Anda di halaman 1dari 12

Sekilas tentang Para Budak dan Keturunannya di Padang Darat

(AWP Verkerk Pistorius)

“Ada satu kemenangan dalam masa kita yang akan dicatat dalam sejarah sebagai reputasi baik abad 19: kita
menginginkan penghapusan perbudakan; tapi walau ada kemenangan dalam abad kita ini di mana
perbudakan mendapatkan pukulan-pukulan mematikan, tapi perbudakan masih belum lenyap dari muka
bumi. Kemenangan umat manusia masih belum genap.“
René Laboulage (l’Esclavage du Brazil)

Salah satu ketetapan peraturan Pemerintah yang terindah adalah yang termuat dalam
artikel nomor 105. Selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 1860 perbudakan di
seluruh Hindia Belanda akan dihapuskan, begitulah bunyi alinea pertama dari artikel
tersebut, dirinci dan diterapkan dalam Staatsblad tahun 1859 nomor 46 dan 47. Kita
makin dibuat gembira dengan hal tersebut, karena aturan yang manusiawi itu berasal dari
kita sendiri, dan bukan diberikan pada akte parlemen di bawah pemerintahan perantara
Inggris.
Bertahun-tahun semenjak tanggal yang ditetapkan itu berlalu, perbudakan di
seluruh wilayah koloni kita masih jauh dari terhapuskan sampai ke akar-akarnya.
Peraturan pemerintah itu, yang tampaknya berkembang pada koloni inti kita melalui
akumulasi elemen Eropa, dalam banyak aspek musti menunggu untuk diterapkan di
wilayah-wilayah pendudukan luar1 untuk pertama kalinya. Masalahnya bukan pada
kurangnya niat baik, tapi kekuasaan yang tak memadai, tiadanya pengaruh dan seringkali
juga kurangnya pengetahuan mendalam tentang situasi kondisi pribumi adalah sebab-
sebab utama mengapa banyak ketetapan, yang dibuat dengan kerjasama yang baik dengan
wakil-wakil rakyat, masih menunggu penerapan yang menyeluruh pada wilayah-wilayah
yang jauh tersebut.
Perbudakan di Padang Darat adalah salah satu contohnya. Memang pemerintah
kita masih memiliki pengaruh dalam menerapkan penghapusan bertahap, dan lembaga
perbudakan di wilayah ini, walaupun tidak asli pribumi tapi tampaknya dibawa bersama
Islam, taklah dicirikan dengan kekejaman yang membuat perbudakan di tempat-tempat

1
[Catatan penerjemah: koloni Belanda di Nusantara selain Jawa]

1
lainnya jadi suatu hal yang menakutkan. Betapa pun beban perbudakan ringan di sini, ya
bahkan nama perbudakan sedikit sekali dapat dialamatkan kepada lembaga yang masih
ada tersebut, tapi masih banyak individu yang kemerdekaannya terampas, dan yang
keadaannya di tengah masyarakat mendatangkan rasa tak enak.
Men-sketsakan nasib dan keadaan dari anggota-anggota masyarakat itu,
khususnya di distrik Kota VII (Sijunjung), di mana pengaruh pemerintahan kita tak
sebesar di tempat-tempat lainnya, saya akan mencobanya pada halaman-halaman berikut.
Perbudakan di Padang Darat mencapai puncaknya pada zaman Paderi, atau seperti
dinamakan oleh orang-orang pribumi berdasar pakaian putih yang diperkenalkan oleh
kaum Wahabi, pada masa putih, dan umumnya orang dapat mengatakan bahwa
perbudakan di wilayah ini ada karena peperangan Paderi. Tapi sebelum periode tersebut
perbudakan taklah sepenuhnya tak dikenal di sini. Pada masa hadat jalihah2 (begitu orang
menamakan adat pribumi murni yang diikuti sebelum zaman Paderi dan secara metaforis
merupakan periode sebelumnya yang utuh dari sejarah Melayu) tampaknya penduduk
Padang Darat, dan bangsa-bangsa beragama Islam di pulau ini pada umumnya, dari
waktu ke waktu menyerbu rekan-rekan mereka yang masih kafir dan juga pulau-pulau
tetangga serta membawa dan menjual laki-laki, wanita dan anak-anak yang jadi rampasan
perang, sehingga sekarang masih ada keturunan budak-budak yang dari raut wajah
menunjukkan bahwa mereka berasal dari ras Batak dan Nias, atau orang-orang Kubu dan
Ulu yang masih hidup primitif. Namun penyerbuan perampokan jarang terjadi, dan
setidaknya hanya dilakukan terhadap suku-suku yang belum menganut Islam.
Untuk pertama kalinya di bawah pemerintahan kaum agama yang despotis dan di
saat perselisihan religius yang hebat, di mana para pengikut ajaran yang ortodoks turut
ambil bagian dalam hal itu, muncullah peraturan bahwa semua nagari yang berkeras
mengikuti kepercayaan nenek moyang, dan juga mereka yang telah masuk Islam tapi tak
mau tunduk pada ajaran Wahabi yang keras, mereka akan dibinasakan dengan api dan
pedang oleh kaum Paderi, bahwa tiap orang yang berusaha melawan atau kabur akan
dirubuhkan, barang-barang yang ada dan yang berharga akan dirampas, dan siapa yang
meminta belas kasihan agar tetap hidup, di samping para wanita dan anak-anak, akan
dibawa sebagai tahanan. Hanya nagari-nagari yang membuta mengikuti ajaran baru itu
2
Ini pastilah maksudnya jahiliah, yakni keadaan kebodohan, seperti yang dinamakan oleh orang-orang
Arab terhadap masa sebelum Nabi Muhammad?

2
dan yang membayar uang tebusan yang mahal (oewang minoh) akan dikecualikan dari
perlakuan kejam (Vandal) tersebut. Merampok dan merampas pada zaman ini begitu
sering terjadi, sehingga kata yang digunakan orang Melayu untuk mengungkapkan hal
itu: jarah, awal pemakaiannya muncul sejak masa Paderi.
Dengan cara itulah Tuanku Lintau yang terkenal menjadi tuan dari banyak orang
malang, yang sebagian disuruhnya bekerja, sebagian dijual di tempat, dan sebagian lagi
dikirim dan dijual ke tempat-tempat makmur yang kekurangan tenaga. Biasanya untuk
budak laki-laki nilainya 30 gulden, dan perempuan 60 gulden, sementara orang yang
melaluinya sang Tuanku menjual budak (agen budak), mendapatkan sepertiga atau
seperempat dari jumlah tersebut.
Dua nagari di distrik Kota VII, yang pertama Padang Sibusuk, dulu berpenduduk
padat dan makmur tampaknya, dan yang lain Silungkang, sekarang masih merupakan
kampung yang paling terkenal dan terkemuka di III Luak, dengan cara itulah sampai
memiliki banyak budak, yang jumlah keturunan mereka sampai saat ini kira-kira
mencapai sepertiga dari seluruh penduduk di sana.
Di antara orang-orang yang terampas kemerdekaannya ini hanya beberapa saja
sekarang yang dibeli dan dirampok. Dan hanya mereka inilah yang menurut adat, juga
barangkali sesuai dengan Islam, merupakan budak dalam arti kata itu yang biasa kita
kenal, atau seperti dinamakan oleh kaum pribumi: budak atau lacih, menurut dialek di
sini lacieh. Hanya atas orang-orang seperti inilah tuannya berkuasa seperti kuasanya atas
ternak yang tak berakal; dia dapat menggunakannya untuk kerja apa pun yang dia mau,
dapat memperlakukannya dengan buruk sesuai selera, dan hanya jika dia membunuhnya
saja maka si tuan musti, menurut adat, membayar denda 20 real (32 gulden) pada
penghulu-penghulu nagari!
Betapa menyedihkannya keadaan orang-orang malang ini, tepatnya terutama di
waktu dulu, karena sekarang ada juga sebagian yang hidupnya bahagia; bertahun-tahun
lalu banyak di antara mereka yang dimerdekakan oleh pemiliknya, setidaknya oleh
penghulu-penghulu yang kita gaji, karena merasa hormat terhadap pemerintahan kita, dan
perlakuan buruk terhadap para budak saat ini hanya sedikit sekali terjadi—meskipun
nasib mereka buruk, tapi keadaan mereka jauh lebih baik dibanding budak-budak di
tempat lain yang mengalami kemalangan karena jatuh ke tangan orang-orang Eropa. Tak

3
hanya jarang mengerjakan pekerjaan yang amat berat, mereka biasanya hanya melakukan
kerja di lapangan yang ringan-ringan, menggembala ternak dan kerja-kerja rumah tangga,
mereka bahkan menikmati hak-hak yang bagi [budak-budak] Afrika masih menjadi hal
yang asing. Misalnya si ibu tak boleh dipisahkan dari anak-anaknya selama anak-anak itu
masih membutuhkan bantuan dan pengawasannya, dan apa yang terjadi nanti barulah
berdasar kerelaan kedua belah pihak—sebab itulah budak perempuan lebih tinggi
nilainya—dan jika si budak meminta dirinya dijual pada yang lain, si pemilik musti
mengizinkannya, setidaknya jika jumlah uang pembeli budak itu kembali kepadanya. Di
luar itu, banyak budak dimerdekakan saja oleh pemiliknya setelah menunjukkan
kesetiaannya selama bekerja, yang dapat terjadi melalui dua cara: lapas oenggei [lapeh
unggeh] dan lapas ajam [lapeh ayam]. Dalam lapas ayam, si mantan budak musti tetap
tinggal bersama tuannya yang dulu, untuk membantunya bekerja jika perlu.
Namun budak-budak sesungguhnya, saya ulangi lagi, sangat jarang dijumpai
sekarang ini [1868], dan tak lama lagi tak satu pun budak akan ditemui di Padang Darat.
Jadi bukanlah tentang budak-budak esai ini terutama ditulis, tapi tentang
keturunan mereka, atau menurut ungkapan plastis dari orang Melayu: kamanakan di
bawah lutut, arti harfiahnya: anak-anak saudara perempuan di bawah lutut, tapi makna
sebenarnya: anak-anak di bawah lutut; sebab bagi orang Melayu [lelaki Minangkabau]
anak-anak saudari adalah anak-anaknya yang sebenarnya. Secara ironis, kaum pribumi
juga menamakan mereka: kamanakan dengan sebab.
Keadaan mereka berbeda pada banyak segi dari keadaan orang-orang yang
merdeka [dari lahir]. Hak-hak yang orang terakhir ini nikmati tak mereka dapatkan;
mereka dan keturunan mereka senantiasa ditundukkan pada banyak kebiasaan dan aturan
yang merendahkan, dan jika orang memperhatikan seluruh himpunan peraturan mengenai
mereka, jika melihat keadaan sosial mereka, maka yang orang akan dapat amati dari sana
tak beda dengan perbudakan yang tersamar.
Mari kita ke tengah penduduk yang memiliki budak (saya untuk sementara tetap
menggunakan kata budak, walaupun kata itu tidaklah tepat). Marilah kita ke pusat dari
suatu kawasan, di mana tinggal banyak budak dalam distrik Kota VII, untuk menyaksikan
keadaan mereka lebih dekat dan mengamatinya dari lingkungan mereka sendiri. Kita
turuti jalan dari Padang Sibusuk, senantiasa menurun dan mendaki, yang mengikuti

4
batang air kaya emas Sungai Lasi dengan segala kelok-keloknya hingga mencapai kota
Silungkang yang jauhnya 5 pal [kira-kira 7,5 km]. Segera kita akan mendekati gerbang
batu karang. Dinding bukit yang tenang dan tinggi menjulang di kedua sisi, dan dengan
kesusahan batang air yang terkadang melimpah itu mencari jalan melalui terusan yang
sempit. Baringin, kubang dan jenis-jenis ficus lainnya yang di sana-sini tertanam pada
dinding batu karang yang curam itu, meraba-raba ke segala arah dengan cabang-cabang
dan akarnya yang tak terhitung, dan memanjat tinggi hingga ke puncak perbukitan,
menutupi bebatuan keabu-abuan dengan daun-daunnya yang segar dan selalu hijau.
Terkadang, setelah hujan deras, ketika air yang terkumpul di puncak bukit menderas ke
bawah dan berpencar karena terhalang batang-batang pohon dan dedaunan, serta
menyebar seperti selayar perak pada pepohonan yang gelap, kesan dari pemandangan
alam ini sungguh tak tertandingi.
Di ujung “gerbang“ itu menantilah sebuah lembah yang tertawa; perbukitan
karang pasir, pada kedua sisinya, bertahap-tahap mulai tampak berkilau, dan segera
pemandangan diganti oleh bentuk-bentuk aneh dan fantastis dari batu-batu karang yang
tersusun satu sama lain; hutan yang tenang telah tersingkirkan—di dataran oleh hehijauan
sawah yang ramah, pada lereng perbukitan oleh warna cerah pakis-pakis dan tanaman-
tanaman semak; dan batang air, yang terbebas dari halangan-halangan yang menekan,
dengan gembira menderas dari batu ke batu pada bantalan berkarang, di sini dengan
bebas tanpa terganggu mulai mengambil lagi alirannya yang berkelok-kelok. Di mana-
mana terdapat kehidupan, air yang sejenih kristal itu seakan diliputi oleh tanam-tanaman
segar dan harum, oleh bunga-bunga aneka warna yang ceria. Tumbuhan cassia alata [?]
gemetar dengan pandan-pandan emasnya di tengah tanaman-tanaman pakis dan semak-
semak, rhodomyrtus kemerahan bersembunyi di balik daun-daun harum lagundi, dan
mendengar ocehan ceria riak-riak yang bermain, angin sepoi menundukkan kepala di atas
pinggiran sungai yang berkarang.
Pada lembah ini, di tengah sawah-sawah, atau pada ngarai-ngarai dan belahan
dinding bukit yang kemilau, tersebarlah rumah-rumah banyak budak, yang dimiliki oleh
penduduk pribumi kampung Silungkang dan di sini, di lingkaran terluar dari nagari,
bekerja di sawah-sawah, di ladang-ladang, atau pada perbukitan di tambang-tambang
emas skala kecil milik pribumi. Penduduk yang merdeka lebih suka tinggal di kota [koto]

5
itu sendiri dan bekerja di sawah-sawah sekitar. Juga di sini, seperti halnya di kampung
itu, rumah kediaman separo tersuruk di bawah daun-daunan rimbun, di antara variasi tak
terhitung dari warna cerah dan coklat, dari berbagai macam pohon buah-buahan, dan
pohon kelapa yang ramping juga tampak di sana, pendamping setia rumah pribumi,
sebagai puncak anggun-nya yang menjulang ke langit biru.
Pada pandangan mata beberapa rumah tak memiliki tanduk-tanduk [gonjong]
yang biasa dibuat orang Melayu untuk membentuk hiasan atap rumahnya. Di kawasan ini
hanya orang-orang merdeka saja yang atapnya boleh bertanduk. Juga di sini seperti di
tempat-tempat lainnya, rumah seorang budak atau keturunannya lebarnya tak boleh lebih
dari tiga tiang, atau memiliki lebih dari satu anjung, yakni struktur bangunan pada kedua
bagian ujung dari rumah yang lebih tinggi dari lainnya. Dia juga tak diizinkan memiliki
tipe rumah gajah maharam atau surambi, yakni rumah yang lebarnya empat sampai lima
tiang—tapi interior rumah tidaklah berbeda dengan orang-orang lainnya. Secara
longitudinal rumah itu dipisah jadi dua bagian oleh sebuah dinding atau kain warna-
warni, di mana yang satunya yang lebih luas jadi ruangan tamu/keluarga, yang satu
bagian sebagai kamar tidur. Jika kita masuk ke dalam kita akan mendapati perabotan
yang sama, ditaroh tak beraturan satu sama lain, seperti yang kita dapati pada kediaman
pribumi yang kekurangan.
Seperti pada bentuk rumah, pada segi pakaian pun seorang budak dapat dibedakan
dari seorang merdeka. Jika kita melihatnya di ladang, pakaiannya seperti pakaian pribumi
lainnya yang sedang bekerja; celana katun biru lebar, pada bagian pinggang ada ikatan
yang lebar tempat memasang sebuah pisau pendek, dan sebuah tutup kepala yang
terkadang ditaruh lagi tudung besar di atasnya adalah pakaian umum jika di ladang.
Namun, pada hari-hari pasar atau pada kesempatan pertemuan bersama, di mana pribumi
tampil dengan pakaiannya yang terindah, maka mudah terlihat perbedaan antara mereka.
Sebab destar berenda dua, destar banting anting, atau seperti disebut di tempat lainnya:
destar api-api, berhiaskan kelip-kelip emas, dan destar palangei, yang berstrip merah,
hitam dan biru, hanya boleh dipakai oleh orang-orang merdeka. Demikian juga halnya
baju jubah, semacam baju panjang, dan celana, selendang, baju, ikat pinggang (kabeh
[kabek] pinggang) orang merdeka; semua ini boleh jadi dibuat dari bahan sutra dan

6
dihiasi dengan pinggiran atau kancing-kancing emas. Pada umumnya, para budak dan
keturunannya dilarang memakai sutra, emas dan juga pakaian berwarna kuning.
Diskriminasi merendahkan di antara kedua status itu paling jelas terlihat pada
beberapa kebiasaan yang dilegitimasi oleh adat. Jika seorang dari keturunan budak
berjalan dengan seorang merdeka—sudah cukup populer diketahui bahwa orang-orang
pribumi kalau berjalan selalu seorang demi seorang di belakang yang lainnya—maka
yang pertama senantiasa yang paling belakang; dia juga tak boleh naik kuda; pada rapat
dia duduk khidmat dengan bersila, dan kehormatan yang diberikan pada orang merdeka
[setelah wafat] dengan dipanggul dengan hosongan menuju kuburan tak diperkenankan
bagi budak dan keturunannya. Orang membawanya di atas sebuah papan menuju kuburan
dan jirah (semacam tanda peringatan berupa balai-balai kecil) tak boleh dibangun di atas
pembaringan terakhirnya.
Posisi dalam hukum bertalian erat dengan kondisi sosial mereka. Dalam kasus
hukum, dia tak boleh jadi saksi; jika dia dilukai, dia hanya boleh menuntut setengah dari
denda, dan dalam kasus dibunuh, hanya setengah bangoen [diat] boleh diminta. Saya
hanya menyinggung ketentuan-ketentuan yang paling mencolok, sebab dari sanalah dapat
dilihat jelas bagaimana betul keadaan mereka.
Keadaan tak beruntung dari keturunan para budak, diskriminasi-diskriminasi
merendahkan yang mereka hadapi dan posisi terhinakan yang mereka dapatkan di tengah
masyarakat pribumi merupakan akibat dari hubungan mereka dengan paman mereka, atau
seperti kata pribumi, mamak mereka, yakni tuan dan majikan mereka. Sebab meskipun
bukanlah milik dari majikan mereka, yang dapat diperlakukan seenak hatinya, tapi
mereka berada dalam kedudukan yang tergantung dan bersifat membudak dengannya,
sehingga anggota-anggota keluarga yang merdeka tak dapat memandang mereka setara.
Mereka dapat memiliki hak milik, mempunyai sawah dan ladang, baik yang diperolehnya
melalui usahanya sendiri, maupun dibantu oleh tuannya dalam hal itu, dan kepemilikan
tak tergugat dari properti-properti itu dijamin oleh adat bagi mereka; tapi waktu dan
tenaga yang mereka miliki taklah dapat mereka pakai sesuka hati, mereka ditempatkan
bekerja di sawah atau di rumah majikan mereka, sesering dan selama tuannya senang.
Kerja yang paling dianggap rendah, yakni memotong rumput, biasanya menjadi bagian
mereka, khususnya jika tinggal di tanah tuan mereka; jika melawannya, maka seringnya

7
si tuan menghukum mereka seenak hatinya saja. Mereka tak boleh meninggalkan tempat
di mana mereka tinggal tanpa seizin tuannya; keadaan mereka seperti arti dalam kalimat
attachés à la glèbe, une gent taillable et corvéable à merci.3 Memang ada keturunan
budak di antara kuli-kuli dan pedagang-pedagang kecil keliling, tapi untuk menjalankan
usaha ini mereka memerlukan izin dari tuannya yang menyediakan sarana-sarana untuk
itu, biasanya untuk keuntungannya sendiri. Keturunan-keturunan budak, karenanya,
dalam aspek tertentu tetap menjadi milik dari yang lainnya: jika tuan mereka mati, maka
mereka dianggap sebagai warisan yang ditinggalkan, mereka dan anak cucu mereka
selamanya menjadi harta pusaka, dan keadaan mereka banyak kesamaannya dengan
keadaan para pelayan.
Bagaimanakah tingkat peradaban mereka? Dalam hal apa saja, dari aspek
moralitas, mereka dapat dibedakan dari orang-orang Melayu merdeka? Jika mereka
secara moral lebih rendah, apakah ciri-ciri utama dari karakter mereka? Pertanyaan ini
barangkali muncul pada sebagian orang. Saya musti mengakui belum dapat
menjawabnya. Saya akui bahwa saya tak punya data-data yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan mendalam dan pasti. Berkali-kali
saya memasuki kediaman mereka, bercakap-cakap dengan mereka dan mencari tahu
solusi dari soal-soal seperti itu untuk saya sendiri; tapi betapa banyak yang diperlukan
untuk meneliti karakter seorang individu, dan dengan berapa banyak individu orang musti
berkenalan untuk dapat menilai karakter dari seluruh kelas masyarakat tertentu. Prof.
Geel suatu kali mengatakan dalam karyanya “Onderzoek en Phantasie” (Penelitian dan
Fantasi): “Tak ada yang lebih sulit daripada mengamati suatu penduduk dalam keadaan
rumah tangga mereka; banyak bakat yang dibutuhkan untuk itu dan tinggal lama dengan
mereka; saya sendiri tak lebih tahu tentang karakter dari bangsa-bangsa yang tanahnya
pernah saya kunjungi dibanding sebelumnya.” Kebenaran pernyataan ini akan diaminkan
oleh tiap orang yang pernah melancong. Mengherankan, dan kalau saya boleh
tambahkan, menyedihkan sekali penilaian yang disampaikan banyak orang [Eropa]
terhadap orang-orang Jawa atau Melayu, oleh mereka yang sekali pun tak pernah tinggal
bersama pribumi dan hanya mengerti sepatah dua patah bahasa mereka.

3
[ Perancis, artinya kira-kira: terikat ke tanah, tertindas dan kelelahan hingga menimbulkan rasa kasihan]

8
Jadi saya harus diam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu, menunggu
datangnya penilaian yang tanpa motif, tapi saya setidaknya akan membagi sedikit tentang
pengetahuan akan karakter orang pribumi. Jika dari beberapa kejadian terpisah ini orang
ingin memberikan penilaian terhadap karakter seluruh budak dan keturunan mereka, saya
sama sekali tidak akan setuju.
Satu atau dua tahun yang lalu di Tanjung Ampalu, suatu tempat di pinggir sungai
Ombiling [Ombilin], terdamparlah sesoyok mayat seorang pribumi yang termutilasi
mengenaskan. Dengan tangan dan kaki yang terikat, jelas-jelas terdapat ciri-ciri kematian
dengan kekerasan. Setelah sekian penyelidikan tak berbuah, akhirnya diketahui juga siapa
pelakunya. Ternyata seorang kepala [penghulu] dari kampung tetangga menyuruh
mengangkat seorang yang namanya si Tembu keluar dari kedai pada malam hari di jalan
besar dan disuruh bawa ke kampung di mana dia sendiri tinggal, dan setelah si malang,
dengan tangan dan kaki terikat, di malam itu juga dibunuhnya di pinggiran berbatu sungai
Ombilin, mayatnya disuruh lempar ke aliran sungai tersebut. Kasus ini dibawa ke rapat
pribumi, dan di antara saksi-saksi yang saya, sebagai pemimpin rapat tersebut,4 tanyai,
ternyata diketahui ibu dari si korban adalah seorang keturunan budak. Tampak dari
penjelasan beberapa penghulu, bahwa si ibu itu, meskipun segera diberi tahu mengenai
kematian karena kekerasan dari anak lelakinya, taklah melakukan penyelidikan untuk itu,
dan bahkan tak memberi tahu penghulu-penghulunya sendiri akan kejadian ini. Heran
saya bertanya kepadanya, mengapa dia tak melapor kepada saya atau yang lainnya.” Saya
sibuk mengurus kerbau-kerbau saya,” jawaban sinis dari sang ibu, yang pada dadanya
semua perasaan manusia tampaknya membatu.
Betapa pun menyedihkannya jawaban dari budak itu, kekejaman yang dilukiskan
tadi lebih tak cocok lagi dengan karakter seorang Melayu merdeka. Dari contoh ini orang
tak boleh menyimpulkan bahwa si budak lebih rendah daripada orang merdeka.
Tapi betapa menyedihkannya pun apa yang terjadi pada pikiran dan hatinya, ada
alasan untuk berharap, bahwa dengan pengaruh pemerintahan Belanda pada keadaan
sosial mereka—meskipun pengaruh ini, seperti telah disinggung pada awal esai ini, tak
cukup kuat dan merasuk untuk memberi jalan penerapan menyeluruh dan segera dari

4
[ Catatan penerjemah: si penulis pernah jadi controleur di distrik Kota VII, yang biasanya juga bertugas
memimpin rapat hukum yang beranggotakan kepala-kepala laras dan nagari]

9
kehendak pembuat hukum—juga dari aspek moral, fajar masa yang lebih beruntung
untuk budak dan keturunannya hampir akan tiba.
Bahwa pengaruh ini terkadang membawa hasil yang sangat baik, boleh dilihat
dari contoh-contoh berikut ini.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa banyak dari aturan yang saya sebut
ditetapkan oleh adat tadi, tak lagi keras penerapannya pada keturunan para budak.
Khususnya di tempat-tempat di mana dia berinteraksi setiap hari dengan orang-orang
Eropa, atau ditempatkan di bawah pengawasan langsung pemerintahan kita, dia makin
terbebas dari keadaan menderita yang dialami karena asal-usulnya. Orang Melayu
merdeka musti menerimanya apa adanya, dan meski ada beberapa kasus, di mana dia
meminta perantaraan pemerintahan Eropa untuk mendapatkan kembali orang-orang yang
lari ke tempat lainnya, yang merupakan pelayan-pelayannya sendiri, secara bertahap dia
pun akhirnya menuruti peraturan pada alinea ketiga dari artikel 75 RR:” Akan diterapkan
oleh hakim pribumi (juga oleh ketua pengadilan-pengadilan pribumi) hukum-hukum
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan orang-orang pribumi, sepanjang hal-
hal itu tak bertentangan dengan prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan yang diakui
umum.”
Contoh dari pengaruh baik pemerintahan kita yang akan saya berikan terjadi di
distrik Kota VII.
Beberapa pal dari kota Padang Sibusuk ada sebuah kampung yang namanya
Kampung Baru, yang secara eksklusif didiami oleh keturunan para budak. Tak punya
pemerintahan sendiri dan langsung tunduk pada suku-suku yang memiliki mereka,
mereka menjadi mangsa empuk dari kesewenang-wenangan, dan tak ada ujung
tampaknya dari kekesalan dan beban yang menyiksa mereka. Lelah dengan keadaan itu,
mereka akhirnya memutuskan meminta pertolongan otoritas sipil. Yang terakhir ini
menolak permintaan mereka. Dia menasehati mereka untuk patuh dan menerima saja
keadaan mereka, sebagaimana budak-budak yang baik, dan dengan mengadakan sebuah
pesta di mana para budak dan para tuan ikut serta, otoritas itu menganggap persoalan
tersebut telah selesai.
Penduduk Kampung Baru yang tertekan dan diperlakukan buruk berpikir lain.
Untuk sementara mereka menunggu datangnya saat yang lebih tepat. Namun, ketika tuan-

10
tuan mereka sendiri, khususnya kepala laras, yang marah dengan keberanian mereka
untuk tetap mengadu, ingin menggunakan otoritas pemerintahan sipil untuk menyiksa
mereka lebih hebat lagi, mereka akhirnya tak berlama-lama lagi, tapi membawa keluhan-
keluhan mereka langsung ke hadapan asisten Residen Tanah Datar di kala itu. Kali ini
usaha mereka membawa hasil. Keluhan-keluhan mereka diteliti, dan ditemukan berdasar,
dan akhirnya ditetapkan dengan persetujuan kedua belah pihak, bahwa penduduk
Kampung Baru akan terbebas dari tanggung jawab terhadap tuan-tuan mereka
sebelumnya dengan membayar 600 real (960 gulden), terlepas dari semua peraturan-
peraturan yang merendahkan, dan dalam aspek apa pun, tempat tinggal, pakaian atau apa
pun juga, takkan dibedakan dari orang-orang merdeka.
Contoh lainnya saya rujuk ke distrik Lubuk Basung. Di sana ada sebuah laras
[kelarasan] yang anggota-anggotanya asal mulanya seluruhnya terdiri dari para budak,
yang lari dari distrik-distrik tetangga (orang tambangan). Secara bertahap, meski diprotes
oleh orang-orang Melayu merdeka, dengan kerjasama kuat dari gubernur Sumatra’s
Westkust ketika itu, mereka bersatu di bawah pemerintahan sendiri, dan sekarang kepala
larasnya, seorang keturunan budak, merupakan kepala paling terkemuka dari distrik
tersebut.
Untuk tak bicara bertele-tele, saya cukupkan saja dengan contoh-contoh di atas.
Di mana, dengan kerjasama aksidentil pemerintahan Eropa, kaum pribumi itu
sendiri menunjukkan kekuatan untuk terlepas dari keadaan perbudakan, dan
menunjukkan dirinya layak menerima kemerdekaan itu—di sanalah orang boleh
mengharap hasil-hasil yang indah dari pendidikan yang betul-betul sehat, yang tak hanya
diperuntukkan bagi anak-anak para kepala, tapi bagi semua orang tanpa kecuali. Hasil
dari sekolah-sekolah pribumi yang ada di Padang Darat sekarang taklah begitu baik; jika
pendidikan itu akan menjawab pengharapan tersebut, maka hal tersebut pertama sekali
perlu disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan khas dari penduduk itu sendiri. Apakah
usaha ini meminta pengorbanan uang yang besar? Saya percaya tidak, sebab kebanyakan
kepala dan orang-orang Melayu yang tercerahkan menyatakan siap untuk bekerjasama
untuk hal itu dengan sedikit sarana dan prasarana yang mereka miliki. Dengan minat
yang tulus, sumbangan dari pemerintah perlulah lebih banyak sedikit. Betapa jauh lebih
baik jika banyaknya uang yang digunakan, yang sekarang ini hanya untuk menggaji

11
inspektur untuk pendidikan pribumi, yang tak familiar dengan bahasa-bahasa penduduk,
dan yang terkadang hanya tinggal di tempat-tempat utama saja, yang di sini
keberadaannya setidaknya sedikit sekali gunanya; dan yang dengan keseriusan
mengusulkan pula kepada pemerintahan wilayah ini untuk lebih baik mendidik saja anak-
anak pribumi, yang sama lincahnya seperti kera, dalam bidang gymnastiek (senam)!...

10 Februari 1868 Puar Datar (Padang Darat)


AWP Verkerk Pistorius

12

Anda mungkin juga menyukai