Anda di halaman 1dari 3

Ubrug, Dari Hiburan Hingga Penyampai 

Pesan

Hingga kini belum ada catatan resmi tentang pencipta dan tahun awal kemunculan kesenian ubrug di
Banten. Namun menurut Tisna Sopandi (bulletin Kebudayaan Jawa Barat ‘Kawit’ No 22 tahun 1980) ,
kesenian rakyat ini sudah ada di Banten sebelum tahun 1918. Hal ini dibuktikan adanya pengakuan
pimpinan Topeng Banjet (Bang Jiun) yang menyatakan, sebelum 1918 kesenian yang dipimpinnya
berasal dari ubrug.
Sedangkan istilah ubrug berasal dari bahasa Sunda ‘sagebrugan’ yang berarti campur aduk dalam satu
lokasi. Ini memang menggambarkan unsur-unsur kesenian ubrug, seperti pemain, nayaga, dan penonton
yang tumplek dalam satu lokasi. Pertunjukan ubrug memang cukup sederhana dan bisa dilakukan di mana
saja. Bahkan tak jarang seniman ubrug bisa pentas tanpa dekorasi dan panggung sekalipun. Mereka bisa
pentas di tanah lapang dengan arena pertunjukan berbentuk tapal kuda, penonton mengelilingi tempat
permainan. sehingga penonton bisa menyaksikannya dari berbagi sudut. Kedekatan antara pemain dengan
penonton ini memungkinkan pertunjukkan menjadi semakin menarik.
Kesenian ubrug termasuk teater rakyat yang memadukan unsure lakon, musik, tari, dan pencak silat.
Semua unsur itu dipentaskan secara komedi. Di masa lalu, ubrug biasanya pentas pada acara hajatan.
Mereka dipanggil oleh orang yang punya hajat dan dibayar untuk pertunjukkan yang dilakukan.
Sedangkan para penonton tidak dipungut bayaran. Sudah menjadi kelaziman, kelompok kesenian ubruf di
Banten menggunakan nama pimpinan atau tokoh ternama dari kelompoknya sebagai nama kelompok
ubruk, misalnya ubrug Baskom, Tolay, Kobet, Nyi Ponah, Mang Cantel, Si Jari, Rasim, Kasnadi, dan
sebagainya. Bahasa yang digunakan dalam pementasan, terkadang penggabungan dari bahasa Sunda,
Jawa, dan Melayu (Betawi). Alat musik yang biasa dimainkan dalam pemenetasan adalah gendang,
kulanter, kempul, gong angkeb, rebab, kenong, kecrek, dan ketuk.
Seperti umumnya bentuk kesenian, ubrug juga memiliki fungsi estetik dan sosial. Kesenian yang hingga
kini masih ada di sejumlah daerah di Banten ini, masih tetap menjadi sarana hiburan bagi sebagian
masyarakat. Dengan gaya komedinya, baik pada dialog dan akting, para seniman ubrug bersaing
menghibur masyarakat di tengah gempuran segala seni modern. Sementara secara sosial, ubrug
merupakan potret pemersatu masyarakat. Selain itu, lakon-lakon yang dipertunjukkan dalam ubrug juga
bisa menjadi sara penyampai pesan-pesan bijak sesuai dengan kejadian yang ada di masyarakat. (qizink la
aziva)

UBRUG

Istilah ubrug diambil dari bahasa Sunda yaitu saubrug-ubrug yang artinya bercampur baur. Dalam
pelaksanannya, kesenian ubrug ini kegiatannya memang bercampur yaitu antara pemain atau pelaku
dengan nayaga yang berada dalam satu tempat atau arena. Namun ada pendapat bahwa ubrug diambil dari
kata sagebrug yang artinya apa yang ada atau seadanya dicampurkan, maksudnya yaitu antara nayaga dan
pemain lainnya bercampur dalam satu lokasi atau tempat pertunjukan.

Kesenian ubrug terdapat di Kecamatan Cikande bagian utara, Kragilan, Carenang, Pontang, Tirtayasa,
Kasemen, Ciruas, Walantaka, Taktakan, Waringin Kurung, Kramat Watu, Bojonegara, Merak, Cilegon,
Anyar, Mancak, Cinangka, Ciomas, Pabuaran, Padarineang, dan Pamarayan sebelah utara. Di daerah ini
bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa Banten, sedangkan yang berbahasa Sunda terdapat di
Kecamatan Cikande sebelah selatan, Kopo, Cikeusal, Baros, Pamarayan Timur dan Selatan serta Petir. Di
sini istilah ubrug diganti dengan istilah topeng, walaupun dalam pertunjukannya sama dengan ubrug dan
tidak memakai topeng. Mungkin hal ini disebabkan karena Kabupaten Serang bagian tenggara berdekatan
dengan Kabupaten Bogor tempat topeng Cisalak berada.

Selain menyebar di daerah Serang, kesenian ubrug ini pun berkembang dan tersebar hingga ke daerah
Tangerang, Lebak, Pandeglang bahkan sampai ke Lampung dan Sumatera Selatan. Pertunjukkan ubrug
hampir mirip dengan sandiwara lainnya di Tatar Sunda. Juru nandung (wanita) berperan sebagai pembuka
permainan dengan menyanyi Nandung atau disebut ronggeng. Bodor atau pelawak pria bermain dan
berpasangan dengan juru nandung dan mengadakan tarian sambil melawak seperti permainan ketuk tilu
atau jaipongan. Jika mandor atau ketua RT yang menjadi tuan rumah, biasanya ia selalu ikut di dalam
permainan sehingga dengan adanya ketua RT ini, permainan semakin komunikatif dan ramai.

Waditra yang digunakan dalam ubrug yaitu kendang besar, kendang kecil, goong kecil, goong angkeb
(dulu disebut katung angkub atau betutut), bonang, rebab, kecrek dan ketuk. Alat-alat ini dibawa oleh satu
orang yang disebut tukang kanco karena alat pemikulnya bernama kanco yaitu tempat menggantungkan
alat-alat tersebut. Busana yang dipakai yaitu: juru nandung mengenakan pakain tari lengkap dengan kipas
untuk digunakan pada waktu nandung. Pelawak atau bodor pakaiannya disesuaikan dengan fungsinya
sebagai pelawak yang harus membuat geli penonton. Bagi nayaga tidak ada ketentuan, hanya harus
memakai pakaian yang rapi dan sopan dan pakaian pemain disesuaikan dengan peran yang dibawakannya.

Urutan pertunjukan ubrug yakni sebagai berikut:


1. Tatalu, gamelan ditabuh sedemikian rupa sehingga kedengaran semarak selama 10-15 menit yang
dimulai pada pukul 21.00 WIB.
2. Lalaguan, kemudian disambung tatalu singkat sekitar 2 menit dilanjutkan dengan Nandung.
3. Lawakan, lakon atau cerita yang akan disuguhkan.
4. Soder, yaitu beberapa ronggeng keluar dengan menampilkan goyang pinggulnya. Para pemain
memakaikan kain, baju, topi atau yang lainnya ke tubuh ronggeng. Sambil dipakai, para ronggeng terus
menari beberapa saat dan kemudian barang-barang tadi dikembalikan kepada pemiliknya dan si pemilik
menerima dengan bayaran seadanya. Soder berlangsung sekitar 20-30 menit.

Untuk penerangan digunakan lampu blancong, yaitu lampu minyak tanah yang bersumbu dua buah dan
cukup besar yang diletakkan di tengah arena. Lampu blancong ini sama dengan oncor dalam ketuk tilu,
sama dengan lampu gembrong atau lampu petromak. Ubrug dipentaskan di halaman yang cukup luas
dengan tenda seadanya cukup dengan daun kelapa atau rumbia. Pada saat menyaksikan ubrug, penonton
mengelilingi arena. Sekitar tahun 1955, ubrug mulai memakai panggung atau ruangan, baik yang tertutup
ataupun terbuka di mana para penonton dapat menyaksikannya dari segala arah.

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/arts/2123867-ubrug/#ixzz1JZdb2qMC

Kesenian Ubrug

Written by admin on April 5th, 2011. Posted in Kesenian Tradisional


Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas
diberikannya kesempatan untuk menyusun buku ini hingga rampung dan
dapat dinikmati oleh pembaca. Minimnya literatur yang mengangkat
kebudayaan Banten adalah alasan utama kami mengerjakan buku ini.
Terlebih sesudah Banten dikukuhkan sebagai propinsi, kami merasa
harus bersegera melakukan upaya-upaya dokumentatif, sebelum
produk etnik lokal Banten betul-betul punah.
Menelisik Ubrug dari segi sejarah bukanlah perkara mudah,
mengingat para pelakunya terdahulu tidak meninggalkan dokumentasi
dalam bentuk apapun, baik itu soal grup atau struktur pementasan
awalnya. Yang ada hanya sebatas informasi berdasarkan ingatan dari
generasi sekarang.

Anda mungkin juga menyukai