Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar telah terlaksana dari 18-22 September 2005. Di dalam Rakernas tersebut telah dibahas dua topik utama, yaitu: 1. Teknis Peradilan, 2. Manajemen Peradilan. Khusus yang menyangkut teknis yudisial telah diterbitkan tanya jawab yang menyangkut masing-masing Pengadilan yang mengajukan pertanyaan. Pemecahan masalah yang termuat di dalam Tanya jawab tersebut tentunya dapat digunakan oleh seluruh Pengadilan / Hakim di dalam memecahkan persolan yang serupa. Di samping tanya jawab tersebut, juga dalam Rakernas diadakan beberapa topik yang didiskusikan oleh para peserta dan pengarahan-pengarahan dari para Pimpinan Mahkamah Agung yang merupakan petunjuk-petunjuk teknis yang wajib diikuti oleh seluruh jajaran Pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka Mahkamah Agung meminta kepada kepada para Hakim dan semua jajaran Pengadilan untuk melaksanakan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan tersebut untuk memecahkan persoalan serupa yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar tercipta adanya unified legal frame dan unified legal opinion, dan dengan demikian diharapkan ada suatu kepastian hukum. Petunjuk-petunjuk tersebut dirumuskan sebagai berikut :
b. c.
Pengertian permohonan disini tidak dapat diartikan sebagai perkara voluntair, tetapi harus dipandang sebagai perkara contentiosa karena ada pihak lain yang terkait. d. Penetapan-penetapan yang berasal dari perkara voluntair yang menyalahi ketentuan Perundangundangan harus dan hanya dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
b. c. d.
3. Eksekusi.
a. Delegasi eksekusi diatur di dalam Pasal 195 (6) HIR/206 RBg, ditentukan bahwa perlawanan terhadap pelaksanaan putusan dari pihak III diajukan dan diadili oleh Pengadilan Negeri yang diberi delegasi, sehingga kewenangan untuk melaksanakan ataupun menunda eksekusi ada pada Pcngadilan Negeri penerima delegasi yang hasilnya harus dilaporkan kepada Pengadilan Negeri pemberi delegasi. Suatu putusan yang BHT prisipnya wajib dilaksanakan. Namun ada hal-hal tertentu suatu putusan tidak dapat dilaksanakan (non executable), yang harus dilakukan dengan kehati-hatian. Ketua Pengadilan Negeri selaku pelaksana eksekusi harus terlebih dahulu menempuh proses yang ditentukan oleh Undang-undang sampai dengan aanmaning dan perintah eksekusi kepada jurusita. Apabila setelah proses tersebut ditemui fakta antara lain: 1. harta kekayaan atau obyek eksekusi tidak ada lagi. 2. obyek eksekusi ada pada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam perkara. 3. obyek eksekusi tidak jelas batas-batasnya. 4. obyek eksekusi telah berubah menjadi tanah Negara. 5. obyek eksekusi berada diluar negeri. 6. putusan bersifat deklaratoir. maka barulah Ketua Pengadilan Negeri membuat penetapan non executable. c. d. Suatu putusan yang bersifat deklaratoir tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Eksekusi u.b.v. Pasal 180 HIR/192 RBg menentukan hanya Pengadilan Negeri yang dapat menjatuhkan putusan lebih dahulu, sehingga Pengadilan Tinggi tidak dapat.menjatuhkan putusan u.b.v.
b.
4. Sita Jaminan.
a. Kewenangan untuk memerintahkan dan melaksanakan sita jaminan hanya ada pada Pengadilan Negeri. Apabila perkara tersebut sudah ada di tingkat banding dan kemudian ada permohonan sita jaminan, maka hal tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang wajib mempertimbangkan apakah permohonan sita jaminan tersebut dapat dikabulkan. Bila dikabulkan maka sita jaminan dilakukan oleh jurusita dan hasilnya dikirim kepada Pengadilan Tinggi untuk dipertimbangkan dalam putusan. b. Sita jaminan harus seimbang dengan nilai gugatan.
c.
Sita terhadap milik negara adalah dilarang berdasarkan Pasal 50 Undang-undang No.1 Tahun 2004. Hal ini berarti bahwa Pengadilan Negeri dilarang untuk melakukan sita eksekusi, dalam rangka untuk memenuhi snatu putusan pengadilan yang BHT berupa pembayaran sejumlah uang. Untuk memenuhi putusan yang demikian maka Ketua Pengadilan Negeri meminta kepada Menteri Keuangan agar disediakan anggaran dalam APBN untuk membayar kewajiban Negara tersebut.
b. c. d.
e. f.
Sumber: Mahkamah Agung RI, Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan, 2005.