Anda di halaman 1dari 4

KOMPAS CYBER MEDIA COMMUNITY

Ada pihak yang sudah merasa adil bila orang yang dianggap melakukan kesalahannya telah dihukum. Tapi apakah semudah itu untuk memutuskan kata "bersalah" bila perbuatan yang salah itu dilakukan bukan oleh satu orang , satu pihak, tapi banyak pihak yang terlibat, dan banyak pihak yang terlibat itu "sekarang"pun masih berkuasa dan berpengaruh. Saya bukan mau berucap....biarkan saja itu terjadi, tapi hanya ingin berucap, bahwa "mengadili" kadang tidak membawa kesebuah "Keadilan" bila kita ingin sangat mengadili beliau yang sebenarnya juga telah banyak berjasa bagi negaranya. Maaf lahir bathin atas kesalaha kata2 saya , bila kata (tulisan) saya dapat menyakiti hati pembaca kokiers yang membacanya, saya tidak ada maksud untuk menyakiti siapapun , karena saya bukanlah siapa2 . salam damai dewi - kuching

KoKiNegeriku: Kilas Balik Soeharto


(-) Kilas Balik Presiden Soeharto H Rosihan Anwar *) "Dalam batin terasa ada sesuatu yang mengganjal: Soeharto got away with it so easily, lolos dengan mudah..." Beberapa tahun lalu, wartawan ABC (Australia) mewawancarai saya, "Apakah perbedaan antara Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto." Karena bicara di depan kamera televisi, saya jawab dengan soundbites, agar jangan bertele-tele: "President Soekarno is the great Nation-builder, President Soeharto is the great Economic-builder". Suatu pagi Januari 2006, pengusaha kayu Bob Hasan menelepon saya memberitahukan dia baru saja bercakap-cakap dengan Pak Harto. Tiba-tiba Pak Harto mengenang masa lampau, lalu bicara tentang peristiwa menjemput Panglima Besar Sudirman di daerah gerilya, saat aksi militer Belanda II, supaya kembali ke Yogyakarta bergabung dengan Soekarno-Hatta. Pak Harto bilang dia pergi bersama wartawan Rosihan
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60787&section=92 (15 of 67)28/01/2008 10:40:52

KOMPAS CYBER MEDIA COMMUNITY

Anwar. "Bagaimana keadaan ekonominya?" tanyanya. Bob Hasan berkata, jika saya mau mengunjungi Pak Harto di Jalan Cendana, dia bisa atur. Tapi, saat itu saya sakit vertigo. Pertama kali kenal Dalam peristiwa menjemput Jenderal Sudirman itulah, pertama kali saya kenal Letkol Soeharto, Komandan Wehrkreise III, 8 Juli 1949 pukul 07.00 pagi di ujung Jalan Malioboro dekat Kantor PTT. Atas permintaan Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum), saya beserta wartawan foto Frans Mendur dari Ipphos menjemput Jenderal Sudirman agar dunia internasional diberi tahu tidak ada perbedaan antara Soekarno-Hatta dan Sudirman (tentara) dalam pelaksanaan persetujuan Roem-Royen mengenai penyerahan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Harian Kompas Dari Yogya ke Wonosari kami naik jip milik UNCI (United Nations Commission on Indonesia) yang disetir Letkol Soeharto, berusia 28 tahun, berpakaian seragam putih dengan syal leher serta peci bivak warna hitam. Dari Wonosari naik sepeda menyisir Gunung Kendeng, lalu berjalan kaki hingga tiba pukul 20.00 di Desa Ponjong, markas Sudirman. Selama perjalanan, Soeharto tidak banyak omong, kecuali saat mempersilakan saya minum air kelapa muda yang baru dipetik oleh seorang penduduk desa setempat. Mengapa Soeharto meneng (diam) saja? Apakah karena tidak mengenal saya sebelumnya? Atau sikapnya mengikuti ungkapan bahasa Jawa kulina meneng (pendiam)? Pada tahun 1956, tentara di beberapa daerah mendirikan dewan-dewan. Dewan Banteng, Dewan Garuda, Dewan Gajah di Sumatera yang akhirnya bermuara pada gerakan PRRI-Permesta. Timbul upaya mendamaikan dwitunggal Soekarno-Hatta yang dalam masalah daerah berseberangan sikap. Maka, musyawarah nasional diselenggarakan di Jakarta, dihadiri pemimpin partai dan panglima dari daerah. Kesepakatan yang dicapai diumumkan di rumah proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur No 56 (kini Jalan Proklamasi), dalam sebuah tenda besar yang spesial didirikan. Hujan turun. Di situ saya lihat untuk kedua kali Kolonel Soeharto, Panglima Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Dia berdiri bersama panglima-panglima lain, menyimak pidato yang diucapkan. Soeharto juga melihat saya, eye-to-eye contact, tetapi dari pihaknya tiada tanda pengenalan, tiada senyuman, tiada anggukan, dingin. Saya pikir Soeharto penganut aliran kulina meneng. Tahun 1970, saat Presiden Soeharto mengunjungi Amerika Serikat atas undangan Presiden Nixon, saya sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman ikut rombongannya, begitu juga Pemred Kompas Jakob Oetama. Begitu naik pesawat di Bandara Kemayoran, anggota pers ditemui Soeharto yang
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60787&section=92 (16 of 67)28/01/2008 10:40:52

KOMPAS CYBER MEDIA COMMUNITY

didampingi Letkol Sudarmono dan Kapten Murdiono. Itu pertemuan saya ketiga dengan Soeharto. Dia masih tidak banyak bicara. Saat terbang di atas Pasifik di waktu malam, Ny Tien Soeharto datang duduk di samping saya. Dia bertanya, "Mengapa kok tidak membantu pemerintah dan Pak Harto?" Saya jawab sambil berfilsafat seperti orang Jawa, "Begini Bu, kita di dunia ini punya lakon masing-masing yang mesti dijalani. Lakon saya di dunia pers, Pak Harto di dunia pemerintah. Jadi melu lakone wae (mengikuti perannya saja), Bu." Di New York, saat mengunjungi Roeslan Abdulgani, Wakil RI di PBB, suatu saat Soeharto berjalan di samping saya, lalu berucap, "Saudara Anwar". Di antero Indonesia saya dikenal "Rosihan". Tetapi, kok Mister kulina meneng memakai sebutan "Anwar". Pertemuan fisik berikut terjadi di Istana Merdeka, Mei 1973, saat Presiden menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama (III) kepada tiga wartawan, yaitu BM Diah, Jakob Oetama, dan saya. Ny Tien Soeharto setelah suaminya mengucapkan selamat kepada saya, lalu berhenti di depan istri saya dan bertanya, "Kenapa tidak mengizinkan Pak Rosihan menjadi Dubes di Vietnam?" Istri saya menjawab, "Nanti kalau Bu Tien ada waktu, kita bertemu, saya akan jelaskan alasannya." Mister kulina meneng menoleh kepada istrinya, lalu melanjutkan menyalami para penerima Bintang Mahaputra. Pertemuan penghabisan di Bina Graha setelah demo mahasiswa pada Peristiwa Malari 1974, menentang kedatangan PM Jepang Tanaka. Rakyat yang dikerahkan intel membakar Pasar Senen. Presiden memanggil pengurus PWI Pusat dan beberapa konglomerat. Dia membantah berita yang dimuat Pedoman tentang isi selebaran mahasiswa IKIP. Isinya, Ny Tien Soeharto punya saham, antara lain di Astra. Akhir cerita, Pedoman dilarang terbit. Beberapa tahun kemudian Mashuri SH, Menteri Penerangan, menceritakan, dia telah menemui Soeharto untuk menanyakan, apakah Pedoman boleh terbit kembali? Soeharto menjawab dalam bahasa Jawa, pateni wae (matikan saja). Sejak itu riwayat Pedoman tamat. Adegan-adegan itu terbayang lagi hari-hari belakangan saat Soeharto dalam sorotan berita: sakit, dioperasi, dihentikan penuntutan secara hukum terhadap dirinya, reaksi masyarakat. Saya ingat Soeharto suka mengutip peribahasa Jawa: mikul dhuwur, mendem jero (mendukung setinggi-tingginya, membenamkan sedalam-dalamnya) yang dalam pelaksanaannya berarti hormati pemimpin-pemimpin, kenang yang baik-baik saja dari mereka, lupakan hal-hal yang buruk. Jujur saja, saya tidak mau termasuk golongan mikul dhuwur itu. Demi kebenaran sejarah, demi keadilan, kita perlu membeberkan hal-hal yang buruk meski mengenai seorang pemimpin. Sebagai bahan pelajaran bagi anak- cucu. Meminjam istilah seorang ahli ilmu politik Australia, "Indonesia adalah suatu kleptokrasi (pencuri uang) dengan suatu keluarga besar sebagai kleptocrats-inchief. Mengingat latar belakang politik zaman Orde Baru, saya dapat menerima adagium yang dirumuskan mantan Presiden AS John F Kennedy dalam buku Profiles of Courage, "In politics forgive, but never forget" . Maka, meski saya dapat menerima putusan pemerintah mengenai Soeharto, dalam batin terasa ada sesuatu yang mengganjal: bidang moral dan etika tidak cukup disentuh sehingga Soeharto got away with it so easily, lolos dengan mudah. Saya tidak akan merentang panjang soal ini. Kali ini biarlah saya jadi kayak Presiden Soeharto, sebagai Mister kulina meneng.

http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60787&section=92 (17 of 67)28/01/2008 10:40:52

KOMPAS CYBER MEDIA COMMUNITY

Harian Kompas Pertimbangan Hukum Mantan Presiden Soeharto - GM SUDARTA

*) H Rosihan Anwar, Wartawan Senior, sumber: Litbang Kompas

**************

SOEHARTO, "MY FRIEND" Oleh: (Almarhum) Harry Roesli 25 Mei 1999 *) "Karena Anda sudah banyak memilukan rakyat maka cocok Anda bergelar Bapak Pemilu..." Kemarin, saya bertemu dia. Ini percakapan yang kami lakukan, tanpa editing yang berarti: HR: Saya harus ucapkan selamat kepada Anda, karena rakyat telah menghadiahi gelar Bapak Pemilu buat Anda. Soeharto : Bapak Pemilu? Gelar Bapak Pemilu? Kenapa, my friend? HR: Iya, 'kan kalau kata bendanya panah, orangnya jadi pemanah. Lalu pahat, orangnya jadi pemahat. Sedang patung, orangnya jadi pematung. Logikanya, kata pilu, orangnya jadi pemilu. Nah, karena Anda sudah banyak memilukan rakyat maka cocok Anda begelar Bapak Pemilu.
http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=60787&section=92 (18 of 67)28/01/2008 10:40:52

Anda mungkin juga menyukai