterinya, bisnis satu-satunya penopang kelangsungan hidup keluarganya itu
mengharuskan rumahnya harus selalu dalam keadaan terbuka. Kalau bukan karena itu, mereka
bisa menutup pintu gerbang rapat-rapat misalnya seperti yang dilakukan banyak orang untuk
menghidari bertemu dengan debt collector. Hanya, ada satu hal yang sepertinya membuat dia
lebih lega. Kesediaan kami itu, untuk mendampinginya kalau kesulitan menghadapi debt
collectornya. Terutama apabila dia sedang dalam posisi jauh dari rumah. Karena sepertinya tidak
akan sanaggup menghadapinya sendirian. Jangankan isterinya, dia sendiri saja keder.

***

Hampir disetiap menghadapi debt collector yang datang, pak HS tersebut sukses mempraktekkan
trik sederhana yang saya atau kami sarankan tersebut.
Kecuali dalam satu kesempatan. Ketika menghadapi debt collector yang jumlahnya 4 orang. Dari
rombongan yang seperti tak biasanya itu sja sudah merupakan terror tersendiri. Ditambah postur
dan bahasa tubuh yang mendukung. Biasanya paling hanya dua orang. Berboncengan sepeda
motor. Kalau yang ini pakai mobil.

Karena mereka bisa masuk rumah secara by pass seperti yang diceritakan tadi, mau tak mau
isteri pak HS tersebut tidak bisa menghindarinya. Kebetulan pak HS sedang keluar kota untuk
sesuatu urusan. Otomatis, dia harus menghadapinya sendirian.

Singkat cerita, sadar karena mau diapakan juga pak HS melalui isterinya tidak akan bisa
membayar sesuai jumlah yang mereka tagih, mereka lalu mulai bicara mengenai biaya pengganti
biaya-biaya yang sudah mereka keluarkan. Yaitu biaya bensin pulang pergi. Biaya makan, rokok
dan tetek bengek lainnya.

Karena memang sedang tidak punya, permintaan mereka inipun menghadapi kebuntuan. Meski
ada penurunan yang dimulai dari satu juta, hingga yang terakhir lima ratus ribu.

Sepertinya di posisi lima ratus ribu ini, tekanannya sudah sedemikian kuat membuat isteri pak
HS itu terpaksa harus menelepon suaminya. Lalu suaminya menelepon saya untuk minta
masukan. Berdasarkan pengakuannya, lima ratus ribu memang tidak ada. Adanya Cuma tiga
ratus ribu. Tapi sebenarnya uang itu sedianya adalah untuk membayar tagihan listrik yang kalau
tidak dibayar akan diputus. Surat pemberitahuannya ada.

Menurut isterinya, daripada harus menghadapi terror yang sedang berada dihadapannya seorang
diri, lebih baik listrik yang dicabut. Meskipun dia juga sadar, untuk menyalakan kembali listrik
yang apabila dicabut tersebut belum ada gambaran kapan bisa menyala kembali. Karena
sebenarnya, sumber uang itupun adalah karena mengorbankan uang sekolah anak-anaknya yang
juga sudah beberapa bulan nunggak.

***
Trenyuh dengan nasib pak HS ini, saya bilang jangan dikeluarkan uang itu. Nanti saya yang
kesana untuk membantu mengatasinya. Karena secara kebetulan saya ada waktu, dan jaraknya
tempuhnya tidak terlalu jauh, paling hanya sekitar 20 menitan.

Setelah selesai berbicara, sayapun langsung meluncur ke alamat. Begitu tiba, saya sudah
disambut dengan pandangan sinis oleh dua orang diantara rombongan yang empat orang itu,
yang kebetulan atau sudah diatur sedemikian rupa, yaitu dua orang ada di luar rumah, yang dua
orang lagi didalam rumah. Entah apa yang ada dalam pikiran mreka berdua, dengan pandangan
sinis seperti itu.

Setelah berbasa-basi sejenak, termasuk menjelaskan posisi saya yang akui sebagai kerabat
keluarganya pak HS, kamipun langsung bicara pokok persoalan.

Singkat cerita, setelah topik upaya-upaya penagihan yang dicoba diulang kembali, namun karena
hsilnya sama saja, mereka lalu mencoba melanjutkannya ke topik biaya pengganti akomodasi
yang dikeluarkan. Topiknya sama seperti yang diceritakan pak HS ke saya sebelumnya.

Untuk menanggapi permintaan mereka tersebut saya memulainya dengan menunjukkan


pemberitahuan dari PLN bahwa apabila sampai tanggal yang ditentukan yaitu tanggal besok
tidak ada pembayaran maka aliran listrik dicabut. Uang untuk membayar ini saya belum ada. Jadi
bukan tidak mau berpartisipasi atas akomodasi yang dikeluarkan seperti yang diminta. Tapi
karena memang benar-benar sedang dalam kesulitan. Termasuk juga saya jelaskan, bahwa uang
sekolah anak-anaknya juga masih menunggak saking sulitnya keadaan. Penjelasan saya saya
akhiri dengan kata-kata maaf apabila belum bisa mengeluarkan sepeserpun dengan maksud
supaya menutup kemungkinan tawar menawar lagi mengenai biaya akomodasi yang mereka
bicarakan. Karena hal itu akan sia-sia sehingga hanya mengorbankan waktu dan energi.

Merasa kesal dengan saya, sebab mereka mungkin sudah sempat melihat gelagat isteri pak HS
itu mau membayar, mereka mulai marah-marah ke saya. Yang dua orang yang didalam itu secara
bergantian mengucapkankan kekesalannya. Yang dua yang diluar tadi juga sudah mulai ikut
bergabung. Meski masih ada tempat duduk yang tersedia, namun mereka memilih berdiri.
Karena saya mengerti kekesalan mereka, saya tidak berupaya mendebatnya. Saya tetap
mengambil posisi memberi penjelasan bahwa bukan tidak mau membayar, tapi karena memang
tidak ada. Namun ketika mereka mulai melakukan penekanan dengan cara-cara meninggikan
volume suara, saya langsung mengingatkan mereka kalau masih ingin melanjutkan pembicaran
agar bicara biasa-biasa saja. Yang normal-normal saja. Saya menambahkan lagi, kalau tidak,
lebih baik pembicaraan dihentikan karena tidak akan menghasilkan apa-apa lagi, sementara yang
punya rumah masih banyak urusan. Sudah cukup waktu yang diberikan untuk melayani mereka.
Dengan cara menyindir secara halus saya menyarankan mereka kalau mau cari uang silakan
mencobanya ke yang lain, jangan ke ibu ini, yang memang benr-benar sedang dalam kesulitan.

Sontak, mereka terlihat kaget dengan respons saya. Apalagi saya perjelas lagi dengan aturan
main yang apabila diluar korridor, saya terpaksa menelepon langsung ke Bank yang menugaskan
mereka, termasuk melaporkannya ke Bank Indonesia.

Perlahan namun pasti, merekapun langsung KO yang berakhir dengan pulangnya mereka dengan
tangan kosong. Tangan kosong dalam arti biaya pengganti akomodasi yang mereka coba-coba
untuk perjuangkan itu.

***

Entah berapa kali kata-kata terima kasih yang diucapkan oleh pak HS demikian juga dengan
isterinya setelah debt collectornya pulang dan uang tiga ratus ribu yang hampir melayang itu
masih utuh, uang yang harus disetor ke PLN kalau Aliran listrik masih mau tetap nyala.

Tidak seberapa memang jumlahnya. Tapi karena pengaruhnya sangat besar, apalagi dalam posisi
sesulit ini, nilainya menjadi sangat besar, bahkan kalau bisa disebut tak ternilai.

Sebutan tak ternilai itu juga, termasuk kata-kata yang diungkapkan oleh pak HS itu atas jalan
keluar yang kami berikan, terutama dengan kesediaan kami untuk bersedia terjun langsung.
Padahal bisa saja ada risiko yang mungkin terjadi (yang kalau itu terjadi dia pun pasti tidak akan
bisa membantu apa-apa)

***
——————————————————————————————————————
——

Tips menghadapi Debt Collector yang datang ke rumah :

• Tenang dan tidak usaha takut. Sebab seberat apapun persoalannya, tidak ada alasan pihak
Bank memberlakukan Nasabahnya seenaknya sendiri. Bisanya Debt Collector juga
dibekali dengan semacam kode etik.

Kalau anda hanya seorang isteri, atau anak remaja, lebih baik minta dikunjungi ketika
suami atau Ayah anda ada. Untuk itu anda bisa minta maaf untuk tidak membuka pintu
atau pintu pagar, tapi dijelaskan saja ketika masih diluar.

• Sampaikan kesulitan yang sedang anda alami yang mengakibatkan pembayaran tagihan
jadi macet.
• Sampaikan kepada mereka bahwa anda pasti akan membayar kalau keadaan keuangan
sudah membaik, Sebab bagaimanapun hutang harus dibayar, apalagi historisnya akan
terekam dalam Sistim Informasi Debitur (SID) yang out putnya dikenal dengan BI
Checking
• Jangan sekali-kali melakukan pembayaran tagihan melalui Debt Collector. Sebab dalam
banyak kasus, debt Collectornya sendiri yang menilep setoran, alias tidak disetorkan ke
bank.
• Kalau Debt Collector minta uang pengganti biaya yang dikeluarkan untuk mengunjungi
anda, anda berhak menolak, karena upaya tersebut adalah upaya mencari keuntungan
pribadi.
• Kalau Debt Collectornya over acting, misalnya marah-marah apalagi sampai menggebrak
meja misalnya, anda berhak menegornya, mengancam akan melaporkan ke pihak Bank
yang mengutusnya, bila perlu ke Bank Indonesia setempat, bahkan hingga melakukan
tindakan pengusiran dari rumah. Kalau kira-kira mengalami kesulitan untuk mengusir,
telepon saja pihak kepolisian setempat untuk megusirnya.
• Sering Nasabah ditakut-takuti akan dilaporkan ke pihak Kepolisian. Tidak bisa. Karena
masalah hutang piutang adalah masalah perdata jadi bukan domain Kepolisian. Domain
Kepolisian adalah hal-hal yang menyangkut tindak pidana.

***

Peraturan Bank Indonesia tentang Pengaduan Nasabah :

No. 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

(Untuk lebih lengkapnya kunjungi http://lembagabantuanmediasi.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai