Anda di halaman 1dari 19

Tugas Farmakoterapi Terapan

ARIITMIA

Oleh: Resti Retnaningtyas Dian Mardiyati Cholidah Ni Luh Gede Santi Dewi Kadek Ayu Pradnyani Made Yuninghyun Suarintan Ni Kadek Dewi Kristianti I Gusti Ayu Rai Laksmi Prayadni Nur Atikah Ni Made Windy Sofiandary Ida Ayu Catur Anik Lestari W. Ni Kadek Ariyani Wayan Trisna Erawati Dita Harta Purwanti Dili Panji Aksarina Dewi Ristiani Ni Putu Ary Tisnadiami Ni Made Maharianingsih (1108515002) (1108515003) (1108515005) (1108515008) (1108515009) (1108515010) (1108515011) (1108515012) (1108515013) (1108515014) (1108515015) (1108515036) (1108515038) (1108515039) (1108515040) (1108515041) (1108515049)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2011

BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini penyakit jantung di kota-kota besar sudah mulai mengalami peningkatan dan bahkan masuk dalam peringkat teratas penyakit yang menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan perubahan pola hidup khususnya yang paling banyak terjadi di kota besar. Nyeri dada merupakan keluhan medis yang sering dijumpai. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sirkulasi darah jantung yang berakibat terjadinya kerusakan sebagian jantung atau dikenal sebagai serangan jantung. Jantung memperoleh darah dari sistem sirkulasi yang dikenal sebagai peredaran darah koroner. Pembuluh darah ini sering mengalami gangguan akibat proses perlemakan yang dalam dunia medis dikenal sebagai arteriosklerosis, yaitu penampang pembuluh darah menyempit. Keadaan ini menyebabkan pasokan darah menuju jantung berkurang. Bila keadaan ini menjadi parah maka akan terjadi nyeri pada otot jantung yang tidak mendapat oksigen dalam jumlah yang cukup, akhirnya otot jantung akan mati. Beberapa keadaan lain yang dapat menyebabkan nyeri dada adalah gangguan pencernaan, stress dan ketegangan. Penolong harus menganggap semua nyeri dada adalah kasus serangan jantung. Penyakit jantung banyak ditemukan di perkotaan terutama karena terjadinya perubahan gaya hidup. Ada beberapa faktor risiko penyakit jantung antara lain: faktor yang tidak dapat diubah (riwayat penyakit dalam keluarga, jenis kelamin, ada kecenderungan pria lebih tinggi dari wanita, latar belakang etnis, usia, insiden meningkat pada usia lebih dari 30 tahun); faktor yang dapat diubah (merokok, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, aktivitas fisik); dan faktor penyulit (obesitas, diabetes, stres berlebihan) (Anonim, 2009).

BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Fisiologi Jantung


Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada. Bagian kanan dan kiri jantung masing-masing memiliki ruang sebelah atas (atrium yang mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang mengeluarkan darah. Agar darah hanya mengalir dalam satu arah, maka ventrikel memiliki satu katup pada jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar. Fungsi utama jantung adalah menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbondioksida). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya ke dalam paru-paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh (Sanjoyo, 2005).

Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah (disebut diastol), selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang jantung (disebut sistol). Kedua atrium mengendur dan berkontraksi secara bersamaan, dan kedua ventrikel juga mengendur dan berkontraksi secara bersamaan (Sanjoyo, 2005). Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak karbondioksida dari seluruh tubuh mengalir melalui 2 vena berbesar (vena kava) menuju ke dalam atrium kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan mendorong darah ke dalam ventrikel kanan (Sanjoyo, 2005). Darah dari ventrikel kanan akan dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis, menuju ke paru-paru. Darah akan mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil (kapiler) yang mengelilingi kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan melepaskan karbondioksida yang selanjutnya dihembuskan (Sanjoyo, 2005). Darah yang kaya akan oksigen mengalir di dalam vena pulmonalis menuju ke atrium kiri. Peredaran darah diantara bagian kanan jantung, paru-paru dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner (Sanjoyo, 2005). Darah dalam atrium kiri akan didorong ke dalam ventrikel kiri, yang selanjutnya akan memompa darah yang kaya akan oksigen ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri terbesar dalam tubuh). Darah kaya oksigen ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paruparu (Sanjoyo, 2005).

Gambar 1. Ruang dan Katup Jantung

Gambar 2. Jantung (potongan melintang/bagian dalam) Keseluruhan sistem peredaran (sistem kardiovaskuler) terdiri dari arteri, arteriola, kapiler, venula dan vena (Sanjoyo, 2005). Arteri (kuat dan lentur) membawa darah dari jantung dan menanggung tekanan darah yang paling tinggi. Kelenturannya membantu mempertahankan tekanan darah diantara denyut jantung. Arteri yang lebih kecil dan arteriola memiliki dinding berotot yang menyesuaikan diameternya untuk meningkatkan atau menurunkan aliran darah ke daerah tertentu (Sanjoyo, 2005). Kapiler merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis, yang berfungsi sebagai jembatan diantara arteri (membawa darah dari jantung) dan vena (membawa darah

kembali ke jantung). Kapiler memungkinkan oksigen dan zat makanan berpindah dari darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari jaringan ke dalam darah. Dari kapiler, darah mengalir ke dalam venula lalu ke dalam vena, yang akan membawa darah kembali ke jantung. Vena memiliki dinding yang tipis, tetapi biasanya diameternya lebih besar daripada arteri, sehingga vena mengangkut darah dalam volume yang sama tetapi dengan
kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu dibawah tekanan (Sanjoyo, 2005).

2.2

Definisi Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama ketidakteraturan pada detak

jantung (Sukandar, 2008). 2.3 Epidemilogi Data epidemiologi yang diperoleh dari New England Medical Journal (2001) menyebutkan bahwa kelainan struktur arteri koroner merupakan penyebab 80 % gangguan irama jantung yang dapat berakhir dengan kematian mendadak. Pada Departemen Neurologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta diperoleh insiden atrial fibrilasi pada pasien stroke sekitar 2,2 %. Sedangkan data di ruang perawatan koroner intensif RSCM (2006), menunjukkan, terdapat 6,7 % pasien mengalami atrial fibrilasi. 2.4 Patofisiologi 1. Aritmia Supraventrikular Takikardia supraventrikular yang umum yang memerlukan terapi obat adalah fibrilasi atrium atau flutter atrium, takikardia supraventrikular proksimal, dan takikardia atrium otomatis. a. Fibrilasi Atrium atau Flutter Atrium Fibrilasi atrium dikarakterisasi dengan kecepatan yang ekstrim (400 sampai 600 denyut/menit) dan terjadi ketidakteraturan aktivasi atrium. Selain itu, pada fibrilasi atrium juga terjadi kehilangan kontraksi atrium, dan impuls supraventrikular masuk ke sistem konduksi atrioventrikular (AV) pada berbagai tingkatan, yang menyebabakan aktivasi ventricular tak teratur dan ketidakteraturan denyut (120 sampai 180 denyut/menit). Flutter atrium dikarakterisasi oleh aktivasi atrium yang cepat (270 sampai 330 denyut/menit) namun teratur. Respon ventricular umumnya memiliki pola yang biasa dan denyutnya 300 denyut/menit. Aritmia tersebut tidak sesering fibrilasi atrium, tetapi memiliki factor penyebab, konsentrasi, dan terapi obat yang sama.

Mekanisme utama fibrilasi atrium atau flutter atrium adalah reentry, umumnya berhubungan dengan penyakit jantung organik yang menyebabkan distensi atrium (misalnya : iskemia atau infak, penyakit jantung hipertensi, gangguan katup jantung). Gangguan lain yang berhubungan adalah embolus pulmonary akut dan penyakit paru-paru kronik hasilnya merupakan hipertensi pulmonary dan cor pulmonale serta tingginya tonus adrenergic, seperti tirotoksikasi, reaksi putus obat oleh alcohol, sepsis, aktivitas fisik berlebihan. b. Takikardia Supraventrikular Paroksismal yang disebabkan Reentry Takikardia supraventrikular paroksismal (PSVT) muncul karena mekanisme reentrant termasuk aritmia yang disebabkan oleh reentry nodus AV, reentry AV yang melibatkan jalur AV anomaly, reentry nodus sinoatrium (SA) dan reentry intra atrium. c. Takikardia Atrium Otomatik Takikardia atrium otomatik seperti takikardia atrium multifokal tampaknya berasal dari focus supraventrikular yang memiliki sifat otomatik meningkat. Beberapa penyakit pulmonal menjadi penyebab gangguan pada 60 sampai 80% penderita. 2. Aritnia Ventrikular a. Komplek ventricular premature (premature Ventricular Complexes, PVC) PVC merupakan gangguan ritme ventricular yang umum terjadi pada penderita dengan atau tanpa penyakit jantung dan diperoleh secara eksperimental otomatis abnormal, aktivitas pemacu, atau mekanisme reentrant. b. Takikardia Ventrikular (VT) VT diklasifikasikan oleh tiga atau lebih PVC secara bersamaan yang terjadi pada kecepatan lebih dari 100 denyut/meit. Hal ini umum terjadi pada infak miokardial (MI) akut. Kasus lainya adalah beberapa kelainan elektrolit (misal : hipokalemia), hipoksemia, dan toksisitas digitalis. Penyakit kronik yang berulang kali terjadi/sering biasanya berhubungan dengan adanya penyakit jantung organik yang menyebabkannya (kardiomiopati akibat dilatasi idiopati atau MI jauh dengan aneurisma vntikel kiri). VT yang beranjut memerlukan terapi untuk mengembalikan kestabilan ritme yang berlangsung relative lama (biasanya lebih dari 30 detik). VT yang tidak terus-menerus berakhir sendiri setelah durasi pendek (biasanya kurang dari 30 detik). VT yang terusmenerus mengacu pada VT yang terjadi lebih sering dari ritme sinus, oleh karena itu VT menjadi ritme dominan. Olahraga dapat menginduksi VT yang terjadi selama tonus simpatetik tinggi (misal: energi fisik yang tinggi). VT monoformik memiliki konfigurasi QRS yang konsisten sedangkan VT poliformik memiliki kompleks QRS yang beragam.

Torsades de point (TdP) adalah VT poliformik yang kompleks QRSnya terjadi sepanjang sumbu pusat. c. Proaritmia Ventrikular Proaritmia merupakan perkembangan aritmia baru yang signifikan (misal: VT, fibrilasi ventricular, atau TdP) atau arimia yang lebih parah dari yang sebelumnya. Proaritmia ini memiliki mekanisme yang sama dengan aritmia lain atau dari perubahan substrat yang mendasarinya karena obat antiaritmia. d. Takikardia Monomorfik Ventrikular Tanpa Jeda Walaupun proaritmia yang terkait dengan obat tipe Ic pada awalnya diperkirakan terjadi dalam beberapa hari saat dimulainya pemakaian obat, resiko akan selalu ada selama terapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penderita pada tipe proaritmia ini adalah arinia ventrikular, penyakit jantung iskemia, kelemahan fungsi ventricular kiri. e. Torsades de Pointes (TdP) TdP merupakan bentuk cepat dari VT polimorfik yang berhubungan dengan tertundanya repolarisasi ventricular karena blockade konduktansi kalium. TdP dapat berupa turunan atau dapatan. Bentuk dapatan berhubungan dengan banyak kondisi klinik dan obat, terutama tipe bloker Ia dan III IKr. TdP karena kinidin atau sinkop kinidin terjadi pada 4-8% [penderita uang diterapi obat ini. f. Fibrilasi Ventrikular (VF) VF merupakan kekacauan elektrik pada ventrikel, yang menyebabkan tidak adanya curah jantung dan kolaps kardiovaskular secara tiba-tiba. Kematian jantung mendadak umumnya terjadi pada penderita dengan iskemia jantung dan miokardial primer yang berhubungan denga disfungsi ventrikel kiri. VF yang berhubungan dengan MI akut dapat diklasifikasikan primer (MI yang tidak disertai dan tidak berhubungan dengan gagal jantung) dan sekunder (MI disertai gagal jantung). 3. Bradiaritmia Bradiarimia sinus asimptomatik (denyut jantung kurang dari 60 denyut/menit) umum terjadi pada anak muda dan individu aktif secara fisik. Beberapa penderita dengan disfungsi nodus (sindrom sinus) disebabkan oleh penyakit jantung organik dan proses penuaan nomal, gangguan fungsi nodus SA. Nodus sinus biasanya representasi dari penyakit konduksi yang menyebar, yang dapat disertai blok AV dan takikardia paroksismal, seperti fibrilasi atrium. Pergantian bradiaritmia dan takiaritmia disebut sebagai sindrom takibradi. Blok AV atau kondusi AV yang tertunda dapat terjadi di beberapa area sistem konduksi AV. Blok AV dapat ditemukan pada pasien tanpa penyakit jantung yang mendasarinya atau selama tidur

saat tonus vagal tinggi. Kelainan dapat terjadi sesaat bila penyebabnya bersifat reversibel (misal: miokarditis, iskemia miokardial, setelah operasi jantung, selama terapi obat). B bloker, digitalis, atau antagonis kalsium dapat menyebabkan blok AV terutama pada area nodus AV. Antiaritmia tipe I dapat memperburuk penundaan konduksi di bawah level nodus AV. Blok AV dapat ireversibel jika penyebabnya adalah MI akut, penyakit degeneratif yang jarang, penyakit miokardial primer, atau kondisi kongenital. (Sukandar dkk, 2008) 2.5 Manisfestasi Klinik Tachykardia supraventrikular dapat menyebabkan manisfestasi klinik yang beragam mulai dari tidak adanya gejala hingga palpitasi minor dan atau denyut yang tidak umum dan gejala yang mengancam jiwa. Penderita dapat mengalami pusing atau pingsan akut, gejala gagal jantung, nyeri dada angina, atau lebih seringnya adalah sesak nafas atau sensasi tekanan atau tercekik selama periode tachycardia. Fibrilasi dan flutter atrium termanifestasi oleh keseluruhan gejala yang berhubungan dengan tachycardia supraventikular, tapi sinkop merupakan gejala yang tidak umum terjadi. Komplikasi tambahan dari fibrilasi atrium adalah embolisasi atreri sebagai hasil dari stasis atrium dan trombus dinding yang tidak melekat kuat, yang berakibat pada komplikasi yang membahayakan yaitu stroke emboli. Penderita fibrilasi atrium dengan stenosis nitral atau gagal jantung sistolik parah secara khusus beresiko tinggi terkena embolisme serebral. Premature Ventikular Complekses (PVC) pada umumnya tidak menimbulkan gejala atau hanya palpitasi ringan. Manifestasi tachycardia ventrikular sangat bervariasi mulai dari tidak bergejala sama sekali hingga kolaps hemodinamik. Konsekuensi proaritmia mulai dari tidak bergejala hingga kematian mendadak. Fibrilasi ventricular dapat terjadi karena kolaps hemodinamik, dan henti jantung. Penderita dengan bradyaritmia mengalami gejala yang diikuti juga dengan hipotensi seperti pusing, pingsan, kelelahan, dan kebingungan. Jika terjadi disfungsi ventrikel kiri maka gejala gagal jantung kongestif dapat memburuk. (Sukandar dkk, 2008)

2.6

Diagnosis Permukaan elektrokardiogram (EKG) adalah landasan diagnosis untuk gangguan irama

jantung. Untuk deteksi awal perubahan kualitatif dan kuantitatif detak jantung, sering

digunakan metode auskultasi langsung dimana metode ini dapat menentukan denyut teratur dan tidak teratur yang merupakan karaksteristik fibrilasi atrium (Weels et al., 2006). Untuk mendiagnosa Proarrhythmia sulit dilakukan karena s ifat variabel dari aritmia yang mendasarinya. TDP ditandai dengan interval QT panjang atau gelombang U menonjol pada permukaan EKG (Weels et al., 2006). Manuver tertentu mungkin diperlukan untuk menjelaskan etiologi berhubungan dengan sinkop bradiaritmia. Diagnosis hipersensitivitas sinus karotis dapat dikonfirmasi dengan melakukan pemijatan sinus karotis dengan EKG dan pemantauan tekanan darah. Sinkop vasovagal dapat didiagnosis dengan menggunakan uji kemiringan tubuh tegak (upright body-tilt test) (Weels et al., 2006). Atas dasar temuan EKG, blok AV biasanya dikategorikan menjadi tiga jenis yang berbeda (pertama, kedua, atau derajat ketiga blok AV) (Weels et al., 2006). 2.7 2.7.1 Terapi Tujuan Terapi Hasil yang diharapkan tergantung dari jenis aritmianya. Sebagai contoh, tujuan akhir penanganan fibrilasi atrium adalah mengembalikan ritme sinus, mencegah komplikasi tromboemboli, dan menjegah kejadian berulang (Sukandar., 2008). 2.7.2 Terapi Non Farmakologi a. Penderita dianjurkan untuk merubah gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita yang menderita obesitas. b. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif 2.7.3 terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal, meskipun efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Terapi Farmakologi Penggolongan antiaritmia dilakukan menurut klasifikasi Vaughn Williams atas dasar sifatsifat elekrtofisiologisnya yang diukur di sel-sel myocard tertentu dalam 4 kelas sebagai berikut. 1. Zat-zat stabilisasi membrane juga disebut efek kinidin dan efek anastesi lokal. Zat-zat ini sangat mengurangi kepekaan membrane sel jantung untuk rangsangan akibat penghambatan pemasukan ion Na ke membrane dan perlambatan depolarisasinya. Efeknya ialah frekuensi jantung berkurang dan ritmenya menjadi normal kembali. Zatzat stabilisasi membrane dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu : Kelompok kinidin : kinidin, disopiramida, -bloker, dan prokainamida. Zat-zat ini antara lain memperpanjang masa refrakter dan aksipotensial sel-sel myocard.

Kelompok lidokain : lidokain, mexiletin, fenitoin, aprindin (Fiboran), dan tocainide (Tonocard). Zat-zat ini antara lain mempersingkat masa refrakter dan aksi potensial sel-sel myocard, hanya efektif pada aritmia bilik. Obat epilepsi fenitoin khusus digunakan pada aritmia akibat keracunan digoksin. Kelompok Propafenon : propafenon dan flecainida (Tambocor) memperpanjang sedikit masa refrakter dan oksipotensial. 2. Beta-blockers terdiri dari etenolol, bisoprolol, nadolol, dan karteolol. Mengurangi hiperaktifitas adrenergik di myocard dengan penurunan frekuensi dan daya kontraksinya. Beberapa -bloker (antara lain propanolol. esebutolol, alprenolol, dan oxprenolol) memiliki pula efek kelas IA, sedangkan setolol termasuk kelas III. Propanolol, metoprolol, dan timolol digunakan sebagai profilaktis setelah infark untuk mencegah infark kedua. 3. K-chanels blokers terdiri dari amiodaron, setalol, dan bretylium. Akibat blockade saluran kalium, masa refrakter dan lamanya aksi potensial diperpanjang. Amiodaron efektif terhadap aritmia serambi dan bilik dan setalol terutama efektif terhadap aritmia bilik. 4. Antagonis kalsium terdiri dari verapamil dan diltiasem. Mengakibatkan penghambatan pemasukan ion Ca, antara lain penyaluran impuls AV diperlambat dan masa refrakter diperpanjang. (Tjay dan Rahardja, 2002) 2.7.4 Klasifikasi Antiaritmia

A. Antiaritmia kelas 1A 1. Kinidin Farmakokinetik : kuota absorpsi 80-20%; ikatan protein plasma 80%; t1/2: 6-7 jam, pada sirosis hati diperpanjang sampai 50 hari; metabolisme penguraian di hati secara hidroksilasi; eleminasi renal (sampai 20% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah). Indikasi : ekstrasistolol supraventikuler dan ventrikuler, takikardia supraventrikuler (flutter atrium dan vibrilasi atrium) juga takikardi ventrikuler (kecuali takiaritmia yang disebabkan digitalis); profilaksis residif setelah regularisasi. Perhatian : kinidin merupakan isomer stereo dari kinin dan seperti obat ini juga mempunyai efek antimalaria dan kontraksi pada uterus.

Kontraindikasi : hipersensitivitas, blockade AV tingkat 2 dan 3, blockade pada paha, bradikardi, insufisiesi jantung dengan dekompensasi, intoksifikai digitalis dan hiperkalemia.

Interaksi : kinidin meningkatkan konsentrasi digoksin plasma, pendesakan dari tempat ikatan di jaringan dan pengurangan ekskresi digoksin secara renal, perpendekan t1/2 oleh pentobarbital dan fenitoin, induksi sitokrom P450.

Sediaan beredar : Kinidin sulfat (generik). (Sukandar dkk, 2008).

2. Prokainamid Farmakokinetik : dosis 1000-1500 mg setiap 8 jam (sebagai tablet retard); konsentrasi plasma terapeutik 3-14 g/ml; kuota absorpsi 80-100%; ikatan protein plasma 20%; t 3 jam; metabolisme di hati asetilasi menjadi N-asetilprokainamid; eleminasi terutama renal (sampai 60% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah). Indikasi : mirip kinidin, profilaksis dan pengobatan awal extrasistol supraventikuler dan ventrikuler serta takiaritmia (kecuali takiaritmia yang disebabkan digitalis). Perhatian : prokainamid (suatu amida asam) dan analogi struktur dengan anastetik lokal prokain (ester), namun berlawanan dengannya hanya memiliki sedikit efek anastetik lokal. Kontraindikasi : hipersensitifitas, blockade AV tingkat 2 dan 3, blockade pada paha, bradikardi, insufisiesi jantung dengan dekompensasi, intoksifikai digitalis. Sediaan beredar : procainamid HCL (generik). (Sukandar dkk, 2008). 3. Disopiramid Farmakokinetik : dosis penjenuhan 4 x 0,1-0,2 g per oral dalam 24 jam, dosis pemeliharaan 2-4 x 0,1-0,2 g per oral dalam 24 jam; konsentrasi plasma terapeutik 2-5 g/ml; kuota absorpsi 70-90%; ikatan protein plasma 30-40 %; t 5-7 jam; metabolisme di hati terutama N-desalkilasi; eliminasi terutama renal (sampai 50% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah). Indikasi : mirip kinidin, profilaksis dan pengobatan ektrasistol supraventrikuler dan ventrikuler seta takiaritmia (kecuali takaritmia yang disebabkan oleh digitalis). Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekompensasi, bradikardi, blockade AV tingkat 2 dan 3, blockade pada paha, intoksikasi digitalis, dan hipertrofi prostat. Sediaan beredar : Dysopiramid, Norpace, Rytmacor, Rytmilen. (Sukandar dkk, 2008). B. Aritmia kelas IB

1. Lidokain Farmakokinetik : dosis sebagai antiaritmia mula-mula 100 mg i.v., setelah itu dengan infuse jangka panjang 4 mg/menit selama 3 jam, setelah itu penguraian sampai separonya (sambil dikontrol EKG terus-menerus); konsentrasi plasma terapeutik 2-6 g/ml; Bioavaibilitas oral hanya 3% (first pass effect yang tinggi); ikatan protein plasma 50%; t 1-2 jam, pada insufisiensi hati dan pada pemberian dengan infuse jangka panjang lebih lama (>12 jam); metabolisme penguraian cepat di hati secara deetilasi oksidatif dan pemecahan ikatan amida; eleminasi terutama renal, hanya 2% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah. Indikasi : takikardi ventrikuler dan ekstrasistol (terutama sebagai akibat infark myocard, setelah tindakan bedah pada jantung serta akibat dari intoksidasi glikosida jantung). tidak efektif pada gangguan irama atrium. Perhatian : lidokain hanya digunakan parenteral karena bioavaibilitasnya sangat kecil. Dalam bentuk infuse intravena mudah dikendalikan karena t yang pendek. Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekomposisi, bradikardi, blockade AV total, blockade pada paha, dan insufisiensi hati. Sediaan beredar : lidocaine (Sukandar dkk, 2008). 2. Meksiletin Farmakokinetik : dosis oral 3 x 200 mg/hari, i.v. pada awal 250 mg/ menit, 250 mg pada jam berikut, setelah itu 0,5-1 mg/hari sebagai infuse jangka panjang; konsentrasi plasma terapeutik 0,5-2 g/ml; bioavaibilitas oral 80-100%; ikatan protein plasma 55-70%; t 10-20 jam; metabolisme dalam jumlah besar; eleminasi renal, sampai < 10% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah. Indikasi : mirip lidokain, takikardi ventrikuler dan ekstrasistol. Secara umum tidak efektif pada gangguan irama atrium. Perhatian : ada kesamaan struktur kimiawi dengan lidokain dan dengan demikian juga mempunyai efek lokal anastesi. Cocok untuk pengobatan oral jangka panjang. Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekomposisi, bradikardi, blockade AV total, blockade pada paha, dan insufisiensi hati dan ginjal, parkinson. Sediaan beredar : Mexitec. (Sukandar dkk, 2008). C. Antiaritmia kelas IC 1. Propafenon

Farmakokinetik : dosis oral 3 x 200 mg/hari, i.v pada awal 250 mg/10 menit, 250 mg pada jam berikut, setelah itu 0,5-1 mg/menit sebagai infuse jangka panjang; konsentrasi plasma terapeutik 0,2-2 g/ml; lama efek umumnya 4-8 jam; bioavaibilitas oral 50% (karena first pass effect); ikatan protein plasma 90%; t 3-6 jam, pada yang metabolismenya lambat > 12 jam (polimorfisme genetik); metabolisme hampir lengkap di hati (hidroksilasi dan konjugasi fase II) menjadi metabolit yang tidak aktif; eliminasi renal, sampai < 1% sebagai obat dalam keadaan tidak berubah.

Indikasi : ektrasistol supraventrikuler dan takiaritmia, fibrilasi atrium paroksismal, takikardia ventrikuler. Kontraindikasi : insufisiensi jantung yang serius, bradikardi, blockade AV tingkat 2 dan 3, blockade pada paha, hipotensi yang menonjol. (Sukandar dkk, 2008).

2. Flekainid Farmakokinetik : dosis 1 mg/kgBB i.v atau 2x100-150 mg p.o/hari; konsentrasi plasma terapeutik 245-980 ng/ml; lama efek 95%; bioavaibilitas oral 40%; ikatan protein plasma 90%; t 14-20 jam; metabolisme sebagian besar di hati; eleminasi renal, sampai kl 25% sebagai obat yang tidak berubah. Indikasi : hanya pada takiaritmia ventrikuler yang istimewa berat dan pada aritmia ventrikuler yang bertahan dan mengancam jiwa. Kontraindikasi : insufisiensi jantung yang serius, bradikardi, blockade AV tingkat 2 dan 3, blockade pada paha, hipotensi yang menonjol. (Sukandar dkk, 2008). D. Antiaritmia Kelas II 1. Propanolol Farmakokinetika : Resorpsinya dari usus baik, first past effect besar hingga hanya 30% mencapai sirkulasi. Sebagian besar zat ini diubah dalam hati menjadi derivat hidroksinya yang aktif. Ikatan protein plasmanya 90%, plasma t nya 3-6 jam. Bersifat sangat lipofil sehingga terdistribusi di jaringan dan otak dengan baik (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis : Loading dose; 0,15 mg/kg IV. Dosis setiap hari; Propranolol: 80240 mg/hari (Burns et al, 2008) Efek samping : Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi, bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan

tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversible bila obat dihentikan), eksaserbasi psoriasis (BPOM, 2008). Kontraindikasi : asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik, feokromositoma (BPOM, 2008). Interaksi obat : alkohol dapat meningkatkan efek hipotensi. Analgesik dan NSAID dapat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi beta-blocker. Glikosida jantung dapat meningkatkan blokade AV dan bradikardi (BPOM, 2008). 2. Metoprolol Farmakokinetika : Resorpsinya pesat dan praktis lengkap, bioavailabilitas 40-50% akibat first past effect agak tinggi. Efek hipotensifnya biasanya agak cepat, dalam 1 minggu dan dapat bertahan sampai 4 minggu. Ikatan protein-plasmanya kurang lebih 12%, plasma t 3-4 jam. Ekskresinya melalui ginjal sebagai metabolit inaktif (Tjay dan Rahardja, 2007). Dosis : Loading dose; 2,55 mg I.V terbagi dalam 2-3 dosis. Dosis setiap hari; 50 200 mg/hari (Burns et al, 2008) Efek samping : Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi, bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversible bila obat dihentikan), eksaserbasi psoriasis (BPOM, 2008). Kontraindikasi : asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik, feokromositoma (BPOM, 2008). Interaksi obat : alkohol dapat meningkatkan efek hipotensi. Analgesik dan NSAID dapat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi beta-blocker. Glikosida jantung dapat meningkatkan blokade AV dan bradikardi (BPOM, 2008).

3. Esmolol Farmakokinetika : Setelah dosis intravena esmolol dengan cepat dihidrolisis oleh esterases dalam sel darah merah. Tingkat darah stabil dicapai dalam waktu 30 menit dengan dosis 50-300 mikrogram / kg per menit. Waktu untuk steady state dapat dikurangi sampai 5 menit, pada memberikan dosis muatan yang sesuai. Penurunan konsentrasi darah secara bifasik dengan waktu paruh distribusi sekitar 2 menit dan waktu paruh eliminasi sekitar 9 menit. Esmolol memiliki kelarutan lipid rendah dan

sekitar 55% terikat pada protein plasma. Hal ini diekskresikan dalam urin, terutama sebagai metabolit de-esterifikasi (Sweetman, 2009) Dosis : Loading dose; 500 mcg/kg IV selama 1 menit. Dosis sehari; 50200 mcg/kg/menit continuous infusion (Burns et al, 2008) Efek samping : Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi, bronkospasme, vasokontriksi perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan tidur, jarang ruam kulit dan mata kering (reversible bila obat dihentikan), eksaserbasi psoriasis (BPOM, 2008). Kontraindikasi : asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik, feokromositoma (BPOM, 2008). Interaksi obat : alkohol dapat meningkatkan efek hipotensi. Analgesik dan NSAID dapat memberikan efek antagonis terhadap efek hipotensi beta-blocker. Glikosida jantung dapat meningkatkan blokade AV dan bradikardi (BPOM, 2008). E. Antiaritmia Kelas III 1. Amiodaron Farmakokinetik : dosis penjenuhan 8-10 hari, 600 mg/hari, dosis pemeliharaan 200 mg/hari dengan istirahat pada akhir pekan; konsentrasi plasma terapeutik 0,9-5,3 g/ml; absorpsi oral sangat lambat (lebih dari 5-10 jam); bioavaibilitas oral 50% (variasi individual sangat besar); ikatan protein plasma 99-100%; t 1-2 bulan, maka sulit dikendalikan; metabolisme mis detilasi di hati, banyak penimbunan di berbagi jaringan; eleminasi di dalam urin tidak ditemukan amiodaron yang tidak berubah. Indikasi: sebagai antiaritmia cadangan, jika antiaritmia lain secara medis tidak dapat digunakan, takiaritmia supraventrikular dan ventrikuler. Perhatian : sebagai antiaritmia cadangan yang berhubungn dengan efek sampingnya yang berat. Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekompensasi, bradikardi, gangguan konduksi AV, dan gangguan fungsi kelenjar tiroid. Interaksi : amiodaron menyebabkan peningkatan konsentrasi digoksin plasma dan pendesakan keluar jaringan. Amiodaron memperkuat efek penghambatan pembekuan dari derivate kumarin. Sediaan beredar: Carbinok, cardaron. (Sukandar dkk, 2008).

2. Setalol Farmakokinetik : sebagai antiaritmia mula-mula 160 mg/hari, jika perlu dapat dinaikkan menjadi 320-480 mg/hari (sambil frekuensi jantung diawasi); konsentrasi plasma terapeutik 1-3 g/ml; bioavaibilitas oral 90-100%; ikatan protein plasma tidak ada; eleminasi praktis lengkap renal dalam keadaan obat tidak berubah. Indikasi : takikardi supraventrikular dan ventricular; perlindungan terhadap pengaruh adrenergik pada hipertiroidisme, sindrom jantung, hiperkinetis, angina pectoris, dan tekanan darah tinggi. Perhatian : setalol termasuk reseptor bloker (antiaritmia kelas II). Mengenai efek antiaritmia pada jantung sifat-sifat kelas III lebih menonjol (mirip amiodaron), sehingga setalol digolongkan di sini. Efek santai : sifat simpatolitik. Perhatian : pada insufisiensi jantung untuk terapi dengan bloker reseptor diperlukan digitalisasi yang memadai. Kontraindikasi : insufisiensi jantung dengan dekompensasi, bradikardi, gangguan konduksi AV, hipotensi. (Sukandar dkk, 2008). F. Antiaritmia Kelas IV 1. Verapamil Farmakokinetik : dosis untuk awal terapi 240-280 mg p.o., pengobatan jangka panjang 80-240 mg p.o. setiap 6-8 jam; konsentrasi plasma terapeutik 60-100; g/ml; bioavaibilitas oral hanya 10-22%, walaupun terabsorpsi sampai 90% (first pass efek tinggi), pada sirosis hati bioavaibilitas dapat naik sampai 80%; ikatan protein plasma 90%; t 3-7 jam; metabolisme hampir lengkap di hati dengan Natau O- demetilasi dan konjugasi perurain; eliminasi sampai 70% renal, sisanya biliar. Indikasi: takikardia supraventrikular, extrasistol atrium, flutter dan fibrilasi atrium disertai takiaritmia (kecuali pada sindrom Wolff-Parkinson-White), semua bentuk angina pectoris dan hipertensi. Perhatian : verapamil termasuk zat penghambat kanal kalsium, seperti juga nifedipin dan diltiazem. Walaupun verapamil seperti juga nifedifin, berefek vasodilatasi pada pembuluh darah resistensi dan pembuluh darah koroner, namun efek antagonis Ca2+ terhadap jantung lebih utama.

Kontraindikasi: insufisiensi jantung dengan dekompoensasi, infark miocard yang baru, syok kardiogenik, bradikardi, gangguan konduksi AV, hipotensi dan blokade reseptor .

Interaksi : hati-hati pada kombinasi dengan -bloker karena saling menguatkan efek kardiodepresif. Sediaan beredar : Verapamil (generic), Cardiover, isoptil dan vemil. (Sukandar dkk, 2008).

2. Diltiazem Farmakoterapi : dosis 180-360 mg/hari per pral; konsentrasi plasma terapeutik 100300 mg/ml; bioavaibilitas oral kl 44%, walaupun absorpsi hampir lengkap (first pass effek tinggi), pada terapi jangka panjang bioavaibilitas dapat naik sampai 90%, mungkin disebabkan suatu penjenuhan enzim; ikatan protein plasma 78%; t desasetilasi, baik O- atau N- demetilasi oksidatif dan selanjutnya konjugasi peruraian; eleminasi terutama renal setelah metabolisme lengkap. Indikasi : semua bentuk angina pectoris, hipertensi, takikardia supraventrikular, ektrasistol atrium, flutter dan atrium disertai takiaritmia (kecuali pada sindrom Wolff-Parkinson-White). Perhatian : diltiazem termasuk zat penghambat kanal kalsium, seperti juga nifedipin dan verapamil. Seperti juga verapamil, digunakan sebagai antiaritmia karena efek antagonis Ca2+ langsung terhadap jantung. Kekuatan efeknya tergantung pada efek vasodilatasi pada pembuluh darah resistensi erterial koroner, posisinya diantara verapamil dan nifedipin. Kontraindikasi: insufisiensi jantung dengan dekompoensasi, infark miocard yang baru, syok kardiogenik, bradikardi, gangguan konduksi AV, hipotensi dan blokade reseptor . Interaksi : hati-hati pada kombinasi dengan -bloker karena saling menguatkan efek kardiodepresif. (Sukandar dkk, 2008). BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Aritmia didefinisikan sebagai hilangnya ritme jantung terutama ketidakteraturan pada detak jantung

2. Penggolongan antiaritmia dilakukan menurut klasifikasi Vaughn Williams atas dasar sifat-sifat elekrtofisiologisnya yang diukur di sel-sel myocard tertentu dalam 4 kelas sebagai berikut yaitu Zat-zat stabilisasi membrane, Beta-blockers, K-chanels blokers dan Antagonis kalsium. 3. Farmakologi antiaritmia berdasarkan klasifikasinya yaitu antiaritmia kelas IA terdiri dari kinidin, prokainamid, dan disopiramid. Antiaritmia kelas IB terdiri dari lidokain dan meksiletin. Antiaritmia kelas IC terdiri dari propafenon dan flekainid. Antiaritmia kelas II terdiri dari propanolol, metoprolol dan esmolol. Antiaritmia kelas III terdiri dari amiodaron dan setalol. Antiaritmia kelas IV terdiri dari verapamil dan diltiazem 4. Terapi non farmakologi yang dapat dianjurkan ke pasien adalah merubah gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita yang menderita obesitas serta penderita juga dianjurkan untuk berolahraga.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Organ Sistem Peredaran Darah dan Organ Sistem Ekskresi. UPT Balai Informasi Teknologi LIPI

Burns, M.A.C., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer., P.M. Malone., J.L. Koselar., J.C. Rotschafer dan J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotherapy Principles & Practice. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta : Sagung Seto Sanjoyo, R. 2005. Sistem Kardiovaskuler. Yogyakarta : UGM Sukandar, E. Y., R. Andrajati, J. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, dan Kusnandar. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Tjay, T. H., K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting (Khasiat Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya). Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Weels, B. G., J. T. Dipiro, T. L. Schwinghammer and C. W. Hamilton. 2006. Pharmacotherapy Handbook Sixth Edition. The McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai