Anda di halaman 1dari 33

Start : 4 juli 2021

Judul : Ok, Google! How do i babysit 5 boys at once?

Blurb:

Sepeninggal orang tuanya dengan ratusan juta hutang perusahaan, Cristal berjuang sendirian
menghidupi adiknya. Tawaran kesepakatan untuk mengasuh keempat putra Tuan Batehood terpaksa
diambilnya demi melunasi utang-utang, sekaligus menjauh dari Gio—si penagih utang misterius.

***

Ditemui oleh penagih utang termasuk satu dari keseharianku bersama El semenjak orang tua kami
meninggal. Tapi bukan penagih utang ini. Yang bisa-bisanya berlaku sopan dan perhatian, bahkan
berusaha menjadi teman dekatku sebab katanya ada yang janggal dengan utang-utang ini.

Sudah cukup memikirkan tingkah Gio yang mulai didukung El. Aku dihadapkan dengan kesepakatan
konyol pelunas utang, mengasuh keempat putra Tuan Batehood.

Azka, siswa SMA seumuranku yang dingin dan kejam. Nathan, psikopat tersembunyi di balik seragam
putih birunya. Sean, bocah SD dengan mulut sarkastiknya. Dan Louie, bayi menggemaskan yang belum
genap sebulan.

Tidak ada ibu mereka yang bisa ku tanya soal mengurusnya. Apalagi ayah, selaku pebisnis besar yang tak
sempat sekedar bertanya kabar. Jadi ....

Ok, Google. How do i babysit 5 boys at once?

##prolog (:Tujuh Patahan/taruh bareng visual)

Pernah kalian tiba-tiba dapat mimpi buruk khas masa kecil, setidaknya sekali saja? Misalnya serangan
panik saat orang tua kalian terlambat pulang dari supermarket padahal baru terlewat beberapa menit
dan kalian lantas memutar otak bagaimana mulai bertahan hidup jika saja mereka nggak akan lagi
sampai di rumah.

Dulu aku juga sempat mengalami ketakutan sekali lewat itu. Pengalaman menegangkan berdasar
pemikiran polos cenderung bodoh dan berlebihan khas anak-anak. Bedanya dengan kalian, ketakutan
dan pemikiran berlebihan ku ini benar terjadi.

Alur kejutan yang cukup mengerikan ya?


Tidak kunjung ada deru mesin mobil memasuki pekarangan rumah saat aku duduk membungkuk
menatap luar jendela. Atau panggilan untuk membawa barang belanjaan saat aku dengan gugup
menunggu.

Yang ada malah Om ku datang dengan berita duka. Menciptakan air mata adik bungsu ku yang rasanya
belum tentu mengerti juga, terlebih kernyit tidak terima aku yang baru berusia tiga belas saat itu.

Pada hari orang tua dan adik sulung ku dimakamkan, semua mimpi, cita-cita, dan pandangan positif ku
dalam hidup seolah ikut terkubur. Hanya Raphael, adik bungsu ku, satu-satunya alasan aku berjuang.

Aku hanya mau bocah tiga tahun yang biasa ku panggil El itu melewati masa kecil tanpa ketakutan,
melewati hari-hari dengan bahagia, menjalani hidupnya sebaik yang seharusnya. Jadi aku bekerja untuk
kami makan dan sekolah, tidak lagi mengambil pusing perusahaan Ayah yang kacau semenjak
dipindahtangankan dan entah kenapa utang yang tiba-tiba ada di sana, ditimpakan pada keturunan
Ayah. Utang yang tidak jelas asal-usulnya, atau alasannya berlipat ganda, bahkan sampai perusahaan
gulung tikar di bulan ke enam setelah hari kecelakaan.

Aku hanya berpikir untuk membayarnya agar masa depan El tidak terimbas. Terutama agar rumah yang
jadi satu-satunya aset yang tersisa tidak ikut disita. Semua kenangan tentang Ayah, Ibu, dan Dastyn ada
di sana. Selain foto dan video, tiap sudut rumah lah upaya ku membantu El mengingat mereka lebih
banyak. Sulit memang, tapi hanya itu yang bisa ku lakukan.

Lagipula bukan aku satu-satunya anak dengan masa kecil yang tidak dirindukan. Buktinya adalah saat ini
kami menulis kisah yang kami judulkan sesuai ketujuh insan. Itu kami tujuh patahan dengan masing-
masing peran tanpa lain harapan kecuali tak lagi kehilangan.

##Chapter 1

Lengan kerempeng yang hanya tulang terbalut kulit kuning langsat. Atau mungkin akan segera berubah
sewarna sawo matang oleh sebab serbuan jahat sang raja siang.

Aku nggak peduli— lebih tepatnya mencoba tidak begitu peduli karena ketiadaan lain pilihan. Salahkan
El yang menjatuhkan jaketku saat katanya ingin membantu. Bukan kesengajaan memang, tetap saja aku
jadi harus dua kali menunggu luaran biru berlengan panjang itu siap dikenakan lagi.

Berbekal tiga lembar uang sepuluh ribu, satu lembar uang lima ribu, dan satu lagi dua ribu —yang
semoga saja bisa kalian terima sebagai artian bekal, aku mengunci pintu dari luar.

Pintu ganda dengan ukiran indah khas Jawa di kedua sisinya yang aku jamin akan buat kalian jatuh cinta
pada pandangan pertama. Rumahku kan memang cukup megah.

Seolah tau jika salah satu mahluk ciptaan-Nya baru berlagak besar kepala, Tuhan secara spontan
mengirimkanku cobaan. Bukan wujud iblis berwajah sadis atau setan menyeramkan, yang ini lebih
parah. Dia penagih utang.
Wah ... mungkin kulit sawo matang akan ditambahkan efek merah seolah perona begitu kami berlempar
bogem mentah.

Bercanda.

Maksudku, lihat saja gaya dan wajahnya. Aku yang sudah khatam soal menghadapi kawanan mereka,
tau pasti orang ini adalah orang baru. Ya bagaimana nggak ku bilang khatam, aku sudah rutin ditagih
utang sejak lima tahun lalu. Dan si penagih utang satu ini malah diam, memamerkan air muka bingung
dan simpatinya. Bagaikan bumi dan langit antara kelakuannya dengan debt colector pada umumnya.

"Nona Crystallizzie—"

Fakta mutlak dia memang baru bekerja. Bisa-bisanya menyebut nama dengan begitu hormat untuk
seorang anak sekolahan penunggak utang.

"Iya, tau, Mas. Udah taruh aja dokumen-dokumennya di teras."

"Tapi kamu ...."

Dia nggak membentak, menahan, atau melakukan paksaan lain. Aku sendiri juga cuma diam melihatnya
tak betah membisu walaupun lidahnya nampak kelu.

"... berhutang empat ratus sembilan puluh juta," lanjutnya.

Dengus jengah ku buang tanpa segan meski ia memperhatikan. "Aku nggak pernah bilang lupa. Tapi aku
memang belum ada uangnya. Sekarang aja aku nggak tau mau kasih makan adikku apa. Gimana
bayarnya?"

Ini cuma satu hari dari tiap tiga minggu, seorang penagih datang kemari. Sebisa mungkin aku
mengondisikan agar tak terbawa marah. Aku harus menjemput El segera.

"Tunggu ..." Dia menahan lagi langkahku yang sudah akan melewatinya.

Di detik ini aku yakin dia benar-benar baru terjun ke dunia kerjanya. Mungkin malah baru lulus SMA.
Mungkin begitu lulus nanti juga aku bisa coba bekerja di tempatnya. Tak akan jadi pegawai terbaik, tapi
pasti lebih baik darinya.

Dengan tangan kiri, aku merogoh kantong seragam kotak-kotak yang memang belum ku ganti sepulang
sekolah. Langsung saja menyodorkan selembar uang abu-abu yang tersedia dengan tangan yang sama.
Sesaat sengaja melupakan tata krama. "Kalau kamu maksa bayar, tuh aku ada dua ribu doang sekarang.
Sisa empat ratus delapan puluh sembilan juta sekian kan?"

Lawan bicara ku masih tergagap saat wajahnya menunjukkan banyak hal yang ingin dia utarakan. Aku
paham dia mau bicara, tapi akan lebih mudah untuk kehidupan sebatang kara ku ini jika tidak mencoba
memahami.
Cukup jumlah utang yang ditinggalkan orang tua ku sepeninggal mereka. Hal lainnya seperti alasan
mengapa uang yang harus ku bayarkan sampai sebanyak itu, bahkan ke pihak perusahaan mana aku
berhutang, lebih baik aku tidak tau.

"Lagian aku masih di bawah umur, nanti lah tunggu dua puluh satu tahun baru kalian ngejar-ngejar dan
nuntut aku kalau nggak bayar."

Kalimat tadi sekaligus menjadi pamit ku untuk berjalan memunggunginya ke arah jalan utama.

Aku tak lagi menunggui mikrolet atau angkutan umum lainnya. Tidak ada uang dan tidak ada waktu.
Kedua kaki dengan otot yang cukup terlatih oleh seringnya aku bermain lompat tali saat frustasi yang
kini ku andalkan. Sesaat dipikir, bagus juga aku tidak melapisi tubuh dengan jaket biru. Setidaknya angin
bisa langsung menabrak kulit ku dan membagi kesejukannya.

El sudah berdiri menanti di pijakan tangga paling rendah gerbang utama sekolahnya saat aku berhenti
berlari dan mengatur napas.

Sekolah berkualitas yang bisa dibilang berkelas. El rela terus bersama ku hidup dalam ketiadaan. Jadi
cukup hari-harinya saja yang tak terjamin, pendidikannya jangan.

Menangkap gelagatnya, aku mengangkat alis pertanda tanya.

Calon-calon hilang dua puluh ribu kalau seperti ini. Lihat saja El dengan selembar kertas di
genggamannya, tersenyum lebar menyambut kedatangan kakaknya.

"Ulangan sains?"

"Aku bilang bakal dapet 88 kan, Candy. Liat!" pamer El, ku tanggapi sepositif mungkin dengan menelisik
lembar kertas ulangannya dan mengangguk apresiasi setelah mendapat pasti.

Tangannya yang sudah hampir tiga perempat ukuran telapak tangan ku padahal umur kita terpaut beda
sepuluh tahun, menggenggam ku dan menarik-nariknya. "Ayo, Candy. Kamu utang ayam crispy."

"Okay-okay, you win."

Aku dan El berjalan bergandengan menuju salah satu rumah makan ayam goreng tepung yang searah
jalan pulang. Tentu bukan restoran ayam terkenal, ini semacam merk tiruannya, kualitas ala
rumahannya mungkin.

"Candy ... " panggil El begitu kita tiba di tujuan.

Oh iya, aku belum memberitahu ya? Candy itu nama panggilan dekat, sekaligus pengganti sebutan kakak
dari Dastyn dan Raphael. Crystallizzie Sierra Candice Clifford, dari nama tengah ku mereka mengambil
sebutan Candy.

Lagipula aku bukan tipe kakak gila hormat, aku lebih nyaman dipanggil Candy. Percaya tidak percaya,
ada sebagian beban tanggung jawab yang menguap jika tanpa embel-embel kakak tiap menyapa.
" ... Kita makan di sini ya?" bujuk El yang sudah lebih dulu paham aku mungkin akan mengajaknya makan
di rumah saja. "Ayolah, kamu inget kan bahagia tuh nggak boleh ditunda? Candy sendiri yang bilang
besok belum tentu kita bisa makan di sini lagi. Bahkan belum tentu bisa makan."

Itu ... cukup menyeramkan memang jika didengar dari mulut anak-anak. Aku juga bukan bermaksud
mengajarkan El untuk berfoya saat ada. Aku yakin El mengerti kesulitan kita berdua berjuang dalam
hidup, dia juga pasti mengerti maksudku adalah kita tak perlu terlalu khawatir soal besok ketika ada saat
ini. Memang belum tentu apa yang kita khawatirkan untuk besok itu sempat kita lakukan pada harinya.

Ingat kecelakaan orang tua ku yang terjadi tanpa aba-aba. Kalau saja pada hari sebelumnya aku fokus
bersyukur bisa berada dalam keluarga lengkap bersama mereka, setidaknya ada sedikit lebih banyak
kenangan yang tersimpan.

Jadi sejak saat itu memang prinsip ku untuk tidak menunda bahagia. Belum tentu besok kita bisa kan?

"Iya kamu menang, El. Sana duduk duluan, aku pesan."

Hanya satu porsi berisi nasi, ayam, dan minuman soda. Memang aku yang bilang untuk tidak menunda
bahagia, tapi bukan berarti bodoh juga. Kalau aku habiskan uang yang kubawa untuk sekali makan ini,
besok bagaimana? Rencana juga perlu ada.

Nampan coklat tua ku letakkan di atas meja yang dipilih El, dan dia menggesernya mendekat. "Kenapa
cuma satu, Candy? Uang kamu abis lagi?"

Tanggapan dengan mengangkat bahu saja yang bisa aku berikan. Aku lebih ingin menjawab 'memangnya
kapan aku punya uang?' daripada mengiyakan sebenarnya. Tapi adik pengertian yang dari sikapnya ini
bisa menjelaskan kalau aku berhasil membesarkannya dengan baik sejauh ini, pasti menanggapi—

"Tenang, nanti juga kamu dapet uang lagi."

Iya, kalimat itu. Atau malah menawarkan diri ikut bekerja yang dia tuturkan.

Soal kerja apa yang aku lakukan untuk bertahan hidup, jangan berekspektasi pegawai kafe atau restoran
seperti di cerita atau film. Pekerjaan itu terlalu memakan waktu untuk seseorang dengan anak kecil yang
harus diurus dan upahnya pun sulit untuk diatur.

Sejauh ini aku lebih sering memberi jasa membersihkan rumah, mengurus peliharaan, mengerjakan
tugas, dan packing makanan. Sebenarnya kerja mengepak makanan yang saat itu adalah kerupuk kulit,
benar-benar memudahkan. Orang yang mempekerjakan ku itu tetangga sehingga El masih dalam
pengawasan, bahkan sesekali dia ikut membungkus karena baginya mengasikkan. Upah perharinya
besar padahal pekerjaannya tidak melelahkan, dan tetanggaku itu selalu membiarkan El membawa
sebungkus pulang. Aku yang kewalahan mengomel untuk mengerem mulutnya mengunyah daripada
berujung batuk. Sayang tetanggaku itu pindah dan memaksaku mencari lebih banyak pengalaman
dengan berjuang sendiri.
El mulai makan dan menawariku sesuap. Aku sendiri memilih mengalihkan perhatian pada kertas
ulangan, penasaran juga apa materi yang ku ajarkan pada El sudah sesuai atau belum.

"EL?!" Aku menatapnya kesal begitu menyadari deret pertanyaan terakhir di lembar ulangan yang jadi
poin permasalahan ini.

Yang ditatap hanya menaikkan alisnya tak acuh, aku tau ini upaya menghindar karena El melakukan
kenakalannya ini dengan sadar dan sengaja.

"Kok sengaja nggak dijawab gini sih? Aku inget kemaren kita udah belajar ini ya!"

Tangan kanan El terbuka, sebagai aba-aba aku menunggunya selesai mengunyah dan bicara. Aku
membalasnya dengan meletakkan kertas di meja dan melipat tangan siap menyimak.

"Tapi kan kemaren aku bilangnya bakal dapet 88. Aku yakin yang lain bakal bener, jadi soal-soal itu
nggak perlu aku kerjain lagi lah."

"Kalau kamu bisa isi yang ini, ya kerjain juga dong, El. Sayang kan bisa dapet 100 malah cuma 88."

El mengedikkan bahunya seolah malas menanggapiku. Haduh, padahal aku yang lebih gemas dengan
aksi tak terprediksinya ini.

Darimana juga dia dapat ide untuk benar-benar membuat nilainya 88? Aku sendirian membesarkannya,
tapi apa iya aku tanpa sadar menanamkan ide kreatif satu ini?

El membuyarkan tusukan tatapan jengkel ku setelah sekali lagi mengunyah ayamnya yang sudah dicocol
saus tomat. Bukan nggak suka pedas, aku dan El hanya sudah setuju rasa saus tomat lebih enak
dibanding saus sambal.

Kembali soal tatapan, kernyit tipis El berikan. "Apa alasan orang memperhatikan orang lain? Maksud aku
dari jauh dan sembunyi-sembunyi."

Pertanyaan tanpa disertai pendahuluan yang jelas, yang lantas memancing was-was. "Engh ... Pasti ada
sesuatu yang menarik perhatian orang itu, apa lagi emangnya?"

"Kalo gitu, apa kita menarik perhatian?"

Aku lantas mengedarkan pandangan setengah panik, "Hah? Ada yang nguntit kita?"

Mengabaikan panik bercampur penasaran sebab kalimat tanyanya, El malah dengan santai mengalihkan
pembicaraan. "Apa itu nguntit? Itu sebuah kata bahasa Indonesia?"

"Iya." Dan parahnya aku ikut dengan mudah teralih bersamanya. "Menguntit, itu mewakili yang kamu
bilang. Memperhatikan dari jauh dan sembunyi-sembunyi. Tapi pelakunya akan ngikutin korbannya
terus."
"Menguntit itu buruk, sampai sebutannya korban? Apa nggak pernah tujuannya baik? Misalnya untuk
mastiin orang yang di-menguntit itu baik-baik aja."

"Kata kerja pasifnya jadi diuntit, El." Aku lebih dulu merevisi penggunaan katanya. "Entahlah, aku nggak
pernah punya alasan untuk menguntit orang lain. Nggak tau selalu buruk atau bisa juga baik."

"Um ... Aku baru inget, berarti menguntit sama dengan memata-matai?"

Aku mengangguk.

"Baguslah. Kata menguntit lebih makes sense."

Setelah kesimpulan yang berusaha tak ku tanggapi apa-apa lagi, untungnya El menyetop cerocosnya.
Lanjut menghabiskan ayam crispy ini dengan sesekali memaksaku ikut makan.

Hari sudah sore begitu kita merapikan meja dan beranjak pulang. Di dalam benak, aku sudah menyusun
daftar pekerjaan rumah yang satu-persatu akan ku kerjakan sementara El mengerjakan tugas
sekolahnya. List susunan pekerjaan di otak ku seketika buyar begitu telinga mengambil alih lebih banyak
fokus.

"Crystal ...."

Kalau tangan kiri ku tidak tengah menggandeng El dan sebelah kanan memegangi tas El yang ku
sampirkan ke bahu, mungkin aku sudah memasang kuda-kuda untuk melempar bogem mentah.

"Candy, kamu kenal dia?" tuntut El tak rela ketinggalan berita.

Aku terpaksa mengabaikan pertanyaan El sejenak untuk menanggapi laki-laki ini. "Mas ngapain ngikutin
saya?"

Tunggu—

Apa penagih utang ini alasan El tiba-tiba bertanya soal menguntit dan memperhatikan dari jauh?

"Mas mau nuntut kayak gimana juga saya nggak ada uangnya. Sekarang saya ongkos pulang aja nggak
ada, mas ngikutin gini berharap saya mendadak dilemparin uang sekarung di tengah jalan apa gimana
sih?"

Debt colector dengan setelan paling formal yang pernah aku temui itu menggeleng. Kemeja panjang biru
pastel dengan celana bahan, lebih seperti pegawai kantoran. Ya nggak sih?

"Saya bukan mau nuntut kamu bayar utang itu kok—"

"Ya udah, terus ngapain masih di sini?"

"Maaf, bukannya punya maksud macam-macam, Crystal—"


"Stop it," selak ku sebelum dia untuk kedua kalinya bersikap sok akrab dengan memanggil nama depan.
"Jangan panggil aku dengan nama begitu. Kita nggak punya hubungan apa-apa untuk kamu bersikap sok
kenal."

"Dia lebih suka dipanggil Candy," sahut El tiba-tiba nimbrung yang lantas membuatku berdecak kesal
padanya.

"Um ... Saya mau tawari kalian tumpangan."

Laki-laki ini resmi memenangkan nominasi debt colector paling aneh sedunia. Paling tidak di dunia ku
lah.

Kenapa juga penagih utang sibuk-sibuk ikut campur kehidupan orang? Jangan-jangan dia mau menculik
aku atau El untuk dijadikan sandra.

Aku cepat-cepat menepis pemikiran asal tadi.

"Nggak usah." Dan tanpa peduli aku mengajak El bergegas. Sama cepatnya dengan upaya ku pergi, dia
membujuk satu-satunya yang bisa dibujuk di sini.

"El kamu tau robot Bumblebee di film Transformers? Mobil aku satu tipe dengan Bumblebee, tapi warna
hitam."

"Oh ya?" tanggap El semangat, menjelaskan kemenangan telak laki-laki itu. "Yang mana?"

Aku menarik tangan El lagi untuk mengajaknya pergi, tapi kembali dia tolak. "El?!"

"Candy, aku mau naik mobil kakak itu."

"Gio," sahut cowok itu, memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin.

"Aku mau naik mobil Kak Gio, Candy. Ayolah."

"Kita nggak boleh nerima ajakan orang asing, El. Lagipula dia itu penagih utang, gimana kalau—"

Yang menjadi pembicaraan main bergabung seolah kehadirannya sudah diterima di sini. "Aku bukan
penagih utang sebenarnya."

"Berhenti pengaruhin adek aku!"

Tapi El masih memaksa agar aku luluh kali ini. Tidak biasanya loh El seperti ini, main menyetujui ajakan
orang lain dan memaksa. Apalagi Transformers bukan salah satu film favoritnya.

"Candy, bahagia itu nggak boleh ditunda kan? Belum tentu besok kita bisa naik mobil Transformers lagi."

Tatapan tak percaya aku sorotkan padanya. Bisa sekali El mengulang kalimat ku menjadi bumerang. "Ini
bukan bahagia, tapi bahaya, El."
Akhirnya suasana sore hari yang baru akan memasuki pukul lima yang El manfaatkan. Dia menatap langit
untuk aku ikut menatap ke sana. "Udah sore, kalau nggak cepat pasti kita kena macet jam pulang kerja.
Ayo kita naik mobil Kak Gio aja biar cepat sampe rumah."

Yang namanya Gio tadi mengangguk mendukung argumen berpihak El. "Kalau gitu, ayo."

Waktu sejenak yang ku ambil untuk memikirkan kalimat seperti apa yang akan membuat El mengerti,
malah balik El manfaatkan untuk menarik ku ke arah parkiran.

Dia bahkan nggak tau yang mana mobil laki-laki itu kalau sang pemilik nggak menekan remot untuk
membuka kunci.

"Ayo, Candy." ujar laki-laki itu sesaat sebelum aku kembali melayangkan penolakan di hadapan mobil
mewahnya. Sok kenal sekali orang ini.

Gio membukakan kursi penumpang. Jangan tanya depan atau belakang. Mobil Chevrolet Camaro
Bumblebee ini hanya punya dua kursi layaknya mobil mewah pada umumnya.

Dengan terpaksa dan kekhawatiran kentara, aku memasuki mobil. Bohong sih kalau aku bilang tidak
penasaran seperti El yang langsung mengabsen dashboard mobil seperti sekarang. Tapi logis kan
alasanku untuk menolak tawaran orang asing. Kenapa sekarang aku akhirnya setuju, itu yang pantas
dipertanyakan.

Aku nggak bisa nggak ikut memperhatikan segala detail interiornya yang elegan. Perlahan muncul
penasaran juga, dengan laki-laki selevel apa kini aku berurusan.

Dia sempat bilang dia bukan penagih utang kan tadi?

Apa itu berarti dia hanya kasihan melihat aku dan El sampai menawarkan tumpangan? Itu lebih baik
daripada dia punya niat terselubung walaupun aku nggak suka dikasihani.

"Berapa harga mobilnya, Kak Gio?"

Gio lebih dulu memutar kemudi keluar dari parkiran sebelum menjawab El.

Ah ... Aku sendiri bahkan mulai berani menyebut namanya seolah kita dekat.

"Aku nggak tau, orang tuaku yang beliin. Kita sama, El, punya uang jajan saat dikasih aja. Iya kan?"

Dua laki-laki di dalam mobil mulai saling berbincang. Aku lebih ingin memfokuskan kinerja otak saja agar
tak lengah. Harus terus memperhatikan jalan untuk memastikan benar-benar mengarah ke rumah.

"Iya. Tapi emang Kak Gio kelas berapa? Apa sama kayak Candy kelas dua belas?"

"El?" selak ku lagi karena mulutnya begitu mudah membagi informasi pribadi.

Aku menangkap tangan El yang didasari penasarannya, mulai ingin mengecek segala kegunaan tombol-
tombol yang berderet di hadapan.
"Aku baru aja lulus kuliah strata satu. Empat tahun lebih tua dari kakak kamu, El."

Gumaman mengerti yang El berikan terinterupsi batuk-batuk singkat. Ah, salahku membiarkan El minum
terlalu banyak soda.

Secepat datangnya batuk tadi, secepat itu juga El mengabaikannya. Dia kembali melepas tanganku yang
menahannya dan menunjuk tombol untuk membesarkan volume musik.

"Ini apa?"

"Untuk putar lagu. Mau aku nyalain?" Pertanyaan itu tidak lebih dulu menunggu tanggapan.

Tapi entah dorongan dari mana, sepertinya spontan saja, aku berujar. "Jangan keras-keras."

"Jangan keras-keras." Aku dan El berucap bersamaan tanpa kesengajaan.

Sesuai perintah dua penumpangnya, Gio memutarkan musik dengan suara minimal.

Saat ku pikir atmosfer mobil akan mulai diambil alih keheningan dan alunan nada saja, El lagi-lagi
menyebarkan berita yang tidak seharusnya. "Candy takut suara keras soalnya."

"Aku nggak takut, aku cuma nggak suka."

Menganggap keberadaannya mulai diterima, Gio terkekeh melihat pertikaian ku dengan bocah iseng ini.

"Aku boleh nanya sesuatu?" tanya Gio yang jelas untukku jawabannya adalah tidak.

Bersedia ikut dengannya untuk diantar pulang saja tak seharusnya aku lakukan, ditambah membiarkan
dia bertanya ini-itu lagi?

Ternyata El juga menanggapinya dengan gelengan. Hati nurani ku yang masih manusiawi sebenarnya
merasa sedikit nggak enak, tapi ya biarlah mungkin setelah ini dia menyesal sudah mengajak kita
bersama dan nggak lagi-lagi muncul di sini.

Perjalanan tidak begitu terganggu kemacetan. Yang mengganggu malah apa yang menunggu kami di
tujuan. Dengan terpaksa dan dengan sangat tidak bijaksana, aku akan meminta bantuan Gio sejenak.

Gio menangkap raut wajah berbeda ku begitu menghentikan mobil berhadapan beberapa jarak dengan
mobil lain yang terparkir di depan rumah. "Ada apa, Candy? Kamu butuh bantuan?"

Aku menatap gelisah El yang sudah paham. Beralih menatap Gio juga tanpa sadar. "Aku butuh lima
menit kamu. Biarin El tetap di sini sampai aku balik lagi. Jangan ikut campur dan awas aja kamu sampai
macem-macem."

Tak menunggu persetujuan apa-apa lagi, aku turun dari mobil. Tanpa kemampuan indra keenam juga
aku bisa merasakan tatapan khawatir setengah penasaran dari El dan Gio.
Rasa khawatir itu bisa saja menular, jadi aku yang sudah hapal jika bertemu dengan Om ku ini berarti
akan ada pertengkaran, memilih bersikap seabai mungkin.

"Siapa itu?" tanya Om Galih melirik mobil mewah dimana aku turun barusan.

Aku tak berusaha menjawabnya samasekali. Untuk apa juga, dia itu penasaran bukan perhatian. "Om ke
sini mau apa?" tanya ku balik yang sebenarnya kalau perlu lebih jelas, akan ada kalimat lanjutannya
berupa "To the point aja, pasti juga cuma aku tolak. Mending langsung pulang, nggak usah muncul-
muncul lagi."

Hela napas Om Galih seketika membuat ku parno, jangan-jangan dia bisa mendengar isi kepala ku
barusan. Ya ... Aku nggak takut sih dengan perdebatan, tapi menyeramkan aja menghadapi pembaca
pikiran.

"Om punya kerjaan buat kamu."

Aku baru saja akan menolak seperti biasa saat ia datang dan mencoba bicara apapun itu. Kalau bukan
karena membutuhkan namanya sebagai wali untuk setidaknya mempertahankan rumah agar tidak
disita, aku juga malas menganggapnya Om.

Peduli setan soal hubungan darahnya dengan Ayah.

Bisa aja kan suatu hari nanti terbongkar fakta kalau mereka ternyata bukan saudara kandung. Banyak
film dan novel jaman sekarang main memasukkan alur kejutan konyol seperti itu lagian.

Kembali ke pembicaraan kami, Om Galih melanjutkan. "Pekerjaan paling menjanjikan untuk kamu dan
El. Jalan keluar terbaik untuk hutang-hutang ini."

"El juga diberi pekerjaan? Nggak masuk akal." cibirku tak mau tau.

"Om kesini bukan untuk menawarkan, Crystal. Kamu nggak berhak nolak. Mulai besok kalian akan
tinggal di rumah keluarga Batehood dan bekerja jaga anak-anaknya. Nggak usah repot-repot menentang
kecuali kamu nggak punya otak dan lebih memilih jadi gelandangan."

Apa-apaan Om Galih main memutuskan apa yang mau ku kerjakan? Dengan gayanya mengancamku
besok langsung beralih profesi menjadi pengasuh bayi lagi.

Coba ancamannya itu aku menikah secara paksa dengan CEO kaya atau semacamnya. Dijamin kisahku
langsung diangkat ke layar kaca.

Aku mendengus cibir menanggapinya. "Yang nggak ada otak tuh aku atau Om? Pengasuh anak itu
banyak, kenapa juga keluarga kaya yang bisa lunasin utang ratusan juta orang milih bocah kayak aku
buat jaga anaknya? Om nggak mikir apa bagian nggak logisnya jauh lebih banyak?"

"Jaga bicara kamu, Crystal." Om Galih mengingatkan bahkan sampai mengangkat telunjuk
kerempengnya ke depan wajahku. "Keluarga Batehood itu mantan rekan kerja ayahmu. Mereka baru
punya bayi lagi, dan umur kamu sekarang sudah cukup mampu untuk jadi pengasuh."
"Oh ... Mantan rekan kerja Ayah ... " Suaraku memelan seolah mengerti, tapi di detik selanjutnya aku
kembali melemparkan tatapan perang. "Utang-utang ini nggak akan ada kalau dulu Om bukan rekan
kerja Ayah! Muak aku tau dengan kerjaan Ayah karena Om. Kalau mau Om aja sana urusin bayinya
Batehood. Udah cukup aku frustasi bayar utang yang bukan punyaku."

Itu menjadi keputusan final ku. Tidak juga sih, memang sejak awal tak pernah terpikirkan untuk berubah
setuju soal apapun yang Om Galih katakan.

Genggaman yang tiba-tiba menarik erat kedua bahu mengejutkan ku. Tatapanku berubah panik
menatap Om Galih yang emosi bercampur frustasi menghadapi keponakannya ini.

"Mereka akan sita rumah ini lusa kalau kamu nggak ambil kerjaan itu besok, Crystal! Saya nggak tau mau
bantu kamu pertahanin rumah ini kayak gimana lagi!"

Hah—

Satu tangan lagi tiba-tiba menggenggam lenganku dan menarik lepas dari cengkeraman Om Galih makin
membuyarkan fokus ku. "Ada apa? Tolong jangan main kasar."

Gio masih menggenggam lenganku dan menggerakkannya sedikit demi mengumpulkan perhatianku
padanya. "Kamu nggak apa-apa?"

"Terserah apa usaha kamu sekarang. Saya nggak ikut campur, Crystal. Tapi besok saya akan antar kalian
ke rumah keluarga Batehood tanpa negosiasi lagi."

Aku jadi nggak bisa menanggapi apa-apa keputusan sepihak Om Galih. Bahkan maksud kalimatnya soal
usahaku sekarang sembari menatap Gio, aku abaikan.

Rumah ku akan disita. Cuma itu yang sejak tadi sibuk berputar di kepala ku. Sialnya aku nggak punya
waktu samasekali untuk memikirkan alternatif lain. Satu-satunya alur yang tergambar di benak ku
bahkan hanya mencoba mencari tahu lebih dulu seperti apa keluarga Batehood besok, yang artinya aku
mengalah pada keputusan mereka begitu saja.

"Siapa itu keluarga Batehood, Candy? Apa keluarganya si anak aneh dari kelas sebelah?"

"Hah?" tanya ku tak yakin. Bisa-bisanya El lebih mengenal seseorang dibandingkan aku.

Tapi celetukan El tadi menyadarkanku kalau Gio pun masih berada di sini. Dengan Om Galih yang baru
meninggalkan rumah tanpa pamit apa-apa lagi, aku bisa kembali berdebat dengan laki-laki ini.

"Kenapa kamu ikut campur?"

"Saya—"

Aku menarik El agar menjauh darinya walaupun posisi kita berhadapan dan hanya terpisah paling
banyak dua langkah. "Kamu tau nggak sih baru melibatkan diri ke masalah sebesar apa?!" ancam ku
hiperbola. Berharap dia akan takut atau menyesal dan tak lagi-lagi muncul.
"Masalah yang pasti lebih besar dari utang empat ratus sembilan puluh juta seorang siswi SMA."

Aku benci menyatakan sindirannya itu ada benarnya.

"Kalau gitu harusnya kamu cukup pintar untuk nggak ikut campur. Kamu boleh pergi sekarang,
terimakasih udah antar aku dan El pulang."

"Kamu yakin nggak butuh bantuan, Candy?"

Gelengan tanpa sejenak mempertimbangkan yang aku berikan. "Kalau butuh juga aku nggak akan minta
dari kamu. Jangan muncul lagi."

Tata krama untuk menunggu tamu pergi baru kembali memasuki rumah, samasekali tidak aku pakai. Aku
langsung saja menarik pipi El gemas karena dia masih berupaya mengulur-ulur waktu.

"Kak Gio, makasih ya! Besok antar aku pulang lagi—"

"Nggak boleh!" selak ku yang diacuhkan El.

"Atau jemput Candy dulu aja, dia sekolah di—" Aku cepat-cepat menutup akses bibir El bergerak.

Entah apa saja yang dikorek Gio dari adikku selama hampir lima menit aku tinggalkan di mobilnya tadi.
Tapi aku yakin tanpa punya alasan yang memadai bahwa ini bukanlah kali terakhir pertemuan kami
dengan Gio. Aku cuma berharap bisa secepatnya memaksa dia pergi sebelum El benar-benar nyaman
dengan keberadaannya. Aku nggak mau El merasakan sakit kehilangan seorang yang spesial untuknya.

##Chapter 2

Sama seperti aku, El juga nggak bisa menerima keharusan kita pindah dari rumah. Apalagi nama
Batehood yang El kenal adalah teman sekolahnya yang sering disebut aneh karena hobi bersikap sinis
pada orang. Kalau sampai teman sekolah El adalah anak yang sama yang harus aku jaga, pasti sulit.

Sayangnya fakta bahwa rumah tempat satu-satunya aku menyimpan kenangan tentang Ayah, Ibu, dan
Dastyn akan disita begitu aku menolak pekerjaan sebagai pengasuh ini, juga memberatkan ku. Saat
malam tadi menghabiskan waktu berjam-jam berpikir akibat tidak bisa tidur, alasan keluarga Batehood
baru saat ini memintaku mengurus anaknya perlahan dapat diterima.

Mungkin Om Galih kebetulan baru mendengar kelahiran anggota baru keluarga kaya itu, dan akhirnya
Tuan Batehood merasa bisa menampung aku dan El dengan dalih pekerjaan itu.
Mungkin Tuan Batehood itu satu dari antara rekan kerja Ayah yang berpaling saat perusahaan perlahan
turun. Dan baru merasa bersalah sekarang melihat kondisi nahas dua yatim-piatu ini.

Aku nggak bersyukur atas kasihan itu. Niatku sejauh ini adalah lebih dulu mengenal kondisi keluarga
yang akan aku hadapi. Setidaknya selama di sana tempat tidur dan makan untuk aku dan El akan
terjamin. Dan selama itu juga rumah akan terhindar dari para penagih utang —entah Gio termasuk di
dalamnya atau tidak.

Aku berdecak kesal saat tersadar memikirkan laki-laki itu. Bahkan baju di koper jadi ku pukul saking
gemasnya, kenapa juga harus memikirkan debt colector aneh itu.

Soal koper, Om Galih datang pagi-pagi saat aku berniat berangkat bersama El seperti biasa. Menjelaskan
lebih rinci tentang tugasku dan kalau aku akan tinggal di situ bersama El untuk menjaga anak-anak
Batehood dua puluh empat jam.

Bayarannya adalah aku tinggal minta yang aku mau, tak perlu khawatir yang ku butuhkan bahkan soal
utang, rumah, dan pendidikan, asalkan aku menjaga anak-anaknya dengan baik sampai kontrak usai.
Kapan kontrak itu usai dan kapan kontrak itu sebenarnya dibuat? Aku nggak tau. Sayang sekali aku
masih berpegang pada keputusan awal untuk melihat lapangan lebih dulu.

Jadi tadi pagi El yang tidak setuju merasa tidak perlu mempersiapkan apa-apa. Dia lebih memilih
berangkat sekolah. Sedangkan aku meskipun masih di tengah ambang yakin-tidak yakin, setuju-tidak
setuju, harus tetap bersiap juga.

Hanya baju-baju dan keperluan layaknya akan menginap beberapa hari saja. Lagipula disebutkan aku
tinggal menyebutkan yang aku mau kan. Maka bebas lah kalau aku mau pulang.

"Ayah, Ibu, Dyn ...."

Dyn itu panggilan dekat kami pada Dastyn. Lebih tepatnya Udyn.

"Jagain Candy sama El ya. Bantu kita biar bisa cepet pulang lagi." ujarku pada udara kosong, sembari
mata dan tanganku bergerak merapikan satu koper sebagai satu-satunya bawaan.

Setelah menegakkan posisi koper, aku menariknya keluar kamar. Perlahan membawanya menuruni
satu-persatu anak tangga yang jumlahnya puluhan ini.

Rumah besar nan megah ini sebentar lagi akan lama ditinggalkan kosong.

Entah bonus sebesar apa yang Om Galih dapat karena dia jadi bersedia repot bolak-balik untuk
memastikan aku siap. Sekarang saja Om Galih sudah menunggu di depan untuk mengantarku.

Pertama kalinya sejak kecelakaan lima tahun lalu, dia mau menjemput El ke sekolah. Walaupun
persisnya adalah membawaku untuk setelah ini langsung beralih menuju kediaman Batehood.

"Ayo, Crystal."
Tanpa sadar aku menghela napas gugup. Sebisa mungkin aku menyembunyikannya dengan harapan
begitu disembunyikan gugup itu akan cepat hilang.

Pandangan ku arahkan ke jendela di sisi kiri selama perjalanan. Aksi mengunci mulut ini baru berhenti
begitu Om Galih menuturkan info baru soal pekerjaan ku.

"Ada empat anak laki-laki keluarga Batehood yang harus kamu jaga."

Kan.

Satu aja aku belum tentu mampu. Ini lagi empat, saat satu di antaranya sudah jelas bayi, satu nya lagi
seumuran El dengan sikap khas anak orang kaya.

Kenapa juga aku nggak terpikirkan kemungkinan ini saat semalam diterpa frustasi. Seseorang nggak akan
rela menggelontorkan uang sebanyak itu kalau yang harus aku lakukan juga mudah-mudah saja.

"Kamu bekerja sendiri kalau nggak mau menghitung El. Empat anak itu nggak bersama ibunya. Begitu
masuk ke rumah Batehood, sejak itu juga mereka jadi tanggung jawab kamu dua puluh empat jam."

Dengusan kesal yang pertama bisa aku lakukan. "Tuan Batehood itu bodoh ya? Empat anaknya
diserahkan ke satu bocah delapan belas tahun? Perusahaan nya apa bakal bangkrut, sampai nggak
sanggup menyewa babysitter?"

"Perusahaannya kelewat besar sampai harus berhati-hati soal mencari orang kepercayaan. Bukan
sembarang orang yang dipekerjakan di rumahnya."

Aku mengedikkan bahu. "Terserah."

Tidak ada percakapan apapun lagi yang diangkat. Bahkan sampai menjemput El yang naik ke mobil
dengan wajah tertekuk dan tangan terlipat, tidak ada kalimat saling terlontar.

Kami tiba di kediaman Batehood. Kalau aku sempat katakan rumah ku itu megah, rumah di hadapan ku
ini versi kuadratnya. Bahkan mungkin megah kuadrat kali dua pangkat tiga. Gerbang utama yang
lebarnya setara empat mobil berjejer terbuka otomatis begitu kami lewat, menekankan aksen
kemewahannya.

Mobil berhenti tepat di teras menuju pintu utama. Seluas ini entah masih bisa disebut teras atau tidak.
Aku nggak sempat memikirkan itu karena tiba-tiba saja pintu mobil dibukakan oleh seorang valet.
Persisnya bukan hanya seorang karena pintu di sisi El dan Om Galih juga dibukakan.

Tangan El sesegera mungkin tertaut padaku begitu kita berdiri bersisian. Sorot mata El bisa menjelaskan
sebagian penasaran dan semangatnya walaupun kalau diingatkan lagi, dia akan kesal harus berada di
sini.

"Silahkan," ujar salah satu dari valet tadi, mempersilahkan kami masuk. Sudah ada seorang maid yang
menggantikan tugas valet mengantarkan kami begitu melewati pintu utama.
Kalau sebanyak ini asistennya, kenapa juga meminta aku menjaga anak-anaknya? Suruh aja valet atau
maid yang menjaga.

"Crystallizzie Sierra Candice Clifford," sebut seseorang tepat kata demi kata sembari menuruni tangga.
Perhatian ku yang niatnya dibiarkan mengabsen satu demi satu bagian rumah mewah ini lantas dipaksa
berpusat pada pria bersetelan formal yang menghampiri kami.

Ini pasti Tuan Batehood. Usianya mungkin baru di atas tiga puluh lima mengingat anak bungsunya yang
masih bayi. Karena rasanya aneh saja pria di atas empat puluh berencana memiliki anak lagi setelah
punya tiga.

Tuan Batehood mendekat dan mengelus puncak kepala El. "Dan ini pasti Raphael Sierron Francise
Clifford. Apa kabar kalian?"

Sebelum aku menjawab pertanyaan basa-basi itu dengan basa-basi lain, El menyelak. "Bapak tuh
Ayahnya Sean ya?"

"Betul. Teman sekolah kamu kan? Apa kalian dekat?"

"Lebih baik aku nggak punya teman daripada deket sama anak Bapak."

Harusnya aku menegur El atas kalimat sarkastik yang tidak sopan itu. Tapi aku lebih sibuk
mempertahankan wajah datar dan bukannya menyembur tawa mendengarnya.

"Padahal saya di sini mau minta tolong kamu."

Tanggapan Tuan Batehood sedikit di luar perkiraan ku sebenarnya. Ramah sekali pria ini ternyata.

"Tolong jadi anggota keluarga ini, Raphael." Tuan Batehood beralih menatapku. "Tolong kamu bersedia
jadi kakak untuk anak-anak saya, Crystal. Bantu saya menjaga dan membesarkan mereka. Kalau Raphael,
tolong jadi saudara laki-laki yang baik ya?"

El menggeleng tidak setuju, lebih mengarah ke tidak mau sih sebenarnya. "Aku nggak bakal bisa."

"Tapi ... Saya nggak percaya itu. Saya lihat kamu bisa jaga Kakak kamu dengan baik selama ini. Tolong
lakukan yang sama untuk anak-anak saya."

Sepertinya adik ku ini tersentuh mendengarnya. Mungkin El memang selalu ingin bisa menjaga aku
seperti apa yang aku lakukan untuk dia, jadi kesimpulan Tuan Batehood sekarang berhasil membuatnya
merasa berguna, bukan hanya tanggungan untuk kakaknya.

"Sesuai permintaan saya untuk kalian menjadi anggota keluarga ini, saya bersedia menjadi sosok ayah
kalian. Silahkan panggil Ayah kalau kalian mau."

Saran satu ini berhasil membuatku membuka suara. "Saya rasa itu nggak usah, Om." jawabku sekaligus
menerangkan sosoknya lebih ku pilih menjadi paman dibandingkan saran satu lagi.
El mengangguk menyetujui, cukup menjelaskan fokusnya pada percakapan walaupun matanya terus
mencuri pandang memperhatikan seluk-beluk kediaman mewah ini. Rasanya El paling tertarik dengan
halaman belakang yang dilengkapi kolam renang. Sama denganku sebenarnya.

"Nyamankan diri kamu aja, Crystal. Lakukan yang kalian mau. Saya cuma minta tolong jaga anak-anak
saya."

Keterangan 'cuma' yang digunakan dalam kalimat itu memancing kesal sebenarnya. Kalau yang dia
maksud dengan cuma adalah membersihkan rumah atau mengerjakan tugas sekali duduk mungkin iya,
bisa disebut begitu. Tapi ini mengurus empat anak tanpa bantuan ibu mereka, dan ayahnya sendiri akan
seratus persen menghabiskan waktu untuk bisnis. Di bagian mananya kata 'cuma' pantas digunakan?

"Asalkan Om pegang janji soal membereskan utang dan menjaga rumah tetap atas nama ku."

"Iya, Crystal, tenang saja. Kalau begitu ... " Tuan Batehood sejenak beralih menatap Om Galih yang
keberadaannya sudah terlupakan selama beberapa menit terakhir. " ... sepertinya saya bisa langsung
mengenalkan mereka pada yang lain. Terimakasih sudah mengantarkan anak-anak."

Setelah menyampaikan sama-sama dan basa-basi untuk aku bersikap baik yang tentu saja aku abaikan,
Om Galih meninggalkan ruangan. Tidak terlalu penting karena begitu Om Galih beralih, Tuan Batehood
lantas mengajak kami ke atas. Sesuai ucapannya tadi yaitu untuk mengenalkan kami pada anak-anaknya.

Di tangga saat melangkah bersisian walaupun aku yakin ada lift di rumah ini, Tuan Batehood
menjelaskan bagian yang sedikit mengusik ku. "Kamu akan jadi kakak untuk anak-anak saya, kabari saja
semua yang dibutuhkan. Kalian bebas melakukan ini-itu. Satu peraturan yang jadi alasan saya minta
bantuan kamu, jangan sampai mengganggu pekerjaan saya. Lebih baik kamu nggak masuk ke ruang kerja
saya apalagi dengan Sean atau Nathan. Pasti muncul masalah kalau muncul salah satu dari mereka."

Aku mengangguk saja. Memang aku nggak berminat memasuki ruang kerja seorang penggila bisnis,
apalagi dengan anak-anak di sekitar.

Setelah melewati beberapa pintu berjejer dari anak tangga terakhir, kami berhenti di pintu dengan
hiasan berupa gantungan nama Baby Louie. Perlahan pintu didorong, menampilkan kamar yang selaras
megahnya dengan rumah ini namun kesan hangat ruangan bayi lekat mengisi.

Louie tengah tertidur di ranjang bayi berwarna navy pastel diiringi lullaby menenangkan yang difasilitasi
ranjang itu sendiri.

Aku melangkah memasuki kamar tanpa permisi untuk memperhatikan wajah polos bayi ini. El yang
hampir tidak pernah melihat bayi nampak terpukau dengan apa yang dilihatnya sekarang. El
memperhatikan wajah Louie lekat-lekat, sulit untuk langsung menyimpulkan dia mirip sang Ayah atau
Ibu mengingat mungilnya—

Tunggu. Aku baru terpikirkan sesuatu.

"Louie masih kecil banget, Om. Apa baru sebulan? Saya takut nggak bisa mengurus bayi."
Tuan Batehood tersenyum menenangkan yang akan saja aku tanggapi decihan jika tak ingat untuk
menjaga sikap. "Usianya baru satu minggu. Itu kenapa saya kontrak kamu selama dua setengah tahun."

El makin penasaran saja dengan mahluk murni nan mungil ini.

Sedangkan aku, fakta ini samasekali belum sempat lewat di perkiraan ku. Yang benar saja, kontrak
selama itu. Aku kira hanya beberapa bulan sampai kelulusan sebentar lagi.

"Tapi saya rasa kontrak itu nggak akan penting. Kita akan mulai jadi keluarga, kalian boleh terus tinggal
bersama kami."

Kontrak itu terjadi antara Tuan Batehood dan Om Galih, sia-sia aku membahasnya. Jadi dengan
mengabaikan itu, aku fokus ke bagian tugasku sekarang. "Saya nggak bisa urus bayi apalagi yang baru
lahir, Om. Terlalu beresiko, saya takut anak Om malah kenapa-napa."

Dengan melangkah kembali ke pintu, Tuan Batehood mengisyaratkan agar lanjut berbincang di luar dan
tidak menganggu tidur si bayi.

"Kamu boleh hubungi babysitter tiap kesulitan menjaga Louie."

Lah? Kalau gitu kenapa nggak biarin aja babysitter itu sekalian jaga Louie dua puluh empat jam?

Perhatian ku dan El yang masih mencoba melihat Louie dari luar kamar, teralih suara derap langkah di
anak tangga. Memunculkan bocah laki-laki dengan seragam sekolah yang sama dengan El, dan satu lagi
bertubuh lebih tinggi dari ku dengan berseragam putih abu-abu.

"Saya rasa kamu akan lebih kesulitan menjaga mereka berdua. Dua-duanya sama-sama keras kepala."
jelas Tuan Batehood ditanggapi decihan jengah siswa SMA itu.

Sedangkan Sean beradu pandang keterkejutan dengan El. Tak menyangka rekan sekolah ini akan
berakhir tinggal satu rumah.

Dan tolong jangan bilang maksud Tuan Batehood adalah siswa SMA ini akan jadi satu dari empat
anaknya yang harus ku jaga. Apa-apaan menjaga seseorang yang kemungkinan besar seangkatan dengan
ku? Dengan sikap pemberontak semacam ini lagi.

"Itu Azka, dan itu Sean. Raphael pasti sudah kenal."

Yang namanya disebut pertama itu melemparkan tatapan perang sedingin yang memungkinkan. "Bayi
yang itu baru lahir, sekarang udah nyari penyumbang bayi yang lain?" cibirnya aku pahami dengan jelas,
bermaksud mencela ku sebagai wanita simpanan Ayahnya.

"Jaga sikap kamu terhadap Crystal dan Raphael, mereka akan jadi adikmu."

Azka menggeleng tak percaya. "Ni rumah beneran jadi panti," komentarnya jengah tanpa menatap satu
pun orang di sana. Dia melangkah saja menuju pintu paling pertama di deretan dari tangga, dan
membantingnya dari dalam.
Hal itu diikuti adiknya yang kini berlari menuju kamar di bagian tengah, dan mengunci diri di sana.

Siswa SMA dingin dan sinis seperti Azka, bocah SD yang sama saja sikap penolakannya, dan bayi baru
lahir yang begitu beresiko dalam mengurusnya. Entah putra model apa lagi yang disimpan Tuan
Batehood sebagai kejutan.

Sebuah kebohongan besar jika ku katakan akan mengusahakan yang terbaik. Bahkan dari awal melihat
Louie saja aku udah menyerah.

Ditambah lagi kejutannya kini benar datang. Disimpulkan dari celana biru nya, maka dia adalah siswa
SMP. Jelas adalah salinan berikutnya dari sikap Sean dan Azka.

"Bodo amat lo mau ngapain di sini, tapi jangan ikut campur urusan gw kalau gak mau mati." ancamnya
sebelum ada upaya dari sang Ayah untuk mengenalkan kami.

"Dan ... Iya, itu bagian tersulitnya." komentar Tuan Batehood begitu putranya melewati kami. "Nathan,
SMP kelas tiga. Tolong sayang dan jaga mereka, Crystal. Saya yakin kamu bisa membawa mereka lebih
baik."

Aku berniat menginterupsi sebagai penjelasan awal bahwa aku sudah menyerah dengan tugas ini. Saat
menjaga El yang begitu aku sayang dan satu-satunya tujuan hidup ku saja kadang berujung pada titik
menyerah, apalagi menjaga orang lain. Yang samasekali tak menghargai keberadaan ku lagi.

"Nggak mungkin kamu berhasil dalam hitungan bulan. Tapi selama kamu di sini, tolong terus berusaha
sayang anak-anak saya. Saya mengerti kalau usaha kamu sekarang itu palsu, dan hanya sekedar untuk
memenuhi tugas. Saya yakin kamu akan bersedia jadi anggota keluarga ini pada akhirnya."

Tuan Batehood cukup logis dalam menjelaskan harapannya pada ku. Masing-masing aku dan beliau jadi
tidak perlu berbohong kalau semua yang terjadi di sini masih didasari keterpaksaan.

Aku mengangguk pada akhirnya. Anggukan yang menyatakan persetujuan ku untuk setidaknya mencoba
dulu membantu keluarga ini. Entah aku akan segera menyesal atau tidak, tapi aku menyatakan mulai
bersedia untuk menghormati tuan rumah.

"Kalau begitu kalian boleh ke kamar. El mungkin mau beristirahat, lelah baru pulang sekolah. Lakukan
aja yang kalian mau. Saya harus kembali kerja."

"Iya, Om. " tanggapku sedikit kaku. "Makasih."

Ucapan ku dihadiahi elusan lembut di puncak kepala. Bergantian dengan El sebelum akhirnya Tuan
Batehood melangkah kembali ke arah pintu utama.

Kebekuan ku atas sikap lembut tadi dipecah El dengan genggaman.

"Ya udah ayo kita ke kamar dulu. Beres-beres, mandi, baru ke sini lagi jaga Louie." putus ku dengan balik
menarik genggaman El menuruni tangga.
Sejak pertama menginjakkan kaki di rumah mewah ini, aku hanya sibuk dengan segala isinya dan
percakapan dengan Tuan Batehood sampai lupa dengan barang-barang kami sendiri. Bahkan Om Galih
sudah sejak tadi meninggalkan rumah ini. Gimana kalau koper ku malah terbawa lagi?

Tapi begitu tiba di bawah, kedatangan kami disambut salah satu maid yang tadi mengantar dari pintu
utama. "Kamar Nona dan Tuan ada di sebelah sana. Mari."

Sesaat aku bersitatap setengah bingung dengan El. Rasanya aneh disebut seperti itu apalagi oleh orang
yang lebih tua.

Berhubung maid tadi sudah lebih dulu melangkah untuk menunjukkan letak kamar kami, aku dan El
setuju untuk mengekor lebih dulu.

Kamar itu ada di sisi kanan ruang tengah beberapa meter dari tangga. Ini pasti kamar tamu kalau dilihat
dari posisinya. Luasnya juga sepertinya sama dengan luas kamar ku di rumah, hanya saja diisi barang-
barang yang lebih lengkap dan mewah.

"Tas nona sudah—"

"Aku Crystal, dan ini Raphael. Kita di sini juga untuk bekerja, Bu. Jadi kayaknya nggak perlu terlalu
formal."

Maid tadi tersenyum sembari mengangguk. "Iya, Non. Panggil aja Bi Tari. Tas Non Crystal udah di kamar,
panggil Bibi aja kalau butuh bantuan. Bibi pulangnya jam delapan malam dan balik lagi jam setengah
enam."

Pulang pergi? Jika alasannya adalah karena Tuan Batehood tidak ingin orang luar terlalu lama berada di
rumahnya —seperti yang dikatakan Om Galih tentang kepercayaan ayah empat putra itu, aku ragu hal
itu cukup efektif.

Terlalu lama aku larut dalam lamunan sampai Bi Tari mengundurkan diri dan El lebih dulu memasuki
kamar. Kami tanpa perlu membuat kesepakatan lebih dulu, melangkah untuk membayarkan penasaran
pada satu-persatu furniture yang tersusun.

Rak meja belajar yang sudah lengkap dengan berbagai sarana tulis menulisnya. Lemari nakas bergaya
minimalis untuk pakaian ku dan El yang tidak seberapa. Cermin berbingkai ukuran besar yang muat
untuk melihat pantulan seluruh tubuh. Dan salah satu yang El temukan lebih dulu itu lemari yang
diletakan sepanjang dinding salah satu sisi kamar, terisi belasan helai pakaian formal sampai santai
untuk masing-masing aku dan El.

Tapi yang menjadi alasan utama El menatapku sekarang adalah seragam sekolah. Bukan untuk El tapi
untuk ku. Seragam lengkap Senin sampai Jumat Sekolah Menengah Atas Citra Mulia, yayasan yang sama
dengan sekolah El.

Aku nggak tau ada begitu banyak keputusan yang diambil tanpa persetujuan bahkan sekedar mengabari
ku. Tentu aku harusnya bertanya pada Tuan Batehood soal sekolah ini, bagaimana kalau aku nggak mau
pindah? Kalau misalnya tidak boleh menolak, kapan aku harus pindah? D siapa yang mengurus
kepindahan atau hal-hal lain? Tapi tentu saja tuan rumah nggak punya waktu untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ku.

Semoga saja satu dari banyaknya asisten rumah ini bisa memberikan jawaban.

"Candy, aku ganti baju aja ya?"

Permintaan El kali ini tentu tidak aku setujui. Aku mengerutkan hidung saat menggeleng menjawabnya.
"Aku mau rapiin baju ke lemari, dan kamu mandi. Abis kamu baru gantian aku."

Kamar mandi ada di sisi kanan lemari dinding. El yang untungnya nggak mencoba negosiasi lain setelah
aku menolak permintaannya lantas memasuki kamar mandi.

"Candy bantuin!" teriak El beberapa detik setelah menutup pintunya.

Hela napas sebab aku merasa bodoh lantas terembus begitu menengok kamar mandi. Di sana jelas
sudah disiapkan handuk, sabun, sampo, dan segala kelengkapannya. Kenapa juga aku tidak terpikirkan
itu dan repot membawa peralatan mandi dari rumah.

"Kenapa?" tanyaku karena El samasekali belum memulai mandi kecuali melepas seragam sekolahnya.

Tanpa rasa bersalah, El melempar baju kotor ke keranjang yang tersedia.

"Aku nggak bisa ambil itu," tunjuk El pada rak di sisi kaca wastafel tempat peralatan mandi tersimpan.

Kali ini sesuai permintaan; sabun, sampo, sikat dan pasta gigi aku ambilkan. Begitu mundur untuk
memindahtangankan benda yang diperbincangkan, aku nggak sengaja melirik ke bagian bawah wastafel.
Ada tangga kecil yang tinggal El tarik untuk membantunya menggunakan wastafel maupun mengambil
sesuatu dari rak.

"Itu ada tangga."

Mulut adik ku ini membentuk bulatan sejenak tanpa ditambah tanggapan apa-apa lagi. Dia lebih tertarik
memasuki bilik kaca transparan tempat shower.

"Candy, liat!" serunya sembari menunjukkan semburan air berbeda tiap kali menekan tombol kotak di
dinding kanan bilik.

Tawa kecil ku berhasil lolos saat El panik dengan semburan air yang menjadi kian kencang. "Tapi jangan
main-main di kamar mandi ya, bahaya." peringatku sebelum melangkah meninggalkan kamar mandi
dengan lebih dulu menyampirkan handuk ke wastafel agar mudah El ambil. Tentu wastafelnya masih
kering.

Selaras rencana yang ku susun dalam otak, pakaian selesai ku bereskan bersamaan El selesai mandi.
Bocah itu menolak mengenakan baju baru yang disediakan di lemari dan mengenakan bajunya yang ku
bawa. Dia memilih merapikan buku dan memisahkan yang mana tugas yang akan dikerjakannya
sementara aku mandi.

"Banyak pr?" tanyaku setelah selesai berpakaian dengan juga baju yang ku bawa dari rumah.

Tanggapan muram berupa dehaman singkat cukup menjelaskan jawabannya.

"Aku bantuin kok. Nanti kalau dapat bagus ada hadiahnya."

"Beneran ya?" cecar El memaksaku menengok padahal baru ingin menggantung handuk sejenak.

Anggukan tegas yang diharapkan El, aku berikan. "Iya." Aku mencari letak sisir di sekitar nakas. Hampir
seluruh benda disiapkan untuk kami, jadi itu alasan ku optimis soal keberadaan sisir di sini.

Tidak menemukan di atas nakas, aku menarik salah satu laci. Otomatis saja mengangkat charger yang
diletakkan bersisian dengan headset dan laptop untuk memperhatikannya lebih dekat.

Tapi aku mengembalikannya berhubung bukan benda itu yang tengah aku cari.

Omelan tiba-tiba El mengalihkan. "What?! Kemarin nggak sempet, makanya sekarang kamu sampai
bawa skipping ke sini?"

Kinerja otak ku seakan berhenti sejenak, buffering menerima kritikan tetiba satu itu. Namun begitu
paham, aku mengulas senyum memberi pengertian.

"Ini kabel charger El. Enggak kok aku nggak bawa skipping."

Alat dalam permainan lompat tali itu tidak disukai El karena bagaimana aku menggunakannya. Salah
memang aku menunjukkan frustasi dengan memaksa diri setengah mati bermain lompat ratusan kali.

Aku nggak sengaja sempat memainkan skipping saat kala itu sampai di titik menyerah. Lelah
memaksakan diri melompat terus dan terus sesaat membantu ku melupakan tekanan pikiran. Juga
lelahnya membuat ku cepat tidur.

Dari saat itu aku terus saja sengaja bermain skipping berjam-jam ketika tertekan. Bagaimana otot kaki ku
jadi nyeri akibat terforsir tanpa pemanasan itu yang membuat El marah. Dia bilang benci melihat ku
kesakitan. Tapi bagaimana, pengalihan ini yang terbaik dan yang paling mungkin aku lakukan. Kalau
uangku banyak mungkin bisa seperti di film-film dengan menggunakan alkohol atau rokok. Sedangkan
yang membuatku frustasi sekarang adalah ketiadaan uang itu.

Benda yang sejak tadi dicari akhirnya aku temukan di rak sisi wastafel di kamar mandi. Rambut panjang
ku untungnya nggak mudah kusut sehingga tidak butuh waktu lama merapikannya. Bahkan El saja betah
menguji coba keahlian tangannya dalam mencipta kepangan di waktu senggang kita.

Aku mengikat satu rambutku agar tidak mengganggu saat mengajarkan El dan mungkin saja mengurus
Louie nanti. Walaupun aku tak yakin mengurus seperti apa yang aku bisa.
"Ayo ke kamar Louie." Tawaran bantuan membawa buku ditolak berhubung hanya dua buku tulis dan
dua buku paket yang diperlukan El.

Sejauh ini rute kamar - tangga - kamar Louie - kembali ke tangga - pintu utama saja yang aku dan El tau.
Aku sengaja nggak membahas halaman belakang dengan kolam renang itu dulu karena bukan tidak
mungkin El akan meminta ke sana, sedangkan alasan kita berada di rumah ini ada di lantai atas.

"Candy, jadi kalau aku dapat di atas delapan puluh, aku dapat hadiah kan?"

Aku kapok deh memberikan target pada El setelah kemarin dia benar-benar berusaha membuat nilainya
88. Aku menggeleng. "Delapan puluh itu tolak ukur aku sebut nilainya bagus, El. Tapi tetep kamu harus
usaha dapat seratus. Bukannya berhenti di poin delapan puluh."

El terkekeh geli mengingat aksi isengnya kemarin. "Iya-iya. Aku bakal dapet hadiah apa, Candy?"

Untuk saat ini, butuh waktu sedikit lebih lama untuk aku mencari jawaban. Masalahnya dengan tinggal
di rumah yang membiarkan aku dan El meminta apapun yang dibutuhkan maka makin kecil hal yang bisa
khusus ku berikan pada El.

Sebelumnya semangat El dalam mengerjakan tugasnya mudah dipancing dan dibayarkan dengan
perhatian tulus seperti hadiah lolipop atau ayam crispy seperti kemarin. Sekarang rasanya itu tak akan
lagi begitu spesial.

"Hadiahnya El yang tentuin nanti. Bebas El minta aku kasih atau lakukan apa."

Obrolan kita terhenti. Tak sengaja berpapasan dengan salah satu anggota rumah. Tatapan tidak suka itu
sebenarnya akan aku abaikan kalau ku temukan di luar. Tapi kali ini tidak mungkin, adalah tugas ku
mengubah tatapan itu perlahan jadi penuh sayang.

"Hai, Sean." sapa ku tak perlu dijelaskan, tentu saja diabaikan bahkan ditanggapi tatapan jengah.

"Kamu mau belajar bareng aku dan El? Sean juga boleh minta hadiah kalau nilainya bagus."

Senyum yang sejujurnya dipaksakan ini perlahan menemukan alasannya untuk jadi tulus. Di mata Sean,
meski amat tersembunyi, aku paham terdapat sorot luka di sana. "Aku benci kalian, tau?" tegasnya
melipatgandakan apa yang sudah lebih dulu ku tangkap dari tatapannya.

"Kamu pikir aku nggak benci kamu, anak aneh?" cecar El balik yang spontan membuatku menegurnya
dengan gelengan.

Langkah Sean yang tadinya akan mengarah menuruni tangga sebelum berpapasan dengan aku dan El
berbalik kembali ke kamarnya. Lagi-lagi membanting pintu untuk kami.

"Emangnya El nggak sedih lihat temennya dipanggil begitu?"

"Tapi aku lebih nggak suka anak aneh itu ngebentak-bentak kamu, Candy. Padahal kita belum kenal dia
samasekali."
Aku mungkin berpikiran yang sama jika tidak memperhatikan Sean lekat-lekat tadi. Di sisi lain aku
mengerti betul bagaimana El dan sudut pandangnya, jadi aku sengaja bersikap sesantai mungkin.
Melanjutkan langkah kita menuju kamar Louie.

Bayi itu sejenak menggerakkan tubuh mungilnya saat kita memasuki kamar bernuansa biru ini. Tingkah
menggemaskan itu berhasil mengalihkan aku dan El dari niat bicara sebelumnya.

"Candy, dimana Ibunya Louie? Gimana kalau Louie minta susu?" tanya El polos, adik ku ini bahkan sudah
memelankan volume suaranya. Dan tadi pun melangkah perlahan mendekati kasur bayi Louie. Padahal
seluruh lantai dilapisi karpet yang aku yakini sebagai peredam suara.

"Ayahnya Louie nggak kasih tau aku. Mungkin sama-sama sibuk kerja. Kalau Louie laper kita bisa siapkan
yang lain kok."

"Kamu bisa bikin bubur emang, Candy?"

Aku lantas meringis mendengarnya. Harus dua kali hati-hati dalam menjaga Louie kalau seperti ini.

"Louie masih terlalu kecil, El. Dia cuma boleh minum susu formula khusus bayi baru lahir. Bahkan air
putih pun belum boleh."

Kernyitan terbentuk di dahi El. "Tapi susu formula kan manis, kalau nggak minum air putih nanti di mulut
rasanya asem, Candy. Gimana kalau Louie nangis karena itu tapi kita nggak ngerti dan malah kasih dia
susu lagi?"

"Mau tau caranya biar ngerti nangisnya Louie itu artinya apa?" pancing ku sengaja menggantung agar
lebih dulu mempusatkan seluruh perhatian El. "Caranya itu kita harus sayang Louie."

Terbentuk kernyit selanjutnya yang akan diikuti protes kalau aku nggak cepat-cepat menjelaskan.
"Begitu kita sayang seorang bayi, nanti akan muncul ... Um ... semacam benang nggak kelihatan yang jadi
jalan bayi itu kasih tau dia butuh apa. Biasanya cuma ada antara bayi sama ibunya, tapi aku yakin
benang itu akan ada antara aku dan Louie sebentar lagi."

Berhubung Louie masih terlelap, aku mengajak El duduk berleseh di karpet untuk mulai belajar.

Dia mengambil buku tugas IPS-nya dan menyisihkan jauh-jauh buku Bahasa Indonesia.

Kadang aku gemas mengingat El bilang soal pilihan ganda pelajaran bahasa Indonesia itu benar, benar,
benar, dan paling benar. Sedangkan yang perlu ditemukannya adalah pilihan benar versi gurunya.

Sementara El membuka lembar demi lembar buku sampai ke halaman yang harus ia kerjakan, aku
memanfaatkan waktu memperhatikan keseluruhan kamar Louie. Kamar dengan jendela besar yang
mengarah ke halaman belakang membuat keadaan kamar cukup terang. Sengaja tirai jaring transparan
ditarik melapisi kaca agar cahaya tidak mengganggu tidur bayi ini.

Pendingin ruangan dinyalakan pada suhu 25°C. Air purifier juga terus menyala.
"Oh iya." Aku baru teringat niat bicara soal sikap El pada Sean. "El jangan sebut Sean anak aneh lagi.
Nggak ada anak yang aneh. Sean mungkin lagi sedih atau dia sebenernya pengen dekat sama kita tapi
dia malu. Kita pelan-pelan aja coba kenal Sean, dekat sama dia. Nanti juga kita bisa jadi temen."

"Tapi tadi kamu lihat kan, Candy. Dia ngebentak dan banting pintu padahal kita sapa dia baik-baik. Dia
tuh aneh."

Aku menghela napas. Dari awal sudah tau akan sulit menjalani ini termasuk meminta dukungan dari El.
Rasanya bisa dibilang untung dengan keberadaan Louie karena bayi itu berhasil jadi satu-satunya yang
diberi kesediaan El untuk ia perhatikan.

"Ayahnya Louie minta bantuan kita untuk jagain dan sayang anak-anaknya."

"Kita nggak pernah bilang kita mau bantuin." balas El sembari menekan klik pada ujung pulpennya.

"Kasian Louie nggak ada yang jaga, Sean juga nggak akan punya temen kalau kita nggak temenin."

"Salah sendiri dia aneh."

Haduh bocah ini.

Kakaknya sudah berkali-kali menghela napas sabar, dia masih segini teguhnya mempertahankan
pendapat.

Terpaksa aku bertarung dengan waktu untuk mencari jalan keluar. El pasti makin menyetok banyak
argumen balik kalau aku nggak menyatakan aku tau apa yang harus dilakukan.

"Kalau gitu, aku aja yang coba temenan sama Sean. Untuk sekarang El bantu aku jagain Louie ya?"

Tak ada tanggapan berarti dari El kecuali anggukan yang dipanjang-panjangkan. Dia pura-pura sibuk saja
memposisikan diri berbaring dengan perutnya dan mulai membaca soal nomor satu.

Aku sendiri sesaat memainkan bulu-bulu karpet dengan menyisirnya ke satu arah agar sewarna dan
akhirnya ke arah sebaliknya untuk mendapat kontras warna lebih tua.

Ketukan samar dari pintu mengalihkan perhatian ku dan El. Baguslah, aku tidak perlu mengembalikan
karpet ke warna yang lebih terang karena warna gelap ini tidak sesuai dengan bagian sekitarnya.

Yang mengetuk pintu ternyata Bi Tari dengan membawa dua piring berisi potongan pai buah. Sesuai
perkiraan, karena memang tidak mungkin ada orang lain yang repot-repot mengecek keberadaan kami
di salah satu ruangan dalam rumah besar ini.

"Silahkan non, den, camilannya. Besok-besok kalau mau sesuatu, kasih tau aja ya. Nanti Bibi siapin."

Anggukan mengerti aku berikan meski tak yakin aku akan segera ada di titik meminta sesuatu untuk
khusus disiapkan. Mungkin setelah beberapa lama dimanjakan dengan berbagai hal seperti ini, aku
akhirnya akan tidak sadar mulai berubah. Tapi dalam waktu dekat ini rasanya belum. "Iya, Bi. Makasih."
El merepetisi kalimat ku dan kembali mengisi buku tulisnya sesuai perintah dari buku paket.

"Oh iya, Bi. Bi Tari udah berapa lama kerja di sini?" Pertanyaan ini bukan terlontar sebab ingin tau, ada
pertanyaan lain yang ingin aku dapatkan jawabannya setelah ini.

"Udah tiga tahun, non. Tapi tahun kemarin sempet ambil cuti beberapa kali. Anak bibi nikah, terus
lahiran, terus sebentar jagain cucu karena anak bibi mau kerja ke luar."

Nah, benar bagian ini yang ingin ku kulik. Tepat sasaran tanpa perlu basa-basi lagi.

"Oh ... Kalau gitu aku boleh tanya-tanya soal jagain Louie ya, Bi? Aku punya dua adek, tapi aku nggak
pernah urus mereka waktu bayi sendiri."

Bibi mengangguk menyanggupi. "Iya, tanya aja. Bibi dampingin kok nanti."

Hanya jawaban itu yang bibi berikan. Sesuai harapan juga sekaligus sesuai perkiraan. Tuan Batehood
pasti sudah menjelaskan informasi tentang aku dan alasan beliau ingin aku ada di sini pada anggota
rumahnya. Itu alasan bibi tak bertanya lebih lanjut soal kalimat menggantung ku sebelumnya,"Aku
punya dua adek."

Aku baru saja akan berterimakasih dan membiarkan bibi kembali mengerjakan tugasnya saat satu
anggota ruangan membuka suaranya. Mengingatkan keberadaannya di tengah kami saat ini.

"Candy, dia nangis!" seru El heboh dengan bergegas bangkit dan berlari mendekat Louie. Padahal
tempat El tadi berselonjor dengan tempat tidur Louie hanya perlu beberapa langkah.

Aku dan bibi ikut melangkah mendekat.

Menggemaskan sekali meski bibir mungil louie melengkung mendung, bahkan sesekali bergetar saat ia
menangis lagi.

"Candy, aku boleh pegang dia?"

"Jangan ganggu adeknya tidur dulu," pinta ku pada El yang tak perlu sampai dua kali mengulang.

Baguslah El tidak perlu menambah kalut perasaanku yang terdominasi kegugupan. Aku harus belajar
menggendong Louie. Tapi gimana kalau aku malah menyakiti tubuh mungil itu.

"Bi, gimana cara gendongnya?"

Senyum menenangkan Bi Tari berikan. Bibi tenang kan karena sudah berpengalaman mengurus anak,
sedangkan aku di sini karena terpaksa.

Dengan telaten aku dicontohkan bagaimana menggendong Louie dari kasurnya. Pertama Bibi menopang
leher dan kepala si bayi dengan lengan kiri, baru lengan kanan membantu mengangkat di bagian bokong
dan pinggang. Bibi mengangkat Louie untuk disandarkan ke dadanya dulu, barulah memposisikan Louie
tidur layaknya menggendong bayi seperti biasa.
Bibi yang melakukannya jadi nampak mudah, nanti bagaimana aku entah.

Aku tersadar tangisan Louie berhenti sejak tadi bibi berancang-ancang menggendongnya. Sepertinya dia
benar hanya iri karena tidak diikutsertakan dalam obrolan.

Jadilah bibi menurunkan kembali Louie ke kasur birunya. Menyatakan kalau ini giliranku meniru apa
yang dicontohkan barusan, yang semoga saja berhasil di percobaan pertama.

Tanganku terulur menyentuh Louie sesuai yang diajarkan. Fokusku juga seluruhnya terpusat di sini.
Untung saja rapalan berulang dalam hati agar Louie nggak menangis, nggak akan terdengar sampai
keluar.

Dan aku berhasil.

Louie sudah dalam gendonganku tanpa aku menyakiti atau membuat dia nggak nyaman. Tatapan
terkejut bercampur kagum dari El jadi tertular. Apalagi bibirnya yang membentuk lingkaran dengan raut
senang, mengajak bibi untuk ikut terkekeh.

Melupakan larangan mengganggu tidur manusia mungil ini, El mengulurkan tangannya untuk mengelus
sisi kepala Louie. Merapikan rambut-rambut tipis di sana dengan ibu jarinya yang bahkan lebih besar
dari lebar telinga Louie.

Adikku sudah sebesar itu ternyata.

"Louie wangi banget, Candy. Aku suka wangi anak bayi."

Anggukan setuju yang niatnya aku lanjutkan dengan penjelasan kalau selain efek menenangkan dari
aroma bedak dan minyak telon, memang aroma tubuh bayi memicu hormon dopamine yang membuat
bahagia—El menginterupsi lagi.

"Apa Louie baru mandi juga, kayak kita, Candy?"

"Entah..." Aku mengedikkan bahu ragu.

Bibi menjadi satu-satunya yang bisa memberi jawaban sekarang, jadi aku berikut El menatapnya.

"Baru lahir dimandikannya tiga-empat kali seminggu, cukup. Hari ini cuma dilap-lap, ganti bajunya aja.
Besok baru mandi lagi."

Itu artinya besok akan jadi jadwal pelajaran pertamaku tentang memandikan bayi. "Pagi atau sore, Bi?"
tanyaku baru teringat bahwa posisi babysitter ini hanyalah pekerjaan sampingan, resminya aku masih
seorang siswa sekolah.

"Sore aja, Non pulang sekolah. Kalau libur boleh pagi, habis jemur."

"Apa? Jamur?" sahut El lagi. Padahal aku tengah serius mengingat-ingat tugas ini.

Aku menatap El gemas, "Jemur. Anak bayi dijemur matahari pagi—"


"Emangnya dia kerupuk? Sampai perlu dijemur."

"Cih... Kalau kamu berjemur emangnya kamu berubah jadi kerupuk apa? Matahari pagi tuh bagus, biar
dapat banyak vitamin D."

El berhenti mendebat setelah penjelasan soal kenapa Louie harus berjemur dianggapnya masuk akal.

Berhubung Louie tak lagi menangis, perlahan aku membawanya kembali ke kasur. Merapikan posisi
bantal kecilnya dengan hati-hati.

Kalau boleh jujur sebenarnya aku mau menggendong Louie lebih lama. Dia kelewat menggemaskan dan
aku hampir tidak pernah bertemu bayi sejak terakhir El kecil. Lebih dari itu, sudah muncul rasa sayang
yang kini mungkin masih tertutup kasihan. Kita sama-sama tidak memiliki orang tua walaupun dalam
definisi yang berbeda. Aku merasa kasih sayang yang selama ini hanya ku bagi dengan El, akan bisa kami
bagi juga pada Louie.

Mungkin ... juga Sean. Dan kedua kakaknya—meski kemungkinannya hampir nol.

Tangisan Louie membuyarkan lamunanku. Sesaat terbersit was-was jika saja aku menyakitinya tanpa
sengaja. Tapi bibi meredam kekhawatiran itu.

"Walah ... Laper kah, Den?" Bibi melepas kait pengunci di sisi kasur yang ternyata dapat mengubahnya
menjadi ayunan.

Tidak cukup pemutar musik, mainan gantung, dan aksen mewah ternyata. Entah apa lagi fitur kasur bayi
keluarga Batehood.

El yang sudah menunggu-nunggu dirinya akan diminta berperan menjaga Louie, lantas tersenyum cerah
begitu bibi memintanya menjaga ayunan kasur tetap perlahan. Sementara itu Bi Tari melangkah ke
nakas di sisi kanan kamar yang ternyata berisi perlengkapan susu.

Kotak susu, beberapa botol dot, dan termos yang menunjukkan suhu air di dalamnya.

"Takaran susunya nggak susah. Kasih satu sendok, airnya di angka tiga. Tapi airnya jangan terlalu panas,
samain suhu badan aja 38. Coba dirasain, tetesin ke punggung tangan."

Aku menerima botol susu setelah penjelasan disertai contoh langsung barusan. Mengocoknya perlahan
yang masih harus dua kali aku cek apakah sudah larut semua atau belum.

Setelah yakin dengan suhunya mengikuti arahan dari Bibi tadi, aku memberikannya pada Louie. El
menggeserkan kursi agar aku bisa duduk sembari memegangi botol susu yang ditanggapi hisapan
semangat bayi menggemaskan ini.

"Sehari berapa kali minum susu, Bi?"

"Tiap dua jam boleh dikasih, tapi diganti susu yang baru terus ya."
Aku mengangguk diikuti El yang ternyata menyimak juga bagaimana kita harus menjaga mainan barunya
ini. Tangannya masih menggenggam sisi kasur Louie untuk mengayun perlahan.

Sepertinya Louie terlalu mengantuk untuk sekedar meminum susunya. Jadi perlahan—agar tidak
mengganggu tidurnya, aku menarik dot dari mulut mungil yang sudah berhenti menghisap itu. Tapi
begitu merasakan susunya diambil, cepat-cepat Louie kembali menyedot.

Membuat El yang menatapnya berhadapan dengan ku tergelak kecil melihat tingkah itu.

Menggemaskannya jadi dua kali lipat melihat Louie dan El bersama seperti sekarang.

"Yowis ... " sebut Bi Tari, menyadarkanku akan keberadaannya —terlebih tugas-tugas yang ia tinggalkan
untuk membantuku sekarang.

"Bibi tinggal dulu ya. Kalau perlu apa-apa, panggil lewat situ aja."

Bibi menunjuk semacam monitor radio yang banyak terlihat dipasang di sisi dalam, pintu utama rumah
untuk melihat siapa tamu yang datang. Sedangkan yang dipasang di sebelah kiri pintu ini tidak disertai
monitor penampil gambar. Hanya untuk mengirimkan suara.

Untuk kesekian kalinya aku mengangguk mengerti. Mengucapkan terimakasih lagi sebelum Bi Tari
meninggalkan ruangan.

Pintu putih bergaya modern sesuai konsep yang diambil rumah mewah ini, kembali ditutup dari luar
setelah Bi Tari beralih. Perhatian yang niatnya ku pusatkan seluruhnya pada Louie sekarang, lebih dulu
direbut pandangan lekat El.

Aku hapal itu pandangan membujuk agar aku melakukan sesuatu. Tapi apa yang El mau sekarang?

Sepertinya tanda tanya itu tergambar jelas di wajahku hingga El lanjut memberikan cengirannya.
Memanjangkan komunikasi tanpa kata antara kita berdua.

Awas saja El kalau Louie jadi menangis karena iri lagi-lagi tidak diajak dalam obrolan.

"Gendong Louie lagi, Candy..."

Kali ini aku tak lantas menolak, juga tak lantas mengiyakan. "Nanti habis minum susu."

Aku ingat waktu El kecil, Ibu selalu menyandarkan El ke dada untuk menepuk-nepuk punggungnya
setelah menyusu. Kalau tidak begitu, El yang masih bayi akan rewel karena belum bersendawa.

Tidak hanya El sih, Ibu bilang semua anak bayi seperti itu.

Baru sekian menit, Louie berhenti menyedot. Memang saat aku mencoba menarik botol dot dari
mulutnya, Louie lantas mencari-cari susunya. Tapi hanya satu-dua kali menghisap dan kembali diam, jadi
sepertinya dia sudah kenyang.
Yang tadi punya permintaan agar aku menggendong Louie kini membantu menghentikan ayunan kasur.
Bahkan mengunci kaitannya padahal El belum diajarkan bagaimana.

Aku beranjak berdiri dan menepuk perlahan sisi paha Louie agar dia nggak menangis kehilangan
botolnya. Mulai menggendongnya—dengan lagi-lagi kegugupan melanda, meski aku tau aku bisa
melakukannya.

"Candy..." sebut El entah dia sadar atau tidak, berhubung matanya penuh kekaguman menatap Louie
yang tidak melakukan apa-apa.

Begitu aku kembali duduk, rasanya lebih aman saja menggendong Louie dalam posisi ini. Tanpa basa-
basi, El menyejajarkan telapak tangannya dengan kepala Louie yang tengah ku sandarkan ke dada. "Dia
Unyil banget, Candy. Aku pernah sekecil dia? Kamu pernah sekecil dia, Candy?"

Haduh, dapat diksi darimana juga dia mengukur anak bayi dengan kata 'Unyil'. Rasanya aku payah untuk
soal mengenalkan El dengan kata-kata. Baru dua hari kalian mengenal kami saja sudah mendengar
kalimat khas Raphael, seperti 'di-menguntit' dan sekarang 'dia Unyil sekali'.

"Mungil, El. Kata mungil atau kecil yang bisa kamu pakai. Unyil emang artinya sama, tapi itu biasanya
cuma untuk pemasaran."

El mengedikkan bahunya tidak peduli. Bahkan tatapannya berubah cuek dalam sekejap begitu aku
mengoreksinya. "Yang penting kamu paham kan."

Sesuai tujuan bayi ini kuganggu tidurnya, Louie bersendawa kecil. Mencuri perhatian aku dan El
padanya.

El mengelus sisi kepala Louie. Kalau saja tidak dibungkus kain bedong, mungkin El akan mengobservasi
seluruh bagian tubuh bayi yang tadi dia sebut ukurannya adalah Unyil.

"Louie bobo lagi ya ... " ujarku sembari perlahan bangkit mendekati kasur.

"Ih jangan," tahan El kecewa permintaannya hanya terkabul sejenak.

Aku juga ingin terus menimang Louie. Tapi biarlah, lebih aman untuk dia berbaring di kasurnya.

"Louie masih terlalu kecil, El. Aku takut dia kenapa-napa. Dia juga perlu tidur terus, belum bisa main."

Adikku ini menghela napas kecewa, bahunya pun turun seturut helaan napas sebagai penekanan. "Udah,
kerjain PR lagi sekarang."

Tak perlu dua kali aku berucap, El setuju untuk kembali berkutat dengan buku-bukunya. Kembali ke
posisi semula yaitu berbaring di karpet. Dia menyendok pai buah yang dibawakan barusan, dan
mengangguk sebagai komentar positif akan rasanya.

Cih, memang tau apa dia soal rasa pai buah. Tapi aku nggak lanjut menyalahkan komentar tadi begitu
ikut duduk dan mencobanya sendiri. Memang enak.
Memperhatikan El belajar tanpa atmosfer buru-buru menglingkupi kita serasa anomali. Biasanya aku
sibuk bekerja sepulang sekolah, dan baru bisa mengecek PR El malam harinya. Aku harus melakukannya
dengan cepat agar bisa diperbaiki, dan tidak berakhir tidur terlalu malam. Kita perlu membereskan
pekerjaan rumah juga masalahnya, jadi jelas lelah jika kelewat malam.

Beberapa angka sudah dilewati jarum panjang pada jam, sedangkan aku masih tidak tau harus
melakukan apa lagi. Mengabsen barang-barang di kamar ini, sudah. Memastikan Louie tidur pulas,
sudah. El juga tidak akan nakal dan fokus dengan tugasnya.

Niatnya aku beralih sebentar saja ke kamar untuk melihat apa yang harus dipersiapkan berhubung besok
aku akan masuk ke sekolah baru—tanpa ada kepastian besok atau kapan sebenarnya.

El merentangkan tangannya. Bukan bermaksud menggangguku atau paham sang kakak akan
menjatuhkan tanggungjawab untuk menjaga Louie sendiri sejenak. Raut wajahnya menunjukkan ia
tengah serius berpikir.

"Menyebalkan," gerutu El sebagai pancingan agar aku bertanya. Tapi dia sendiri tak mau menunggu
lebih lama untuk aku membuka suara, langsung saja El menatapku frustasi. "Bantu kerjakan soal ini,
Candy..."

Aku menerima buku paket dengan sampul yang menyatakan pelajaran IPS itu menyenangkan—biasanya
buku matematika yang menyatakan diri seperti itu kan?

4. Saat kita menghadap ke arah timur maka tangan kanan kita berada di sebelah ….

a. Utara

b. Barat

c. Tenggara

d. Selatan

Di sebelah soal sudah El coba untuk menggambar mata anginnya sendiri. Sayang sekali semuanya
tersusun acak setelah tiga kali menggambar tiga panah mata angin.

Tak masalah bukunya tercoret, buku ini dibeli bukan dipinjamkan dari sekolah. Harga sebenarnya dua
juta sekian ratus untuk paket buku satu tahun ajaran. Tapi setelah aku meminta keringanan dan
mencoret buku tulis agar dibeli di luar sekolah saja, harganya jadi hanya satu juta seratus. Akan dicicil
tiap bulan, sampai akhir tahun ajaran nanti.
Jangan menganggap aku sombong dengan menyebut satu juta sebagai 'hanya'. Hutangku yang tidak
jelas asal-usulnya saja ada hampir lima ratus juta. Untuk cicilan seratus ribu tiap bulan dengan tujuan
yang jelas yaitu buku pelajaran, tentu nggak sebanding lah.

Oh iya, sepertinya ada yang harus diralat. Aku dan El sudah tinggal di rumah ini, maka tidak perlu lagi
aku memikirkan hutang apapun.

"Ada lagunya buat hapalin mata angin kok. Sebentar aku gambar panahnya dulu."

Sementara aku menarik garis-garis lurus bersilangan di lembar kosong buku paket El, pemilik sah tugas-
tugas ini malah beranjak bangkit. Selama dia nggak mengganggu Louie tidur, aku nggak masalah dengan
itu.

"Kenapa ada mobil-mobilan di kamar Louie?" tanya El tiba-tiba. Dia sudah melangkah kembali
menghampiriku setelah meraih mobil-mobilan di atas nakas yang pastinya diletakkan hanya untuk
hiasan.

"Mainan muter itu aja, Louie belum bisa mainin. Kenapa dikasih mobil-mobilan?" El lanjut mencecar
setelah menunjuk mainan gantung bertema bintang di atas kasur bayi Louie, sebagai perbandingan
dengan mainan mobil hitam mewah di tangannya.

"Mungkin ayahnya Louie lihat mobil-mobilan itu bagus, jadi untuk hadiah buat anaknya."

Anggukan sarkas perlahan yang mengimplisitkan pertidaksetujuan tanpa bicara ditutup kalimat yang
membuatku gemas.

"Iya, bagus sih. Tapi bagusan mobil Kak Gio."

Kenapa tiba-tiba Gio lagi? Hutangnya sudah diurus tapi penagihnya masih mengganggu.

"Urusan kita sama dia udah selesai, El. Banyak yang harus kita lakuin sekarang, jadi tolong kamu
dengerin aku untuk nggak berurusan sama dia."

Tak kusangka, tanggapan El malah berupa hela napas kecewa. Misalnya dia bersikap tidak peduli atau
malas menanggapiku, itu lebih masuk akal. Bisa-bisanya dia berharap hubungan lebih setelah
pertemuan tidak sengaja kemarin.

Cepat-cepat aku mengalihkan perhatian El. Sejujurnya perhatianku juga, aku takut malah jadi penasaran
dengan penagih utang aneh itu.

"Ini ... " tunjukku dengan pensil pada ujung panah sebelah kanan. El yang sudah hapal kakaknya akan
mengomel jika dia tak langsung bergerak menyimak, lantas menempatkan dirinya di sebelahku. Tangan
kanannya mendorong-dorong mobil di karpet biru yang semoga saja tidak akan menyangkut pada roda,
sementara matanya menatap apa yang ku tunjuk.
"Yang di sebelah kanan ini Timur. Yang di atas itu Utara. Patokannya itu aja kok, baru kamu bisa
nyanyiin. Timur, Tenggara ... " Aku mulai menunjuk satu-persatu ujung panah searah jarum jam.
"Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, Utara, Timur Laut."

Lalu menatap El. Niat bertanya cukup jelas atau tidaknya cara yang aku ajarkan untuk menghapal mata
angin ini urung begitu mendengar komentarnya.

"Lagunya aneh. Kamu bikin-bikin sendiri ya, Candy?"

"Memang ada lagunya, El."

Memang aku nggak sekreatif itu sampai El melempar cibiran jahat barusan. Tapi bisa-bisanya lagu yang
diajarkan Ibu sejak aku duduk di bangku sekolah dasar disebut El mengada-ada.

Oh iya, betul!

"Ibu yang ajarin ke aku sama Dyn. Kamu aja lagi di gendong Ibu pas kita belajar."

"Bohong. Mana mungkin kamu sama Dyn belajar kalau bareng."

Dasar bocah ini.

Semua yang aku ajar dan ceritakan selalu sempat dia pakai untuk menyerangku balik. Semoga saja Louie
nggak akan ikut-ikutan walaupun akan tumbuh besar di antara kita.

"Ya memang nggak serius banget." Dengan berat hati aku membenarkan memori El soal ceritaku bahwa
tidak ada hal serius yang bisa terjadi kalau aku dan Dyn tengah bersama.

Jangankan hanya berdua, ada Ibu dan Ayah saja perlu beliau berdua menarik urat untuk meminta
keheningan sejenak.

Apa mau dikata. Kita hanya tiga tahun beda usianya.

Dastyn pasti sudah setinggi Nathan sekarang. Akan jadi sempurna kalau bocah itu masih bisa
mengganggu dan kuajak berdebat tiap saat.

Sarapan ketemu batehood, rumah ud diurus nanti atas nama candy klo ud 21 tahun

Anda mungkin juga menyukai