Anda di halaman 1dari 10

Teknologi dan Perubahan Sosial Suatu Antropologi Tekhnologi Mengenai Jala-Jala Listrik PLN

KELOMPOK 3:

AMANDA IMAM AHMAD NURDIN CHANDRA BOY RIO CAHYO SAPUTRO

4815087294 4815100189 4815101560 4815102536

BAB I

PENDIDIKAN SOSIOLOGI 2010 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

PENDAHULUAN

Bagi kebanyakan kita yang hidup di perkotaan, listrik merupakan kebutuhan mendasar untuk menunjang kehidupan sehari-hari, seperti untuk penerangan, memasak, memompa air, hingga mencari hiburan dari radio atau televisi. Lebih dari itu, hampir semua akses informasi dan komunikasi saat ini pun membutuhkan bantuan energi listrik. Akibatnya, muncul ketergantungan terhadap energi lisrik ini. Tidak seperti di kawasan perkotaan yang setiap harinya hampir di setiap rumah pasti punya listrik, banyak wilayah pedesaan di Indonesia yang tidak dapat menikmati listrik. Ini disebabkan oleh letak dan faktor geologis pedesaan yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik yang pembangkitnya berada jauh dari pedesaan. Kondisi itu memberi kita kesempatan untuk mengamati proses perubahan sosial di pedesaan berkaitan dengan kehadiran jaringan (jala-jala) listrik. Apakah juga terjadi efek ketergantungan seperti yang terjadi di perkotaan, atau justru memunculkan fenomena lain yang menarik untuk dikaji dari perspektif antropologi teknologi? Paparan berikut bercerita soal masuknya teknologi listrik ke pedesaan yang dicuplik dari pengalaman pribadi penulis pada tahun 1980-an di sebuah desa di pinggiran Banyumas, Jawa Tengah. Paparan yang bersifat etnografis itu kemudian ditinjau melalui perspektif studi science, technology, and society (STS), khususnya perspektif actor network theory (ANT). Dengan perspektif itu, perubahan sosial yang muncul dalam kasus ini tidak dijelaskan semata-mata sebagai akibat dari introduksi teknologi, melainkan dari terbentuknya jejaring (network) baru dalam masyarakat setempat, yang mencakup baik elemen teknologi (baru), maupun elemen sosial dan kultural. Jejaring yang terbentuk secara heterogen itulah yang dipostulasikan dalam artikel ini sebagai penopang tampilnya teknologi (jala-jala listrik) sebagai aktor dalam pembentukan tatanan sosial baru di desa setempat.

BAB II PEMBAHASAN

2.1

Dari Lampu Teplok ke Generator

Lampu teplok atau petromak yang menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya merupakan alat penerangan utama masyarakat desa itu. Petromak biasanya hanya dimiliki oleh orang berpunya yang biasanya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau keturunan pendiri desa yang menguasai banyak lahan persawahan dan pekarangan. Sedangkan lampu teplok lazimnya menyala di rumah-rumah penduduk yang hidup sebagai petani penggarap yang menjadi mayoritas di desa itu. Struktur ekonomi menciptakan pelapisan sosial yang menempatkan PNS dan pemilik lahan sebagai kaum elit desa dan para petani penggarap sebagai orang biasa dengan pola hubungan yang cenderung paternalistik. Pelapisan sosial ini tampak jelas bila dilihat dari pola spasial pemukiman penduduknya. Rumah-rumah PNS dan pemilik lahan selalu berada di pinggir jalan utama desa, sedangkan rumah-rumah para petani penggarap selalu berada di bagian pedalaman yang seringkali berjarak cukup jauh dari jalan utama desa. Pada awal 1980-an, beberapa elit desa pemilik lahan yang sekaligus PNS mampu membeli mesin diesel ukuran kecil yang bisa menghasilkan energi listrik. Itulah kali pertama bagi beberapa penduduk yang berkemampuan ekonomi, dapat menikmati listrik untuk penerangan dari jam 5 sore sampai jam 12 malam. Generator ini juga memungkinkan pemilik lahan yang hidup makmur untuk menikmati hiburan melalui kehadiran televisi di rumah mereka. Kedua bentuk teknologi ini membuat kedudukan sosial mereka makin kuat karena televisi menjadi daya tarik yang sangat kuat bagi banyak penduduk desa. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah pemilik televisi setiap malam untuk menonton, dan pemilik televisi pun memfasilitasi mereka dengan ruang tamu yang luas dan dapat menampung puluhan orang.

2.2

Jala-Jala Listrik

Pada tahun 1984, Perusahaan Listrik Negara (PLN) memasang jaringan listrik dan langsung mengalirinya. Ini dimungkinkan berkat dioperasikannya sebuah PLTA di kabupaten tetangga (Kebumen). Seperti yang kita ketahui, sistem distribusi yang digunakan oleh PLN ialah sistem sentralisasi. Sistem ini menekankan pada penggunaan pembangkit listrik terpusat dan berskala besar. Pendistribusian energi listrik menggunakan jaringan listrik yang cukup panjang, mulai dari pembangkit listrik, gardu-gardu listrik sampai ke perumahan atau perkantoran atau industri. Apa yang kemudian tampak sehari-hari di pinggir jalan utama desa adalah tiang-tiang listrik yang terbuat dari beton cor yang menyalurkan energi listrik tegangan rendah dengan kapasitas 320/220 kV. Hampir semua elit desa mendaftar sebagai pelanggan PLN. Situasi ini membuat para PNS yang sebelumnya harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk membayar biaya listrik dari pemilik generator, kini mereka dapat menikmati listrik dengan harga yang jauh lebih murah dan tidak terbatas waktunya. Namun demikian, bagi hampir seluruh petani penggarap, berlangganan listrik ke PLN tetap merupakan sesuatu yang sangat mahal. Harga listrik jauh lebih murah memungkinkan para PNS untuk juga membeli televisi berwarna ukuran 14 inch yang dianggap sebagai barang mewah. Alhasil, bukan hanya rumah petani pemilik lahan yang kini dihiasi simbolsimbol status sosial tinggi berupa pesawat televisi serta perangkat jala-jala listrik (meteran listrik, boks sekering, dan stop kontak), tetapi juga rumah-rumah PNS. Pada titik ini, kabel listrik yang menjulur dari tiang listrik di pinggir jalan ke dastang di atap rumah untuk kemudian terinstalasi ke meteran listrik lalu ke ruang-ruang dalam rumah dan berujung pada stop kontak atau rumah bohlam, semua itu telah menjadi simbol status baru selain pesawat televisi yang turut memperkuat kedudukan sosial kaum elit desa di hadapan warga biasa. Apa yang kemudian tampak ialah terjadinya redistribusi kekuasaan elit desa yang sebelumnya berpusat pada kaum petani pemilik lahan (biasanya juga merangkap sebagai PNS), kini terdesentralisasi ke kalangan PNS non-pemilik lahan luas. Kerumunan penonton televisi dari keluarga petani penggarap kini bukan lagi pemandangan yang dimonopoli oleh rumah-rumah petani kaya, tapi juga terlihat di ruang-ruang tamu keluarga PNS. Mereka yang menjadi tetangga dekat sebuah keluarga PNS pemilik televisi, tentu memilih menonton ke situ karena faktor jarak yang lebih dekat.

Situasi itu menandai lahirnya fase baru dalam hubungan antar-elit desa. Secara diam-diam telah terjadi semacam kompetisi untuk meraih status sosial tinggi dengan menggunakan medium televisi yang dimungkinkan kehadirannya berkat transmisi energi listrik melalui jala-jala listrik PLN. Sementara itu, relasi sosial di antara kaum elit desa dan para petani penggarap relatif ajeg. Kecenderungan paternalistik malah semakin kuat seiring munculnya praktik-praktik penyambungan jaringan listrik ke tetangga. Para petani penggarap yang juga sangat menginginkan dapat menikmati listrik, namun tidak mampu (dan tidak bisa karena letak rumah mereka terlalu jauh dari tiang listrik terdekat) untuk berlangganan langsung ke PLN, kemudian meminta kebaikan hati pemilik sambungan terdekat untuk mengalirkan sebagian listriknya ke rumah mereka sebatas untuk penerangan, tentu dengan membayar. Dengan kata lain, menjalarnya jala-jala lisrik dari pelanggan ke tetangga di belakang rumah telah menciptakan sejenis ketergantungan energi penerangan dari rumah tangga petani penggarap kepada rumah tangga kaum elit desa. Teknologi jala-jala listrik justru memperkuat adanya pembelahan dan pelapisan sosial secara spasial, dari yang semula hanya ditandai oleh jaringan jalan utama desa, kini malah diperkuat dengan adanya jala-jala listrik di sepanjang jalan itu. Ini berarti melanggengkan watak paternalistik kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, keberadaan jala-jala listrik yang menembus kehidupan pedesaan juga menandai babak baru hubungan antara masyarakat (pelanggan) dan institusi negara (PLN). Bentuk hubungan ini sebenarnya mencerminkan pola yang juga berwatak paternalistik dalam skala masyarakat dan negara di mana negara bersifat dominan dalam mengatur pola hubungan dengan masyarakat. Hubungan bisnis antara keduanya diatur dalam kontrak yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing. Namun, dalam praktiknya posisi pelanggan selalu lebih lemah sebagaimana nyata dalam setiap kasus listrik mati. Jika listrik mati, pelanggan hampir tidak mempunyai posisi tawar apa pun untuk menggugat mutu pelayanan PLN, apalagi meminta kompensasi atas kerugian akibat listrik mati. Tapi di sisi lain, setiap kali pelanggan terlambat atau menunggak membayar rekening listrik, PLN secara otomatis akan mengenakan denda atas keterlambatan atau tunggakan tersebut. Sementara itu, sejumlah kalangan muda terdidik mampu melihat peluang ekonomi dari keberadaan jaringan listrik ini. Menyadari bahwa kebanyakan warga desa tidak terbiasa berhubungan dengan intitusi pemerintah, melalui institusi Karang Taruna mereka menawarkan diri untuk mengelola proses pembayaran rekening listrik secara kolektif. Mereka memfasilitasi hubungan antara konsumen dengan supllier (pelanggan dengan PLN) dalam berbagai aspeknya, bahkan dapat sekaligus menjadi petugas

outsourcing untuk PLN yang membaca meteran listrik atau memasang instalasi sambungan baru.

2.3

Perubahan Tatanan Sosial

Keberadaan jala-jala listrik telah memengaruhi tatanan sosial desa. Ketika listrik belum ada, interaksi sosial pada malam hari sehabis waktu sholat isya tiba relatif jarang. Kalaupun seseorang bertamu kepada tetangganya pada malam hari, biasanya ada keperluan khusus dengan tuan rumah, dan waktunya pun tidak lama. Setelah jaringan listrik masuk, muncul rutinitas untuk menonton televisi secara beramai-ramai sebagai sarana hiburan. Dalam konteks ini, keberadaan jala-jala listrik yang memungkinkan kehadiran televisi telah meningkatkan frekuensi interaksi sosial pada malam hari (kebalikan dari situasi di perkotaan). Selain itu, keberadaan jala-jala listrik juga telah membuat rumah-rumah yang terletak di pinggiran jalan utama desa menjadi lebih benderang, terutama berkat dipasangnya lampu listrik di pintu pagar depan setiap rumah serta lampu jalan yang aliran listriknya diambil langsung dari tiang listrik. Situasi ini telah menciptakan kebiasaan baru di kalangan anak muda laki-laki untuk bergerombol di pinggir jalan depan rumah, mengobrol sampai tengah malam. Situasi itu tentu saja sangat berbeda dengan sebelumnya, ketika malam hari sehabis isya tiba hingga waktu subuh, perjalanan waktu terasa lambat dan malam terasa amat panjang. Tak ada denyut kehidupan setelah pukul sembilan malam. Kini malam hari terasa lebih pendek, denyut nadi kehidupan dapat terasa hingga tengah malam. Rutinitas dan kebiasaan baru itu makin lama makin mapan (stabil) yang terbentuk melalui perantaraan program-program acara televisi. Misalnya setiap malam minggu (yang paling ramai) mereka menonton siaran kethoprak, yang sangat digemari masyarakat desa. Atau karena film tertentu yang sangat populer. Tidak jarang, mereka bahkan mempererat jalinan sosial mereka dengan membentuk kelompok arisan, terutama di kalangan perempuan. Di kalangan anak muda laki-laki, banyak diantaranya yang menjadikan rutinitas itu sebagai ajang untuk mendekati lawan jenis. Tampaknya, jarang sekali mereka menjadikan televisi sebagai sumber informasi untuk meluaskan wawasan dan pengetahuan. Gambaran perihal perubahan tatanan sosial yang terbentuk oleh hadirnya teknologi jaringan listrik PLN tersebut menegaskan adanya keterpautan yang erat

antara teknologi dan masyarakat. Kutipan dari Yuliar (2008) menunjukkan bahwa teknologi bukanlah artefak yang pasif belaka karena teknologi (elemen non-manusia) memiliki peran aktif dalam konteks relasinya dengan manusia dan secara bersamasama keduanya (manusia dan teknologi) membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat. Dalam perspektif studi STS, khususnya perspektif ANT, diteorikan bahwa masyarakat adalah suatu entitas yang terbentuk dari asosiasi-asosiasi heterogen yang terdiri dari elemen-elemen manusia dan teknologi yang masing-masing berkarakter tidak stabil, yang saling memengaruhi dan mendefinisikan ulang secara terus-menerus. Namun, di balik regularitas sosial itu tidak hanya terdapat entitas teknologis berupa jala-jala listrik. Sebenarnya terdapat pula entitas lain yang juga turut menopang regularitas sosial tersebut, yakni sistem norma yang mendasarinya. Perilaku-perilaku riil itu mengejawantahkan norma hidup kolektif yang mengatasi nilai-nilai individual. Di sini, norma sosial menjadi sandaran kultural sekaligus berperan sebagai alat legitimasi normatif bagi perilaku itu. Dengan demikian, sistem norma itu tidak menolak keberadaan jaringan listrik (bandingkan misalnya dengan komunitas Kampung Naga di Tasikmalaya yang nilai-nilai tradisinya menolak kehadiran listrik dengan alasan dapat mengganggu keseimbangan budaya setempat). Jadi, meskipun norma ini tidak memengaruhi fungsi aktual dari jala-jala listrik, tetapi ia memungkinkan terjaga dan terpeliharanya keamanan instalasi listrik ke rumah-rumah pelanggan. Norma bekerja dengan cara membiarkan (bahkan mendukung") terjadinya intervensi teknologi jalajala listrik ke tengah kehidupan warga pedesaan. Pandangan bahwa kebudayaan (yakni norma-norma yang mendasari perilaku sosial) juga berperan penting dalam terciptanya regularitas sosial (sebagaimana peran penting teknologi) sudah lama dikemukakan oleh para pemikir kebudayaan. Namun demikian, lanskap kehidupan masyarakat desa seperti terpapar di atas tidak mewakili keseluruhan realitas sosial setempat. Di wilayah pedalaman desa terdapat kelompokkelompok sosial yang tetap hidup dengan cara-cara yang mereka warisi dari generasi terdahulu. Bagi mereka, waktu seakan berjalan di tempat. Nyaris tidak ada perubahan apa pun dalam tata cara hidup mereka selama puluhan tahun. Kehidupan mereka tetap sama: tidak mengenal listrik dan televisi. Bagi sebagian besar masyarakat desa yang kini telah mengenal jaringan listrik berikut implikasi-implikasinya bagi kehidupan, perikehidupan mereka tampak sebagai sebuah penyimpangan atau variasi di tengah gemuruh arus perubahan sosial desa. Mereka menjadi demikian karena ruang hidup mereka yang berada di kawasan pinggiran dari kehidupan yang berkonsentrasi di sepanjang tepi jalan utama desa sehingga tidak terjangkau oleh intervensi teknologi (jaringan listrik). Dengan kata lain,

akses mereka terhadap informasi, interaksi sosial, dan teknologi terhambat oleh posisi mereka yang marjinal dalam pola spasial pemukiman desa. Posisi yang marjinal itu terjadi karena adanya konsruksi sosial yang menempatkan permukiman kalangan elit desa selalu di tepi jalan utama. Jadi, unsur sosial yang lebih memengaruhi posisi mereka yang menyimpang dari regularitas sosial itu, karena unsur teknis (jala-jala listrik) justru didistribusikan dengan mengikuti pola sosial yang sudah terbentuk sebelumnya sehingga mengukuhkan pelapisan sosial.

BAB III KESIMPULAN

Paparan di atas menggambarkan secara gamblang perihal kemampuan teknologi dalam memengaruhi pola interaksi sosial. Sebenarnya, kasus ini memperlihatkan godaan yang amat kuat untuk memunculkan kesimpulan bahwa apa yang terjadi adalah sebuah contoh tentang berlakunya determinisme teknologi1. Tetapi, itu bisa jadi adalah kesimpulan yang terburu-buru karena jika disimak lebih dlaam ternyata di balik teknologi jala-jala listrik yang tampil sebagai satu-kesatuan unit (entitas), terdapat jejaring berupa relasi-relasi heterogen yang berpola dari elemen sosial dan elemen kultural (norma hidup kolektif). Teknologi jala-jala listrik itu sendiri harus dilihat sebagai entitas sosial yang juga melibatkan elemen-elemen manusia sebagai operator, pengguna, dan pemelihara. Ketiga elemen (teknologi, sosial, dan kultural) itu kemudian dipadankan dan dinegosiasikan satu sama lain sehingga membentuk efek sosioteknis berupa penguatan pola sosial berwatak paternalistik dan komunal dengan menggunakan unsur-unsur teknologis secara simbolik (selain secara fungsional). Dari proses inilah lahir konsruksi sosial masyarakat setempat yang memungkinkan teknologi jala-jala listrik berfungsi. Dalam kerangka ini, berfungsinya suatu teknologi di masyarakat dijelaskan sebagai produk atau efek dari jejaring relasi-relasi heterogen yang mencakup agen-agen dan lembaga-lembaga sosial, mesin-mesin, objek-objek teknologi dan organisasiorganisasi. Dengan demikian, dalam kasus jala-jala listrik ini, dapat diambil kesimpulan bahwa bukan determinisme teknologi yang berlaku, bukan pula determinisme sosial2, melainkan terbentuknya jejaring secara lokal dari elemen-elemen teknologis, sosial, dan kultural. Jejaring yang terbentuk dari elemen heterogen inilah yang menopang tampilnya teknologi yang terlihat sebagai aktor dalam pembentukan tatanan sosial desa, sebagaimana yang gampang terlihat dalam pengamatan sehari-hari. Dalam pengertian ini, sebuah aktor juga selalu merupakan sebentuk jejaring. Sebaliknya, sebagai penopang, jejaring itu sendiri menjadi tidak mudah untuk terlihat atau dikenali.

Paradigma yang secara spekulatif berpandangan bahwa sains dan teknologi merupakan aktor utama bagi terjadinya perubahan dalam masyarakat. 2 Paradigma yang dapat pula disebut dengan konstruktivisme sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Terjemahan Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Callon, Michel.1990 (1987). Society in the Making The Study Of Technology as a Tool for Sociological Analysis, dalam Bijker, wiebe E, Thomas P. Hugles, dan Trevor Pinch (penyunting) The Social Construktion of Technological Systems: New Direction of the Sociology and History of Technology. Massachusetts: MIT Press.

Anda mungkin juga menyukai