Anda di halaman 1dari 10

1. Jelaskan perbedaan miringoplasti dan timpanoplasti!

Timpanoplasti adalah prosedur pembedahan atau rekonstruksi pada membran

timpani disertai atau tidak disertai oleh pencangkokan membran timpani, sering kali

harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran.

Tipe Timpanoplasti

Ada lima tipe dasar dari prosedur timpanoplasti menurut Zollner dan Wullstein

(1952):

Tipe I timpanoplasti disebut Miringoplasti. Hanya merekonstruksi membran timpani

yang berlubang.

Tipe II timpanoplasti digunakan untuk perforasi membran timpani dengan erosi

maleus. Ini melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus tersebut.

Tipe III timpanoplasti diindikasikan untuk penghancuran dua ossicles, dengan stapes

masih utuh dan mobile. Ini melibatkan penempatan cangkokan ke stapes, dan

menyediakan perlindungan untuk perakitan.

Tipe IV timpanoplasti digunakan untuk penghancuran tulang pendengaran, yang

mencakup semua atau bagian dari lengkungan stapes. Ini melibatkan penempatan

cangkokan pada atau sekitar kaki stapes mobile.

Tipe V timpanoplasti digunakan ketika kaki dari stapes menetap.


Daftar Pustaka :
1. Roland, P. S. Tympanoplasty: Repair of the Tympanic Membrane. Continuing
Education Program (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Foundation). Alexandria, VA: American Academy of Otolaryngology, 1994.
2. Fisch, H. and J. May. Tympanoplasty, Mastoidectomy, and Stapes Surgery. New York:
Thieme Medical Pub., 1994.

2. Jelaskan mengapa perforasi atik lebih berbahaya dibandingkan dengan

perforasi membran timpani lainnya!

Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat

aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum

mastoid. Perforasi daerah pars flaksida sering digambarkan sebagai komplikasi.

Perforasi membran timpani termasuk depresi membran timpani ke telinga tengah,

membentuk kantong retraksi. Kantong yang terbentuk lebih sering berkaitan dengan

pembentukan kolesteatoma.

Daftar Pustaka :

1. Iskandar, Nurbaiti. Trauma kepala dan leher. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2008.p.64-77
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakit THT. Translation and
adaptation of Boeis fundamentals of otolaryngology. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2007.p.195-215

3. Jelaskan pemeriksaan Tes Bisik !


Tes suara bisik
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal penderita dimana
kata-kata itu mengandung huruf lunak dan huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak
penderita dengan pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang
dibisikan dengan benar. Pada orang normal dapat mendengar 80% dari kata-kata yang
dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter. Apabila kurang dari 5 6 meter berarti ada
kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat mendengarkan kata - kata dengan
huruf lunak berarti tuli konduksi. Sebaliknya bila tak dapat mendengar kata-kata
dengan huruf desis berarti tuli persepsi. Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat
mendengar dites dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal dapat
mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.

Teknik pemeriksaan

Penderita dan pemeriksa sama sama berdiri, penderita tetap di tempat,


sedang pemeriksa yang berpindah tempat. Mulai pada jarak 1 m, dibisikan 5 atau 10
kata (umumnya 5 kata). Bila semua kata dapat didengarkan, pemeriksa mundur ke
jarak 2 m dibisikan kata lain dalam jumlah yang sama, bila di dengarkan semua
mundur lagi sampai pada jarak dimana penderita mendengar 80% kata kata
(mendengar 4 kata dari 5 kata yang dibisikan), pada jarak itulah tajam pendengaran
telinga yang dites.
Untuk memastikan apakah hasil tes benar maka dapat di tes ulang. Misalnya
tajam pendengaran 3 m, maka bila pemeriksa maju ke arah 2 m penderita akan
mendengar semua kata yang dibisikan (100%) dan bila pemeriksa mundur ke jarak
4m maka penderita hanya mendengar kurang dari 80% kata yang dibisikan.

Hasil tes

Pendengar dapat dinilai secara kuantitatif (tajam pendengaran).

kuantitatif

Fungsi pendengaran Suara bisik


Normal 6 M
Tuli ringan 4m
Tuli sedang 1m - < 4 m
Tuli berat <1m
Tuli total Bila berteriak depan telinga, penderita tetap
tidak mendengar.

Daftar Pustaka :
Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr.

Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga,

Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000

4. Jelaskan pemeriksaan Tes Suara (Audiometri Nada Murni) !


Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi
kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran Nada murni berarti
bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per
detik. Audiometri nada murni/ pure tune audiometry (PTA) adalah salah satu jenis uji
pendengaran untuk menilai fungsi pendengaran. Audiometer nada murni merupakan
uji sensitivitas prosedur masing masing telinga dengan menggunakan alat listrik yang
dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari frekuensi bunyi yang berbeda beda,
yaitu 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam
satuan desibel (dB). Bunyi dihasilkan dari dua sumber yaitu sumber pertama adalah
dari earphone yang ditempelkan pada telinga, manakala sumber kedua adalah suatu
osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan pada mastoid (atau dahi)
melalui satu head band. Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan
menggetarkan cairan dalam koklear. Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui ear
phone atau melalui bone conductor ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram dan akan diperiksa secara terpisah,
untuk bunyi yang disalurkan melalui ear phone mengukur ketajaman pendengaran
melalui hantaran udara, sedangkan melalui bone conductor telinga mengukur hantaran
tulang pada tingkat intensitas nilai ambang. Dengan membaca audiogram yang
dihasilkan kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang.
Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan
berusia sekitar 18-30 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada
murni.
Daftar Pustaka :

1. Prihardini D, dkk. Sensori dan Persepsi Auditif. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. 2010.
2. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Jakarta.
Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22.

5. Jelaskan Klindamisin dari segi farmakologi!


Klindamisin adalah antibiotik yang spektrumnya menyerupai Linkomisin
namun aktivitasnya lebih besar terhadap organisme yang sensitif. Clindamycin efektif
terhadap bakteri Staphylococcus aureus, D. pneumoniae, Streptococcus pyogenes,
Streptococci(kecuali Streptococcus faecalis), Streptococcus viridans dan Avtinomyces
israelli serta efektif terhadap Bacteroides fragilis dan kuman patogen anaerob yang
peka lainnya. Klindamisin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri.

INDIKASI
Indikasi Clindamycin adalah infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri yang sensitif
terhadap Klindamisin terutama Streptokokus, Pneumokokus, Stafilokokus dan bakteri
anaerob seperti :
Infeksi serius saluran nafas bagian bawah,
Infeksi serius kulit dan jaringan lunak,
Osteomielitis,
Infeksi serius intra-abdominal,
Septikemia / sepsis,
Abses intra-abdominal,
Infeksi pada panggul wanita dan saluran kemih.

KONTRAINDIKASI
klindamisin kontraindikasi bagi pasien yang yang hipersensitif atau alergi terhadap
klindamisin HCl atau linkomisin.

DOSIS DAN ATURAN PAKAI


Orang dewasa yang menderita infeksi serius : 150-300 mg tiap 6 jam.
Bisa ditingkatkan menjadi 300-450 mg tiap 6 jam jika perlu.
Anak-anak dengan infeksi berat : 8-16 mg/kg berat badan dalam 3-4 dosis
terbagi.
Untuk mencegah kemungkinan timbulnya iritasi lambung dan kerongkongan
(esofageal), obat harus diminum dengan segelas air penuh.
EFEK SAMPING
Berikut ini efek samping klindamisin yang dapat terjadi :
Gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan kolitis
pseudomembranousa.
Reaksi hipersensitif atau alergi seperti pruritus, rash, atau urtikaria.
Gangguan hati seperti jaundice, abnormalitas test fungsi hati.
Gangguan ginjal seperti disfungsi ginjal (azotemia, oliguria, proteinuria).
Gangguan darah / hematologi seperti neutropenia sementara (leukopenia),
eosinofilia, agranulositosis, dan thrombositopenia.
Gangguan muskuloskeletal seperti polyarthritis.

Daftar Pustaka :
1. Katzung, B.G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, diterjemahkan oleh Sjabana, D.,
Isbandiati, E., Basori, A., Soejdak, M., Uno, Indriyani., Ramadhani, R.B., Zakaria,
S., Buku II, sixth edition, 352, 359, 360 dan 365, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
2. Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik, Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku III, sixth edition,
531,637, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.
3. Gilman, A.G., 2007, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, diterjemahkan
oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Edisi X, 877, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta.

6. Jelaskan Metil Prednisolon dari segi farmakologi!


Methylprednisolone adalah suatu obat glukokortikoid alamiah (memiliki sifat

menahan garam (salt retaining properties)), digunakan sebagai terapi pengganti pada

defisiensi adrenokortikal. Analog sintetisnya terutama digunakan sebagai anti-

inflamasi pada sistem organ yang mengalami gangguan. Glukokortikoid

menimbulkan efek metabolisme yang besar dan bervariasi. Glukokortikoid merubah

respon kekebalan tubuh terhadap berbagai rangsangan.

INDIKASI
Kelainan endokrin : insufisiensi adrenokortikal (hydrocortisone atau cortisone

merupakan pilihan pertama, kombinasi methylprednilosolone dengan


mineralokortikoid dapat digunakan); adrenal hiperplasia kongenital; tiroid

non-supuratif; hiperkalemia yang berhubungan dengan penyakit kanker.


Penyakit rheumatik : sebagai terapi tambahan dengan pemberian jangka

pendek pada arthritis sporiatik, arthritis rheumatoid, ankylosing spondilitis,

bursitis akut dan subakut, non spesifik tenosynovitis akut, gouty arthritis akut,

osteoarthritis post-trauma, dan epikondilitis.


Penyakit kolagen : systemik lupus eritematosus, karditis rheumatik akut, dan

sistemik dermatomitosis (polymitosis).


Penyakit kulit : pemphigus, bullous dermatitis herpetiformis, eritema

multiforme yang berat (Stevens Johnson sindrom), eksfoliatif dermatitis,

mikosis fungoides, psoriaris, dan dermatitis seboroik .


Alergi : seasonal atau perenial rhinitis alergi, penyakit serum, asma bronkhial,

reaksi hipersensitif terhadap obat, dermatitis kontak dan dermatitis atopik.


Penyakit mata : corneal marginal alergi, herpes zooster opthalmikus,

konjungtivitis alergi, keratitis, chorioretinitis, neuritis optik, iritis, dan

iridosiklitis.
Penyakit pernafasan : sarkoidosis simptomatik, pulmonary tuberkulosis

pulminan atau diseminasi.


Kelainan darah : idiopatik purpura trombositopenia, trombositopenia sekunder

pada orang dewasa, anemia hemolitik, eritoblastopenia, hipolastik anemia

kongenital.
Penyakit kanker (Neoplastic disease) : untuk terapi paliatif pada leukemia dan

lympoma pada orang dewasa, dan leukemia akut pada anak.


Edema : menginduksi diuresis atau remisi proteinuria pada syndrom nefrotik.
Gangguan saluran pencernaan : kolitis ulseratif dan regional enteritis.
Sistem syaraf : eksaserbasi akut pada mulitipel sklerosis.
Lain-lain : meningitis tuberkulosa.
KONTRAINDIKASI
Methylprednisolone dikontraindikasikan pada infeksi jamur sistemik dan

pasien yang hipersentitif terhadap komponen obat.

DOSIS DAN ATURAN PAKAI


Dosis awal bervariasi antara 448 mg/hari tergantung pada jenis dan beratnya

penyakit, serta respon penderita. Bila telah diperoleh efek terapi yang

memuaskan, dosis harus diturunkan sampai dosis efektif minimal untuk

pemeliharaan.
Pada situasi klinik yang memerlukan methylprednisolone dosis tinggi

termasuk multiple sklerosis : 160 mg/hari selama 1 minggu, dilanjutkan

menjadi 64 mg/hari selama 1 bulan menunjukkan hasil yang efektif.


Jika selama periode terapi yang dianggap wajar respon terapi yang diharapkan

tidak tercapai, hentikan pengobatan dan ganti dengan terapi yang sesuai.

Setelah pemberian obat dalam jangka lama, penghentian obat sebaiknya

dilakukan secara bertahap.


Pemberian obat secara ADT (Alternate-Day Therapy) : adalah rejimen dosis

untuk 2 hari diberikan langsung dalam 1 dosis tunggal pada pagi hari (obat

diberikan tiap 2 hari sekali). Tujuan dari terapi ini meningkatkan farmakologi

pasien terhadap pemberian dosis pengobatan jangka lama untuk mengurangi

efek-efek yang tidak diharapkan termasuk supresi adrenal pituitari,

keadaan :Cushingoid, simptom penurunan kortikoid dan supresi

pertumbuhan pada anak.


EFEK SAMPING
Efek samping berikut adalah tipikal untuk semua kortikosteroid sistemik. Hal-

hal yang tercantum di bawah ini tidaklah menunjukkan bahwa kejadian yang spesifik

telah diteliti dengan menggunakan formula khusus.


Gangguan pada cairan dan elektrolit : Retensi sodium, retensi cairan, gagal

jantung kongestif, kehilangan kalium pada pasien yang rentan, hipokalemia

alkalosis, hipertensi.
Jaringan otot : steroid miopati, lemah otot, osteoporosis, nekrosis aseptik,

keretakan tulang belakang, keretakan pathologi.


Saluran pencernaan : ulserasi peptik dengan kemungkinan perforasi dan

perdarahan, pankretitis, ulserasi esofagitis, perforasi pada perut, perdarahan


gastrik, kembung perut. Peningkatan Alanin Transaminase (ALT, SGPT),

Aspartat Transaminase (AST, SGOT), dan Alkaline Phosphatase telah diteliti

pada pengobatan dengan kortikosteroid. Perubahan ini biasanya kecil, tidak

berhubungan dengan gejala klinis lain, bersifat reversibel apabila pemberian

obat dihentikan.
Dermatologi : mengganggu penyembuhan luka, menipiskan kulit yang rentan,

petechiae, ecchymosis, eritema pada wajah, banyak keringat.


Metabolisme : Keseimbangan nitrogen yang negatif sehubungan dengan

katabolisme protein. Urtikaria dan reaksi alergi lainnya, reaksi anafilaktik dan

reaksi hipersensitif. dilaporkan pernah terjadi pada pemberian oral maupun

parenteral.
Neurologi : Peningkatan tekanan intrakranial, perubahan fisik, pseudotumor

cerebri, dan epilepsi.


Endokrin : Menstruasi yang tidak teratur, terjadinya keadaan cushingoid,

supresi pada pitutary-adrenal axis, penurunan toleransi karbohidrat, timbulnya

gejala diabetes mellitus laten, peningkatan kebutuhan insulin atau

hypoglikemia oral, menyebabkan diabetes, menghambat pertumbuhan anak,

tidak adanya respon adrenokortikoid sekunder dan pituitary, khususnya pada

saat stress atau trauma, dan sakit karena operasi.


Mata : Katarak posterior subkapsular, peningkatan tekanan intrakranial,

glaukoma dan eksophtalmus.


Sistem imun : Penutupan infeksi, infeksi laten menjadi aktif, infeksi

oportunistik, reaksi hipersensitif termasuk anafilaksis, dapat menekan reaksi

pada test kulit.

Daftar Pustaka :
1. Goodman and Gilman. 2006. The Pharmacologic Basic of Therapeutics-11th Ed.

New York. Mc-Graw-Hill Companies


2. Katzung, G.Bertram. 2007. Basic & Clinical Pharmocology, 10th. New York. The

McGraw-Hill Companies

Anda mungkin juga menyukai