Anda di halaman 1dari 8

SOSIODEMOGRAFI PETERNAK SAPI PERAH JUNREJO KOTA BATU DAN PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK UNTUK MENGHASILKAN BIOGAS1 Khoiron2

Abstrak Peternakan sapi perah mempunyai peran yang penting dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan dikonsumsi protein hewani. Disamping itu, peternakan sapi perah juga menghasilkan limbah yang berpotensi dapat mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan manusia. Namun limbah tesebut dapat mendatangkan manfaat jika dikelola dengan baik, seperti mengolah limbah menjadi energi biogas. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan faktor sosiodemografi peternak sapi perah Junrejo Kota Batu dan pemanfaatan limbah ternaknya untuk menghasilkan biogas. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan lembar kuesioner, lembar observasi, dan panduan wawancara. Hasil penelitian menunjukan sosiodemografi responden sebagai berikut : jenis kelamin laki-laki (93,8%), tingkat pendidikan tergolong rendah (SD sebanyak 75% dan SLTP sebanyak 17,5%), usia tergolong pada usia produktif (18-6) tahun (85%), pekerjaan petani (88,8%). Peternak yang memanfaatkan limbah ternaknya sebagai biogas hanya 8 responden (10 %). Kata kunci : pemanfatan, limbah ternak, biogas Pendahuluan Peternakan sapi perah sangat berguna bagi pemenuhan gizi khususnya protein hewani untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Susu yang dihasilkan sapi banyak dikonsumsi sebagai susu segar, susu formula maupun sebagai bahan makanan olahan. Susu sangat diperlukan oleh manusia, terutama pada bayi dan anak-anak dalam masa pertumbuhan. Peternakan sapi perah juga sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian yaitu sebagai sumber penghasilan keluarga serta membuka lapangan kerja. Namun demikian, peternakan sapi perah juga menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan. Sapi perah menghasilkan rata-rata tinja dan kemih sebanyak 60 liter atau 0,06 m3 per hari (Phillips, 2001). Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh limbah ternak dapat berdampak pada kesehatan manusia. Tinja dan kemih dari hewan yang tertular suatu penyakit dapat sebagai sarana penularan, misalnya penyakit antraks. Antraks dapat menginfeksi manusia melalui kulit yang terluka, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan melalui air susu dan daging hewan yang tertular antraks (Atmawinata, 2006). Perilaku yang kurang baik dalam menangani limbah dapat menimbulkan akibat buruk, antara lain : menurunnya keindahan lingkungan, bau yang tidak sedap, menurunkan kualitas air, tanah, udara, serta dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Sebanyak 56,67 persen peternak sapi perah membuang limbah ke badan sungai tanpa pengolahan, sehingga terjadi pencemaran lingkungan (Nurtjahya, dkk, 2003). Padahal setiap warga negara yang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
1

Dipresentasikan pada Seminar Nasional Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi 2011 Politeknik Negeri Jember, Jember 26 April 2011 2 Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja FKM Universitas Jember

Penanganan limbah ternak sapi perah yang masih kurang baik ada kaitannya dengan perilaku peternak dalam menangani limbah ternaknya. Perilaku individu terhadap suatu obyek dipengaruhi oleh faktor sosio demografi seperti umur, pendidikan, masa kerja, dan faktor sosial ekonomi (Kartono, 1996). Salah satu bentuk penanganan limbah ternak yang baik adalah dengan memanfaatkan limbah ternak menjadi sesuatu yang berguna, seperti sebagai bahan pupuk organik, bahan bakar biomassa (briket dan biogas). Pemanfaatan limbah ternak menjadi biomassa dapat mengurangi dampak pencemaran akibat limbah ternak tersebut. Disamping itu dapat mendatangkan penghasilan tambahan atau dapat mengurangi biaya pengeluaran untuk membeli energi. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan faktor sosiodemografi peternak sapi perah Junrejo Kota Batu dan pemanfaatan limbah ternaknya sebagai energi biomassa. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang dilengkapi dengan kualitatif. Penelitian kuantitatif digunakan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor perilaku dalam penanganan limbah peternakan sapi perah. Penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara dan observasi untuk melengkapi data yang diperoleh dari penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah peternak sapi perah di wilayah Kecamatan Junrejo Kota Batu sebanyak 369 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar dalam tujuh desa dengan rincian sebagai berikut : Torongrejo 3 KK, Beji 56 KK, Tlekung 158 KK, Mojorejo 29 KK, Junrejo 96 KK, Dadaprejo 19 KK, dan Pendem 8 KK. Besaran sampel penelitian diambil dari jumlah peternak sapi perah di Kecamatan Junrejo dengan menggunakan rumus ( Notoatmodjo, 2005). n = n = N ( N(d)2 + 1) 369 (369(0,1)2+ 1) n = 78,67 dibulatkan menjadi 80 sampel. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik proportional simple random sampling yaitu jumlah keseluruhan sampel dibagi dalam sub sampel sesuai dengan proporsi jumlah KK di masing-masing sub sampel. Sub sampel dalam penelitian ini adalah tujuh desa yang tersebar di Kecamatan Junrejo. Penentuan jumlah sub sampel adalah:

1. Sub sampel (Desa Torongrejo) = 2. Sub sampel (Desa Beji) =

3 x 80 = 0,65 1 369

56 x 80 = 12,14 12 369

3. Sub sampel (Desa Tlekung) = 4. Sub sampel (Desa Mojorejo) =

158 x 80 = 34,25 34 369


29 x 80 = 6,28 6 369

5. Sub sampel (Desa Junrejo) =

96 x 80 = 20,81 21 369
19 x 80 = 4,12 4 369

6. Sub sampel (Desa Dadaprejo) = 7. Sub sampel (Desa Pendem) =

8 x 80 = 1,73 2 369

Hasil Dan Pembahasan Gambaran Umum Kecamatan Junrejo memiliki peran penting yang cukup strategis, sebagai pintu masuk pusat Kota Batu yang berada di gerbang sebelah timur kota. Walaupun wilayah Kecamatan Junrejo tidak seluas dua kecamatan lainnya di Kota Batu, peran kecamatan ini tidak dapat diabaikan, apalagi mengingat posisinya sebagai penghubung dengan wilayah Malang dan sekitarnya. Luas wilayah Kecamatan Junrejo secara keseluruhan adalah sekitar 25,65 km2 atau sekitar 12,88 persen dari total luas Kota Batu. Letak geografis desa-desa di wilayah Kecamatan Junrejo berada di lereng dan lembah (dominan lereng) dengan topografi utama daerah lereng atau bukit sebanyak 1 desa dan daerah dataran sebanyak enam desa. Iklim di Kecamatan Junrejo seperti daerah lain di Indonesia, yaitu mengikuti perputaran dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan dimulai pada bulan Nopember dan diakhiri sekitar bulan April. Rata-rata curah hujan pada tahun 2007 adalah 110 mm dengan rata-rata hari hujan sebanyak 84 hari per tahun (BPS Kota Batu, 2008). Jumlah penduduk di Kecamatan Junrejo berdasarkan registrasi akhir tahun 2007 tercatat sebesar 42.910 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 2.725,4 orang/km. Komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa 50,18 persen laki-laki dan 49,12 perempuan dengan angka sex ratio sebesar 97,4 persen. Sebagian besar penduduk Kecamatan Junrejo berpenghasilan utama di bidang pertanian. Tercatat sekitar 6.129 rumah tangga menggantungkan dirinya pada sektor pertanian (tani, buruh tani, peternakan, dan perikanan) dengan jumlah peternak sapi perah sebesar 369 rumah tangga. Karyawan (PNS, TNI/POLRI, swasta) sekitar 3.223 rumah tangga, sektor perdagangan sekitar 1.150 rumah tangga, sektor angkutan sekitar 956 rumah tangga, sektor konstruksi sekitar 263 rumah tangga, dan sektor industri sekitar 192 rumah tangga. Populasi hewan ternak besar di Kecamatan Junrejo pada tahun 2007 yang paling banyak adalah sapi perah 1.431 ekor. Kemudian sapi potong 1.180 ekor, kerbau 17 ekor, dan kuda 6 ekor. Sementara kondisi lingkungan pemukiman di Kecamatan Junrejo sebagian besar merupakan rumah permanen (8.850) rumah, sedangkan yang bukan permanen sebanyak 167 rumah (BPS Kota Batu, 2008). Hasil penelitian sosiodemografi responden meliputi : jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan formal, pekerjaan selain peternak, lama menjadi peternak sapi perah, jumlah ternak sapi perah yang dimiliki, produksi susu sapi setiap hari, penghasilan setiap bulan, dan jumlah anggota keluarga yang tinggal serumah. Jenis kelamin responden sebagian besar adalah laki-laki (93,8%). Hal ini karena responden utama penelitian ini adalah peternak sapi perah yang merupakan peternakan milik keluarga sehingga penanggung jawab utamanya adalah kepala keluarga. Pada umumnya kepala keluarga adalah suami (laki-laki).

Sementara karakteristik pendidikan formal responden adalah sebagian besar berpendidikan dasar (SD sebanyak 75% dan SLTP sebanyak 17,5%). Tingkat pendidikan yang rendah ini dapat mempengaruhi terhadap upaya penanganan limbah ternak sapi perah yang baik seperti pemanfaatan limbah menjadi energi biomassa, sehingga perlu ada tambahan pendidikan seperti penyuluhan maupun bimbingan yang bersifat teknis untuk mendukung pemanfaatan limbah ternak menjadi energi biomassa. Umur responden digolongkan menjadi tiga, yaitu 18-40 tahun, 41-60 tahun, dan di atas 60 tahun. Pembagian masa dewasa dapat digolongakn menjadi tiga, yaitu : dewasa dini dimulai umur 18 tahun sampai dengan 40 tahun, dewasa madya dimulai umur diatas 40 tahun sampai 60 tahun, dan dewasa lanjut dimulai umur 60 tahun lebih hingga kematian (Harlock, 2004). Umur seseorang dapat mempengaruhi aktivitas peternak dalam mengelola usaha peternakannya, yaitu terkait dengan kondisi fisik dan kemampuan berpikir. Peternak yang berusia muda cenderung memiliki fisik yang lebih kuat dari pada peternak yang umurnya tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 18-60 tahun (dewasa dini dan dewasa madya). Umur 18-60 tahun dapat dikatakan sebagai umur produktif sehingga berpotensi dalam mengelola usaha peternakan secara maksimal, termasuk dalam menangani limbah ternaknya secara baik. Pekerjaan responden selain peternak sapi perah pada umumnya adalah petani (88,8%). Peternakan merupakan salah satu dari sektor pertanian. Sektor pertanian meliputi : pertanian, peternakan, dan perikanan (BPS Kota Batu, 2008). Peternakan sapi perah merupakan usaha sambilan disamping pekerjaan utama yang digeluti oleh responden. Peternakan sapi perah juga sangat dekat hubungannya dengan pertanian, terutama dilihat dari ketersediaan pakannya yaitu rumput. Petani yang sekaligus menjadi peternak dapat melaksanakan pekerjaan mengerjakan lahan pertanian sekaligus menanam pakan ternak atau mencari pakan ternak di lahan pertanian. Agar mudah dalam penyediaan pakan, kandang dapat dibangun di dekat areal pertanaman rumput dan di daerah tersebut banyak diusahakan tanaman pangan yang menghasilkan produk ikutan seperti katul, bungkil, dan sebagianya (AAK, 2007). Dilihat dari lamanya responden menjadi peternak sapi perah, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menjadi peternak selama 1-10 tahun (40%) dan 11-20 tahun (36,25%). Lamanya waktu menjadi peternak dihitung berdasarkan pertama kali peternak mempunyai ternak sapi perah sendiri. Semakin lama seseorang bekerja menjadi peternak, semakin berpeluang untuk lebih berpengalaman dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan menangani peternakan, termasuk dalam menangani limbah ternaknya dengan baik. Dilihat dari jumlah ternak sapi perah yang dimiliki, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (91,25%) memiliki ternak sapi perah 1-6 ekor. Skala kepemilikan ternak antara 1-6 ekor sapi perah merupakan usaha peternakan rakyat (Firman dan Herlina, 2006). Jadi usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Junrejo Kota Batu termasuk peternakan rakyat. Usaha peternakan dapat juga digolongkan menjadi usaha sampingan, cabang usaha, usaha pokok, dan industri. Pemerintah berperan dalam membantu usaha peternakan. Semakin besar usaha peternakan, semakin kecil peran pemerintah. Sebaliknya semakin kecil usaha, semakin besar peran pemerintah. Karakteristik responden berdasarkan jumlah susu sapi yang dihasilkan setiap hari adalah peternak yang produksi susu sapinya 0-10 Liter per hari sebanyak 40 responden (50 persen), sejumlah

32 reponden (40 persen) produksinya 11-30 liter per hari, dan hanya sejumlah 8 responden (10 persen) yang memproduksi susu sapi lebih dari 30 Liter per hari. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi susu sapi perah antara lain faktor bibit, pakan, tata laksana, dan calving interval (Mukson dkk, 2009). Banyak sedikitnya produksi susu sapi akan berpengaruh terhadap pendapatan peternak. Semakin banyak produksi susu yang dihasilkan, semakin banyak pendapatan yang diterima oleh peternak. Meningkatnya pendapatan peternak memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak. Analisis Deskriptif Pemanfaatan Limbah Sapi Perah Sebagai Penghasil Biogas Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah 72 peternak (90 persen) hanya memanfaatkan limbah ternak sebagai pupuk kandang, 8 peternak (10 persen) memanfaatkan sebagai biogas dan pupuk kandang. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan kesadaran peternak dalam memanfaatkan limbah ternaknya menjadi biogas masih rendah. Disamping pengetahuan dan kesadaran, beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan biogas yaitu : (1) penghasilan peternak, (2) ketersediaan jumlah limbah kotoran, dan (3) dukungan dari pemerintah. Peternak yang berpenghasilan cukup berpotensi untuk memanfaatkan limbah ternaknya untuk menghasilkan biogas. Untuk menghasilkan biogas dibutuhkan peralatan utamanya yaitu digerster. Untuk membuat peralatan digestr serta perlengkapannya membutuhkan biaya. Besarnya biaya tergantung dari besarnya digester, jenis, dan bahan baku yang akan dipakai. Ketersediaan jumlah limbah (kotoran) ternak juga berpengaruh pada pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas. Ketersediaan kotoran ternak merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Arti ketersediaan tidak hanya pada jumlah yang mencukupi, tetapi juga keberlanjutannya. Di daerah peternakan, hal ini kurang menjadi masalah karena kotoran ternak mudah didapat dengan jumlah yang mencukupi dan terus berlanjut. Untuk mencukupi jumlah kotoran minimal dibuthkan kotoran dari dua ekor sapi dewasa (Setiawan, 2007). Dukungan pemerintah juga memiliki peran yang besar dalam mendorong pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas. Dukungan pemerintah dapat berupa dukungan materiil maupun non materiil. Dukungan materiil Sementara itu peternak yang mengolah limbahnya menjadi biogas berdasarkan asal dananya dapat golongkan menjadi tiga, yaitu : 1) Biogas yang instalasi utamanya secara total dibantu oleh pemerintah. Instansi yang membantu dengan dana total tersebut adalah Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kota Batu. Menurut keterangan informan 7 pada tanggal 2 Juni 2009, pukul 09.00 WIB : Dinas mempunyai program bantuan biogas bagi peternak. Dinas mengadakan pelatihan tentang biogas bagi perwakilan peternak. Dinas juga membantu secara penuh pembangunan instalasi digesternya, tetapi sebagai upaya keterlibatan warga, instalasi perpipaan hingga ke rumah warga menjadi tanggungan warga. Lahan yang digunakan juga merupakan lahan warga yang sukarela dengan surat pernyataan kesediaan bermaterai. Agar dikemudian hari tidak terjadi permasalahan tentang status penggunaan tanah tersebut. Hal ini dilakukan agar warga mempunyai rasa memiliki instalasi biogas tersebut sehingga diharapkan perawatannya akan berjalan maksimal. 2) Biogas yang sebagian instalasi utamanya dibantu oleh pemerintah, sedangkan kekurangannya ditanggung oleh peternak sendiri.

Pemerintah memberikan bantuan dana kepada kelompok peternak. Selanjutnya kelompok yang akan menentukan distribusi bantuan ke anggotanya. 3) Biogas mandiri yang sumber pendanaannya semua berasal dari peternak sendiri. Biogas yang dibuat mandiri oleh peternak, peternak merasa perlu untuk memanfaatkan limbah ternak menjadi biogas karena dinilai sangat menguntungkan. Peternak tidak perlu bergantung pada bahan bakar kayu, minyak, dan LPG. Walaupun pembuatan biogas diperlukan dana awal yang relatif besar. Sedangkan biogas berdasarkan jenis penggunaannya dapat gilongkan menjadi dua :

1) Biogas yang digunakan secara bersama-sama (Gambar 1 dan 2).


Biogas yang digunakan bersam-sama umumnya merupakan biogas yang dananya bersumber dari pemerintah, baik yang seluruh atau sebagian. Pemakaian biogas bersama-sama bervariasi, ada yang dipakai dua rumah tangga, 3 rumah tangga bahkan sampai lima rumah tangga.

2) Biogas mandiri (Gambar 3).


Biogas mandiri penggunaannya juga mandiri, artinya pemakianya hanya satu rumah tangga. Berdasarkan konstruksi bangunannya, instalasi biogas peternak sapi perah di Junrejo terdiri atas konstruksi semen, dan konstruksi semen dan plastik. Berdasarkan bentuk instalasi (digesternya) terdapat dua bentuk yaitu yang berbentuk kotak (gambar 1) dan lingkaran (gambar 2).

Gambar 1. Biogas Digester Kotak

Gambar 2. Biogas Digester Lingkaran

Gambar 3. Biogas Konstruksi Plastik dengan Dana Mandiri. Prinsip terjadinya biogas adalah fermentasi anaerob bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah terbakar (flammable). Secara kimia, reaksi

yang terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit, meliputi tahap hidrolisis, pengasaman, metanogenik. Praktiknya, pembuatan biogas sangat mudah dilakukan (Simamora, et al., 2006). Syarat pembuatan biogas adalah : (1) ada bahan pengisi digester, (2) ada instalasi biogas, dan (3) terpenuhinya faktor pendukung. Bahan pengisian digester berupa bahan organik. Selama ini limbah yang paling umum digunakan sebagai bahan pengisi digester adalah limbah sapi. Hal ini disebabkan peternakan sapi banyak menghasilkan limbah. Komponen utama instalasi biogas adalah digester yang dilengkapi dengan lubang pemasukan dan pengeluaran, penampung gas, dan penampung sludge. Pembangunan instalasi ini harus memenuhi berbagai persyaratan tertentu. Faktor pendukung adalah faktor yang mempengaruhi produksi biogas yang dihasilkan yaitu faktor di dalam digester (perbandingan C/N, pH, homogenitas bahan isian), dan faktor luar, terutama fluktuasi suhu. Bakteri perombak akan bekerja pada suhu optimum (25-28C) (Simamora, et al., 2006). Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1) Sosiodemografi yang meliputi : pada tingkat pendidikannya rendah, pada umumnya masuk golongan usia produktif, pada umumnya pekerjaan selain beternak adalah petani. 2) Masih rendahnya jumlah peternak yang memanfaatkan limbah ternaknya untuk menghasilkan biogas. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan di atas dapat disarankan : 1) perlu adanya pendidikan dan pelatihan kepada peternak terkait pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan biogas. 2) Perlunya peningkatan dukungan Pemerintah baik materiil dan non materiil kepada peternak agar pemanfaatan limbah ternak untuk menghasilkan biogas. Daftar Pustaka AAK, 2007. Pedoman Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius Cetakan ke-7. Yogyakarta. Atmawinata, E., 2006. Mengenal Beberapa Penyakit Menular dari Hewan Kepada Manusia. Yrama Widya. Bandung. BPS Kota Batu, 2008. Kecamatan Junrejo dalam Angka 2008. BPS Kota Batu. Batu. Dahlan, S., 2004. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Uji Hipotesis dengan Menggunakan SPSS. Arkans. Jakarta. Green,L.W and Kreuter, M.W., 2000. Health Promotion Planning : An Educational and Environmental Approach. Mayfield Publising Company. Mountain View. Toronto. London. Hanafi, A., 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Karya Anda. Surabaya. Kartono, K., 1996. Psikologi Umum. Mandar Maju, Bandung.

Lionberger, H.F., 1964. Adoption of New Ideas and Practices. The Iowa State University Press, Ames. Iowa. Mukson, T. Ekowati, M. Handayani, DW Harjati, 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Usaha Peternak Sapi Perah Rakyat Di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang 20 Mei 2009. Notoatmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta Jakarta. Nurtjahya, E., Rumetor, S.D., Salamena, J.F., Hernawan, E., Darwati, S., Soenarno, M.S., 2003. Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana S3 Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net/6_sem2_023/kel4_sem1_023.htm [diakses 30 Mei 2008]. Phillips, C.J.C., 2001. Principles of Cattle Production, CAB International, Wallingford Oxon OX10 8DE London UK. Simons, M.B.G., Greene, W.H., Gottlieb, N.H., 1995. Introduction to Health Education and Health Promotion. Waveland Press. Inc., Illinois. Yunus, M, 1991. Pengelolaan Limbah Peternakan. Jurusan Produksi Ternak. LUW-Universitas Brawijaya. Animal Husbandry Project. Malang.

Anda mungkin juga menyukai