Anda di halaman 1dari 5

Kota Melek Mangga Besar Mangga Besar adalah sebuah daerah di Jakarta Barat yang terkenal akan dunia

malamya. Saya adalah seorang saksi dari daerah yang terkenal ini. Sudah 15 tahun saya tinggal di daerah ini, bahkan nenek, kakek, ibu, bapak dan saudara-saudaranya lebih lama lagi tinggal di daerah ini. Mangga Besar merupakan daerah pusat tempat hiburan malam seperti discotik, pub, spa bahkan hotel bintang goyang. Banyak pula tempat-tempat prostitusi yang berada di daerah ini, bahkan tempat persinggahan para pelacur dan pekerja seks ada di sekitar tempat ibadah maupun sekolah-sekolah. Mangga Besar sering di kenal pula dengan nama kota yang tak pernah mati, pagi ramai, siang ramai, malam ramai bahkan subuh pun ramai. Pemandangan yang sangat mengasingkan memang bila tidak terbiasa. Di sepanjang jalan Mangga Besar terdapat penjual-penjual obat kuat dari yang impor sampai yang lokal, dari jenis yang paling murah sampai yang paling mahal. Di sepanjang jalan ini juga banyak Hotel-hotel yang menyediakan kamar-kamar murah, mereka menyediakan kamar untuk praktek prostitusi. Harga penyewaan kamar berkisar dari Rp. 150.000 sampai Rp. 1.500.000. Orangorang sekitar daerah Mangga Besar menganggap hal ini bukanlah sesuatu yang tabuh, tetapi sesatu biasa. Jadi jangan kaget bila anda datang ke daerah ini anda akan disambut dengan pemandangan yang luar biasa memanjakan mata khususnya bagi kaum Adam. Rok pendek, baju terbuka, salam hangat bahkan kedipan mata yang sangat menggoda. Incaran para Daerah Mangga Besar sudah sering menjadi bahan pembicaraan mulai dari kaum muda sampai kaum tua, dari masyarakat biasa sampai para pejabat. Ayah saya pernah bilang bahwa dulu daerah Mangga Besar sama seperti Kelapa Gading, namun karena daerah Kelapa Gading dan sekitarnya mulai berkembang banyak orang yang pindah ke daerah-daerah tersebut karena lebih strategis dan meyakinkan. Walapun begitu, pamor daerah Mangga Besar tidak pernah turun yaitu KOTA HIDUP. Kalau dalama Kitab Suci daerah ini bagaikan Sodom dan Gomora, kota yang dikutuk Yesus. Namun, dibalik hal ini semua masih banyak hal-hal positif yang terdapat di daerah ini. Daerah Mangga Besar juga merupakan tempat wisata kuliner, khususnya Chinese Food. Diantaranya seperti Kwetiauw Sapi 68, Kwetiauw Sapi Aciap, Bubur Agoan dan lain-lain. Harganya pun cukup terjangkau. Satu hal lagi yang sangat tidak bisa dilepaskan dari daerah Mangga Besar adalah daerah dengan mayoritas orang keturunan Tiong Hoa sampai 85%. Makanya banyak rumah ruko yang dibawah toko, diatas tempat tinggal. Contoh kongkret kepositifan lainnya dari daerah Mangga Besar adalah kerukunan umat beragama. Di Mangga Besar terdapat banyak tempat ibadah seperti Vihara (karena mayoritas orang keturuan Tiong Hoa), Gereja Katolik, Gereja Protestan dan tentu saja Masjid. Gereja SS. Petrus dan Paulus, Mangga Besar adalah sebuah Gereja Katolik yang berdiri tahun 1940 dan berdiri diapit oleh 3 buah diskotik, walaupun begitu umat tetap banyak yang beribadah di tempat ini. Para pastor yang bertugas di gereja ini adalah para pastor Jesuit. Mereka tetap setia menggembalakan umat gereja ini dari awal berdiri sampai sekarang ini. Gereja Mangga Besar amat ramai bila pada perayaan Natal dan Paskah, umat beragama lain juga banyak yang membantu dalam kelancaran berjalannya acara ini. Keberadaan diskotik-diskotik di Mangga Besar sebenarnya memiliki sisi positif juga, namun banyak orang yang hanya memandang sisi negatifnya. Diskotik di Mangga Besar menyumbangkan banyak pajak untuk pemerintah. Diskotik itu juga memberikan hiburan bagi para pendatangnya. Sebenarnya hiburan itu perlu, diskotik itu tempat berdansa dan menari tetapi orang menyelewengkannya menjadi ajang pencariian kepuasan nafsu maupun tempat jual beli barang-barang terlarang. Dulu

tahun 2006 di daerah diskotik di sebelah Rumah Sakit Husada, Jalan Mangga Besar Raya pernah ada bom yang ditaruh di depannya. Walaupun belum sempat meledak namun kepanikan sudah merajalela. Sampai-sampai warga pun menjadi parno. Diskotik-diskotik dan hotel-hotel ini tidak perlu lah ditutup, hanya perlu diawasi keberadaannya agar fungsi dari diskotik dan hotel ini dapat sejalan dengan kodratnya. Jangan sampai malah oknumoknum yang berkuasa terjerumus juga dalam hal negatif ini. Sebaiknya pemerintah mengembangkan lagi daerah Mangga Besar menjadi tempat wisata ataupun tempat investasi. Akan baik bila pengembangan ini dimaksimalkan dan menjadi saingan dari daerah-daerah berkembang seperti Bumi Serpong Damai dan Kelapa Gading. Semoga.

Cabo Menurut sejarah, pelacuran di Jakarta sudah dikenal sejak awal datangnya VOC. Dalam sejarah Betawi tidak dikenal pekerjaan serupa baik pada masa pra Islam maupun di masa Islam. Orang Betawi sendiri pada awalnya tidak mengenal istilah pelacur yang kemudian dilunakkan sebutannya jadi WTS (Wanita Tuna Susila) dan kini lebih diperlunak lagi jadi PSK (Pekerja Seks Komersial). Orang Betawi menyebutnya dengan cabo yang merupakan adaptasi dan bahasa Cina caibo dan maler berasal dari bahasa Portugis atau dengan sebutan lain kupu-kupu malam. Sejak dulu tempat operasi para cabo selalu dekat dengan kawasan niaga dan perhotelan, seperti Mangga Besar yang berdekatan Glodok sekarang. Tempat konsentrasi pelacuran pertama di Batavia adalah Macao Po yang kala itu berdekatan dengan hotel-hotel di depan Stasion Beos (Jakarta Kota). Lokalisasi pelacuran ini memang untuk kalangan atas. Karena para pelacurnya didatangkan dari Macao oleh jaringan germo Portugis dan Cina. Di Macao Po konsumennya adalah para petinggi VOC yang dikenal korup dan para taipan, yaitu orang berduit keturunan Cina. Di dekat Macao Po, masih di kawasan Glodok terdapat pelacuran kelas rendah Gang Mangga. Karenanya kalau sakit 'perempuan' kala itu disebut 'sakit mangga', yang kemudian dikenal sebagai raja singa atau sipilis. Di abad ke-19, sipilis termasuk penyakit yang sulit disembuhkan karena saat itu belum ditemukan antibiotik. Kompleks pelacuran ini kemudian tersaingi rumah-rumah bordil yang didirikan orang Cina yang disebut soehian. Lokalisasi ini ditutup pada awal abad ke-20 karena sering terjadi keributan. Tapi kata soehian tidak pernah hilang dalam dialek Betawi untuk menunjukkan kata sial: "Dasar Suwean" (sialan). Setelah penyerahan kedaulatan, kompleks pelacuran terdapat di berbagai tempat, seperti Gang Hauber di Petojo yang terdiri dari Gang Hauber I, II, dan III yang oleh Walikota Sudiro untuk mengubah citranya pada pertengahan 1950-an diganti Gang Sadar, walaupun sampai awal 1980-an masih beroperasi. Di Sawah Besar terdapat kompleks pelacuran Kaligot, mengambil nama sandiwara Prancis Aligot yang pada 1930an manggung di Batavia. Sedang di daerah Senen terdapat kompleks pelacuran Planet, nama yang diambil menandai peristiwa terjadinya persaingan antara AS dan Uni Soviet dalam meluncurkan sputnik ke luar angkasa di kurun 1960-an. Di Planet Senen, pelacuran kelas bawah ini berlangsung di gerbong-gerbong kereta api antara Stasiun Senen hingga Jl. Tanah Nyonya (Gunung Sahari) yang panjangnya beberapa ratus meter. Selain itu, praktek prostitusi ini

berlangsung dengan ngamar di rumah-rumah kardus dekat rel kereta api. Tempat pelacuran yang setiap harinya didatangi ribuan orang ini dibersihkan pada masa Gubernur Ali Sadikin (1971) dan pekerja seksnya dipindahkan ke lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Karena menempuh perjalanan jauh dan penuh risiko, pada tahun 1630 pemerintah kolonial di Belanda melarang untuk mengirim wanitanya ke Asia. Suatu perkecualian dibuat bagi pegawai tinggi yang diizinkan membawa istri dan anak-anak mereka. Akibatnya, Batavia menjadi daerah dengan banyak lelaki dan hanya sedikit wanita berkulit putih. Karena itulah mereka (orang-orang Belanda) mengawini para budak untuk dijadikan nyai, dan lahirlah keturunan Indo-Belanda. Di Batavia orang Belanda memakai istilah mestizen untuk menyebut orang berdarah campuran antara Asia dan Eropa. Mereka memakai bahasa Portugis, umumnya bahasa yang dipakai pada abad ke-19 di Batavia. Sejarawan Belanda, Hans Bonke, menyebutkan, janda-janda kaya dari pegawai Kompeni sangat disukai sebagai istri seorang bujangan yang ambisius. Dengan demikian terjadi hubungan keluarga di antara keluarga-keluarga penting yang mempengaruhi masa depan seseorang. Lamanya perjalanan dari Belanda ke Batavia dengan kapal layar berbulan-bulan mengakibatkan rumah bordir banyak berdiri di Batavia sejak abad ke-17. Tentu saja tempatnya sekitar Pelabuhan Sunda Kalapa atau di sekitar Menara Syahbandara. Juga di Mangga Besar, Jakarta Barat, terdapat tempat pelacuran yang sama. Orang Tionghoa menyebut pelacur sebagai suhian. Mungkin inilah awal kata ejekan sowean untuk seseorang dengan kata kasar. Di Mangga Besar, tempat pelacuran disebut macaupo, karena para PSK-nya didatangkan dari Macau.

Sampai abad ke-19 penisilin belum ditemukakan. Mereka yang terkena penyakit kelamin disebut terkena raja singa. Karena jalan orang yang terkena penyakit itu ngengkang, mereka disebut pehong berasal dari kata Tionghoa pehyong.

Pecenongan Menjelang Abad ke-20 Juni 19, 2009 oleh alwishahab Tepatnya sekitar tahun 1880-an atau 120 tahun lalu. Sulit dipercaya daerah yang ketika itu sunyi senyap, dipenuhi pepohonan rimbun di kiri kanan dan belum diaspal itu adalah Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat. Sejak masa Inggris (1808- 1811), Raffles tidak memperbolehkan warga Betawi tinggal di kawasan Noordwijk (Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) serta Risjwijkstraat (Harmoni). Tapi, diperbolehkan tinggal di Pecenongan yang berdekatan dengan ketiga kawasan elite tersebut. Dan, kemudian Pecenongan menjadi daerah bisnis.

Di ujung selatan Jl Pecenongan, terletak kantor perusahaan mobil Astra. Sebelumnya, tempat itu merupakan toko buku dan percetakan milik Belanda, Van Dorp, dan setelah kemerdekaan diambil alih pemerintah RI. Di masa Belanda sebelum berdirinya Gramedia dan Gunung AgungVan Dorp merupakan toko buku terbaik di Jakarta. Sesudah dinasionalisasi, Van Dorp kehilangan pamor dan beralih fungsi jadi PT Astra. Demikian pula, di Pecenongan ketika itu terdapat Percetakan Kolff & Co. Percetakan besar dengan ratusan pekerja warga Betawi ini, banyak menerbitkan buku bermutu dan mengalami nasib yang sama setelah dinasionalisasi. Kolff juga menerbitkan surat kabar terkenal dalam bahasa Belanda, Java Bode. Koran ini dilarang terbit setelah hubungan RIBelanda memburuk pada 1950-an. Pada 1950-an, Pecenongan merupakan salah satu pusat perdagangan sepeda motor di Jakarta. Tapi, motor buatan Barat seperti Norton, Java, DKW, Triump, BSA, dan Fuch. Sepeda motor buatan Jepang belum diproduksi. Para pedagang motor sebagian besar warga Tasikmalaya. Kini, Pecenongan menjadi salah satu pusat show room jual beli mobil. Di Jalan Pecenongan No 35, dulu merupakan kediaman tante Ditje (Sarah Thamrin), kakak mendiang pahlawan nasional kelahiran Betawi, Mohammad Husni Thamrin. Boleh dikata, detak kehidupan tidak pernah berhenti berdenyut di Pecenongan. Mulai sore hingga menjelang dini hari, puluhan pedagang membuka makanan Chinese Food.

Para pembelinya yang sebagian besar bermobil siap nongkrong menikmatinya. Di Krekot yang berdekatan dengan Pecenongan, terdapat penjual nasi uduk yang juga ramai didatangi pengunjung. Terdapat dua buah hotel berbintang di Pecenongan Red Topp dan Hotel Imperium. Berbelok ke kiri dari Peconangan melalui Jl Juanda terdapat Jl Batutulis. Di sini, pernah tinggal H Abdul Manaf, kakek Gubernur DKI Fauzi Bowo, dari pihak ibu. H Abdul Manaf adalah tokoh NU sampai akhir hayatnya. Demikian pula dengan putranya, H Syah Manaf, dan mantan wagub DKI, Asmawi Manaf. Fauzi Bowo juga mengikuti jejak kakek dan kedua pamannya di organisasi keagamaan NU.

Kawasan Pecenongan Minggu, 22 Juni 2008 Brendesch Laan Begitulah nama jalan ini pada masa penjajahan Belanda. Silsilah jalan pecenongan ini menguak kisah seorang konglomerat yang pernah berjaya dengan usaha di bidang otomotif motor. Sehingga dari daerahnya kita dapat melihat banyak sekali ditemukan ruko-ruko yang menjual asesoris dan perkakas motor. Namun kini, selain asesoris dan perkakas motor, juga ditemui berbagai bengkel maupun show room mobil terkenal. Hebatnya lagi, kini daerah ini menjadi pusat makanan yang ramai dikunjungi kawan Jakarta. Tempat makan yang ada disini cukup beragam dari mulai nasi goreng, bakmi, kwetiaw, martabak dan berbagai jajanan juga tersedia di kawasan kuliner ini.

Kalau kita datang ke daerah pecenongan, kita hanya akan melihat nuansa pertokoan yang hidup di kawasan ini, namun saat matahari mulai bergerak ke barat di sore hari, menandakan dimulainya pembangunan tenda-tenda biru yang berhamparan di seluruh penghujung jalan. Tidak kurang dari setengah jam, berbagai tenda megah maupun tenda kecil sudah selesai didirikan. Nuansa sore yang indah diwarnai dengan bunyi panci dan kobaran api yang terdengar seperti lantunan musik kuliner. Hirupan udara yang penuh asap kendaraan pun mulai tergantikan dengan asap masakan yang membuka lembaran pesona wisata kuliner di Jakarta. Malam telah tiba. Rombongan kendaraan baik anak muda, keluarga maupun petualang kuliner meramaikan suasana di kawasan pecenongan. Selera demi selera mengarahkan pilihan kawan Jakarta untuk bersinggah di salah satu tempat makan idaman. Kawasan yang hidup dari sore hingga subuh dini hari ini cukup terkenal dengan hidangan chinese foodnya. Bagi kawan Jakarta yang hendak bertamasya kuliner bersama dengan keluarga ataupun secara rombongan sangat tepat untuk mengunjungi kawasan ini, selain karena porsi menu chinese food yang cukup besar, suasana nongkrong sambil ngobrol bisa dengan santai dilakukan disini. Namun, memang yang namanya pengamen tetap sesekali menghampiri untuk uji suara. Selamat menikmati kawan

Anda mungkin juga menyukai