“Ditaklukkannya orang – orang Jawa, yang populasinya saat ini terdiri lebih dari 21 juta jiwa,
disebabkan karena kurangnya persatuan dan kesepakatan di antara mereka, juga karena tabiat
keterbukaan mereka”. (Bidang Politik)
“Semua Kepulauan Hindia saat ini adalah jajahan Belanda atas persetujuan Inggris. Administrasi
pemerintahannya dipercayakan kepada seorang gubernur yang diangkat Raja Belanda dan
berkedudukan di Batavia”. (Bidang Politik)
“Penduduk kepulauan tersebut bekerja sebagai pengganti pajak yang harus mereka bayarkan kepada
pemerintah, tetapi tidak dapat mengambil untung dari laba yang diperoleh orang – orang Eropa,
sehingga untuk mata pencaharian mereka sendiri, mereka rata – rata menanam beras dan sejumlah
kecil hasil bumi lainnya”. (Bidang Ekonomi)
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menetapkan Batavia dan Jawah sebagai Darul Islam pada masanya
karena meskipun dijajah Belanda, tetap saja Batavia dan tanah Jawah adalah Darul Islam yang dinaungi
Khilafah Utsmaniyyah. Perhatikan kedua kata kunci pembahasan االمتناعdan االستالء:
كل حمل قدر مسلم ساكن به على امتناع من احلربيني يف زمن من االزمان يصري دار االسالم جتري عليه احكامه يف ذلك الزمان
وما بعده وان انقطع امتناع املسلمني ابستالء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله واخراجهم منه حينئذ فتسيته دار حرب صورة ال
حكما فاعلم ان ارض بتاوي بل وغالب ارض جاوة دار اسالم الستالء املسلمني عليها سابقا قبل الكفار
“Setiap tempat yang muslim mampu menempatinya berdasarkan imtina’ dari Harbiyyin di suatu masa
maka dia menjadi Dar Islam yang berlaku atas hukum – hukumnya di masa tersebut dan setelahnya.
Jika terputus Imtina’ muslimin dengan Istila orang – orang kafir atas mereka dan mencegah mereka
untuk masuk, keluarnya muslimin darinya pada saat itu maka dinamai tempat itu Dar Harb secara de
facto, bukan de jure. Ketahuilah bahwa tanah Batavia dan umumnya tanah Jawah adalah Dar Islam
karena Istila muslimin atasnya mendahului sebelum orang – orang kafir”.
Pada tahun 1898 rakyat Batavia, termasuk para tokoh Arab Hadhrami dan Habaib mengirim surat
kepada Khalifah Abdul Hamid II untuk mengadukan kezaliman Belanda, penegasan mereka sebagai
rakyat Utsmaniyyah sejak lama hingga kesiapan "angkat pedang" jika diperintah sang Khalifah. Sangat
wajar jika penulis al-Bughyah sebagai seorang Sayyid Hadhrami menetapkan status Batavia dan Jawa
sebagaimana tertulis. Sebagai informasi penulis al-Bughyah tinggal di Hadhramaut dan wafat pada 15
Safar 1320 H atau sekitar 23 Mei 1902 M. Jadi, memang masih era Khalifah Abdul Hamid II. Bahkan
pada Tahun 1898 bukan hanya tokoh Batavia saja yang mengirim surat kepada Khalifah, namun juga
tokoh Arab dari Bogor yang berterima kasih karena anaknya dapat sekolah di Istanbul. Terdapat juga
surat dari Qadhi Singapura yang mewakili tokoh masyarakat dan para Sayyid.
Laporan Konsul Batavia Ali Galip Bey, 1886 kepada Khalifah Abdul Hamid II
“Pemerintah Belanda sangat berhati – hati dalam menghilangkan beberapa elemen yang mungkin
dapat menyebabkan penduduk setempat memberontak melawan mereka, dan Belanda berusaha
memastikan agar mereka tidak terprovokasi oleh orang asing. Karena orang Arab mempunyai
kepercayaan yang sama dengan penduduk pribumi, orang Arab mungkin dapat mendorong penduduk
pribumi untuk memberontak”. (Arab & Pribumi)
“Pada salat Jumat berikutnya, masjid – masjid lain di seluruh Batavia mengikuti dan membacakan
khutbah atas nama Yang Mulia Amir al-Muminin dan Khalifah Allah di muka bumi. Beberapa hari
kemudian, sejumlah penduduk Batavia mendatangi kantor konsulat satu demi satu. Masing – masing
menyatakan pengakuan mereka alan keagungan dan kebesaran penguasa kita, Yang Mulia Khalifah
Allah di muka bumi, dan memohon dengan mengajukan petisi agar dapat diberikan status sebagai
warga negara”. (Arab & Utsmaniyyah)
Pengaduan Habaib dan Arab Hadhrami Batavia, 1898 kepada Khalifah Abdul Hamid II
“Ketika Ali Galip Bey, konsul Daulah Aliyah sampai ke Batavia, dia mulai membagi – bagikan cendera
mata kesultanan kepada orang – orang Arab Hadhrami seakan – akan mereka warga Utsmaniyyah.
Pemimpin pada waktu itu adalah Syaikh Muhammad bin Hasan Ba Bahir yang berusaha keras untuk
menggagalkan upaya Ali Galip Bey. Dia memalsukan permohonan kepada Gubernur Jenderal Belanda
di Jawa dan menulis pernyataan palsu bahwa mereka bukan warga Daulah Utsmanhiyyah dan bahwa
mereka senang menjadi warga Belanda. Ini adalah kebohongan dan kepalsuan darinya. Allah tidak
meridhai satu pun orang Arab untuk menjadi warga negara Belanda, karena sudah diketahui secara
umum bahwa mereka adalah warga Daulah Utsmaniyyah baik di zaman dulu maupun hari ini”.
(Rakyat Batavia & Khilafah Utsmaniyyah)
“Jika Titah Kesultanan dikeluarkan untuk mencapai teralihnya hak – hak kami, juga untuk mencegah
kezaliman dan perbuatan yang bertentangan dengan syariat dan hak – hak sipil; maka kami akan
melawan dengan pedang untuk meraih hak – hak kami. Karena sesungguhnya kami berasal dari
keluarga yang suci. Dalam Syariat yang disucikan, tidaklah diperbolehkan kami dihina dan dicaci –
maki, khususnya karena kami anggota keluarga Rasul”. (Rakyat Batavia & perintah Jihad)
Inilah Darul Islam yang dimaksud madzhab Syafi'i: meskipun dijajah Belanda sehingga sulit
menerapkan hukum Islam semisal perempuan menutup auratnya, sebagaimana laporan Konsul
Utsmaniyyah di Batavia, statusnya tetap selama mayoritas penduduknya masih muslim. Dari sudut
pandang politis penetapan Batavia dan Jawah sebagai Darul Islam di saat itu merupakan perlawanan
pemikiran dan politik terhadap Kafir Belanda sekaligus penegasan dukungan kepada Khilafah
Utsmaniyyah yang menaungi seluruh Darul Islam di manapun berada.
“Di semua provinsi dan kabupaten yang membutuhkan perwakilan khusus pemerintah, pihak
berwenang malah menunjuk orang bodoh untuk bertindak sebagai qadhi dan penerjemah”. (Bidang
Hukum)
Laporan Konsul Batavia Ali Galip Bey, 1886 kepada Khalifah Abdul Hamid II
“Sebelum Islam memperoleh kekuatan di sini, orang – orang Eropa mencegah penerapan kewajiban –
kewajiban tertentu yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Itu sebabnya, menutup aurat
wanita yang merupakan kewajiban syariat saat ini tidak lagi diakukan”. (Bidang Hukum)
كان مذهب الشافعي رضي هللا عنه كو سغكائن فريبدي اينامه فرانتوس مجفور ادوك۲اري جلم انو ااي دي اتنه جاوا هبال منه غاكو
... ان اعوذ ابهلل من ذلك۲كاتراغن ننا لواب هنت امان دان سكال
Ari jalma anu aya di Tanah Jawa baheula na mah ngaku - ngaku kana Madzhab asy-Syafi'i radhiyallahu
'anhu ku sangkaan pribadi, ayeuna mah parantos campur aduk kateranganana, loba heunteu aman
dina sagala - galana, a'udzubillah min dzalik.1
... دي نكارا جاوا ال ليسوت تنا مذهب شافعي بنغ دجرييكن هنت لالمي جبا راجمود جغ بتور
... ان كذلك۲ان جغ كومفلوت۲مه مولس رعيتنا شافعية امام۲فائغن انو هبال
Di nagara Jawa lalesot tina Madzhab asy-Syafi'i beunang dicirikeun heunteu lalami jaba ramijud jeung
batur ...
Paingan anu baheula - baheula mah mulus rakyatna Syafi'iyyah , Imam - Imam na komplot - komplotna
kadzalik.2
Keberadaan para Qadhi (penghulu) tersebar di berbagai pelosok semisal di Cirebon, Sukapura
(Tasikmalaya) hingga Banyumasan dan Surakarta – Yogyakarta.
“Semua sarana untuk mencerahkan kaum Muslimin melalui pendidikan, ilmu – ilmu agama, dan
perhatian kepada hukum syariat telah hancur secara total. Meskipun semua kelas masyarakat secara
teori memiliki hak untuk mengenyam pendidikan tanpa terkecuali, nyatanya semua masyarakat
pribumi – kecuali mantan penguasa di sini – dianggap sebagai tawanan dan budak di mata hukum,
yang menghabiskan hidup mereka untuk menjadi pembantu rumah tangga dan pekerja demi mencari
sesuap nasi”. (Bidang Pendidikan)
“Hampir tidak ada yang berpengetahuan mengenai ilmu – ilmu agama di antara penduduk setempat
selain beberapa guru dari kalangan Arab Hadhrami dan Somalia yang tinggal di kota – kota tingkat
pertama dan kedua”. (Arab & Pendidikan Islam)
“Setiap tahunnya, dalam rangka menjalankan kewajiban yang ditetapkan syariat Nabi yang memancar,
ribuan jamaah dari wilayah ini berangkat ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan mencerahkan
pengetahuan mereka sampai batas tertentu dengan melihat secara langsung Tanah Suci, yang
merupakan tanda kemegahan Islam yang masyhur. Namun, tidak ada satu pun yang pulang dan
mengajar ke kampung halamannya setelah berhasil mempelajari berbagai permasalahan syariat dan
tinggal di sana”. (Ulama Jawi & Pendidikan Islam)
“Masalah akhlak ini akan diselesaikan dengan cara pembudayaan dan pendidikan. Melalui
perlindungan Hadirat Yang Mulia Khalifah di bumi, Amir al-Muminin Tuanku Sultan yang Agung, kita
akan memeprkuat hubungan politik dengan bagian dunia Islam yang sangat penting ini. Dengan cara
meningkatkan keindahan akhlak mereka da menyebarkan karya – karya agama di antara masyarakat
sehngga dapat mencerahkan dan memperbaharui pengetahuan mereka serta meningkatkan kekuatan
dan keterikatan mereka dengan Sang Pelindung Khalifah”. (Bidang Pendidikan)
Semasa dengan:
1. Ahmad ibn Zaini Dahlan al-Makki (1231 – 1304 H/ 1817 – 1886 M)
2. Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani al-Azhari (1265 – 1350 H/ 1849 – 1932 M)
3. Husain al-Jasr Afandi
Kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan rujukan kurikulum dan pelaksanaan pendidikan Islam di
pesantren dan madrasah, diantara kutipannya:
وينبغي ان ينوي املتعلم بطلب العلم رضا هللا تعاىل والدار اآلخرة وازالة اجلهل عن نفسه وعن سائر اجلهال واحياء الدين وابقاء
وينوي به الشكر على نعمة العقل وصحة البدن... االسالم فان بقاء االسالم ابلعلم
Hendaknya pencari ilmu berniat mencari ridha Allah dan negeri akhirat, menghilangkan kebodohan
dari dirinya dan dari orang bodoh lainnya, menghidupkan ad-Din/agama, melanggengkan Islam
karena langgengnya Islam adalah dengan ilmu ... serta berniat syukur atas nikmat akal dan sehat
badan.3
Hal semisal dinukil Syaikhuna Muhammad Nawawi al-Jawi dalam Syarh Bidayah al-Hidayah:
( وان كانت نيتك وقصدك بينك وبني هللا تعاىل من طلب العلم اهلداية ) ابن تنوي بتحصيله ازالة اجلهل عن نفسك وعن سائر
اجلهال واحياء الدين وابقاء االسالم ابلعلم والدار االخرة ورضا هللا تعاىل وتنوي بذلك الشكر على نعمة العقل ونعمة صحة البدن
...
(Jika niat dan tujuanmu antara engkau dan Allah ta’ala dari mencari ilmu adalah Hidayah) dengan
niat dari hasilnya menghilangkan kebodohan dari dirimu dan dari orang bodoh lainnya, menghidupkan
Kitab – kitab dasar lainnya yang menjadi rujukan pesantren dan madrasah ialah: Risalah al-Bajuri,
Safinah an-Naja, Sullam at-Taufiq dan al-Ajrumiyyah; yang semuanya dicetak beserta syarah-nya
karya Syaikhuna Muhammad Nawawi al-Jawi, kecuali al-Ajrumiyyah di-syarah oleh Sayyid Ibn Zaini
Dahlan, guru dari masyayikh Ulama Jawi. Selain itu, tersebar karya Syaikhuna Yusuf an-Nabhani
semisal Syawahid al-Haqq dan ar-Ra`iyah ash-Shughra dan Sayyid Husain al-Jasr Afandi semisal al-
Hushun al-Hamidiyyah dan Risalah al-Hamidiyyah. Pada umumnya, para ulama tersebut merupakan
pendukung setia Khilafah Utsmaniyyah, terutama masa Khalifah Abdul Hamid II.