Anda di halaman 1dari 101

HANDOUT

PERIODISASI SASTRA INDONESIA DR410

Agus Suherman

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAERAH FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009

DAFTAR ISI DAFTAR ISI I PERIODE ANGKATAN BALAI PUSTAKA 1.1 Sejarah Berdirinya Angkatan Balai Pustaka 1.2 Konsep Pemikiran dan Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka 1.3 Angkatan Balai Pustaka dan Karyanya 1.4 Fenomena pada Periode Balai Pustaka II PERIODE ANGKATAN PUJANGGA BARU 2.1 Latar Belakang 2.2 Sejarah Berdirinya Angkatan Pujangga Baru 2.3 Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru 2.4 Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya III PERIODE ANGKATAN 45 3.1 Sejarah Berdirinya Angkatan 45 3.2 Beberapa Pendapat Tentang Angkatan 45 3.3 Karakteristik Karya Angkatan 45 3.4 Angkatan 45 dan Karyanya 3.5 Fenomena pada Angkatan 45 IV PERIODE ANGKATAN 50 4.1 Sejarah Berdirinya Angkatan 50 4.2 Ciri-ciri Angkatan 50 4.3 Masalah yang Dihadapi Angkatan 50 4.4 Angkatan 50 dan Karyanya 4.5 Fenomena pada Angkatan 50 V PERIODE ANGKATAN 70 5.1 Ikhwal Periode Angkatan 70 5.2 Angkatan 70 dan Karyanya VI PERIODE ANGKATAN 2000 6.1 Sejarah Angkatan Reformasi 6.2 Angkatan 2000 dan Karyanya 6.3 Ciri-ciri Angkatan 2000 6.4 Angkatan 2000 dan Karyanya 6.5 Novelis Lainnya 6.6 Kumpulan Cerpen 6.7 Fenomena 1990-2000 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. Chairil Anwar: Biografi dan Karyanya Rendra: Biografi dan Karyanya Pramoedya Ananta Toer: Biografi dan Karyanya Sutardji Calzoum Bachri: Biografi, Proses Kreatif, dan Karyanya

i 1 1 2 2 4 5 5 5 6 7 12 12 13 13 14 19 20 20 20 21 21 27 28 28 28 32 32 32 32 33 39 40 41 49 50
50 61 83 96

I PERIODE ANGKATAN BALAI PUSTAKA 1920-1940

1.1 Sejarah Berdirinya Balai Pustaka Pada tahun 1908 pemerintah Belanda mendirikan lembaga bacaan rakyat yang bernama Volkslectur dengan Dr. G.A.J Hazeu sebagai ketuanya di Jakarta. Lembaga ini bertugas memilih karangan-karangan dan kemudian menerbitkannya sebagai bacaan umum (rakyat), untuk anak-anak dan orang dewasa, guna mengisi waktu senggang dan menambah pengetahuan. Pada tahun 1917 Volkslektur itu diubah namanya menjadi Balai Pustaka serta para redakturnya terdiri atas para penulis dan ahli bahasa melayu. Tugas Balai Pustaka adalah: Mula-mula hanya menerbitkan naskah-naskah lama yang bila perlu dapat diubah dan disempurnakan. Menerbitkan saduran dan terjemahan hasil karya pujangga-pujangga asing kenamaan, seperti Shakespeare, Cervantes, Alexander Damas, Jules Verne, Tolstoi, Rudyat Klipling, Rabindranath Tagore. Fase terakhir barulah menerbitkan naskah-naskah pengarang muda bangsa Indonesia, baik berupa puisi maupun prosa. Balai Pustaka juga menerbitkan majalah-majalah: Panji Pustaka dan Sari Pustaka dalam bahasa Melayu, Kejawen dalam bahasa Jawa, dan Parahiangan dalam bahasa Sunda. Selain itu, Balai Pustaka juga memberikan kekangan terhadap naskah-naskah karangan dengan syarat-syarat sebagai berikut : Karangan-karangan jangan mengandung unsur yang menentang pemerintahan. Karangan-karangan tidak boleh menyinggung perasaan-perasaan golongan tertentu dalam masyarakat. Karangan-karangan hendaknya bebas dalam agama, yakni jangan menyinggung penganutnya serta hendaknya mengandung tuntutan perangai. Walaupun Balai Pustaka sering menahan atau mengubah naskah-naskah, namun manfaatnya besar sekali, yaitu: Memberi kesempatan kepada para pengarang untuk mengembangkan bakatnya. Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat menikmati buku-buk bacaan, sehingga bertambah pengetahuannya serta dapat mengisi waktu senggang. 3

Balai Pustaka hidup terus dan perannya semakin besar, lebih-lebih pada masa sekarang. Nama-nama Dr. D. A. Rinkes, Dr. G.A.J. Drewes dan K.A. Hidding pernah menjadi pemimpin Balai Pustaka. 1.2 Konsep Pemikiran dan Ciri-ciri Periode Balai Pustaka Adapun konsep pemikiran dan ciri-ciri angkatan Balai Pustaka, adalah sebagai berikut: 1. Agak dinamis. 2. Bercorak pasif-romantik. Ini berarti bahwa cita-cita baru senantiasa terkalahkan oleh adat lama yang membeku, sehingga merupakan angan-angan belaka. Itulah sebabnya dalam mencapai cita-citanya, pelaku utama senantiasa kandas, misalnya dimatikan oleh pengarangnya. 3. Mempergunakan bahasa Melayu baru, yang tetap dihiasi ungkapan-unngkapan klise serta uraian-uraian panjang. Menilik bentuknya, kesusastraan angkatan Balai Pustaka ini mempunyai ciri-ciri: a. Para penyairnya masih banyak yang mempergunakan bentuk-bentuk puisi lama, pantun dan syair, seperti terlihat pada karya Tulis Sutan Ati, Abas, Sutan Pamunjtak. b. Bentuk puisi barat yang tidak terlalu terikat oleh syarat-syarat, seperti puisi lama, mulai dipergunakan oleh para penyair muda. Para penyair baru ini dipelopori oleh Moh. Yamin, yang mempergunakan bentuk sonata dalam kesusastraan Indonesia. c. Bentuk prosa yang memegang peranan pada masa kesusastraan angkatan Balai Pustaka adalah Roman. Roman angkatan ini bertema perjuangan atau perlawanan terhadap adat istiadat lama, misalnya kawin paksa.

1.3 Angkatan Balai Pustaka dan Karyanya 1. Marah Rusli Lahir di Sumatera Barat, 1898. Namanya terkenal berkat beberapa karyanya, di antaranya: Siti Nurbaya, Anak dan Kemenakan, Memang Jodoh (autobiografi). 2. Merari Siregar Karyanya antara lain: Azab dan Sengsara, Si Jamin dan Si Johan. 3. Nur Sutan Iskandar Lahir di Sumatera Barat, 1893. Dia pengarang yang paling produktif sehingga ada yang memberi julukan Raja Pengarang Angkatan Balai Pustaka. Beberapa karyanya 4

antara lain: Salah Pilih, Karena Mertua, Neraka Dunia, Hulubalang Raja, Katak Hendak Menjadi Lembu, dan Cinta Tanah Air. 4. Aman Datuk Modjomdo Lahir di Suprayang Solok Sumatera Barat, 1895. Dia bekerja di Balai Pustaka, kemudian diangkat menjadi pembantu ahli bahasa pada Balai Pustaka. Perhatiannya lebih tertuju pada cerita anak-anak. Karyanya antara lain: Rusmala Dewi, Hang Tuah, Si Cebol Rindukan Bulan, Si Dul Anak Betawi, Anak Nelayan, Menebus Dosa, dan Cita-Cita Mustafa. 4. Sunan Hasibuan Lahir di Bengkalis, 1904. Dia terkenal sebagai pengarang roman detektif. Karyanya antara lain: Kawan Bergelut (kumpulan cerpen), Mencari Pencuri Anak Perawan, Kasih Tak Terlerai, Percobaaan Setia, Tebusan Darah, dan Kasih Tersesat. 5. I. Gusti Nyoman Pandji Tisna Putra Raja Buleleng yang dilahirkan pada 8 Februari 1908, di Singaraja. Bahasa dalam karangannya berlainan dengan pengarang-pengarang yang berasal dari

Minangkabau. Karyanya antara lain: Ni Rawit, Ceti Penjual Orang, Sukreni Gadis Bali, dan Dewi Karuna. 6. Sariamin Sariamin, bernama samaran Selasih atau Selagari. Lahir di Talu Lubuksikaping, 1909. Karyanya antara lain: Kalau Tak Untung,dan Pengaruh Keadaan. 7. Hamidah Hamidah adalah nama samaran dari Fatimah Hasan Delais, (1914-1953). Seorang wanita yang terkenal dengan karyanya Kehilanagn Mustika. 8. Abdoel Moeis Lahir tahun 1886. Karyanya antara lain: Salah Asuhan, Penemuan Jodoh,dan Robert Anak Surapati. 9. Sutomo Djauhar Arifin Karyanya antara lain Andang Taruna.

10. Adinegoro Merupakan seorang sastrawan dan wartawan. Karyanya antara lain: Melawat ke Barat (kisah), Darah Muda (roman), dan Asmara Jaya (roman). 11. Haji Said Daeng Muntu Karyanya: Pembalasan,dan Karena Kerendahan Budi. 12. Ajirabas Ajirabas adalah nama samaran dari Welfridus Joseph Sabarija Purwadarmita. Karyanya antara lain: Pacoban (roman dalam bahasa Jawa), Mardi Kawi (buku pelajaran bahasa Kawi), dan Punca Bahasa Nippon (pelajaran bahasa Jepang). 13. Tulis Sutan Nan Sati Karangan-karangannya penuh dengan bahasa dan lagam Minangkabau. Karyanya antara lain: Memutuskan Pertalian, Sengsara Membawa Nikmat, dan Siti Marhumah Yang Saleh (syair). 14. Muhammad Kasim Banyak menghasilkan karangan yang bernada humor. Karyanya antara lain: Teman Duduk (kumpulan cerpen), Muda Teruna, dan Pemandangan Dalam Dunia Kanak-kanak. 15. Abas Sutan Pamuntjak Karyanya di antaranya Pertemuan. 16. Rustam Sutan Felindih Karyanya antara lain: Mekar Bunga Majapahit (sandiwara), Lutung Kasarung (terjemahan dari bahasa Sunda).

1.4 Fenomena pada Periode Balai Pustaka Tahun 1922 memberi suasana baru terhadap gelanggang sastra Indonesia, yaitu dengan terbitnya dua buah buku satra yang telah meninggalkan tradisi lama, yaitu: 1. Tanah Air, kumpulan puisi baru karya Moh. Yamin SH. 2. Siti Nurbaya, roman karya Marah Rusli yang sangat mengagumkan dan menggemparkan pada waktu itu, sehingga angkatan Balai Pustaka ini dijuluki sebagai Angkatan Siti Nurbaya. Jadi, dapat dikatakan bahwa kesusastraan Indonesia, baik puisi maupun prosa sejak tahun 1922 mengalami perubahan. 6

II PERIODE ANGKATAN PUJANGGA BARU 1930-1945

2.1 Latar Belakang Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Seperti diketahui, oleh para ahli dan para penyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagi menjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagai angkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan 45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan 45.

2.2 Sejarah Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan. Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos. Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih 7

dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran. Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya. Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.

2.3 Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru 1. Dinamis 2. Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau romantik angkatan Siti Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi. 3. Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari 4. Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri: a. Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatan-ikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi yang pendekpendek, cukup beberapa bait saja. Sajak-sajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya Batu Belah dan Hang Tuah karya Amir Hamjah. b. Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan 8

kemerdekaan dan pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana c. Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.

2.4 Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya 1. Sutan Takdir Alisjahbana Orang besar ini dilahirkan di Natal (Tapanuli) pada 11-02-1908. Setelah menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki Kweekschool di Bukitinggi dan kemudian HKS di Bandung. Setelah itu ia belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta dan juga belajar pada Sekolah Hakim Tinggi. Selain itu belajar pula tentang filsafat dan kebudayaan pada Fakultas sastra. Pendidikan yang beraneka ragam yang pernah dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras itu, menyebabkan keahlian yang bermacam-macam pula pada dirinya. Karangannya mempunyai bahasa yang sederhana tetapi tepat. Karya-karyanya antara lain: a. Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929) b. Dian Tak Kunjung Padam (roman, 1932) c. Anak Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941) d. Layar Terkembang (roman tendenz, 1936) e. Tebaran Mega (kumpulan puisi/prosa lirik, 1936) f. Melawat Ke Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952) g. Puisi Lama (1942) h. Puisi Baru (1946) 2. Amir Hamzah Amir Hamzah yang bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada 28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan Raja Penyair Pujangga Baru. Karya-karyanya antara lain: a. Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937) b. Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941) 9

c. Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939) d. Bhagawad Gita (terjemahan salah satu bagian mahabarata) 3. Sanusi Pane Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi SR di Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di Padang, dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta, ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala pengarang Balai Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan Masyarakat di Jakarta. Karya-karyanya antara lain: a. Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926) b. Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927) c. Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931) d. Kertajaya (sandiwara, 1932) e. Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933) f. Manusia Baru (Sandiwara, 1940) 4. Muhamad Yamin, SH. Prof. Muhammad Yamin, SH. dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus 1905. Setelah menamatkan Volkschool, HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak seperti sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan AMS di Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim di Jakarta hingga bergelar pada tahun 1932. Pekerjaan dan keahlian Yamin beraneka ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, ia memegang jabatan-jabatan penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober 1962). Ia pun tidak pernah absen dalam revolusi. Karya-karyanya antara lain: a. Tanah Air (kumpulan puisi, 1922) b. Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928) a. Menanti Surat dari Raja (sandiwara, terjemahan Rabindranath Tagore)

10

d. Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga (Terjemahan dari Rabindranath Tagore) e. Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934) f. Gajah Mada (roman sejarah, 1934) a. Dipenogoro (roman sejarah, 1950) b. Julius Caesar (terjemahan dari karya Shakespeare) c. 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954) d. Tan Malaka (1945) e. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara, 1957) 5. J.E. Tatengkeng Lahir di Kalongan, Sangihe, 19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen di Solo. Ia pernah menjadi kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya bercorak religius. Dia juga sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934). 6. Hamka Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ia lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908. Dia putera Dr. H. Abdul Karim Amrullah, seorang teolog Islam serta pelopor pergerakan berhaluan Islam modern dan tokoh yang ingin membersihkan agama Islam dari khurafat dan bidah. Pendidikan Hamka hanya sampai kelas dua SD, kemudian mengaji di langgar dan madsrasah. Ia pernah mendapat didikan dan bimbingan dari H.O.S Tjokroaminoto. Prosa Hamka bernafaskan religius menurut konsepsi Islam. Ia pujangga Islam yang produktif. Karyanya antara lain: a. Di Bawah Lindungan Kabah (1938) b. Di Dalam Lembah kehidupan (kumpulan cerpen, 1941) c. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (roman, 1939) d. Kenang-Kenangan Hidup (autobiografi, 1951) e. Ayahku (biografi) f. Karena Fitnah (roman, 1938) g. Merantau ke Deli (kisah;1939) h. Tuan Direktur (1939) i. Menunggu Beduk Berbunyi (roman, 1950) j. Keadilan Illhi 11

k. Lembaga Budi l. Lembaga Hidup m. Revolusi Agama 7. M.R. Dajoh Marius Ramis Dajoh lahir di Airmadidi, Minahasa, 2 November 1909. Ia berpendidikan SR, HIS Sirmadidi, HKS Bandung, dan Normaalcursus di Malang. Pada masa Jepang menjabatat kepala bagian sandiwara di kantor Pusat Kebudayaan. Kemudian pindah ke Radio Makasar. Dalam karya Prosanya sering menggambarkan pahlawanpahlawan yang berani, sedang dalam puisinya sering meratapi kesengsaraan masyarakat. Karyanya antara lain: a. Pahlawan Minahasa (roman; 1935) b. Peperangan Orang Minahasa dengan Orang Spanyol (roman, 1931) c. Syair Untuk Aih (sajaka, 1935) 8. Ipih Ipih atau H.R. adalah nama samaran dari Asmara Hadi. Dia lahir di Talo, Bengkulu, tanggal 5 September 1914. Pendidikannya di HIS Bengkulu, Mulo Jakarta, Bandung, serta Mulo Taman Siswa Bandung. Lebih dari setahun ia ikut dengan Ir. Soekarno di Endeh. Setelah menjadi guru, ia menjadi wartawan dan pernah memimpin harian Pikiran Rakyat di Bandung. Dalam karyanya terbayang semangat gembira dengan napas kebangsaan dan perjuangan. Karya-karyanya antara lain: a. Di Dalam Lingkungan Kawat Berduri (catatan, 1941) b. Sajak-sajak dalam majalah 9. Armijn Pane Armijn Pane adalah adik dari Sanusi Pane. Lahir di Muarasipongi, Tapanuli Selatan, 18 Agustus 1908. Ia berpendidikan HIS, ELS, Stofia Jakarta pada tahun 1923, dan pindah ke Nias, Surabaya, dan menamatkan di Solo. Kemudian menjadi guru bahasa dan sejarah di Kediri dan Jakarta serta pada tahun 1936 bekerja di Balai Pustaka. Pada masa pendudukan Jepang menjadi Kepala Bagian Kesusastraan di Kantor Pusat Kebudayaan Jakarta, serta memimpin majalah Kebudayaan Timur. Karyanya antara lain: a. Belenggu (roman jiwa, 1940) b. Kisah Antara Manusia (kumpulan cerita pendek, 1953) c. Nyai Lenggang Kencana (sandiwara, 1937) 12

d. Jiwa Berjiwa (kumpulan sajak, 1939) e. Ratna (sandiwara, 1943) f. Lukisan Masa (sandiwara, 1957) g. Habis Gelap Terbitlah Terang (uraian dan terjemahan surat-surat R.A Kartini, 1938) 10. Rustam Effendi Lahir di Padang, 18 Mei 1905. Dia aktif dalam bidang politik serta pernah menjadi anggota Majelis Perwakilan Belanda sebagai utusan Partai Komunis. Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain: a. Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1922) b. Bebasari (sandiwara bersajak, 1922) 11. A. Hasjmy A. Hasjmy nama sebenarnya adalah Muhammad Ali Hasjmy. Lahir di Seulimeun, Aceh, 28 Maret 1912. Ia berpendidikan SR dan Madrasah Pendidkan Islam. Pada tahun 1936 menjadi guru di Perguruan Islam Seulimeun. Karya-karyanya antara lain: a. Kisah Seorang Pengembara (kumpulan sajak, 1936) b. Dewan Sajak (kumpulan sajak, 1940) 12. Imam Supardi Karya-karyanya antara lain: a. Kintamani (roman) b. Wishnu Wardhana (drama, 1937) Sastrawan dan penyair lainnya dari angkatan Pujangga Baru: 13. 14. 15. 16. Mozasa, singkatan dari Mohamad Zain Saidi Yogi, nama samaran A. Rivai, kumpulan sajaknya Puspa Aneka A.M. DG. Myala, nama sebenarnya A.M Tahir Intojo alias Rhamedin Or Mandank

13

III PERIODE ANGKATAN 45 (1940-1955)

3.1 Sejarah Lahirnya Angkatan 45 Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan 45 bisa dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan. Baru pada tahun 1950 Surat Kepercayaan Gelanggang dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan Selayang Seniman Merdeka. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan 45 lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik. Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan 45 tercermin dari sebagian besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut.

Beberapa karya Angkatan 45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu banyak orang yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan 45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan 45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Sutan Takdir Alisyahbana pun berpendapat demikian. 14

3.2 Beberapa Pendapat Tentang Angkatan 45 1. Armijn Pane Pujangga Baru menentang adanya Angkatan 45 dan menganggap bahwa tak ada yang disebut Angkatan 45. 2. Sutan Takdir Alisyahbana Angkatan 45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru. 3. Teeuw Memang berbeda Angkatan 45 dengan Angkatan Pujangga Baru, tetapi ada garis penghubung, misalnya Armijn Pane dengan Belenggu-nya. (puncak-puncak kesusastraan Indonesia). 4. Pendapat Angkatan 45 a. Sitor Situmorang - Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan 45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan antara Barat dan Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. - Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan b. Pramoedya Ananta Toer - Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu pengetahuannya tetapi tidak mempunyai penghidupan (pengalaman). - Angkatan 45 kurang dalam ilmu pengetahuan (karena perang) tetapi sadar akan kehidupan. banyak

3.3 Karakteristik Karya Angkatan 45 a. Bercorak lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantikidealistik. b. Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan Angkatan 45. c. Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra. d. Sastrawannya lebih berjiwa patriotik. e. Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin). f. Bertujuan universal nasionalis. g. Bersifat praktis. h. Sikap sastrawannya tidak berteriak tetapi melaksanakan 15

3.4 Angkatan 45 dan Karyanya 1. Chairil Anwar Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui penulisan puisi. Puisi yang diubahnya berbentuk bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia diakui sebagai pelopor Angkatan 45 di bidang puisi. Hasil karyanya mengutamakan isi, sedangkan bahasa hanya dianggap sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar termasuk penyair yang penuh vitalitas (semangat hidup yang menyala-nyala) dan individualistis (kuat rasa akunya). Puisi gubahannya berirama keras (bersemangat), tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti Isa dan Doa. Karya-karya Chairil Anwar antara lain: Buah penanya : a. Deru Campur Debu (kumpulan puisi) b. Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani) c. Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi) d. Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide) e. Kena Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck) 2. Asrul Sani Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan. Pernah memimpin majalah Gema dan harian Suara Bogor. Tulisannya berpegang pada moral dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah seorang sarjana kedokteran hewan, yang kemudian menjadi direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS wakil seniman. Asrul Sani juga dikenal sebagai penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara lain: a. Sahabat Saya Cordiaz (cerpen) b. Bola Lampu (cerpen) c. Anak Laut (sajak) d. On Test (sajak) e. Surat dari Ibu (sajak)

16

3. Sitor Situmorang Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober 1924. Ia cukup lama bermukim di Prancis. Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra Indonesia. Karya-karya Sitor Situmorang antara lain: a. Surat Kertas Hijau (1954) b. Jalan Mutiara (kumpulan drama) c. Dalam Sajak (1955) d. Wajah Tak Bernama (1956) e. Zaman Baru (kumpulan sajak) f. Pertempuran dan Salju di Paris g. Peta Pelajaran (1976) h. Dinding Waktu (1976) i. Angin Danau (1982) j. Danau Toba (1982) 4. Idrus Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap sebagai salah seorang tokoh pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, walaupun ia selalu menolak penamaan itu. Karyanya bersifat realis-naturalis (berdasarkan kenyataan dalam alam kehidupan) dengan sindiran tajam. Karya-karyanya antara lain: a. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (novel) b. A K I (novel) c. Hikayat Puteri Penelope (novel, terjemahan) d. Anak Buta (cerpen) e. Perempuan dan Kebangsaan f. Jibaku Aceh (drama) g. Dokter Bisma (drama) h. Keluarga Surono ( drama ) i. Kereta Api Baja (terjemahan dari karya Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia) 5. Hamzah Fansuri Dalam karya-karyanya tampak pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah dan R. Tarogo. Karya-karyanya antara lain: a. Teropong (cerpen) b. Bingkai Retak (cerpen) 17

c. Sine Nomine (cerpen) d. Buku dan Penulis (kritik) e. Laut (sajak) f. Pancaran Hidup (sajak) 6. Rivai Apin Penyair yang seangkatan Chairil Anwar, yang bersama-sama mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka ialah Asrul Sani dan Rival Apin. Ketiga penyair itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir. Rivai Apin menulis tidak selancar Asrul Sani. Selain menulis sajak, ia pun menulis cerpen, esai, kritik, skenario film, menerjemahkan, dan lain-lain. Tahun 1954 ia sempat mengejutkan kawan-kawannya, ketika keluar dari redaksi Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan PKI. Setelah terjadi G 30 S/PKI, Rivai termasuk tokoh Lekra yang karyakaryanya dilarang.

7. Achdiat Karta Mihardja Ia menguasai ilmu politik, tasawuf, filsafat, dan kemasyarakatan. Pernah menjadi staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain: a. Atheis (roman) b. Bentrokan Dalam Asmara (drama). c. Polemik Kebudayaan (esai) d. Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen) e. Kesan dan Kenangan (kumpulan cerpen) 8. Pramoedya Ananta Toer Lahir di Blora, 2 Februari 1925. Meskipun sudah mulai mengarang sejak jaman Jepang dan pada awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949, yaitu ketika cerpennya Blora, yang ditulis dalam penjara diumumkan, serta ketika romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Karya-karyanya antara lain:

18

a. Bukan Pasar Malam (1951) b. Di Tepi Kali Bekasi (1951) c. Gadis Pantai Keluarga Gerilja (1951) d. Mereka yang Dilumpuhkan (1951) e. Perburuan (1950) f. Tjerita dari Blora (1963) 9. Mukhtar Lubis Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di bidang penerangan. Idenya bersifat kritik-demokrasi-konstruktif (membangun). Di bidang kewartawanan ia pernah mendapat hadiah Ramon Magsay-say dari Filipina. Karyanya banyak menggambarkan perjuangan pada masa revolusi, terutama aksi polisional Belanda. Karya-karyanya antara lain: a. Tak Ada Esok (roman) b. Jalan Tak Ada Ujung (roman jiwa) c. Tanah Gersang (novel) d. Si Jamal (cerpen) e. Perempuan (cerpen) f. Kisah dari Eropah (terjemahan) g. Manusia Indonesia h. Maut dan Cinta (novel) i. Penyamun Dalam Rimba (novel) 10. Utuy Tatang Sontani Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi Indonesia, pengarang kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, di antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera (1943). Karya-karyanya antara lain: a. Suling (1948) b. Bunga Rumah Makan (1948) c. Awal dan Mira (1952) d. Manusia Iseng e. Sayang Ada Orang Lain f. Di Langit Ada Bintang 19

g. Saat yang Genting h. Selamat Jalan Anak Kufur 11. Usmar Ismail Selain dikenal sebagai sastrawan, Usmar Ismail juga dikenal sebagai sutradara film. Tahun 1950 ia mendirikan Perfini. Karyanya bernafas ketuhanan sejalan dengan pendapatnya bahwa seni harus mengabdi kepada kepentingan nusa, bangsa, dan agama. Karya-karyanya antara lain: a. Permintaan Terakhir (cerpen) b. Asokamala Dewi (cerpen) c. Puntung Berasap (kumpulan puisi) d. Sedih dan Gembira (kumpulan drama yang terdiri atas: Citra, Api, dan Liburan Seniman) e. Mutiara dari Nusa Laut (drama) f. Tempat Yang Kosong g. Mekar Melati h. Pesanku (sandiwara radio) i. Ayahku Pulang (saudara dari cerita Jepang) 12. El Hakim El Hakim merupakan nama samaran dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya bernuansa ketuhanan dan kesusilaan. Di bidang kebudayaan ia berpendapat bahwa Timur yang idealis harus berkombinasi dengan Barat, tanpa menghilangkan ketimurannya. Karya-karyanya antara lain: a. Taufan di Atas Asia (kumpulan) b. Dokter Rimbu (roman) c. Kita Berjuang d. Soal Agama Dalam Negara Modern 13. Maria Amin Hasil karya pengarang wanita ini bercorak simbolik. Karyany-karyanya antara lain: a. Tinjaulah Dunia Sana b. Penuh Rahasia ( puisi ) c. Kapal Udara ( puisi ) 20

14. Rosihan Anwar Rosihan Anwar dikenal juga sebagai jurnalis (wartawan). Banyak tulisannya tentang tanggapan sosial, yaitu mengupas masalah yang timbul dalam kehidupan. Ia pernah memimpin harian Merdeka Asia Raya dan Mingguan Siasat. Karya-karyanya antara lain: a. Radio Masyarakat (cerpen) b. Raja Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka (roman) c. Manusia Baru (sajak) d. Lukisan (sajak) e. Seruan Nafas (sajak) 15. Waluyati Dalam Angkatan 45 ada seorang penyair wanita bernama Waluyati yang lahir di Sukabumi, 1924. Puisi-puisinya dimuat dalam Pujani (1951), Gema tanah Air (H.B. Jassin, 1975), dan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Toeti Heraty, 1979). Karya-karyanya antara lain: a. Berpisah b. Siapa?

3.5 Fenomena Karya Angkatan 45 Dalam menuangkan karyanya, Chairail Anwar menggunakan bahasa Indonesia yang terbebas dari pola bahasa Melayu. Ia menciptakan bahasa yang lebih demokratis. Sebagai contoh, ia tidak lagi menyatakan beta seperti dalam puisi salah satu penyair Pujangga Baru, tetapi menyebut dirinya aku. Hal ini dapat kita lihat dalam sajak Aku yang benar-benar bercorak baru. Meski puisinya banyak diilhami puisi asing, namun puisi-puisinya memiliki gaya khas yang hanya dimiliki oleh Chairil Anwar.

21

IV PERIODE ANGKATAN 50 1950-1970

4.1 Sejarah Lahirnya Periode 50

Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan 50 hanyalah pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (45). Tinjauan yang mendalam dan menyeluruh membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu: a. Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945. b. Masa 50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode 50 tidak hanya pengekor (epigon) dari angkatan 45, melainkan merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan. Adapun ciri-cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut: 1. Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta. 2. Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia. 3. Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional. 4.2 Ciri-ciri Periode 50-an Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra majalah Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berkonsep sastra realisme sosialis. Timbullah perpecahan antara sastrawan sehingga menyebabkan mandegnya perkembangan 22

sastra, karena masuk ke dalam politik praktis, sampai berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia. Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain: a. Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an; b. Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan 45 juga masih menerbitkan karyanya; c. Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai; d. Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.

4.3 Masalah yang Dihadapi Periode 50 a. Angkatan 50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam waktu yang singkat dan tidak menentu, di tambah penempatan pemimpin yang bukan ahli, sehingga tidak dapat mengelola anggaran yang tersedia produksi karya. b. Setelah Balai Pustaka yang mengalami kesulitan penerbitan, penerbit yang lainnya pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas. c. Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek, sesuai dengan kebutuhan majalah-majalah tersebut, maka tak anehlah kalau para pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah sastra majalah. Istilah ini dilansir dan diperkenelkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas yang dipimpinnya. yang berakibat macetnya

4.4 Periode 50 dan Karyanya 1. Ajip Rosidi Lahir di Jatiwangi, Majalengka, 1938. Sejak berumur 13 tahun sudah menulis di majalah-majalah sekolah, kemudian di majalah orang dewasa. Karya-karyanya antara lain: a. Cari Mauatan (kumpulan sajak, 1956) b. Ditengah keluarga (1956) 23

c. Pertemuan Kembali (1960) d. Sebuah Rumah Buat Hari Tua e. Tahun-Tahun Kematian (1955) f. Ketemu di Jalan$ (kumpulan sajak bersama Sobrone Aidit dan Adnan, 1956) g. Perjalanan Pengantin (prosa,1958) h. Pesta (kumpulan sajak, 1956)

2. Ali Akbar Navis Lahir di Padang Panjang, 17 November 1924. Sejak tahun 1950 mulai terlibat dalam kegiatan sastra. Ia keluaran INS Kayu Taman. Karya-karyanya antara lain: a. Bianglala (kumpulan cerita pendek, 1963) b. Hujan Panas (kumpulan cerita pendek, 1963) c. Robohnya Surau Kami (kumpulan cerita pendek, 1950) d. Kemarau (novel, 1967) 3. Bokor Hutasuhut Karyanya Datang Malam (1963) 4. Enday Rasyidin Karyanya Surat Cinta 5. NH. Dini NH. Dini, nama lengkapnya Nurhayati Suhardini, lahir 29 Pebruari 1936. Setelah menamatkan SMA 1956, lalu masuk kursus stewardess, kemudian bekerja di GIA Jakarta. Karya-karyanya banyak mengisahkan kebiasaan barat yang bertentangan dengan timur. Karya-karyanya antara lain: a. Dua Dunia (1950) b. Hati yang Damai (1960)

6. Nugroho Notosusanto Lahir di Rembang, 15 Juni 1931. Dia bergerak dalam kemasyarakatan dan pernah menjadi Tentara Pelajar, lulusan Fakultas sastra UI Jakarta. Karya-karyanya antara lain: a. Hujan Kepagian (kumpulan cerita pendek, 1958) b. Rasa Sayange (1961) 24

c. Tiga Kota (1959) d. Hujan Tanahku Hijau Bajuku (kumpulan cerita pendek, 1963) 7. Ramadhan K.H Lahirkan di Bandung, 16 Maret 1927. Namanya mulai muncul sekitar tahun 1952. Karyanya berupa sajak, cerita pendek, dan terjemahan-terjemahan karya Lorca, pengarang Spanyol. Karya-karyanya antara lain: a. Api dan Sirangka b. Priangan si Jelita (kumpulan sajak, 1958, mendapat hadiah BMKM) c. Yerna (terjemahan dari Lorca, 1959)

8. Sitor Situmorang Lahir di Tapanuli, 21 Oktober 1924. Dia adalah angkatan 45, yang tetap produktif menghasikan karya di tahun 50-an. Karya-karyanya antara lain: a. Pertempuran dan Salju di Paris (1956, mendapat hadiah dari BMKM) b. Jalan Mutiara (kumpulan tiga sandiwara, 1954) c. Surat Kertas Hijau (kumpulan sajak, 1953) d. Wajah Tak Bernama (kumpulan sajak, 1955) e. Jaman Baru (kumpulan sajak) f. Dalam sajak

9. Subagio Sastrowardojo Karyanya antara lain: a. Simphoni (sajak, 1957) b. Kejantanan di Sumbing (1965) c. Perawan Tua (cerpen) d. Daerah perbatasan e. Salju.

10. Titis Basino Karyanya antara lain Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen, 1963) 25

11. Toto Sudarto Bachtiar Lahir di Palimanan, Cirebon, 12 Oktober 1929. Pendidikannya Cultuur-School di Tasikmalaya tahun 1946, Mulo Bandung 1948, SMA Bandung 1950, dan Fakultas Hukum UI. Karya-karyanya antara lain: a. Suara (kumpulan sajak, 1950-1955) b. Elsa (kumpulan sajak, 1958)

12. Trisnojuwono Lahir di Yoyakarta, 5 Desember 1929. Dia menamatkan SMA tahun 1947. Sejak 1946 masuk Tentara Rajyat Mataram, 1947-1948 anggota Corps Mahasiswa di Magelang dan Jombang. Tahun 1950 masuk tantara Siliwangi, Combat Intelligence, Kesatuan Komando, Pasukan Payung AURI sampai dapat Brevet. Karya-karyanya antara lain: a. Laki-laki dan Mesiu (kumpulan cerita pendek, 1951/1957) b. Angin Laut (kumpulan cerita pendek, 1958) c. Di Medan Perang (1962) d. Pagar Kawat Berduri.

13. Muhammad Ali Lahir di Surabaya, 25 April 1927. Pandidikannya HIS dan kursus-kursus bahasa pada masa Jepang. Dia bekerja di Kotapraja Surabaya, menjadi redaktur Mingguan Pemuda dan Mingguan Pahlawan (1949-1950). Ia mulai bergerak di bidang Sastra tahun 1942. Karya-karyanya antara lain: a. Siksa dan Bayangan (Balai Buku Surabaya, 1955) b. Persetujuan dengan Iblis c. Kubur Tak Bertanda (1955) d. Hitam Atas Putih (1959)

14. Alexander Leo Lahir di Lahat, 1935. Pendidikannya SMA Malang 1945. Kemudian bekerja di Balai Pustaka bagian redaksi, 26

Karya-karyanya antara lain: a. b. Orang-orang yang Kembali (kumpulan cerita pendek, 1956) Mendung (Novel)

15. Toha Muchtar Karya-karyanya antara lain: a. Pulang (novel, 1958) b. Daerah Tak Bertuan ( 1963) c. Bukan Karena Kau (1968) d. Kabut Rendah (1968) 16. Riono Praktikto Lahir di Semarang, 27 Agustus 1932. Pendidikannya SMP 195, kemudian masuk Fakultas Pengetahuan Tehnik bagian bangunan umum. Karyanya-karyanya antara lain: a. Api (kumpulan cerita pendek, 1951) b. Si Rangka (1958)

17. Kirdjomuljo Lahir di Yogyakarta, 1930. Sejak tahun 1958 termasuk penyair produktif. Karyanya antara lain Romance Perjalanan (1955).

18. Montinggo Busje Karya-karyanya antara lain: a. b. c. d. Malam Jahanam (drama, mendapat hadiah ke-1 Departemen P &K) Hari Ini Tak Ada Cinta Sejuta Matahari Malam Penganten di Bukit Kera (Novel)

27

19. Misbah Jusa Biran Karyanya antara lain Bung Besar (drama, mendapat hadiah ke-2).

20. Nasjah Jamin Karya-karyanya antara lain: a. Sekelumit Nyanyian Sunda (drama, mendapat hadiah ke-3) b. Hilanglah Si Anak Hilang (novel, 1936) c. Di Bawah Kaki Pak Dirman (kumpulan cerita pendek, 1967)

21. N. Susy Aminah Aziz Lahir di Jakarta, 24 Oktober 1937. Sejak 1957 menulis sajak dan cerita pendek dalam majalah-majalah di ibu kota. Ia juga deklamator Tunas Mekar RRI Jakarta. Karya-karyanya antara lain: a. Seraut Wajahku (kumpulan sajak, 1961) b. Tetesan Embun (kumpulan sajak, 1961) c. Mutiaraku Hilang (novel biografi)

22. Titie Said Lahir di Bojonegoro, 11 Juni 1935. Ia pernah menjadi redaksi majalah wanita. Karyanya antara lain Perjuanagan dan Hati Perempuan (kumpulan cerita pendek, 1962)

23. W.S. Rendra Karya-karyanya antara lain: a. Balada Orang-orang Tercinta (1957) b. Empat Kumpulan Sajak (1961) c. Ia Sudah Bertualang dan Cerita-Cerita Pendek Lainya (1963)

24. Iwan Simatupang Lahir di Sibolga, 18 Januari 1928. Dia merupakan sastrawan modern yang pernah dimiliki Indonesia. Iwan sangat taat mempraktikan filsafat eksistensialisme dalam karya28

karyanya. Ia juga dikenal sebagai penulis puisi, cerpen, esai, dan drama. Iwan adalah sastrawan yang mewakili paradigma postmodernisma dan menganut civil society international. Dalam pandangan Iwan, penyakit kebudayaan seperti etatisme, liberalisme, dan individualisme dapat diselesaikan atau disembuhkan melalui pertolongan orang luar (di antaranya satrawan-penulis) secara proposional, sistematis, dan universal. Esainya banyak menghiasi majalah-majalah kebudayaan seperti Zenith (1951-1954), Kisah (1953-1957), Mimbar Indonesia, Siasat, dan Sastra (1961-1964). Karya-karyanya antara lain: a. e. f. g. h. Bulan Bujur Sangkar Taman Drama, kemudian dibukukan menjadi Petang di Taman. RT Nol /RW Nol Lebih Hitam dari Hitam (cerpen, 1959) Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968).

4.5 Fenomena Periode 50-an Tidak ada keterangan khusus yang mengatakan karya terfenomenal pada Angkatan 50, tetapi ada karya-karya yang dihasilkan dan dapat dikatakan bahwa kebisaan menulis sastra majalah merupakan fenomena dan ciri khas tersendiri untuk karya angkatan 50-an.

29

V PERIODE ANGKATAN 70 1965-1980

5.1 Ikhwal Periode 70-an Tahun 1960-an adalah tahun-tahun subur bagi kehidupan dunia perpuisian Indonesia. Tahun 1963 sampai 1965 yang berjaya adalah para penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Karya Sastra sekitar tahun 1966 lazim disebut angkatan 66. H.B. Jassin menyebut bahwa pelopor angkatan 66 ini adalah penyair-penyair demonstran, seperti Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, dan sebagainya. Tahun 1976 muncul puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri yang menjadi cakrawala baru dalam dunia perpuisian Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa penyair dan karyanya.

5.2 Periode 70 dan Karyanya 1. Goenawan Mohamad Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan 66 dalam bidang sastra budaya. Memimpin majalah Tempo sejak 1971 hingga tahun 1998. Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1973 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Ia banyak menulis puisi dengan dasar dongeng-dongeng daerah atau cerita wayang disertai renungan kehidupan. Buku kumpulan puisinya adalah Parikesit (1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin kundang (1972), Interclude (1973), Asmarandana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998). 2. Taufiq Ismail Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Dibesarkan di Pekalongan, putra seorang wartawan berdarah Minang. Ia merupakan dokter hewan lulusan IPB. Ia juga dikenal sebagai dramawan terkenal di Bogor pada era 1960-an. Taufiq Ismail dikenal sebagai penyair puisi-puisi demonstrasi. Ia sendiri aktif dalam demonstrasi. Kumpulan puisinya dibukukan dalam Tirani (1966) dan Benteng (1966).

30

Pernah mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1971), International Writing Programm di Universitas Lowa (1973-1972), dan Kongres Penyair Dunia di Taipei (1973). Ia pernah menerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia tahun 1970. Kumpulan puisinya yang lain adalah Puisi-Puisi Sepi (1971), Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), dan Sajak-sajak Ladang Jagung (1975). 3. Sapardi Djoko Darmono Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi sangat sopan, sangat gramatikal, dan sangat lembut. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisipuisi protes atau kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api (2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-puisinya yang sangat populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk dibaca di pentas). Kepenyairan Sapardi membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya dalam dunia ilmu sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000). 4. Hartoyo Andang Jaya Lahir di Solo, 1930, dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari kematiannya diperingati di Taman Budaya Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku Puisi (1973).

31

5. Sutardji Calzoum Bachri Sutardji Calzoum Bachri pernah menyatakan diri sebagai Presiden Penyair Indonesia. Pelopor penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia merintis bentuk baru dalam perpuisian Indonesia, uaitu puisi konkret dan mantra, puisi itu dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan bunyi yang tidak dijajah oleh makna atau pengertian. Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977) juga dari South East Asia Write Award (Bangkok, 1981). Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain itu, kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal dengan nama kredo puisi. 6. Abdul Hadi W.M. Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah kuliah di Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM (19681971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia sejak tahun 1991. Kumpulan puisinya Riwayat (1967), Laut Belum Pasang (1972), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984). 7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna Mencari Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu kumpulan puisinya dibukukan dalam Omong Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982). Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling, yaitu puisi yang keluar dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, verifikasi, dan tipografi, tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa kesungguhan. 8. Apip Mustopa Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya RRI Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisipuisinya juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru.

32

9. D. Zawami Imron Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan pesantren. Ia pernah mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang (1977), Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku Ombak, Selimutku Angin (1996), Semerbak Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).

33

VI PERIODE ANGKATAN 2000 1990-2000

6.1 Sejarah Angkatan Reformasi Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie lalu K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri, muncul wacana tentang sastrawan reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra puisi, cerpen maupun novel, yang bertemakan sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik. Sastrawan reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Peristiwa reformasi 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, dan novel. Bahkan, penyair yang semula jauh dari tema sosial-politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Acep Zamzam Noer dan Ahmadun Yosi Herfanda, juga ikut meramaikan suasana itu dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

6.2 Angkatan 2000 dan Karyanya Setelah wacana lahirnya sastra Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, dalam hal ini bisa disebut ikon atau hal/seseorang yang menjadi pencetus maupun tokoh sentral yang mewakili ciri khas dari angkatan tersebut, Korrie Layun Rampan pada tahun 2000 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, temasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an seperi Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. 6.3 Ciri-ciri Periode 2000 a. 1990-an (Angkatan Reformasi) Isi karya sastra sesuai situasi reformasi; Bertema sosial-politik, romantik, naturalis; Produktivitas karya sastra lebih marak lagi, seperti puisi, cerpen, novel; 34

Disebut angkatan reformasi; Tahun 1998 merupakan puncak dari angkatan 90-an; Banyak munculnya sastrawan baru yang membawa angin baru dalam kesusastraan Indonesia, contohnya Ayu Utami yang muncul di akhir 90-an dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. b. 2000-an (Angkatan Modern) Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra; Banyak muncul kaum perempuan; Disebut angkatan modern; Karya sastra lebih marak lagi, termasuk adanya sastra koran, contohnya dalam H.U. Pikiran Rakyat; Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminisme; Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami pembaca; Adanya sastra religi; Muncul cyber sastra di Internet.

6.4 Biografi Sastrawan dan Karyanya a. Angkatan Reformasi


Ahmadun Yosi Herfanda Lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958 Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi pada Univ. Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia ( 1993-1995) dan Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (1999-2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana menerbitkan Creative Writing Institute. Ahmadun Pernah menjadi Anggota Dewan Penasihat Majelis penulis Forum Lingkar Pena. Contoh karyanya:

RESONANSI INDONESIA

bahagia saat kau kirim rindu termanis dari lembut hatimu jarak yang memisahkan kita laut yang mengasuh hidup nahkoda pulau-pulau yang menumbuhkan kita 35

permata zamrud di katulistiwa : kau dan aku berjuta tubuh satu jiwa kau semaikan benih-benih kasih tertanam dari manis cintamu tumbuh subur diladang tropika pohon pun berbuah apel dan semangka kita petik bersama bagi rasa bersaudara : kau dan aku berjuta kata satu jiwa kau dan aku siapakah kau dan aku ? jawa,cina,aceh,batak,arab,dayak sunda,madura,ambon,atau papua ? ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita : kau dan aku berjuta wajah satu jiwa ya, apalah artinya tembok pemisah kita apalah artinya rahim ibu yang berbeda ? jiwaku dan jiwamu, jiwa kita tulus menyatu dalam asuhan burung garuda Jakarta, 1984/1999 Acep Zamzam Noer Lahir di Tasik pada tanggal 28 Februari 1960. Pendidikan: Alumnus Seni Rupa ITB dan Universitas Italia Stranieri, Italia Kumpulan Puisinya: Tamparlah Mukaku, 1982 Aku Kini Doa, 1986 Antologi Pesta Sastra, 1987 Kasidah Sunyi, 1989 Ketika Kata Ketika Warna, 1995 Kota Hujan, 1996 Di Luar Kota, 1997 Di Atas Umbria, 1999

b. Angkatan 2000 Justina Ayu Utami Lahir di Bogor, 21 November 1968. Pendidikan: Fak. Sastra UI 36

Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan. Tak lama setelah penutupan Tempo, Editor dan Detik di masa Orde Baru, dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama yaitu Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus karena gaya penulisan Ayu yang terbuka bahkan terkesan vulgar, inilah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang lainnya. Selain itu, Saman meraih sayembara penulisan novel Dewan Kesenia Jakarta 1998, berkat novel itu juga Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Frince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag Belanda. Ayu Utami dalam novel Saman berhasil menciptakan representasi

seksualitas. mengarang bagi saya adalah kesedihan, melibatkan, meleburkan diri dan menerima kemungkinan yang tak direncanakan. (Katrin Bandel,

Heteronormatifita dan Falosentrisme). Dalam novel Saman terdapat tokoh bernama Upi, seorang gadis cacat mental, tetapi fisik dan estrogen serta progesteronnya tumbuh matang. Dalam novel itu diceritakan bahwa menurut ibunya Upi beringas sekitar satu minggu menjelang haid. Upi sering melakukan onani dengan masturbasi menggosokkan

selangkangannya pada pohon, tihang listrik, pagar, sudut tembok. Dia juga gemar memperkosa binatang (bebek dikempit di pangkal paha dan leher dicekik, Saman 71-72). Ia juga kerap dimanfaatkan oleh lelaki iseng yang ingin menikmati tubuhnya. Kemudian ada tokoh Romo Wis yang membuatkan rumah buat Upi yang bisa menjamin aktivitas seksualnya, juga membuatkan patung yang diberi nama Totem Phallus sebagai analogi pacar Upi dan ia boleh bermasturbasi dengan patung itu (Saman, 78). Dalam Saman digambarkan pula fenomena 'revolusi seksual' di kota-kota besar, di mana terjadi pergeseran nilai-nilai ketika perempuan (justru di golongon menengah ke atas yang notabene terpelajar) merasa menemukan simbol kemandirian melalui kebebasan seks. Digambarkan bagaimana perempuan terpelajar generasi baru seperti tokoh Cok dengan entengnya membawa-bawa kondom dalam tas sekolah dan asyik berganti-ganti pasangan. Kemudian ada tokoh Sakuntala yang dengan kesadaran penuh mendekap kebudayan Barat yang serba permisif yang disimbolkan sebagai raksasa, bahkan dengan penuh kesadaran Sakuntala merusak selaput daranya sendiri sebagai tanda pemberontakan terhadap tatanan etika dan moralitas sosial yang dianggap membelenggunya. 37

Sosok-sosok perempuan dalam Saman dan Larung menggambarkan citra perempuan Indonesia yang memiliki keterpelajaran, intelektual, bahkan sosial ekonomi yang kuat tetapi tidak dapat melepaskan diri dari carut-marut kebudayaan Orde Baru yang larut dalam kapitalisme. Para tokoh perempuan tersebut pada satu sisi mampu meraih kemandirian dan berhasil membongkar ruang domestik untuk mencapai ruang publik yang amat luas, tetapi di sisi lain mereka sebenarnya menjadi tumbal kebudayaan yang mengalami depresi dalam upaya menerjemahkan makna pemberontakan, perlawanan, kebebasan dan kemandirian. Mereka sebenarnya tetaplah Siti Nurbaya-Siti Nurbaya modern yang menghadapi Datuk Maringgih baru yang lebih kejam dan canggih, yakni kapitalisme yang serba permisif dengan bentuknya yang lebih gemerlap, lebih cerdas, lebih bebas, serta lebih culas. Dorotea Rosa Herliany Lahir di Magelang, 20 Oktober 1963 Pendidikan: FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia (1987). Ia mendirikan Forum Situs Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang, juga ia mendirikan Indonesia Tera, sebuah kelompok belajar kebudayaan dan masyarakat, lembaga swadaya non-profit yang bekerja dalam lapangan penelitan, penerbitan, dan pengembangan jaringan informasi untuk pendidikan dan kebudayaan masyarakat. Ia menulis sajak dan cerpen. Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill the Radio (2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996). Afrizal Malna Lahir di Jakarta, 7 Juni 1957 Pernah mengikuti Poetry International Rotterdam (1996) Kumpulan puisinya: Abad yang Berlari (1984), Yang Terdiam dalam Microfon (1990), Kalung dari Teman (1999), Anjing Menyerbu Kuburan (1996). Sony Farid Maulana Lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962

38

Pendidikan: Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (1986). Semasa kuliah sudah menulis puisi yang bertemakan sosial, politik, agama, kesunyian, dan kesepian. Sekarang menulis puisi, prosa, esai, dan laporan jurnalistik di HU Pikiran Rakyat Bandung. Puisi-puisinya dibukukan dalam Variasi Parijs Van Java (2004), Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas Kata (2004), Secangkir Teh (2005), Sehampar Kabut (2006), Angsana (2007). Buku Sehampar Kabut masuk dalam lima besar Khatulistiwa Literary Award 2005-2006. Contoh puisinya yang dimuat dalam HU Pikiran Rakyat, Sabtu 28 Juli 2007 (mewakili sastra koran):

SOP BUNTUT Tuan, di buncit perutmu apa ada padang rumput? sepasang sapi jantan dan betina bertanya demikian kepadaku. Hujan kembali membaca akar tumbuhan yang kering digarang kemarau. Kota disergap demam ribuan buruh pabrik gulung tikar.

Sepasang sapi jantan dan betina membayang di kuah sop buntut di restoran hotel bintang lima yang sering dipajak para pecundang. Dan aku terkejut. Mana mungkin di perutku yang buncit ada padang rumput selain hijau padang golf?

Begitulah. Maut mengirim isyarat. Dunia menggeliat dalam kobaran api hutan bakar kepala si mislkin dipenggal begal digelap malam raungnya lenyap ditelan lembut alun musik jazz di restoran hotel bintang lima. Tuan apa ada menu terakhir yang ingin anda santap? 2006 Nenden Lilis Lahir di Garut, 26 September 1971 Kumpulan puisi tunggalnya Negeri Sihir (1999), kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala (2000). Pernah membaca puisi di Poetry Festival Belanda (1999) 39

Seno Gumira Ajidarma Ayahnya Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo Pendidikan: IKJ Jurusan Sinematografi Mengikuti teater alam pimpinan Azwar A. N. Beberapa puisinya pernah dimuat di Horizon. Kemudian ia menulis cerpen antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995). Novelnya Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987 ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi Mata ia mendapat Dinny OHearn Prize for Literary (1997). Dewi Lestari ( Dewi Dee ) Lahir di Bandung, 20 januari 1976 Ayah Ibu: Yohan Simanungsong-Turlan Siagian Pendidikan: Univ. Parahyangan dengan gelar sarjana politik. Ketiga novelnya yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Akar, dan Petir mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 dan 2003. 1. Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dirilis 16 Pebruari 2001 Beberapa pendapat para tokoh: Dr. I. Bambang Sugiharto: Sebuah petualangan intelektual yang menerabas segala sekat disipliner; semacam perselingkuhan visioner yang mempesona antara fisika, psikologi, religi, mitos, dan fiksi. Sujiwo Tejo: Mereka yang oleh sebab kebiasaan lama terlalu membedakan fiksi dan nonfiksi akan kecewa dengan buku ini. Tetapi tidak bagi yang selalu menyongsong segala hal yang tumbuh. Jakob Sumarjo: Inilah karya sastra bergaya pop art yang sepenuhnya bermain di dunia hakiki, menentang nilai-nilai lama dengan mengajukan argumentasi baru agar pembaca memiliki persepsi baru tentang keberadaannya. Taufik Ismaail: Salah satu kesegaran baru dalam sastra Indonesia, penelusuran nilai lewat sains, spiritualitas dan percintaan yang cerdas, unik, dan mengguncang.

2. Akar dirilis pada tanggal 16 Oktober 2002 Novel ini sempat mengundang kontroversial karena dianggap melecehkan umat Hindu. Umat Hindu menolak dicantumkannya lambang Omkara/Aum 40

yang merupakan aksara suci Brahman Tuhan Yang Maha Esa dalam Hindu sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya desepakati bahwa lambang Omkara tidak akan ditampilkan lagi pada edisi ke-2 dan seterusnya.

3. Petir dirilis Januari 2005 Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja ia memasukan empat tokoh baru dalam Petir. Salah satunya adalah Elekta, tokoh sentral yang ada di novel tersebut.

4. Filosofi Kopi

6.5 Novelis Lainnya 1. Sitta Karina Kisah Keluarga Hanafiah Lukisan Hujan Imaji Terindah Pesan dari Bintang Putri Hujan dan Ksatria Malam 2. Fira Basuki Jendela-Jendela Pintu Atap Brownies Novel Suami Gila dan Istri Bawel 3. Adhitya Mulya Jomblo - Sebuah Komedi Cinta Gege Mengejar Cinta Kejar Jakarta 4. Ninit Yunita Kok Putusin Gue? 5. Donny Dhirgantoro 5 cm 6. Andi Eriawan Always, Laila - hanya cinta yang bisa 7. Habiburrahman El Shirazy Ayat-Ayat Cinta 8. Puthut EA Cinta Tak Pernah Tepat Waktu 41

9. Icha Rahmanti Cintapuccino 10. Danni Junus Ei tu ze - Bukan Impian Biasa 11. Remy Sylado Kerudung Merah Kirmizi 12. Chritian Simamora Macarin Anjing 13. Yennie Hardiwidjaja Miss Jutek 14. Andi Eriawan Ruang Rindu 15. Miranda Sihir Cinta 16. Ratih Kumala Tabula Rasa

6.6 Kumpulan Cerpen 1. Habiburrahman El Shirazy Di Atas Sajadah Cinta Ketika Cinta Berbuah Surga 2. Tamara Geraldine Kamu sadar saya punya alasan untuk selingkuh kan, sayang ? 3. Intan Paramadhita Sihir Perempuan

6.7 Fenomena 1990-2000 a. Supernova

42

Sebelum Supernova keluar, tak banyak orang tahu kalau Dee (Dewi Lestari) sering menulis. Tuliasan Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu cerpenya berjudulnya Sikat Gigi pernah dimuat di buletin seni terbitan Bandung, Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri. Tahun 1993 ia mengirim tulisan berjudul Ekspresi ke majalah Gadis yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Ia berhasil mendapat hadiah juara pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul Rico The Coro yang dimuat di majalah Mode. Bahkan kerika masih siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan untuk buletin sekolah. Novel pertamanya yang sensasional, Supernova satu: Ksatria, Putri dan Bintang jatuh, dirilis 16 Februari 2001. Novel yang laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar ini banyak menggunakan istilah sains dan cerita cinta. Bulan Maret 2002, Dee meluncurkan Supernova Satu edisi Inggris untuk menebus pasar internasional dengan menggaet Harry Aveling (60), ahlinya dalam urusan menerjemahkan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Supernova pernah masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books. Bersaing dengan para sastrawan kenamaan seperti Goenawan Muhammad, Danarto lewat karya Setangkai Melati di Sayap Jibril, Dorothea Rosa Herliany dengan Kill the Radio, Sutarji Calzoum Bachri Hujan Menulis Ayam dan Hamsad Rangkuti Sampah Bulan Desember. Sukses dengan novel pertamanya, Dee meluncurkan novel keduanya, Supernova Dua berjudul Akar pada 16 Oktober 2002. Novel ini sempat mengundang kontroversial karena dianggap melecehkan umat Hindu. Umat Hindu menolak dicantumkannya lambang Omkara/Aum yang merupakan aksara suci Brahman Tuhan Yang Maha Esa dalam Hindu sebagai cover dalam bukunya. Akhirnya desepakati bahwa lambang Omkara tidak akan ditampilkan lagi pada edisi ke-2 dan seterusnya. Lama tak terdengar akhirnya Januari 2005 Dee merilis novel ketiganya, Supernova edisi Petir. Kisah di novel ini masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja ia memesukan 4 tokoh baru dalam Petir. Salah satunya adalah Elekta, tokoh sentral yang ada di novel tersebut.

b. Sastra Perkelaminan 43

Sejarah pun menggambarkan, kesusastaran yang mengakui seks(ualitas) menjadi peristiwa kesusastaran yang memancing caci-puji dari wilayah kesusastaran dalam menjelmakan peristiwa kemasyarakatan yang berbuntut pencekalan, penyensoran, dan pemberangusan. Sejarah menawarkan bahwa kesusastaran yang mengusung seks(ualitas) mengandung eksperimen dalam konteks kesusastaran dan kemasyarakatan. Reaksi-reaksi itu menjadi bukti bahwa seks(ualitas) maish tabu dikalangan sastra dan masyarakat moderen. Padahal peristiwa intim antartubuh tampil rileks dan polos dalam kesusastaran Jawa tradisional tanpa penolakan dari masyarakatnya dan dijunjung sebagai karya adiluhung (Gatoloco dan Centini, misalnya). Alasan filosofis tak ampuh didakwahkan untuk menginsafkan khalayak yang menuding karya sastra sebagai pornografi dan juga musykil menuntut karya sastra dipandang melulu melalui kaca mata estetika. Alasan-alasan itu merupakan cita-cita, idealisme, atau tekad kreativitas kesusastraan. Tabiat kreativitas kerap menolak kemapanan nilai demi kebaruan yang radikal, sedangkan masyarakat meneguhi tradisi, ajaran, dan tata nilai soal moral-kata selama berabad-abad. Akibatnya komunikasi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) berubah menjadi konfrontasi. Kesusastraan yang mengusung seks (ualitas) kerap dipandang sebagai pembrontakan terhadap kemapanan dalam kesusastraan dan kemasyarakatan. Pemberontakan itu merupakan isyarat aspiratif kesusastraan yang tak ingin absen mengucapkan kenyataan seks(ualitas). Walau tahu dihadang ancaman tabu, cita-cita kesusastraan tak mundur atau takluk, sebab ekspresi seks(ualitas) merupakan unsur kehidupan yang penting, mendasar, dan berharga sebagaimana politik ataupun agama. Sementara itu kesusastraan dipahami awam sebagai medium penggali keluhuran, penebar nilai kearifan kolektif. Kesusastraan diharapkan memenuhi kebutuhan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Sedangkan kesusastraan modern cenderung menjadi medan eksperimen seni dan cara memandang kenyataan, bukan pelanggeng keyakinan estetis atau pandangan tertentu. Kesusastraan modern tidak hanya menggambarkan kanyataan yang indah dan arif, tapi juga kenyataan yang najis dan bejad. Akibatnya kesusastraan modern kerap dicap sebagai oposisi atau alternatif bagi kemapanan tradisi, nilai, dan pandangan masyarakat maupun aliran kesusastraan tertentu. Sejarah aliran kesusastraan merupakan interaksi atau pertarungan antara pandangan kesusastraan dengan pandangan kemasyarakatan. Sejarah tumbuhnya aliran realisme yang menginginkan sosok kenyataan yang apa adanya tak bisa lepas dari reaksi terhadap hegemoni aliran romantisisme yang getol merekam kenyataan yang molek dan tata krama agung kaum borjuis. 44

Secara politis, realisme mendukung cara pandang kaum proletar, dan romantisisme mewakili cara pandang kaum borjuis. Kedua aliran itu berakar pada konsep yang berseberangan dalam memandang kenyataan. Aliran-aliran itu bersaing untuk membentuk kenyataan sesuai konsepnya masing-masing. Kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) menyimpan risiko-risiko yang

mengakomodasi kesusastraan dan kemasyarakatan berada dalam interaksi yang rawan. Sebab, kemapanan nilai kerap serupa lepra yang dihindari kesusastraan yang haus pembauran dan penjelajahan kreativitas. Dan bagi masyarakat, pemberontakan nilai dalam kesusastraan dianggap bentuk kreativitas terkutuk yang menyesatkan. Masyarakat ingin kemapanan nilai dan perlakuan sastra tak bersepakat dengan itu. Maka kepenyairan acap dicitrakan sebagai dekaden, terkutuk, bidah atau subversif karena dianggap mencemari nilai yang suci. Kreativitas atau pembaruan kesusastraan sering dicap sebagai pemberontakan oleh otoritas tradisi, moral, politik, dan kekuasaan yang terusik egonya, dan keterusikan itu menjadi motif pelanggaran, pencekalan, dan pemberangusan. Sejarah kesusastraan menggambarkan bahwa kontroversi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) menyelenggarakan pertarungan nilai yang melahirkan

kekeraskepalaan dan kekompromian, pujian, dan cacian, juga pemenang dan pecundang. Inilah makna yang penting dan berharga dari kesusastraan yang mengusung masalah seks(ualitas) alias perkelaminan: tak sebatas urusan bagus-buruk sebagai teks, tapi juga pandangan bajik-bejad dalam konteks masyarakat.*** Sumber: HU. Pikiran Rakyat edisi 17 Maret 2007 Penulis: Binhad Nurrohmat (penyair)

c. Sastra Perempuan Seks Sekumpulan tulisan yang menyerang sanjung-puji para kritikus terhadap para penulis perempuan Indonesia mutakhir. Argumentasinya mantap. Dalam lima tahun terakhir ladang sastra kita ramai oleh gunjingan telah terjadi krisis kritik sastra. Mutu kritik dituding tak bisa mengimbangi membanjirnya karya sastra sebagai objek kritik dengan tumbuhnya media massa dan penerbitan. Pendeknya, kritik sastra kita, sebagai sebuah ranah sastra tersendiri, sudah mati. Ada yang menuding krisis itu berpangkal karena adanya politik sastra. Politik itu berupa kuatnya jaringan personal antara komunitas-komunitas sastra terkemuka (yang di dalamnya ada kritikus terkemuka juga) dengan para penulis. Penulis yang bisa masuk ke dalam jaringan-jaringan kritikus arus utama itu akan mendapat tempat dalam ranah sastra kita. 45

Aktivis sastra cyber, Saut Situmorang, gencar menyuarakan tudingan dan asumsi ini. Bukan tanpa kebetulan jika istrinya, Katrin Bandel, penulis buku Sastra Perempuan Seks ini, juga punya asumsi yang sama. Buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu, tulis Katrin. Penulis asal Jerman ini menuding para kritikus dalam jaringan itu telah tidak adil dalam menilai sebuah karya. Katrin menunjukkan pilih kasih para kritikus itu. Karya yang mendapat tempat dan sanjung-puji itu secara kualitas, dalam penilaian Katrin, ternyata biasa- biasa saja. Sementara itu, banyak karya lain yang punya kualitas lebih terlewat dari gunjingan para kritikus di media massa hanya karena dia tak punya kontak ke jaringan kritikus arus utama itu. Dan sepanjang delapan tahun ini, sastra kita (terutama novel dan cerita pendek) ramai oleh tema seputar seks yang ditulis perempuan. Para kritikus arus utama menilai hadirnya perempuan mengangkat dan membongkar seks dari kotak tabu selama ini sebagai bentuk pemberontakan perempuan terhadap budaya patriarkisebuah budaya yang makin kentara dalam gunjingan yang riuh itu bahwa perempuan memang baru dihargai karena dia perempuan. Sebab, belum pernah terdengar ada penulis laki-laki dipuji karena dia terlahir sebagai laki-laki. Inilah fokus yang mengambil sebagian besar sorotan Katrin terhadap karya sastra kita dewasa ini. Dia, misalnya, menyoroti dua novel Ayu Utami, Saman dan Larung, yang dianggap novel terbaik sependek sejarah sastra Indonesia modern. Lalu kemunculan tiba-tiba Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, dan penulis perempuan lainnya yang menggarap tema tak jauh dari selangkangan secara telanjang. Para penulis yang dipuji- puji telah mengenalkan teknik bercerita yang baru ini, di mata Katrin, tak lebih hanya merumitkan narasi belaka. Ia menyiapkan argumentasi, merujuk teori, membongkar kelemahan sorotan atas karya-karya mereka, lalu ia sendiri menunjukkan fakta lain yang mendukung ulasannya. Ada terasa argumentasi yang mantap, memang, sehingga segala bangunan kritik puja-puji itu goyah bahkan ambruk. Yang tampak segera dari tulisan-tulisannya ini adalah usaha menyampaikan argumentasi sendiri dengan meminimalkan kutipan pemikir-pemikir sebelumnya yang seringkali dipakai bermegah diri oleh para kritikus lokal generasi terbaru. Penilaian Katrin semacam ini sah dan wajar saja. Sebuah karya sastra serupa raksasa tak akan habis sungguhpun dicincang dari pelbagai sudut. Karya yang berhasil malah akan terus merangsang daya kritis para pembaca. Tetralogi Bumi Manusia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer sudah banyak diulas dari 46

pelbagai segi: politik, nasionalisme, teori komunisme, kejiwaan, sejarah, cerita yang biasa saja, dan seterusnya. Alih-alih habis, tetralogi makin mengukuhkan kepengarangan Pramoedya. Ini juga menunjukkan bahwa baik-buruk mutu sebuah karya ditentukan oleh lompatan waktu, bukan oleh kritikus yang memuji atau mencacinya. Seorang kritikus adalah seorang pembaca yang bertanya. Ia mengungkapkan segala aspek yang tak terlihat oleh penikmat sastra biasa. Ia menyampaikan perspektif dengan, kalau perlu, mencari pijakan teorinya. Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang memberi wawasan. Kritik yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Dalam perkembangan sastra Indonesia yang belum menunjukkan keunikannya ini, rangsangan semacam itu sangat perlu. Budi Darma sendiri sudah mempraktekannya ketika menulis novel Olenka (dan mungkin Cerita-cerita Orang Bloomington). Secara jujur ia mengaku terinspirasi oleh satu kritik sastra yang ditulis pengarang Inggris, EM Forster. Kita tidak tahu bagaimana Budi Darma mendapat ilham menulis cerita sepulang dari Amerika. Cerita-cerita mutakhirnya lebih tertib dan terarah, tak ada lanturan dan tokoh-tokoh yang kesurupan lagi. Karena berangkat dari rasa kecewa itu, tulisan-tulisan Katrin yang menyerang kritik sebelumnya terasa garang dan berapi-api, lalu melupakan sorotan terhadap nilai sebuah karya sebagai suatu kesatuan. Sebaliknya, tulisan lepas yang membahas novel atau fenomena jauh lebih subtil dan memberikan perspektif baru. Karena itu, tulisan yang paling menarik dari buku ini adalah ulasannya soal dukun dan obat dalam sastra Indonesia, tema-tema pascakolonial, dan sastra siber. Soal dukun dan obat agaknya ringkasan dari disertasi Katrin di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hamburg, Jerman. Menarik karena sorotan semacam ini jarang disentuh oleh kritikus lokal. Lagipula, perdebatan kritik sudah terjadi sejak zaman kuda bertukar tanduk dengan rusa. Persoalan rendahnya mutu kritik dan kewibawaan kritik selalu berulang dari generasi ke generasi. Perulangan debat semacam ini, bukankah menunjukkan bahwa memang ada fenomena dan tren tertentu dalam sastra Indonesia? Barangkali karena buku ini bukan sekumpulan tulisan dengan kepaduan tema. Katrin telah meniru tabiat intelektual publik Indonesia yang membuat buku dengan mengumpulkan serpihan-serpihan ide lewat tulisan yang terserak dalam pelbagai berkala. Karena itu setiap ulasan tentang sebuah tema dalam buku ini terasa tak bebas ruang geraknya karena terbatas oleh jumlah halaman dan karakter di media massa tempat asalnya. Seandainya Katrin mau menambah jelas tiap argumentasi, menyelipkan teori yang lebih ajeg 47

untuk mendukungnya, atau memperluas tema sorotan sebelum dibukukan, ke-11 tulisannya ini bisa jauh lebih berbobot. Kemungkinan lain, sebuah tulisan dalam buku ini ditulis untuk sebuah tema pada suatu waktu tertentu dengan mempertimbangkan aktualitas. Meski begitu, buku ini tetap menarik sebagai sebuah bahan otokritik terhadap arus utama kritik sastra mutakhir kita, semacam suara lain dalam menimbang sebuah karya. Sebuah otokritik dari seberang, yang mengingatkan, memberi tempat pada karya yang luput dari pengamatan para kritikus arus utama itu.

d. Gender dan Ketakutan dalam Sastra Surabaya, Kamis Penulis novel dan cerita pendek dari Surabaya, Zoya Herawati, mengemukakan bahwa karya sastra yang ditulis baik oleh perempuan maupun laki-laki untuk saat ini samasama merefleksi ketakutan masing-masing. "Keberanian perempuan dalam sastra adalah ketakutan terhadap ideologi patriarki. Demikian juga sebaliknya, laki-laki yang selalu digambarkan perkasa, juga sering menyembunyikan kekurangan dan ketidakmampuan," ucap Zoya dalam diskusi sastra di Kampus Universitas 17 Agustus Surabaya, Kamis (29/6). Diskusi bertema Pemberontakan Gender terhadap Hegemoni Bahasa Laki-laki dalam Karya Sastra yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris itu, juga menghadirkan Prof. Dr. Sam Abede Pareno dari Universitas Budi Utomo, serta sastrawan Akhudiat. Kata Zoya lagi, keberanian yang ditampilkan lewat karya tulis hanyalah keberanian semu, yang boleh dikata, malah merupakan refleksi dari puncak ketakutan terhadap dominasi satu atas lainnya. Khusus untuk perempuan, pengarang berkacamata tersebut mengutarakan, pemberontakan feminis di Indonesia yang dilakukan oleh perempuan pengarang terbatas pada simbol kelamin belaka, sementara inti dari semangat feminisme mendapat porsi kecil. Sementara itu, Prof Dr. Sam Abede Pareno, yang dikenal sebagai penyair dan dramawan, berpendapat bahwa sastra merupakan dunia yang bebas diskriminasi gender. Sastra dalam arti yang sebenar-benarnya tak boleh diskriminatif. "Memang, untuk Indonesia, sejak dulu perempuan seolah-olah merupakan objek yang tiada habisnya. Perempuan lebih banyak diposisikan sebagai tokoh sentral. Bedanya, kalau dulu menggunakan bahasa lelaki karena penulisnya pria, sekarang yang muncul adalah bahasa wanita," papar Sam. 48

Lanjut guru besar ilmu komunikasi tersebut, kalau kini muncul karya sastra yang ditulis oleh perempuan dengan bahasa yang sangat lugas dan apa adanya, itu bukanlah pemberontakan. "Pemberontakan adalah perlawanan atas perlakuan yang tidak adil. Padahal, sastrawan pria pada umumnya justru menampilkan wanita sebagai sesuatu yang indah, bahkan lebih indah dari aslinya," alasannya. Karena itu, perempuan penulis tampaknya tidak menghendaki kepalsuan tersebut dan lahirlah dalam karya mereka sosok perempuan sebagai manusia biasa yang mendambakan kekuasan, harta, dan seks. Berbagai pengakuan terbuka dalam karya sastra, termasuk dalam novel Petir karya Dewi Lestari (Dee), bertujuan membebaskan sastra dari kepura-puraan atau kepalsuan. Di situ digambarkan bahwa perempuan bukan lagi sang dewi yang tanpa cacat. Masih menurut Sam, sastra yang sejati merupakan karya yang adil, seimbang, dan menyeluruh. Karena itu, seorang lelaki atau seorang perempuan yang memilih mengabdikan hidup di bidang sastra harus membebaskan diri dari jenis gendernya.*** Sumber: Antara Penulis: Ati e. Sastra Seleb 1. Dewi Lestari Biografi TTL Urutan dalam keluarga Ayah Ibu Supernova 1 Supernova 2 Supernova 3 Supernova 4 : Bandung 20 01 1976 : anak ke-4 dari 5 bersaudara : Yohan Simanungsong - Turlan Siagian : Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh : Akar : Petir : Filosofi Kopi

2. Rieke Diah Pitaloka Biografi TTL Pendidikan : Garut, 9 Januari 1974 : S1 UI Sastra Balanda S2 UI Ilmu Filsafat Karya : Renungan Kloset, dari Cengkeh Sampai Utrecht** (Merupakan kumpulan puisi pertamanya). 49

Rieke Diah Pitaloka sempat terlibat dalam gerakan prodemokrasi di Indonesia, dan beberapa puisi dalam bukunya merupakan laporan langsung dari demonstrasi yang diikutinya. Sementara puisi yang lain merupakan pencerminan dari pandangannya terhadap masalah sosial-politik dan gender. Namun demikian, ia tetaplah seorang perempuan yang romantis, sehingga tema cinta tetap menjadi bagian dari kumpulan puisi ini. Contoh karya puisinya:

Note Ini penting:/ Kalau nanti malam/ Kau bertemu Tuhan/ Tolong tanyakan padanya/ Apakah Adam diciptakan/ Untuk memperkosa Hawa?/ Ini Penting!/ Tebet, 24062001

Setangkai Cinta Tak perlu bingung/ Begini saja,/ berapa pun jarak kita/ kan kukirim untukmu/ setangkai cinta/ setiap hari/ setuju?/ Sukabumi, 12062001

3. Tamara Geraldine Kamu sadar saya punya alasan untuk selingkuh kan, sayang? (kumpulan cerpen)

50

DAFTAR PUSTAKA
Alami, Happy. 2001. Sebelas Penyair Terkenal Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ambary, Abdullah. 1983. Intisari Sastra Indonesia. Bandung: Djatnika. Anwar, Chairil.2004. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia. Budianta, Meilani dkk. 2003. Membaca Sastra. Depok: Indonesia Tera. Hastuti, Sri P.H..Ringkasan Sejarah Sastra Modern. PT. Intan Wikipedia Indonesia. Haqani, Luqman. 2005. Ungkapkan Isi Hati Melalui Puisi. Bandung: Pena Media. Jassin, H.B.1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Gunung Agung. Pitaloka, Rieke Diah.2003. Renungan Kloset dari Cengkeh-Utrech. Jakarta: Pustaka Utama. Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 2000. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Putrabardin. Suhendar, M.E.1993. Pendekatan Teori, Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung: Pionir Jaya. Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. www.cybersastra.com www.wikipedia.co.id

51

LAMPIRAN (beberapa sastrawan terkemuka dan karyanya)

Chairil Anwar Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922 Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [1]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[1] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Buku-buku Deru Campur Debu (1949) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949) Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin) Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949, diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986) Derai-derai Cemara (1998) Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

52

Terjemahan ke dalam bahasa asing Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya: Sharp gravel, Indonesian poems, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960) Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati (Madrid: Palma de Mallorca, 1962) Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963) Only Dust: Three Modern Indonesian Poets, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969) The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970) The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974) Feuer und Asche: smtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978) The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953) Boen S. Oemarjati, Chairil Anwar: The Poet and his Language (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972). Abdul Kadir Bakar, Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974) S.U.S. Nababan, A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar (New York, 1976) Arief Budiman, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976 H.B. Jassin, Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya, (Jakarta: Gunung Agung, 1983) 53

Husain Junus, Gaya bahasa Chairil Anwar (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984) Rachmat Djoko Pradopo, Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985) Sjumandjaya, Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987) Pamusuk Eneste, Mengenal Chairil Anwar (Jakarta: Obor, 1995) Zaenal Hakim, Edisi kritis puisi Chairil Anwar (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

54

AKU Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Maret 1943

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh (1948) Liberty, Jilid 7, No 297, 1954 55

KRAWANG-BEKASI Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati ? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi adalah kepunyaanmu Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi (1948) Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957

56

DIPONEGORO Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali Dan bara kagum menjadi api Di depan sekali tuan menanti Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api. Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai

Maju Serbu Serang Terjang (Februari 1943) Budaya, Th III, No. 8 Agustus 1954

57

PRAJURIT JAGA MALAM Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ? Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...... Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ! (1948) Siasat, Th III, No. 96 1949

MALAM Mulai kelam belum buntu malam kami masih berjaga --Thermopylae?- jagal tidak dikenal ? tapi nanti sebelum siang membentang kami sudah tenggelam hilang Zaman Baru, No. 11-12 20-30 Agustus 1957

58

DOA kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namamu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling 13 November 1943

59

PENERIMAAN Kalau kau mau kuterima kau kembali Dengan sepenuh hati Aku masih tetap sendiri Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani Kalau kau mau kuterima kembali Untukku sendiri tapi Sedang dengan cermin aku enggan berbagi. Maret 1943

HAMPA kepada sri Sepi di luar. Sepi menekan mendesak. Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti. Sepi. Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencekung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik Ini sepi terus ada. Dan menanti. SAJAK PUTIH Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah... 60

SENJA DI PELABUHAN KECIL buat: Sri Ajati Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap 1946

CINTAKU JAUH DI PULAU Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar. angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya. Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: "Tujukan perahu ke pangkuanku saja," Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh! Perahu yang bersama 'kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau, kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri. 1946

61

MALAM DI PEGUNUNGAN Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin, Jadi pucat rumah dan kaku pohonan? Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin: Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan! 1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS kelam dan angin lalu mempesiang diriku, menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin, malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu; tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku 1949

DERAI DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah 1949

62

W. S. Rendra Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. (Dialihkan dari W.S. Rendra)

Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

Masa Kecil Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Pendidikan Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat. Rendra sebagai Sastrawan Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas 63

panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan OrangOrang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Bengkel Teater Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya. Penelitian tentang Karya Rendra Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (19571972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977. Penghargaan Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni 64

dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006). Kontroversi Pernikahan, Masuk Islam dan Julukan Burung Merak Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti. Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti tak lama kemudian. Beberapa Karya Drama Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) Sekda (1977) Mastodon dan Burung Kondor (1972) 65

Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama) Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama) Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophocles, aslinya berjudul Oedipus Rex) Kasidah Barzanji Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: La Guerre de Troie n'aura pas lieu)

Sajak/Puisi Jangan Takut Ibu Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak) Empat Kumpulan Sajak Rick dari Corona Potret Pembangunan Dalam Puisi Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta! Nyanyian Angsa Pesan Pencopet kepada Pacarnya Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan) Perjuangan Suku Naga Blues untuk Bonnie Pamphleten van een Dichter State of Emergency Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api Mencari Bapak Rumpun Alang-alang Surat Cinta Sajak Rajawali Sajak Seonggok Jagung

66

Meskipun sudah menjadi orang Islam, tetapi saya masih suka meminum minuman keras. Seenaknya saja saya katakan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Waktu itu, saya selalu katakan, kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air. Saya memang telah memilih jalan hidup saya sebagai seniman. Sejak muda, saya telah malang-melintang di dunia teater. Bahkan, kemudian sava dikenal-sebagai "dedengkot" Bengkel Teater sewaktu masih tinggal di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater inilah saya telah mendapatkan segalanya: popularitas, istri, dan juga materi. Bahkan tidak tanggungtanggung, dalam kemiskinan sebagai seniman pada waktu itu, saya dapat memboyong seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat, yang kemudian menjadi istri saya yang kedua. Tetapi justru, melalui perkawinan dengan putri keraton inilah, akhirnya saya menyatakan diri sebagai seorang muslim. Sebelumnya saya beragama Katolik. Meskipun dalam rentang waktu yang cukup panjang-setelah memperoleh 4 orang anak--perkawinan saya kandas. Tetapi, keyakinan saya sebagai seorang muslim tetap terjaga. Bahkan, setelah perkawinan dengan istri yang ketiga, Ken Zuraida, saya semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan bukan suatu kebetulan, jika saya kemudian bergabung bersama Setiawan Djodi dan Iwan Falls dalam grup Swami dan Kantata Takwa. Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Al-Qur'an. Sebagai penyair, saya berusaha konsisten dengan sikap saya. Bagi saga, menjadi penyair pada hakikatnya menjadi cermin hati nurani dan kemanusiaan. Penyair itu bukan buku yang dapat dibakar atau dilarang, bukan juga benteng yang bisa dihancur leburkan. Ia adalah hati nurani yang tidak dapat disamaratakan dengan tanah. Mereka memang dapat dikalahkan, tetapi tidak dapat disamaratakan dengan tanah begitu saja.

Pergi Haji Ketika naik haji, apa saja yang saya tenggak terasa seperti minuman keras merek Chevas Regal. Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras. Lirih, saya memohon. "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga saya ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!" Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. 67

Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi. (Albaz - dari Buku "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com

Tujuh Dasawarsa Sang Burung Merak Jakarta - Senin (28/11) semua kursi di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, penuh terisi. Meski panggung hanya didominasi satu warna, hitam, gairah pengunjung tetap terasa. Ya, malam itu merupakan malam penghormatan bagi sang pemilik usia, sastrawan besar Indonesia, Willibrordus Surendra Broto Rendra atau Rendra, yang telah menginjak usia ke-70. Tujuh puluh tahun memang bukanlah sebuah rentang usia yang pendek. Apalagi bila sang pemilik usia adalah orang besar seperti Rendra yang mengisi hidupnya untuk mewarnai kehidupan banyak orang. Tak ada kue ulang tahun mewah, apalagi pesta yang ingar-bingar malam itu. Namun, orang-orang yang pernah disentuh hidupnya oleh pemimpin Bengkel Teater ini berusaha merangkai acara istimewa bagi budayawan kelahiran 7 November 1935 yang kerap dijuluki si Burung Merak tersebut. Tak pelak, pembacaan karya-karya monumental sang maestro menjadi sebuah hidangan nikmat bagi para pengagum, sahabat, dan keluarga dekatnya. Karya-karya yang dipilih merupakan cermin pemikiran kritis serta pergolakan panjang batin Rendra selama 50 tahun lebih perjalanan kesastraannya. Dipandu oleh aktor kawakan yang juga jebolan Bengkel teater, Adi Kurdi, acara dibuka dengan pembacaan puisi Nyanyian Orang Urakan yang dibawakan oleh Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta, Ratna Sarumpaet. Kemudian sebuah cerita pendek Gaya Herjan karya Rendra ditampilkan oleh aktor dan penyair Jose Risal Manua. Dengan gayanya yang khas, Jose mampu menampilkan kepekaan Rendra terhadap kehidupan manusia sehari-hari seperti yang ia tunjukkan pada cerpen tersebut. Sementara itu, kegelisahan Rendra pada kehidupan politik rezim Orde Baru yang ia tuangkan dalam Panembahan Roso ditampilkan secara apik oleh Butet Kertaradjasa. Ia membawakan monolog dari sekelumit bagian karya tersebut. Monolog yang ia bawakan tak berdiri sendiri, tapi bersanding dengan pembacaan dramatic reading oleh Amak Baldjun, Syu'bah Asa, Chaerul Umam, dan Jose Rizal Manua, para alumni Bengkel teater. Esai bertajuk Keseimbangan yang dibawakan Adi Kurdi dan sebuah cerpen yang dibuat pada 1956 berjudul Ia Punya Leher yang Indah dibacakan oleh pemimpin Teater Koma, N. Riantiarno, pun mengakhiri keseluruhan acara malam itu. Namun, interpretasi baru Putu Wijaya pada cerpen lama Rendra, Wascha Ah Wascha, menjadi puncak acara malam itu. Gelak tawa pengunjung tak henti-hentinya mewarnai pembacaan Putu yang nyleneh. Selamat ulang tahun, Mas Willi. (Koran tempo / Sita)

68

Rendra dimata N. Riantiarno (Pendiri Teater Koma) : Rendra, Dia memang pernah dikalahkan oleh kekuasaan yang otoriter, tapi, kemudian, ternyata dialah sang pemenang. Pertama kali saya bertemu langsung dengan W.S. Rendra pada April 1968. Dia baru pulang dari Amerika Serikat dan membawa oleh-oleh yang bagi aktivis teater Indonesia boleh dibilang asing. Geger tentu saja. Goenawan Mohamad menyebutnya teater minikata. Itulah latihan-latihan dasar teater yang memang minim kata, nyaris hanya terdiri atas gerak dan bunyi. Waktu itu saya mahasiswa Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan anggota Teater Populer. Teguh Karya, guru kami, ikut pentas teater minikata. Belakangan, Rendra mengakui, Teguh Karya adalah dramawan yang berhasil mempengaruhinya sehingga dia semakin bergiat dalam dunia teater. Pentas teater minikata digelar di Jakarta pada April 1968. Nomor-nomor yang disajikan, Bip Bop, Piip, Di Manakah Kau Saudaraku, Rambate-Rate-Rata, dan Vignet Katakana, sangat memukau. Rendra menjadi bintang yang menawan. Begitu juga Putu Wijaya, Chaerul Umam, Amak Baldjun, dan Syubah Asa. Beberapa hari kemudian, Rendra berkenan mengunjungi Teater Populer. Grup kami sering dicap sebagai teater borjuis, mungkin karena kami berlatih di Hotel Indonesia. Padahal kami sama miskin dengan seniman-seniman teater lain. Makan siang terpaksa bantingan. Dan jatah kami hanya sebuah bacang ketan isi daging sapi. Minumnya air putih, langsung dari keran wastafel hotel. Dalam pertemuan pada 1968 itu, Rendra mengajak kami melatih gerak kalbu atau gerak indah. Intinya, dengan mengambil tema tertentu, tubuh bergerak karena dorongan jiwa. Gerak bisa distimulasi oleh suara musik atau bisa juga oleh suara jiwa kita sendiri. Sama sekali tak ada pola gerak. Seluruh gerak terjadi secara spontan. Tapi konsentrasi harus penuh dan hati jujur. Itulah metode latihan tubuh dan jiwa yang ternyata sangat efektif bagi aktor. Setelah pementasan Bip Bop, Rendra pulang ke Yogyakarta dan berkiprah bersama Bengkel Teater. Tapi teaternya kemudian dicap oleh penguasa, yang mulai cemas, sebagai kegiatan berbobot politik dan membahayakan stabilitas nasional. Sebelum ke Amerika Serikat, pada 1963, Rendra berhasil mementaskan karya Eugene Ionesco, The Chair, yang dia sadur menjadi Kereta Kencana. Dia juga menggelar Odiphus karya Sophocles. Yang menarik, setelah Bip Bop, Rendra kembali mementaskan teater yang bersumber dari naskah. Dia menggelar Isteri Yahudi, Informan, dan Mencari Keadilan, terjemahan karya Bertolt Brecht. Dan dia menggelar sandiwara yang sarat teks pula, antara lain pentas ulang Oidipus, Hamlet karya Shakespeare dan Menunggu Godot karya Samuel Becket. Bentuk pementasan Bengkel Teater baru mengalami perubahan yang signifikan ketika Kasidah Barzanzi, Macbeth, Dunia Azwar, dan Lysistrata digelar. Warna lokal jadi bungkus utama pergelarannya. Dan kekentalan "warna lokal" semakin memancarkan daya tariknya ketika Rendra mementaskan karya-karya sendiri: Mastodon dan Burung Kondor, Perjuangan Suku Naga, Sekda, Panembahan Reso, dan Selamatan Anak Cucu. Sulaiman. Ketika Hamlet dan Kasidah Barzanzi dipentaskan ulang, bentuknya pun mengalami perubahan yang lebih kental dengan warna lokal, meski siratan isi lakon tetap sama. 69

Dalam Perjuangan Suku Naga, Sekda, dan Panembahan Reso, bentuk teater rakyat, ketoprak, dikemas sebagai stilisasi yang sangat berhasil. Segera saja Rendra menjadi ikon. Living-legend dan trendsetter yang berhasil memberi daya hidup bagi dunia teater (dan puisi). Lewat kiprah Rendra, teater menjadi lebih prestisius, "berharga", dan milik masyarakat luas. Teater (dan puisi) juga mulai diperhatikan kaum politikus, malah dianggap memiliki potensi yang bisa mempengaruhi timbulnya pemikiran baru dalam kebijakan politik bernegara. Ini perkembangan yang menarik dan penting. Dan kepada Rendra, saya berguru. Dalam penulisan, saya berguru kepada Asrul Sani, Arifin C. Noer, dan Goenawan Mohamad. Guru teater saya adalah Teguh Karya dan Rendra. Memang saya belajar langsung kepada Teguh Karya, yang mengajari cara mempertahankan daya kreatif dalam kehidupan yang semakin kompetitif. Saya memetik dasar pelajaran manajemen kehidupan kreatif dari dia. Tapi cara bagaimana membangkitkan daya hidup serta mempertahankan stamina dalam gejolak arus zaman serta menyiasati kemusykilan politik kebudayaan dalam pemerintahan yang otoriter, secara tak langsung, saya banyak menyerap dari Rendra. Pelarangan pentas Teater Koma Suksesi dan Opera Kecoa, juga pelarangan pentas puisi Rendra, mendorong para seniman pergi ke DPR RI untuk memprotes pada 1991. Dalam hearing di ruang sidang pleno DPR RI, para seniman bergiliran bicara. Dan Rendra membaca puisi dengan sangat-sangat bagus. Indah. Memukau. Itulah pembacaan puisi terbagus yang pernah saya saksikan. Rendra kini 70 tahun (lahir di Solo, 7 November 1935). Berbagai tindakan bermakna dan inspiratif telah dia lakukan. Dia pernah dipaksa hidup dalam kemiskinan, terlunta, tanpa uang, seakan tidak memiliki masa depan pula. Tapi daya hidupnya tak pernah padam. Dia memang pernah dikalahkan oleh kekuasaan yang otoriter, tapi, kemudian, ternyata dialah sang pemenang. Rendra, seniman besar. Milik Indonesia. Permata mulia. Pikiran-pikirannya tajam. Dia selalu mengungkap apa yang dirasa, tanpa jengah, tanpa rasa takut. Dengan sikap seperti itu pula dia dicekal dan dipenjara. Tapi dia tak pernah jera. Rendra adalah empu yang mumpuni. Hingga kini dia terus memberi kontribusi atas berbagai pikiran yang bernas. Kita seharusnya bersyukur memiliki dia. (Koran Tempo)

70

WS Rendra sebagai Aset Budaya Bangsa Oleh: Winarta Adisubrata Belanda, Amerika Serikat, atau bahkan Korea dan Cina mungkin mencatat WS Rendra sebagai tokoh seni sastra dan drama Indonesia, ketimbang kita bangsa Indonesia sendiri. Penyair dan dramawan Willy Brordus Surendra Brata, yang pernah dikenal publik seni drama dan sastra Indonesia sebagai WS Rendra, menyatakan nama depannya WS adalah Wahyu Suleman (di Solo tempat Rendra dibesarkan WS sering dibaca "Wong Solo". Sejak duduk di SMP, Rendra naik panggung dengan tiga kapasitas sekaligus: penulis naskah drama, pemain utama, dan produser. Kita mencatat sandiwara berjudul "Bunga Semerah Darah" sempat menggegerkan penonton di Solo pada 1951 ketika ia belum duduk di SMA. Seorang Wunder Kind berani naik panggung dalam sebuah pertunjukan matinee (siang hari) di gedung wayang orang Sriwedari, dengan sangat mengejutkan penonton, karena si Anak Ajaib Rendra menampilkan seorang anak gelandangan sebagai pusat kisah dramanya. Ketika duduk di SMA pada 1952, Rendra sudah mulai bersajak. Beberapa puisinya dimuat di Gelanggang Siasat (ketika itu redaktur pelaksananya Rivai Apin). Puisinya yang bercorak dan bernuansa baru di cakrawala sastra Indonesia pasca Angkatan 45 antara lain berjudul "Balada Atmo Karpo" dan "Paman Doblang" yang sangat mampu menandingi balada-balada penyair Spanyol Federico Garcia Lorca yang diterjemahkan Ramadhan KH. Kemunculannya ibarat meteor di horizon sastra Indonesia modern yang meniupkan nafas dan gaya baru dalam bentuk puisi modern, yang keruan saja ketika itu memukau Prof Dr Teeuw (pengamat sastra modern kita yang berdomisili di negeri Belanda), dan juga memancing perhatian "Paus Sastra" kita alm H.B. Yassin. Kumpulan puisinya "Sajak-sajak Duapuluh Lima Perak (sebagian berasal dari sajak-sajaknya yang dimuat di cahier (buku tulis) seni sastra Gelanggang, lampiran di majalah Siasat) dan beberapa kumpulan puisi Rendra lain mulai diperkenalkan ke berbagai bahasa Barat maupun bahasa Timur lain. Mendekam di Tahanan Setelah lulus dari fakultas sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Rendra ke beberapa negara sosialis Asia (di antaranya Korea dan RRC), kemudian belajar tentang seni drama di Amerika. Mungkin karena agama yang dipeluknya dan gaya seni sastra Rendra yang universal serta pilihan naskah-naskah drama yang dipanggungkannya serta disutradari dan dimainkannya (a.l. Eugene Ionesco, Shakespeare, George Bernard Shaw, John Galsworthy dan Sophokles), Rendra tidak kena tuding sebagai seniman berhaluan kiri. Rendra memang tidak pernah terkait dengan lembaga-lembaga kebudayaan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa Orde Lama. Karya-karyanya, terutama puisi-puisinya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda dan bahasa Eropa lain. Dan tidak mustahil puisinya juga telah disalin ke bahasa Cina, Korea atau Rusia. Kelebihan Renda bukan hanya dihargai di negeri sendiri, tetapi juga di negara Barat dan sosialis, menjadikannya tokoh seni Indonesia modern yang unik, karena selain menulis puisi dan prosa (seingat saya Rendra juga menulis cerita pendek pada tahun 1950-an untuk terbitan di Solo dan Yogya), juga mampu naik panggung sekaligus sebagai penulis naskah drama, produser dan pemain utama. Sejak 1970-an Rendra banyak manggung di Jakarta, antara lain di Gedung Kesenian, Gedung Olahraga (Gelora) Bung Karno di Senayan dan Taman Ismail Marzuki.Satu di antara dramanya berjudul "Burung Kondor" kabarnya diproduksi dengan sponsor Jenderal Sumitro alm. yang ketika itu menjabat Pangkopkamtib. Namun drama itu dihubung-hubungkan dengan upaya yang mendekati makar, sehingga Rendra untuk beberapa minggu harus mendekam di tahanan polisi militer di Pasar Rumput, Jakarta. 71

Patut kita catat keunikan Rendra sebagai penyair dan dramawan dengan kepiawaiannya naik panggung dan berpuisi yang di Indonesia mengingatkan kepada penyair Asrul Sani (satu di antara penyair Tiga Menguak Takdir dari Angkatan 45 yang sangat dikaguminya), walaupun Asrul sendiri hanya tampil sebagai sutradara pangggung dan penyusun naskah terjemahan dari Sartre atau Lorca.

Riantiarno Riantiarno kabarnya merupakan salah seorang anak didik dan pemuja Rendra. Karya dramawan muda yang dimainkan Rendra pekan lalu meyakinkan kita bahwa Rendra telah berhasil diikuti generasi penerus yang dituntut Rendra bukan sekadar penerus, tetapi sebagai pemikir dan generasi yang berbuat. Sesudah lebih dari 50 tahun malang melintang di panggung dan menguntai berjilid jilid puisi serta puluhan tahun mengasuh sebuah pedepokan seni drama nun di Cipayung, Depok, Rendra telah menempa tradisi seni drama dan seni sastra melewati kurun waktu lebih dari 50 tahun. Memprihatinkan, kenapa hingga sekarang belum ada penerbit yang bersedia mengumpulkan karya-karya puisi dan naskah dramanya? Gramedia atau Pradnya Paramitha tentu cukup representatif untuk mewakili kesadaran berseni sastra dari negeri kita untuk melestarikan karya-karya puisi dan drama Rendra yang harus dikumpulkan berbagai sumber dan dokumentasi. Para pengagum Rendra yang sempat bersua dengan dia lewat "Kereta Kencana Eugene Ionesco atau "Oedipus dari Sophokles (atau Sobrat yang baru saja dipanggungkannya pekan lalu) patut diteruskan dengan upaya menghimpun kembali naskah drama dan puisi Rendra yang bisa menjadi salah satu sumber inspirasi untuk menjernihkan kembali falsafah (kehidupan) bangsa yang sudah lama terlena dengan Panca Sila namun segala centang perentang yang terjadi di negeri selama ini masih jauh dari adab dan budaya berTuhan apalagi berperikemanusiaan. Rendra dan pedepokannya patut mendapat perhatian dari pemerintah seta para filantrop supaya upaya ia tidak sekadar akan lenyap bersama sang waktu. Kita pantas dan wajib memberi penghargaan kepada Rendra dengan menopang kelestarian pedepokan drama Rendra, agar tetap lestari meneruskan cita-cita Rendra dalam memperkaya khazanah budaya bangsa, khususnya di seni drama. Penulis adalah wartawan senior, teman sekolah WS Rendra di Solo.

72

Beberapa judul sajak karya Rendra 1. Aku Tulis Pamplet Ini 2. Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang 3. Gerilya 4. Gugur 5. Hai, Kamu ! 6. Lagu Seorang Gerilya 7. Lagu Serdadu 8. Nota Bele : Aku Kangen 9. Orang-orang Miskin 10. Pamplet Cinta 11. Sajak Anak Muda 12. Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia 13. Sajak Bulan Purnama 14. Sajak Burung-Burung Kondor 15. Sajak Joki Tobing untuk Widuri 16. Sajak Ibunda 17. Sajak Kenalan Lamamu 18. Sajak Mata-mata 19. Sajak Matahari 20. Sajak Orang Kepanasan 21. Sajak Peperangan Abimanyu 22. Sajak Pertemuan Mahasiswa 23. Sajak Potret Keluarga 24. Sajak Pulau Bali 25. Sajak Sebatang Lisong 26. Sajak Sebotol Bir 27. Sajak Seonggok Jagung 28. Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon 29. Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api 30. Sajak SLA 31. Sajak Tangan 32. Sajak Widuri untuk Joki Tobing 33. Tahanan

73

Kelelawar Silau oleh sinar lampu lalulintas aku menunduk memandang sepatu aku gentayangan bagai kelelawar tidak gembira tidak sedih terapung dalam waktu Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan sungguh tidak menyangka begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku sekarang aku kembali berjalan Hah, apakah aku akan menelepon temanku apakah aku akan makan udang gapit di retoran aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi masalah sosial dipoles gincu menjadi metafisika sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja hanya kamu yang enak diajak bicara kakiku melangkah melewati sampah-sampah Hhh, aku akan menulis sajak-sajak lagi rasa berdaya tidak bias mati begitu saja ke sini Ma masuklah ke dalam saku bajuku daya hidup menjadi kamu menjadi harapanku

74

Sajak Joki Tobing Untuk Widuri

Dengan latar belakang gubug-gubug karton, aku terkenang akan wajahmu. Di atas debu kemiskinan, aku berdiri menghadapmu. Usaplah wajahku, Widuri. Mimpi remajaku gugur di atas padang pengangguran. Ciliwung keruh, wajah-wajah nelayan keruh, lalu muncullah rambutmu yang berkibaran Kemiskinan dan kelaparan, membangkitkan keangkuhanku. Wajah indah dan rambutmu menjadi pelangi di cakrawalaku.

Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak Widuri Untuk Joki Tobing

Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir. Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba. Orang-orang miskin menentang kemelaratan. Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu, kerna wajahmu muncul dalam mimpiku. Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu karena terlibat aku di dalam napasmu. Dari bis kota ke bis kota kamu memburuku. Kita duduk bersandingan, menyaksikan hidup yang kumal. Dan perlahan tersirap darah kita, melihat sekuntum bunga telah mekar, dari puingan masa yang putus asa.

Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

75

Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api Bagaimana mungkin kita bernegara Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya Bagaimana mungkin kita berbangsa Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama ? Itulah sebabnya Kami tidak ikhlas menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu sehingga menjadi lautan api Kini batinku kembali mengenang udara panas yang bergetar dan menggelombang, bau asap, bau keringat suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki langit berwarna kesumba Kami berlaga memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia. Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata yang bisa dialami dengan nyata Mana mungkin itu bisa terjadi di dalam penindasan dan penjajahan Manusia mana Akan membiarkan keturunannya hidup tanpa jaminan kepastian ? Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah Hidup yang diperkembangkan dan hidup yang dipertahankan Itulah sebabnya kami melawan penindasan Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan bangsa tetap terjaga Kini aku sudah tua Aku terjaga dari tidurku di tengah malam di pegunungan Bau apakah yang tercium olehku ? Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu yang dibawa oleh mimpi kepadaku ? Ataukah ini bau limbah pencemaran ? Gemuruh apakah yang aku dengar ini ? Apakah ini deru perjuangan masa silam di tanah periangan ? Ataukah gaduh hidup yang rusuh 76

karena dikhianati dewa keadilan. Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku dibangunkan oleh mimpi ? Apakah aku tersentak Oleh satu isyarat kehidupan ? Di dalam kesunyian malam Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku ! Apakah yang terjadi ? Darah teman-temanku Telah tumpah di Sukakarsa Di Dayeuh Kolot Di Kiara Condong Di setiap jejak medan laga. Kini Kami tersentak, Terbangun bersama. Putera-puteriku, apakah yang terjadi? Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ? Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu, Apakah kita masih sama-sama setia Membela keadilan hidup bersama Manusia dari setiap angkatan bangsa Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi Dan menghadapi pertanyaan jaman : Apakah yang terjadi ? Apakah yang telah kamu lakukan ? Apakah yang sedang kamu lakukan ? Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna Dari jawaban yang kita berikan.

Hari Kebangkitan Nasional 1990

77

Sajak Burung-burung Kondor Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani - buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. Penderitaan mengalir dari parit-parit wajah rakyatku. Dari pagi sampai sore, rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menggapai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu. Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan disana mendapat hiburan dari sepi. Karena hanya sepi mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit. Di dalam marah menjerit, bergema di tempat-tempat yang sepi.

78

Burung-burung kondor menjerit di batu-batu gunung menjerit bergema di tempat-tempat yang sepi Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara, dan di kota orang-orang bersiap menembaknya. Yogya, 1973 Potret Pembangunan dalam Puisi

79

Surat Cinta Kutulis surat ini kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib, Dan angin mendesah mengeluh dan mendesah, Wahai, dik Narti, aku cinta kepadamu ! Kutulis surat ini kala langit menangis dan dua ekor belibis bercintaan dalam kolam bagai dua anak nakal jenaka dan manis mengibaskan ekor serta menggetarkan bulu-bulunya, Wahai, dik Narti, kupinang kau menjadi istriku ! Kaki-kaki hujan yang runcing menyentuhkan ujungnya di bumi, Kaki-kaki cinta yang tegas bagai logam berat gemerlapan menempuh ke muka dan tak kan kunjung diundurkan Selusin malaikat telah turun di kala hujan gerimis Di muka kaca jendela mereka berkaca dan mencuci rambutnya untuk ke pesta Wahai, dik Narti dengan pakaian pengantin yang anggun bunga-bunga serta keris keramat aku ingin membimbingmu ke altar untuk dikawinkan Aku melamarmu, Kau tahu dari dulu: tiada lebih buruk dan tiada lebih baik dari yang lain... penyair dari kehidupan sehari-hari, orang yang bermula dari kata kata yang bermula dari kehidupan, pikir dan rasa 80

Semangat kehidupan yang kuat bagai berjuta-juta jarum alit menusuki kulit langit: kantong rejeki dan restu wingit Lalu tumpahlah gerimis Angin dan cinta mendesah dalam gerimis. Semangat cintaku yang kuta batgai seribu tangan gaib menyebarkan seribu jaring menyergap hatimu yang selalu tersenyum padaku Engkau adalah putri duyung tawananku Putri duyung dengan suara merdu lembut bagai angin laut, mendesahlah bagiku ! Angin mendesah selalu mendesah dengan ratapnya yang merdu. Engkau adalah putri duyung tergolek lemas mengejap-ngejapkan matanya yang indah dalam jaringku Wahai, putri duyung, aku menjaringmu aku melamarmu Kutulis surat ini kala hujan gerimis kerna langit gadis manja dan manis menangis minta mainan. Dua anak lelaki nakal bersenda gurau dalam selokan dan langit iri melihatnya Wahai, Dik Narti kuingin dikau menjadi ibu anak-anakku !

81

Sajak Sebatang Lisong menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan delapan juta kanak - kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya .. menghisap udara yang disemprot deodorant aku melihat sarjana - sarjana menganggur berpeluh di jalan raya aku melihat wanita bunting antri uang pensiunan dan di langit para teknokrat berkata : bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun mesti di up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor gunung - gunung menjulang langit pesta warna di dalam senjakala dan aku melihat protes - protes yang terpendam terhimpit di bawah tilam aku bertanya tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair - penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidak adilan terjadi disampingnya 82

dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan termangu - mangu di kaki dewi kesenian bunga - bunga bangsa tahun depan berkunang - kunang pandang matanya di bawah iklan berlampu neon berjuta - juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau menjadi karang di bawah muka samodra kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing diktat - diktat hanya boleh memberi metode tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan kita mesti keluar ke jalan raya keluar ke desa-desa mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata inilah sajakku pamplet masa darurat apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan

RENDRA ( itb bandung - 19 agustus 1978 ) * ) Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan dibacakan di dalam salah satu adegan film Yang Muda Yang Bercinta yang disutradarai oleh Sumandjaya. * ) Diambil dari sumber-sumber terbuka di Internet

83

Sajak Orang Lapar kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam o Allah ! burung gagak menakutkan dan kelaparan adalah burung gagak selalu menakutkan kelaparan adalah pemberontakan adalah penggerak gaib dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur adalah mata air penipuan adalah pengkhianatan kehormatan seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu melihat bagaimana tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah karena kelaparan kelaparan adalah iblis kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran o Allah ! kelaparan adalah tangan-tangan hitam yang memasukkan segenggam tawas ke dalam perut para miskin o Allah ! kami berlutut mata kami adalah mata Mu ini juga mulut Mu ini juga hati Mu dan ini juga perut Mu perut Mu lapar, ya Allah perut Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca o Allah ! betapa indahnya sepiring nasi panas semangkuk sop dan segelas kopi hitam o Allah ! kelaparan adalah burung gagak jutaan burung gagak bagai awan yang hitam menghalang pandangku ke sorga Mu 84

Pramoedya Ananta Toer Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer Pramoedya Ananta Toer (Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 Jakarta 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Masa kecil Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

85

Pasca kemerdekaan Indonesia

Pramoedya semasa muda Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Penahanan dan masa setelahnya Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. 86

13 Oktober 1965 - Juli 1969 Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru November - 21 Desember 1979 di Magelang

Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru. Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semifiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Kontroversi Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. 87

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa tua Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di 88

mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampulsampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya 89

menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00. Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya. Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

90

Penghargaan

Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999 Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988 Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989 Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995 Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995 UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violance" dari UNESCO, Perancis, 1996 Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999 Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999 Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999 91

New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000 Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000 The Norwegian Authors Union, 2004 Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004 Lain-lain Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978 Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982 Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982 Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987 Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988 International PEN English Center Award, Inggris, 1992 International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999 Bibliografi Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan. Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947 KranjiBekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 Keluarga Gerilya (1950) Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951) Bukan Pasarmalam (1951) Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947 Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen 92

Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953 Gulat di Jakarta (1953) Midah Si Manis Bergigi Emas (1954) Korupsi (1954) Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit Cerita Dari Jakarta (1957) Cerita Calon Arang (1957) Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958) Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963) Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981 Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981 Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981) Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985 Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985 Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987 Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988 Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995

93

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995 Arus Balik (1995) Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997) Arok Dedes (1999) Mangir (2000) Larasati (2000) Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005) Buku tentang Pramoedya dan karyanya Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung) Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya) Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama) Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia) Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)

94

Sutardji Calzoum Bachri Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra. Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia. Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.

95

IDUL FITRI Lihat Pedang tobat ini menebas-nebas hati dari masa lampau yang lalai dan sia-sia Telah kulaksanakan puasa ramdhanku, telah kutegakkan shalat malam telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang Telah kuhamparkan sajadah Yang tak hanya nunu Ka'bah tapi ikhlas mencapai hati dan darah Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya Maka aku girang-girangkan hatiku Aku bilang: Tardji rindu yang kau wudhukan setiap malam Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang Namun si bandel Tardji ini sekali merindu Takkan pernah melupa Takkan kulupa janjiNya Bagi yang merindu insya-Allah kan ada mustajab Cinta Maka walau tak jumpa denganNya Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini Semakin mendekatkan aku padaNya Dan semakin dekat semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalai berlupa O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini ngebut di jalan lurus Jangan kau depakkan lagi aku ke trotoir tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia Kau biarkan aku menenggak marak cahayaMu di ujung usia O usia lalai yang berkepanjangan yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoir tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia Maka pagi ini Kukenakan zirah la ilaha illallah aku pakai sepatu siratal mustaqiem akupun lurus menuju lapangan tempat shlat ied Aku bawa masjid dalam diriku Kuhamparkan di lapangan Kutegakkan shalat dan kurayakan kelahiran kembali di sana 96

MANTERA lima percik mawar tujuh sayap merpati sesayat langit perih dicabik puncak gunung sebelas duri sepi dalam dupa rupa tiga menyan luka mengasapi duka puah! kau jadi Kau! Kasihku

BATU batu mawar batu langit batu duka batu rindu batu jarum batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji? Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh? Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai sedang lambai tak sampai. Kau tahu? batu risau batu pukau batu Kau-ku batu sepi batu ngilu batu bisu kaukah itu teka teki yang tak menepati janji?

97

O dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...

NGIAU Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang.Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tagu jentara aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi sepi mereka akan ragu menetapkan yang mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang mana surga.

SEPISAUPI sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupoi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973

LUKA ha ha

KALIAN pun 98

BAYANGKAN untuk Salim Said direguknya wiski direguk direguknya bayangkan kalau tak ada wiski di bumi sungai tak mengalir dalam aortaku katanya di luar wiski di halaman anak-anak bermain bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi aku kan lupa bagaimana menangis katanya direguk direguk direguknya wiski sambil mereguk tangis lalu diambilnya pistol dari laci bayangkan kalau aku tak mati mati katanya dan ditembaknya kepala sendiri bayangkan 1977

GAJAH DAN SEMUT tujuh gajah cemas meniti jembut serambut tujuh semut turun gunung terkekeh kekeh perjalanan kalbu 1976-1979

99

PARA PEMINUM di lereng lereng para peminum mendaki gunung mabuk kadang mereka terpeleset jatuh dan mendaki lagi memetik bulan di puncak mereka oleng tapi mereka bilang --kami takkan karam dalam lautan bulan-mereka nyanyi nyai jatuh dan mendaki lagi di puncak gunung mabuk mereke berhasil memetik bulan mereka mneyimpan bulan dan bulan menyimpan mereka di puncak semuanya diam dan tersimpan

WALAU walau penyair besar takkan sebatas allah dulu pernah kuminta tuhan dalam diri sekarang tak kalau mati mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat jiwa membumbung dalam baris sajak tujuh puncak membilang bilang nyeri hari mengucap ucap di butir pasir kutulis rindu rindu walau huruf habislah sudah alifbataku belum sebatas allah 1979

100

101

Anda mungkin juga menyukai