Anda di halaman 1dari 6

LEASING

Oleh: Ahmad Gozali Dikutip dari Auto Cyber Center Gusti Putu Widiyasa 1. Apa yang dimaksud dengan leasing dan dalam kelompok lembaga keuangan lainnya termasuk dalam bidang apa. 2. Tolong jelaskan Pengertian lembaga keuangan bank dalam bentuk gambar 3. Dalam lembaga keuangan lainnya disebutkan ada dana pensiun, jelaskan siapa saja yang mengelola. 4. Siapakah yang menentukan bank untuk bisa dilikuidasi 5. Dari sekian jenis bank umum yang ada apa saja perbedaannya 6. Jenis dana yang dihimpun oleh bank apa saja 7. Fungsi bank dalam rangka pengembangan usaha. terima kasih atas waktunya dan semoga direspon

Jawaban: Perusahaan leasing adalah suatu bentuk perusahaan yang bergerak di jasa sewa kendaraan, namun pada akhir tenor kepada customer diberikan pilihan apakah kendaraan ingin dibeli atau tetap menjadi milik perusahaan. Yang bisa menentukan apakah suatu lembaga keuangan itu dapat beroperasi atau tidak adalah lembaga pengawasnya. Untuk bank, lembaga pengawasnya adalah Bank Indonesia. Maka Bank Indonesia lah yang berhak untuk memberikan izin operasional dan mencabut izin tersebut. Likuidasi dalam arti suatu bank tidak boleh lagi beroperasi atau ditutup adalah keputusan dari Bank Indonesia. Sedangkan likuidasi dalam arti badan hukumnya dibubarkan seperti PT pada umumnya yaitu kewenangan RUPS PT yang bersangkutan atau atas perintah pengadilan. Dari sekian banyak bank umum, bank dapat dipilah menjadi beberapa kelompok berdasarkan beberapa hal. Dilihat dari sistem operasional perbankan, bank dapat dibagi menjadi bank syariah dan bank konvensional. Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan aturan khusus yang diatur oleh agama Islam, ciri utamanya adalah tidak adanya bunga dan bank konvensional adalah bank seperti yang biasa kita kenal menggunakan bunga. Sedangkan kalau dilihat dari segi kelengkapan

transaksi, kita bisa mengelompokkan bank menjadi bank devisa atau bukan. Bank devisa dapat melakukan transaksi dengan bank lain di luar negeri. Sedangkan yang bukan termasuk ke dalam bank devisa tidak bisa melakukan transaksi dengan bank di luar negeri. Dalam penghimpunan dana, kita bisa membaginya menjadi tiga macam. Pertama yaitu dalam bentuk giro (current account) yaitu rekening yang dilengkapi dengan buku cek/bilyet giro. Kedua yaitu tabungan (saving account) dimana nasabah bisa menyimpan dan mengambil uangnya kapan saja. Dan yang ketiga adalah deposito (deposit account) yaitu rekening simpanan yang dibatasi jangka waktu pengambilannya. Setidaknya ada tiga fungsi bank bagi sebuah usaha: 1. Kemudahan transaksi. Dengan adanya rekening perbankan, sebuah usaha bisa melakukan transaksi dengan lebih cepat dan efisien. Misalnya dengan transfer, cek, giro, kartu debet, dan sebagainya. 2. Sumber pembiayaan Bank juga dapat menyediakan pembiayaan dalam rangka pengembangan usaha. Untuk bank konvensional, pembiayaan ini bisa dilakukan dengan pinjaman atau kredit. Sedangkan untuk bank syariah, pembiayaannya bisa dilakukan dalam bentuk jual beli, kerja sama usaha dan sebagainya. 3. Sarana investasi Sebuah usaha yang mengalami kelebihan likuiditas dapat menggunakan bank sebagai sarana menyimpan dan mengembangkan dana sehingga lebih optimal dibandingkan disimpan begitu saja di dalam brankas.
4. 1. SEJARAH LEASING Kehadiran industri pembiayaan (multi finance) di Indonesia sesungguhnya belumlah terlalu lama, terutama bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Dari beberapa sumber, diketahui industri ini mulai tumbuh di Indonesia pada 1974. Kelahirannya didasarkan pada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan. Setahun setelah dikeluarkannya SKB tersebut, berdirilah PT Pembangunan Armada Niaga Nasional pada 1975. Kelak, perusahaan tersebut mengganti namanya menjadi PT (Persero) PANN Multi Finance. Kemudian, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.61/1988, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, pemerintah membuka lebih luas lagi bagi bisnis pembiayaan, dengan cakupan kegiatan meliputi leasing, factoring, consumer finance, modal ventura dan kartu kredit. Sebagai sesama industri keuangan, perkembangan industri leasing relatif tertinggal

dibandingkan yang lain, perbankan, misalnya. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan perbankan pasca Pakto 1988. Pada era inilah bank muncul dan menjamur bagai musim hujan. Deregulasi yang digulirkan pemerintah di bidang perbankan telah membuahkan banyak sekali bank, walaupun dalam skala gurem. tetapi banyak kalangan menuding, justru Pakto 88 inilah menjadi biang keladi suramnya industri perbankan di kemudian hari. Puncaknya, terjadi pada 1996 ketika pemerintah melikuidasi 16 bank. Langkah itu ternyata masih diikuti dengan dimasukkannya beberapa bank lain dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu berkembang cukup mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor, manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan multi finance kian dikenal pelaku usaha nasional. Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan perkembangan perusahaan leasing. Pada era 1989, misalnya, industri ini di Indonesia cenderung berupaya memperbesar asset. perburuan asset tersebut diantaranya disebabkan tantangan perekonomian menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat. Perusahaan yang tidak beranjak dari skala semula, tampak terguncang-guncang dana akhirnya tutup sama sekali. Dengan asset dan skala usaha yang besar, muncul anggapan perusahaan lebih andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya memang terbatas, mereka berupaya agar tetap tampil megah dan gagah. Maka, dimulailah saling lirik dan penjajakan di antara sesamanya. Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing yang melakukan penggabungan menjadi satu grup. Tampaknya, langkah ini membuahkan hasil positif. Selain modal dan asset menggelembung, kredibilitas dan penguasaan pasar pun ikut terdongkrak. Namun gairah menggelembungkan asset tersebut berangsur-angsur mulai pudar. Karena pada tahun berikutnya (1990), industri leasing mulai kembali pada prinsip dasar ekonomi. mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebetulnya, berubahnya orientasi ini dipicu oleh kian sengitnya persaingan di industri leasing. Akibatnya, kehati-hatian menjadi agak terabaikan. Indikasinya, persyaratan untuk memperoleh sewa guna usaha menjadi semakin longgar. Bahkan, kabarnya di Bengkulu, orang bisa mendapatkan sewa guna usaha hanya dengan menyerahkan selembar kartu tanda penduduk (KTP). Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan pembiayaan. Seiring dengan kebijakan uang ketat (TMP = tight money policy) - yang lebih dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I dan II - suku bunga pun ikut meroket naik. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda pencairannya. Dari sisi permodalan, TMP membuat perusahaan multi finance seperti kehabisan darah.

Aliran dana menjadi seret. kalaupun ada, harganya tinggi sekali. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang menggabungkan usahanya. Dengan bergabung, mereka lebih mudah dalam memperoleh kredit, termasuk dari luar negeri. 2. ASOSIASI LEASING

Sebetulnya, organisasi ini punya nama lain, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Anggaran dasar (AD)-nya, yaitu Asosiasi Lembaga Pembiayaan Indonesia (APLI). Tetapi agaknya nama yang pertama lebih dikenal para pelakunya dan masyarakat luas. ALI didirikan sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan pembiayaan. Di sini mereka secara bersama-sama membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. ALI juga hadir untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya kepada pemerintah. Di sisi lain, organisasi ini juga bermaksud menjadi jembatan untuk meneruskan keinginan dan bimbingan pemerintah kepada para anggota. Sederet sasaran ideal menjadi tujuan didirikannya ALI. Paling tidak, pasal 6 AD-nya menyebutkan lima tujuan utama organisasi ini. Di antaranya memajukan dan mengembangkan peranan lembaga pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan perekonomian nasional. Dalam perjalanan sejarahnya, ALI mengalami pasang naik dan pasang surut. Para pengurus yang silih-berganti berupaya memberikan yang terbaik guna pemecahan, kemajuan dan perkembangannya. Sejak didirikan, tercatat sudah 12 kali terjadi pergantian kepengurusan. Sebetulnya, periodisasi kepengurusan ditetapkan tiap dua tahun. Namun dalam beberapa kasus, terjadi pergantian kepengurusan sebelum masa jabatan berakhir.

3.

DARI

ALI

KE

APPI

Pada awalnya, tepatnya tanggal 2 Juli 1982 telah dibentuk Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) yang berkedudukan di Jakarta sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan leasing di Indonesia. Kehadiran ALI telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh pelaku usaha leasing di Indonesia dan ALI telah berhasil melakukan berbagai aktivitas guna kepentingan para anggotanya, termasuk membantu pengembangan industri usaha leasing di Indonesia bersama pemerintah. Seiring dengan pertumbuhan sektor usaha jasa pembiayaan dan guna menampung aspirasi seluruh anggota maka pada tanggal 20 Juli 2000 telah diambil keputusan untuk mengubah ALI menjadi ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA (APPI). Keputusan diatas sejalan dengan keberadaan usaha para anggota sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan aktivitas usaha: sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumer finance), dan kartu kredit (credit

card). Dalam perkembangannya pada tanggal 21 Desember 2000 Asosiasi Factoring Indonesia (AFI) juga telah bergabung ke dalam APPI. Sesuai dengan tujuan didirikannya, APPI bersama pemerintah terus berupaya memberikan andil dan peran lebih berarti dalam peningkatan perekonomian nasional khususnya pada sektor usaha jasa pembiayaan 5. B. ASOSIASI LEASING INDONESIA (ALI) Sebagai sebuah organisasi profesi Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) berdiri pada 2 Juli 1982. Sebetulnya, organisasi ini punya nama lain, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Anggaran dasar (AD)-nya, yaitu Asosiasi Lembaga Pembiayaan Indonesia (APLI). Tetapi agaknya nama yang pertama lebih dikenal para pelakunya dan masyarakat luas. ALI didirikan sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan pembiayaan. Di sini mereka secara bersama-sama membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. ALI juga hadir untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya kepada pemerintah. Di sisi lain, organisasi ini juga bermaksud menjadi jembatan untuk meneruskan keinginan dan bimbingan pemerintah kepada para anggota. Sederet sasaran ideal menjadi tujuan didirikannya ALI. Paling tidak, pasal 6 AD-nya menyebutkan lima tujuan utama organisasi ini. Di antaranya memajukan dan mengembangkan peranan lembaga pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan perekonomian nasional. Dalam perjalanan sejarahnya, ALI mengalami pasang naik dan pasang surut. Para pengurus yang silih-berganti berupaya memberikan yang terbaik guna pemecahan, kemajuan dan perkembangannya. Sejak didirikan, tercatat sudah 12 kali terjadi pergantian kepengurusan. Sebetulnya, periodisasi kepengurusan ditetapkan tiap dua tahun. Namun dalam beberapa kasus, terjadi pergantian kepengurusan sebelum masa jabatan berakhir. Untuk pertama kalinya ALI dipimpin S. Ranty dan Muchsin Firdaus, masing-masing sebagai Ketua Umum (Ketum) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen). Namun pada 16 Maret 1983, susunannya berubah menjadi Tryana Sjam'un sebagai Ketum dan D.S. Surianingrat menjadi Sekjen. Berikutnya, periode 1984-1985 ALI dipimpin Tryana Sjam'un dan Tjiptono Darmadji. Selanjutnya, pada periode Mei 1987-1989, Tjiptono memimpin ALI sebagai Ketum. Dia didampingi Indra Wijaya selaku Sekjen. Sedangkan pada 1989-1991, ALI dipimpin Dewobroto MS dan M.V. Adhiprabawa, masing-masing sebagai Ketum dan Sekjen. Setelah itu, sang Sekjen naik menjadi Ketum pada periode 1991-1993. Dia didampingi Mustafa I. Jatim sebagai Sekjen.

Agaknya, kaderisasi di tubuh ALI berlangsung lumayan mulus. Hal ini ditandai dengan duduknya Mustafa sebagai Ketum pada kepengurusan 1993-1995. Waktu itu, Albertus Banunaek dipercaya menjadi Sekjen. Seperti juga yang lain, Albert selanjutnya duduk menjadi Ketum pada periode berikutnya (1995-1997). Theresia Adiwijaya saat itu diberi mandat sebagai Sekjen. Dia sekaligus menjadi wanita pertama yang duduk di posisi pengurus teras ALI. Pasangan Albert dan Theresia agaknya cukup mendapat tempat di kalangan anggota. Hal itu dibuktikan dengan kembali mereka berdua dipercaya menjabat posisi tersebut untuk periode 1997-1999.

Anda mungkin juga menyukai