Seperti yang sudah kita bahas di sini, ketika kita sudah sanggup melakukan sesuatu dengan cepat (tanpa perlu berpikir keras, panjang dan lama) dan tingkat akurasi yang tinggi (The unconsciously skilled), maka tingkat keahlian kita sudah tinggi levelnya. Stephen R. Covey, menyebutnya sebagai habit. Untuk melatih habit, maka syaratnya harus tiga, yaitu: a) mengasah ketrampilan, b) menambah pengetahuan, dan c) memiliki keinginan yang kuat.
(Stephen R. Covey, 7 Habits of Highly of Effective People: Simon & Schuster, Inc., 1993) Nah, sebagai kapasitas / kecerdasan yang menunggu sentuhan, maka akan lebih beruntung jika kita tidak selalu mendukunisasi intuisi. Dukunisasi dalam arti menghilangkan pemahaman yang berbasis akal sehat mengenai intuisi. Kita lebih sibuk memburu "orang pintar" yang dapat memberi jawaban instan tanpa latihan. Atau lebih sibuk kirim SMS ketimbang melatih proses. Memang, ada banyak jalan yang diturunkan Tuhan untuk mengetahui sesuatu, tanpa melalui proses reasoning, selain intuisi, dari mulai wangsit, bisikan jin, ilham, insting yang unik, dan seterusnya. Tetapi, secara fakta, tidak ada yang validitas, akurasi, dan kemanfaatannya melebihi proses yang berbasiskan akal sehat jika kepentingannya untuk mengetahui "what to do" atau "what not to do". Bisa saja kita dapat informasi dari "orang pintar" bahwa bisnis kita itu harus mengandung air atau kayu. Tapi kalau latihannya tidak jalan untuk mengasah intuisi yang berbasiskan akal sehat, hampir dipastikan kinerjanya sangat rendah. Bisa-bisa kalah oleh ketakutan, suara egoisme, ambisi, atau kalah oleh khayalan. Mengelola Keleluasaan Dan Keterbatasan Tuhan memang menurunkan sekian keunikan kepada kita. Di samping memberi keleluasaan yang tak terbatas, kita pun dikasih keterbatasan. Agar kita bisa bergerak cepat saat tidak tahu harus kemana, Tuhan memberi kita intuisi. Tapi intuisi pun tak bisa menghilangkan keterbatasan, lebih-lebih menjadikan kita manusia yang tak pernah salah. Ini mustahil. Selain terkait dengan proses mengasah kecerdasan, dimana setiap orang punya bentuk keterbatasan yang berbeda-beda, akurasi dan validitas intuisi juga terkait dengan jam terbang, spesialisasi atau wilayah perjuangan hidup. Penulis punya intuisi yang lebih tajam untuk hal-hal yang terkait dengan tulisan, begitu juga dengan teknisi IT yang sudah bisa mengetahui sebelum tahu. Sama juga dengan pengusaha, politikus, dan lain-lain. Memang harus diakui, ada sebagian orang yang dikasih intuisi
hanya spesifik, sesuai bidangnya, dan ada yang dikasih ketajaman intuisi secara jenerik, dalam arti mampu melampaui bidangnya. Misalnya seorang guru yang bisa melihat muridnya secara intuitif. Itu sepertinya sudah merupakan hak veto Tuhan untuk membedakan dan menyamakan manusia. Keterbatasan lainnya adalah mengetahui suara intuisi yang pas untuk keadaan yang pas. Ini juga tidak seratus persen dapat kita jamah. Adakalanya intuisi itu tampil dalam bentuk blitz (cahaya) yang sudah langsung tergambar di otak dari hati, innate feeling (perasaan yang mengarahkan kita), kecondongan keyakinan, terulangnya kejadian yang kebetulan-tapi-tidak-kebetulan, dan lain-lain. Intinya, selain dikasih kapasitas untuk mengambil keputusan berdasarakan tool yang nyata, sepert pengetahauan, reasoning, dan seterusnya, Tuhan pun mengasih kita tool yang tidak nyata. Mulai dari intuisi, hidayah, ilham, feeling, insting, mimpi, dan seterusnya. Bedanya pada kualitas kinerja. Supaya kinerjanya bagus, harus dilatih. Supaya latihannya jalan, memang harus ada connectedness. Sangkan Paraning Dumadi Di tradisi spiritual kita ada istilah Sangkan Paraning Dumadi atau anjuran untuk mengetahui darimana dan mau kemana kita ini. Secara makro, pasti kita sudah tahu bahwa istilah itu mengajarkan kita untuk mengetahui Tuhan. Kita berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan juga. Yang kerap kita lupakan adalah menggeret penerapannya ke ruang lingkup yang paling mikro, yaitu mengetahui diri kita. Padahal, pengetahuan diri merupakan kunci untuk mengetahui Tuhan. Walaupun kita sudah diajari mengenal Tuhan, tapi kalau belum mengenal diri, bisa-bisa pengetahuan kita tentang Tuhan baru di tingkat normatifnya, yang baru bagus untuk menjawab ujian sekolah, tapi kerap gagal untuk menjawab ujian kehidupan. Cara yang diajarkan untuk mengenal diri, dari sejak turunnya para Nabi sampai ke temuan spiritual modern, adalah membangun komunikasi dengan diri agar tercipta connectedness (keterhubungan) antara kita dengan diri kita, dari yang sifatnya paling global sampai ke yang paling detail, dari yang paling makro sampai ke yang paling mikro. Ini misalnya saja mengenal dimana wilayah / bidang kita, mengenal kelebihan dan keunikan kita, mengenal visi dan nilai yang kita perjuangkan, atau mengenal Sangkan Paraning Dumadi kita sebagai hamba Tuhan yang harus tunduk dan sebagai khalifah Tuhan yang harus kreatif dengan kebebasan. Intensitas dan kualitas komunikasi (connectedness) kita dengan diri sangat terkait dengan kinerja intuisi, entah yang spesifik atau yang generik, jika dikaitkan dengan bagaimana keputusan akan kita ambil, "what to do"dan "what not to do". Untuk sebagai monitor, kita bisa mengecek bagaimana proses pengambilan keputusan itu melalui pertanyaan di bawah ini: <!--[endif]--> 1. Apakah kita sudah sering mengambil keputusan secara spontan lalu bekerja untuk menjalankan keputusan itu dan hasilnya lebih sering OK-nya? 2. Apakah kita terbiasa mengambil keputusan melalui proses pikir-pikir dulu, menimbang salah-benarnya, lamban bertindak, dan hasilnya terkadang OK dan terkadang TIDAK OK? 3. Apakah kita terbiasa mengambil keputusan melalui penolakan dulu, lari ke argumen moral dan retorika norma, tidak bersikap, tidak bertindak, dan hasilnya tidak mengubah apa-apa? Jika yang sering kita lakukan nomor (1), maka intuisi kita sudah bekerja lebih bagus karena connectedness kita sudah lebih intens. Kita sudah tahu lebih cepat what to do dan what not to do. Tapi kalau yang nomor (2), intensitas komunikasi kita masih lebih sering pada teori atau logika umum yang kita hafal sehingga kita butuh waktu atau butuh buka buku dulu. Sedangkan untuk nomor (3), bisa ada dua kemungkinan. Mungkin kita lebih intens dengan nafsu egoisme kita sehingga sering menolak apa yang terjadi (bukan menyikapi atau work on terhadap apa yang terjadi) atau mungkin lebih intens dengan khayalan kita sehingga lebih sering mengidealisasikan kenyataan, bukan menghadapi kenyataan. Latihan Bersikap Setiap hari, Tuhan melatih kita untuk menggunakan berbagai kapasitas, misalnya dengan memberi kejutan buruk, memberi pengalaman, atau pilihan dan puzzle. Terkadang, lebih sering kita menolak secara batin atau membiarkannya begitu saja. Padahal, kalau kita sikapi secara cepat, ini bisa melatih ketajaman intuitif, entah yang spesifik atau yang jenerarl. Bahwa untuk awal-awal ada banyak kesalahan, namanya juga belajar. Semoga bermanfaat.