Anda di halaman 1dari 82

Deviasi Septum Nasi Oleh : Muhammad al-Fatih II Deviasi septum nasi adalah kelainan bentuk septum nasi akibat

trauma dan pertumbuhan tulang rawan yang tidak seimbang. Bentuk septum nasi yang normal adalah lurus dan berada di tengah rongga hidung kecuali septum nasi orang dewasa yang tidak lurus sempurna. Trauma merupakan penyebab terbanyak deviasi septum nasi. Trauma bisa saja kita alami sesudah lahir, selama partus dan masa janin intrauterin. Ketidakseimbangan pertumbuhan tulang rawan septum nasi yang terus tumbuh dapat pula menyebabkan deviasi septum nasi dimana pada saat bersamaan batas atas dan batas bawah septum nasi telah menetap. Deviasi septum nasi yang ringan tidak menimbulkan gangguan. Gangguan dapat terjadi pada deviasi septum nasi yang cukup berat. Fungsi hidung akan terganggu dan lamakelamaan bisa menyebabkan komplikasi. Ada 4 bentuk deformitas septum nasi, yaitu : Deviasi. Deviasi septum nasi berbentuk huruf C dan S. Dislokasi. Bagian bawah tulang rawan septum nasi keluar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung. Penonjolan. Penonjolan tulang dan kartilago septum nasi berbentuk krista dan spina. Bentuk krista berupa penonjolan yang memanjang dari depan ke belakang. Bentuk spina berupa penonjolan yang runcing dan pipih. Sinekia. Sinekia merupakan pertemuan dan perlekatan antara deviasi atau krista septum nasi dengan konka nasi yang berada di hadapannya sehingga makin memperberat obstruksi nasi. Terapi deviasi septum nasi kita sesuaikan dengan keadaan pasien. Apakah deviasi tersebut menimbulkan keluhan yang nyata buat pasien ? Jika tidak ada gejala atau keluhan pasien sangat ringan, kita tidak perlu melakukan koreksi septum nasi. Jika ada keluhan yang nyata maka tindakan koreksi septum nasi perlu kita lakukan. Tindakan operatif deviasi septum nasi, yaitu : Reseksi submukosa septum nasi (Submucous Septum Resection/SMR). Septoplasti atau reposisi septum nasi. Daftar Pustaka Nuty W. Nizar & Endang Mangunkusumo. Kelainan Septum dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Technorati Tags: SR, septum deviasi, rinitis, hidung

December 29, 2007

Tes Pendengaran
Posted by hennykartika under telinga [3] Comments Tes Pendengaran Oleh : Muhammad al-Fatih II Ada 4 cara yang dapat kita lakukan untuk mengetes fungsi pendengaran penderita, yaitu : Tes bisik. Tes bisik modifikasi. Tes garpu tala. Pemeriksaan audiometri. Tes Bisik Ada 3 syarat utama bila kita melakukan tes bisik, yaitu : Syarat tempat. Syarat penderita. Syarat pemeriksa. Ada 3 syarat tempat kita melakukan tes bisik, yaitu : Ruangannya sunyi. Tidak terjadi echo / gema. Caranya dinding tidak rata, terbuat dari soft board, atau tertutup kain korden. Jarak minimal 6 meter. Ada 4 syarat bagi penderita saat kita melakukan tes bisik, yaitu : Kedua mata penderita kita tutup agar ia tidak melihat gerakan bibir pemeriksa. Telinga pasien yang diperiksa, kita hadapkan ke arah pemeriksa. Telinga pasien yang tidak diperiksa, kita tutup (masking). Caranya tragus telinga tersebut kita tekan ke arah meatus akustikus eksterna atau kita menyumbatnya dengan kapas yang telah kita basahi dengan gliserin. Penderita mengulangi dengan keras dan jelas setiap kata yang kita ucapkan. Ada 2 syarat bagi pemeriksa saat melakukan tes bisik, yaitu : Pemeriksa membisikkan kata menggunakan cadangan udara paru-paru setelah fase ekspirasi. Pemeriksa membisikkan 1 atau 2 suku kata yang telah dikenal penderita. Biasanya kita menyebutkan nama benda-benda yang ada disekitar kita. Teknik pemeriksaan pada tes bisik, yaitu : Penderita dan pemeriksa sama-sama berdiri. Hanya pemeriksa yang boleh berpindah tempat. Pertama-tama pemeriksa membisikkan kata pada jarak 1 meter dari penderita.

Pemeriksa lalu mundur pada jarak 2 meter dari penderita bilamana penderita mampu mendengar semua kata yang kita bisikkan. Demikian seterusnya sampai penderita hanya mendengar 80% dari semua kata yang kita bisikkan kepadanya. Jumlah kata yang kita bisikkan biasanya 5 atau 10. Jadi tajam pendengaran penderita kita ukur dari jarak antara pemeriksa dengan penderita dimana penderita masih mampu mendengar 80% dari semua kata yang kita ucapkan (4 dari 5 kata). Kita dapat lebih memastikan tajam pendengaran penderita dengan cara mengulangi pemeriksaan. Misalnya tajam pendengaran penderita 4 meter. Kita maju pada jarak 3 meter dari pasien lalu membisikkan 5 kata dan penderita mampu mendengar semuanya. Kita kemudian mundur pada jarak 4 meter dari penderita lalu membisikkan 5 kata dan penderita masih mampu mendengar 4 kata (80%). Ada 2 jenis penilaian pada tes pendengaran, yaitu : Penilaian kuantitatif seperti pemeriksaan tajam pendengaran pada tes bisik maupun tes bisik modifikasi. Penilaian kualitatif seperti pemeriksaan jenis ketulian pada tes garpu tala dan audiometri. Ada 3 jenis ketulian, yaitu : Tuli sensorineural / sensorineural hearing loss (SNHL). Tuli konduktif / conductive hearing loss (CHL). Tuli sensorineural & konduktif / mix hearing loss (MHL). Tuli sensorineural / sensorineural hearing loss (SNHL) adalah jenis ketulian yang tidak dapat mendengar suara berfrekuensi tinggi. Misalnya tidak dapat mendengar huruf S dari kata susu sehingga penderita mendengarnya uu. Tuli konduktif / conductive hearing loss (CHL) adalah jenis ketulian yang tidak dapat mendengar suara berfrekuensi rendah. Misalnya tidak dapat mendengar huruf U dari kata susu sehingga penderita mendengarnya ss. Ada 3 jenis frekuensi, yaitu : Frekuensi rendah. Meliputi 16 Hz, 32 Hz, 64 Hz, dan 128 Hz. Frekuensi normal. Frekuensi yang dapat didengar oleh manusia berpendengaran normal. Meliputi 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz. Frekuensi tinggi. Meliputi 4096 Hz dan 8192 Hz. Tes Bisik Modifikasi Tes bisik modifikasi merupakan hasil perubahan tertentu dari tes bisik. Tes bisik modifikasi kita gunakan sebagai skrining pendengaran dari kelompok orang berpendengaran normal dengan kelompok orang berpendengaran abnormal dari sejumlah besar populasi. Misalnya tes kesehatan pada penerimaan CPNS. Cara kita melakukan tes bisik modifikasi, yaitu : Kita melakukannya dalam ruangan kedap suara. Kita membisikkan 10 kata dengan intensitas suara lebih kecil dari tes bisik konvensional

karena jaraknya juga lebih dekat dari jarak pada tes bisik konvensional. Cara kita memperlebar jarak dengan penderita yaitu dengan menolehkan kepala kita atau kita berada dibelakang penderita sambil melakukan masking (menutup telinga penderita yang tidak kita periksa dengan menekan tragus penderita ke arah meatus akustikus eksternus). Pendengaran penderita normal bilamana penderita masih bisa mendengar 80% dari semua kata yang kita bisikkan. Tes Garpu Tala Ada 4 jenis tes garpu tala yang bisa kita lakukan, yaitu : Tes batas atas & batas bawah. Tes Rinne. Tes Weber. Tes Schwabach. Tes Batas Atas & Batas Bawah Tujuan kita melakukan tes batas atas & batas bawah yaitu agar kita dapat menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar pasien dengan hantaran udara pada intensitas ambang normal. Cara kita melakukan tes batas atas & batas bawah, yaitu : Semua garpu tala kita bunyikan satu per satu. Kita bisa memulainya dari garpu tala berfrekuensi paling rendah sampai garpu tala berfrekuensi paling tinggi atau sebaliknya. Cara kita membunyikan garpu tala yaitu dengan memegang tangkai garpu tala lalu memetik secara lunak kedua kaki garpu tala dengan ujung jari atau kuku kita. Bunyi garpu tala terlebih dahulu didengar oleh pemeriksa sampai bunyinya hampir hilang. Hal ini untuk mendapatkan bunyi berintensitas paling rendah bagi orang normal / nilai normal ambang. Secepatnya garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus pasien pada jarak 1-2 cm secara tegak dan kedua kaki garpu tala berada pada garis hayal yang menghubungkan antara meatus akustikus eksternus kanan dan kiri. Ada 3 interpretasi dari hasil tes batas atas & batas bawah yang kita lakukan, yaitu : Normal. Jika pasien dapat mendengar garpu tala pada semua frekuensi. Tuli konduktif. Batas bawah naik dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi berfrekuensi rendah. Tuli sensorineural. Batas atas turun dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi berfrekuensi tinggi. Kesalahan interpretasi dapat terjadi jika kita membunyikan garpu tala terlalu keras sehingga kita tidak dapat mendeteksi pada frekuensi berapa pasien tidak mampu lagi mendengar bunyi. Tes Rinne

Tujuan kita melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 cara kita melakukan tes Rinne, yaitu : Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan di depan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes Rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya. Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tankainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garpu tala di depan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garpu tala di depan meatus akustikus eksterna lebih keras daripada di belakang meatus akustikus eksterna (planum mastoid). Tes Rinne positif jika pasien mendengarnya lebih keras. Sebaliknya tes Rinne negatif jika pasien mendengarnya lebih lemah. Ada 3 interpretasi dari hasil tes Rinne yang kita lakukan, yaitu : Normal. Jika tes Rinne positif. Tuli konduktif. Jika tes Rinne negatif. Tuli sensorineural. Jika tes Rinne positif. Interpretasi tes Rinne dapat false Rinne baik pseudo positif dan pseudo negatif. Hal ini dapat terjadi manakala telinga pasien yang tidak kita tes menangkap bunyi garpu tala karena telinga tersebut pendengarannya jauh lebih baik daripada telinga pasien yang kita periksa. Kesalahan pemeriksaan pada tes Rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan garpu tala tidak tegak lurus, tangkai garpu tala mengenai rambut pasien dan kaki garpu tala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal. Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garpu tala saat kita menempatkan garpu tala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garpu tala sudah berhenti saat kita memindahkan garpu tala di depan meatus akustikus eksterna. Tes Weber Tujuan kita melakukan tes Weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes Weber yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis median (dahi, verteks, dagu, atau gigi insisivus) dengan kedua kakinya berada pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras.

Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras pada 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua telinga pasien sama-sama tidak mendengar atau sama-sama mendengar maka berarti tidak ada lateralisasi. Ada 3 interpretasi dari hasil tes Weber yang kita lakukan, yaitu : Normal. Jika tidak ada lateralisasi. Tuli konduktif. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sakit. Tuli sensorineural. Jika pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat. Misalnya terjadi lateralisasi ke kanan maka ada 5 kemungkinan yang bisa terjadi pada telinga pasien, yaitu : Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri normal. Telinga kanan dan telinga kiri mengalami tuli konduktif tetapi telinga kanan lebih parah. Telinga kiri mengalami tuli sensorineural sedangkan telinga kanan normal. Telinga kiri dan telinga kanan mengalami tuli sensorineural tetapi telinga kiri lebih parah. Telinga kanan mengalami tuli konduktif sedangkan telinga kiri mengalami tuli sensorineural. Tes Schwabach Tujuan kita melakukan tes Schwabach adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara pemeriksa dengan pasien. Cara kita melakukan tes Schwabach yaitu membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Setelah bunyinya tidak terdengar oleh pemeriksa, segera garpu tala tersebut kita pindahkan dan letakkan tegak lurus pada planum mastoid pasien. Apabila pasien masih bisa mendengar bunyinya berarti Scwabach memanjang. Sebaliknya jika pasien juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek atau normal. Cara kita memilih apakah Schwabach memendek atau normal yaitu mengulangi tes Schwabach secara terbalik. Pertama-tama kita membunyikan garpu tala 512 Hz lalu meletakkannya tegak lurus pada planum mastoid pasien. Setelah pasien tidak mendengarnya, segera garpu tala kita pindahkan tegak lurus pada planum mastoid pemeriksa. Jika pemeriksa juga sudah tidak bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach normal. Sebaliknya jika pemeriksa masih bisa mendengar bunyinya berarti Schwabach memendek. Ada 3 interpretasi dari hasil tes Schwabach yang kita lakukan, yaitu : Normal. Schwabch normal. Tuli konduktif. Schwabach memanjang. Tuli sensorineural. Schwabach memendek. Kesalahan pemeriksaan pada tes Schwabach dapat saja terjadi. Misalnya tangkai garpu tala tidak berdiri dengan baik, kaki garpu tala tersentuh, atau pasien lambat memberikan isyarat tentang hilangnya bunyi.

Tuli Konduksi Tes Pendengaran Tuli Sensori Neural Tidak dengar huruf lunak Dengar huruf desis Tes Bisik Dengar huruf lunak Tidak dengar huruf desis Normal Batas Atas Menurun Naik Batas Bawah Normal Negatif Tes Rinne Positif, false positif / false negatif Lateralisasi ke sisi sakit Tes Weber Lateralisasi ke sisi sehat Memanjang Tes Schwabach Memendek Daftar Pustaka Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000. Technorati Tags: audiometri, garpu tala, rinne, weber, schwabach

December 29, 2007

Otitis Eksterna
Posted by hennykartika under telinga 1 Comment Otitis Eksterna Oleh : Muhammad al-Fatih II Otitis eksterna adalah radang liang telinga akibat infeksi bakteri. Ada 2 jenis yaitu otitis eksterna akut dan otitis eksterna kronik. Otitis eksterna akut terbagi atas 2 yaitu otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) dan otitis eksterna difus. Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya otitis eksterna, yaitu : Derajat keasaman (pH). pH basa mempermudah terjadinya otitis eksterna. pH asam berfungsi sebagai protektor terhadap kuman. Udara. Udara yang hangat dan lembab lebih memudahkan kuman bertambah banyak. Trauma. Trauma ringan misalnya setelah mengorek telinga. Berenang. Perubahan warna kulit liang telinga dapat terjadi setelah terkena air. 1. Otitis Eksterna Akut Otitis Eksterna Sirkumskripta (Furunkel = Bisul)

Otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) adalah infeksi pada 1/3 luar liang telinga, khususnya adneksa kulit, yakni pilosebaseus (folikel rambut & kelenjar sebaseus) dan kelenjar serumen akibat infeksi bakteri Staphylococcus aureus & Staphyloccus albus. Gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul), yaitu : Nyeri hebat. Nyeri ini tidak sesuai dengan besarnya furunkel (bisul). Nyeri timbul saat kita menekan perikondrium karena jaringan ikat longgar tidak terkandung dibawah kulit. Gerakan membuka mulut juga menjadi pemicu nyeri karena adanya sendi temporomandibula. Gangguan pendengaran. Akibat furunkel (bisul) yang sudah besar dan menyumbat liang telinga. Terapi otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul) yang sudah membentuk abses, yaitu : Aspirasi. Lakukan aspirasi steril untuk mengeluarkan nanah. Antibiotik topikal. Berikan salep antibiotik misalnya polymixin B dan bacitracin. Antiseptik. Berikan asam asetat 2-5% dalam alkohol 2%. Insisi. Lakukan pada furunkel (bisul) yang berdinding tebal. Pasang salir (drain) untuk mengalirkan nanah. Antibiotik sistemik. Biasanya kita tidak perlukan. Obat simptomatik. Berikan analgetik dan penenang. Otitis Eksterna Difus Otitis eksterna difus adalah infeksi pada 2/3 dalam liang telinga akibat infeksi bakteri. Umumnya bakteri penyebab yaitu Pseudomonas. Bakteri penyebab lainnya yaitu Staphylococcus albus, Escheria coli, dan sebagainya. Kulit liang telinga terlihat hiperemis dan udem yang batasnya tidak jelas. Tidak terdapat furunkel (bisul). Gejalanya sama dengan gejala otitis eksterna sirkumskripta (furunkel = bisul). Kandangkadang kita temukan sekret yang berbau namun tidak bercampur lendir (musin). Lendir (musin) merupakan sekret yang berasal dari kavum timpani dan kita temukan pada kasus otitis media. Terapi otitis eksterna difus, yaitu : Tampon. Berikan tampon yang mengandung antibiotik. Antibiotik sistemik. Kadang-kadang perlu kita berikan. 2. Otitis Eksterna Kronik Otitis eksterna kronik adalah infeksi liang telinga yang berlangsung lama dan ditandai oleh terbentuknya jaringan parut (sikatriks). Terbentuknya jaringan ini menyebabkan liang telinga menyempit. Otitis eksterna kronik dapat disebabkan oleh : Pengobatan. Pengobatan infeksi bakteri dan jamur yang tidak baik. Trauma berulang.

Benda asing. Alat bantu dengar (hearing aid). Penggunaan cetakan (mould) pada hearing aid. Terapi otitis eksterna kronik dengan operasi rekonstruksi liang telinga. Daftar Pustaka Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Technorati Tags: OE, otitis eksterna, furunkel, otitis

December 29, 2007

Otomikosis
Posted by hennykartika under telinga Leave a Comment Otomikosis Oleh : Muhammad al-Fatih II Otomikosis adalah radang liang telinga akibat infeksi jamur. Jamur yang paling sering menyebabkan otomikosis yaitu Aspergilus. Kadang-kadang Candida albicans juga menjadi penyebabnya. Timbulnya otomikosis dipermudah oleh keadaan lingkungan liang telinga yang sangat lembab. Otomikosis kadang-kadang tidak bergejala. Namun ada 2 gejala yang paling sering kita temukan, yaitu : Gatal. Rasa gatal di liang telinga. Penuh. Rasa penuh di liang telinga. Ada 2 cara terapi pada otomikosis, yaitu : Asam asetat. Berikan larutan asam asetat 2-5% dalam alkohol. Teteskan ke dalam liang telinga. Anti jamur. Salep anti jamur kadang-kadang kita berikan untuk mengatasi otomikosis. Daftar Pustaka Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

Technorati Tags: otomikosis, otitis, jamur

December 29, 2007

Otitis Media
Posted by hennykartika under telinga Leave a Comment Otitis Media Oleh : Muhammad al-Fatih II Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh rongga telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas : Otitis media supuratif : otitis media supuratif akut (OMA) & otitis media supuratif kronik (OMSK). Otitis media non supuratif (otitis media serosa, sekretoria, musinosa atau efusi/OME) : otitis media serosa akut (barotrauma) & otitis media serosa kronik (aerotitis). Otitis media spesifik : otitis media tuberkulosa & otitis media sifilitika. Otitis media adhesiva. Technorati Tags: OMA, OME, otitis, mastoid

December 29, 2007

Otitis Media Akut


Posted by hennykartika under telinga [5] Comments Otitis Media Supuratif Akut (OMA) Oleh : Muhammad al-Fatih II Otitis media supuratif akut (OMA) adalah otitis media yang berlangsung selama 3 minggu atau kurang karena infeksi bakteri piogenik. Bakteri piogenik sebagai penyebabnya yang tersering yaitu Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus aureus, dan Pneumokokus. Kadang-kadang bakteri penyebabnya yaitu Hemofilus influenza, Escheria colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, Pseudomonas aerugenosa. Hemofilus influenza merupakan bakteri yang paling sering kita temukan pada pasien anak berumur dibawah 5 tahun.

otitis media adalah infeksi pada rongga telinga tengah , sering diderita oleh bayi dan anak-anak, penyebabnya infeksi virus atau bakteri. Pada penyakit bawaan spt down syndrome dan anak dgn alergi sering terjadi. Terapi antibiotika dan kunjungan ke dr. tht dalam proses perbaikan sangat disarankan. Komplikasi yang bisa timbul jika otitis media tidak segera diobati adalah mastoiditis, perforasi gendang telia dgn cairan yang terus menerus keluar. Komplikasi lebih lanjut seperti infeksi ke otak walau jarang masih mungkin terjadi, sumbatan pembuluh darah akibat tromboemboli juga bisa terjadi. Disarankan segera bawa anak anda bila rewel dan memegang-megang telinga, tidak nyaman merebah demam dan keluar cairan pada telinga. Bila anda memeriksakan secara dini otitis media bisa dicegah sebelum memberikan kerusakan lebih lanjut dengan paracentesis atau miringotomi. Faktor pencetus terjadinya otitis media supuratif akut (OMA), yaitu : Infeksi saluran napas atas. Otitis media supuratif akut (OMA) dapat didahului oleh infeksi saluran napas atas yang terjadi terutama pada pasien anak-anak. Gangguan faktor pertahanan tubuh. Faktor pertahanan tubuh seperti silia dari mukosa tuba Eustachius, enzim, dan antibodi. Faktor ini akan mencegah masuknya mikroba ke dalam telinga tengah. Tersumbatnya tuba Eustachius merupakan pencetus utama terjadinya otitis media supuratif akut (OMA). Usia pasien. Bayi lebih mudah menderita otitis media supuratif akut (OMA) karena letak tuba Eustachius yang lebih pendek, lebih lebar dan lebih horisontal. Stadium Otitis Media Supuratif Akut (OMA) Ada 5 stadium otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa telinga tengah, yaitu : Oklusi tuba Eustachius. Hiperemis (pre supurasi). Supurasi. Perforasi. Resolusi. 1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius Stadium oklusi tuba Eustachius terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membrana timpani akibat tekanan negatif dalam telinga tengah karena terjadinya absorpsi udara. Selain retraksi, membrana timpani kadang-kadang tetap normal atau hanya berwarna keruh pucat atau terjadi efusi. Stadium oklusi tuba Eustachius dari otitis media supuratif akut (OMA) sulit kita bedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan virus dan alergi. 2. Stadium Hiperemis (Pre Supurasi)

Stadium hiperemis (pre supurasi) akibat pelebaran pembuluh darah di membran timpani yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. 3. Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen (nanah). Selain itu edema pada mukosa telinga tengah makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Ketiganya menyebabkan terjadinya bulging (penonjolan) membrana timpani ke arah liang telinga luar. Pasien akan tampak sangat sakit, nadi & suhu meningkat dan rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Anak selalu gelisah dan tidak bisa tidur nyenyak. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan ruptur membran timpani akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan. Nekrosis ini disebabkan oleh terjadinya iskemia akibat tekanan kapiler membran timpani karena penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil. Keadaan stadium supurasi dapat kita tangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan membuat luka insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan mudah menutup kembali sedangkan ruptur lebih sulit menutup kembali. Bahkan membran timpani bisa tidak menutup kembali jika membran timpani tidak utuh lagi. 4. Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadangkadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu menurun dan bisa tidur nyenyak. Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret (nanah) tetap berlangsung selama lebih 3 minggu maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih 1,5-2 bulan maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (OMSK). 5. Stadium Resolusi

Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen tidak ada lagi. Stadium ini berlangsung jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Stadium ini didahului oleh sekret yang berkurang sampai mengering. Apabila stadium resolusi gagal terjadi maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik (OMSK). Kegagalan stadium ini berupa membran timpani tetap perforasi dan sekret tetap keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut (OMA) dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani. Gejala Klinik Otitis Media Supuratif Akut (OMA) Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) tergantung dari stadium penyakit dan umur penderita. Gejala stadium supurasi berupa demam tinggi dan suhu tubuh menurun pada stadium perforasi. Gejala klinik otitis media supuratif akut (OMA) berdasarkan umur penderita, yaitu : Bayi dan anak kecil. Gejalanya : demam tinggi bisa sampai 390C (khas), sulit tidur, tibatiba menjerit saat tidur, mencret, kejang-kejang, dan kadang-kadang memegang telinga yang sakit. Anak yang sudah bisa bicara. Gejalanya : biasanya rasa nyeri dalam telinga, suhu tubuh tinggi, dan riwayat batuk pilek. Anak lebih besar dan orang dewasa. Gejalanya : rasa nyeri dan gangguan pendengaran (rasa penuh dan pendengaran berkurang). Terapi Otitis Media Supuratif Akut (OMA) Terapi otitis media supuratif akut (OMA) tergantung stadium penyakit, yaitu : Oklusi tuba Eustachius. Terapinya : obat tetes hidung & antibiotik. Hiperemis (pre supurasi). Terapinya : antibiotik, obat tetes hidung, analgetik & miringotomi. Supurasi. Terapinya : antibiotik & miringotomi. Perforasi. Terapinya : antibiotik & obat cuci telinga. Resolusi. Terapinya : antibiotik. Aturan pemberian obat tetes hidung : Bahan. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia dibawah 12 tahun. HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak berusia diatas 12 tahun dan orang dewasa. Tujuan. Untuk membuka kembali tuba Eustachius yang tersumbat sehingga tekanan negatif dalam telinga tengah akan hilang. Aturan pemberian obat antibiotik :

Stadium oklusi. Berikan pada otitis media yang disebabkan kuman bukan otitis media yang disebabkan virus dan alergi (otitis media serosa). Stadium hiperemis (pre supurasi). Berikan golongan penisilin atau ampisilin selama minimal 7 hari. Golongan eritromisin dapat kita gunakan jika terjadi alergi penisilin. Penisilin intramuskuler (IM) sebagai terapi awal untuk mencapai konsentrasi adekuat dalam darah. Hal ini untuk mencegah terjadinya mastoiditis, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Berikan ampisilin 50-100 mg/kgbb/hr yang terbagi dalam 4 dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgbb/hr yang terbagi dalam 3 dosis pada pasien anak. Stadium resolusi. Lanjutkan pemberiannya sampai 3 minggu bila tidak terjadi resolusi. Tidak terjadinya resolusi dapat disebabkan berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Curigai telah terjadi mastoiditis jika sekret masih banyak setelah kita berikan antibiotik selama 3 minggu. Aturan tindakan miringotomi : Stadium hiperemis (pre supurasi). Bisa kita lakukan bila terlihat hiperemis difus. Stadium supurasi. Lakukan jika membran timpani masih utuh. Keuntungannya yaitu gejala klinik lebih cepat hilang dan ruptur membran timpani dapat kita hindari. Aturan pemberian obat cuci telinga : Bahan. Berikan H2O22 3% selama 3-5 hari. Efek. Bersama pemberian antibiotik yang adekuat, sekret akan hilang dan perforasi membran timpani akan menutup kembali dalam 7-10 hari. Komplikasi Otitis Media Supuratif Akut (OMA) Ada 3 komplikasi otitis media supuratif akut (OMA), yaitu : Abses subperiosteal. Meningitis. Abses otak. Dewasa ini, ketiga komplikasi diatas lebih banyak disebabkan oleh otitis media supuratif kronik (OMSK) karena maraknya pemberian antibiotik pada pasien otitis media supuratif akut (OMA). Daftar Pustaka Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Technorati Tags: OMA, otitis Media Akut, Membrana timpani, stadium

December 29, 2007

Otitis Media Supuratif Kronik


Posted by hennykartika under telinga [2] Comments Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Oleh : Muhammad al-Fatih II Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah otitis media yang berlangsung lebih 2 bulan karena infeksi bakteri piogenik dan ditandai oleh perforasi membran timpani dan pengeluaran sekret. Dulu kita kenal sebagai otitis media perforata (OMP). Orang awam biasa menyebutnya congek. Ada 3 tipe perforasi membran timpani berdasarkan letaknya, yaitu : Perforasi sentral (sub total). Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran timpani. Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani. Perforasi marginal. Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik. Letak perforasi di pars flaksida membran timpani. Sekret yang keluar dari telinga tengah ke telinga luar dapat berlangsung terus-menerus atau hilang timbul. Konsistensinya bisa encer atau kental. Warnanya bisa kuning atau berupa nanah. Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan kelanjutan dari otitis media supuratif sub akut dan otitis media supuratif akut (OMA). Hal ini disebabkan oleh : Terapi. Terapi lambat diberikan atau terapi tidak adekuat. Kuman. Virulensi kuman tinggi. Pertahanan. Daya tahan tubuh rendah akibat gizi kurang. Higiene. Higienitas yang buruk. Jenis otitis media supuratif kronik (OMSK), yaitu : Otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna / mukosa / aman. Otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna / tulang / bahaya. Otitis media supuratif kronik (OMSK) aktif. Sekret keluar dari kavum timpani. Otitis media supuratif kronik (OMSK) tenang. Kavum timpani basah atau kering. Tabel Perbedaan Antara Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Benigna & Maligna Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Benigna Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Maligna Proses peradangan terbatas pada mukosa. Proses peradangan tidak terbatas pada mukosa. Proses peradangan tidak mengenai tulang. Proses peradangan mengenai tulang. Perforasi membran timpani tipe sentral. Perforasi membran timpani paling sering tipe marginal & atik. Kadang-kadang tipe sub total (sentral) dengan kolesteatoma. Jarang terjadi komplikasi yang berbahaya. Sering terjadi komplikasi yang berbahaya. Kolesteatoma tidak ada. Kolesteatoma ada.

Terapi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) Terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) memiliki beberapa kesulitan. Diantaranya membutuhkan waktu yang lama, gejala sering berulang, sekret yang keluar tidak cepat kering dan sekret yang selalu kambuh. Masalah ini dapat disebabkan : Perforasi membran timpani. Perforasi membran timpani yang permanen menyebabkan telinga tengah terpapar langsung & terus-menerus oleh dunia luar. Sumber infeksi. Sumber infeksi yang masih ada dapat terjadi pada nasofaring, faring, hidung dan sinus paranasalis. Jaringan patologik. Jaringan patologik yang ireversibel telah terbentuk dalam rongga mastoid. Gizi & higiene. Status gizi dan higiene pasien yang kurang. Terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) tergantung dari jenisnya. Prinsip terapi otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna dengan cara konservatif (medikamentosa) sedangkan otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna dengan cara pembedahan. Ada 3 cara terapi konservatif (medikamentosa) otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna, yaitu : Obat pencuci telinga. Bahannya H2O2 3%. Berikan selama 3-5 hari. Pengobatan ini kita berikan bila sekret telinga keluar terus-menerus. Obat tetes telinga. Lanjutkan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik & kortikosteroid setelah sekret yang keluar telah berkurang. Jangan berikan selama lebih 1-2 minggu secara berturut-turut. Juga hindari pemberiannya pada otitis media supuratif kronik (OMSK) tenang. Hal ini disebabkan semua antibiotik tetes telinga bersifat ototoksik. Obat antibiotik. Berikan antibiotik oral golongan ampisilin atau eritromisin sebelum hasil tes resistensi obat kita terima. Berikan eritromisin jika pasien alergi terhadap golongan penisilin. Berikan ampisilin asam klavulanat bila terjadi resistensi ampisilin. Selain terapi konservatif (medikamentosa), tindakan pembedahan dapat pula kita lakukan pada otitis media supuratif kronik (OMSK) benigna. Tindakan ini disebut miringoplasti atau timpanoplasti. Tujuannya antara lain : Menghentikan infeksi permanen. Mencegah komplikasi dan kerusakan pendengaran yang lebih berat. Memperbaiki perforasi membran timpani dan fungsi pendengaran. Miringoplasti dan timpanoplasti kita lakukan jika sekret telah kering namun perforasi membran timpani masih ada. Juga setelah kita melakukan observasi selama 2 bulan. Tanda yang menunjukkan adanya sumber infeksi, yaitu : Sekret masih ada. Infeksi berulang. Cara mengatasi sumber infeksi, yaitu :

Pengobatan. Pembedahan : adenoidektomi & tonsilektomi. Tindakan pembedahan pada otitis media supuratif kronik (OMSK) maligna yang sering dilakukan yaitu mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Adapun terapi konservatif (medikamentosa) hanya bersifat sementara dan kita berikan sebelum melakukan tindakan pembedahan. Jika abses subperiosteal retroaurikuler ada, lakukan insisi abses diwaktu yang berlainan, sebelum melakukan operasi mastoidektomi. Daftar Pustaka Sosialisman & Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. dr. H. Efiaty Arsyad Soepardi, Sp.THT & Prof. dr. H. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT (editor). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. Technorati Tags: OMSK, OMK, mastoidektomi, otitis

December 29, 2007

Pemeriksaan telinga
Posted by hennykartika under telinga Leave a Comment Anatomi, Histologi & Patologi Telinga Oleh : Muhammad al-Fatih II Anatomi Telinga Ada 3 struktur anatomi telinga yang penting kita ketahui pada pemeriksaan telinga, yaitu : Aurikulum. Meatus akustikus eksterna. Membrana timpani. Aurikulum terdiri atas 2 bagian, yaitu : Bagian yang bertulang rawan terdiri atas heliks, antiheliks, tragus, antitragus, konka dan sulkus retroaurikuler. Bagian yang tidak bertulang rawan yaitu lobulus. Meatus akustikus eksternus terdiri atas 2 bagian, yaitu : Pars kartilagenus. Pars osseus. Pars kartilagenus dari meatus akustikus eksterna merupakan bagian lateral dari meatus

akustikus eksterna dan sebagai kelanjutan dari aurikulum. Struktur ini memiliki rambut, kelenjar sebaseus dan kelenjar serumenalis. Kulitnya melekat erat pada perikondrium. Pars osseus dari meatus akustikus eksterna merupakan wilayah medial dari meatus akustikus eksterna dan sebagai bagian dari os temporale. Struktur ini tidak berambut dan memiliki bagian sempit yang disebut ismus meatus akustikus eksterna. Juga tidak mobil terhadap jaringan disekitarnya. Membrana timpani terdiri atas 2 bagian, yaitu : Pars tensa. Pars flaksida. Pars tensa dari membrana timpani terdiri atas 6 bagian, yaitu : Manubrium mallei. Umbo. Prosesus brevis. Refleks cahaya. Plika anterior. Plika posterior. Pars flaksida dari membrana timpani yaitu membrana Schrapnelli. Ciri-ciri membrana timpani, yaitu : Posisi. Membrana timpani membentuk sudut 450 terhadap bidang horisontal dan sagital. Tepi bawahnya 6 mm lebih ke medial daripada tepi atas. Letaknya lebih horisontal & frontal pada bayi dibawah 1 tahun. Warna. Membrana timpani berwarna putih mengkilat seperti mutiara. Ukuran. Tingginya 9-10 mm & lebarnya 8-9 mm. Bentuk. Membrana timpani berbentuk oval dan lebih condong ke anterior. Histologi Telinga Pars tensa membrana timpani terdiri atas 3 lapisan, yaitu : Lapisan luar. Berupa kulit tipis sebagai lanjutan dari kulit meatus akustikus eksternus. Lapisan medial. Berupa mukosa sebagai lanjutan dari mukosa yang melapisi kavum timpani. Lapisan tengah. Berupa membrana propia. Bagian lateralnya tersusun oleh serat radier sedangkan bagian medialnya tersusun oleh serat sirkuler. Serat sirkuler inilah yang menyebabkan pars tensa membrana timpani menjadi tegang. Pars flaksida membrana timpani tidak memiliki membrana propia. Patologi Telinga Ada 4 penyebab terjadinya patologi aurikulum, yaitu :

Kongenital. Misalnya fistula preaurikularis kongenital & mikrotia. Infeksi. Misalnya erisipelas, dermatitis aurikularis, perikondritis & herpes zoster oticus. Trauma. Misalnya othematoma & pseudothematoma. Tumor. Misalnya ateroma. Ada 5 penyebab terjadinya patologi meatus akustikus eksterna, yaitu : Kongenital. Misalnya atresia kongenital & stenosis kongenital. Infeksi. Misalnya furunkel, otitis eksterna difusa & granulasi. Tumor. Misalnya polip, papiloma & karsinoma. Korpus alienum. Serumen. Ada 3 jenis patologi membrana timpani, yaitu : Perubahan warna. Perubahan posisi. Perubahan struktur. Perubahan warna membrana timpani dari putih mengkilat menjadi merah dapat disebabkan oleh hiperemia akibat peradangan. Jamur dapat mengubah warnanya menjadi hitam, kuning atau putih. Selain penyebabnya jamur, perubahan membrana timpani menjadi putih dapat juga disebabkan oleh asidum borikum pulveratum. Ada 2 perubahan posisi membrana timpani yang dapat kita temukan, yaitu : Retraksi. Bombans. Ada 5 efek yang dapat kita amati akibat retraksi membrana timpani, yaitu : Manubrium mallei memendek akibat tertarik ke medial dan posisinya lebih horisontal. Refleks cahaya berubah bentuk atau menghilang. Prosesus brevis menonjol keluar. Plika posterior lebih jelas. Plika anterior tidak tampak akibat tertutup oleh prosesus brevis yang menonjol. Ada 2 efek yang dapat kita amati akibat bombans membrana timpani, yaitu : Bentuknya lebih cembung karena membrana timpani terdorong ke lateral. Warnanya merah. Ada 4 perubahan struktur membrana timpani yang dapat kita temukan, yaitu : Perforasi. Jenisnya terbagi berdasarkan letak dan bentuk perforasi. Ruptur. Penyebabnya trauma dengan bentuk bintang dan terdapat bekuan darah. Sikatriks. Sebagai bekas perforasi yang sudah menutup. Granulasi. Berdasarkan letaknya, perforasi membrana timpani terbagi atas sentral, marginal, dan atik. Sedangkan berdasarkan bentuknya, terbagi atas bulat, oval, jantung, ginjal, subtotal dan total.

Daftar Pustaka Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000.

http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/page/2/

PERIKONDRITIS Pendahuluan Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga yang terjadi apabila suatu trauma atau radang menyebabkan efusi serum atau pus di antara lapisan perikondrium dan kartilago telinga luar (1,2). Umumnya trauma berupa laserasi atau akibat kerusakan yang tidak disengajakan pada pembedahan telinga(1,3,4). Adakalanya perikondritis terjadi setelah suatu memar tanpa adanya hematoma(2). Dalam stage awal infeksi, pinna dapat menjadi merah dan kenyal. Ini diikuti oleh pembengkakan yang general dan membentuk abses subperikondrial dengan pus terkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan dibawahnya. Etiologi Luka akibat terbakar aurikel adalah faktor predisposisi yang paling sering, sehingga 25% dapat terjadi infeksi. Baru-baru ini juga didapatkan peningkatan infeksi yang disebabkan oleh tindik telinga.(5). Karena menindik telinga sekarang sebagian dilakukan di pinna, suatu daerah yang melibatkan porsi kartilago dari aurikel, dapat memberi resiko yang besar untuk terjadinya perikondritis. Infeksi dari Pseudomonas dapat menyebabkan deformitas kosmetik yang berat.(3). Suatu furunkel yang tidak memadai pengobatannya merupakan sumber agen penyebab yang potensial, seperti mikrokokus jenis virulen (Stafilokokus), Streptokokus, atau Pseudomonas aeruginosa.(1, 6). Infeksi juga dapat dapat terjadi pada saat aspirasi dan insisi hematoma auris. Cedera pada kartilago juga dapat disebabkan oleh frostbite.(3). perikondritis juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari pembedahan seperti mastoidectomi atau komplikasi dari hematoma atau otitis eksterna yang disebabkan oleh berenang di air yang terkontaminasi.(6) Anatomi Telinga luar termasuk aurikula atau pinna, dan liang telinga. Telinga luar berfungsi untuk mengumpulkan dan menghantar gelombang bunyi ke struktur-struktur telinga tengah. Aurikel terbentuk dari arkus brakial pertama dan kedua pada hari ke 38 dari kehidupan fetus. Aurikel secara anatomi dikatakan sempurna pada minggu ke 20(3,4). Karena keunikan anatomi aurikula serta konfigurasi liang telinga yang melengkung atau seperti spiral, maka telinga luar mampu melindungi membrana timpani dari trauma, benda asing

dan efek termal.(1) Gambaran klinis Bagian aurikel yang terlibat membengkak, menjadi merah, terasa panas dan sangat nyeri tekan.(1,4,5) Diagnosis Diagnosis Perikondritis seringkali ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosisnya mudah, bagian aurikula yang terlibat membengkak, menjadi merah, terasa panas, dan sangat nyeri tekan. Mungkin terjadi perubahan bentuk yang abnormal pada telinga. Riwayat trauma pada telinga penting untuk mendiagnosis Perikondritis atau Kondritis, karena keduanya merupakan hasil dari luka pada kartilago. Diagnosa Perikondritis tidak akan keliru dengan lepra pada aurikula yang menyebabkan inflamasi dan perubahan bentuk yang kronik dan dapat didiagnosis dengan biopsy. 1,5,6,9 Diagnosis Banding Penyakit lain dimana Perikondritis menjadi alternatif diagnosis termasuk pada penyakit Polikondritis Berulang. Penyakit kedua yang mirip dengan perikondritis adalah Erisipelas. 5,10 Polikondritis Berulang Penyakit yang tidak diketahui etiologinya ini menyebabkan peradangan dan destruksi tulang rawan. Merupakan suatu gangguan tulang rawan generalisata, melibatkan hidung dan telinga pada 80-90% kasus. Deformitas aurikula menyerupai suatu perikondritis akut yang infeksius atau suatu telinga bunga kol (cauliflower ear) yang meradang. Hilangnya tulang rawan menyebabkan telinga menjadi lemas dan timbul deformitas hidung pelana. Peradangan yang bergantian pada kedua telinga (tanpa sebab predisposisi) atau adanya demam memberi kesan gangguan ini. Dapat ditemukan tinitus dan vertigo, demikian pula kehilangan pendengaran akibat kolaps meatus akustikus eksternus. Bila laring, trakea dan bronkus ikut terlibat dapat berakibat suara menjadi serak dan bahkan kematian akibat kolaps dinding laringotrakea dan bronkus.1 Aktivitas penyakit berfluktuasi dan prognosisnya tak dapat diramalkan. Dapat berupa serangan tunggal atau dapat pula serangan berulang selama-bertahun-tahun. Pengobatan berupa salisilat dan steroid pada serangan akut, meskipun terdapat kontroversi mengenai pemberian steroid. Dapson telah digunakan untuk mencegah serangan ulangan. Strukturstruktur yang terserang harus dilindungi dari trauma.1 Erisipelas Erisipelas adalah infeksi pada dermis yang disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus Grup A yang memberikan gejala berupa nyeri, eritema, bengkak, keras, dan panas. Eritema dan pembengkakan tidak mengikuti batas anatomis tapi berbatas tegas. Gejala sistemik berupa demam dan malaise juga dapat ditemukan. Infeksi ini diobati dengan penisilin oral, karena penyakit ini berjalan dengan progresif dan berpotensi mengurangi kualitas hidup, penanganan dibutuhkan sedini mungkin.5 Penatalaksanaan Berikan antibiotik parenteral dan pengobatan topikal untuk infeksi kanalis penyerta. Pilihan obat disesuaikan dengan hasil biakan atau petunjuk lain mengenai organisme yang terlibat. Bila kondisi ini tampaknya meluas dan terdapat adanya bukti-bukti adanya cairan di bawah perikondrium, terdapat indikasi untuk mengeluarkan cairan. Karena tulang rawan tidak memiliki suplai darah langsung bila dipisahkan dari perikondrium,

maka dapat terjadi nekrosis tulang rawan. Dengan demikian, tulang rawan yang nekrosis perlu dieksisi dan drainase dipertahankan.1 Komplikasi Akibat perikondritis dapat terjadi deformitas aurikula yang nyata. Dapat terjadi komplikasi, yaitu tulang rawan hancur dan menciut serta keriput, sehingga terjadi telinga lisut (cauliflower ear).1,2 Prognosis Jika diagnosa ditegakkan dini dan mulai diberikan antibiotik, diharapkan dapat sepenuhnya sembuh. Pada kasus lanjut, dimana infeksi sampai pada kartilago telinga (Kondritis), beberapa bagian telinga mungkin mengalami nekrosis dan mesti dilakukan pembedahan. Akhirnya dibutuhkan bedah plastik untuk mengembalikan bentuk normal telinga.9 Kesimpulan Perikondritis adalah radang pada tulang rawan daun telinga yang terjadi apabila suatu trauma atau radang menyebabkan efusi serum atau pus di antara lapisan perikondrium dan kartilago telinga luar. Bagian aurikel yang terlibat membengkak, menjadi merah, terasa panas dan sangat nyeri tekan. Diagnosis Perikondritis seringkali ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Diagnosis banding dari Perikondritis adalah Polikondritis berulang dan erisipelas. Penatalaksanaan Perikondritis menggunakan antibiotik yang sesuai dengan biakan atau petunjuk lain mengenai organisme yang terlibat. Tindakan bedah dibutuhkan bila ada cairan di bawah perikondrium ataupun terjadi nekrosis pada tulang rawan telinga. Akibat perikondritis ini dapat terjadi deformitas aurikula yang nyata. Jika diagnosa ditegakkan dini dan mulai diberikan antibiotik, diharapkan penyakit ini dapat sepenuhnya sembuh. http://arbaa-fivone.blogspot.com/2009/02/perikondritis-aurikular.html

Kelainan Pada Telinga Luar DEFINISI Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna atau aurikel) dan saluran telinga (meatus auditorius eksternus). Kelainan pada telinga luar meliputi: - penyumbatan - infeksi - cedera - tumor.

PENYUMBATAN Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan menyebabkan gatal-gatal, nyeri serta tuli yang bersifat sementara. Dokter akan membuang serumen dengan cara menyemburnya secara perlahan dengan menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi jika dari telinga keluar nanah, terjadi perforasi gendang telinga atau terdapat infeksi telinga yang berulang, maka tidak dilakukan irigasi. Jika terdapat perforasi gendang telinga, air bisa masuk ke telinga tengah dan kemungkinan akan memperburuk infeksi. Pada keadaan ini, serumen dibuang dengan menggunakan alat yang tumpul atau dengan alat penghisap. Biasanya tidak digunakan pelarut serumen karena bisa menimbulkan iritasi atau reaksi alergi pada kulit saluran telinga, dan tidak mampu melarutkan serumen secara adekuat. Anak-anak sering memasukkan benda-benda kecil ke dalam saluran telinganya, terutama manik-manik, penghapus karet atau kacang-kacangan. Biasanya benda-benda tersebut oleh dokter dikeluarkan dengan bantuan kait yang tumpul. Benda-benda yang masuk terlalu dalam lebih sulit dikeluarkan karena memiliki resiko menimbulkan cedera pada gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Kadang manik-manik dari kaca atau logam dikeluarkan dengan cara irigasi. Jika anak meronta-ronta atau pengeluaran benda sulit dilakukan, bisa dilakukan pembiusan umum. OTITIS EKSTERNA Otitis eksterna adalah suatu infeksi pada saluran telinga.

Infeksi ini bisa menyerang seluruh saluran (otitis eksterna generalisata) atau hanya pada daerah tertentu sebagai bisul (furunkel). Otitis eksterna seringkali disebut sebagai telinga perenang (swimmer's ear). Sejumlah bakteri atau jamur (lebih jarang) bisa menyebabkan otitis eksterna generalisata; bakteri stafilokokus biasanya menyebabkan bisul. Orang-orang tertentu (penderita alergi, psoriasis), eksim atau dermatitis pada kulit kepala) sangat peka terhadap otitis eksterna. Cedera pada saluran telinga ketika sedang membersihkannya atau masuknya air/bahan iritan (misalnya hari spray atau cat rambut) bisa menyebabkan otits eksterna. Saluran telinga bisa membersihkan dirinya sendiri dengan cara membuang sel-sel kulit yang mati dari gendang telinga melalui saluran telinga. Membersihkan saluran telinga dengan cotton bud (kapas pembersih) bisa mengganggu mekanisme pembersihan ini dan bisa mendorong sel-sel kulit yang mati ke arah gendang telinga sehingga kotoran menumpuk disana. Penimbunan sel-sel kulit yang mati dan serumen akan menyebabkan penimbunan air yang masuk ke dalam saluran ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah dan lembut pada saluran telinga lebih mudah terinfeksi oleh bakteri atau jamur. Gejala-gejala dari otitis eksterna generalisata adalah gatal-gatal, nyeri dan keluarnya cairan berbau busuk. Jika saluran telinga membengkak atau terisi oleh nanah dan sel-sel kulit yang mati, maka bisa terjadi gangguan pendengaran. Biasanya jika daun telinga ditarik atau kulit didepan saluran telinga ditekan, akan timbul nyeri. Dengan menggunakan otoskop, kulit pada saluran telinga tampak merah, membengkak dan penuh dengan nanah dan sel-sel kulit yang mati. Bisul menyebabkan nyeri yang hebat. Jika bisul ini pecah, akan keluar darah dan nanah dari telinga. Untuk mengobati otitis eksterna generalisata, pertama-tama dilakukan pembuangan selsel kulit mati yang terinfeksi dari saluran telinga dengan alat penghisap atau kapas kering. Setelah saluran telinga diersihkan, fungsi pendengaran biasanya kembali normal. Biasanya diberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotik selama bebarapa hari. Beberapa tetes teling ada yang mengandung kortikosteroid untuk mengurangi pembengkakan. Kadang diberikan obat tetes telinga yang mengandung asam asetat untuk mengembalikan keasaman pada saluran telinga. Untuk mengurangi nyeri pada 24-48 jam pertama bisa diberikan acetaminophen atau codein. Infeksi yang sudah menyebar keluar saluran telinga (selulitis) diobati dengan antibiotik per-oral (melalui mulut).

Bisul dibiarkan pecah dengan sendirinya karena jika sengaja disayat bisa menyebabkan penyebaran infeksi. Obat tetes telinga yang mengandung antibiotik tidak efektif. Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan bisa dilakukan pengompresan hangat (sebentar saja) dan pemberian obat pereda nyeri.

PERIKONDRITIS Perikondritis adalah suatu infeksi pada tulang rawan (kartilago) telinga luar. Perikondritis bisa terjadi akibat: - cedera - gigitan serangga - pemecahan bisul dengan sengaja. Nanah akan terkumpul diantara kartilago dan lapisan jaringan ikat di sekitarnya (perikondrium). Kadang nanah menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago, menyebabkan kerusakan pada kartilago dan pada akhirnya menyebabkan kelainan bentuk telinga. Meskipun bersifat merusak dan menahun, tetapi perikondritis cenderung hanya menyebabkan gejala-gejala yang ringan. Untuk membuang nanahnya, dibuat sayatan sehingga darah bisa kembali mengalir ke kartilago. Untuk infeksi yang lebih ringan diberikan antibiotik per-oral, sedangkan untuk infeksi yang lebih berat diberikan dalam bentuk suntikan. Pemilihan antibiotik berdasarkan beratnya infeksi dan bakteri penyebabnya. EKSIM Eksim pada telinga merupakan suatu peradangan kulit pada telinga luar dan saluran telinga, yang ditandai dengan gatal-gatal, kemerahan, pengelupasan kulit, kulit yang pecah-pecah serta keluarnya cairan dari telinga. Keadaan ini bisa menyebabkan infeksi pada telinga luar dan saluran telinga. Dioleskan larutan yang mengandung alumunium asetat (larutan Burow). Untuk mengatasi gatal-gatal dan peradangan bisa diberikan krim atau salep corticosteroid. Jika daerah yang terkena mengalami infeksi, bisa diberikan salep atau obat tetes antibiotik.

CEDERA Cedera pada telinga luar (misalnya pukulan tumpul) bisa menyebabkan memar diantara kartilago dan perikondrium. Jika terjadi penimbunan darah di daerah tersebut, maka akan terjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa berwarna ungu kemerahan. Darah yang tertimbun ini (hematoma) bisa menyebabkan terputusnya aliran darah ke kartilago sehingga terjadi perubahan bentuk telinga. Kelainan bentuk ini disebut telinga bunga kol, yang sering ditemukan pada pegulat dan petinju. Untuk membuang hematoma, biasanya digunakan alat penghisap dan penghisapan dilakukan sampai hematoma betul-betul sudah tidak ada lagi (biasanya selama 3-7 hari). Dengan pengobatan, kulit dan perikondrium akan kembali ke posisi normal sehingga darah bisa kembali mencapai kartilago. Jika terjadi robekan pada telinga, maka dilakukan penjahitan dan pembidaian pada kartilagonya. Pukulan yang kuat pada rahang bisa menyebabkan patah tulang di sekitar saluran telinga dan merubah bentuk saluran telinga dan seringkali terjadi penyempitan. Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui pembedahan. TUMOR Tumor pada telinga bisa bersifat jinak atau ganas (kanker). Tumor yang jinak bisa tumbuh di saluran telinga, menyebabkan penyumbatan dan penimbunan kotoran telinga serta ketulian. Contoh dari tumor jinak pada saluran telinga adalah: Kista sebasea (kantong kecil yang terisi sekresi dari kulit) Osteoma (tumor tulang) Keloid (pertumbuhan dari jaringan ikat yang berlebihan setelah terjadinya cedera). Seruminoma (kanker pada sel-sel yang menghasilkan serumen) bisa tumbuh pada sepertia saluran telinga luar dan bisa menyebar. Untuk mengatasinya dilakukan pembedahan untuk mengangkat kanker dan jaringan di sekitarnya. Kanker sel basal dan kanker sel skuamosa seringkali tumbuh di pada telinga luar setelah pemaparan sinar matahari yang lama dan berulang-ulang. Pada stadium dini, bisa diatasi dengan pengangkatan kanker atau terapi penyinaran. Pada stadium lanjut, mungkin perlu dilakukan pengangkatan daerah telinga luar yang

lebih luas. Jika kanker telah menyusup ke kartilago, dilakukan pembedahan. Kanker sel basal dan sel skuamosa juga bisa tumbuh di dalam atau menyebar ke saluran telinga. Keadaan ini diatasi dengan pembedahan untuk mengangkat kanker dan jaringan di sekitarnya yang diikuti dengan terapi penyinaran. http://medicastore.com/penyakit/360/Kelainan_Pada_Telinga_Luar.html

RHINITIS ALERGIKA

Pendahuluan
Background Latar belakang
Rhinitis is defined as inflammation of the nasal membranes 1 and is characterized by a symptom complex that consists of any combination of the following: sneezing, nasal congestion, nasal itching, and rhinorrhea. 2 The eyes, ears, sinuses, and throat can also be involved. Rhinitis didefinisikan sebagai radang selaput hidung 1 dan ditandai oleh gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi berikut ini: bersin, hidung tersumbat, hidung gatal, dan Rhinorrhea. 2 Mata, telinga, sinus, dan tenggorokan juga dapat terlibat. Allergic rhinitis is the most common cause of rhinitis. Alergi rhinitis adalah penyebab paling umum rhinitis. It is an extremely common condition, affecting approximately 20% of the population. Ini adalah kondisi yang sangat umum, mempengaruhi sekitar 20% dari populasi. While allergic rhinitis is not a life-threatening condition, complications can occur and the condition can significantly impair quality of life, 3 , 4 which leads to a number of indirect costs. Sementara rhinitis alergi bukanlah kondisi mengancam kehidupan, komplikasi dapat terjadi dan kondisi secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup, 3, 4 yang mengarah ke sejumlah biaya tidak langsung. The total direct and indirect cost of allergic rhinitis was recently estimated to be $5.3 billion per year. 5 Total biaya langsung dan tidak langsung rhinitis alergi baru-baru ini diperkirakan menjadi $ 5,3 milyar per tahun. 5

Pathophysiology Patofisiologi
Allergic rhinitis involves inflammation of the mucous membranes of the nose, eyes, eustachian tubes, middle ear, sinuses, and pharynx. Rhinitis alergi melibatkan radang selaput lendir hidung, mata, Eustachio tabung, telinga tengah, sinus, dan tenggorokan. The nose invariably is involved, and the other organs are affected in certain individuals. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain yang terkena dampak dalam individuindividu tertentu. Inflammation of the mucous membranes is characterized by a complex interaction of inflammatory mediators but ultimately is triggered by an immunoglobulin E (IgE)mediated response to an extrinsic protein. 6 Radang selaput lendir dicirikan oleh

interaksi yang kompleks mediator peradangan tetapi akhirnya dipicu oleh imunoglobulin E (IgE)-dimediasi respons terhadap protein ekstrinsik. 6 The tendency to develop allergic, or IgE-mediated, reactions to extrinsic allergens (proteins capable of causing an allergic reaction) has a genetic component. Kecenderungan untuk mengembangkan alergi, atau IgE-mediated, reaksi terhadap alergen ekstrinsik (protein yang mampu menyebabkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. In susceptible individuals, exposure to certain foreign proteins leads to allergic sensitization, which is characterized by the production of specific IgE directed against these proteins. Pada individu rentan, pajanan protein asing tertentu menyebabkan sensitisasi alergi, yang ditandai oleh produksi IgE spesifik diarahkan terhadap protein ini. This specific IgE coats the surface of mast cells, which are present in the nasal mucosa. IgE spesifik ini melapisi permukaan sel mast yang terdapat pada mukosa hidung. When the specific protein (eg, a specific pollen grain) is inhaled into the nose, it can bind to the IgE on the mast cells, leading to immediate and delayed release of a number of mediators. 6 , 7 , 8 Ketika protein spesifik (misalnya, butir serbuk sari tertentu) dihirup ke dalam hidung, dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, menyebabkan segera dan menunda pelepasan sejumlah mediator. 6, 7, 8 The mediators that are immediately released include histamine, tryptase, chymase, kinins, and heparin. 7 , 8 The mast cells quickly synthesize other mediators, including leukotrienes and prostaglandin D2. 9 , 10 , 11 These mediators, via various interactions, ultimately lead to the symptoms of rhinorrhea (ie, nasal congestion, sneezing, itching, redness, tearing, swelling, ear pressure, postnasal drip). Mediator yang segera dirilis meliputi histamin, tryptase, chymase, kinins, dan heparin. 7, 8 sel mast cepat yang mensintesis mediator lain, termasuk prostaglandin D2 dan leukotrienes. 9, 10, 11 ini mediator, melalui berbagai interaksi, pada akhirnya mengarah pada gejala Rhinorrhea (yaitu, hidung tersumbat, bersin, gatal, kemerahan, merobek, bengkak, tekanan telinga, postnasal drip). Mucous glands are stimulated, leading to increased secretions. Kelenjar lendir terangsang, mengakibatkan peningkatan sekresi. Vascular permeability is increased, leading to plasma exudation. Permeabilitas vaskular meningkat, yang menyebabkan pengeluaran plasma. Vasodilation occurs, leading to congestion and pressure. Vasodilasi terjadi, yang menyebabkan kemacetan dan tekanan. Sensory nerves are stimulated, leading to sneezing and itching. Sensorik saraf dirangsang, menyebabkan bersin dan gatal. All of these events can occur in minutes; hence, this reaction is called the early, or immediate, phase of the reaction. Semua peristiwa ini dapat terjadi dalam beberapa menit; karenanya, reaksi ini disebut awal, atau langsung, fase reaksi. Over 4-8 hours, these mediators, through a complex interplay of events, lead to the recruitment of other inflammatory cells to the mucosa, such as neutrophils, eosinophils, lymphocytes, and macrophages. 12 This results in continued inflammation, termed the late-phase response. Selama 4-8 jam, mediator ini, melalui interaksi kompleks peristiwa, mengarah pada perekrutan sel inflamasi lainnya ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit, dan makrofag. 12 Hal ini mengakibatkan peradangan berlanjut, disebut akhir tanggapan fase. The symptoms of the late-phase response are similar to those of the early phase, but less sneezing and itching and more congestion and mucus production tend to

occur. 12 The late phase may persist for hours or days. Gejala tahap akhir respons yang mirip dengan fase awal, tetapi kurang bersin dan gatal-gatal dan lebih kemacetan dan produksi lendir cenderung terjadi. 12 fase Almarhum dapat bertahan selama berjam-jam atau hari. Systemic effects, including fatigue, sleepiness, and malaise, can occur from the inflammatory response. Efek sistemik, termasuk kelelahan, kantuk, dan malaise, dapat terjadi dari respon peradangan. These symptoms often contribute to impaired quality of life. Gejala ini sering membantu gangguan kualitas hidup.

Frequency Frekuensi

United States Amerika Serikat


Allergic rhinitis affects approximately 40 million people in the United States. 13 Recent US figures suggest a 20% cumulative prevalence rate. 14 , 15 Rhinitis alergi mempengaruhi sekitar 40 juta orang di Amerika Serikat. 13 Recent AS menyarankan angka kumulatif 20% tingkat prevalensinya. 14, 15

International Internasional
Scandinavian studies have demonstrated a cumulative prevalence rate of 15% in men and 14% in women. 16 The prevalence of allergic rhinitis may vary within and among countries. 17 , 18 , 19 , 20 This may be due to geographic differences in the types and potency of different allergens and the overall aeroallergen burden. Skandinavia penelitian telah menunjukkan angka prevalensi kumulatif 15% pada pria dan 14% pada wanita. 16 Prevalensi alergi rhinitis dapat bervariasi di dalam dan antar negara. 17, 18, 19, 20 Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan geografis dalam jenis dan potensi alergen yang berbeda dan keseluruhan beban aeroallergen.

Mortality/Morbidity Mortalitas / Morbiditas


While allergic rhinitis itself is not life-threatening (unless accompanied by severe asthma or anaphylaxis), morbidity from the condition can be significant. Sementara rhinitis alergi itu sendiri tidak mengancam kehidupan (kecuali jika disertai dengan asma parah atau anafilaksis), morbiditas dari kondisi dapat sangat besar. Allergic rhinitis often coexists with other disorders, such as asthma , and may be associated with asthma exacerbations. 21 , 22 , 23 Rhinitis alergi sering berdampingan dengan gangguan lain, seperti asma, dan dapat berhubungan dengan eksaserbasi asma. 21, 22, 23 Allergic rhinitis is also associated with otitis media , eustachian tube dysfunction , sinusitis , nasal polyps , allergic conjunctivitis , and atopic dermatitis . 1 , 2 , 24 It may also contribute to learning difficulties, sleep disorders, and fatigue. 25 , 26 , 27 Rhinitis alergi juga berhubungan dengan otitis media, tuba estachius disfungsi, sinusitis, polip hidung, konjungtivitis alergi, dan dermatitis atopik. 1, 2, 24 ini juga berkontribusi terhadap kesulitan belajar, gangguan tidur, dan kelelahan. 25, 26, 27

Numerous complications that can lead to increased morbidity or even mortality can occur secondary to allergic rhinitis. Banyak komplikasi yang dapat mengakibatkan peningkatan kesakitan atau bahkan kematian dapat terjadi sekunder alergi rhinitis. Possible complications include otitis media, eustachian tube dysfunction, acute sinusitis, and chronic sinusitis. Kemungkinan komplikasi termasuk otitis media, disfungsi tuba estachius, sinusitis akut, dan sinusitis kronis. Allergic rhinitis can be associated with a number of comorbid conditions, including asthma, atopic dermatitis, and nasal polyps. Alergi rhinitis dapat dikaitkan dengan sejumlah kondisi komorbiditas, termasuk asma, dermatitis atopik, dan polip hidung. Evidence now suggests that uncontrolled allergic rhinitis can actually worsen the inflammation associated with asthma 21 , 22 , 23 or atopic dermatitis. 24 This could lead to further morbidity and even mortality. Sekarang bukti menunjukkan bahwa tak terkendali rhinitis alergi benar-benar dapat memperburuk peradangan yang dihubungkan dengan asma 21, 22, 23 atau atopic dermatitis. 24 Hal ini bisa mengakibatkan lebih kesakitan dan bahkan kematian. Allergic rhinitis can frequently lead to significant impairment of quality of life. Rhinitis alergi sering dapat mengakibatkan gangguan signifikan kualitas hidup. Symptoms such as fatigue, drowsiness (due to the disease or to medications), and malaise can lead to impaired work and school performance, missed school or work days, and traffic accidents. Gejala seperti kelelahan, mengantuk (karena penyakit atau obat-obatan), dan malaise dapat menyebabkan gangguan kerja dan kinerja sekolah, sekolah atau kehilangan hari kerja, dan kecelakaan lalu lintas. The overall cost (direct and indirect) of allergic rhinitis was recently estimated to be $5.3 billion per year. 5 Biaya keseluruhan (langsung dan tidak langsung) dari rhinitis alergi baru-baru ini diperkirakan menjadi $ 5,3 milyar per tahun. 5

Race Race
Allergic rhinitis occurs in persons of all races. Rhinitis alergi terjadi pada orang-orang dari semua ras. Prevalence of allergic rhinitis seems to vary among different populations and cultures, which may be due to genetic differences, geographic factors or environmental differences, or other population-based factors. Prevalensi rhinitis alergi tampaknya bervariasi di antara populasi dan budaya yang berbeda, yang mungkin disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor-faktor geografis atau perbedaan lingkungan, atau faktor-faktor berdasarkan populasi.

Sex Sex
In childhood, allergic rhinitis is more common in boys than in girls, but in adulthood, the prevalence is approximately equal between men and women. Masa kanak-kanak, rhinitis alergi lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan, tetapi di masa dewasa, prevalensi kira-kira sama antara laki-laki dan perempuan.

Age Usia
Onset of allergic rhinitis is common in childhood, adolescence, and early adult years, with a mean age of onset 8-11 years, but allergic rhinitis may occur in persons of any age. Serangan alergi rhinitis adalah umum pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa awal tahun, dengan rata-rata onset usia 8-11 tahun, tetapi alergi rhinitis dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia. In 80% of cases, allergic rhinitis develops by age 20 years. 28 The prevalence of allergic rhinitis has been reported to be as high as 40% in children, subsequently decreasing with age. 14 , 15 In the geriatric population, rhinitis is less commonly allergic in nature. Dalam 80% kasus, alergi rhinitis berkembang dengan usia 20 tahun. 28 Prevalensi rhinitis alergi telah dilaporkan setinggi 40% pada anak-anak, kemudian menurun seiring bertambahnya usia. 14, 15 Dalam populasi geriatri, rhinitis kurang umum alergi di alam.

Clinical Klinis
History Sejarah
Obtaining a detailed history is important in the evaluation of allergic rhinitis. Perolehan sejarah yang rinci adalah penting dalam evaluasi alergi rhinitis. Important elements include an evaluation of the nature, duration, and time course of symptoms; possible triggers for symptoms; response to medications; comorbid conditions; family history of allergic diseases; environmental exposures; occupational exposures; and effects on quality of life. Unsur penting meliputi evaluasi sifat, durasi, dan waktu saja gejala; mungkin pemicu gejala; respons terhadap obat-obatan; kondisi komorbiditas; riwayat keluarga penyakit alergi; eksposur lingkungan; kerja eksposur dan efek terhadap kualitas hidup. A thorough history may help identify specific triggers, suggesting an allergic etiology for the rhinitis. Sejarah menyeluruh dapat membantu mengidentifikasi memicu tertentu, menunjukkan adanya etiologi untuk alergi rhinitis. Symptoms that can be associated with allergic rhinitis include sneezing, itching (of nose, eyes, ears, palate), rhinorrhea, postnasal drip, congestion, anosmia, headache, earache, tearing, red eyes, eye swelling, fatigue, drowsiness, and malaise. 2 Gejala yang dapat berhubungan dengan alergi rhinitis meliputi bersin, gatal-gatal (hidung, mata, telinga, langit-langit), Rhinorrhea, postnasal drip, kemacetan, anosmia, sakit kepala, sakit telinga, merobek, mata merah, mata bengkak, kelelahan, mengantuk, dan malaise . 2

Symptoms and chronicity Gejala dan chronicity o Determine the age of onset of symptoms and whether symptoms have been present continuously since onset. Tentukan usia onset gejala dan gejala apakah terus-menerus telah hadir sejak awal. While the onset of allergic rhinitis can occur well into adulthood, most patients develop symptoms by age 20 years. 28 Sementara serangan alergi rhinitis dapat terjadi dengan baik sampai dewasa, sebagian besar pasien menunjukkan gejala pada umur 20 tahun. 28

Determine the time pattern of symptoms and whether symptoms occur at a consistent level throughout the year (ie, perennial rhinitis), only occur in specific seasons (ie, seasonal rhinitis), or a combination of the two. Tentukan pola waktu gejala dan apakah gejala-gejala muncul pada tingkat yang konsisten sepanjang tahun (yaitu, abadi rhinitis), hanya terjadi pada musim tertentu (yakni, rhinitis musiman), atau kombinasi dari keduanya. During periods of exacerbation, determine whether symptoms occur on a daily basis or only on an episodic basis. Selama periode eksaserbasi, menentukan apakah gejala-gejala muncul pada setiap hari atau hanya pada dasar episodik. Determine whether the symptoms are present all day or only at specific times during the day. Tentukan apakah gejala yang hadir sepanjang hari atau hanya pada waktu tertentu di siang hari. This information can help suggest the diagnosis and determine possible triggers. Informasi ini dapat membantu menunjukkan diagnosis dan menentukan mungkin pemicu. o Determine which organ systems are affected and the specific symptoms. Menentukan sistem organ yang terkena dan gejala spesifik. Some patients have exclusive involvement of the nose, while others have involvement of multiple organs. Beberapa pasien memiliki keterlibatan eksklusif hidung, sementara yang lain telah keterlibatan berbagai organ. Some patients primarily have sneezing, itching, tearing, and watery rhinorrhea (the classic hayfever presentation), while others may only complain of congestion. Beberapa pasien terutama yang bersin, gatal, merobek, dan berair Rhinorrhea (demam klasik presentasi), sedangkan yang lain mungkin hanya mengeluh kemacetan. Significant complaints of congestion, particularly if unilateral, might suggest the possibility of structural obstruction, such as a polyp, foreign body, or deviated septum. Signifikan keluhan kemacetan, terutama jika sepihak, mungkin menyarankan kemungkinan obstruksi struktural, seperti polip, benda asing, atau deviated septum. Trigger factors Faktor-faktor pemicu o Determine whether symptoms are related temporally to specific trigger factors. Tentukan apakah gejala temporal terkait faktor pemicu tertentu. This might include exposure to pollens outdoors, mold spores while doing yard work, specific animals, or dust while cleaning the house. Ini mungkin mencakup pemaparan ke luar serbuk sari, jamur spora sambil melakukan pekerjaan halaman, binatang tertentu, atau debu ketika membersihkan rumah. o Irritant triggers such as smoke, pollution, and strong smells can aggravate symptoms in a patient with allergic rhinitis. Memicu iritasi seperti asap, polusi, dan bau kuat dapat memperburuk gejala pada pasien dengan rhinitis alergi. These are also common triggers of vasomotor rhinitis. Ini juga pemicu Common vasomotor rhinitis. Many patients have both allergic rhinitis and vasomotor rhinitis. Banyak pasien memiliki keduanya alergi dan vasomotor rhinitis rhinitis.
o

Other patients may describe year-round symptoms that do not appear to be associated with specific triggers. Pasien lain mungkin menggambarkan sepanjang tahun gejala yang tidak tampak berhubungan dengan pemicu tertentu. This could be consistent with nonallergic rhinitis, but perennial allergens, such as dust mite or animal exposure, should also be considered in this situation. Hal ini bisa konsisten dengan nonallergic rhinitis, tapi abadi alergen, seperti tungau debu atau binatang eksposur, juga harus dipertimbangkan dalam situasi ini. With chronic exposure and chronic symptoms, the patient may not be able to associate symptoms with a particular trigger. Pemaparan kronis dan gejala kronis, pasien mungkin tidak dapat menghubungkan gejala dengan pemicu tertentu. Response to treatment Terhadap pengobatan o Response to treatment with antihistamines supports the diagnosis of allergic rhinitis, although sneezing, itching, and rhinorrhea associated with nonallergic rhinitis can also improve with antihistamines. 29 Respon untuk pengobatan dengan antihistamin mendukung diagnosa rhinitis alergi, meskipun bersin, gatal, dan Rhinorrhea berhubungan dengan rhinitis nonallergic juga dapat meningkatkan dengan antihistamin. 29 o Response to intranasal corticosteroids supports the diagnosis of allergic rhinitis, although some cases of nonallergic rhinitis (particularly the nonallergic rhinitis with eosinophils syndrome [NARES]) also improve with nasal steroids. Respon untuk intranasal kortikosteroid mendukung diagnosa rhinitis alergi, meskipun beberapa kasus nonallergic rhinitis (terutama eosinofil nonallergic rhinitis dengan sindrom [NARES]) juga meningkatkan dengan hidung steroid. Comorbid conditions Kondisi komorbiditas o Patients with allergic rhinitis may have other atopic conditions such as asthma 21 , 22 or atopic dermatitis. 24 Of patients with allergic rhinitis, 20% also have symptoms of asthma. Pasien dengan rhinitis alergi atopik lain mungkin memiliki kondisi seperti asma 21, 22 atau atopic dermatitis. 24 Dari pasien dengan rhinitis alergi, 20% juga memiliki gejala asma. Uncontrolled allergic rhinitis may cause worsening of asthma 23 or even atopic dermatitis. 24 Explore this possibility when obtaining the patient history. Rhinitis alergi tidak terkontrol dapat menyebabkan asma memburuk 23 atau bahkan atopic dermatitis. 24 Explore kemungkinan ini ketika mendapatkan sejarah pasien. o Look for conditions that can occur as complications of allergic rhinitis. Lihat kondisi yang dapat terjadi sebagai komplikasi dari rhinitis alergi. Sinusitis occurs quite frequently. Sinusitis terjadi cukup sering. Other possible complications include otitis media, sleep disturbance or apnea, dental problems (overbite), and palatal abnormalities. Komplikasi lain yang mungkin termasuk otitis media, atau gangguan tidur apnea, masalah gigi (overbite), dan kelainan palatal. The treatment plan might be different if one of these complications is present. Rencana perawatan mungkin akan berbeda jika salah satu komplikasi ini hadir. Nasal polyps occur in association with allergic rhinitis, although whether allergic rhinitis
o

actually causes polyps remains unclear. Polip hidung terjadi dalam hubungannya dengan alergi rhinitis, rhinitis alergi meskipun apakah sebenarnya penyebab polip tetap tidak jelas. Polyps may not respond to medical treatment and might predispose a patient to sinusitis or sleep disturbance (due to congestion). Polip mungkin tidak merespon untuk perawatan medis dan mungkin mempengaruhi pasien untuk sinusitis atau gangguan tidur (karena kongesti). o Investigate past medical history, including other current medical conditions. Menyelidiki riwayat medis masa lalu, termasuk saat ini kondisi-kondisi medis lainnya. Diseases such as hypothyroidism or sarcoidosis can cause nonallergic rhinitis. Penyakit-penyakit seperti hipotiroidisme atau sarcoidosis dapat menyebabkan rhinitis nonallergic. Concomitant medical conditions might influence the choice of medication. Seiring kondisi medis yang mungkin mempengaruhi pilihan pengobatan. Family history Sejarah keluarga o Because allergic rhinitis has a significant genetic component, 30 a positive family history for atopy makes the diagnosis more likely. Karena rhinitis alergi memiliki komponen genetik yang signifikan, 30 riwayat keluarga yang positif untuk atopi membuat diagnosis lebih mungkin. o In fact, a greater risk of allergic rhinitis exists if both parents are atopic than if one parent is atopic. Pada kenyataannya, risiko yang lebih besar rhinitis alergi ada jika kedua orang tua atopik daripada jika salah satu orangtua yang atopik. However, the cause of allergic rhinitis appears to be multifactorial, and a person with no family history of allergic rhinitis can develop allergic rhinitis. Namun, penyebab alergi rhinitis tampaknya multifaktor, dan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga alergi rhinitis rhinitis alergi dapat berkembang. Environmental and occupational exposure Lingkungan dan pekerjaan pajanan o A thorough history of environmental exposures helps to identify specific allergic triggers. Sejarah menyeluruh paparan lingkungan membantu untuk mengidentifikasi pemicu alergi tertentu. This should include investigation of risk factors for exposure to perennial allergens (eg, dust mites, mold, pets). 31 , 32 Risk factors for dust mite exposure include carpeting, heat, humidity, and bedding that does not have dust miteproof covers. Ini harus mencakup pemeriksaan faktor risiko abadi paparan alergen (misalnya, debu tungau, jamur, hewan peliharaan). 31, 32 Faktor risiko untuk eksposur Kutu termasuk karpet, panas, kelembaban, dan tidur yang tidak memiliki bukti kutu debu meliputi . Chronic dampness in the home is a risk factor for mold exposure. Kronis kelembaban dalam rumah adalah faktor risiko untuk eksposur cetakan. A history of hobbies and recreational activities helps determine risk and a time pattern of pollen exposure. Sejarah hobi dan kegiatan rekreasi membantu menentukan risiko dan waktu pemaparan pola serbuk sari. o Ask about the environment of the workplace or school. Tanyakan tentang lingkungan tempat kerja atau sekolah. This might include exposure to ordinary perennial allergens (eg, mites, mold, pet dander) or unique

occupational allergens (eg, laboratory animals, animal products, grains and organic materials, wood dust, latex, enzymes). Ini mungkin mencakup pemaparan alergen abadi biasa (misalnya, tungau, jamur, binatang peliharaan ketombe) atau kerja unik alergen (misalnya, laboratorium hewan, produk-produk hewani, biji-bijian dan bahan organik, debu kayu, lateks, enzim). Effects on quality of life Efek terhadap kualitas hidup o An accurate assessment of the morbidity of allergic rhinitis cannot be obtained without asking about the effects on the patient's quality of life. Penilaian yang akurat dari morbiditas rhinitis alergi tidak dapat diperoleh tanpa bertanya tentang efek pada pasien kualitas hidup. Specific validated questionnaires are available to help determine effects on quality of life. 3 , 4 Kuesioner divalidasi spesifik tersedia untuk membantu menentukan efek terhadap kualitas hidup. 3, 4 o Determine the presence of symptoms such as fatigue, malaise, drowsiness (which may or may not be related to medication), and headache. Tentukan adanya gejala seperti kelelahan, malaise, mengantuk (yang mungkin atau mungkin tidak terkait dengan obat-obatan), dan sakit kepala. o Investigate sleep quality and ability to function at work. Selidikilah kualitas tidur dan kemampuan untuk berfungsi di tempat kerja.

Physical Fisik
The physical examination should focus on the nose, but examination of facial features, eyes, ears, oropharynx, neck, lungs, and skin is also important. Pemeriksaan fisik harus fokus pada hidung, tetapi pemeriksaan fitur wajah, mata, telinga, oropharynx, leher, paruparu, dan kulit juga penting. Look for physical findings that may be consistent with a systemic disease that is associated with rhinitis. Cari temuan fisik yang mungkin konsisten dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan rhinitis.

General facial features Fitur wajah Umum o "Allergic shiners" are dark circles around the eyes and are related to vasodilation or nasal congestion. 2 , 33 "Alergi shiners" adalah lingkaran gelap di sekitar mata dan terkait dengan vasodilasi atau hidung tersumbat.
2, 33

"Nasal crease" is a horizontal crease across the lower half of the bridge of the nose that is caused by repeated upward rubbing of the tip of the nose by the palm of the hand (ie, the "allergic salute"). 2 , 33 "Nasal lipatan" adalah lipatan horizontal di bagian bawah jembatan hidung yang disebabkan oleh menggosok ke atas berulang-ulang dari ujung hidung dengan telapak tangan (yaitu "alergi hormat"). 2, 33 Nose Hidung o The nasal examination is best accomplished with a nasal speculum or an otoscope with nasal adapter. Ujian hidung terbaik dicapai dengan spekulum hidung atau hidung otoscope dengan adaptor. In the specialist's
o

office, a rigid or flexible rhinolaryngoscope may be used. Di kantor spesialis, yang kaku atau fleksibel rhinolaryngoscope dapat digunakan. o The mucosa of the nasal turbinates may be swollen (boggy) and have a pale, bluish-gray color. Mukosa hidung dapat turbinates bengkak (berawa) dan memiliki pucat, warna abu-abu kebiruan. Some patients may have predominant erythema of the mucosa, which can also be observed with rhinitis medicamentosa, infection, or vasomotor rhinitis. Beberapa pasien mungkin memiliki dominan eritema mukosa, yang juga dapat diamati dengan medicamentosa rhinitis, infeksi, atau vasomotor rhinitis. While pale, boggy, blue-gray mucosa is typical for allergic rhinitis, mucosal examination findings cannot definitively distinguish between allergic and nonallergic causes of rhinitis. Sementara pucat, seperti rawa, biru-abu-abu mukosa adalah khas untuk rhinitis alergi, temuan pemeriksaan mukosa pasti tidak dapat membedakan antara alergi dan penyebab nonallergic rhinitis. o Assess the character and quantity of nasal mucus. Menilai karakter dan jumlah lendir hidung. Thin and watery secretions are frequently associated with allergic rhinitis, while thick and purulent secretions are usually associated with sinusitis; however, thicker, purulent, colored mucus can also occur with allergic rhinitis. Tipis dan sekresi berair sering dikaitkan dengan alergi rhinitis, sedangkan sekresi purulen tebal dan biasanya terkait dengan sinusitis, namun lebih tebal, bernanah, lendir berwarna juga dapat terjadi dengan rhinitis alergi. o Examine the nasal septum to look for any deviation or septal perforation, which may be present due to chronic rhinitis, granulomatous disease, cocaine abuse, prior surgery, topical decongestant abuse, or, rarely, topical steroid overuse. Nasal septum memeriksa untuk mencari setiap deviasi atau perforasi septum, yang dapat hadir karena rhinitis kronis, penyakit granulomatosa, penyalahgunaan kokain, sebelum operasi, dekongestan topikal pelecehan, atau, jarang, topikal steroid berlebihan. o Examine the nasal cavity for other masses such as polyps or tumors. Memeriksa rongga hidung massa lain seperti polip atau tumor. Polyps are firm gray masses that are often attached by a stalk, which may not be visible. Polip adalah massa abu-abu perusahaan yang sering terikat oleh tangkai, yang mungkin tidak terlihat. After spraying a topical decongestant, polyps do not shrink, while the surrounding nasal mucosa does shrink. Setelah penyemprotan sebuah dekongestan topikal, polip tidak mengecil, sementara mukosa hidung sekitarnya tidak menyusut. Ears, eyes, and oropharynx Telinga, mata, dan oropharynx o Perform otoscopy to look for tympanic membrane retraction, air-fluid levels, or bubbles. Melakukan otoscopy untuk mencari membran timpani pencabutan, udara tingkat cairan, atau gelembung. Performing pneumatic otoscopy can be considered to look for abnormal tympanic membrane mobility. Pertunjukan pneumatik otoscopy dapat dipertimbangkan untuk mencari mobilitas normal membran timpani. These findings can be associated with allergic rhinitis, particularly if eustachian tube dysfunction

or secondary otitis media is present. Temuan ini dapat dikaitkan dengan rhinitis alergi, terutama jika tuba estachius disfungsi atau sekunder otitis media hadir. o Ocular examination may reveal findings of injection and swelling of the palpebral conjunctivae, with excess tear production. Okular dapat mengungkapkan temuan pemeriksaan injeksi dan pembengkakan palpebral conjunctivae, dengan kelebihan produksi air mata. Dennie-Morgan lines (prominent creases below the inferior eyelid) are associated with allergic rhinitis. 34 Dennie-Morgan baris (menonjol lipatan di bawah kelopak mata inferior) yang berhubungan dengan alergi rhinitis. 34 o The term "cobblestoning" is used to describe streaks of lymphoid tissue on the posterior pharynx, which is commonly observed with allergic rhinitis. Istilah "cobblestoning" digunakan untuk menggambarkan jaringan limfoid berkas pada faring posterior, yang umumnya diamati dengan rhinitis alergi. Tonsillar hypertrophy can also be observed. Tonsillar hipertrofi juga dapat diamati. Malocclusion (overbite) and a high-arched palate can be observed in patients who breathe from their mouths excessively. 35 Malocclusion (overbite) dan langit-langit melengkung tinggi dapat diamati pada pasien yang bernapas dari mulut mereka secara berlebihan. 35 Neck: Look for evidence of lymphadenopathy or thyroid disease. Leher: Cari bukti limfadenopati atau penyakit tiroid. Lungs: Look for the characteristic findings of asthma. Paru-paru: Cari karakteristik temuan asma. Skin: Evaluate for possible atopic dermatitis. Kulit: Evaluasi untuk kemungkinan atopic dermatitis. Other: Look for any evidence of systemic diseases that may cause rhinitis (eg, sarcoidosis, hypothyroidism, immunodeficiency, ciliary dyskinesia syndrome, other connective tissue diseases). Lain: Cari bukti penyakit sistemik yang dapat menyebabkan rhinitis (misalnya, sarcoidosis, hipotiroidisme, immunodeficiency, ciliary dyskinesia sindrom, penyakit jaringan ikat lainnya).

Causes Penyebab
The causes of allergic rhinitis may differ depending on whether the symptoms are seasonal, perennial, or sporadic/episodic. Penyebab alergi rhinitis mungkin berbeda tergantung pada apakah gejala musiman, abadi, atau sporadis / episodik. Some patients are sensitive to multiple allergens and can have perennial allergic rhinitis with seasonal exacerbations. Beberapa pasien yang peka terhadap berbagai alergen dan dapat memiliki alergi rhinitis abadi dengan eksaserbasi musiman. While food allergy can cause rhinitis, particularly in children, it is rarely a cause of allergic rhinitis in the absence of gastrointestinal or skin symptoms. Meskipun alergi makanan dapat menyebabkan rhinitis, terutama pada anak-anak, jarang penyebab alergi rhinitis dengan tidak adanya gejala gastrointestinal atau kulit.

Seasonal allergic rhinitis is commonly caused by allergy to seasonal pollens and outdoor molds. Rhinitis alergi musiman umumnya disebabkan oleh alergi serbuk sari musiman dan luar cetakan.

Pollens (tree, grass, and weed) Serbuk sari (pohon, rumput, dan gulma) Tree pollens, which vary by geographic location, are typically present in high counts during the spring, although some species produce their pollens in the fall. Pohon serbuk sari, yang bervariasi berdasarkan lokasi geografis, biasanya hadir dalam menghitung tinggi selama musim semi, walaupun beberapa spesies menghasilkan serbuk sari mereka di musim gugur. Common tree families associated with allergic rhinitis include birch, oak, maple, cedar, olive, and elm. Pohon umum keluarga berhubungan dengan alergi rhinitis termasuk birch, oak, maple, cedar, zaitun, dan elm. Grass pollens also vary by geographic location. Rumput serbuk sari juga berbeda-beda menurut lokasi geografis. Most of the common grass species are associated with allergic rhinitis, including Kentucky bluegrass, orchard, redtop, timothy, vernal, meadow fescue, Bermuda, and perennial rye. Sebagian besar spesies rumput Common berhubungan dengan alergi rhinitis, termasuk Kentucky bluegrass, kebun, Redtop, timothy, vernal, padang rumput Fescue, Bermuda, dan abadi rye. A number of these grasses are cross-reactive, meaning that they have similar antigenic structures (ie, proteins recognized by specific IgE in allergic sensitization). Sejumlah rumput ini cross-reaktif, yang berarti bahwa mereka memiliki struktur antigen yang sama (yaitu, protein yang diakui oleh IgE spesifik dalam sensitisasi alergi). Consequently, a person who is allergic to one species is also likely to be sensitive to a number of other species. Akibatnya, seseorang yang alergi terhadap satu spesies juga cenderung sensitif terhadap sejumlah spesies lain. The grass pollens are most prominent from the late spring through the fall but can be present year-round in warmer climates. Serbuk sari rumput yang paling menonjol dari akhir musim semi melalui musim gugur tetapi dapat hadir sepanjang tahun di iklim hangat. Weed pollens also vary geographically. Gulma serbuk sari juga bervariasi secara geografis. Many of the weeds, such as short ragweed, which is a common cause of allergic rhinitis in much of the United States, are most prominent in the late summer and fall. Banyak rumput liar, seperti ragweed pendek, yang merupakan penyebab umum alergi rhinitis di sebagian besar Amerika Serikat, yang paling menonjol di akhir musim panas dan gugur. Other weed pollens are present year-round, particularly in warmer climates. Serbuk sari rumput lain yang hadir sepanjang tahun, terutama di iklim hangat. Common weeds associated with allergic rhinitis include short ragweed, western ragweed, pigweed, sage, mugwort, yellow dock, sheep sorrel, English plantain, lamb's quarters, and Russian thistle. Common gulma yang berhubungan dengan alergi rhinitis termasuk ragweed pendek, barat ragweed, pigweed, sage,

mugwort, kuning dermaga, domba coklat kemerah-merahan, Inggris pisang raja, domba tempat tinggal, dan Rusia thistle. o Outdoor molds Outdoor cetakan Atmospheric conditions can affect the growth and dispersion of a number of molds; therefore, their airborne prevalence may vary depending on climate and season. Kondisi atmosfer dapat mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran dari sejumlah cetakan, sehingga mereka prevalensi udara dapat bervariasi, tergantung pada iklim dan musim. For example, Alternaria and Cladosporium are particularly prevalent in the dry and windy conditions of the Great Plains states, where they grow on grasses and grains. Sebagai contoh, Alternaria dan Cladosporium sangat lazim dalam kondisi kering dan berangin dari Great Plains negara, di mana mereka tumbuh di rumput dan biji-bijian. Their dispersion often peaks on sunny afternoons. Dispersi mereka sering puncak di sore yang cerah. They are virtually absent when snow is on the ground in winter, and they peak in the summer months and early fall. Mereka hampir tidak ada saat salju di tanah di musim dingin, dan mereka puncaknya pada bulan-bulan musim panas dan awal musim gugur. Aspergillus and Penicillium can be found both outdoors and indoors (particularly in humid households), with variable growth depending on the season or climate. Aspergillus dan Penicillium dapat ditemukan baik di luar dan dalam ruangan (terutama di lembab rumah tangga), dengan pertumbuhan variabel tergantung pada musim atau iklim. Their spores can also be dispersed in dry conditions. Spora mereka juga dapat terdispersi dalam kondisi kering. Perennial allergic rhinitis is typically caused by allergens within the home but can also be caused by outdoor allergens that are present year-round. 36 In warmer climates, grass pollens can be present throughout the year. Alergi rhinitis abadi biasanya disebabkan oleh alergen dalam rumah tetapi juga dapat disebabkan oleh alergen outdoor yang hadir sepanjang tahun. 36 Dalam iklim hangat, serbuk sari rumput dapat hadir sepanjang tahun. In some climates, individuals may be symptomatic due to trees and grasses in the warmer months and molds and weeds in the winter. Dalam beberapa iklim, orang mungkin gejala karena pohon-pohon dan rumput di bulan yang lebih hangat dan jamur dan rumput liar di musim dingin. o House dust mites Tungau debu rumah In the United States, 2 major house dust mite species are associated with allergic rhinitis. Di Amerika Serikat, 2 besar spesies tungau debu rumah berhubungan dengan alergi rhinitis. These are Dermatophagoides farinae and Dermatophagoides pteronyssinus . 31 Ini adalah Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus. 31

These mites feed on organic material in households, particularly the skin that is shed from humans and pets. Tungau ini memakan bahan organik di rumah tangga, terutama kulit yang adalah gudang dari manusia dan hewan peliharaan. They can be found in carpets, upholstered furniture, pillows, mattresses, comforters, and stuffed toys. Mereka dapat ditemukan di karpet, kain mebel, bantal, kasur, selimut, dan boneka mainan. While they thrive in warmer temperatures and high humidity, they can be found year-round in many households. Sementara mereka berkembang dalam suhu hangat dan kelembaban yang tinggi, mereka dapat ditemukan sepanjang tahun di banyak rumah tangga. On the other hand, dust mites are rare in arid climates. Di sisi lain, debu tungau jarang terjadi pada iklim kering. Pets Pets Allergy to indoor pets is a common cause of perennial allergic rhinitis. 31 , 32 Alergi terhadap hewan peliharaan dalam ruangan adalah penyebab umum alergi rhinitis abadi. 31, 32 Cat and dog allergies are encountered most commonly in allergy practice, although allergy has been reported to occur with most of the furry animals and birds that are kept as indoor pets. Kucing dan anjing alergi yang paling sering ditemui dalam praktik alergi, meskipun alergi telah dilaporkan terjadi dengan sebagian besar berbulu binatang dan burung yang dipelihara sebagai hewan peliharaan di dalam ruangan. Cockroaches: While cockroach allergy is most frequently considered a cause of asthma, particularly in the inner city, it can also cause perennial allergic rhinitis in infested households. 37 , 38 Kecoak: Sementara alergi kecoa adalah yang paling sering dianggap sebagai penyebab asma, terutama di pusat kota, hal itu juga dapat menyebabkan alergi rhinitis abadi dalam rumah tangga penuh. 37, 38 Rodents: Rodent infestation may be associated with allergic sensitization. 39 , 40 , 41 Pengerat: Rodent kutu dapat berhubungan dengan sensitisasi alergi.

39, 40, 41

Sporadic allergic rhinitis, intermittent brief episodes of allergic rhinitis, is caused by intermittent exposure to an allergen. Sporadis alergi rhinitis, sesekali episode singkat alergi rhinitis, disebabkan oleh paparan intermiten ke alergi. Often, this is due to pets or animals to which a person is not usually exposed. Sering kali, hal ini disebabkan hewan peliharaan atau hewan untuk seseorang yang biasanya tidak terkena. Sporadic allergic rhinitis can also be due to pollens, molds, or indoor allergens to which a person is not usually exposed. Sporadis rhinitis alergi juga dapat disebabkan oleh serbuk sari, jamur, atau alergen dalam ruangan yang seseorang biasanya tidak terkena. While allergy to specific foods can cause rhinitis, an individual affected by food allergy also usually has some combination of gastrointestinal, skin, and lung involvement. Sementara alergi terhadap makanan tertentu dapat menyebabkan rhinitis, seorang individu dipengaruhi oleh alergi makanan juga biasanya memiliki beberapa kombinasi gastrointestinal, kulit,

dan paru-paru keterlibatan. In this situation, the history findings usually suggest an association with a particular food. Dalam situasi ini, sejarah biasanya temuan menunjukkan asosiasi dengan makanan tertentu. Watery rhinorrhea occurring shortly after eating may be vasomotor (and not allergic) in nature, mediated via the vagus nerve. Berair Rhinorrhea terjadi tak lama setelah makan dapat vasomotor (dan tidak alergi) di alam, yang ditengahi melalui saraf vagus. This often is called gustatory rhinitis. Hal ini sering disebut gustatory rhinitis. Occupational allergic rhinitis, which is caused by exposure to allergens in the workplace, can be sporadic, seasonal, or perennial. Occupational rhinitis alergi, yang disebabkan oleh paparan alergen di tempat kerja, dapat sporadis, musiman, atau abadi. People who work near animals (eg, veterinarians, laboratory researchers, farm workers) might have episodic symptoms when exposed to certain animals, daily symptoms while at the workplace, or even continual symptoms (which can persist in the evenings and weekends with severe sensitivity due to persistent late-phase inflammation). Orang-orang yang bekerja di dekat hewan (misalnya, dokter hewan, laboratorium peneliti, pekerja pertanian) mungkin memiliki gejala episodik saat berhubungan dengan hewan tertentu, gejala sehari-hari sementara di tempat kerja, atau bahkan terus-menerus gejala (yang bisa terus berada di malam hari dan akhir pekan dengan sensitivitas yang parah akibat untuk gigih akhir fase inflamasi). Some workers who may have seasonal symptoms include farmers, agricultural workers (exposure to pollens, animals, mold spores, and grains), and other outdoor workers. Beberapa pekerja yang mungkin termasuk gejala musiman petani, pekerja pertanian (paparan serbuk sari, binatang, spora jamur, dan biji-bijian), dan pekerja outdoor lainnya. Other significant occupational allergens that may cause allergic rhinitis include wood dust, latex (due to inhalation of powder from gloves), acid anhydrides, glues, and psyllium (eg, nursing home workers who administer it as medication). Alergen pekerjaan penting lainnya yang dapat menyebabkan rhinitis alergi meliputi debu kayu, lateks (karena menghirup bedak dari sarung tangan), asam anhidrida, perekat, dan psyllium (misalnya, panti jompo pekerja yang mengelola sebagai obat).

http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview

Rinitis Alergi / Alergi Hidung


Definisi Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa (Von Pirquet, 1986) Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin,

keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001). Epidemiologi Di amerika serikat terdapat hampir sekitar 20 % rata-rata angka kejadian penderita rhinitis alergi. Etiologi / Patofisiologi Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu

Immediate Phase Allergic Reaction

Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya

Late Phase Allergic Reaction

Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh kita, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon tersier Respon Tertier , Reaksi imunologik yang tidak meguntungkan Gejala Klinis Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer

dan banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata. Beberapa gejala lain yang tidak khas adalah allergic shiner bayangan gelap di bawah mata yang disebut. allergic salute Gerakan mengosok-gosokan hidung pada anak- anak allergi crease, timbulnya garis pada bagian depan hidung. Beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah

Pemeriksaan nasoendoskopi Pemeriksaan sitologi hidung Hitung eosinofil dalam darah tepi Uji kulit allergen penyebab

Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas Penggunaan Imunoterapi.

http://www.klikdokter.com/illness/detail/66

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE. Respons hidung terhadap stimuli dari luar diperankan pertama-tama oleh mukosa kemudian baru oleh bentuk anatomi tulang. Fungsi utama hidung adalah untuk saluran udara, penciuman, humidifikasi udara yang dihirup, melindungi saluran napas bawah dengan cara filtrasi partikel, transport oleh silia mukosa, mikrobisidal, antivirus, imunologik, dan resonan suara. Reaksi mukosa hidung akan menimbulkan gejala obstruksi aliran udara, sekresi, bersin, dan rasa gatal. Bila tidak terdapat deformitas tulang hidung maka sumbatan hidung disebabkan oleh pembengkakan mukosa dan sekret yang kental. Penelitian epidemiologik memperlihatkan bahwa penyakit alergi dapat diobservasi mulai dari waktu lahir sampai kematian. Sesuai dengan umur penderita, dapat dibedakan penampakan dan lokalisasi jenis alergi. PATOFISIOLOGI

Gejala rinitis alergik dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor pencetus ini berupa iritan non spesifik. Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh makanan alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan dengan bertambahnya usia. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan. Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor : Alergen, Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting. Polutan, Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.

Aspirin, Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu.

Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di hidung akan dibersihkan oleh sistem mukosilia. Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah (lihat bab tentang asma bronkial dan reaksi hipersensitivitas). Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen. Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang berfungsi protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja pada daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa hidung. Newly formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya histamin, misalnya leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF. Efek mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage), meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental (mucous rhinorrhoe).

Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca pajanan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. Prostaglandin (PGD2) banyak terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat, tetapi tidak terdapat pada fase lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh sel mast. Fase cepat diperankan oleh sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat lebih diperankan oleh basofil. Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Mekanisme eosinofilia lokal pada hidung masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori mekanisme terjadinya eosinofilia antara lain teori meningkatnya kemotaksis, ekspresi molekul adhesi atau bertambah lamanya hidup eosinofil dalam jaringan. Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya eosinofilia. Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel mast, basofil, makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B melakukan isotype switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang secara selektif mendatangkan eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang pematangan sel mast. IL-5 berperan secara selektif untuk diferensiasi dan pematangan eosinofil dalam sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk melepaskan mediator, dan memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat meningkatnya eosinofil dalam jaringan maka terjadilah proses yang berkepanjangan dengan keluhan hidung tersumbat, hilangnya penciuman, dan hiperreaktivitas hidung. Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi. Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5. Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenilleukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea, gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf

parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin. Terdapat hubungan antara system imun dan sumsum tulang. Fakta ini membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF) dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel Mast dalam inflamasi alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons imun di atas, merupakan tanda penting rinitis alergika.

TANDA DAN GEJALA KLINIS Manifestasi utama adalah rinorea, gatal hidung, bersin-bersin dan sumbatan hidung. Pembagian rinitis alergika sebelum ini menggunakan kriteria waktu pajanan menjadi rinitis musiman (seasonal allergic rhinitis), sepanjang tahun (perenial allergic rhinitis), dan akibat kerja (occupational allergic rhinitis). Gejala rinitis sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Tanda-tanda fisik yang sering ditemui juga meliputi perkembangan wajah yang abnormal, maloklusi gigi, allergic gape (mulut selalu terbuka agar bisa bernafas), allergic shiners (kulit berwarna kehitaman dibawah kelopak mata bawah), lipatan tranversal pada hidung (transverse nasal crease), edema konjungtiva, mata gatal dan kemerahan. Pemeriksaan rongga hidung dengan spekulum sering didapatkan sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish). Pada anak kualitas hidup yang dipengaruhi antara lain kesulitan belajar dan masalah sekolah, kesulitan integrasi dengan teman sebaya, kecemasan, dan disfungsi keluarga. Kualitas hidup ini akan diperburuk dengan adanya ko-morbiditas. Pengobatan rinitis juga mempengaruhi kualitas hidup baik positif maupun negatif. Sedatif antihistamin memperburuk kualitas hidup, sedangkan non sedatif antihistamin berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Pembagian lain yang lebih banyak diterima adalah dengan menggunakan parameter gejala dan kualitas hidup, menjadi intermiten ringan-sedangberat, dan persisten ringan-sedang-berat.

Manifestasi klinis rinitis alergik baru ditemukan pada anak berusia di atas 4-5 tahun dan insidensnya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-15% pada usia dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergik yang khas ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi alergi dapat berupa rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis. Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rinitis alergik dapat berupa rasa gatal di hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas melalui mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal drip yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian. Gejala bernapas

melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta gejala kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Gejala kombinasi bersin, ingusan, serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu dan menjengkelkan. Anak yang menderita rinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah yang khas. Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak (bags) di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak, sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan tanda yang disebut allergic salute.

Menurut saat timbulnya, maka rinitis alergik dapat dibagi menjadi rinitis alergik intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinitis alergik persisten (perennial-chronic-long duration rhinitis). Rinitis alergik intermiten Rinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang hilang timbul, yang hanya berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang dari empat minggu. Rinitis alergik musiman yang sering juga disebut hay fever disebabkan oleh alergi terhadap serbuk bunga (pollen), biasanya terdapat di negara dengan 4 musim. Terdapat 3 kelompok alergen serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap kelompok ini berturut-turut terdapat pada musim semi, musim panas dan musim gugur. Penyakit ini sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi, biasanya mulai masa anak dan paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai bertambahnya umur dan menjadi masalah pada usia tua. Gejala berupa rasa gatal pada mata, hidung dan tenggorokan disertai bersin berulang, ingus encer dan hidung tersumbat. Gejala asma dapat terjadi pada puncak musim. Gejala ini akan memburuk pada keadaan udara kering, sinar matahari, serta di daerah pedesaan.

Rinitis alergik persisten Rinitis alergik persisten mempunyai gejala yang berlangsung lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala rinitis alergik ini dapat terjadi sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama dengan rinitis non alergik. Gejalanya sering timbul, akan tetapi hanya sekitar 2-4 % populasi yang mengalami gejala yang berarti. Rinitis alergik biasanya mulai timbul pada masa anak, sedangkan rinitis non alergik pada usia dewasa. Alergi terhadap tungau debu rumah merupakan penyebab yang penting, sedangkan jamur sering pada pasien yang disertai gejala asma dan kadang alergi terhadap bulu binatang.

Alergen makanan juga dapat menimbulkan rinitis tetapi masih merupakan kontroversi. Pada orang dewasa sebagian besar tidak diketahui sebabnya. Gejala rinitis persisten hampir sama dengan gejala hay fever tetapi gejala gatal kurang, yang mencolok adalah gejala hidung tersumbat. Semua penderita dengan gejala menahun dapat bereaksi terhadap stimulus nonspesifik dan iritan. Sedangkan klasifikasi rinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat dua jenis sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergik dibagi menjadi rinitis alergik ringan (mild) dan rinitis alergik sedang-berat (moderate-severe). Pada rinitis alergik ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti bersekolah, bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada gejala yang berat. Sebaliknya pada rinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari pasien tidak dapat berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang berat.

DIAGNOSA Diagnosis rinitis alergika berdasarkan pada keluhan penyakit, tanda fisik dan uji laboratorium. Keluhan pilek berulang atau menetap pada penderita dengan riwayat keluarga atopi atau bila ada keluhan tersebut tanpa adanya infeksi saluran nafas atas merupakan kunci penting dalam membuat diagnosis rinitis alergika. Pemeriksaan fisik meliputi gejala utama dan gejala minor. Uji laboratorium yang penting adalah pemeriksaan in vivo dengan uji kulit goresan, IgE total, IgE spesifik, dan pemeriksaan eosinofil pada hapusan mukosa hidung. Uji Provokasi nasal masih terbatas pada bidang penelitian.

Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik yang terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka seperti allergic salute, allergic crease, Dennies line, allergic shiner dan allergic face seperti telah diuraikan di atas, namun demikian tidak satu pun yang patognomonik. Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal atau tumor. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang sedang dalam serangan. Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media serosa atau hipertrofi adenoid. Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang bermakna pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen penyebab yang sering adalah inhalan seperti tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan binatang piaraan, walaupun alergen makanan juga dapat sebagai penyebab terutama pada bayi. Susu sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit sering hasilnya negatif. Uji provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena pemeriksaan ini tidak menyenangkan.

Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan lebih dominan. Gambaran sitologi sekret hidung yang memperlihatkan banyak sel basofil, eosinofil, juga terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergik dan mastositosis hidung primer.

DIAGNOSA BANDING Rinitis alergika harus dibedakan dengan : 1. Rinitis vasomotorik 2. Rinitis bakterial 3. Rinitis virus

KOMPLIKASI Sinusitis kronis (tersering) Poliposis nasal Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan sensitive terhadap aspirin) Asma Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah Hipertyopi tonsil dan adenoid Gangguan kognitif

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika, penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan, terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi

hendaknya mempertimbangkan keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

Pemilihan obat-obatan Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain : 1. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang. 2. Tidak menimbulkan takifilaksis. 3. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain. 4. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya efek samping sistemik.

Jenis obat dan efek terapetik. Jenis obat Antihistamin H1Oral Intranasal BersinRinoreaBuntuGatal hidungKeluhan mata ++ ++ + +++ ++ ++ ++ + ++ 0 +++ ++ 0 ++ 0 0 0 ++

Intraokuler 0 0 Kortikosteroid intranasal+++ +++ KromolinIntranasal + + Intraokuler 0 DekongestanIntranasal 0 Oral Antikolinergik Antilekotrien 0 0 9 9 0 0 ++ +

0 0 +++ ++ + + 0 0 +++ 0 + 0 ++ 0 0 0

Penatalaksanaan rinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan penghindaran alergen penyebab dan kontrol lingkungan. Medikamentosa diberikan bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi medikamentosa akan diuraikan di bawah ini

Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin. Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung. Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

Antihistamin-H1 lokal Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.

Kortikosteroid intranasal Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.

Kortikosteroid oral/IM Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Kromon lokal (local chromones) Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.

Dekongestan oral Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral.

Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat. Antikolinergik intranasal Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

Anti-leukotrien Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik. Jenis obat yang sering digunakan : Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 25 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 511 tahun : 1 semprotan 2 kali/hari; > 12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4 kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari. Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari. Kortikosteroid intranasal

Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun : 1 semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2 semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan keamanannya lebih baik. Leukotrien antagonis Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.

Rinitis alergik pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya usia. Kadangkala rinitis alergik dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan mengetahui faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala. Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga dapat mengurangi gejala yang timbul.

Cetirizine (Zyrtec) Low-sedating second-generation medication with fewer adverse effects than firstgeneration medications. Selectively inhibits peripheral histamine H1 receptors. Available as syr (5 mg/5 mL) and 5- or 10-mg tab.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 5-10 mg PO qd

Pediatric 6-12 months: 2.5 mg PO qd; not to exceed 2.5 mg/d 12-24 months: 2.5 mg PO qd; may increase to 2.5 mg PO bid, if needed 2-5 years: 2.5-5 mg PO qd or divided bid; not to exceed 5 mg/d >6 years: 5-10 mg PO qd or divided bid

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Increases toxicity of CNS depressants; theophylline decreases clearance of cetirizine


Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions Reduce dose in patients with kidney disease; may cause sedation in 5-15% of patients

Levocetirizine (Xyzal) Histamine H1-receptor antagonist. Active enantiomer of cetirizine. Peak plasma levels are reached within 1 h, and half-life is about 8 h. Available as a 5-mg breakable (scored) tab. Indicated for seasonal and perennial AR

Dosing Interactions Contraindications

Precautions

Adult 5 mg PO qd in evening CrCl 50-80 mL/min: 2.5 mg (half tab) PO qd in evening CrCl 30-49 mL/min: 2.5 mg PO qod CrCl 10-29 mL/min: 2.5 mg PO 2 times/wk Pediatric <6 years: Not established 6-11 years: 2.5 mg (half tab) PO qd in evening >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Coadministration with CNS depressants (eg, alcohol, sedative-hypnotics) may increase somnolence; ritonavir increased plasma AUC of measurable cetirizine by 42% and halflife by 53%

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity; CrCl <10 mL/min or hemodialysis; children aged 6-11 y with renal impairment

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions

Common adverse effects include somnolence, nasopharyngitis, fatigue, xerostomia, and pharyngitis in adults and children >12 y; pyrexia, somnolence, cough, and epistaxis commonly observed in children 6-12 y; caution with activities requiring mental alertness

Loratadine (Claritin) Nonsedating second-generation antihistamine. Fewer adverse effects than with firstgeneration medications. Selectively inhibits peripheral histamine H1 receptors. Available as tab, disintegrating tab (Reditab), syr (5 mg/5 mL), or combined with pseudoephedrine in 12- or 24-h preparations. The only one that is presently available without a prescription

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult Loratadine: 10 mg/d PO Loratadine and pseudoephedrine: Claritin-D 12 Hour: 5 mg with 120 mg pseudoephedrine; 1 tab PO bid Claritin-D 24 Hour: 10 mg with 240 mg pseudoephedrine; 1 tab PO qd Pediatric Loratadine: <2 years: Not established 2-5 years: 5 mg PO qd >6 years: Administer as in adults Loratadine and pseudoephedrine: <12 years: Not established >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Ketoconazole, erythromycin, procarbazine, cimetidine, and alcohol may increase loratadine levels

Dosing Interactions Contraindications

Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions May cause headaches; initiate therapy at lower dose in liver and renal impairment

Desloratadine (Clarinex) Nonsedating second-generation antihistamine. Fewer adverse effects than with firstgeneration antihistamines. Selectively inhibits peripheral histamine H1 receptors. Relieves nasal congestion and systemic effects of seasonal allergies. Long-acting tricyclic histamine antagonist selective for H1-receptor. Major metabolite of loratadine, which, after ingestion, is extensively metabolized to active metabolite 3-hydroxydesloratadine. Available as tabs, syr (0.5 mg/mL), or PO disintegrating Reditabs (2.5 and 5 mg).

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult Desloratadine: 5 mg PO qd Desloratadine and pseudoephedrine: Clarinex-D 24 Hour: 5 mg with 240 mg pseudoephedrine; 1 tab PO qd Pediatric 6-11 months: 1 mg (2 mL of syr) PO qd 1-5 years: 1.25 mg (2.5 mL of syr) PO qd 6-11 years: 2.5 mg (5 mL of syr or Reditab) PO qd >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Limited data exist; erythromycin and ketoconazole increase desloratadine and 3hydroxydesloratadine plasma concentrations, but no increase of clinically relevant adverse effects, including QTc, has been observed

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity to desloratadine or loratadine


Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions Decrease dose in hepatic impairment; rarely causes pharyngitis or dry mouth

Fexofenadine (Allegra) Nonsedating second-generation medication with fewer adverse effects than firstgeneration medications. Competes with histamine for H1 receptors in GI tract, blood vessels, and respiratory tract, reducing hypersensitivity reactions. Available in qd and bid preparations. Also available combined with pseudoephedrine.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult

Fexofenadine: 60 mg PO bid (IR) or 180 mg/d PO (SR) Fexofenadine and pseudoephedrine: Allegra-D 12 Hour: 60 mg with 120 mg pseudoephedrine; 1 tab PO bid Allegra-D 24 Hour: 180 mg with 240 mg of pseudoephedrine; 1 tab PO qd Pediatric <6 years: Not established 6-11 years: 30 mg PO bid >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Levels may increase with coadministration of erythromycin and ketoconazole


Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions Adjust dose in renal impairment (can be used safely in hepatic impairment without dose reduction) Intranasal antihistamines These agents are an alternative to oral antihistamines to treat AR. Currently, azelastine is the only agent available in the United States.

Azelastine (Astelin) An effective antihistamine delivered via the intranasal route. Mechanism is similar to PO antihistamines. Systemic absorption occurs and may cause sedation, headache, and nasal burning.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2 sprays/nostril bid (137 mcg/spray) Pediatric <5 years: Not established 5-11 years: 1 spray/nostril bid (137 mcg/spray) >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Potentiates CNS depression with alcohol and other CNS depressants; caution with concurrent use of oral antihistamines; when administered PO, serum levels are increased by cimetidine; no effect on QTc when administered PO with ranitidine, theophylline, ketoconazole, or erythromycin

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy

C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions Avoid contact with eyes; may cause sedation Intranasal corticosteroids This class of medications is most effective. Intranasal corticosteroids are potent antiinflammatory agents shown to decrease AR symptoms in more than 90% of patients. Presently, 9 medications are available in this class, and all are essentially equivalent in efficacy, although few head-to-head studies have been performed. Mometasone (Nasonex) and fluticasone furoate (Veramyst) have been demonstrated to have a somewhat faster onset of action; however, after one week, no difference is found between medications. Most can be used on a once-daily basis, and all have a similar safety profile. Nasonex is the only medication that did not show an affect on growth at one year. Veramyst did not show a growth affect in a 2-week study that is designed to evaluate for growth affects. A longer study is scheduled to begin in late 2007.

Beclomethasone (Beconase, Vancenase) May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal inflammation.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2-4 sprays/nostril bid (42 mcg/spray); titrate to lowest effective dose Pediatric <6 years: Not established 6-11 years: 1-2 sprays/nostril bid >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

None reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children; most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain) may occur with high doses

Budesonide (Rhinocort Aqua) May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal inflammation.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 1-4 sprays/nostril qd or divided bid; titrate to lowest effective dose (32 mcg/spray); not to exceed 4 sprays/nostril/d Pediatric

<6 years: Not established 6-11 years: 1 spray/nostril qd; may increase to 2 sprays/nostril qd if needed >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

None reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children; most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain) may occur with high doses

Ciclesonide (Omnaris) Corticosteroid nasal spray indicated for AR. Prodrug that is enzymatically hydrolyzed to pharmacologic active metabolite C21-desisobutyryl-ciclesonide following intranasal application. Corticosteroids have a wide range of effects on multiple cell types (eg, mast cells, eosinophils, neutrophils, macrophages, lymphocytes) and mediators (eg, histamines, eicosanoids, leukotrienes, cytokines) involved in allergic inflammation. Each spray delivers 50 mcg.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2 sprays (50 mcg/spray) in each nostril qd (ie, 200 mcg/d) Pediatric <12 years: Not established >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Data limited; PO ketoconazole increases desciclesonide AUC by approximately 3.5-fold at steady state

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions Caution when replacing systemic corticosteroids because of risk of adrenal insufficiency; may decrease growth velocity in pediatric patients; caution with active or quiescent tuberculosis infection or with untreated fungal, viral, or bacterial infections; rare instances of wheezing, nasal septum perforation, cataracts, glaucoma, and increased intraocular pressure reported

Flunisolide (Nasalide, Nasarel) May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal inflammation.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2 sprays/nostril bid or tid; not to exceed 8 sprays/d (25 mcg/spray) Pediatric <6 years: Not established 6-14 years: 2 sprays/nostril bid; not to exceed 4 sprays/d

Dosing Interactions Contraindications Precautions

None reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions

May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children; most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain) may occur with high doses

Fluticasone propionate (Flonase) May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal inflammation.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 1-2 sprays/nostril qd or 1 spray/nostril bid (50 mcg/spray); titrate to lowest effective dose; not to exceed 4 sprays (200 mcg)/d Pediatric <4 years: Not established >4 years: 1 spray/nostril qd; may increase to 2 sprays/nostril if needed

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Coadministration with other corticosteroids could increase risk of hypercorticism and/or suppression of HPA; coadministration with CYP450 3A4 isoenzyme inhibitors (eg, amprenavir, atazanavir, darunavir, delavirdine, fosamprenavir, indinavir, ketoconazole, nelfinavir, ritonavir, tipranavir) decreases fluticasone elimination and increases plasma fluticasone levels, case reports of iatrogenic cushingoid symptoms have been reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children; most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain) may occur with high doses

Fluticasone furoate (Veramyst) Intranasal corticosteroid. Indicated for seasonal and perennial allergic rhinitis. Relieves nasal symptoms associated with allergic rhinitis. Has also demonstrated improvement in allergic eye symptoms. Contains 27.5 mcg/spray.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 110 mcg intranasally qd initially (ie, 2 sprays each nostril qd); once symptoms improve, may decrease to 55 mcg qd (ie, 1 spray each nostril qd) Pediatric <2 years: Not established 2-11 years: 55 mcg intranasally qd (ie, 1 spray each nostril qd) >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Coadministration with other corticosteroids could increase risk of hypercorticism and/or suppression of HPA; coadministration with CYP450 3A4 isoenzyme inhibitors (eg, amprenavir, atazanavir, darunavir, delavirdine, fosamprenavir, indinavir, ketoconazole, nelfinavir, ritonavir, tipranavir) decreases fluticasone elimination and increases plasma fluticasone levels, case reports of iatrogenic cushingoid symptoms have been reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions Prime before using for first time by shaking contents and releasing 6 test sprays into air away from face; common adverse effects include headache, nose bleed, and nasal sores; fever occurred more frequently in children aged 2-11 years compared with placebo; epistaxis or sensations of nasal burnings may occur; local candidal infections of nasopharynx have been reported with topical steroid use; always consider potential risk of suppression of HPA when using large dose for prolonged periods; rare cases of cataract, glaucoma, and increased intraocular pressure have been reported following intranasal use of corticosteroids; concomitant use of intranasal corticosteroids and other inhaled and/or systemically absorbed corticosteroids may cause hypercorticism and/or HPA suppression; if exposed to measles or chickenpox, consider prophylactic therapy

Mometasone (Nasonex) May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal inflammation. Demonstrated no mineralocorticoid, androgenic, antiandrogenic, or estrogenic activity in preclinical trials. Decreases rhinovirus-induced up-regulation in respiratory epithelial cells and modulate pretranscriptional mechanisms. Reduces intraepithelial eosinophilia and inflammatory cell infiltration (eg, eosinophils, lymphocytes, monocytes, neutrophils, plasma cells).

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2 sprays (50 mcg/spray) each nostril qd Pediatric <2 years: Not established 2-11 years: 1 spray (50 mcg/spray) each nostril qd >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

None reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children; most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain) may occur with high doses; use with caution in patients with active or quiescent

tuberculosis of the respiratory tract; untreated fungal, bacterial, systemic viral infections; or ocular herpes; rare instances of nasal septum perforation and increased IOP have been reported; nasal and inhaled corticosteroids have been associated with development of glaucoma and/or cataracts

Triamcinolone (Nasacort AQ) May decrease number and activity of inflammatory cells, resulting in decreased nasal inflammation.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2 sprays/nostril/d initially; titrate to lowest effective dose Pediatric <6 years: Not established 6-11 years: Nasacort: 2 sprays/nostril/d Nasacort AQ: 1-2 sprays/nostril/d; titrate to lowest effect dose >12 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

None reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications

Precautions

Pregnancy C Fetal risk revealed in studies in animals but not established or not studied in humans; may use if benefits outweigh risk to fetus Precautions May cause adrenal suppression if overused; monitor for growth suppression in children; most common adverse effect is local irritation; exercise great caution when using nasal and inhaled corticosteroids because doses are additive and adverse effects are much more likely to occur as a result; cushingoid symptoms (eg, round [moon] face, weight gain) may occur with high doses Intranasal decongestants Decongestants are effective for short-term symptom control. They decrease nasal discharge and congestion and are available without a prescription. The 2 medications in this group are oxymetazoline hydrochloride (Afrin) and ipratropium bromide (Atrovent). Oxymetazoline hydrochloride is an addictive medication that is effective in shrinking nasal membranes and is not recommended for long-term use. Use of oxymetazoline hydrochloride for more than 7-10 d is habit forming. Patients can be addicted for years at a time. Addiction is termed rhinitis medicamentosa. Ipratropium bromide can be used for a prolonged period of time.

Ipratropium bromide 0.03% or 0.06% (Atrovent) Anticholinergic used for reducing rhinorrhea in patients with AR or vasomotor rhinitis. An excellent medication for decreasing rhinitis. Nonaddictive and lasts for 12 hours. Does not shrink the nasal mucosa, but inhibits secretion that causes rhinitis. Used alone or in conjunction with other medications.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 2 sprays/nostril bid/tid (21 mcg/spray) Pediatric

<6 years: Not established >6 years: Administer as in adults


Dosing Interactions Contraindications Precautions

Drugs with anticholinergic properties (eg, dronabinol) may increase toxicity; albuterol increases effects

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions Avoid contact with eyes; caution in narrow-angle glaucoma, prostatic hypertrophy, and bladder neck obstruction Intranasal mast cell stabilizers These are effective therapy for AR in approximately 70-80% of patients. They produce mast cell stabilization and antiallergic effects by inhibiting mast cell degranulation. They have no direct anti-inflammatory or antihistaminic effects and minimal bronchodilator effects. They are effective for prophylaxis. They also clean out antigens mechanically, similar to saline. These products are now available over the counter.

Cromolyn sodium (Nasalcrom)

Used on a daily basis for seasonal or perennial AR. Significant effect may not be seen for 4-7 d. Administer just before exposure in patients with isolated and predictable periods of exposure (eg, animal allergy, occupational allergy). Generally less effective than nasal corticosteroids. Protective effect lasts 4-8 h; thus, frequent dosing is necessary. If desired, may be used with other medicines, including other allergy medicines.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 1 spray/nostril q4-6h (5.3 mg/spray) Pediatric <2 years: Not established >2 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

None reported

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions

May take up to 4 wk for maximum efficacy; may cause nasal irritation; do not use in severe renal or hepatic impairment; symptoms may recur when drug is withdrawn Antileukotrienes Montelukast has been approved as monotherapy for allergic rhinitis. It has been shown to be most effective in patients in whom significant congestion is a primary complaint. It has also been shown to work as adjunctive therapy with present second-generation antihistamines to provide greater relief of symptoms than antihistamines alone. It is beneficial in patients with symptoms in whom present antihistamines are not adequate. A study has shown a combination with cetirizine is as effective as an intranasal corticosteroid. Antileukotriene can also be added to the treatment plan in patients receiving antihistamines and intranasal therapy.

Montelukast (Singulair) Inhibits airway cysteinyl leukotriene receptors. Because these receptors are found throughout the airway, the medication can mediate the effect in the upper and lower airway.

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Adult 10 mg PO qhs Pediatric 6-23 months: 4 mg (oral granules) PO qhs 2-5 years: 4 mg (chewable tab) PO qhs 6-14 years: 5 mg (chewable tab) PO qhs >15 years: Administer as in adults

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Substrate of CYP2C9 and CYP3A4; rifampin, phenobarbital, or carbamazepine may increase clearance

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Documented hypersensitivity

Dosing Interactions Contraindications Precautions

Pregnancy B Fetal risk not confirmed in studies in humans but has been shown in some studies in animals Precautions Not indicated to reverse acute asthma attacks; not for use as monotherapy in management of exercise-induced bronchospasm http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/17/rinitis-alergika/

Alergi rhinitis
Definition Definisi
Allergic rhinitis is a collection of symptoms, mostly in the nose and eyes, which occur when you breathe in something you are allergic to, such as dust, dander, or pollen. Alergi rhinitis adalah kumpulan gejala, terutama di hidung dan mata, yang terjadi saat Anda menghirup sesuatu yang Anda alergi, seperti debu, ketombe, atau serbuk sari. This article focuses on allergic rhinitis due to outdoor triggers, such as plant pollen. Artikel ini berfokus pada rhinitis alergi karena memicu outdoor, seperti serbuk sari tanaman. This type of allergic rhinitis is commonly called hay fever. Jenis rhinitis alergi ini biasanya disebut sebagai demam jerami. For information on other types of allergies, see: Untuk informasi tentang jenis alergi lain, lihat:

Allergies Alergi

Allergy to mold, dander, dust Alergi terhadap jamur, ketombe, debu Asthma Asma

Alternative Names Nama Alternatif


Hay fever; Nasal allergies Hay demam; Nasal alergi

Causes Penyebab
An allergen is something that triggers an allergy. Sebuah penyebab alergi adalah sesuatu yang memicu alergi. When a person with allergic rhinitis breathes in an allergen such as pollen or dust, the body releases chemicals, including histamine. Ketika seseorang dengan alergi rhinitis bernafas dalam alergen seperti serbuk sari atau debu, tubuh melepaskan zat kimia, termasuk histamin. This causes allergy symptoms such as itching, swelling, and mucus production. Hal ini menyebabkan gejala alergi seperti gatal, bengkak, dan produksi lendir. Hay fever involves an allergic reaction to pollen. Demam melibatkan reaksi alergi terhadap tepung sari. (A similar reaction occurs with allergy to mold, animal dander, dust, and similar inhaled allergens.) (Yang sama terjadi dengan reaksi alergi terhadap jamur, ketombe binatang, debu, dan yang sejenis alergen hirup.) The pollens that cause hay fever vary from person to person and from region to region. Yang serbuk sari yang menyebabkan demam bervariasi dari orang ke orang dan dari satu wilayah ke wilayah. Large, visible pollens are seldom responsible for hay fever. Besar, terlihat serbuk sari yang jarang bertanggung jawab atas jerami demam. Tiny, hard to see pollens more often cause hay fever. Kecil, sulit untuk melihat serbuk sari lebih sering menyebabkan demam. Examples of plants commonly responsible for hay fever include: Contoh tanaman umumnya bertanggung jawab atas jerami demam meliputi:

Trees (deciduous and evergreen) Pohon (gugur dan evergreen) Grasses Rumput Ragweed Ragweed

The amount of pollen in the air can play a role in whether hay fever symptoms develop. Jumlah serbuk sari di udara dapat memainkan peran dalam apakah gejala demam berkembang. Hot, dry, windy days are more likely to have increased amounts of pollen in the air than cool, damp, rainy days when most pollen is washed to the ground. Panas, kering, berangin hari lebih cenderung telah meningkatkan jumlah serbuk sari di udara dari dingin, lembab, hari hujan ketika sebagian besar serbuk sari dicuci ke tanah. Some disorders may be associated with allergies. Beberapa kelainan dapat berhubungan dengan alergi. These include eczema and asthma . Ini termasuk eksim dan asma.

Allergies are common. Alergi adalah umum. Your genes and environmental may make you more prone to allergies. Gen dan lingkungan Anda mungkin akan membuat Anda lebih rentan terhadap alergi. Whether or not you are likely to develop allergies is often passed down through families. Apakah Anda akan cenderung untuk mengembangkan sering alergi diturunkan melalui keluarga. If both your parents have allergies, you are likely to have allergies. Jika kedua orang tua Anda memiliki alergi, Anda cenderung memiliki alergi. The chance is greater if your mother has allergies. Kesempatan lebih besar jika ibumu memiliki alergi.

Symptoms Gejala
Symptoms that occur shortly after you come into contact with the substance you are allergic to may include: Gejala yang terjadi tak lama setelah anda kontak dengan substansi Anda alergi meliputi:

Itchy nose, mouth, eyes, throat, skin, or any area Gatal hidung, mulut, mata, tenggorokan, kulit, atau daerah Problems with smell Masalah dengan bau Runny nose Pilek Sneezing Bersin Tearing eyes Mata robek

Symptoms that may develop later include: Gejala yang mungkin berkembang kemudian meliputi:

Stuffy nose (nasal congestion) Hidung tersumbat (hidung tersumbat) Coughing Batuk Clogged ears and decreased sense of smell Tersumbat telinga dan penurunan indra penciuman Sore throat Sakit tenggorokan Dark circles under the eyes Lingkaran hitam di bawah mata Puffiness under the eyes Bengkak di bawah mata Fatigue and irritability Kelelahan dan mudah marah Headache Headache Memory problems and slowed thinking Masalah memori dan memperlambat berpikir

Exams and Tests Ujian dan Tes


The health care provider will perform a physical exam and ask you questions about your symptoms. Penyedia perawatan kesehatan akan melakukan pemeriksaan fisik dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala. Your history of symptoms is important in diagnosing allergic rhinitis, including whether the symptoms vary according to time of day or the season, exposure to pets or other allergens, and diet changes. Sejarah Anda gejala penting dalam mendiagnosis alergi rhinitis, termasuk apakah gejala

bervariasi menurut waktu siang atau musim, kontak dengan hewan peliharaan atau alergen lainnya, dan perubahan pola makan. Allergy testing may reveal the specific substances that trigger your symptoms. Alergi pengujian dapat mengungkapkan substansi spesifik yang memicu gejala. Skin testing is the most common method of allergy testing. Kulit pengujian adalah metode yang paling umum dari alergi pengujian. See the article on allergy testing for detailed information. Lihat artikel pengujian alergi untuk informasi rinci. If your doctor determines you cannot undergo skin testing, special blood tests may help with the diagnosis. Jika dokter Anda menentukan Anda tidak dapat menjalani tes kulit, tes darah khusus dapat membantu diagnosis. These tests can measure the levels of specific allergy-related substances, especially one called immunoglobulin E (IgE). Tes ini dapat mengukur tingkat tertentu yang berhubungan dengan zat-zat alergi, terutama yang disebut imunoglobulin E (IgE). A complete blood count (CBC), specifically the eosinophil white blood cell count, may also help reveal allergies. Hitung darah lengkap (CBC), khususnya eosinophil jumlah sel darah putih, dapat juga membantu menunjukkan alergi.

Treatment Perawatan
The best treatment is to avoid what causes your allergic symptoms in the first place. Pengobatan terbaik adalah menghindari apa yang menyebabkan gejala alergi Anda di tempat pertama. It may be impossible to completely avoid all your triggers, but you can often take steps to reduce exposure. Mungkin mustahil untuk sepenuhnya menghindari semua memicu Anda, tetapi Anda dapat sering mengambil langkah-langkah untuk mengurangi eksposur. There are many different medications available to treat allergic rhinitis. Ada banyak obat yang berbeda tersedia untuk mengobati alergi rhinitis. Which one your doctor prescribes depends on the type and severity of your symptoms, your age, and whether you have other medical conditions (such as asthma). Yang mana yang diresepkan dokter tergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari gejala anda, umur Anda, dan apakah Anda memiliki kondisi medis lainnya (seperti asma). For mild allergic rhinitis, a nasal wash can be helpful for removing mucus from the nose. Untuk rhinitis alergi ringan, mencuci hidung dapat membantu untuk mengeluarkan lendir dari hidung. You can purchase a saline solution at a drug store or make one at home using one cup of warm water, half a teaspoon of salt, and pinch of baking soda. Anda dapat membeli larutan garam di toko obat atau membuat satu di rumah dengan menggunakan satu cangkir air hangat, setengah sendok teh garam, dan sejumput baking soda. Treatments for allergic rhinitis include: Pengobatan untuk alergi rhinitis meliputi: ANTIHISTAMINES Antihistamin

Antihistamines work well for treating allergy symptoms, especially when symptoms do not happen very often or do not last very long. Antihistamin bekerja dengan baik untuk mengobati gejala alergi, terutama bila gejala tidak terjadi terlalu sering atau tidak berlangsung lama.

Antihistamines taken by mouth can relieve mild to moderate symptoms, but can cause sleepiness. Antihistamin diambil oleh mulut dapat meredakan gejala ringan sampai sedang, tetapi dapat menyebabkan kantuk. Many may be bought without a prescription. Banyak dapat dibeli tanpa resep. Talk to your doctor before giving these medicines to a child, as they may affect learning. Bicaralah dengan dokter sebelum memberikan obat ini kepada seorang anak, karena dapat mempengaruhi belajar. Newer antihistamines cause little or no sleepiness. Newer antihistamin menyebabkan sedikit atau tidak ada kantuk. Some are available over the counter. Beberapa yang tersedia di atas meja. They usually do not interfere with learning. Mereka biasanya tidak mengganggu belajar. These medications include fexofenadine (Allegra), and cetirizine (Zyrtec). Obat-obat ini termasuk fexofenadine (Allegra), dan cetirizine (Zyrtec). Azelastine (Astelin) is a antihistamine nasal spray that is used to treat allergic rhinitis. Azelastine (Astelin) adalah antihistamin semprot hidung yang digunakan untuk mengobati alergi rhinitis.

CORTICOSTEROIDS Kortikosteroid

Nasal corticosteroid sprays are the most effective treatment for allergic rhinitis. Kortikosteroid nasal semprotan perawatan yang paling efektif untuk alergi rhinitis. They work best when used nonstop, but they can also be helpful when used for shorter periods of time. Mereka bekerja baik jika digunakan tanpa henti, tetapi mereka juga dapat membantu ketika digunakan untuk periode waktu yang lebih pendek. Many brands are available. Banyak merek yang tersedia. They are safe for children and adults. Mereka adalah aman untuk anak-anak dan orang dewasa.

DECONGESTANTS Dekongestan

Decongestants may also be helpful in reducing symptoms such as nasal congestion. Dekongestan juga dapat membantu dalam mengurangi gejala-gejala seperti hidung tersumbat. Nasal spray decongestants should not be used for more than 3 days. Nasal spray dekongestan tidak boleh digunakan selama lebih dari 3 hari. Be careful when using over-the-counter saline nasal sprays that contain benzalkonium chloride. Berhati-hatilah ketika menggunakan over-the-counter saline nasal spray yang mengandung benzalkonium klorida. These may actually worsen symptoms and cause infection. Ini mungkin benar-benar memperburuk gejala dan menyebabkan infeksi.

OTHER TREATMENTS PERAWATAN LAIN

The leukotriene inhibitor Singulair is a prescription medicine approved to help control asthma and to help relieve the symptoms of seasonal allergies. Inhibitor yang leukotriene Singulair adalah obat resep disetujui untuk membantu mengendalikan asma dan membantu meringankan gejala-gejala alergi musiman.

Specific illnesses that are caused by allergies (such as asthma and eczema) may require other treatments. Penyakit tertentu yang disebabkan oleh alergi (seperti asma dan eksim) mungkin memerlukan perawatan lain. ALLERGY SHOTS ALLERGY SHOTS Allergy shots (immunotherapy) are occasionally recommended if the allergen cannot be avoided and if symptoms are hard to control. Suntikan alergi (immunotherapy) kadangkadang dianjurkan bila penyebab alergi tidak dapat dihindari dan jika gejala sulit untuk dikendalikan. This includes regular injections of the allergen, given in increasing doses (each dose is slightly larger than the previous dose) that may help the body adjust to the antigen . Ini termasuk suntikan reguler dari penyebab alergi, yang diberikan dalam meningkatkan dosis (setiap dosis sedikit lebih besar dari dosis sebelumnya) yang dapat membantu tubuh menyesuaikan diri dengan antigen.

Outlook (Prognosis) Outlook (Prognosis)


Most symptoms of allergic rhinitis can be treated. Kebanyakan gejala rhinitis alergi dapat diobati. More severe cases require allergy shots. Kasus yang lebih parah memerlukan suntikan alergi. Some people (particularly children) may outgrow an allergy as the immune system becomes less sensitive to the allergen. Beberapa orang (terutama anak-anak) dapat mengatasi alergi ketika sistem kekebalan tubuh menjadi kurang sensitif terhadap alergi. However, as a general rule, once a substance causes allergies for an individual, it can continue to affect the person over the long term. Namun, sebagai aturan umum, sekali suatu zat penyebab alergi bagi seorang individu, ia dapat terus mempengaruhi orang dalam jangka panjang.

Possible Complications Kemungkinan Komplikasi

Sinusitis Sinusitis

When to Contact a Medical Professional Ketika ke Kontak Profesional Medis


Call for an appointment with your health care provider if severe symptoms of allergies or hay fever occur, if previously successful treatment has become ineffective, or if your symptoms do not respond to treatment. Panggilan untuk membuat janji dengan dokter

jika gejala yang parah alergi atau demam terjadi, jika sebelumnya berhasil perawatan telah menjadi tidak efektif, atau jika gejala tidak menanggapi pengobatan.

Prevention Pencegahan
Symptoms can sometimes be prevented by avoiding known allergens. Gejala terkadang dapat dicegah dengan menghindari alergen. During the pollen season, people with hay fever should remain indoors in an air-conditioned atmosphere whenever possible: Selama musim serbuk sari, orang-orang dengan jerami demam harus tetap di dalam rumah dalam suasana ber-AC bila memungkinkan:

Most trees produce pollen in the spring. Kebanyakan pohon menghasilkan serbuk sari di musim semi. Grasses usually produce pollen during the late spring and summer. Rumput biasanya menghasilkan serbuk sari pada akhir musim semi dan musim panas. Ragweed and other late-blooming plants produce pollen during late summer and early autumn. Ragweed dan terlambat berkembang lainnya menghasilkan serbuk sari tanaman selama akhir musim panas dan awal musim gugur.

http://www.sjhsyr.org/sjhhc/hidc07/Encyclopedia/1/000813.htm

Anda mungkin juga menyukai