Anda di halaman 1dari 326

UPAYA PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM PELAYANAN SOSIAL IBU DAN ANAK MELALUI INDIKATOR PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA

Koordinator

(Dr. Soedarti Surbakti)

Badan Pusat Statistik

Daftar Isi
Halaman Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Singkatan dan Istilah 1. Upaya Pemantauan Kemiskinan dan Pembangunan Milenium di Tingkat Pusat. (Dr. Soedarti Surbakti) Upaya Pemantauan Kemiskinan dan Pembangunan Milenium di Tingkat Daerah (Dr. Soedarti Surbakti) Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Beberapa Daerah di Indonesia (Dr. Soedarti Surbakti, Satriana Yasmuarto S.Si, Amiek Chamami, SE) Potensi Modul Survei Sosial-Ekonomi Nasional untuk Pemantauan Pembangunan Milenium (Aryago Mulia, M.Si.) Tersedianya Indikator Pemantauan Target-target Pembangunan Milenium dalam Data Kor Survei Sosial-Ekonomi Nasional dan Survei Garam Yodium. (Halip Purnama, MA) Potensi Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia untuk Memantau Tujuan Pembangunan Milenium (Dr. Wendy Hartanto) Memantau Kesetaraan Gender dan Pengangguran dari Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Dr. Indra M. Surbakti) Tersedianya indikator Pemantauan Target-target Pembangunan Milenium dalam Data Potensi Desa. (M. Sairi Hasbullah, MA) i iii v

2.

39

3.

61

4.

91

5.

131

6.

147

7.

161

8.

183

9.

Pendataan untuk Identifikasi Calon Penerima Bantuan Langsung Tunai (Nona Iriana, M.Si)

213

10. Estimasi Intensitas Kekurangan Gizi di Wilayah Kecil dengan Peta Gizi. (Dr. Dedi Walujadi) 11. Estimasi Tingkat Kemiskinan di Wilayah Kecil dengan Peta Kemiskinan (Dr. Dedi Walujadi) 12. Memantau Tingkat Kemiskinan di Perdesaan dengan Indikator dari Data Sensus Pertanian 2003. (Dr. Suhariyanto) 13. Indikator Pemantauan Dini Arah Perkembangan Kemiskinan dari Data Upah, Harga Produsen dan Harga Konsumen: Proyek Studi Kerja Sama antara Badan Pusat Statistik dan Asian Development Bank. (Uzair Suhaemi, MA dan Dr. Sasmito Hadi Wibowo) 14. Memantau dan Mengevaluasi Target-target Pembangunan Milenium Dengan Indikator Pemantauan Pelayanan Kesehatan. (Dwi Retno, WWU, S.Si) 15. Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial untuk Pemantauan Target-target Pembangunan Milenium. (Mariet Tetty Nuryetty, MA) 16. Indikator Keluarga Pasangan Usia Subur dan Pengetahuan tentang Keamanan Reproduksi Remaja Dalam Survei-survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. (Dr. I Made Arcana) 17. Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Aryago Mulia, M.Si.) 18. Upaya Meningkatkan Ketahanan Pangan 2005 2009 Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan (Aryago Mulia, M.Si.)

235

249

259

269

297

309

323

331

341

ii

UPAYA PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM PELAYANAN SOSIAL IBU DAN ANAK MELALUI INDIKATOR PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA
Koordinator

Dr. Soedarti Surbakti

BPS

CIDA

Upaya Pemantauan Kemiskinan dan Pembangunan Milenium di Tingkat Pusat


(Dr. Soedarti Surbakti)

I.
1.1

Pendahuluan
Latar Belakang

Indonesia bersama-sama banyak negara lain di dunia telah menyepakati resolusi yang dicetuskan dalam The Millenium Summit tahun 2000 yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mengagendakan pencapaian upaya penghapusan kemiskinan dan hal-hal yang terkait dengan itu. Agenda ini dikemas dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang berisi 3 hal yaitu, tujuan pembangunan milenium berikut target dan indikator untuk mengukur pencapaian tujuan pembangunan tersebut. Berbeda dengan kesepakan global umumnya yang terdahulu, seperti Convention of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dan Convention on The Right of The Child (CRC), MDGs berisi tujuan pembangunan yang keberhasilannya hampir semuanya dapat diukur secara kuantitatif dan ditentukan batas waktu pencapaiannya. MDGs mencakup 6 bidang kehidupan manusia dengan 8 tujuan pembangunan sebagai berukut: 1) Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, 2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua, 3) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, 4) Menurunkan angka kematian anak, 5) Meningkatkan kesehatan ibu, 6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, 7) Memastikan keberlanjutan lingkungan hidup, dan 8) Mengembangkan kerja sama global utuk pembangunan. Kemudian tujuan ini dijabarkan dalam 18 target dengan sekitar 48 indikator yang perlu untuk pemantauan (ESCAP-UNDP, 2002). Di antara tujuan tersebut tujuan ke 1 sampai 7 merupakan tujuan pokok MDGs yang dapat dipantau secara mudah oleh masing-masing negara. Sementara itu sebagian indikator MDGs untuk memantau tujuan kedelapan yang terkait dengan globalisasi tidak mudah didapatkan pada saat ini, kecuali proksi indikator yang berkaitan dengan target 16, 17, dan 18. Masing-masing target tersebut berkaitan dengan ketenagakerjaan, akses terhadap pengobatan, dan fasilitas teknologi informasi. 1

Ada satu periode waktu yang harus diisi setiap negara anggota PBB dengan upaya keras untuk dapat mencapai tujuan dalam kesepakatan tersebut. Periode waktu tersebut adalah tahun 1990-2015. Tahun 1990 dipilih sebagai tahun dasar dan tahun 2015 adalah batas akhir dapat dicapainya sebagian besar tujuan pembangunan milenium yang disepakati. Tujuan pembangunan milenium ternyata sejalan dengan program pembangunan sosial yang dicanangkan pemerintah Indonesia terutama pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Mengengah atau disingkat RPJM (Bappenas, 2004) dan program pembangunan pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, pemerintah baik di pusat maupun daerah, perlu memahami MDGs dan mengupayakan agar tujuan pembangunan tersebut dapat dicapai. Kampanye Milenium Indonesia, yang diprakarsai oleh organisasi-organisasi masyarakat madani telah mempromosikan MDGs sampai di tingkat kabupaten dan masyarakat. Upaya pemantauan dan evaluasi keberhasilan terhadap tujuan pembangunan yang terkait dengan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pusat dengan serius. Begitu pula upaya untuk memantau tujuan pembangunan lainnya. Keseriusan upaya ini mulai terlihat antara lain dari adanya lampiran daftar indikator kinerja pada Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Indikator tersebut dipakai sebagai tolok ukur keberhasilan program pembangunan yang dilakukan pemerintah. Berbagai upaya kegiatan pengumpulan data untuk menyusun indikator tersebut dilakukan melalui sensus, survei, dan sistem pelaporan. Menurut Undang-undang Statistik No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, tugas mengumpulkan data dasar yang umumnya melalui sensus dan survei dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan tugas pengumpulan data sektoral melalui sistem pelaporan umumnya dilakukan oleh departemen sektor. Walaupun dilakukan di tingkat pusat, beberapa kegiatan pengumpulan data dapat menghasilkan data untuk menyusun indikator yang bermanfaat bagi penilaian kinerja pemerintah daerah. Studi ini dibuat agar upaya-upaya kegiatan pengumpulan data di tingkat pusat yang dapat menghasilkan indikator pencapaian tujuan pembangunan milenium yang sejalan dengan program pembangunan sosial di Indonesia teridentifkasi. 2

1. 2 Tujuan Laporan ini bertujuan untuk meninjau dan memetakan upaya pemantauan pelayanan sosial untuk ibu dan anak melalui MDGs di tingkat pusat. Secara rinci tujuan ini dibagi menjadi 3 tujuan, yaitu: 1) Membuat peta upaya untuk memantau dan evaluasi program kemiskinan dan kelaparan, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, lingkungan hidup, serta globalisasi, 2) Melengkapi peta dengan pendekatan sumber data yang digunakan dalam pemantauan dan evaluasi tersebut, dan 3) Mengidentifikasi proksi indikator pencapaian tujuan pembangunan yang sesuai dengan indikator MDGs.

1. 3 Metodologi
Untuk mencapai tujuan ini dilakukan studi pustaka dan kunjungan ke instansi di pusat, antara lain sebagai berikut:

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

BPS,
Departemen Kesehatan (Depkes), Badan Koordinator Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Departemen Sosial (Depsos), Departemen Pertanian (Deptan),

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Kantor Menteri Lingkungan Hidup KLH), dan Departemen Kehutanan (Dephut)

1.4 Isi Laporan Dalam laporan ini disajikan ringkasan hasil studi yang terdiri dari beberapa bab yang mengemukakan tentang upaya kegiatan pengumpulan data untuk pemantauan dan evaluasi bidang kemiskinan dan kelaparan, pendidikan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, kesehatan, pelestarian lingkungan hidup, dan globalisasi. Sajian dibagi-bagi dalam beberapa bagian berdasarkan masing-masing tujuan dalam MDGs. Untuk melengkapi laporan hasil studi, ditampilkan pula secara lebih rinci pada bagian lain buku ini, makalah tentang sumber data yang merupakan upaya berbagai pihak untuk memantau tujuan pembangunan Indonesia yang terkait dengan pelayanan sosial ibu dan anak. 3

II. Kemiskinan dan Kelaparan


Tujuan 1: Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan Program sosial untuk menolong kaum miskin merupakan program yang sudah tua usianya. Tanggung jawab pemerintah dalam urusan orang miskin seperti diamanatkan oleh UUD-45, bahwa orang miskin dipelihara oleh negara, sejak awal merdeka dibebankan pada Depsos. Dalam melaksanakan tugasnya Depsos telah mencakup antara lain program penyantunan fakir miskin. Penghitungan jumlah penduduk miskin diserahkan kepada instansi daerah yang menugaskan kepada petugas sosial kecamatan untuk mendata tentang siapa yang menjadi sasaran program bantuan terhadap fakir miskin dan di mana mereka berada. Kriteria penduduk yang terakhir dipakai petugas sosial di lapangan untuk menentukan keluarga miskin, adalah: 1) Miskin, terutama yang sangat miskin, 2) Tidak mempunyai pekerjaan tetap, 3) Mempunyai penghasilan tetap tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok hidup keluarganya, dan 4) Rumahnya tidak layak huni. Kriteria yang dipakai di atas, oleh petugas, dianggap sangat kualitatif. Hanya kriteria kedua yang sangat jelas, sedangkan selebihnya tergantung penilaian para petugas lapangan, seperti sangat miskin, tidak mencukupi kebutuhan pokok hidup, dan tidak layak huni. Oleh petugas lapangan data ini disimpan untuk sewaktu-waktu digunakan ketika membagikan bantuan dari pemerintah. Masalah lain yang dihadapi Depsos adalah terkumpulnya data di pusat. Depsos mempunyai data jumlah fakir miskin yang dikumpulkan dari daerah secara berjenjang, namun tidak mempunyai daftar rinci mengenai siapa yang fakir miskin dan di mana tempat tinggalnya, karena pendataan hanya didokumentasikan secara manual. Pada era setelah otonomi masalah ini ditambah pula dengan keterlambatan dan ketidaklengkapan data yang dikirimkan ke pusat.

Karena bantuan pemerintah kepada fakir miskin sangat terbatas, berubahubah jumlahnya, dan tidak selalu mencakup seluruh daerah, terutama setelah otonomi, maka penghitungan jumlah fakir miskin ini menimbulkan masalah dalam hal pembaharuan (updating) datanya. Sering kali jumlah penduduk miskin disesuaikan dengan anggaran yang ada dan acap kali pula pendataan baru tidak dilakukan kalau bantuan untuk fakir miskin tidak diprioritaskan di suatu daerah. Akibatnya tidak semua daerah mempunyai angka tentang fakir miskin dengan tahun rujukan yang sama. Sebagai akibat dari kurang jelasnya kriteria penduduk fakir miskin dan masalah pembaruan datanya, maka data dari seluruh daerah tidak dapat dijumlahkan. Informasi seperti ini tentu saja tidak dapat digunakan untuk kepentingan perencanaan makro. Depsos dengan pendekatan kelembagaan telah pula mengadakan pendataan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan potensi sumber kesejahteraan sosial (PSKS) yang di dalamnya tercakup penduduk fakir miskin dan yang terkait dengan itu, seperti keterlantaran dan perumahan yang tidak layak huni (baca Makalah 15, halaman 309-322). Di samping itu, bekerja sama dengan BPS, Depsos telah pula melakukan pengintegrasian pengumpulan data PMKS dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional atau yang lebih dikenal dengan nama Susenas (BPS, 2001) dan pemetaan kemiskinan kecamatan yang menghasilkan jumlah dan persentase penduduk miskin dan fakir miskin di seluruh kecamatan di Indonesia (Wynandin, dkk., 2005). Upaya BPS melakukan kegiatan pengumpulan data melalui Susenas untuk melihat tingkat kemiskinan penduduk sudah dimulai tahun 1963 (Surbakti, 1995). Indikator kemiskinan didekati melalui indikator pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Walaupun begitu data hasil Susenas belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengukur kemiskinan. Pada waktu itu keadaan masih terlalu sensitif bagi pemerintah untuk menerima kenyataan masih adanya penduduk miskin di Indonesia. Baru sekitar awal tahun delapan puluhan pengukuran tingkat kemiskinan diakui oleh pemerintah. Pada tahun 1984, angka kemiskinan untuk beberapa tahun sekaligus dihitung oleh BPS, yaitu yang berasal dari Susenas 19761981 (BPS, 2000). Sejak itu penghitungan tingkat kemiskinan terus dilakukan setiap tiga tahun sekali mengikuti periodisitas dilakukannya Modul Konsumsi Susenas, salah satu modul dalam Susenas (baca Makalah 4 halaman 91-130). Survei ini mengumpulkan data segala 5

sesuatu yang dikonsumsi rumah tangga yang terpilih sampel selama waktu tertentu. Semua pengeluaran untuk makanan selama seminggu sebelum pencacahan ditanyakan, sementara pengeluaran untuk barang-barang non-makanan yang ditanyakan merujuk pada beberapa jenis periode waktu: satu bulan untuk barang tidak tahan lama dan satu tahun untuk barang yang tahan lama. Untuk memperoleh angka kecenderungan yang lebih baik mulai tahun 2002 telah dilakukan survei Panel Susenas tiap tahun yang merupakan pengulangan dari Kor dan Modul Konsumsi Susenas pada bulan FebruariMaret dengan sampel sekitar 10 000 rumah tangga. Mulai tahun 2007, Panel Susenas akan diperbesar sampelnya sampai sebanyak sekitar 65 000 rumah tangga, sehingga dapat menghasilkan indikator pada tingkat propinsi. Penghitungan jumlah penduduk miskin didasarkan pada besarnya rupiah yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk konsumsi energi dan kebutuhan dasar non-makanan. Jumlah ini kemudian dibandingkan dengan garis kemiskinan yang ditentukan untuk propinsi atau kabupaten. Secara ringkas penentuan garis kemiskinan adalah sebagai berikut: 1) Menentukan kelompok penduduk rujukan, yaitu penduduk yang miskin dan mendekati miskin (atau sekitar 20 persen rumah tangga termiskin) menurut penghitungan dari survei sebelumnya, 2) Memilih komoditi dasar makanan dan non-makanan yang dikonsumsi rumah tangga rujukan, 3) Menghitung nilai pengeluaran riil rumah tangga rujukan, 4) Mengidentifikasi komoditi yang umumnya dikonsumsi penduduk rujukan, 5) Menghitung harga kalori dan menentukan garis kemiskinan makanan, 6) Menghitung garis kemiskinan non-makanan, 7) Menghitung garis kemiskinan (jumlah butir 5 dan 6), 8) Menghitung rumah tangga yang pengeluarannya lebih kecil dari garis kemiskinan sebagai rumah tangga miskin, 9) Memasukkan semua anggota rumah tangga dalam rumah tangga miskin sebagai penduduk miskin. Dari data konsumsi hasil Susenas ini dapat pula diperkirakan jumlah penduduk yang mengalami kelaparan dengan menghitung banyaknya asupan energi yang dikonsumsi. Dengan patokan minimum 2100 kalori asupan energi per hari, dapat dihitung jumlah penduduk yang kelaparan. 6

Indikator lain untuk mengukur kelaparan adalah status gizi balita. Survei garam yodium (SGY) dan modul kesehatan Susenas, survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI), dan survei kesehatan rumah tangga sebagai bagian dari survei kesehatan nasional (Surkesnas) kerap kali mencakup pertanyaan untuk mengetahui data berat badan balita (baca Makalah 5, halaman 131-148, Makalah 6, halaman 147-159, dan Makalah 14, halaman 297-308). Dengan melihat berat/tinggi badan balita menurut umurnya, akan dapat diketahui balita yang mengalami kurang gizi yang mengidentifikasikan adanya kelaparan. Formula untuk menghitung status gizi didasarkan atas berat/tinggi badan menurut umur dengan standar WHO-NCHS (BPS, 2005). Sebelum indikator kemiskinan dari Susenas muncul, gagasan untuk membuat alat ukur kemiskinan telah dicetuskan oleh Sajogya (BPS, 2000) dengan menerjemahkan pendapatan penduduk setara kg beras. Di kota, penduduk yang penghasilannya setara dengan kurang dari 360 kg beras per kapita per tahun dianggap miskin, sedangkan di daerah perdesaan mereka yang penghasilannya setara dengan kurang dari 240 kg beras per kapita per tahun dianggap miskin. Kesungguhan pemerintah Indonesia dalam upaya pemantauan kemiskinan semakin kelihatan nyata ketika kemudian data kemiskinan yang dihasilkan BPS dirasa masih kurang memadai. Data ini hanya dapat dipakai untuk perencanaan makro dan tidak dapat dipakai untuk menentukan target program pemberantasan kemiskinan: siapa yang miskin, dan di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, BKKBN berupaya menutup kesenjangan itu dengan mengumpulkan beberapa komponen kesejahteraan keluarga. Kegiatan ini disebut sebagai Pendataan Keluarga (baca Makalah 16, halaman 323-329). Komponen tersebut disusun sebagai suatu indeks komposit untuk menentukan keluarga yang pra-sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III dan sejahtera III+. Dengan adanya pendataan ini kelompok sasaran intervensi program pemberantasan kemiskinan dapat diidentifikasi. Pada tingkat kabupaten pendataan keluarga masih dilakukan sebagai pedoman operasional bagi unit pengelola keluarga berencana (KB). Di samping itu banyak pengelola program kemiskinan juga merujuk pada data BKKBN, seperti dalam pembagian beras untuk orang miskin oleh Bulog. Keunggulan sumber data ini adalah dapat dilacaknya nama dan alamat penduduk miskin. 7

Keluarga yang digolongkan dalam pra-sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan minimal: sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan, yaitu keluarga yang tidak dapat memenuhi minimal satu ketentuan berikut: 1) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih, 2) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan bepergian, 3) Rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai dan dinding yang baik, 4) Bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan, 5) Bila pasangan usia subur ingin ber-KB, pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi, dan 6) Semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga tersebut bersekolah. Keluarga yang digolongkan sebagai keluarga sejahtera tahap I adalah mereka yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan sosial-psikologisnya (socio-psychological needs), seperti kebutuhan ibadah, makan protein hewani, ruang untuk interaksi keluarga, kesehatan, penghasilan, baca-tulis Latin dan keluarga berencana, sebagai berikut: 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur, Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu pasang pakaian baru dalam setahun, Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah, Tiga bulan terakhir, keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing, Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh penghasilan, Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan Latin, dan Pasangan usia subur dengan anak dua atau lebih menggunakan alat/obat kontrasepsi.

Indikator yang mengacu pada butir terakhir (nomor 14) yang disebutkan di atas merupakan salah satu komponen data untuk menyusun indikator dalam rangka mengukur keberhasilan tujuan MDGs yang ke 6, yaitu memerangi penyebaran HIV/AIDs, malaria dan penyakit menular lainnya. Pendekatan lainnya untuk mengetahui rumah tangga (rt) yang miskin dan alamatnya adalah melalui sebuah pendataan yang dilakukan BPS, yaitu pendataan sosial ekonomi (PSE). Kegiatan ini dilakukan dalam kaitan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai subsidi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada akhir tahun 2004 (baca Makalah 9, halaman 213-233). Kriteria rt miskin yang disepakati pemerintah didasarkan pada 14 karakteristik rumah tangga seperti daftar berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) Luas lantai per kapita: <= 8 m2 , Jenis lantai: tanah/bambu/kayu berkualitas rendah, Jenis dinding: bambu/rumbia/kayu lainnya yang berkualitas rendah, Fasilitas tempat buang air besar: bersama/umum, Sumber air minum: sumur/mata air tak terlindung/sungai/air hujan, Sumber penerangan: lampu minyak/petromaks, Bahan bakar: kayu/minyak, Konsumsi daging/ayam/susu: tidak pernah, Frekuensi makan: 1x sehari, Beli pakaian baru: tidak pernah, Kemampuan berobat: tidak pernah, Lapangan usaha kepala rumah tangga: pertanian padi/palawija, Pendidikan kepala rumah tangga: SD ke bawah, dan Kepemilikan asset: tak punya tabungan, emas, TV berwarna, ternak, atau sepeda motor.

Rumah tangga yang memenuhi masing-masing kriteria akan mendapat skor satu atau nol bila tidak memenuhi, sehingga rt secara maksimal akan mendapat jumlah skor 14. Setelah dilakukan berbagai posedur statistik, diperoleh cara penghitungan keparahan kemiskinan rumah tangga yang ditentukan oleh jumlah skor yang diperoleh rumah tangga sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) rt sangat miskin bila skor 14, rt miskin bila skor 12-13, rt mendekati miskin bila skor 9-11, dan rt tidak miskin bila skor kurang dari 9. 9

Pada tahap akhir penentuan keparahan kemiskinan ini harus melalui uji publik dengan memasang daftar nama kepala rumah tangga penerima BLT di tempat yang biasa dikunjungi anggota masyarakat. Karena jumlah penduduk miskin dengan pendekatan PSE ini dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, maka data yang dihasilkan tidak sepenuhnya dapat digunakan sebagai sumber utama indikator pemantauan kemiskinan. Pendekatan penghitungan kemiskinan di daerah wilayah perdesaan juga penting dilakukan mengingat perdesaan merupakan bagian terbesar wilayah Indonesia. Sensus Pertanian (ST) tahun 2003 berpotensi untuk dijadikan sumber data kemiskinan. ST 2003 mengumpulkan informasi tentang fasilitas dan kualitas bangunan rumah kepada seluruh penduduk perdesaan (baca Makalah 12, halaman 259-267). Menurut Surbakti (1983) fasilitas dan kualitas rumah serta pemilikan barang berharga dapat dipakai sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga. Dengan memanfaatkan keterangan yang dikumpulkan dari para petani yang berusaha di sektor palawija tentang kualitas tempat tinggalnya, BPS (2005) menyusun indikator kemiskinan perdesaan. Data yang digunakan adalah keterangan tentang sumber air minum, bahan bakar untuk masak, jenis dinding, jenis lantai, luas lantai, pendidikan kepala rumah tangga serta fasilitas penerangan, dan sanitasi. Indeks komposit dari delapan variabel tersebut digunakan BPS untuk menilai tingkat kesejahteraan masingmasing rumah tangga. Pemberian indeks atau skor mengacu pada metode scoring yang digunakan dalam PSE. Penghitungan indikator kemiskinan dengan model statistik juga merupakan cara alternatif di samping penghitungan langsung dari data lapangan. Poverty mapping (BPS, 2004) merupakan salah satu contoh utama yang perlu dikemukakan di sini (baca Makalah 11, halaman 249-258). Dalam kegiatan sensus penduduk, informasi mengenai kemiskinan tidak dikumpulkan karena berbagai alasan, antara lain terbatasnya jumlah petugas yang berkualitas. Namun demikian banyak variabel lain yang dikumpulkan seperti ciri individu dan ciri rumah tangga melalui kuesioner sensus, dan keadaan lingkungan dari kuesioner potensi desa (Podes). Inti dari model tersebut adalah membuat model kaitan antara kemiskinan sebagai variabel tak bebas dengan berbagai variabel lain sebagai variabel bebas dari sampel Susenas dan Podes yang terkait, yaitu dari desa di mana rumah tangga yang terpilih tinggal. Kemudian model diaplikasikan pada data populasi sensus penduduk dan Podes yang terkait. Variable bebas serupa yang dikumpulkan melalui sensus penduduk dipakai untuk 10

membuat prediksi tingkat kemiskinan. Karena data sensus ini dapat dihasilkan sampai pada wilayah kecil, maka hasil estimasi data kemiskinan dapat dibuat sampai wilayah desa dan kecamatan. Kelemahan dari model ini adalah periodisitas pelaksanaan sensus yang hanya setiap sepuluh tahun sekali, sehingga data kemiskinan yang dihasilkan terkesan tidak upto-date. Cara seperti ini sama dengan yang dibuat BPS (Coordinating Ministry for Peoples Welfare, 2006) untuk menyusun peta gizi (baca Makalah 10, halam 235-248). Model mapping lainnya adalah tentang kerawanan pangan. Deptan telah menyusun peta karawanan pangan yang dapat menunjukkan ketiga aspek/dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penyerapan pangan. Indeks komposit dari tiga komponen tersebut dibuat dengan principal component (baca Makalah 17, halaman 331-339). Dalam mengantisipasi adanya kerawanan yang terkait dengan kemiskinan dan kelaparan, ada suatu prosedur statistik yang dikembangkan untuk menyusun sistem peringatan dini (early warning system-EWS). Sistem disusun oleh Tim ADB-BPS berdasarkan data yang berasal dari kegiatan reguler BPS, yaitu survei upah (buruh sektor formal), survei harga konsumen (termasuk upah buruh sektor informal) dan survei harga produsen. Dengan melihat fluktuasi indeks-indeks tersebut, informasi dini mengenai akan memburuk atau membaiknya kondisi ekonomi penduduk dapat diketahui. Walaupun secara nyata jumlah penduduk miskin tidak dapat dihasilkan dengan metode ini, informasi dini tentang kemungkinan akan terjadinya kerawanan akan sangat bermanfaat untuk memantau dan menyusun rencana aksi penanggulangannya. Kewaspadaan dini yang menyangkut kemiskinan dan kelaparan seperti di atas juga diupayakan oleh departemen sektor. Depkes pernah mengadakan upaya tentang sistem kewaspadaan pangan dan gizi atau SKPG dengan memanfaatkan data dari daerah, antara lain produksi pangan, harga pangan, dan status gizi. Setelah era otonomi, upaya ini kurang mendapat perhatian dari pihak Pemda, sehingga sistem peringatan dini hampir tidak terdengar lagi. Upaya lain yang sekarang masih berjalan adalah sistem dari Deptan yaitu peta kerawanan pangan kabupaten (baca Makalah 17, halaman 331-339). Peta kerawanan pangan atau food insecurity atlas (IFA) disusun berdasarkan sumber data dari BPS yaitu Susenas dan Podes, kemudian data dari Badan Meteorologi dan Geofisika, 11

serta dari Depkes. IFA ditentukan oleh 10 indikator yang dianggap berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan yang bersifat kronik, yang terdiri dari tiga faktor: 1) Faktor ketersediaan pangan diwakili oleh indikator kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia, 2) Faktor akses terhadap pangan terdiri dari indikator persentase penduduk miskin, persentase penduduk tanpa listrik, dan persentase desa yang tidak mempunyai akses perhubungan yang memadai, dan 3) Faktor penyerapan pangan mencakup IMR, E0, balita kurang gizi, akses pada air bersih, akses ke Puskesmas, dan wanita buta huruf. Dengan menggunakan teknik statistik diperoleh gradasi dari kerawanan pangan, yaitu sangat rawan pangan, rawan pangan, agak rawan pangan, cukup tahan pangan, tahan pangan, dan sangat tahan pangan. Berdasarkan peta ini kemudian diupayakan peningkatan ketahanan pangan melalui Program Aksi Mandiri Pangan (baca Makalah 18, halan 341-349). Tabel 1 menyajikan matriks yang berisi ringkasan tentang sumber data dan tingkat estimasi indikator pemantauan MDGs yang dapat dihasilkan. Tidak semua sumber data tersebut dapat menghasilkan indikator pada tingkat desa, seperti pendataan keluarga, atau sampai tingkat kecamatan, seperti peta kemiskinan dan peta gizi, melainkan hanya sampai tingkat kawasan seperti Surkesnas. Indikator tentang jumlah keluarga pra-sejahtera dengan sejahtera I dan persentase penduduk miskin di perdesaan dapat digunakan sebagai proksi indikator kemiskinan sampai tingkat desa.

12

Tabel 1:

Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 1 (Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan)
Indikator
1. Proporsi penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

Target
Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang miskin menjadi setengahnya dalam tahun 1990-2015

Sumber Data
Modul Susenas Panel Susenas* Kor Susenas Peta Kemiskinan PSE Modul Susenas Panel Susenas Kor Susenas Modul Susenas Panel Susenas Kor Susenas

Tingkat Estimasi
P N Kab/kot Kec Desa P N Kab/kot P N Kab/kota

2. Kesenjangan kemiskinan (insiden x dalamnya kemiskinan) 3. Kontribusi quantil pertama penduduk berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional 4. Keluarga prasejahtera + sejahtera I 5. Persentase penduduk miskin di perdesaan

Pendataan keluarga ST SGY Peta gizi Surkesnas Surkesnas Modul Susenas Panel Susenas

Desa Kab/kot (R) Kab/kot Kecamatan Kaw, U/R Kaw, U/R P N

Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya dalam tahun 1990-2015 Keterangan:

6. Prevalensi balita kurang gizi (BB/U) 7. Prevalensi balita gizi baik (BB/TB) 8. Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum (2.100 kkal/kapita/hari)

* Mulai tahu 2007 Panel Susenas akan menghasilkan indikator propinsi, N: nasional, P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota, Kec: kecamatan Kaw: Kawasan Jawa, Sumatera, dan lainnya, U/R: daerah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan)

13

III. Pendidikan, Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan Tujuan 2: Mencapai pendidikan dasar untuk semua Upaya untuk memantau pencapaian pendidikan dasar untuk semua oleh tiga instansi yaitu, Depdiknas dan Depag yang menangani sekolah umum dan madrasah serta BPS. Di Depdiknas telah dirintis suatu sistem pendataan informasi statistik, dalam laporan ini, disingkat dengan SIS pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Sistem pendataan seperti ini dipakai juga di Depag yang biasa menyebutnya sebagai sistem management informasi pendidikan atau education information system (EMIS). Sementara itu di BPS, melalui berbagai survei terutama Kor Susenas telah dikumpulkan data mengenai pendidikan yang sedang dijalani maupun pendidikan yang ditamatkan. Ketiga sumber data tersebut memakai pendekatan pengumpulan data yang berbeda. Depdiknas dan Depag memakai pendekatan sekolah sedangkan BPS melalui survei rumah tangga. Data dasar pendidikan untuk menyusun indikator angka partisipasi sekolah ini, oleh Depdiknas dihimpun dari sekolah-sekolah umum kemudian dikirim ke dinas pendidikan kabupaten/kota. Di dinas inilah data diringkas dan ringkasannya dikirim ke dinas pendidikan di propinsi dan pusat. Prosedur yang dilakukan Depag terhadap madrasah juga mirip dengan pendataan yang dilakukan terhadap sekolah-sekolah umum. Untuk menyusun angka partisipasi sekolah ini dua sumber data dari Depdiknas dan Depag digabungkan. Pendekatan BPS untuk mengumpulkan data pendidikan adalah rumah tangga. Dalam setiap rumah tangga yang terpilih survei, semua anggota rumah tangga dicatat umur dan status sekolahnya. Walaupun instansi-instansi tersebut memakai pendekatan yang berbeda, sepanjang menyangkut pendidikan dasar (sederajat SD dan SMP), angka yang dihasilkan dari dua sumber data tersebut tidak berbeda. Perbedaan yang mendasar terletak pada cakupan pendidikan setingkat SMU ke atas. Cakupan pengumpulan data untuk SMU dan yang sederajat, misalnya, hanya mencakup SMU, SMK, dan madrasah aliyah (MA), sedangkan data BPS berasal dari penduduk yang bersekolah di berbagai sekolah termasuk sekolah yang dikelola oleh departemen, seperti sekolah perawat, sekolah pertanian, dan sekolah maritim. Di samping itu ada masalah tempat tinggal para siswa. Tidak semua siswa bertempat tinggal di wilayah administrasi yang sama dengan lokasi sekolah sehingga bila 14

tidak ada pemilahan tempat tinggal dalam ringkasan data yang diterbitkan, maka angka partisipasi sekolah yang dihasilkan tidak tepat. Makin tinggi jenjang sekolah dan makin kecil wilayah administrasi, perbedaan angka antara BPS dan departemen makin besar. Di samping penghitungan indikator yang diperoleh dari lapangan, sebuah prosedur penghitungan statistik (moving average) juga diterapkan terhadap beberapa hasil Susenas. Hal ini dilakukan oleh BPS bersama Depdiknas dalam memperkirakan data buta aksara pada tingkat kecamatan. Pendekatan ini dibuat karena data buta aksara yang sebelumnya dihasilkan BPS selama ini hanya berupa indikator sampai tingkat kabupaten/kota. Dengan prosedur tersebut diperoleh peta buta aksara sampai tingkat kecamatan (Wynandin dkk., 2000). Dalam peta buta aksara yang dibuat ini, pengelompokan umur penduduk tidak sesuai dengan saran yang diusulkan sebagai indikator MDGs, yaitu 15-24 tahun, tetapi 10-24 tahun sebagai proksi. Pada tingkat kabupaten dan kota, data persekolahan seperti guru, murid, fasilitas sekolah dan lain-lain dikumpulkan dari sekolah maupun madrasah melalui SIS/ EMIS SDMI dan SIS/EMIS SMP-MTs. Data dari daerah daerah kemudian dihimpun menjadi data nasional yang dipakai Depdiknas sebagai masukan kebijakan nasional. Keluhan yang dikemukakan tentang pengumpulan data ini adalah keterlambatan pengiriman dari daerah. Sumber data pendidikan yang dapat menghasilkan indikator untuk memantau pencapaian target MDGs bidang pendidikan disajikan pada Tabel 2. Dalam tabel tersebut indikator proporsi murid kelas 1 yang berhasil mencapai kelas 5 hanya dapat diperoleh dari catatan administrasi di Depdiknas. Bila tidak tersedia dari catatan administrasi diusulkan agar indikator ini dapat didekati dengan indikator proksi dari Kor Susenas, yaitu persentase penduduk yang lama sekolahnya 5 tahun lebih. Tujuan 3: Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

Tujuan pembangunan milenium ini ingin dicapai dengan menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan. Indikator yang digunakan termasuk kontribusi perempuan dalam kerja upahan sektor non-pertanian (yang dapat diukur dengan persentase pekerja perempuan yang dibayar terhadap pekerja laki-laki di sektor non-pertanian) dan 15

Tabel 2:

Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 2 (Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua)
Indikator 9. Angka partisipasi murni di sekolah dasar (7-12 tahun) Sumber Data SIS/EMIS Kor Susenas Panel Susenas SIS/EMIS Tingkat Estimasi Kec Kab/kot N Kec

Target Target 3: Memastikan pada tahun 2015 semua anak di mana pun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar

10. Proporsi murid kelas 1 yang berhasil mencapai kelas 5 11. Persentase penduduk yang lama sekolah 5 th + 12. Angka melek huruf penduduk 15-24 tahun

Kor Susenas Panel Susenas Kor Susenas Peta buta huruf

Kab/kot N Kab/kot Kec*

Keterangan: N: nasional, P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota, Kec: kecamatan, *angka melek huruf penduduk 10-24 tahun

kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan publik khususnya di badan legislatif. Ini berarti bahwa untuk memantau tercapainya tujuan ini diperlukan keterangan tentang pendidikan, ketenagakerjaan, dan keanggotaan di lembaga legislatif atau eksekutif. Data tentang pendidikan dasar seperti sudah dijelaskan dapat bersumber dari Depdiknas, Depag serta instansi lainnya maupun BPS. Dengan alasan yang telah dikemukakan, data BPS yang lebih disarankan untuk dipakai adalah dari Kor Susenas. Data tentang ketenagakerjaan dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu survei angkatan kerja nasional (Sakernas) untuk tingkat nasional dan propinsi dan juga Susenas untuk tingkat kabupaten. Sumber yang pertama dinilai lebih akurat karena pertanyaan yang diajukan dalam survei hanya terfokus pada ciri-ciri ketenagakerjaan saja (baca Makalah 7, halan 161-182). Hanya apabila yang ingin diperiksa adalah tingkat keterkaitan antar-variabel, maka data Susenas dinilai lebih komprehensif. Untuk memperoleh indikator ketenagakerjaan yang lebih akurat di tingkat kabupaten penyesuaian data Susenas dengan Sakernas biasa dilakukan. 16

Catatan administrasi dari institusi legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), disarankan sebagai sumber data untuk menyusun indikator kontribusi perempuan dalam pengambilan keputusan di sektor publik (Bappenas, 2004). Walaupun begitu data pejabat pada eselon yang tinggi, seperti direktur (eselon 2) ke atas sangat potensial untuk digunakan. Informasi mengenai pegawai negeri dapat diperoleh dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dalam upaya memantau kesetaraan gender di daerah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) bersama BPS telah melakukan penghitungan indeks pembangunan gender (IPG) atau gender-related development index (GDI) untuk tingkat kabupaten/kota pada tahun 2002 (Wynandin Imawan, dkk, 2003). IPG adalah indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI) yang sudah dikoreksi dengan kesenjangan gender. Seperti pada penghitungan IPM, tiga komponen yang digunakan pada penghitungan IPG adalah akses pada pelayanan pendidikan dasar, akses pelayanan kesehatan, dan perbaikan daya beli masyarakat. Sebagian indikator yang dipakai dihitung dari data Susenas, yaitu meliputi angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran per kapita. Sementara itu data untuk menghitung angka harapan hidup diperoleh dari SP tahun 2000. Kesetaraan gender dapat diukur dengan membandingkan IPM dengan IPG. Makin kecil beda antara IPM dan IPG maka kesetaraan gender makin baik. Berikut adalah kriteria penentuan tingkatan keberhasilan pembangunan manusia yang reponsif gender, berdasarkan keseimbangan antara IPM dan IPG (IPM/IPG). Tabel 3. Tingkatan Status Pembangunan yang Responsif Gender
No: Kriteria Status IPM/IPG
Rendah Menengah ke bawah Mengengah ke atas Tinggi

1. IPM/IPG <50 2. >=IPM/IPG<66 3. >=IPM/IPG<80 4. IPM/IPG>=80 Sumber: Wynandin dkk, 2003

17

Pencapaian upaya pemberdayaan perempuan dapat diketahui dengan menghitung indeks pemberdayaan perempuan (IDG) atau gender empowerment measure (GEM) . IDG merupakan indeks yang menyatakan berapa besar keberhasilan upaya pemberdayaan perempuan dibandingkan dengan laki-laki terutama di bidang pengambilan keputusan publik. Penghitungan indikator ini menggunakan data yang berasal dari Susenas dan dari sekretariat DPR/DPRD untuk mengetahui keanggotaan perempuan di lembaga legislatif (BPS, Bappenas, UNDP, 2005). Indeks kesetaraan gender dan indeks pemberdayaan perempuan, mungkin karena masalah kompleksitas penghitungannya, tidak menjadi indikator yang menjadi kesepakatan global. Walaupun demikian karena indeksindeks ini sudah tersedia maka akan dicantumkan dalam Tabel 4. Sebagai tambahan perlu juga dikemukakan bahwa partisipasi perempuan dalam kebijakan publik sebagai kepala desa/lurah perlu dicakup sebagai indikator keberhasilan pembangunan gender, karena kepala desa dan lurah merupakan pembuat kebijakan di unit administrasi terkecil. Desa/kelurahan mempunyai kepala yang dipilih rakyat (kepala desa) atau ditunjuk oleh pimpinan (lurah). Data tentang kepala desa/lurah menurut jenis kelamin dapat diperoleh dari kegiatan sensus fasilitas dan potensi yang ada di desa/kelurahan di seluruh Indonesia, yang biasa disebut dengan Podes. IV. Kesehatan Tujuan 4: Menurunkan angka kematian anak Indikator tentang kematian bayi dan balita akan sangat sulit dihitung dengan pencatatan kejadian langsung. Hal ini disebabkan karena catatan administrasi instansi kesehatan tentang kematian saat ini dirasakan masih belum baik. Karena itu untuk menghitung angka kematian digunakan metode yang tidak langsung. Dengan mengumpulkan data tentang jumlah anak yang lahir hidup dan jumlah anak yang masih hidup, maka perkiraan angka kematian anak meliputi angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (Akaba) dapat diperoleh. Sumber data yang dapat dipakai adalah sensus penduduk (SP), Kor Susenas, dan survei penduduk antar sensus (Supas) yang dilakukan BPS. Di samping itu dari survei yang dilakukan BPS bersama BKKBN, dan Depkes, yaitu survei demografi dan kesehatan SDKI juga dapat digunakan untuk menghitung AKB dan Akaba.

18

Tabel 4: Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 3 (Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan)

Target
Target 4: Menghilangka n ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015

Indikator
13. Ratio APM anak perempuan terhadap lakilaki di tingkat SD 14. Ratio APM anak perempuan terhadap lakilaki di tingkat SMP 15. Ratio APM anak perempuan terhadap lakilaki di tingkat SMU/SMK 16. Ratio APM anak perempuan terhadap lakilaki di tingkat sekolah pendidikan tinggi 17. Ratio melek huruf perempuan terhadap lakilaki (15-24 tahun) 18. Kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor pertanian 19. Proporsi kursi di DPR yang diduduki perempuan 20. Proporsi pegawai wanita dengan jabatan eselon 2 ke atas 21. IDG 22. IPG-IPM 23. Proporsi lurah perempuan

Sumber Data
SIS/EMIS Kor Susenas Panel Susenas SIS/EMIS Kor Susenas Panel Susenas SIS/EMIS Kor Susenas Panel Susenas SIS/EMIS Kor Susenas Panel Susenas Kor Susenas Panel Susenas Kor Susenas Sakernas Panel Susenas DPR DPRD DPRD BKN

Tingkat Estimasi
Kec Kab/kot N Kec Kab/kot N Kec Kab/kot N Kec Kab/kot N Kab/kot N Kab/kot P N N P Kab/kot Kec

Kor Susenas Panel Susenas Panel Susenas Kor Susenas Podes

Kab/kot N P Kab/kot Desa

Keterangan: N: nasional, P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota, Kec: kecamatan

19

Dari sensus penduduk yang dilakukan secara lengkap diperoleh keterangan tentang anak yang dilahirkan hidup dan anak yang masih hidup dari seluruh perempuan usia subur di Indonesia. Walaupun kasus kematian yang dapat dicakup besar jumlahnya, keterangan ini hanya dapat menghasilkan AKB dan Akaba pada tingkat kabupaten/kota. Sementara itu, jumlah sampel dalam Kor Susenas yang relatif sangat kecil dibandingkan dengan cakupan sensus, perlu digabung dengan sampel Supas hanya untuk menghasilkan AKB dan Akaba tingkat propinsi agar lebih akurat. Seperti telah disebutkan di muka, karena kebutuhan data yang sangat mendesak pada tingkat wilayah kecil di bidang gizi, BPS (Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dkk., 2005) telah menyusun peta gizi untuk mendapatkan data status gizi balita di tingkat kecamatan. Dengan prosedur yang sama telah dibuat pula model untuk dapat membuat estimasi indikator lain, yaitu angka kematian bayi pada tingkat kecamatan. Upaya pengumpulan data di Depkes dilakukan melalui catatan administrasi yang diperoleh secara berjenjang dari Puskesmas. Di tingkat pusat data ini digabungkan dengan data dari unit lain di Depkes yang diperoleh dari rumah sakit pemerintah dan swasta. Hasilnya dihimpun dalam Profil Kesehatan Indonesia (Depkes, 2005). Jenis data yang dikumpulkan dari sumber ini sangat lengkap, selain penyakit dan kematian, juga meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak seperti imunisasi. Data imunisasi ini dapat dipakai untuk memantau pencapaian Tujuan 4. Walaupun demikian, di daerah urban diduga masih banyak kegiatan imunisasi yang ditangani swasta tidak tercatat, sehingga angka yang diperoleh dari Puskesmas perlu dilengkapi dengan data dari sumber lain. . Seperti yang dikeluhkan Depkes, kelemahan yang selama ini ditemukan adalah masalah pelaporan oleh pemberi pelayanan kesehatan swasta seperti doker praktek yang tidak tercatat. Oleh karena itu Kor Susenas dapat menjadi sumber data alternatif. Gambaran tentang sumber data yang dapat digunakan untuk menghitung indikator pembangunan milenium yang terkait dengan kematian anak disajikan pada Tabel 5.

20

Tabel 5:

Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 4 (Menurunkan Angka Kematian Anak)
Tingkat Estimasi
Kab/kot P P Kaw, U/R Kab/kot P P Kaw, U/R Kec Kec Kab/kot P Kaw, U/R

Target
Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990 dan 2015

Indikator
24. Angka kematian balita (Akaba)

Sumber Data
SP Kor Susenas+ Supas SDKI Surkesnas SP Kor Susenas+ Supas SDKI Surkesnas Peta Gizi Depkes Kor Susenas SDKI Surkesnas

25. Angka kematian bayi (AKB)

26. Persentase anak 1 tahun telah diimunisasi campak

Keterangan: P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota, Kec: kecamatan, Kaw: Kawasan Jawa,


Sumatera, dan lainnya, U/R: daerah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan)

Tujuan 5: Meningkatkan kesehatan ibu Upaya menghitung indikator angka kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan, dan nifas (AKI) untuk memantau kesehatan ibu tidak mudah dilakukan. Berbagai metode telah diperkenalkan tetapi di Indonesia, seperti juga di beberapa negara lainnya, hasil penghitungannya sering menjadi bahan perdebatan (Surbakti, dkk, 1995). Sumber data untuk menghitung AKI ada beberapa diantaranya adalah Modul Kesehatan Susenas, Supas, SDKI, dan Surkesnas. Dua pendekatan dipakai untuk menghitungnya , yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penghitungan secara langsung biasanya tidak cocok bila diterapkan pada survei berskala kecil karena kasus kematian yang ditemukan tidak banyak. Maka dari itu metode tidak langsung, seperti metode sisterhood, telah lama dipakai untuk menduga AKI. Tiga sumber data dari empat yang disebutkan di atas 21

hanya mampu untuk menghasilkan indikator AKI pada tingkat propinsi, bahkan Surkesnas hanya menghasilkan indikator tingkat kawasan. Hal itulah antara lain yang memicu Depkes untuk menyelenggarakan suatu riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, yang uji cobanya telah dilakukan pada tahun 2006. Survei ini akan memperbesar sampel Modul Kesehatan Susenas sehingga survei ini diharapkan dapat menghasilkan indikator AKI pada tingkat kabupaten/kota. Saat ini persiapan survei tersebut sudah dimulai termasuk uji coba kuesioner yang akan dipakai. Masalah kecermatan data AKI lebih banyak mengacu pada wilayah kecil. Di tingkat kabupaten ada upaya untuk mencatat adanya kehamilan dan kematian ibu namun karena kejadiannya sangat langka, maka sering kali hasil pencatatan tersebut menghasilkan angka yang dianggap oleh berbagai pihak tidak akurat. Oleh karena itu, di samping indikator persalinan dengan pertolongan tenaga medis, beberapa indikator yang mudah diperoleh, seperti status gizi ibu atau anemia wanita atau ibu hamil dapat pula diusulkan untuk dijadikan indikator proxy. Sumber data untuk menghitung angka persalinan oleh tenaga medis adalah Kor Susenas dan sumber data untuk menghitung status gizi ibu adalah SGY. Kedua sumber data tersebut dapat menghasilkan indikator untuk tingkat kabupaten/kota. Data anemi pada wanita khususnya ibu hamil, akan mudah diperoleh apabila Riskesdas, seperti telah disinggung sebelumnya, sudah dilaksanakan. Dalam survei ini akan dicakup pula pemeriksaan sampel darah penduduk. Selama ini data tentang adanya anemi pada ibu hamil dicatat oleh petugas di Puskesmas, sehingga indikator prevalensi ibu hamil yang menderita anemi dapat dihasilkan pada tingkat kecamatan. Walaupun demikian masalah rendahnya cakupan pencatatan juga perlu menjadi bahan pertimbangan. Tabel 6 menyajikan sumber data dan indikator yang dapat dihasilkan serta kekuatan estimasi dari sumber tersebut. Riskesdas yang sangat berpotensi untuk menghasilkan beberapa indikator proksi untuk memantau kesehatan ibu belum dicantumkan.

22

Tabel 6.

Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 5 (Meningkatkan Kesehatan Ibu)
Indikator
27. Angka kematian ibu (AKI)

Target
Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 1990-2015

Sumber Data
SP Kor Susenas + Supas SDKI Surkesnas Kor Susenas

Tingkat Estimasi
Kab/kot P P Kaw, U/R Kab/kot

28. Persentase pertolongan persalinan dengan tenaga kesehatan terlatih 29. Pemakaian alat kontrasepsi 30. Persentase ibu yang bergizi baik 31. Proporsi ibu hamil yang menderita anemi

Kor Susenas SDKI SGY

Kab/kot P Kab/kot

Depkes

Kec

Keterangan: P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota, Kec: kecamatan, Kawasan: Jawa, Sumatera, dan lainnya, U/R: daerah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan)

Tujuan 6: Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya Sistem pencatatan dan pelaporan kesehatan dari Puskesmas dihimpun dalam laporan profil kesehatan. Dalam laporan tersebut dicantumkan jumlah kasus dan kematian karena penyakit malaria dan beberapa penyakit menular seperti HIV/Aids, malaria, dan TBC. Kantor dinas kesehatan kabupaten/kota menghimpun laporan yang sudah mengikuti formulir baku dari seluruh Puskesmas di wilayahnya. Formulir-formulir tersebut kemudian diolah dan hasilnya kemudian diteruskan ke propinsi dan ke pusat. Secara periodik, Depkes meyajikan data tentang penyakit menular ini melalui Profil Kesehatan Indonesia. 23

Kegiatan pendataan tersebut di atas telah dimulai sejak sebelum otonomi daerah. Saat ini daerah masih secara teratur mengirimkan datanya ke pusat, hanya saja ketepatan waktu pengirimannya yang sering tidak tepat. Oleh karena itu time-lagnya, yaitu beda antara tahun rujukan data dan tahun penerbitan publikasi, menjadi lebih besar dibandingkan sebelum dilaksanakannya otonomi daerah. Karena sifatnya yang sangat teknis, ketersediaan data mengenai penyakit menular ini hanya tergantung dari kinerja Depkes dan aparat kesehatan di daerah. Oleh karena itu ketepatan waktu penyampaian laporan dari daerah menjadi sangat strategis. Dari sejumlah indikator mengenai penyakit menular, hanya angka prevalensi KB (dengan kondom) yang tersedia datanya melalui survei BPS dan BKKBN. Tabel 7 menyajikan sumber data untuk menyusun indikator MDGs. Data tentang penyakit menular umumnya merupakan data catatan administrasi, karena tidak setiap petugas survei dapat mengenali penderita. Bahkan data penyakit HIV/Aids masih sulit diperoleh terutama karena kemampuan pendeteksian penyakit ini masih belum merata di seluruh pelosok Indonesia. Lagi pula banyak anggota masrarakat yang belum secara terbuka mengakui mengidap penyakit yang membahayakan ini, termasuk kematian orang tua karena penyakit ini, sehingga survei dengan pendekatan rumah tangga belum dapat menjadi sumber data yang utama. Bila Puskesmas di setiap kecamatan sudah dilengkapi dengan laboratorium yang baik untuk deteksi penyakit ini baru data untuk masingmasing kecamatan akan tersedia. Proksi indikator penyakit menular seperti malaria pernah diupayakan untuk dihitung melalui survei dengan mengidentifikasi rumah tangga yang tidur menggunakan kelambu yang dicelup dengan insektisida, seperti yang disajikan dalam tabel. V. Lingkungan hidup Tujuan 7: Memastikan keberlanjutan lingkungan hidup

Indikator untuk mengukur pencapaian Target 9 ada yang terlalu teknis, sehingga hanya instansi tertentu yang dapat menyediakan datanya. Indikator tersebut adalah emisi CO2, dan ada yang hanya dapat diperoleh dari catatan administrasi, seperti luas lahan. Hanya beberapa indikator saja yang dapat diperoleh dari sumber data survei dari BPS. Walaupun, sebagai
24

Tabel 7:

Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 6 (Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya)
Indikator
32. Prevalensi HIV dikalangan ibu hamil yang berusia antara 1524 tahun 33. Prevalensi HIV/ AIDs 34. Angka prevalensi K B dengan kondom

Target
Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015

Sumber Data
Depkes

Tingkat Estimasi
Kab/kot

Depkes Kor Susenas SDKI Mini Survei Panel Susenas Pendataan Keluarga Depkes Depkes Modul Susenas

Kab/kot Kab/kot P P N Kec Kab/kot Kab/kot P

35. Jumlah anak yatim piatu karena HIV/AIDS Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah malaria dan penyakit lainnya 36. Angka prevalensi dan kematian karena malaria 37. Persentase rt memakai kelambu yang dicelup insektisida 38. Proporsi penduduk di daerah berisiko malaria yang menggunakan cara pencegahan dan penanganan yang efektif untuk memerangi malaria 39. Prevalensi dan kematian karena TBC 40. Angka penemuan penderita dan kesembuhan TBC
Keterangan:

Surkesnas

Kaw, (U/R)

Depkes Depkes

Kab/kot Kab/kot

P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota, Kec: kecamatan Kaw: Kawasan Jawa,


Sumatera, dan lain , U/R: urban/rural atau daerah perkotaan/perdesaan

25

contoh, indikator tentang kawasan lahan kritis dan hutan lindung disajikan dalam Podes yang dilakukan BPS, tetapi data yang diperoleh berdasarkan keterangan dari kepala desa atau lurah yang mendapatkan data dari dinas kehutanan (baca Makalah 8, halaman 183-211). Sementara itu indikator air minum dan sanitasi yang dibutuhkan untuk memantau kawasan kumuh dapat dikumpulkan proksinya melalui Modul Perumahan Susenas. Di tingkat kabupaten beberapa data tentang lingkungan hidup seperti pergeseran luas lahan kritis dan hutan lindung dikumpulkan secara rutin oleh unit kerja yang ada di lingkup Pemda. Data ini dikumpulkan oleh dinas kehutanan daerah dan secara berjenjang dikirimkan ke Departemen Kehutanan (Dephut). Senada dengan departemen lain keluhan yang dikemukakan oleh dephut adalah masalah keterlambatan laporan dari daerah. Penghitungan emisi CO2, menurut Bappenas (2004), didasarkan pada tiga faktor yaitu energi, pertanian , dan kehutanan. Pada tingkat wilayah kecil, untuk penyederhanaan, diusulkan agar pencemaran udara maupun air, dipakai sebagai indikator proksi emisi CO2. Data tentang pencemaran perlu diupayakan untuk dikumpulkan dari instansi yang menangani lingkungan hidup di tingkat daerah oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) di pusat. Sayang sekali bahwa tidak semua daerah sudah dapat mencatat pencemaran udara, tidak seperti pencemaran air, karena biasanya hanya di beberapa kota besar saja ada alat yang mengukur pencemaran udara tersedia. Ada tiga indikator lain yang diusulkan Bappenas (2004) untuk mengukur pelestarian lingkungan hidup, yaitu konsumsi energi per kapita, konsumsi zat perusak ozone, dan konsumsi kayu untuk memasak. Dari tiga indikator tersebut hanya data konsumsi kayu untuk memasak yang dihasilkan oleh BPS melalui Modul Perumahan Susenas. Dalam Tabel 8 ditampilkan sumber data yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup. Walaupun begitu data emisi CO2 hanya tersedia pada tingkat nasional dan tidak tersedia di seluruh tingkatan wilayah. Data pencemaran air diharapkan tersedia sampai tingkat kabupaten

26

Tabel 8:

Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Pembangunan Milenium 7 (Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup)
Indikator
41. Proporsi luas lahan yang tertutup hutan 42. Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan
43. Emisi CO2 44. Konsumsi energi

Sasaran
Target 9: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional

Sumber Data
Podes Dephut Dephut

Tingkat Estimasi
Kec Kec Kec

45. Pencemaran udara 46. Pencemaran air 47. Konsumsi zat perusak ozone 48. Konsumsi kayu untuk memsak Target 10 dan 11: Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada 2015 49. Proporsi penduduk dengan akses sumber air yang terlindungi (dan berkelanjutan)

KLH KLH KLH KLH KLH Modul-Susenas Kor- Susenas

N P * Kab/kot N P Kab/kot

50. Proporsi penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak 51. Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap tempat tinggal tetap
N: nasional,

Kor- Susenas

Kab/kot

Kor- Susenas

Kab/kot

Keterangan: * hanya di beberapa kota besar, Kec: kecamatan

P: propinsi,

Kab/kot: kabupaten/kota,

27

VI.

Globalisasi

Tujuan 8: Mengembangkan kerja sama global untuk pembangunan Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa dari tujuh buah target yang ditetapkan dalam upaya pencapaian tujuan ke 8 ini hanya tiga target yang terakhir, yaitu target 16, 17, dan 18 yang dapat diupayakan proksi indikatornya. Masing-masing target menyangkut ketenagakerjaan, pemenuhan kebutuhan obat yang esensial, dan akses terhadap tehnologi baru. Target 16: Bekerjasama dengan negara-nagara berkembang, untuk membangun dan mengimplementasikan strategi untuk kelayakan dan produktivitas kerja untuk remaja. Untuk memperoleh indikator angka penganguran penduduk usia 15-24 tahun, seperti telah disinggung dalam diskusi tentang indikator kontribusi perempuan, beberapa sumber data ketenagakerjaan yang penting diantaranya adalah Sakernas dan Kor Susenas. Seperti telah disebutkan Sakernas dapat menghasilkan indikator sampai pada tingkat propinsi sedangkan Kor Susenas dapat menghasikan indikator sampai tingkat kabupaten setelah ada penyesuaian dengan angka propinsi. Target 17: Bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk menyediakan akses terhadap obat yang terjangkau, dengan indikator proporsi penduduk dengan akses terhadap obat-obatan essensial yang terjangkau dan berkelanjutan. Dari Kor Susenas dapat diperoleh indikator yang dapat menjadi proksi indikator tersebut, misalnya proporsi penduduk yang mendapatkan akses pelayanan medis. Sementara itu Modul Kesehatan Susenas dan SDKI, juga berpotensi besar untuk menyediakan indikator proksi , yaitu pengeluaran rumah tangga untuk obat-obatan. Taget 18: Bekerja sama dengan sektor swasta untuk memperluas teknologi informasi dan komunikasi, dengan indikator: a. Pelanggan telepon per 1000 penduduk, dan b. Penggunaan komputer personal per 100 penduduk Ada dua komponen sumber data yang dipakai untuk menghitung dua indikator tersebut. Sumber data yang pertama adalah penggunaan tilpon dan komputer dalam rumah tangga dan yang ke dua di luar rumah tangga. Oleh karena itu dalam penulisan Target ke 18 tersebut disebutkan tentang adanya kerja sama dengan pihak swasta agar data yang dihimpun mancakup dua komponen sumber data yang diperlukan. Kor Susenas 2005 hanya mencakup pertanyaan tentang pemilikan telepon dan komputer dan ini hanya dapat dimanfaatkan sebagai proksi indikator. 28

Tabel 9 menyajikan sumber data untuk menghitung indikator pengangguran dan proksi indikator yang berkaitan dengan akses terhadap obat-obatan esensial dan tehnologi informasi, yaitu tilpon dan komputer personal.
Tabel 9: Sumber Data untuk Menyusun Indikator Pemantauan Pencapaian Pembangunan Milenium 8 (Mengembangkan kerja sama global utuk pembangunan)

Target

Indikator

Sumber Data

Tingkat Estimasi
P Kab/kot

Target 16: Bekerja sama dengan negara-nagara berkembang, untuk membangun dan mengimplementasikan strategi untuk kelayakan dan produktivitas kerja remaja Target 17: Bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk menyediakan akses terhdap obat yang terjangkau Taget 18: Bekerja sama dengan sektor swasta untuk memperluas teknologi informasi dan komunikasi

52. Angka penganguran usia 15-24 tahun

Sakernas Kor Susenas

53. Proporsi penduduk dengan akses terhadap pengobatan medis 54. Pengeluaran untuk obat-obatan 55. Proporsi rt pelanggan telepon 56. Proporsi rt pengguna komputer personal

Kor Susenas

Kab/kot

Modul Susenas

Kor Susenas

Kab/kot

Kor Susenas

Kab/kot

Keterangan: P: propinsi, Kab/kot: kabupaten/kota.

29

VII. Pembahasan Upaya pemantauan keberhasilan pembangunan umumnya tidak secara eksplisit disebutkan sebagai upaya pemantauan keberhasilan pembangunan milenium, karena pada dasarnya sebelum MDGs, program pembangunan telah ada di Indonesia. Ada tiga jenis upaya pemantauan yang dilakukan. Jenis upaya yang pertama adalah dengan melakukan tertib catatan administrasi, kemudian yang kedua adalah melalui sensus atau survei. Jenis yang terakhir adalah dengan penghitungan model atau prosedur statistik. yang juga didasarkan pada dua jenis sumber data tersebut di atas. Catatan yang rapi tentang suatu program dimulai dari jenis kegiatan, sasaran, input, proses, dan output kegiatan merupakan unsur penting dalam menilai keberhasilan program. Bila pencatatan ini dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan maka kegiatan yang ke dua yaitu sensus dan survei mungkin tidak begitu diperlukan lagi. Jenis yang ketiga yang terkait dengan model/prosedur penghitungan statistik, umumnya dibuat untuk menutup kekurangan suatu jenis data tertentu yang sangat dibutuhkan. 7.1 Catatan Administrasi Pemantauan terhadap hal terkait dengan kasus langka, seperti kematian ibu dan kasus terjadinya beberapa penyakit menular seperti TBC dan malaria serta kasus yang harus diukur dengan alat yang sangat teknis, seperti pencemaran udara, sangat cocok memakai data catatan administrasi. Bila indikator dari kasus yang langka ini akan dicari datanya melalui suatu survei, maka akan dibutuhkan sampel yang sangat besar untuk dapat menemukan kasus; dan ini akan membutuhkan biaya yang sangat besar. Dalam penghitungan indikator dari data catatan administrasi perlu diperhatikan berbagai hal, antara lain: 1) Pembilang atau nominator Cakupan pencatatan mengacu pada peristiwa atau kasus yang terjadi di suatu tempat. Ada kalanya kasus yang tercatat hanya menyangkut orang yang secara aktif datang atau terdaftar di suatu pencatatan dan mereka yang mengalami kasus berada di luar jangkauan para pencatat. Apabila kasus yang tidak tercatat seperti ini terlalu besar jumlahnya, maka pendekatan ini tidak menghasilkan angka yang cermat. Contoh yang dapat 30

dikemukakan di sini adalah penghitungan indikator AKI. Dari catatan administrasi di rumah sakit, klinik bersalin, Puskesmas, dan pelayanan kesehatan lainnya dapat diperoleh berapa jumlah kematian ibu yang sedang hamil, melahirkan, dan dalam masa nifas. Angka ini akan menjadi angka pembilang yang baik bila kejadian di luar institusi di atas tidak ada. Di samping itu, bila indikator akan disajikan pada wilayah yang sangat kecil, apalagi pada rentang waktu yang pendek, juga berbahaya, karena ada kemungkinan hasilnya akan sangat kecil atau bahkan tidak ada kasus yang ditemukan. Oleh karena itu sebelum memakai pendekatan catatan administrasi untuk menghitung indikator, cakupan pencatatan kasus harus meliputi seluruh wilayah. 2) Penyebut atau denominator Indikator dihitung dengan membagi pembilang dengan suatu penyebut, yaitu jumlah penduduk yang memenuhi syarat atau eligible persons. Masalahnya adalah pencatatan penduduk tidak selalu diperbaharui setiap saat, sehingga jumlah penduduk dengan rujukan waktu yang sesuai dengan waktu pencatatan kasus tidak selalu sama. Untuk menghitung indikator dengan pendekatan ini, harus digunakan penghitungan jumlah penduduk sehingga waktu rujukannya sesuai. Angka pertumbuhan kelompok penduduk yang diteliti perlu diketahui untuk memperkirakan jumlah kelompok penduduk sesuai waktu rujukan. 3) Lokasi atau tempat tinggal penduduk Sering kali pencatatan administrasi tidak mencantumkan tempat tinggal penduduk. Akibatnya kalau angka atau indikator akan dipilah menurut daerah tempat tinggal, maka indikator tidak selalu diperoleh. Sebagai contoh pencatatan administrasi sekolah mungkin mencantumkan alamat murid yang berasal dari wilayah administrasi lain, tetapi data ini tidak selalu diolah. 7.2 Sensus dan Survei Dengan masih rendahnya tertib administrasi, pendekatan sensus dan survei merupakan alternatif. Karena sensus memerlukan biaya besar dan pengolahan data yang lama, maka survei yang dilakukan dengan sistem sampling lebih banyak diminati. Kelebihan sensus adalah dapat terdeteksinya anggota kelompok sasaran program, sementara dengan sistem sampel karakteristik individu di wilayah program hanya sebagian 31

kecil saja yang dikunjungi sehingga catatan yang tersedia juga hanya terbatas. Oleh karena itu hasil survei hanya dapat dipakai untuk kebijakan makro dan tidak untuk kegiatan intervensi. Dibandingkan dengan catatan administrasi, survei mempunyai beberapa keuntungan antara lain penghitungan indikatornya lebih mudah. Dari hasil survei, pembilang dan penyebut untuk menghitung indikator selalu dapat dihasilkan dengan rujukan waktu yang sama. Survei dapat pula dirancang untuk menghasilkan berbagai indikator sekaligus. Jadi dalam waktu yang sama hampir semua indikator MDGs akan dapat diperoleh. Hal yang perlu diperhatikan adalah ukuran sampelnya. Setiap indikator yang akan dihitung dari survei yang dirancang perlu mendapatkan alokasi sampel yang memadai sehingga sampling errorrnya tidak terlalu besar. Kelebihan lainnya dari suatu survei adalah bahwa pendekatan ini paling tepat digunakan untuk menjaring informasi yang tidak terlalu tehnis pengukurannya dan banyak terjadi di masyarakat. Saat ini sumber data utama untuk menyusun indikator MDGs adalah survei yang dilakukan oleh BPS. Walaupun dilakukan oleh BPS, survei umumnya dirancang bersama departemen sektor. Ada beberapa survei malahan didanai sebagian oleh instansi di luar BPS. Secara singkat kaitan survei-survei dengan indikator MDGs digambarkan di dalam Lampiran Tabel 1. 7.3 Model dan Prosedur Penghitungan Statistik Penghitungan indikator dengan model statistik digunakan ketika data yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan. Model statistik yang dipakai dalam studi umumnya disebabkan sangat terbatasnya data pada tingkat kecamatan sementara pengambilan kebijakan pembangunan harus dilakukan pada tingkat kabupaten dan kota. Susenas yang dikenal sebagai sumber data kemiskinan hanya menghasilkan angka kemiskinan secara cermat sampai tingkat propinsi dan secara kasar sampai tingkat kabupaten tidak sampai pada tingkat kecamatan. Dalam model yang diidentifikasi terdapat dua jenis pendekatan, yaitu yang pertama, dengan memakai beberapa sumber data dengan rujukan waktu yang hampir bersamaan, dan pendekatan yang kedua, memakai satu jenis sumber data tetapi dengan waktu rujukan yang berbeda-beda. Indikator yang dihitung terkait dengan kemiskinan, buta huruf, status gizi balita, dan kematian bayi. Keempat indikator ini merupakan indikator MDGs yang penting. 32

1) Modelling Model peta kemiskinan yang dibuat didasarkan pada tiga sumber data, yaitu SP yang mencakup seluruh populasi penduduk dengan pertanyaan yang terbatas dan sumber data Modul Konsumsi Susenas yang mengumpulkan informasi lengkap tetapi dengan jumlah sampel yang terbatas. Dengan memakai model regresi yang menunjukkan keterkaitan antar-variabel dari dalam Susenas dan Podes yang sesuai dengan Susenas, kemudian dibuat angka prediksi. Angka kemiskinan diprediksi dengan data yang tersedia dalam SP dan Podes keseluruhan. Dengan model seperti ini telah pula dibuat peta gizi yang menghasilkan juga peta AKB. Kelemahan dari kedua pendekatan di atas adalah bahwa data kemiskinan kecamatan yang diperoleh akan mengacu pada tahun rujukan seperti sensus yaitu tahun 2000. Padahal sensus hanya dilakukan setiap sepuluh tahun sekali, sehingga data kemiskinan hanya akan diperoleh setiap 10 tahun sekali. Jangka waktu ini oleh pembuat kebijakan di bidang pengentasan kemiskinan dan lainnya dipandang terlalu panjang. Keberatan lain juga dikeluhkan oleh para pelaksana program, karena angka kemiskinan kecamatan ini diturunkan dari data sensus dan survei yang tentu saja tidak dapat menampilkan siapa-siapa yang miskin dan di mana alamat lengkapnya. 2) Prosedur statistik Jangka waktu sepuluh tahun untuk menghasilkan data kemiskinan yang dirasa terlalu panjang, ditanggapi dengan upaya menghitung angka kecamatan. Seri data Susenas yang sudah bertahun-tahun ada, dimanfaatkan. Caranya dengan menggabungkan data Susenas berbagai tahun tersebut menjadi satu untuk menambah sampel rumah tangga per kecamatan. Sebelum digabungkan data tersebut diberi bobot terlebih dahulu dengan angka pertumbuhan yang sesuai dengan tahun rujukan. Ketidaktersediaan data buta huruf dalam SP 2000 juga telah memotivasi berbagai pihak seperti Depdiknas dan BPS untuk memperoleh data buta huruf di wilayah kecil dengan penghitungan statistik terhadap seri data Susenas. Dengan menggunakan prosedur yang mirip dengan cara menghitung penduduk miskin kecamatan, maka jumlah penduduk yang buta huruf dapat disajikan. Peta upaya pemantauan program kemiskinan dan program yang terkait dengan MDGs lainnya yang disajikan di atas hanya menyangkut apa yang dilakukan di tingkat pusat. Untuk melengkapi peta, sangat penting untuk dirancang juga pemetaan upaya seperti itu di tingkat daerah. 33

VIII. Kesimpulan dan Saran


1. Kesimpulan Di tingkat pusat, banyak sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk memantau dan mengevaluasi MDGs walaupun kegiatan pengumpulan data dari sumber tersebut tidak secara spesifik dirancang untuk itu. Disusunnya model dan prosedur statistik untuk menghitung indikator pada tingkat kecamatan menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk pengambilan kebijakan terhadap kecamatan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Karena keduanya diturunkan dari sumber data yang sudah lama maka hasil penghitungannya juga mengacu pada waktu yang sudah lama berlalu atau tidak up-to-date lagi. Ada indikasi kuat bahwa kegiatan pengumpulan data sektoral hasil catatan administrasi untuk mendapatkan data terhambat karena terputusnya arus data dari daerah ke pusat atau terlambatnya daerah mengirimkan laporan hasil pendataannya. Disamping itu terdeteksi juga adanya ketidakakuratan dalam menentukan pembilang atau penyebut dalam penghitungan indikator. Hal tersebut di atas akan memperkecil peluang pemanfaatan data sektoral sebagai masukan pengambilan kebijakan. 2. Saran Bila sumber data akan dipakai untuk memantau maupun mengevaluasi MDGs, beberapa modifikasi perlu dilakukan untuk menyesuaikan daftar pertanyaan dengan indikator MDGs. Diperlukan indikator pada tingkat kecamatan yang dapat dipercaya agar para pimpinan di kabupaten dapat mengambil keputusan pembangunan berdasarkan data yang akurat. Hal ini dapat dilakukan dengan survei atau tertib administrasi yang cepat dan tepat. Survei terkait MDGs dengan sampel dan daftar pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan pemantauan dan dengan sampel yang tepat sangat disarankan. Disamping itu diperlukan penyempurnaan sistem statistik sektoral agar hasil kegiatan pendataan yang akurat dan cepat dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kebijakan.

34

Daftar Pustaka
Asian Development Bank - BPS. 2006. Laporan Hasil Studi Pengembangan Indikator Proksi Pemantauan Kemiskinan. TA 3841-INO, Jakarta, Maret 2006.

Agus Sutanto, Sodikin Baidowi, Irdam Ahmad (Penyunting). 2000. Metodologi Penentuan Rumah Tangga Miskin 2000, Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2001. Analisa Data Makro, Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial: Hasil Susenas 2000. Kerja Sama Badan Pusat Statistik dengan Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI . BPS, Jakarta. __________________ 2004. Statistik Kesehatan 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________ BKKBN, Depkes, ORC Macro, 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003. BPS, Jakarta. __________________ 2004. Peta Penduduk Miskin Indonesia 2000. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________ 2005. Laporan Kegiatan: Integrasi Indikator Gizi dalam Susenas 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________ 2005. Sensus Pertanian: Analisis Rumah Tangga Usaha Palawija. BPS, Jakarta. __________________ 2006. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________ 2006. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________ 2006. Statistik Potensi Desa 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. __________________ , Bappenas, UNDP. 2005. Indonesias Human Development Report: Towards a new consensus. Democracy and human development in Indonesia BPS, Bappenas, UNDP. Jakarta.

35

Bappenas. 2003. Peta Kemiskinan di Indonesia. Bappenas, 2003. ________, 2004. Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium. Bappenas, Jakarta. Departemen Kesehatan. 2005. Jakarta. Profil Kesehatan Indonesia. Depkes,

ESCAP-UNDP. 2002. Initiative for The Achievement of Millenium Development Goals in Asia and the Pacific. ESCAP, Bangkok. ESCAP-UNDP. 2002. Initiative for The Achievement of Millenium Development Goals in Asia and the Pacific: Milenium Development Goals: Lessons, Opportunity, and Challenges ESCAP, Bangkok. Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, World Food Programme, BPS-Statistics Indonesia, AUSAID. 2006. Nutrition Map of Indonesia. BPS-WFP, Jakarta.

_________________ 2005. Peta Kemiskinan Kecamatan Di Indonesia: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin dan Fakir Miskin per Kecamatan, BPS-Pusdatin-Kesos. Irawan, Puguh B., Uzair Suhaimi, Agus Sutanto, Wynandin Imawan. 1999. Crisis, Poverty, and Human Development in Indonesia 1998. Penyunting: La Ode Syafiudin BPS-Statistics Indonesia, UNPD. Surbakti Pajung, dkk. 1994. Laporan Penelitian Kualitas Data Dasar Komunitas. BPS, Jakarta. _________________ 1995. Indonesia s National Socio Economic Survey: A Continual Data Source for Analysis on Welfare Development. BPS, Jakarta. Indonesia s National Socio Economic Survey: A Continual Data Source for Analysis on Welfare Development. BPS, Jakarta. Surbakti Soedarti. 1983. The Link between Community Development and Fertility Behavior: The Case of Indonedia. PHd Dissertation, Cornell University, Ithaca, New York, USA. _____________, dkk (editors). 1995. Maternal, Infant, and Under-five Mortality in Indonesia. Proceeding of National Seminar. BPSUnicef. BPS, Jakarta. 36

_____________, 2000. Population, Education, and Household: Poverty Reduction. BPS Statistics Indonesia. ______________, 2001. Poverty Data Policy, Management, and Implementation: Country Paper Indonesia, Second Regional Workshop for East Asia on Strengthening Poverty Data Collection and Analysis. April 30- May 30, 2001. Poverty Analysis and Data Initatif (PADI), Manila, Philippines. Sutanto, Agus dan Ahmad Avenzora. 2000. Pengukuran Tingkat Kemiskinan di Indonesia 1976-1999. Metode BPS Buku 1 Seri Publikasi Susenas Mini 1999, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Tambunan, Mangara. 2003. Program Anti Kemiskinan di Indonesia: Pemetaan Informasi dan Kegiatan, Center for Economics and Social Studies, Department for Internasional Development Overseas Development Institute, Jakarta 2003. The World Bank. 2002. Millenium Development Goals. The World Bank, Washington D.C. USA. ______________ 2002. The Environment and the Milenium Development Goals. The World Bank, Washington D.C. USA. Wynandin Imawan dkk. 2004. Jumlah dan Persentase Penduduk Buta Huruf per Kecamatan, Hasil Pemetaan/ Pendataan Buta Huruf Tahun 2003. Badan Pusat Statistik dan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Departemen Pemuda Pendidikan Nasional 2004. ________________ dkk. 2003. Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender: Peta Disparitas Pencapaian antar Wilayah Tahun 2002. Badan Pusat Statistik, Jakarta. ________________ dkk. 2005. Pemetaan Kemiskinan Kecamatan di Indonesia Tahun 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. World Bank Institute. 2002. Dasar-Dasar Analisis Kemiskinan, Basic Poverty Measurement and Diagnostic Course, Penerjemah: Ali Said dan Aryago Mulia. BPS-Statistics Indonesia and World Bank Institute, Jakarta, June 10-21, 2002.

37

Lampiran Tabel 1:

Sensus/ Survei Penting Sebagai Sumber Data untuk Menghitung Indikator MDGs
Periodisitas (th terakhir) 10 tahunan (2000) Tahunan (2006) 3 Tahunan (2004) 3 Tahunan (2005) 3 Tahunan (2006) (2006) Tahunan (2006) 3,4 Tahunan (2003) (2006) Tahunan (2004?) Semesteran (2006 (2005) Tahunan (2006) 3 Tahunan (2005) 10 Tahunan (2003) (2006) Jenis Data yang Dipakai Demografi Sosial Ekonomi Kesehatan Pendidikan Kesejahteraan Tujuan MDGs 4,5 1,2,3, 4,5,6,7 1, 4, 5,7 2,3 1 Tingkat Estimasi Kab/kot Kab/kot P P P

Sumber Data Sensus Penduduk Kor Susenas Modul Kesehatan Susenas Modul Pendidikan Susenas Modul Sosial Budaya Susenas PMKS Panel Susenas SDKI Surkesnas/ Riskesdas SGY Sakernas PES Pendataan Keluarga Sejahtera Podes Sensus Pertanian Mini Survey

Instansi BPS BPS BPS BPS BPS

BPS, Depsos BPS BPS, BKKBN, Depkes Depkes BPS Depkes BPS BPS BKKBN BPS BPS BKKBN

Kesejahteraan Konsumsi rt Demografi Kesehatan Kesehatan Kesehatan Tenaga kerja Kemiskinan Kesejahteraan Lingkungan Kualitas rumah KB

1 1 4, 5,6 4,5,6 1, 5 3,8 1 1 7 1 3,6

P P P Kawasan/ Kab Kab/kot P Kec Kec Ke Kec P

38

Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Beberapa Daerah di Indonesia


(Dr. Soedarti Surbakti, Satriana Yasmuarto SSi, Amiek Chamami, SE) I. Pendahuluan Kesepakatan tentang tujuan pembangunan milenium (millenium development goals atau MDGs) yang ditandatangani oleh lebih dari 147 kepala negara dan secara aklamasi disetujui oleh 189 negara anggota Dewan Musyawarah PBB (UN General Assembly) merupakan komitmen setiap negara untuk mewujudkannya. Kesepakatan tersebut tertuang dalam delapan tujuan yang terkait dengan kemiskinan/kelaparan, pendidikan, kesetaraan gender, kesehatan, dan lingkungan hidup. Berbeda dengan banyak kesepakatan global lainnya, kesepakatan ini menelurkan suatu target kuantitatif yang diukur dengan banyak indikator yang dianggap relevan. Jumlah indikator ini makin lama makin berkembang sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan data. Dalam laporannya, ESCAP (Economic and Social Commission for Asia And The Pacific) dan UNDP (United Nations Development Program) tentang pencapaian MDGs di 36 negara Asia Pasifik telah menggunakan 48 indikator sebagai dasar perbandingan kemajuan negara-negara tersebut. Sementara itu The World Bank (2002) memasukkan 50 indikator yang diangkat dari World Development Indicators 2002 tentang pencapaian tujuan MDGs di enam kelompok negara di dunia. Tim yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, 2004), dalam laporan tentang pencapaian MDGs oleh Indonesia, membatasi tujuan pembangunan yang pokok saja sampai Tujuan 7. Keberhasilan ketujuh tujuan pembangunan milenium ini diukur dengan 52 indikator. Tulisan ini melaporkan pencapaian MDGs yang pokok dari Tujuan 1 sampai 8 di beberapa wilayah, yaitu pada tingkat propinsi meliputi Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Barat, tingkat kabupaten meliputi Kabupaten Bantaeng, Takalar, Bone, Polmas (sebelum dipecah menjadi Polman dan Mamasa), dan Kabupaten Mamuju, serta tingkat nasional. Bila pencapaian tujuan belum dapat disajikan karena suatu hal, maka angka terkini indikator akan dikupas. II. Sumber Data Sumber data survei tahunan yang cocok untuk menghasilkan indikator pada tingkat kabupaten ini adalah Kor Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Untuk melihat perkembangan pencapaian MDGs dipilih Kor Susenas tahun 2000 dan tahun 2006, yang masing-masing diselenggarakan bulan Juli dan bulan Februari oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Mengingat penyelenggaraan survei garam beryodium (SGY) diintegrasikan dengan Kor Susenas maka SGY juga dicakup sebagai sumber data laporan ini.

61

Secara umum keterangan yang dikumpulkan melalui Kor Susenas tidak berbeda dari tahun ke tahun. Namun demikian, karena kebutuhan yang mendesak dari pihak departemen sektor, sering kali ada keterangan lain yang perlu mendapat prioritas tinggi untuk dicakup dalam survei. Oleh karena itu, bila ada indikator penting yang datanya tidak dikumpulkan atau tidak tersedia pada tahun 2000 dan 2006, maka dalam makalah ini diganti dengan data dari tahun yang terdekat. Sampel yang dicakup dalam survei ini adalah sekitar 209 000 rumah tangga pada tahun 2000 dan 278 000 rumah tangga pada tahun 2006 di seluruh Indonesia. Perubahan sampel ini terjadi karena adanya pemekaran wilayah terutama pada tingkat kabupaten. Ukuran sampel per kabupaten ditentukan berdasarkan jumlah penduduk, oleh karena itu bila tidak ada pertumbuhan penduduk yang mencolok, maka pada dasarnya ukuran sampel Kor Susenas tetap tidak berubah. Rincian sampel di daerah studi pada tahun 2006 disajikan pada tabel berikut. Tabel 1: Ukuran Sampel Rumah Tangga di Daerah Terpilih No. 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Daerah terpilih Propinsi Sulawesi Selatan Kabupaten Bantaeng Kabupaten Takalar Kabupaten Bone Propinsi Sulawesi Barat Kabupaten Polmas Kabupaten Mamuju Sampel rumah tangga (2006) 14688 640 640 640 3136 640 640

Sumber: BPS (2006) Target yang ditetapkan dalam MDGs umumnya bersifat kuantitatif dengan mengacu pada data tahun 1990. Untuk melihat pencapaian MDGs angka indikator untuk tahun 2006 harus dibandingkan dengan data tahun 1990. Walaupun begitu karena rancangan Kor Susenas pada tahun 1990 tidak memungkinkan untuk menghasilkan indikator pada tingkat kebupaten, maka indikator yang dicapai pada tahun 2006 hanya akan dibandingkan dengan data tahun 2000. Pemilihan tahun dasar ini kelihatannya tepat karena otonomi daerah yang memberikan kekuasaan pada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengatur daerahnya sendiri baru mulai tahun 2001. Demikian pula untuk melihat pencapaian MDGs di tingkat propinsi, secara historis, juga tidak mungkin, karena pemecahan propinsi Sulawesi Selatan menjadi dua, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat baru dilakukan pada tahun 2006. Walaupun demikian setelah diteliti distribusi sampel Kor Susenas ternyata pemilahan ke dua propinsi tersebut, secara metodologis, dapat dilakukan. Dengan asumsi bahwa pencapaian MDGs harus merata di semua tingkatan wilayah, maka untuk mengetahui seberapa jauh MDGs sudah

62

dicapai, dalam studi ini, dipakai angka target nasional. Pemilahan data seperti yang dilakukan pada Sulsel dan Sulbar tidak dapat dilakukan terhadap Polman dan Mamasa karena jumlah sampel Kor Susenas tahun 2000 untuk Polmas tidak cukup besar untuk itu, begitu pula untuk Kor Susenas tahun 2006. Tidak semua indikator yang disajikan dalam studi ini diolah dari data dasar melainkan mengutip dari berbagai publikasi seperti dari BPS (2002), Sumantri (2003), serta Bappenas, dkk (2004). III. Keterangan yang dipilih untuk menyusun indikator Kor Susenas (lihat kuesioner pada lampiran) belum dirancang untuk mendapatkan indikator untuk melihat pencapaian MDGs, sehingga tidak semua indikator yang selama ini telah secara global disepakati dapat diperoleh dari survei ini. Walaupun begitu, makalah ini diharapkan dapat memberikan contoh suatu pemanfaatan data untuk melihat pencapaian MDGs. Keterangan tersebut berkaitan dengan: 1. Pengeluaran rumah tangga untuk menghitung kemiskinan secara kasar, 2. Pendidikan yang sedang diikuti untuk menghitung angka partisapasi murni (APM), 3. Rata-rata lamanya sekolah sebagai proksi persentase anak-anak yang dapat mencapai kelas lima SD, 4. Kemampuan membaca dan menulis untuk menghitung angka melek huruf, 5. Immunisasi untuk menghitung proporsi anak usia 1 tahun (12 23 bulan) yang sudah diimunisasi campak, 6. Persalinan yang ditolong tenaga medis (untuk kelahiran anak usia 1 tahun) 7. Lapangan kerja untuk menghitung partisipasi tenaga kerja di bidang pertanian, 8. Penggunaan alat/cara keluarga berencana (KB) oleh pasangan usia subur (PUS) untuk menghitung prevalensi pemakaian alat KB terutama kondom, 9. Perumahan untuk menghitung proporsi rumah tangga dengan fasilitas air dan sanitasi yang baik, serta akses pada tempat tinggal tetap dan teknologi baru. IV. Pencapaian MDGs Dari delapan tujuan pembangunan milenium, sementara ini, tidak semua indikatornya sudah tersedia, sehingga tidak mudah bagi negara anggota PBB, termasuk Indonesia, untuk memantau dan mengevaluasi MDGs tersebut. Oleh karena itu, penyajian akan dibatasi pada beberapa indikator yang tersedia dari Kor Susenas saja. Nilai indikator akan ditampilkan dalam gambar-gambar sebagai berikut.

63

Tujuan Pembangunan Milenium I: Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah garis kemiskinan ($1 per hari) menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015 Indikator Ada tiga buah indikator yang dipakai untuk mengukur pencapaian Target 1 MDGs, yaitu: 1) Proporsi penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, 2) Kesenjangan kemiskinan (insiden x dalamnya kemiskinan), dan 3) Kontribusi quantil pertama penduduk berpendapatan terrendah. Garis kemiskinan yang dipakai dalam laporan ini bukan $1.00 per hari melainkan mengikuti nilai rupiah yang ditetapkan oleh BPS sebagai garis kemiskinan. Data yang dipakai di sini adalah data tahun 2002 dan 2004 yang berasal dari penghitungan hasil Kor Susenas berdasarkan garis kemiskinan propvinsi yang dibuat dari Modul Susenas tahun sebelumnya. Pada akhir periode studi ini data kemiskinan propinsi dari Modul Susenas tahun 2005 yang menjadi dasar penghitungan angka kemiskinan kabupaten belum diterbitkan sehingga angka kemiskinan kabupaten tahun 2006 belum dapat disajikan. Sebagian data kemiskinan yag dipakai dikutip dari BPS (2004a) dan BPS (2004b). Gambar 1. Persentase Penduduk Miskin Tahun 2002 dan 2004
Indones ia
18.20 16.66

7.55

Sulawes i Selatan

15.90 14.90 11.50 10.22 12.99 15.80

Wilayah

Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mam as a Mam uju


Tahun 2000 0.00 Tahun 2004 Target Tahun 2015 5.00

17.00 15.66 31.40 30.78 18.70 17.67 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

Proporsi

Sumber: BPS (2004a) dan BPS (2004b) Keterangan: Data Sulawesi Selatan tahun 1999 belum dipecah)

Gambar 1 menampilkan persentase penduduk di bawah garis kemiskinan (penduduk miskin) di wilayah studi. Secara umum terjadi perbaikan kesejahteraan penduduk baik secara nasional, propinsi maupun kabupaten

64

pada kurun waktu 2002 dan 2004. Percepatan perbaikannya agak merata kecuali Kabupaten Takalar yang penurunan persentase orang miskinnya paling tinggi sampai sampai 2.8 persen melebihi penurunan di kabupaten lain. Penurunan angka kemiskinan di Polman paling kecil (kurang dari 1 persen) dibandingkan dengan kabupaten lain. Berdasarkan pada data kemiskinan tahun 1990 yang angka kemiskinannya sudah mencapai 15.10 persen (Bappenas, 2004) maka berarti bahwa target hendak dicapai adalah 7.55 persen pada tahun 2015. Angka ini masih jauh dari jangkauan; hanya Bantaeng yang sudah mendekati angka target. Bila dilihat dari indikator kuintil pertama pada periode tahun 2000-2006 pada Gambar 2, perbaikan keadaan kesejahteraan penduduk pada tingkat nasional dan provinsi tidak mendukung trend angka kemiskinan tahun 2002-2004 yang ditunjukkan Gambar 1. Jadi walaupun penduduk miskin relatif lebih sedikit jumlahnya tetapi kontribusi seperlima penduduk termiskin di wilayah studi menurun terhadap pengeluaran total, kecuali Bone dan Polmas yang meningkat relatif kecil kontribusinya (masing-masing hanya 0.7 persen dan 1.21 persen) dalam beberapa tahun terakhir ini. Gambar 2. Kontribusi Kuintil 1 (Terendah) terhadap Total Pengeluaran Tahun 2000 dan 2006
Indonesia
7.97 7.25

Sulawesi Selatan

8.35 8.05 9.65 8.80 9.41 8.45 10.24 8.73 8.67 9.37 8.68 9.99 10.13 9.21 2.00 4.00 6.00 Proporsi 8.00 10.00 12.00

Wilayah

Sulawesi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mamasa Mamuju

Tahun 2000 Tahun 2006

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015

65

Indikator Data tentang penduduk yang menderita kelaparan tidak tersedia di Kor Susenas tetapi ciri tersebut terkait erat dengan status gizi terutama balita. Oleh karena itu indikator prevalensi balita kurang gizi juga dipakai sebagai alat pemantauan. Data tentang status gizi balita dikumpulkan melalui integrasi SGY dalam Kor Susenas. Tahun integrasi yang terakhir antara dua survei tersebut dilakukan pada tahun 2005, sehingga data status gizi tahun 2006 tidak dapat disajikan (Gambar 3). Dalam gambar tersebut persentase balita kurang gizi tahun 2005 ternyata lebih kecil daripada data tahun 1999, kecuali di Bone dan Polman, yang pada tahun 2005 sebesar sekitar 27.23 persen dan 35.25 persen. Target yang hendak dicapai pada tahun 2015 adalah setengah dari angka tahun 1990. Berdasarkan interpolasi data tahun 1989 dan 1992 (Sumantri, dkk, 2000) diperoleh angka persentase balita kurang gizi sebesar 36.87 persen pada tahun 1990. Dengan demikian target yang harus dicapai pada tahun 2015 sekitar 18.44 persen. Dari semua daerah yang terpilih dalam studi, Mamuju yang paling mendekati target yang ditentukan (22.84 persen). Gambar 3. Pervalensi Balita Kurang Gizi Tahun 1999 dan 2005
Indones ia
18.4 30.00 28.04

Sulawes i Selatan

33.90 30.55 28.70 37.94 27.64 24.50 27.23 29.00 22.84 0 10 20 Propors i 30 35.25 38.20 40 50 47.10 45.20

Wilayah

Sulawes i Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mam as a Mam uju

Tahun 1999 Tahun 2005 Target Tahun 2015

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 1999 dan 2005 (angka sementara)

B. Tujuan Pembangunan Milenium 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Target 3: Memastikan pada tahun 2015 semua anak di manapun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar

66

Indikator Pendidikan dasar dapat diartikan sebagai pendidikan sekolah dasar (SD) 6 tahun atau dapat juga pendidikan yang wajib (9 tahun). Mengingat bahwa sudah lebih dari 10 yang silam Indonesia mencanangkan program wajib belajar 9 tahun, maka dalam makalah ini ditampilkan 2 buah indikator, yaitu angka partisipasi murni di SD atau APM-SD (Gambar 4) dan partisipasi murni SMP atau APM-SMP (Gambar 5). Gambar 4. APM-SD Tahun 2000 dan 2006
Indonesia
92.28 93.54 100

Sulawesi Selatan

Wilayah

Sulawesi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mamasa Mamuju


Tahun 2000 75 Tahun 2006 Target Tahun 2015 78 80 83

88.77 91.08 87.12 91.67 86.77 88.50 84.54 88.49 92.31 93.21 86.49 93.34 87.61 92.41

85

APM

88

90

93

95

98

100

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Dari Gambar 4 terlihat bahwa APM-SD pada semua tingkatan wilayah studi telah mengalami peningkatan yang bervariasi.pada periode tahun 2000-2006. Peningkatan tersebut lebih lebih lamban di daerah-daerah yang pada tahun 2000 sudah mencapai angka di atas 90 persen. Pada tahun 2006, kecuali Bantaeng dan Takalar, APM-SD sudah mencapai lebih dari 90 persen. Dengan mengacu pada target tahun 2015 yang menetapkan bahwa semua anak laki-laki dan perempuan dimanapun harus menyelesaikan pendidikan dasar, maka APM-SD yang harus dipilih sebagai target adalah 100 persen. Walaupun ada kemajuan, bagi Bantaeng dan Takalar, target yang ditetapkan dalam MDGs dirasa masih jauh untuk dijangkau. Pada tahun 2006, APM-SD di dua kabupaten tersebut masih belum mencapai 89 persen atau 11 persen di bawah target tahun 2015. Secara nasional APM-SD untuk laki-laki maupun perempuan sudah berada pada angka di atas 90 persen dan peningkatannya pada periode 2000-2005 juga lamban (Surbakti, 2005). Oleh karena itu, dengan asumsi tidak ada terobosan kebijakan pendidikan yang signifikan, maka percepatan peningkatan APM-SD di wilayah studi, kecuali dua kabupaten yang disebutkan di atas, juga akan berjalan lamban.

67

Gambar 5. APM-SMP Tahun 2000 dan 2006


Indones ia
60.27 66.52 100

Sulawes i Selatan

53.47 60.27 44.24 55.19 61.62

W ilayah

Sulawes i Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mam as a Mam uju


Tahun 2006 Tahun 2000 Target Tahun 2015 20 40

47.04 48.62 46.83 46.44 39.23 48.17 48.12 60

59.36 63.45

80

100

120

APM

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Seperti kecenderungan yang terlihat pada Gambar 4, maka pada Gambar 5, secara nasional maupun propinsi, juga ada indikasi kecenderungan yang membaik di bidang pendidikan SMP. Walaupun demikian perbaikan tersebut tidak merata di seluruh kabupaten yang diteliti. Terjadi stagnasi di Mamuju dan sedikit penurunan di Takalar pada angka yang masih di bawah 50 persen. Bila istilah pendidikan dasar diartikan sebagai pendidikan wajib 9 tahun dan ditargetkan pada tahun 2015 APM-SMP sama dengan 100, maka kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh target yang hendak dicapai. Dari percepatan kenaikan APM-SMP yang lebih lamban dari pada APM-SD, kelihatannya wajib belajar 9 tahun lebih sulit untuk diterapkan dari pada program wajib belajar 6 tahun. Hal ini diduga terkait dengan paling sedikit dua hal. Pertama hambatan yang disebabkan oleh kebijakan program pendidikan, antara lain, bahwa program wajib belajar tidak langsung diikuti dengan pembebasan biaya sekolah dan lokasi sekolah yang jauh dari lokasi tempat tinggal, serta hambatan budaya yang menyangkut anak perempuan yang kemudian menikah setelah dianggap akil-balik dan anak laki-laki yang mempunyai tugas membantu orang tua mencari nafkah. Indikator lain yang dapat mengukur keberhasilan program pendidikan adalah lama sekolah para remaja (paling sedikit 5 tahun). Indikator ini merupakan proksi indikator proporsi murid kelas satu yang berhasil mencapai kelas lima yang saat ini hanya dapat diperoleh dari catatan administrasi Departemen Pendidikan Nasional.

68

Gambar 6. Proporsi Remaja (Usia 15-24 Tahun) yang Paling Sedikit Sekolahnya 5 Tahun, Tahun 2000 dan 2006
Indonesia
91.83 93.95 100 85.97 89.33 83.53 83.51 72.37 75.11 75.94

Sulawesi Selatan

Wilayah

Sulawesi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mamasa Mamuju

87.96 85.27 92.48 83.48 78.73 81.25 86.58 100 120

Tahun 2000 Tahun 2006 Target Tahun 2015

20

40

60 Proporsi

80

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Indikator lain yang disarankan untuk dipakai dalam pengukuran pencapaian program pembangunan pendidikan adalah angka melek huruf (AMH). Angka buta huruf penduduk umur 10 tahun ke atas yang biasa disajikan BPS mengukur kemajuan pendidikan secara akumulasi. Sementara itu kelompok yang dirujuk oleh indikator AMH untuk MDGs ini adalah penduduk usia 15-24 tahun (lihat Gambar 7) agar dapat diperoleh kondisi pendidikan yang terakhir. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa secara umum ada perbaikan kondisi penduduk remaja di bidang baca tulis, walaupun masih ada kabupaten yang AMH-nya relatif sangat rendah (Bantaeng). Angkanya masih di bawah 90 persen baik pada tahun 2000 maupun 2006. C. Tujuan Pembangunan Milenium 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015

69

Gambar 7. AMH Penduduk Usia 15-24 Tahun, Tahun 2000 dan 2006
Indonesia
98.44 98.76 100 96.07 97.04 96.36 94.72 89.33 89.67 92.90 96.26 97.05 98.61 96.19 98.75 95.70

Sulawesi Selatan
Wilayah

Sulawesi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mamasa Mamuju


Tahun 2000 Tahun 2006 Target Tahun 2015

93.03

80

85

90
AM H

95

100

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Indikator Untuk mengukur keberhasilan pencapaian target di atas dipakai 4 buah rasio, yaitu rasio jenis kelamin APM SD, SMP, SMU, Perguruan tinggi (PT) dan rasio angka melek huruf. Dalam makalah ini hanya akan ditampilkan 3 rasio jenis kelamin yang menyangkut kabupaten karena penyebaran lokasi perguruan tinggi tidak merata. Hasil penghitungan indikator utuk pendidikan tinggi di wilayah kabupaten kurang cermat karena masalah kelangkaan kasus, sehingga rasio APM-PT hanya dapat mengacu pada wilayah nasional dan propinsi. Rasio jenis kelamin yang ideal, artinya kesetaraan gender telah dicapai di bidang pendidikan, adalah bila rasio sama dengan 1. Interpretasinya adalah bahwa bila rasio pada interval 0-1, maka makin meningkat (mendekati 1) rasio jenis kelamin maka kesetaraan gender di bidang pendidikan makin baik, kemudian pada interval di atas 1, maka makin menurun (mendekati 1) rasio maka kesetaraan gender di bidang pendidikan makin baik. Ratio APM anak perempuan terhadap laki-laki di tingkat SD disajikan dalam Gambar 8. Nilai indikator pada gambar tersebut menunjukkan bahwa rasio APM-SD sudah berada disekitar angka 1 artinya bahwa di tingkat SD jumlah anak perempuan yang sekolah sudah mendekati berimbang.

70

Gambar 8. Rasio APM-SD Perempuan terhadap Laki-laki. Tahun 2000 dan 2006
Indonesia 1.003 0.994 1 1.001 1.006 1.012 1.004 1.085 1.069 1.075

Sulaw esi Barat Wilayah Sulaw esi Selatan Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju Tahun 2000 0.70 Tahun 2006 Target Tahun 2005 0.75 0.80 0.85 0.90 0.95

1.028 0.972 0.993 0.994 1.032 0.991 1.040 1.00 1.05

1.10

Rasio APM

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Partisipasi anak laki-laki dan perempuan pada jenjang sekolah SMP yang ditunjukkan oleh indikator rasio APM-SMP juga dapat dikatakan seimbang. Perkembangan kesetaraan gender pun membaik. Di tingkat nasional, rasio yang pada tahun 2000 mencapai 1.042 pada tahun 2000, telah turun menjadi 1.003 pada tahun 2006. Pola semacam ini ditunjukkan pula oleh Kabupaten Bantaeng, Bone, dan Polmas. Sementara itu pola perkembangan lain, yang juga memberikan indikasi perbaikan, ditunjukkan oleh Kabupaten Takalar dan Mamuju yang angka indikatornya meningkat mendekati 1 pada kurun waktu tahun 2000-2006. Data selengkapnya mengenai rasio APM-SMP ini ada di Gambar 9. Hasil penghitungan rasio APM-SMU kelihatannya juga tercemar oleh kelangkaan kasus di tingkat kabupaten. Ini terlihat dari rasio di Bantaeng, Takalar, dan Mamuju yang mencapai antara 1.59 dan 2.10 (lihat Gambar 10). Angka ini menunjukkan bahwa ada pengaruh kelangkaan kasus di tingkat kabupaten pada hasil Kor Susenas. Untuk itu perhatian terhadap pengalokasikan ukuran sampel yang tepat dalam merancang Kor Susenas perlu ditekankan. Dari data tentang rasio AMH dapat diperoleh fakta bahwa secara nasional ada perbaikan rasio-AMH yang mengarah pada kesetaraan gender. Kecenderungan yang mendukung kesetaraan gender tersebut dapat dilihat dalam Gambar 11.

71

Gambar 9. Rasio APM-SD Perempuan terhadap Laki-laki pada Tahun 2000 dan 2006
Indonesia 1.042 1.003 1 1.125 1.110 1.069 1.094 0.822 1.214

Sulaw esi Barat

Wilayah

Sulaw esi Selatan Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju 0.812 0.8

0.979

1.131 1.067 1.021 1.082 0.93 1.0 1.3 1.5 1.465

Tahun 2000 0.5 Tahun 2006 Target Tahun 2005

Rasio APM

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Gambar 10. Rasio APM-SMU Perempuan terhadap Laki-laki pada Tahun 2000 dan 2006
Indonesia 1.037 1.000 1.00 1.273 1.328 1.002 1.097 1.105 0.800 1.145 1.477 1.196 1.332 1.588 1.403 1.721 2.090

Sulaw esi Barat

W ilayah

Sulaw esi Selatan Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju

Tahun 2000 Tahun 2006 Target Tahun 2005

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

Rasio APM

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Secara nasional kecenderungan tersebut menuju perbaikan yaitu kesetaraan gender, tetapi di antara kabupaten yang dipilih dalam studi kelihatan perbaikan kesetaraan hanya terjadi di Bantaeng. Gambar juga menunjukkan bahwa perempuan sudah sedikit melampaui laki-laki, walaupun tidak signifikan, dalam hal kemampuan membaca dan menulis. Rasio yang cenderung meningkat menjauhi angka rasio=1 menujukkan bahwa kesetaraan gender semakin tidak dicapai.

72

Gambar 11. Rasio AMH (15-24 Tahun) Perempuan terhadap Laki-laki, Tahun 2000 dan 2006
Indonesia 0.994 0.999 1.00 1.006 1.013 1.005 1.014 1.038 1.006 0.988 1.036 1.009 1.030 1.004 1.013 1.005 1.030 0.80 0.90 1.00 1.10

Sulaw esi Selatan

W ilayah

Sulaw esi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju Tahun 2000 0.70 Tahun 2006 Target Tahun 2015

Rasio AMH

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Kontribusi penghasilan dan tenaga perempuan dalam pekerjaan nafkah (yang dibayar) merupakan salah satu indikator penting untuk melihat kesetaraan gender dalam kegiatan publik. Terkait dengan indikator ini, hanya penghasilan pekerja sebagai buruh dan jumlah pekerja di sektor non pertanian yang dicakup dalam Susenas. Oleh karena itu kontribusi yang dilaporkan di sini adalah kontribusi jumlah pekerja saja. Dalam Gambar 12 ditunjukkan adanya perbaikan yang relatif kecil dari kontribusi perempuan dalam pekerjaan nafkah di sektor non-pertanian. Pola ini terjadi baik pada tingkat nasional, propinsi, maupun kabupaten kecuali Kabupaten Bantaeng dan Bone yang perbaikannya lebih signifikan dibandingkan dengan wilayah terpilih yang lain. Peningkatan yang terjadi di Bantaeng adalah yang tertinggi dari 35.71 pada tahun 2000 dan mencapai 52.42 pada tahun 2006. Sementara itu peningkatan kontribusi di Bone dari 33.10 menjadi 46.16 pada periode yang sama. Gambar 12. Kontribusi Pekerja Peremuan yang Dibayar di Sektor Non-pertanian Tahun 2000 dan 2006
Indones ia
30.98 32.52

Sulawes i Selatan

W yh ila a

Sulawes i Barat Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mam as a Mam uju


10.00 20.00

29.51 31.70 32.39 33.52 35.71 25.09 32.72 33.18

52.42

46.18 38.22 42.80

22.89 26.01 30.00 40.00 50.00 60.00

Tahun 2000 Tahun 2006

Proporsi

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

73

D. Tujuan Pembangunan Milenium 4: Menurunkan Angka Kematian Anak Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990 dan 2015 Indikator Untuk melihat pencapaian target tersebut di atas indikator tentang angka kematian baik bayi maupun balita merupakan indikator yang paling penting. Indikator itu tidak mudah untuk dikumpulkan, sehingga diusulkan indikator proksinya, yaitu persentase anak diimunisasi campak sebelum usia 1 tahun atau proporsi anak usia 1 tahun yang telah diimunisasi campak (Gambar 13). Karena menggunakan indikator proksi kematian bayi dan anak ini dengan angka imunisasi maka dalam laporan ini diusulkan agar target imunisasi ini ditetapkan saja 100 persen Gambar 13 menunjukkan bahwa persentase anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak membaik di wilayah yang diteliti. Kondisi cakupan imunisasi campak pada balita di Indonesia membaik dari 36.65 persen di tahun 2000 menjadi 81.70 persen di tahun 2006. Di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat juga membaik masing-masing dari 36.42 dan 22.85 persen di tahun 2000 menjadi 81.70 dan 65.74 persen di tahun 2006. Kondisi ini juga terjadi di kabupaten yang diteliti. Perbaikan cakupan imunisasi campak pada balita sangat signifikan di semua kabupaten. Kenaikan dari 15.98 persen di tahun 2000 menjadi 64.07 persen di tahun 2006 terjadi di Bantaeng, dan dari 38.21 persen menjadi 70.13 persen pada periode yang sama terjadi di Takalar. Sementara itu di Bone, Polmas, dan Mamuju angka kenaikannya masing-masing dari 38.93 persen menjadi 74.14 persen, dari 26.79 persen menjadi 67.25 persen, dan dari 21.02 persen menjadi 67.25 persen pada pewriode 6 tahun di atas. Gambar 13. Persentase Anak Usia 1 Tahun telah Diimunisasi Campak, Tahun 2000 dan 2006
Indonesia
36.65 82.16 100

Sulawesi Selatan

35.42 22.85 15.98 38.21 38.93 26.79 21.02 0 20 40 60 65.74 64.07 70.13

81.70

W ilayah

Sulawesi Barat Bantaeng Takalar Bone

74.14 67.25 59.97

Poliwali Mamasa Mamuju


Tahun 2000 Tahun 2006 Target Tahun 2015

Proporsi

80

100

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

74

E. Tujuan Pembangunan Milenium 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar nya pada 1990-2015 Indikator Penurunan angka kematian ibu yang merupakan target ke 6 MDGs ini dapat dipantau dengan menggunakan indikator persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih dan pemakaian alat kontrasepsi pada perempuan usia 1549 tahun yang telah menikah. Gambar 14 memperlihatkan bahwa Indonesia mengalami berbaikan pada angka persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih. Persentase perbaikan adalah dari 66.21 persen di tahun 2000 menjadi 73.83 persen di tahun 2006. Provinsi Sulawesi Selatan secara umum mengalami kenaikan dalam hal cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih. Dari wanita yang mempunyai anak usia satu tahun (12-23 bulan) persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih naik dari 56.21 persen menjadi 64.72 persen. Namun kondisi ini tidak diikuti oleh semua kabupaten yang yang diteliti. Dua kabupaten yaitu Kabupaten Bone dan Mamuju mengalami penurunan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih turun dari 71.22 persen menjadi 51.57 persen di Kabupaten Bone dan dari 31.84 menjadi 24.94 di Kabupaten Mamuju. Sementara itu Kabupaten Bantaeng, Takalar dan Poliwali Mamasa mengalami perbaikan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih di tiga kabupaten tersebut berturutturut mencapai 36.09, 67.71, dan 49.49 persen di tahun 2006, dari hanya 19.37, 33.91, dan 33.91 persen pada tahun 2000. Gambar 14. Persentase Kelahiran Anak Usia 12-23 Bulan yang Ditolong Tenaga Kesehatan Terlatih Tahun 2000 dan 2006
Indonesia 66.21 73.83

Sulaw esi Selatan

60.81 64.72 33.41 35.41 19.37 36.09 40.57 51.57 33.91 24.94 31.84 49.49

Wilayah

Sulaw esi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju

67.71 71.22

Tahun 2000 Tahun 2006

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

Persentase

Sumber: diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

75

Selain persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, penurunan kematian ibu juga ditunjukkan oleh membaiknya kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi diukur dengan pemakaian alat kontrasepsi oleh perempuan yang telah menikah usia 15-49 tahun (PUS). Gambar 15 memperlihatkan bahwa persentase pemakaian alat kontrasepsi oleh PUS di Indonesia sebesar 29.25 dan Sulawesi Selatan sebesar 19.64. Kabupaten/kota yang diteliti di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami perbaikan pada persentase pemakaian alat kontrasepsi. Perbaikan persentasenya adalah dari 28.90 menjadi 61.46 terjadi di Kabupaten Bantaeng, 24.11 menjadi 62.30 terjadi di Kabupaten Takalar, 13.29 menjadi 29.34 terjadi di Kabupaten Bone, 16.71 menjadi 29.71 terjadi di Kabupaten Poliwali Mamasa, dan 22.73 menjadi 36.73 terjadi di Kabupaten Mamuju. Gambar 15. Persentase Pemakaian Alat Kontrasepsi oleh PUS, Tahun 2000 dan 2006
Indones ia
54.84 57.91 36.76 42.59 34.43 38.82 54.56 45.91 24.75 29.34 31.32 29.71 42.84 36.73 Tahun 2000 Tahun 2006 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 61.46 62.30

Sulawes i Selatan Sulawes i Barat

Wilayah

Bantaeng Takalar Bone

Poliwali Mam as a Mam uju

Persentase

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

F. Tujuan Pembangunan Milenium 6: Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015 Indikator Penggunaan kondom oleh PUS yang merupakan salah satu indikator dari Target 7 diperlihatkan pada Gambar 16. Persentase pemakaian kondom pada PUS menunjukkan bahwa secara nasional Indonesia mengalami kenaikan

76

sedikit. Prevalensi pemakaian kondom adalah 0.42 persen di tahun 2000 naik menjadi 0.50 persen di tahun 2005. Kondisi ini tidak dapat dicerminkan oleh wilayah studi lainnya baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa kelangkaan kasus pemakaian kondom yang tidak diikuti dengan ukuran sampel yang besar menyebabkan hasil Kor Susenas kurang cermat dan dapat menyesatkan. Gambar 16. Persentase Pemakaian Kondom oleh PUS Tahun 2000 dan 2006
Indones ia
0.18 0.42 0.54

Sulawes i Selatan Sulawes i Barat

W ilayah

Bantaeng Takalar Bone Poliwali Mam as a Poliwali Mandar Mam uju

0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

0.46 0.61 0.53

0.47

Tahun 2000 Tahun 2006

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

Persentase

Sumber:
Keterangan:

Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)


Gambar ini juga menunjukkan bahwa karena kasusnya langka (kurang dari 1 persen), maka Susenas tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

G. Tujuan Pembangunan Milenium 7: Lingkungan Hidup

Memastikan Keberlanjutan

Target 10: Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar Indikator Tidak banyak indikator yang dapat dihitung dari Kor Susenas untuk dapat mengukur keberhasilan tujuan program keberlanjutan lingkungan hidup. Indikator tentang lingkungan alam sama sekali tidak dapat diperoleh dari survei ini dan hanya sebagian ciri lingkungan buatan, yaitu perumahan. Pencapaian tujuan yang terkait dengan akses terhadap sumber air nimum yang terlindung dan berkelanjutan.ditunjukkan dengan proporsi rumah tangga dengan sumber air minum yang terlindung. Gambar 17. menunjukkan persentase rumah tangga dengan akses terhadap air bersih yang terlindungi

77

dari tahun 2000 sampai 2006. Terlindung yang dimaksud di Kor Susenas adalah mata air yang tertutup dan sumbernya berjarak kurang dari 10 meter dari penampungan kotoran atau sampah. Gambar 17. Persentase Rumah Tangga dengan Akses terhadap Air Bersih TerlindungTahun 2000 dan 2006.
Indonesia 38.27 52.22 81.65

Sulaw esi Selatan

41.79 30.65 34.00

51.74

Wilayah

Sulaw esi Barat Bantaeng Takalar Bone

46.39 41.39 29.16 29.72 39.66 32.02 34.03 40.54 40 50 60 70 80 90 48.22

Poliw ali Mamasa Mamuju Tahun 2000 0 Tahun 2006 Target Tahun 2015 22.85 10 20 30

Persentase

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Rumah tangga dengan akses terhadap air bersih yang terlindungi membaik dari 38.27 persen di tahun 2000 menjadi 52.22 persen di tahun 2006. Angka untuk Provinsi Sulawesi Selatan adalah 40.58 persen rumah tangga di tahun 2000 dan meningkat di tahun 2006 menjadi 51.74. Perbaikan kondisi akses terhadap air bersih terjadi di hampir seluruh wilayah yang diteliti kecuali di Bantaeng yang menurun kondisinya dari 46.39 persen di tahun 2000 menjadi 41.39 persen. Target yang hendak dicapai tahun 2015 adalah pengurangan proporsi penduduk tanpa akses air bersih sampai separo proporsi tahun 1990. Data proporsi rumah tangga tanpa air bersih tahun 1990 (36.70 persen) diperoleh dari extrapolasi angka proporsi tahun 1992 dan 1995 dari Sumantri, dkk (2000). Pengurangan proporsi yang ditargetkan adalah setengahnya atau18.35 persen, sehingga pada tahun 2015 persentase rumah tangga yang mempunyai akses pada air bersih ditargetkan 81.65 persen. Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020

78

Indikator Proporsi rumah tangga dengan akses pada sanitasi yang layak dan pada tempat tinggal tetap adalah dua indikator yang disarankan untuk dipakai yang diperoleh dari Kor Susenas. Gambar 18 menyajikan informasi tentang akses rumah tangga terhadap sanitasi yang layak di Indonesia dari tahun 2000 ke tahun 2006. Indikator tersebut, dalam laporan ini, diartikan sebagai proporsi rumah tangga yang mempunyai fasilitas buang air besar (WC) dengan tangki septik. Persentase rumah tangga yang hanya 32.13 persen di tahun 2000 naik menjadi 52.22 persen di tahun 2006. Hal yang sama terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan. Persentase tersebut membaik dari 36.59 persen menjadi 51.74 persen pada periode yang sama. Perbaikan akses semacam ini tidak dialami oleh semua kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan/Barat. Dari 5 kabupaten yang diteliti hanya Kabupaten Takalar yang mengalami perbaikan akses rumah tangga terhadap sanitasi yang layak dari 30.75 persen di tahun 2000 menjadi 32.51 persen di tahun 2006. Kabupaten lainnya umumnya mengalami penurunan. Gambar 18. Persentase Rumah Tangga dengan Akses Sanitasi yang Layak Tahun 2000 dan 2006
Indonesia
32.13 52.22

Sulawesi Selatan

38.21 23.34 34.00 27.93 25.54 30.75 32.51 31.69 27.15 26.37

51.74

Wilayah

Sulawesi Barat Bantaeng Takalar Bone

Poliwali Mamasa Mamuju 0


Tahun 2000 Tahun 2006

16.02 18.48 16.11

10

20

30

40

50

60

Persentase

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

Penurunan tertinggi terjadi di kabupaten Poliwali Mamasa yaitu dari 26.37 persen di tahun 2000 menjadi 16.02 persen di tahun 2006. Sementara itu penurunan terendah terjadi di Kabupaten Mamuju yaitu dari 18.48 persen

79

menjadi 16.11 persen. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembangunan rumah baru dengan dengan pengadaan fasilitas WC yang memadai. Indikator lain dalam melihat kondisi kehidupan penduduk miskin adalah rumah tangga dengan tempat tinggal tetap. Dalam laporan ini indikator ini diartikan sebagai proporsi rumah tangga yang status rumahnya milik sediri, sewa, atau kontrak. Gambar 19 menunjukkan adanya penurunan akses terhadap tempat tinggal tetap pada semua kabupaten/kota yang diteliti. Di Kabupaten Bantaeng terjadi peningkatan akses terhadap tempat tinggal tetap dari 93.36 persen di tahun 2000 menjadi 95.00 persen di tahun 2006. Di Kabupaten Takalar terjadi penurunan akses terhadap tempat tinggal tetap dari 97.60 persen di tahun 2000 menjadi 94.46 persen di tahun 2006. Penurunan akses terhadap tempat tinggal tetap tertinggi terjadi di Kabupaten Bone yaitu 97.48 persen di tahun 2000 menjadi 89.17 persen di tahun 2006. Poliwali Mamasa mengalami penurunan akses terhadap tempat tinggal tetap dari 96.63 persen di tahun 2000 menjadi 92.29 persen di tahun 2006. Kabupaten Mamuju mengalami penurunan sedikit, yaitu 93.50 persen di tahun 2000 menjadi 93.13 di tahun 2006. Gambar 19. Persentase Rumah Tangga dengan Akses terhadap Tempat Tinggal Tetap, Tahun 2000 dan 2006
Indonesia 89.03 92.74

Sulaw esi Selatan

90.23 90.62 93.50 93.36

95.34

Wilayah

Sulaw esi Barat Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju Tahun 2000 Tahun 2006 84 86 88 90

95.00 97.60 96.13 97.48

94.46

92.29 93.50 93.13 92 Proporsi 94 96

96.63

98

100

Sumber: Diolah dari Kor Susenas 2000 dan 2006 (angka sementara)

80

H. Tujuan Pembangunan Milenium 8: Mengembangkan kerjasama global untuk pembangunan. Ada beberapa indikator dari Kor Susenas yang dapat diarahkan untuk mengukur indikator proksi pencapaian MDGs. Indikator tersebut terkait dengan pengangguran remaja (Target 16), akses terhadap obat-obatan yang esensial (Target 17), dan teknologi informasi dan telekomunikasi (Target 18). Dari tiga target tersebut hanya target terakhir yang akan digambarkan. Dua target lainnya didak disajikan karena ada masalah dengan faktor penimbang dan difinisi. Target 18: Bekerja sama dengan sektor swasta untuk memperluas pemanfaatan teknologi baru terutama informasi dan telekomunikasi. Variabel untuk menyusun indikator yang terkait dengan tujuan ini belum lama dikumpulkan melalui Kor Susenas. Variabel tersebut adalah pemakaian telepon (terrnasuk handphone) dan personal computer (PC). Gambar 20 menggambarkan penggunaan dua jenis alat teknologi baru dalam rumah tangga. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa pemakaian telepon lebih tinggi dibandingkan dengan pemakaian PC. Beda yang cukup signifikan ini disebabkan oleh perkembangan yang sangat cepat dari pemakaian handphone. Pemakaian yang relatif sangat tinggi adalah pemakaian rata-rata secara nasional (26.95 persen), di Sulawesi Selatan 26.79 persen), dan Bone (24.21). Gambar 20.Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Telepon dan Komputer Tahun 2006
Indonesia Sulaw esi Selatan Sulaw esi Barat 0.75 1.02 1.51 0.74 0.57 0.87 5.00 10.00 15.00 Proporsi 13.93 16.38 20.00 25.00 30.00 4.36 3.21 11.61 12.88 14.92 24.21 26.95 26.79

Wilayah

Bantaeng Takalar Bone Poliw ali Mamasa Mamuju Komputer Telepon -

81

VI. Penutup Data Kor Susenas ternyata dapat dimanfaatkan untuk menyusun indikator guna memantau dan mengevaluasi MDGs, walaupun tidak dirancang untuk keperluan itu. Sebagian dari indikator yang disusun memang masih bersifat proksi, tetapi upaya dapat dilakukan untuk secara tepat mengukur indikator yang ditetapkan. Bila Kor Susenas ingin dimanfaatkan lebih dari apa yang disajikan dalam studi ini, terutama untuk menghasilkan indikator pada tingkat kecamatan, beberapa hal dapat dikemukakan antara lain: 1. Beberapa variabel langka yang dikumpulkan seperti pertisipasi pendidikan atas/tinggi SMU, PT dan yang sederajat, serta prevalensi pemakaian kondom perlu diteliti lagi ukuran sampelnya. 2. Saat ini indikator kemiskinan masih menggunakan data pengeluaran sebagai proksi dari data pendapatan. Dalam Kor Susenas pertanyaan tetang pendapatan hanya ditanyakan kepada anggota rumah tangga terpilih yang bekerja dan menerima gaji secara teratur. Bila tingkat keterbandingan secara international ingin dipenuhi, perlu upaya agar data pendapatan dalam rupiah dikumpulkan dari seluruh anggota rumah tangga yang terpilih dalam survei. Kemudian data tersebut dikonversikan dalam dollar. 3. Penyesuaian definisi yang dipakai dalam survei dengan definisi MDGs perlu dilakukan. Pertanyaan mengenai perumahan dapat disesuaikan dengan definisi baku yang digunakan dalam MDGs. Hal ini menyangkut safe drinking water, improved sanitation, dan secure tenure. 4. Keterangan tentang status gizi perlu terus diintegrasikan dalam Kor Susenas agar data tentang status gizi anak untuk melihat tingkat kelaparan balita dapat disajikan. Data status gizi juga penting dikumpulkan dari ibu pada usia subur untuk menyusun indikator status gizi ibu sebagai proksi terhadap angka kematian ibu yang sangat sulit untuk dikumpulkan.

82

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2005. Pedoman Pencacahan Susenas. BPS, Jakarta. _________________ 2004a. Data dan Informasi Kemiskinan 2004. Buku 1: Propinsi, BPS, Jakarta. _________________ 2004b. Data dan Informasi Kemiskinan 2004. Buku 1: Propinsi, BPS, Jakarta. _________________, Bappenas, UNDP. 2004. Indonesia, Laporan Pembangunan Manusia: Menuju Sebuah Konsensus Baru, Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia. BPS, Jakarta. _________________ 2004. Indonesia, Laporan Pembangunan Manusia: Ekonomi dari Demokrasi, Pembangunan Manusia di Indonesia. BPS, Jakarta. Bappenas. 2004. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals). Bappenas, Jakarta. Suharsono Sumantri. 2000. Descriptive Analysis. Jakarta. End Decade Statistical Report: Data and Departemen Kesehatan, BPS, dan Unicef,

ESCAP-UNDP. 2002. ESCAP-UNDP Initiative for The Achievement of Millenium Development Goals in Asia and The Pacific. . UN ESCAP, Bangkok. ____________ 2002. . ESCAP-UNDP Initiative for The Achievement of Millenium Development Goals in Asia and The Pacific: Millenium Development Goals: Lessons, Opportunities, and Challenges. UN ESCAP, Bangkok. The World Bank. 2002. Millenium Development Goals: From World Development Indicators 2002. The World Bank. Washington D.C.

_____________2002. The environment and The Millenium Development Goals. The World Bank. Washington D.C. _____________2002. The gender equality and The Millenium Development Goals. The World Bank. Washington D.C.

83

.s(s[ :Lt

BES
sADAN PUSAT STA1ISTIK

SURVEI SOSTAL EITONOI1fi NASIONALPAI{EX,2006


KTERANGAN POKOK NUMAH TANGGA DAN A N G G O TR U M A H A N G G A A T
RA}IASIA

Ll. t i*1,_.

;:

[,iarj
T

Nomof rumah urul langga sampel

t]|]fr']l] '.1,1

JLrmlah yangmeninggal a.1 sejak Januan 20C3: .. ......

NIPNUS enc.6h p

4 3 KSX

pnsawrs,/pnefit*, Nlp/NMs [l]flld_-l


poDgowaslpem6|jks! Jabalan 1. SiatBPS ftopnsi J. KSX t/avKola 2. StalBPS 1. l,qtt
P!ny|i n p.ngrur.rp.fi .rik3r: P6NCISIAN OAF]M INISUNGcUHUNGGUI] DAI-AM f'ENO{WASAN SAYA OAN TEIAI1 SAYA PFRIX SA T.nlgal Tondo tln96n:

1. Slal BPSPropihsi 2. S/3l BPSKaAXob

tl

i,l

P!myttrtn prncftrh: OAFTAR SUNGGUI]-SUNGGUI] ]S BFRDASARKAN INJ SAYA IIAWANCARA OINGAN ANG6OTA RUI,IAII ]ANGGA BISPONOEN Tdntgal 6 TondB langsn: Namaislas: I ... .

') Cdt{ yan! !!at p.'ru

....... I

N 6 n a i e l . s : 1 . . . . . . . . .. . . . . . . . .

.......l

84

H|'n| ..!otr rumai unccr ssjr y6ngbrrsfiya 0u|rssiapa lng0aldanmaksn 11 dr ini bark de*asa,onsk,srak ma!punDayJ

le'lny

1 Cl s i , , . t e i l r s a ? a , r l

Nsmay6ig t$enn9!3t

x o { . K o l o f 6 ,S r o r ' v a srltur!f,tt *,han

1.X.p.ht1 3 A/:.1

1. Ucrantu

K o d . x o o n 9 . E r o rr v A ,.!.d{ lligko:j a Y! XerMp.l 8e')e4 r ra, t.o1ptl p.d|pai 41EL

6 O.eg ^b1n,c1t-E 9 ttinrl.

/ F'niltl,in 8 P.hb*1\ut1

I g*n ka1ti. ? K.|.,t 3 Cdttuq +Cdt di

^ o d . n o , o h , , L o r t uB leoro r.Fltpi

t"i." ly.Ma

| ,4e4@ to., L.,s.t r-.


? refttar& bd.d rdr, 3 Butrn iec"ls{si

' Pslrlailn 'ss3lr. M.l.l!te pqrlel.l) k! oby* *srb koftrsid, dai s1au nE!9rir+ d atornodas koma.!], dsn sja! t&.k ,.ds,rar td*ttrrn suk p!t4u {conorr.r). s.kotdr a

i jto tn {, p l.

P!d, unu.nny.2buhll!.t.ldr mlhnrk,rt.S{rrsr

85

l!fs{-......,.....
ilo urullbu l.ndung:

. . .. ..........llo.oirt

__tr!+!! _q_bjLr_l!_Ll_.r'!s!s _ti_{.! JDlfrL!14j{l


Apatahrl ybt haduprd saar$-rwancan? t. ft 2. fdak

V,' KEIEIiANO\}I KESEEm J


n [TttR IEIUA rruriel

m m n
t ,

:,:t :l '

11. !

uhul&latn bllan:

(ko R.12bih . m) aion b J*aRjl.. = 00,uolr dstan han: ..


12. Sap. raF yangmenotong poje3 ke{rhnai? lllik.n iod!jr*.brn l.ng6un0t. tol*l t. Donet 2. &dtn p$snedts lak i- Tanege

m
l)sn

i,|J
'I!r.khir

1. AFlah dabm 1 buhn t.f|khk meraounvattdlin xasaraar eop..ti bnrah|nr?{Arcrt.n d|rti t d. hl dr llril.n kod. t bilr dr, tod! 2 bit. trdd *rl . Pmll V a Da,*uad a,r

b Ertvr t Sri,l r.o"r. *--o I c Aet I lssr/grou a a.r-v"aprssesa'ceoarf iramny4 IJiit tdnur RJ .2. l.nlu .n lr R.81
2 rahJ ddi \sL"an, ap.tsh marrisbka" r."gs'TgJnF prataan!lo{ah. alaukeniab.3ohan t!n? t. y' 2 rd; >. tf,5..1 3 Lamany! ir9an99u .... ... hsn ... 4 Apa$h llarang nr3ih to,ganggu? I ye Z. Iidsk 5 a Aparah pDah mnqobatssndrn datam but.n 1 kr.tntr?
Lt

n
f--l

l---i 13 Eempa kalianal ludah mandrpa! imlnbrsi? ll b.l!m plrn.hdiimunir.lll lsltrn 0,bilN l: , 8cG d. csnpaatotbli H b. OPI r. terriais I u c Patia I l
pmah 6. Arakah drbefrAi Susu (ASl)? lbu
l

4. Duhlh 5. F&t6eluerya 6. L.i rya

"fl

bT

f -] I l

n n

1. Ya

2 rdd >. !R 151

b Jika'Ya'8.1a...1).isikan nfirribitaumur dah < I bllan&n dalam bulan umu|: 1 butan bita

t. Y,

b Je'6 obsUcrrr pengobllrn frng d,qun.lan ll.'||ll xod. I brh y.. t@d.2 bit. tjd.tl

?. r/d.r> R6l

L--.1

r.r*xonal)

z.uoaerol) r ranayr lI

jatan 6. Apakah tm.hb6rcbat Omt Ujrn rr*trirr t. rt Z tiir* > [R0l


le|apa xa{ oe.ooat lalanseb.a 1 bula. tokl; llrik.n h.lu.n!i b!.obrt j.trn untul.ltirp t.siliirsl

. h*l* &Kedp&nn*
! Alakahprnah ra*.tin6p &LEm1 t huntelgthr?

I Lsmaryedb6i ASll 2. oibriASl laje ..... c Jlkaberufixr kun! dai 7 bular,apathdrbri ASIlah dabm ?,{Fn iealJri? t. Ye 2 tutek 15. 3. Apakah p6nah dilaklrtnperneitrarn keharniid, olhnals! (doller,6idanlpe.ar,"t) kotikaan6l d daltmkandungrn? l Ya 21jdr,>lAnlainl (R.15.: 1),jsiinnt.ekuensi b Jrka_Ya' poeritsaan bnamianyan0drtalirkn. -l ! l-i 1 Tfimsler I llehamilan 0.3 btn) . . u$ia 2 T,imeelei 1l(lehamitan 4,6bhl ul|a 3 Trimesl.r lll{lshamitan usj:>?btn): . . 3.

,l n

,[,If

n
tl
L-l

, 1,,..1

t. Y,

e ndrt >, lRt0l

T
16 Paribipasj be66lolahl I Ti&hlbelLrn ','|r'th b.B.*otah > B nl 2 l,{ssftbe,re*ojri > [R.181 j ftlak betekalth lagi

LamanF raw..tnap han idalanhari)l

b.RS Srrst,
,! ,rp.ranBao'3Fftnar pambBlaar/a3ur&s, | 6onaE4unrul ropedoan b.robatFh fa*al ina, re9ldj dj b3u,.an ini? lldl.n lod.l blhyr, todr 2 b|Ir tjdd(l ! Jh(pfsl/.ir.dnt!|'3in b futt ^gulpenggnlrn b/ry. o,etpe4Bt'r:/i c JPllttllt5,tut.hit/ JPXC*tLrruttt *kio 'l M,{1.{ L-J -1 L__] .-i L) d. /r(J6rnsost * . r'Jur}3l6.rder srva$ / Dan.s.rdt I. I?KWJX t.h I T'l tt t.l L l

tl

? 1/ Xapo b.hentj be|setolah llrltft'00 dan0000 bih b.rh.nti.?brtun tihun 19951

e,ra, .........m
1.SD 2.U.lbldei,/i

rar,,,r, .............[Tl
/. sirx t. Diy'atns n

lE JnFng JerEpnd'drran dan tert.ggr/angpr.a\'

3. S,LIF Nrrxetwuta lt 1 M fs.n*ith 5. Sl{{ 6. M.Nith

9. t dona ysa'tud 10 Ddonalvsl rr. si,sl

Crnp.r. krn8. *o",-ns"\, .r,, i rEl.n8\.tug, lumt$h,prrua,tGh\b,-du "r"".A*..

l9 Po'lyolangger. pndidika I Pnuflatt 2_ Svesta

3. Lurl negan

?o Tngtar/rets tering$ yan6 poma@;A;o S 6 | S(fr''lst)


z,. raaon, rE e,tn99 yang djmil*r I rdhpnveiazahsD I tt Nty.h 6. SM( I "y
r M,,t.stnae?rah

D I

30 Lapangn usahrAdangpIuj"lJ ,;; |enpatberaiatbm. lahlngguyan! tafu (f dts sel?ngkr ongk.pnya)

irt.

ldiii.dttr4

i Y;#il:*",,*"" n 2,gl;i:"{ik"_,"
1l Dtdona tVB, d.n ,rrutr3

:Jl. Jenispola|F n4abebnderipkrjran utama ls|am, snnn0gu tafu: yano (I ulk sebngkapI ehg, ayry a)

Ll- f_l

;jL_L!aludtalrHoac:
/l

.JJWorou*on
23a &irit 'iraklran *eeaaiofiiiiiffi,
ya fda* | ) t ) , i O b D a ' r t e g s t arn d 4 d a t a sy a n g r l n r a h l l n s re.arla nggu r. Foq latu? , bex6r, ? Stotaf J Mnguruj rumah tanqaa l L.lnnya I 2 3

Ja&yxeouduta| datam prerJaan utan: serama !efinolu yang taiu -.1 L Bertsaht sendh 2. Aalsaha dbaitu buuh tdr\ I t:ttpbuM hdtt dtbryat ! >'tslorver J Eerusah.dtbtntubtNh tetar/ | bunrhdlbavt I c. Anh*uys*',.tp"ga,a, i lRt:n a. paket. bebas pedantan j dt 6. Peke4a babet dthanped*,,n! olgior v rt | rereqa rdat dtbayu )

fl

13 8rapauravgrli tes,n oa, 1um9 r aglyarg r.a.a 7a d'refima sdaru 5ebuta. petelaanuramar' dar

#*t:ffi 5#:1f1fi i,',tl"" ;:fff *" 123.


UakrR23r|=I l.niurt.n R2jr t.

I
I

u
tl T
{]

Rp
.'ru-.-.--,_

Ll-Jl ll,,

ll

-1,"^c,, nEmpunya p*al.a/,rsaha bbD, roh"nl.la rt betoga rehna sminggv y|, I ,/, Z. fdak

."

,edEn sega']g nnc:r pelEaan? ,. ya 2. Tidrk


s e a m as e n x n g gy a r g b u ? u ! ,t -t Ya,2 Trdlt

{.Jnu. p.da!a.tpa*awilan p,taTa

rrnun

Z0 .ap"latr seaans n*;;;;pG:;;;;;

{_L-r
LI

27

na'an, tl,i6cu]ffi a.u

sBpxan usalra I Uctast td.^ nagtn nPJhdaps,.,,n parenaan 1 J!-dah-ptnua p.k.1esr, tap behn ;,-da; ia|ery J ra@zn aeu nengqB ,loftlh tanoo, a :iudahNny. pckeqaanlurah, I Mel.sr sudd, cvtuo 6 lda^ ranp! netai./sn per.auML >'1q 61 gonpo,c,r' l I Leny. tutshell:

in'iffiff

--

35 Jumhh tahrndtn *atan pe,k3vnan ... 16. Jumlah anak kanduot. t ) i t/, Yar! dilahi'k:nr ]

lahui

-1

n
f

3 Ak.rabihidlp ll I b Ak mash hdlp lfn cAksud.nmsnjnes.r l[f]


r/

pernefmn99!naktn/memakar alauraKB? 1. yd 2 lidrA > lA.fttaril

fl

:8 r.ia aca pe"a"a.a.p*e-E.rl


mlnaflme?

aiEirr

,*

&

Apaian iedrng rEn!gunatadrErnib cara Kts?

abu

lr

5 Jrrnlah ha, ke,ja _ ,), D JurJah Jarnke,ja dafl setwuh F*.n., reta, har 39na selMggu y;g tai

tr

t. ya 2 tdrt >. llrr trinl J9. Arl/crra yang KB sedang djgunalan/dpskai.

u
f]

| 5.'' I sori RabKam .,ul?j sb I Mno Jumlrh.f I I J U.ml I ttttlll ---_-L_r

[1-rj=#

,ii###* itr:!,i;##, iYll#^:**,Xtr;#L


6.WKB
uplanoi/&l||dil

Lw)Wnnhekod

I Slalur gL,asaa.1 pon gunar ban lrmpa! ya,r tngqsj g I Mtikserdtn Z Xa.hstt
J. iew, 4 A"Dsl sei!,

5 Oirsr 6 Mth orcng tur/


I sehahtraudata L'^"""

T
L_..luLl

V ,q. PETIGELUARAI,I I'IAXAIIAN U TUK SELA!.IA SEMITIGGU T"ALU YAT{G oAR' ISERASAL PEMSEL|AT, FROOUXSI stliotRl. PtMSERtANi oAti
1 P.di.prdi.n a 89ra!

Junl.i (RP)

atr_-

2 Luaslantn

...

.. rni

3 a Slmbe,airmrnusr 1 6. Mata kdindr.o an l1t dtn xemasa. I Mataei tak ^ '. tedthduns i:d'g t la6pd I a! sunoat 1 S-rnu tediun| 9 Anhut;r . sunr'tat tedindurg Lst44ra 0 b Jikan 3 3: srlah !.r! tod! 3 ! d Z,laiart lenpatpe,ranpungai kolofandinJa lerdstat | < t0 n

Lannya re,isu, 1pgrng. Gp;;ib";;,


plnq Ja9!n9,dtl )

--

I
] |

2 Ufhbttjn]bi.n potror, rerdiranr[l ireteta kon6rg, tatas, dli) laptek, sagu 3 lkrnrud.n!/cunin.r.n9
a Seg!/balah

2.>nn
t Sendi Z. Be^a/I.a

3. fila*tah!

I
L]

94,ns loaelr! rapi^e-ba,,\"'$td"#* oarynF1] |e$n hat hmpa abor. Csdnq. d! s TeluayantU.Jpsyuh r

4 P e n g q ! h r a a r i t j sl r n p u rt r * g r.

I
b Susu m!rni.sui! te'rtal, susLr b!b!t, dlt 6 S N y u r . 6 a y u f t rn u r . r u n 9 r , n 9 . r , , n u i r" lu y roner kiang lar/ang bLrn.sban"n! crbe 7 k.c,ng.rerng.n tacang bnah,ftaau/ r.ecol/nf ah/tungga!mt, ro;o. rahu, 8 S u r hb u r h r n t " ' ' r . u " g q " ,a p u td u * , r . rambuian. sa'ak. d![u, nanas, smarota plsa.g, pepat!,dll)
9 M f y . k d r . l e m a k { m h y a kt e r a o e / a o r o | o l e l a p an e n r e ! i d t l .

"r;; 3 Unun t. Tdat..da

vlt. TEtiNoroci.r(oMuxtr,qqi e htFoRM,


1 Alalah dr d mradn rtpoi? I Ya

2 hdak

a Apaf,al. ortyafg firempuntrj eps .da te 1 ya 2 tCai.> lR 3J b J,k, 'Ya'.JLrnrt.h nomo. yang ,nil*rdrd ,ir Hp d

nn
I

'0

3 Apakah rnfrenpu,rya! n pesklor tompure, LaplcF. Norebcat)? I ya 2. r/da* > !R.51 -.-'..__'. 4 a Apahsh mngglnakan dinr kompulel lntuk al(lesxelnremotsb|m sebuhn yang btuJ 1. Ya 2. Ttdak>- lF"Sl !. J*a'Ya' lllr,tah(yangrrlorgunatan iasrtasblleb!l .... orang 5 hl6rne lgun.an mengg!rulan intemel d pen99unaan luard sebulan ht!, yg L Y. 2.ridal (t) (:)

B.f.$ irl,numM19u,up.", E,ru,'urr; i o p /c o a r s / u p d [ ) .

n
t]n

Eunb!.bumbunn kemr' tet;; {garam mefl.a, lelalr,tec8p veb ,.,ll) 12 Koniu,nlil.inry. a Mieinsta.t,ois basah. tihrn. _ _ _Is&rqnJn_ \s_rrj- _ ! L a l n n '{ t e f u p Leim p h ! , t l ) ? r , d
il

-___l:!!L!{10:!lt9:11I5,_rF:._{l'_)
lrka'Ya'l(d -1) 2 (o'ans) b Minurhrn non.lloholisoff dnnk. es s'fot,|lm!n.a{ rnne'.I.d,l) c. Minum|n &engrndun!rltohol an!!ur,drn rnnlman {p'r! lefas lajniya) 1{ T!,nbahu d.n 3kih Ro{ot (rotol kret [, ro*ot orjtl|l crurul -:__:-_--_----- ------:--:---

Mrk.nnn d.n rfiin{rmrni.di a Mskr.nlrdi{rcri. biskud, ba.ah tle

n
tr
!

{r)

-UT NI TT

!. ta'rnF {srih, pinang.t6rtsbu, dr.

-i"

5 J0hldrtfulrnD (Rincn la) I 'd

vua.peNcrLuaRAN gfiffiffi
srr,o,n, oiiii'irlt.) oll "roorxs'
,
f.ruln.tt- a.nt..ttit .ruln.hffi
Db {EERISiL DAR|PEItSEuAt{,

*.",,."i ;",u*o
tz an.r..rtrne a.ilii^_. .

1ry"1'1*1 -;;; ;^;- i,* ; {!ii_,1;;. ;;

*u,utn,n,,...l< u *ou, nuno fi l:i ""*, -. -- - -**'*""",- ^^ : ^ .""#;,;:,:,*"

; ;r;; :;,; ;;i;;,;;


oss"e

msfd/cuq _- :__-s_30l]n - ._r::"t tosmotrl _-__,.: ,a.b,:rr."^a -iu_ylo_u1: ls.,_olrn - otslobslfi danrs,^nra) '- ' "

ot, o;,-;, ;?il:tl1:,J.l:.."^, ;;,; ;t;;, ;;_;,


dr' oorrsr rilol d.r p

'' illTj:r:e-ry"'g'i -",,r -''n''"#;-"^ l"il;H["-:l'.:il1'c f;::e,::il"lri,"j:"fi,f.:{',"_::i."i,^u:1".;""fi ,1

;*iffi'iffi:li:i..',.'.*

s,*""";,"^ ,,"^.,_ .

.--

( R n cd n 1 6s d R h c r a n 2tl

{Rncran r -7- '| 15 30

Zl Sr*U.rp.ngt,..itrnriiffi

=ffii;g;:",.:';^*'u;""*

fi i*":j{:gijrir$f""#ffi#{ruiffi il.j*:*:nT{:,

Idiiri.dito4

L_ r,__L,[_ ]

lrngoaAnda M?ourut Anda, .p6k6llrumah dftablonkanmiskin? 1. Ya 2. ndak

tl. 5. &skah n*n.rimi kroddlsaha {s Rp 10il) pd iatrhuntoraihir? 1 Y. 2.fidtt> 3ebhunlorakh{: &npe ,uriah lf.dii yan! diterima xP) {nbuan

2 a Apak6hpornah rl nmpunydJpX Mlttrrtu m|skin? seh6VJP( Gakin4(gt! nisklrvsrlt61 1 Ya ? tdok> 1R.3..)


b Kaoarme.nDerolehnvs?

R. ..

.....

rl|J-r]

B{Jrsi

t]l

Tohln.. ......
d Siimbe.l.edrl lsaha (yanglerbesa4l 1. Ptogtan Aank L kogra,11 pengenban$t

(' P6mansBla ipF'99. r6s- JnX MW!t'lL e,era/Jo,( 66lrn4(afti mi6kin&rf al ml6kin

8.rpa td

Xectnslan Prcgtatn nKP

5. PrgXopctttlf 6 Pem?ngan

arl 5. a Apakah arvmanlan yang ada beletasebagaiTKit

.-. 1- : -----1-!'!:! f- -\6::L------, ---L-, ---i- -!


1a' {R.5 1), tuhskan ,. ar1 b J,ka iumlah mnliulJenE
dan lalll]n berala mereta mllal I rhai -eiB pe.eTar

!m:ti-l
:l r Apakah membel' 11pinsh beias mu.ah/raskf sLsna blhn t..rlhir? !

,l,' ir m- a be\P a

T-1-"1
Enlu i/baby stllel 2 Penb 3 Sopt

---,---1,-Y-u' { R - 3 .f9:ll-.111:lt------ -2: r : 'Y


b Ap.hia ysngdrblrt k 1 l b e i r p s gb r a s p.r drbayar d7 olh c Befap!rupiah kg y.ng brosa|]ye

fn

rr-r
TT''l

*o

Ll[I]
6b

rTt 1-l-r

ml

sDakah mcndapal asrsvta be e6 Bia adny8n! berse\olah paia lahunala.an 2005/2CC6 da'isunbefberkrl l!,k!n t6d! i bilryr. tod. 2bil. t drkl

R . br a l PS J i k a 6 a 1 = 1p n e r m a a te a s l $ nd a . i p e m e r i nJa h . bBsswayarq Juinlah

l P . n e r n l a hS Jr Noi.rPs 2 Peae,'lan
3 6il ota

i-r
ll i-l
I I

5 Selo/al 6 Perctanaan -l -at l


L tainrva

t) tl

TingkaiPendd*an
I

(2)

ll

SD SMP 3t\iA

4 Lernboga srasl Li U ' k r R . 6 . . . 1 . 2[.. i u u r n k ! B i o l ) C

J f f
1. v. 2. lid6t >

ttl ltU TTI n-T_l


rrTl

l6\anpen6n a.r?

t]

hibah. dsb) a Omiili{bell,vrarisan. b. Milrlpifaklamysngd|k!ssai c Dinrilih l8piberad6 pihallsin d d D [ ! & s a r ( ' bc )

Potensi Modul Survei Sosial-Ekonomi Nasional untuk Pemantauan Pembangunan Milenium


(Ir. Aryago Mulia, M.Si) I. Pendahuluan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) adalah survei rumah tangga mengenai berbagai karakteristik sosial-ekonomi penduduk, terutama yang erat kaitannya dengan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara umum perkembangan kegiatan Susenas dapat dibagi ke dalam 2 tahap; tahap I antara 1963-1991, dan tahap II mulai 1992 sampai dengan sekarang. Susenas dilaksanakan pertama kali tahun 1963 dengan sampel 16.000 rumah tangga dan hanya dilaksanakan di Pulau Jawa. Karakteristik yang dicakup adalah demografi, ketenagakerjaan dan konsumsi/pengeluaran dengan pendekatan rumah tangga biasa. Sampai dengan tahun 1970, Susenas dilaksanakan sebanyak 4 kali, dengan cakupan wilayah dan ukuran sampel berbeda. Pelaksanaan Susenas pertama sampai dengan keempat seluruhnya dibiayai dan dibantu secara teknis oleh UN. Susenas tahun 1964-1965 sudah mencakup seluruh propinsi, kecuali Maluku dan Irian, dan pada kegiatan Susenas tahun 1967, cakupan lokasinya berkurang hanya meliputi Pulau Jawa. Pada tahun 1969-1970, Susenas kembali mencakup seluruh propinsi, kecuali Maluku dan Irian. Susenas ke-5 dilaksanakan tahun 1970, dengan dana seutuhnya dari pemerintah dan ditangani seluruhnya oleh BPS, dengan cakupan sampel yang sama dengan tahun sebelumnya. Selanjutnya untuk tahun 1971-1975, BPS tidak menyelenggarakan kegiatan Susenas. Susenas dilaksanakan kembali tahun 1976 dan sejak tahun 1978, Susenas sudah dapat dilaksanakan setiap tahun sekali melalui dana pemerintah, kecuali tahun 1983 karena bersamaan dengan kegiatan Sensus Pertanian dan tahun 1988 yang bersamaan dengan kegiatan Survei Biaya Hidup (SBH). Pada tahun 1980-1991 banyak instansi sektoral meminta agar Susenas juga mencakup kebutuhan data sektor, antara lain, Ditjen Pariwisata meminta memasukkan materi perjalanan wisata, Departemen Kesehatan (Depkes) menambahkan materi antropometri (penimbangan balita) dan kesehatan, pada tahun 1986, dan Kepolisian Republik Indonesia menambahkan materi pertanyaan kriminalitas. Dalam tahap

91

tersebut secara umum banyak topik (materi pertanyaan) yang masuk ke dalam Susenas, antara lain fertilitas, pendidikan, kesehatan, perumahan, sosial-budaya, perjalanan, dan kriminalitas. Sampai dengan tahun 1981 Susenas dianggap sebagai survei konsumsi/ pengeluaran, karena materi konsumsi rumah tangga selalu hadir, sementara topik lain tidak tentu. Karena cakupan materi semakin banyak, maka sejak tahun 1981 materi konsumsi rumah tangga dipisah sendiri dan dijadwalkan 3 tahun sekali, sehingga Susenas identik dengan Survei Konsumsi, sementara materi kesehatan, pendidikan, sosial-budaya, perjalanan dan kriminalitas juga dilaksanakan 3 tahun sekali di antara tahun-tahun penyelenggaraan materi konsumsi rumah tangga atau tergantung kebutuhan pendataan. Sampai dengan tahun 1990 hanya materi konsumsi rumah tangga yang mengikuti jadual tiga tahun sekali, sementara yang lainnya tidak tentu. Sejak tahun 1992 terdapat dua set daftar pertanyaan, yaitu kor untuk estimasi sampai dengan kabupaten/kota dan modul untuk estimasi propinsi. Untuk sampel kor dan modul yang informasinya berasal dari rumah tangga yang sama, sebenarnya kedua data tersebut digabungkan untuk memperoleh informasi yang lebih detil dan lengkap, sayangnya informasi yang lengkap tersebut hanya cukup untuk mendapatkan indikator di tingkat propinsi saja. II. Perkembangan Materi Susenas Dikembangkannya materi Susenas pada tahun 1992 dengan mengenalkan istilah Kor Susenas (inti), dan Modul Susenas (sasaran/rinci), karena semakin banyaknya materi yang disertakan di dalam setiap kegiatan Susenas, sehingga perlu dipikirkan indikator apa saja yang selalu dibutuhkan setiap tahun dan indikator lainnya yang cukup tiga tahun sekali. Sebelum tahun 1992 yang disebut Kor adalah 5 (lima) karakteristik demografi yang selalu ada dalam setiap Susenas yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan. Setelah melakukan seleksi dan uji coba terhadap daftar pertanyaan yang dianggap selalu diperlukan setiap tahun dan dapat dibandingkan antarwilayah secara berlanjut, maka dibentuklah daftar tersendiri yang disebut daftar Kor. Untuk dapat menyediakan data penting bidang sosial secara rutin (tahunan) dengan indikator yang terjaga ketersediaannya, maka mulai tahun 1992 data Kor ditetapkan untuk mencakup berbagai aspek kesejahteraan rumah tangga, antara lain: demografi, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, sosial-budaya, fertilitas dan KB, perjalanan, kriminalitas, perumahan, dan konsumsi/pengeluaran.

92

Sejak tahun 1993, materi Kor dikumpulkan setiap tahun, materi Modul setiap 3 tahun secara bergantian. Modul yang dicakup Susenas dikelompokkan ke dalam 3 paket, dengan frekuensi pengumpulan datanya 3 tahun sekali. Data modul tersebut adalah: i. Konsumsi, pengeluaran dan pendapatan, tahun 1990, 1993, 1996, 1999, 2002, dan 2005; ii. Sosial-budaya, perjalanan, kriminalitas, dan kesejahteraan rakyat (kesra), tahun 1991, 1994, 1997, 2000, 2003, dan 2006, namun modul perjalanan dan kriminalitas sejak tahun 2000 tidak lagi berada di dalam Susenas sehingga di tahun-tahun tersebut modulnya adalah sosial-budaya dan pendidikan); iii. Kesehatan, pendidikan, dan perumahan, tahun 1992, 1995, 1998, 2001, 2004, dan 2007, dan karena kebutuhan khusus maka tahun 2001 diselenggarakan modul kesehatan dan perumahan. Modul 1: Konsumsi, Pengeluaran dan Pendapatan Latar belakang dikumpulkannya data Modul Konsumsi Pengeluaran dan pendapatan rumah tangga di antaranya adalah untuk mendapatkan besaran rata-rata konsumsi kalori dan protein per-kapita per hari (kecukupan asupan gizi masyarakat), yang dapat diolah untuk mendapatkan angka jumlah/presentase rumah tangga kurang gizi (miskin). Selain itu, Modul Konsumsi dilaksanakan untuk memantau pola konsumsi rumah tangga baik pola konsumsi makanan (beras, umbiumbian, ikan, daging, sayur, buah-buahan, makanan jadi, rokoktembakau, dan bahan minuman) maupun kelompok non-makanan (perumahan, bahan bakar, penerangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya). Modul Konsumsi dirancang dengan format daftar pertanyaan identitas pengenalan tempat, keterangan rumah tangga (nama kepala rumah tangga dan jumlah anggota rumah tangga), kemudian konsumsi makanan, minuman, dan tembakau untuk seluruh anggota rumah tangga selama seminggu yang lalu. Penekanan periode waktu seminggu yang lalu, 7 hari sebelum petugas datang untuk menanyakan ke responden, artinya yang dikonsumsi responden hari ini tidak dalam pencatatan survei. Pola bertanya seperti ini mempunyai kelemahan, karena bagi responden yang mempunyai daya ingat kurang mengakibatkan tidak tercatatnya beberapa bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga, menyebabkan data konsumsi makanan under estimate. Cakupan konsumsi untuk seluruh anggota rumah tangga juga menjadi penyebab under estimate. Idealnya informasi konsumsi seluruh anggota rumah tangga dapat tercatat dengan baik, namun kenyataannya

93

informasi seluruh anggota rumah tangga tidak bisa didapat, terutama bila ada anggota rumah tangga yang sering makan di luar atau di tempat kerjanya. Daftar pertanyaan Modul Konsumsi dibuat sedemikian rincinya dengan maksud membantu responden dalam mengingat semua yang dikonsumsi dalam periode rujukan, akan tetapi konsekuensinya, petugas dan responden harus meluangkan waktu yang lebih lama (lebih dari satu jam). Terdapat kemungkinan petugas ataupun responden merasa jenuh dengan wawancara selama itu, dan ingin mempercepat proses wawancara, akibatnya bisa saja beberapa rincian tidak tercatat. Daftar pertanyaan komoditi bahan makanan terdiri atas 14 jenis kelompok, seperti padi-padian (10 jenis bahan padi-padian serta hasil olahan salah satunya tepung beras), umbi-umbian (9 jenis bahan umbiumbian) sampai dengan kelompok ke-14 yaitu tembakau dan sirih (6 jenis seperti rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok putih, tembakau, sirih/pinang, dan lainnya). Yang dimaksud dengan mengkonsumsi bahan makanan adalah artinya, apabila rumah tangga membeli atau memperoleh bahan makanan dalam periode survei (7 hari yang lalu) tetapi belum habis dikonsumsi, maka yang dicatatkan hanya yang habis dikonsumsi saja, sementara yang belum dikonsumsi tidak dicatat. Jenis-jenis bahan makanan yang di dalam daftar dibuat rinci dimaksudkan agar petugas maupun responden terbantu dalam menentukan apakah suatu jenis barang dikonsumsi atau tidak dalam satu minggu terakhir. Penggunaan daftar bahan makanan seperti ini mempunyai kelemahan apabila di daerah tertentu ada makanan khas yang tidak tercakup dalam daftar. Seharusnya nilai konsumsi makanan tersebut masuk dalam kelompok lainnya, namun petugas maupun responden bisa lupa memasukkannya. Oleh sebab itu, setiap kali akan melakukan survei Modul Konsumsi Susenas harus dilakukan modifikasi (manambahkan atau mengurangi daftar bahan makanan) apabila dijumpai jenis bahan makanan baru yang banyak dikonsumsi rumah tangga, atau sebaliknya harus membuang dari daftar bahan makanan apabila sudah tidak ada lagi yang mengkonsumsinya. Yang dimaksud dengan mengkonsumsi komoditi non-makanan adalah membeli barang jenis tersebut walaupun belum digunakan. Contoh: membeli 3 stel pakaian dan baru digunakan satu stel, maka yang dicatat dikonsumsi oleh rumah tangga tetap 3 stel pakaian. Jenis komoditi non-makanan, satu bulan dan satu tahun yang lalu dijadikan sebagai referensi waktu survei. Dengan batasan waktu

94

sepanjang itu mungkin responden sudah lupa kuantitas konsumsi barang tertentu. Jenis komoditi non-makanan kelompok perumahan terdiri dari perkiraan sewa rumah, kontrak, pengeluaran minyak, gas, listrik, telepon, dan air. Kemudian ada kelompok biaya kesehatan, biaya pendidikan, pembelian barang tahan lama yang tidak termasuk barang modal, biaya transportasi, jasa dan kebutuhan lain. Ada jenis komoditi yang harus diperkirakan nilainya, seperti perkiraan sewa rumah. Informasi mengenai pengeluaran dari konsumsi makanan dan nonmakanan dikumpulkan bersamaan dengan informasi mengenai pendapatan. Data pendapatan rumah tangga sangat relevan dikumpulkan di Modul karena dapat dijadikan sebagai kontrol secara tidak langsung terhadap besarnya pengeluaran rumah tangga. Besarnya pendapatan kadang kala lebih kecil dari pengeluaran yang dicatat dalam daftar ini. Kondisi tersebut dapat terjadi apabila responden membeli suatu jenis barang dengan menggunakan uang tabungan, atau responden merasa sungkan untuk menyatakan besarnya pendapatan yang diperolehnya dan cenderung mengecilkan nilainya, mungkin karena takut kalau-kalau datanya dijadikan sebagai informasi untuk pembayaran pajak. Pertanyaan tentang pendataan diperoleh dengan menanyakan besarnya gaji rutin, upah dari usaha di sektor pertanian, non-pertanian dan jasa. Selain itu ditanyakan juga pendapatan yang berasal dari kiriman (transfer) dan lainnya. Selain Susenas, Survei BPS yang lain mengumpulkan data pendapatan adalah Survei Khusus Tabungan dan Investasi Rumah Tangga (SKTIR). Penekanan dari survei SKTIR utamanya untuk memperoleh data tabungan yang dikumpulkan setiap tahunnya dengan besaran sampel untuk estimasi di tingkat nasional. Karena kesamaan konsep dan model yang dipakai antara SKTIR dan Modul Konsumsi, maka setiap kali menyelenggarakan Modul Konsumsi, beberapa pertanyaan mengenai pendapatan rumah tangga dimasukkan untuk memperoleh estimasi pendapatan nasional dengan cakupan sampel yang bisa diestimasi sampai dengan tingkat propinsi. Modul 2: Sosial Budaya, Perjalanan, Kesra, dan Kriminalitas Modul kesejahteraan rakyat dimaksudkan untuk menangkap persepsi kepala rumah tangga tentang dampak pembangunan terhadap kemajuan dari tingkat kehidupan dan kesejahteraan rumah tangga. Responden diminta untuk membandingkan kondisi ekonomi rumah tangga, pendapatan, perumahan, fasilitas tempat tinggal, pakaian, sekolah, kesehatan, dan akses terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan.

95

Modul Sosial Budaya ditujukan untuk mengumpulkan keterangan tentang kegiatan anggota rumah tangga dalam pemanfaatan media massa, dan olahraga apa yang dilakukan selama satu minggu yang lalu. Modul Sosial Budaya dimaksudkan untuk memperoleh data yang utamanya dapat menunjukkan seberapa luas pemanfaatan media massa. Modul Kriminalitas utamanya ditujukan untuk mengumpulkan informasi rumah tangga yang menjadi korban tindak kejahatan. Hanya saja tindak kejahatan tergolong peristiwa yang jarang terjadi. Kejadian rumah tangga mengalami kejahatan kadang kala menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, sehingga beberapa informasi yang dihasilkan menjadi underestimate. Modul Pariwisata dianggap sebagai sumber informasi pola dan kebiasaan berwisata dari wisatawan dalam negeri. Data tersebut akan dapat memberikan gambaran tentang masalah yang dihadapi dalam industri pariwisata Indonesia yang merupakan masukan yang berharga bagi perencana di tingkat pusat dan daerah. Modul Sosial Budaya, Perjalanan Wisata dan Kesejahteraan Rakyat dikemas dalam satu paket pertanyaan yang disingkat dengan nama Modul MSBP. Semenjak krisis moneter tahun 1997, informasi yang dikumpulkan melalui Modul Kriminalitas dan Perjalanan Wisata semakin dibutuhkan, bahkan yang lebih rinci lagi, sehingga semenjak itu materi mengenai pertanyaan kriminalitas dan perjalanan wisata yang rinci tidak lagi disertakan di dalam Modul MSBP. Ibarat rangkaian kereta, Susenas adalah lokomotif yang membawa gerbong-gerbong yang bertambah panjang dan memuat berbagai material yang dapat memperlambat jalannya kereta karena muatannya terlalu padat. Akibatnya, beban yang harus dipikul petugas dan responden semakin berat yang mungkin menyebabkan kurang terjaganya kualitas data yang dihasilkan. Pemisahan Modul Kriminalitas dan perjalanan wisata dari Susenas MSBP adalah salah satu upaya agar kualitas data Modul Susenas yang dihasilkan semakin baik. Modul 3: Kesehatan, Pendidikan, dan Perumahan Modul Kesehatan mencakup karakteristik kesehatan untuk seluruh anggota rumah tangga. Materi kesehatan dimulai dengan pertanyaan apakah responden sakit, bila sakit, apakah diobati, apakah melakukan pengobatan ke unit pelayanan kesehatan, apakah mengalami rawat jalan untuk periode satu bulan yang lalu, apakah mengalami rawat inap untuk periode satu tahun yang lalu, besarnya biaya rawat jalan,

96

besarnya biaya rawat inap, dan apakah pernah mengobati diri sendiri. Bagi responden yang berusia 15 tahun ke atas, ditanyakan apa pernah menikah, jumlah saudara perempuan yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Di antara Modul Susenas, Modul Kesehatan yang paling banyak dan paling sering mengalami perubahan materi pertanyaan. Tuntutan perubahan didasari atas kebutuhan dari Departemen Kesehatan untuk melakukan evaluasi dan pemantauan terhadap program-program kesehatan, di samping itu juga terjadi perubahan yang mendasar mengenai paradigma kesehatan yang sebelumnya hanya memantau angka kesehatan, bergeser ke arah kualitas pelayanan kesehatan. Modul Pendidikan Susenas dirancang untuk mengumpulkan data tentang keterangan pendidikan dari anggota rumah tangga yang berumur 5-39 tahun. Beberapa keterangan yang dikumpulkan dalam daftar modul pendidikan menyangkut biaya pendidikan dari mereka yang masih bersekolah pada periode pencacahan. Anggota rumah tangga di dalam Modul Pendidikan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu mereka yang tidak/belum pernah sekolah, mereka yang masih sekolah, dan mereka yang tidak sekolah lagi. Bagi mereka yang tidak/belum pernah sekolah ditanyakan alasan dan kesertaannya dalam kegiatan kursus, sedangkan bagi mereka yang masih sekolah ditanyakan jenjang, jurusan, rata-rata lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolah, menggunakan alat transportasi apa, selama sekolah tinggal bersama siapa, apakah mengikuti kegiatan kursus-kursus di luar jam sekolah, biaya pendidikan, dan sumber biaya pendidikannya. Modul perumahan dan lingkungan diharapkan dapat menggambarkan keadaan atau kondisi rumah tinggal dan sekaligus dapat menunjukkan tingkat kesejahteraan dan kualitas perumahan. Pertanyaan Modul Perumahan Susenas dikelompokkan atas beberapa katagori yaitu kepemilikan, lokasi dan kualitas bangunan, perlengkapan dan pemanfaatan pekarangan, dan kualitas sanitasi. III. Pengembangan Jumlah Sampel Sampai tahun 1991 jumlah sampel Susenas bervariasi antar-tahun, yang berkisar antara 32.000 rumah tangga (1989) sampai dengan 55.000 rumah tangga (1980), tergantung ketersediaan dana. Pada tahun 1992 ukuran sampel dinaikkan menjadi 65.000 rumah tangga (baik untuk Kor maupun Modul), selanjutnya pada tahun berikutnya (tahun 1993), sampel Susenas Kor ditingkatkan lagi jumlahnya dari 65.000 rumah tangga menjadi 210.000 rumah tangga, agar bisa mengestimasi

97

sampai dengan tingkat kabupaten/kota, sementara modul tetap dengan sampel 65.000 rumah tangga. Sebagai catatan, sampel Modul adalah bagian dari sampel Kor, sehingga ada rumah tangga yang hanya dicacah dengan daftar Kor saja ( 145.000 rumah tangga) namun ada yang dicacah dengan daftar Kor maupun Modul ( 65.000 rumah tangga). Ukuran besarnya sampel untuk setiap kabupaten/kota ditetapkan proporsional terhadap jumlah penduduk, sehingga semakin besar jumlah penduduk, maka semakin banyak sampel yang dibutuhkan. Selama ini jumlah sampel per kabupaten/kota berkisar antara 500 -1.300 rumah tangga. Sejalan dengan perkembangan pemekaran wilayah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa, maka jumlah sampel Susenas juga ikut berkembang. Untuk Susenas tahun 2006 sampel Kor naik menjadi 209.552 rumah tangga sedangkan sampel Modul menjadi 68.800 rumah tangga, untuk 33 propinsi dan 440 kabupaten/kota. Pemilihan sampel dilakukan secara bertahap (biasanya 2 tahap), pada setiap tahap pemilihan dilakukan secara sistematik: tahap pertama, pemilihan wilayah pencacahan (wilcah)/blok sensus (BS), tahap kedua pemilihan rumah tangga. Pada pemilihan tahap pertama dan kedua digunakan kerangka sampel yang disebut Kerangka Contoh Induk (KCI) yang memuat seluruh wilcah/BS. Pada tahap kedua, dengan hasil pendaftaran rumah tangga sebagai kerangka, dipilih sebanyak 16 rumah tangga dari setiap blok terpilih. Wilcah/blok sensus (BS) adalah suatu unit wilayah kerja di bawah desa yang dibentuk dengan sejumlah kriteria, antara lain, jumlah rumah tangga atau bangunan dan batas yang jelas. Wilcah/BS dibentuk menjelang setiap sensus penduduk dan digunakan untuk jangka waktu 10 tahun. Setiap wilcah/BS tersedia sketsanya sebagai pedoman pencacahan. IV. Panel Modul Susenas (Kor dan Modul Konsumsi) Sejak tahun 2002, BPS mengembangkan kegiatan pengumpulan Modul Konsumsi yang diberi nama Susenas Panel. Susenas Panel adalah survei Kor + Modul Konsumsi di rumah tangga biasa yang sampelnya menyebar di seluruh propinsi, dengan maksud untuk mendapatkan angka estimasi rumah tangga miskin di tingkat nasional pada tahuntahun ketika survei Modul Konsumsi tidak diselenggarakan. Pada tahun 2002 sampel Modul Konsumsi 68.000 rumah tangga, dipilih sebayak 10.000 rumah tangga yang menyebar di seluruh propinsi sebagai sampel panel Modul Konsumsi tahun 2002. Maksud dari penggunaan data panel tersebut adalah untuk mempercepat perolehan hasil penghitungan

98

kemiskinan, karena apabila menunggu hasil lengkap Modul Konsumsi tahun 2002, maka estimasi rumah tangga miskinnya belum akan dapat diperoleh sebelum bulan Agustus. Data Modul Konsumsi tersebut bersama dengan data Kor pasangannya diolah terlebih dahulu untuk memperoleh estimasi kemiskinan nasional dan digunakan sebagai bagian dari bahan acuan pidato Presiden setiap tanggal 17 Agustus. Pada tahun 2003, diselenggarakan lagi kegiatan pengumpulan data panel Modul Konsumsi 10.000 rumah tangga. Karena sifatnya panel, maka rumah tangga yang terpilih sampel tahun 2002 didatangi ulang pada tahun 2003 sebagai sampel panel. Untuk rumah tangga-rumah tangga yang sudah pindah atau karena sesuatu hal terkena bencana sehingga rumah tangga terpilih sudah tidak ada lagi di lokasi, maka diputuskan untuk tidak dijadikan responden, akibatnya jumlah sampel semakin menurun. Dari perolehan hasil pengumpulan data lapangan, terdapat penurunan sekitar 5 persen, sehingga sampel panel Modul Konsumsi tahun 2003 lebih kecil dibandingkan dengan sampel panel tahun 2002. Pada tahun 2004, kembali diselenggarakan kegiatan pengumpulan data panel Modul Konsumsi 10.000 rumah tangga. Ini berarti selama dua tahun berturut-turut sampel rumah tangga yang sama dicacah kembali dengan menggunakan daftar Kor dan Modul Konsumsi. Sementara itu, untuk penyelenggaraan Susenas besar Modul non-Konsumsi (pendidikan dan sosial budaya serta kesehatan dan perumahan) tetap berjalan dengan jadual waktu yang sama (bulan Februari). Dengan denikian Susenas panel seolah-olah independent kegiatannya dengan Susenas tahun 2004. Konsekuensi dari kegiatan panel Susenas dari sisi responden adalah akan didatangi terus menerus selama 3 tahun. Untuk menghindari kejenuhan, maka pada tahun keempat (tahun 2005) bersamaan dengan diselenggarakannya survei Modul Konsumsi, maka sampel dasar panel 10.000 rumah tangga dipilih kembali dari sampel 68.000 rumah tangga, sehingga sampel panel tahun 2005 adalah sampel panel yang berbeda dengan sampel panel terdahulu. Pada tahun 2005, penyelenggaraan pengumpulan data Susenas digeser dari bulan Januari-Februari ke bulan Juli-Agustus, namun waktu penyelenggaraan panel Susenas tetap pada bulan Januari-Februari meskipun Kor Susenas dan pasangan Modulnya diselenggarakan pada bulan Juli-Agustus. Perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah pada akhir tahun 2005 dengan menaikkan bahan bakar minyak (BBM), sedikit banyak

99

mendongkrak peningkatan jumlah rumah tangga miskin. Pada tahun tersebut diselenggarakan juga pengumpulan data rumah tangga miskin. Untuk pemantauan rumah tangga miskin di tingkat propinsi, maka pemerintah memandang perlu untuk melakukan pengumpulan data panel Modul Konsumsi tahun 2007 dengan rumah tangga sampel panel 68.000 rumah tangga yang merupakan rumah tangganya sampel Modul Konsumsi tahun 2005. Agar dihasilkan data yang lebih berkualitas, maka dilakukan pencacahan dengan menggunakan kelompok petugas (tim), yang terdiri dari satu orang koordinator tim dan dua orang pencacah. Setiap tim akan mencacah di antara 3-6 kelompok segmen, di mana setiap segmen terdiri atas 16 responden terpilih. Dengan upaya tambahan ini diharapkan data konsumsi tahun 2007 dapat menghasilkan angka estimasi penduduk miskin per propinsi tahun 2007 yang lebih berkualitas. V. Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) Beberapa kabupaten yang melihat potensi yang dihasilkan dari daftar Kor dan Modul, dan juga karena kebutuhan pemerintah daerah setempat untuk dapat menghasilkan informasi indikator sampai di level kabupaten/kota, maka pemerintah daerah meminta BPS kabupaten untuk menyelenggarakan Suseda. Penyelenggaraan Suseda di kabupaten/kota merupakan momen yang tepat untuk memenuhi kebutuhan daerah, dengan biaya yang relatif murah. Suseda dalam pelaksanaannya diintegrasikan dengan Susenas melalui tiga model yaitu: 1. Dengan menambah besaran sampel Modul menjadi sama besar dengan sampel Kor sehingga cukup untuk menghasilkan indikatorindikator yang lebih banyak di level kabupaten/kota, 2. Dengan menambah besaran sampel Kor saja, sehingga bisa memperoleh estimasi sampai level kecamatan untuk indikator yang dihasilkan Kor saja, dan 3. Dengan menambahkan beberapa pertanyaan pada lembaran yang terpisah sesuai dengan jumlah sampel Kor, sehingga diperoleh indikator indikator yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Apabila ada kabupaten/kota yang melaksanakan Suseda, yaitu sampel Suseda disertakan sebagai bagian dari sampel nasional, maka estimasi kabupaten/kota yang menambah sampel bisa berbeda dengan hasil sampel tanpa tambahan. Jadi, untuk daerah yang menambah sampel Suseda tapi tidak disertakan dalam sampel nasional, dimungkinkan terdapat dua hasil estimasi yang berbeda.

100

VI. Pelaksanaan Pengumpulan Data Petugas pencacah sebelumnya sudah dilatih dengan menerapkan sistem pelatihan berjenjang. Tahap awal dilatih petugas Intama (instruktur utama) oleh Master Intama. Intama, yang telah mendapat materi pelatihan, memberikan pelatihan ke Innas (instruktur nasional). Innas kemudian melatih petugas pewawancara dan pengawas. Pencacahan dilaksanakan oleh petugas pewawancara pada bulan Pebruari setiap tahun, dengan menggunakan metode wawancara langsung (mendatangi rumah tangga terpilih). Setiap petugas mewawancarai paling sedikit 16 rumah tangga (satu blok sensus) dan paling banyak 48 rumah tangga (tiga blok sensus). Setiap 35 petugas pencacah diawasi oleh satu orang petugas pengawas. Dengan pola tersebut, setiap kali menyelenggarakan pelatihan Susenas maka akan dibutuhkan petugas Master Intama dan Intama antara 50 60 orang, petugas Innas antara 150 200 orang, dan petugas pencacah dan pengawas 16.000 orang. Ada dua pola petugas pencacah yang pernah diterapkan melaksanakan tugas wawancara di daerah untuk sampel Kor dan Modul, yaitu: 1. Menugaskan satu orang petugas pewawancara di satu rumah tangga untuk mewawancarai daftar Kor dan Modul menggunakan dua daftar pertanyaan sekaligus, 2. Menugaskan petugas Kor yang berbeda dengan petugas Modul di satu rumah tangga yang sama, atau satu rumah tangga ada dua petugas. Dengan pola pertama, sulit untuk menghindari terjadinya human error dan kenakalan petugas untuk merekayasa pengisian daftar. Dengan pola kedua bisa terjadi human error dari sisi perbedaan kualitas antarpetugas dan jawaban responden yang bisa berbeda karena didatangi dua kali. Kemungkinan responden memberikan jawaban berbeda jika wawancara dilakukan dalam waktu yang berbeda. Kemungkinan lain adalah jika petugas Kor mewawancarai kepala rumah tangga sedangkan petugas Modul mewawancarai istri kepala rumah tangga. Akibatnya pengisian dokumen Kor dan Modul bisa terjadi tidak konsisten. Pola yang paling ideal, adalah wawancara dilakukan oleh tim (kelompok pewawancara), sehingga dapat diminimalkan tingkat kesalahan baik dari sisi petugas maupun responden, hanya saja model yang ideal ini membutuhkan dana pencacahan yang cukup besar. Lamanya waktu wawancara untuk setiap rumah tangga tergantung dari jenis daftar, banyaknya anggota rumah tangga, dan lokasi sampel:

101

1. Rata-rata lama waktu wawancara daftar Kor antara 1-1,5 jam, 2. Rata-rata lama waktu wawancara daftar Modul Konsumsi 1.5-2.5 jam, 3. Rata-rata lama wawancara daftar Modul Kesehatan, Pendidikan, Perumahan, Sosial Budaya) masing-masing 0.5-1.5 jam. Dengan demikian, untuk rumah tangga yang terpilih sampel Kor saja dibutuhkan waktu berkisar antara 1-1,5 jam tergantung banyaknya anggota rumah tangga, sedangkan rumah tangga yang terpilih sampel Kor dan Modul Konsumsi lama wawancara berkisar antara 2-3.5 jam, dan untuk yang terpilih sampel Kor dan Modul yang lain membutuhkan waktu antara 2-2,5 jam. Akan berbeda pula waktu yang dibutuhkan untuk lokasi wawancara di daerah perkotaan dan perdesaan, biasanya wawancara di perkotaan lebih lama dibanding perdesaan karena di kota pola konsumsi bisa sangat beragam sedangkan di perdesaan pola konsumsi lebih sederhana. VII. Management Pengolahan Data Susenas Sistem pengolahan data dilakukan dengan prinsip sentralisasi dan desentralisasi pengolahan. Pada tahun-tahun 1963-1991, sistem pengolahan data menggunakan komputer main frame dengan menggunakan bahasa program Cobol dan Fortran, sehingga pelaksanaan input data (edit, entry) dilaksanakan seluruhnya di BPS pusat. Pengolahan data dengan komputer main frame membutuhkan waktu yang cukup lama, satu kegiatan Susenas baru diperoleh hasilnya dalam waktu satu tahun lebih, setelah dokumen dari lapangan melalui proses pengolahan, sehingga publikasi Susenas kala itu sudah tidak up-to-date karena tertinggal 1-2 tahun. Proses pengolahan input data sampai clean data memerlukan waktu yang lama karena melalui beberapa putaran (system input data yang berulang). Biasanya untuk sampai clean data dibutuhkan proses input data sampai dengan 3-5 putaran, tergantung dari kualitas hasil pengisian lapangan dan editing petugas. Di tahun 1992, sistem pengolahan beralih ke Personal Computer (PC) dengan menggunakan software ISSA ( Integrated System for Survei Analysis) dengan sistem berbasis DOS sampai dengan tahun 1999. Dengan menggunakan sistem input data ISSA, telah terjadi percepatan pengolahan data, karena sistem ini selain berbasis pada sistem PC juga menerapkan prinsip interaktif, yaitu pada saat berlangsungnya proses input data secara langsung program sudah bisa menjaga konsistensi antar-isian dan antar-blok pertanyaan, dan range interval

102

isian kode untuk setiap pertanyaan. Dengan demikian, proses input data tidak lagi menggunakan prinsip putaran input data, karena hasil entry data dalam satu kali input data sudah menghasilkan data clean. Proses pengolahan data mulai dari dokumen hasil lapangan sampai tabulasi membutuhkan waktu 4-6 bulan, sehingga publikasi sudah dapat diselesaikan pada akhir tahun yang sama. Kemudian di tahun 2000-2004 sistem data input Susenas menggunakan CSPro yang merupakan pengembangan ISSA dengan sistem yang berbasis Windows. Akan tetapi untuk tahun-tahun Susenas dengan Modul Konsumsi (1993, 1996, 1999, dan 2002), ISSA tidak bisa diterapkan karena keterbatasan kemampuan sehingga digunakan suatu sistem dengan bahasa Cobol. Pada tahun tersebut sudah dikembangkan bahasa Cobol for PC dengan sistem yang dirancang dengan pola interaktif, sehingga waktu pengolahan data sudah semakin cepat. Sesuai dengan ketersediaan teknologi informasi (TI) yang semakin maju, maka Susenas mengembangkan sistem input datanya di tahun 2005 dengan menggunakan system PHP My SQL for PC untuk daftar Kor maupun Modul Konsumsi. Karena di BPS propinsi dan BPS kabupaten/kota masih ada keterbatasan sumber daya manusia serta fasilitas komputer belum seluruhnya memadai, maka tahun 2006 pengolahan input datanya kembali menggunakan CSPro. Dengan tersedianya PC di setiap propinsi, maka sejak tahun 1993 pelaksanaan input data untuk dokumen Kor dan Modul secara bertahap diserahkan ke BPS daerah. Awalnya, hanya dokumen Kor saja diserahkan ke propinsi untuk melaksanakan input data, walaupun ada beberapa propinsi yang belum sanggup melaksanakannya (khususnya untuk daerah Indonesia Timur). Kemudian secara bertahap di tahun 1995, seluruh propinsi sudah dapat melaksanakan entry daftar Kor saja. Pada tahun-tahun tersebut, BPS pusat melaksanakan input data Modul dan Kor pasangannya. Sejak tahun 1996 sampai dengan sekarang, secara bertahap pelaksanaan entry data Kor sudah dapat dilaksanakan di BPS kabupaten/kota, sedangkan propinsi melaksanakan entry dokumen Kor yang punya pasangan Modulnya, sementara itu BPS pusat melaksanakan entry data daftar Modul saja. Peranan BPS pusat di samping melaksanakan input data modul, juga melaksanakan kompilasi hasil entry data Kor dari seluruh kabupaten/kota kemudian menguji kualitas hasil entry tersebut dan mengecek kelengkapan hasil entry data sesuai dengan target sampel. Selanjutnya dilakukan

103

revalidasi dan uji konsistensi datanya, sehingga data yang dihasilkan sudah bersih (clean data). Rencana sistem pengolahan data di tahun mendatang, baik Kor maupun Modul, diharapkan bisa ditangani seluruhnya di propinsi dan kabupaten/kota, sehingga peranan BPS pusat lebih fokus hanya menyiapkan sistem input data, kompilasi, validasi dan tabulasi. Untuk dapat meningkatkan pemanfaatan data Susenas di tingkat kabupaten/kota, maka secara bertahap sejak tahun 1995 telah dilaksanakan pelatihan untuk peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan mengadakan pelatihan-pelatihan teknis pengolahan dan analisa data Susenas dengan menggunakan software SPSS. Upaya dilakukan bertahap, dari jenjang propinsi kemudian ke kabupaten/kota. Peserta pelatihan tidak saja dari unsur statistik akan tetapi juga dari instansi lain yang terkait dengan data Susenas seperti Depkes, Diknas dan BKKBN. Penerapan pola entry data dengan dibantu oleh BPS propinsi dan BPS kabupaten/kota dimaksudkan untuk: 1. Menghasilkan hasil data entry dengan waktu yang lebih cepat, 2. Memudahkan petugas pengolahan untuk meminta memperbaiki isian ke petugas lapangan apabila dijumpai daftarnya belum terisi lengkap, proses update dan kontrol kualitas pengisian daftar lebih dekat, 3. Meningkatkan rasa memiliki sehingga kabupaten/kota mempunyai kemampuan untuk mengolah data sendiri, dan 4. Memanfaatkan data hasil entry untuk bahan kebutuhan analisa menjadi lebih maksimal. VIII. Tahapan Proses Pengolahan Data Modul Konsumsi Dalam proses pengolahan data dilalui beberapa tahapan sebelum data dinyatakan clean dan siap untuk ditabulasikan. Pertama, dokumen Kor maupun Modul melalui dua tahapan: recieving dan batching, maksudnya melakukan kontrol kehadiran dokumen sesuai dengan target sampel yang telah ditetapkan. Aktivitas ini tidak menggunakan komputer. Tahap berikutnya adalah edit dokumen. Proses editing Kor lebih mudah dilakukan, karena hanya melihat kelengkapan isian antar-blok dan konsistensi isian antar-pertanyaan. Proses yang sama juga dilakukan untuk dokumen Modul, hanya saja untuk dokumen Modul

104

Konsumsi tahapan editing lebih berat karena selain mengecek pengisian setiap pertanyaan editor juga melakukan proses penjumlahan dan kewajaran isi nilai semua jenis komoditi yang dikonsumsi rumah tangga. Dalam contoh Tabel 1, semua jenis komoditi yang ditanyakan di Susenas mempunyai format nilai maksimum dan minimum. Apabila satu rumah tangga mengkonsumsi 3 kg beras lokal dalam satu minggu untuk 4 anggota rumah tangga, maka nilai rupiah yang terisi adalah minimum Rp 3.000,- dan maksimum Rp 22.500,-. Harga beras Rp 1.000,- dimungkinkan bagi rumah tangga yang memperoleh beras raskin (rumah tanggga miskin). Di bawah ini contoh tabel nilai maksimum dan minimum dari beberapa jenis bahan makanan.
Tabel 1. Nilai Maksimum dan Minimum untuk Seluruh Jenis Padi-padian Komoditi Bahan Makanan
No. Jenis Komoditi PADI-PADIAN [R.2-R.5] 1 2 3 4 5 6 7 8 Beras (beras lokal, kualitas unggul, impor) Beras ketan Jagung basah dengan kulit Jagung pipilan/beras jagung Tepung beras Tepung jagung (maizena) Tepung Terigu Lainnya Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg 1000 1000 500 1000 2000 1500 3000 1000 7500 7500 6000 7000 8000 10000 7000 7000 Satuan Minimum (Rp) Maksimum (Rp)

Sumber: BPS, Buku pedoman pengolahan entry data Susenas tahun 2002

Dalam pembuatan program data entry Modul Konsumsi, daftar tabel A yang lengkap untuk seluruh jenis komoditi juga dimasukkan dalam sistem program, sehingga di dalam proses input data apabila masih terdapat kekeliruan di dalam proses editing maka program komputer akan memeriksa konsistensi isian kuesioner sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan.

105

Hal lain yang juga diperhatikan di dalam proses editing adalah kewajaran di dalam besaran volume yang dikonsumsi. Misalnya satu rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga 4 orang, tercatat bahwa mengkonsumsi beras lokal selama satu minggu sebanyak 50 kg. Jelas terjadi kesalahan di dalam pengisian. Mungkin yang terjadi adalah rumah tangga tersebut dalam pola pembelanjaan beras, setiap bulannya membeli 50 kg, sedangkan yang benar-benar dikonsumsi selama satu minggu tidak sedemikian banyaknya. Ada tabel kontrol lainnya yang memuat maksimum nilai kewajaran untuk semua jenis bahan makanan BPS (2002). Petugas editorlah yang meneliti besaran nilai rupiah dan volume dari setiap jenis komoditi yang ditanyakan. Tahapan selanjutnya adalah entry data. Apabila proses input data sudah dilalui dan data dinyatakan clean, maka dapat dilaksanakan proses tabulasi, namun sebelumnya masih ada proses yang harus dilaksanakan, di antaranya membuat kalkulasi nilai rata-rata yang dikonsumsi untuk seluruh jenis komoditi per kapita, dan konversi kuantitas konsumsi menjadi gizi. Untuk mendapatkan nilai rata-rata yang dikonsumsi, menggunakan formula berikut: Rata-rata nilai per Kapita konsumsi (beras) Nilai Konsumsi Beras seluruh RT = ------------------------------------------Jumlah Penduduk Seluruhnya

Adakalanya jenis komoditi tertentu dikonsumsi oleh beberapa rumah tangga saja, sementara rumah tangga lainnya tidak mengkonsumsi. Meskipun demikian di dalam formula di atas pembaginya bukan jumlah anggota rumah tangga yang mengkonsumsi jenis komoditi itu saja, akan tetapi jumlah seluruh anggota rumah tangga dari seluruh sampel Susenas. Hal yang sama berlaku untuk seluruh jenis komoditi yang ditanyakan, sehingga apabila jenis komoditi tertentu tersebut jarang dikonsumsi oleh rumah tangga secara umum akan menghasilkan nilai yang sangat kecil. Berikutnya adalah membuat tidak kalah pentingnya adalah menciptakan variabel bentukan dari hasil perkalian variabel kuantiti (volume yang dikonsumsi) dengan tabel yang berisi pengali untuk konversi ke kalori, protein, lemak, dan karbohidrat. Tabel 2 berisi contoh konversi jenis komoditi bahan makanan yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor (Puslitbang Gizi Bogor).

106

Tabel 2.
No. I 1 2 3 4 5 6 7 8 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tabel Konversi Komoditi Bahan Makanan ke dalam Kalori, Protein, Lemak, dan Karbohidrat
Satuan Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kalori 3622 3605 361.2 3200 3640 3550 3330 3520 1309 1252.2 3380 1135.4 520.8 3380 3630 3620 1794.5 Protein 84.75 77 11.48 82.8 70 92 90 73 8.5 11.78 6 15.5 17.64 15 11 5 13 Lemak 14.5 15.5 3.64 39 5 39 10 9 2.55 3.26 3 3.78 1.68 7 5 3 1.75 Karbohidrat 775.5 764.5 84.84 663.3 800 737 772 762 312.8 293.68 831 257.31 113.4 813 882 869 432.27

Jenis Bahan Makanan Padi-padian Beras Beras ketan Jagung basah dengan kulit Jagung pocelan/pipilan Tepung beras Tepung jagung (maizena) Tepung terigu Lainnya Umbi-umbian Ketela pohon Ketela rambat Sagu Tales/Keladi Kentang Gaplek Tepung gaplek (tiwul) Tepung ketela pohon Lainnya

Sumber: BPS, Buku pedoman pengolahan entry data Susenas tahun 2002

Dengan diperolehnya peubah-peubah bentukan hasil kalkulasi, maka tahapan selanjutnya adalah menghasilkan tabel-tabel. IX. Kekuatan dan Kelemahan Data Susenas A. Kekuatan Sebagai satu-satunya survei bidang kesra yang dilaksanakan setiap tahun, mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, dan budaya penduduk (komprehensif), maka Susenas menjadi satu sumber data yang sangat kaya untuk bahan analisis lintas-sektor. Kecuali sensus, maka Susenas adalah survei dengan sampel besar sehingga untuk sejumlah variabel hasilnya cukup representatif disajikan pada level kabupaten/kota.

107

Data Susenas digunakan sebagai bahan utama untuk penghitungan penduduk miskin, untuk penghitungan berbagai indikator makro, seperti IPM, bahan perencanaan dan evaluasi program sektoral, bahan pidato presiden pada 17 Agustus dan banyak lagi. Sejak tahun 2002, digunakan untuk analisis gender, dan penghitungan indikator MDGs di tingkat kabupaten/kota. Dengan memadukan data Kor dan Modul, maka cakupan informasi yang dihasilkan semakin banyak, sehingga Susenas berpotensi untuk dapat menghasilkan analisis yang luas. Sejak tahun 1993 metodologi, ukuran sampel, dan cakupan materi Susenas (khususnya Kor) sudah relatif stabil sehingga hasilnya dapat dibandingkan untuk melihat perkembangan antar-tahun. Susenas diibaratkan sebagai suatu lokomotif yang menarik gerbong-gerbong yang bermacam-macam isinya untuk penyediaan data di bidang kesra, sangat diminati karena kontinuitas dan cakupannya yang luas. B. Kelemahan Untuk estimasi tingkat kabupaten/kota tingkat kesalahan karena faktor sampling (sampling error) cukup besar, khususnya untuk karakteristik yang frekuensi kejadiannya relatif jarang. Kesalahan karena faktor sampling dapat dihitung. Fluktuasi hasil dapat dikurangi dengan membuat angka rata-rata untuk beberapa tahun. Sebagai lokomotif penyedia data, beban Susenas terkadang terlalu berat, baik bagi pencacah maupun responden, sehingga tingkat kecermatan hasilnya dapat berkurang (tingkat kesalahan karena faktor non-sampling menjadi besar), salah satunya kejenuhan dan terlalu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk wawancara. Kesalahan karena faktor non-sampling sulit diukur. Karena merupakan survei dengan sampel besar dan cakupan wilayah yang luas, hasil Susenas membutuhkan waktu pengolahan data yang cukup lama, paling cepat diperoleh 5-6 bulan setelah pencacahan. Karena pencacahan dokumen Kor dan Modul dilakukan petugas yang berbeda maka isian keduanya bisa tidak konsisten. Hasil entry Kor dan Modulnya untuk rumah tangga yang sama bisa berbeda.

108

X. Pemanfaatan Data Susenas Hasil Susenas sudah biasa dimanfaatkan untuk penghitungan berbagai indikator/statistik, antara lain: 1. Indikator Kesejahteraan Rakyat, 2. Indikator Gender, 3. Indikator Kelangsungan Hidup, Perkembangan, dan Perlindungan Ibu dan Anak, 4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), 5. Tingkat Kemiskinan, 6. Tingkat kecukupan gizi dan status gizi balita, 7. Distribusi pendapatan/Indeks Gini, dan 8. Indikator Melenium Development Goal (MDGs). XI. Indikator MDGs Dalam Modul Konsumsi Susenas Indikator-indikator untuk evaluasi MDGs yang disusun dari data Modul Konsumsi Susenas antara lain: Indikator 1-7 yang mempunyai tujuan menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. 1. Proporsi penduduk yang hidup di bawah US $1 per hari untuk tingkat nasional dan propinsi, 2. Kontribusi kuantil pertama penduduk yang berpendapatan terendah terhadap konsumsi nasional dan propinsi, 3. Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan propinsi dan nasional, 4. Kesenjangan kemiskinan untuk tingkat propinsi dan nasional, 5. Proporsi penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum (2100 kkal/kapita/hari) untuk tingkat propinsi dan nasional, 6. Proporsi penduduk yang mengkonsumsi di bawah 55 gram protein untuk tingkat propinsi dan nasional, dan 7. Proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran untuk tingkat propinsi dan nasional.

109

Metodologi Penghitungan 1. Proporsi Penduduk Hidup Dengan Pendapatan di Bawah US $1 Per Hari Definisi: Batasan US $ 1 per hari adalah garis kemiskinan absolut standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, kemudian menjadi kesepakatan internasional untuk diadopsi guna memudahkan perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin secara global. Garis kemiskinan ini tergantung dari nilai tukar dolar Amerika terhadap mata uang lokal. Meskipun secara global ditetapkan batas US $ 1 namun setiap negara dapat menentukan garis kemiskinan menurut kriteria masingmasing, mengingat setiap negara mempunyai komoditas pangan (Lampiran 1 dan 2) yang menjadi ukurannya, serta adanya perbedaan harga pada setiap komuditi. Penetapan US $ 1 per hari akan menjadikan garis kemiskinan di suatu negara tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin dapat terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah. Pengukuran garis kemiskinan absolut sangat penting jika orang mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar-waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek (misalnya pemberian kredit skala kecil) terhadap kemiskinan. Perbandingan yang sah (legitimate) angka kemiskinan satu negara dengan negara lain hanya dapat dibuat jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Rumus: Jumlah penduduk yang hidup di bawah US $1 per hari Jumlah penduduk seluruhnya

110

2. Kontribusi Kuantil Pertama Penduduk Berpendapatan Terendah Terhadap Jumlah Pendapatan Propinsi atau Nasional Definisi: Pengukuran golongan penduduk termiskin kuantil pertama (20 % termiskin dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pengeluaran) merupakan penduduk yang relatif miskin. Bila didefinisikan dengan cara ini, maka tak dapat disangkal lagi bahwa orang miskin selalu hadir bersama kita. Ukuran atau definisi tersebut sering membantu kita untuk menentukan sasaran program yang ditujukan untuk membantu penduduk miskin. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan ketimpangan pendapatan di suatu propinsi atau negara. Rumus: Jumlah pendapatan penduduk di kuantil pertama di propinsi Jumlah pendapatan penduduk di propinsi tersebut 3. Proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan Definisi: Perbandingan antara jumlah pendapatan penduduk di bawah garis kemiskinan propinsi tertentu atau nasional dengan jumlah seluruh penduduk di propinsi tersebut atau nasional (metode penghitungan garis kemsikinan dituliskan dalam bagian yang sama). Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan jumlah penduduk miskin di tingkat propinsi dan nasional. Rumus: Jumlah pendapatan penduduk di bawah garis kemiskinan propinsi atau nasional Jumlah penduduk di propinsi atau nasional Mengikuti kebiasaan umum, penduduk miskin didefinisikan sebagai mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dasar, termasuk komponen makanan dan bukan makanan. Untuk menghitung jumlah penduduk miskin digunakan metode head count index. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah yang berada di bawah garis nilai tertentu, yaitu yang disebut sebagai garis kemiskinan, sehingga agar dapat dioperasikan perlu dilakukan terlebih dahulu penghitungan dan penetapan garis kemiskinan.

111

Dari hasil widyakarya pangan dan gizi tahun 1978, orang dikatakan hidup dengan standar hidup layak dari sisi energi apabila memenuhi kebutuhan enerji minimal 2100 kilo kalori per hari. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dengan mengkonsumsi berbagai jenis bahan makanan seperti beras, ubi-ubian, ikan, daging, dan sebagainya. Agar orang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Batas miskin untuk makanan ditambah pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut dengan Garis Kemiskinan. Jadi garis kemiskinan diperoleh dengan menentukan sekelompok pengeluaran (consumption bundle) yang diperkirakan cukup untuk kebutuhan konsumsi dasar. Dengan kata lain, garis kemiskinan diartikan sebagai nilai rupiah yang harus dikeluarkan dalam memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan minimum individu. Dalam penghitungan, garis kemiskinan kebutuhan hidup minimum senilai 2100 kilokalori per kapita per hari didasarkan pada pola konsumsi makanan dari hasil pengumpulan data Susenas pada kelompok penduduk kelas marjinal (di antara decile 20), yaitu penduduk yang hidup sedikit di atas estimasi awal garis kemiskinan yang diperoleh dari garis kemiskinan tahun sebelumnya yang sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelas marjinal inilah yang disebut sebagai penduduk referensi (reference population). Konsep tersebut diterapkan pada data hasil Modul Konsumsi Susenas (sampel 65.000 rumah tangga) dan modul panel ( 10.000 rumah tangga), untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan tingkat makro, yaitu batas yang digunakan untuk mendapatkan jumlah penduduk miskin pada tingkat propinsi (data modul) dan nasional (data panel). Langkah-langkah mengukur garis kemiskinan dengan standar yang terbanding dengan menggunakan data Modul Konsumsi atau panel Modul adalah sebagai berikut: a. Menentukan kelompok penduduk referensi, yaitu sedikit di atas estimasi garis kemiskinan tahun penghitungan sebelumnya, yaitu garis kemiskinan tahun sebelumnya digerakkan dengan tingkat inflasi selama periode antar-waktu pengukuran (waktu survei).

112

b. Dengan menggunakan data Reference Population, dipilih 52 komoditi dasar makanan untuk tingkat nasional. Lalu dihitung distribusi penduduk menurut pengeluaran riil. Rata-rata harga dihitung secara tertimbang, dengan penimbang proporsi pengeluaran untuk masingmasing komoditas yang tercakup dalam paket nasional terhadap total pengeluaran ke-52 komoditi untuk setiap propinsinya. Masingmasing harga komoditas dipisahkan untuk data perkotaan dan perdesaan dengan rumus: Pij = Pijk ik di mana: Pij = rata-rata harga di daerah i dan di propinsi j Pijk = rata-rata harga di daerah i, propinsi j, dan komoditi k ik = proporsi pengeluaran komoditi k (bundel 52 komoditi), di daerah i, yaitu: Vik/Vi di mana: Vik = pengeluaran untuk komoditi k, Vi = total pengeluaran bundel 52 komoditi. c. Menghitung nilai riil pengeluaran di setiap rumah tangga. Sebelumnya harus dilakukan terlebih dahulu standarisasi menggunakan data harga komoditi yang sama di propinsi DKI dengan formulasi: Pis = Pij /Pdki Jakarta, Pis = deflator harga (harga Pij yang distandarisasi) Formula penghitungan nilai riil: RE = E/Pis RE = Pengeluaran riil (dihitung untuk setiap rumah tangga) E = Pengeluaran nominal. d. Identifikasi komoditi di setiap propinsi yang didasarkan pada pola konsumsi penduduk reference di masing-masing propinsi. Dari komoditi terpilih tersebut akan diperoleh garis kemiskinan makanan dan non-makanan untuk setiap propinsi. GKMj = Pjk Q jk = Vjk GKMj = garis kemiskinan daerah sebelum disetarakan dengan 2100 kkalori : j = perkotaan/perdesaan Pjk = harga komoditi k di daerah j Q jk = rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j Vjk = nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.

113

e.

Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2100 kilo kalori dengan mengalikannya dengan harga implisit kalori dari penduduk reference tersebut, ____ HK j = di mana ____ HK j = harga rata-rata kalori di daerah j K jk = kalori dari komoditi k di daerah j ____ F j = HK j x 2100 di mana Fj = kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi 2100 kilokalori/ kapita/ hari. V jk ----------- K jk

Dari hasil penentuan GKM (garis kemiskinan makanan), selanjutnya dihitungkan pula garis kemiskinan non-makanan (GKNM), dengan menggunakan formulasi berikut: GKNM = ri Vi di mana: ri = rasio pengeluaran barang non-makanan terhadap sub-kelompok pengeluaran menurut daerah pada penduduk referensi, rasio r dihitung dari Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 2004. SPKKD memberikan informasi mengenai jenis-jenis barang dan jasa yang dikonsumsi secara sangat rinci, sehingga terdapat informasi proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi yang dikatagorikan sebagai kebutuhan pokok. Vi = nilai pengeluaran komoditi non-makanan menurut daerah. i = jenis barang non-makanan terpilih di masing-masing daerah. Jumlah GKM dan GKNM adalah garis kemiskinan. Dengan menggunakan garis tersebut, maka dapat dihitung jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di setiap propinsi.

114

4. Kesenjangan kemiskinan untuk tingkat Propinsi atau Nasional Definisi: Ukuran kemiskinan yang cukup populer adalah indeks kesenjangan kemiskinan (poverty gap index), yang menghitung seberapa jauh individu jatuh di bawah garis kemiskinan (jika mereka termasuk kategori miskin), dan menyatakan indeks tersebut sebagai suatu persentase terhadap garis kemiskinan. Secara lebih spesifik, mendefinisikan jurang kemiskinan (poverty gap) sebagai garis kemiskinan dikurangi pendapatan/ pengeluaran aktual (yi) untuk individu/penduduk miskin; jurang (gap) bernilai 0 untuk mereka yang tidak miskin. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan kesenjangan dan kedalaman tingkat miskin di tingkat propinsi dan nasional. Rumus: sehingga poverty gap index(P1) dapat ditulis sebagai

P1 =

1 N Gn N i =1 z

Dengan menggunakan fungsi indeks, kita mempunyai Gn = (z yi). I(yi < z). Ukuran ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran/ pendapatan masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan (penduduk yang tidak miskin mempunyai gap bernilai 0). Ada orang berpendapat bahwa ukuran ini dapat dianggap sebagai biaya untuk mengentaskan kemiskinan (relatif terhadap garis kemiskinan), karena ukuran tersebut menunjukkan berapa banyak uang yang harus ditransfer kepada penduduk miskin untuk mengangkat pengeluaran/pendapatan mereka melebihi garis kemiskinan (dalam arti mengentaskan mereka dari kemiskinan). Biaya minimum untuk pengentasan kemiskinan dengan menggunakan transfer kepada target sasaran secara sederhana merupakan jumlah dari besarnya jurang kemiskinan (poverty gap) dalam suatu penduduk; setiap gap yang terjadi pada setiap individu memerlukan sejumlah transfer untuk mencapai garis kemiskinan.

115

Meskipun demikian interpretasi ini hanya masuk akal jika transfer dapat dilakukan secara sempurna dan efisien, misalnya dengan transfer sejumlah uang tertentu (lump sum transfer). Kondisi ini dapat berjalan apabila pajak yang tinggi ditarik dari kelompok atas dan hasilnya ditransfer secara sempurna pada kelompok rumah tangga miskin. 5. Proporsi penduduk di bawah garis konsumsi minimum (2100 kkal/kapita/hari) untuk tingkat propinsi dan nasional Definisi: Proporsi dari jumlah penduduk yang berada di bawah garis konsumsi minimum 2100 kkal/kapita/hari untuk tingkat propinsi atau nasional terhadap jumlah penduduk seluruhnya di propinsi atau nasional. Kegunaan: Mengetahui besaran jumlah penduduk yang berada di bawah standar hidup sehat atau minimum kecukupan nilai kalori yang dikonsumsi per kapita per hari. Rumus: Jumlah penduduk dengan konsumsi di bawah 2.100 kkal/kapita/hari di propinsi atau nasional Jumlah penduduk di propinsi atau nasional 6. Proporsi penduduk yang di bawah garis konsumsi 55 gram protein untuk tingkat propinsi dan nasional Definisi: Proporsi dari jumlah penduduk yang berada di bawah kecukupan konsumsi 55 gram protein untuk tingkat propinsi atau nasional terhadap jumlah penduduk seluruhnya di propinsi atau nasional. Kegunaan: Mengetahui besaran jumlah penduduk yang berada di bawah standar hidup sehat atau minimum kecukupan nilai protein yang dikonsumsi per kapita per hari. Rumus: Jumlah penduduk dengan konsumsi di bawah 55 gram protein di propinsi atau nasional Jumlah penduduk di propinsi atau nasional

116

7. Proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran untuk tingkat propinsi dan nasional Definisi: Semakin besar nilai proporsi pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran maka semakin miskin propinsi atau negara tersebut. Semakin besar proporsi kebutuhan untuk makan rumah tangga terhadap total artinya daya beli rumah tangga untuk kebutuhan lainnya lemah, sehingga fasilitas pendidikan, perumahan, kesehatan, dan rekreasi tidak dapat dibeli karena sebagian besar pendapatannya habis hanya untuk kebutuhan makan saja. Kegunaan: Mengetahui besaran jumlah penduduk yang berada di bawah standar hidup minimum. Jumlah konsumsi makanan Rumus: ------------------------------------ X 100 % Jumlah konsumsi total Beberapa peneliti menetapkan nilai proporsi bila melebihi nilai 80 persen besar kemungkinan masuk dalam katagori rumah tangga di bawah garis kemiskinan Sejarah Penghitungan Kemiskinan Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 1984 mencakup periode kemiskinan tahun 1976-1981. Untuk selanjutnya, secara berkala 3 tahun sekali dilakukan penghitungan yang sama dengan menggunakan data Modul Konsumsi sesuai dengan tahun penyelenggaraan Susenas. Sejak tahun 1993, penghitungan penduduk miskin telah menggunakan pendekatan kebutuhan minimum makanan berdasarkan standar kecukupan energi 2100 kilo kalori. Model yang sama dilanjutkan kembali pada penghitungan penduduk miskin tahun 1996. Penghitungan tingkat kemiskinan pada tahun 1993 dan 1996 keduanya belum memfasilitasi adanya perubahan pada pola konsumsi dan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan dasar, sehingga hasilnya kurang dinamis dan tidak meperhatikan nilai standar untuk perbandingan antar-propinsi dengan benar. Pada tahun 1998, metode penghitungan diperbaharui dengan menggunakan standar yang telah dimodifikasi (standar baru), yang lebih dinamis, yaitu memperhitungkan perubahan pola konsumsi penduduk dan memperluas cakupan komoditinya agar hasilnya lebih realistis. Metode juga disempurnakan agar keterbandingan antar-daerah dapat

117

terjaga. Penyempurnaan ini dilakukan dengan memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar-daerah, melakukan standarisasi tingkat harga di setiap propinsi, yaitu tingkat harga di DKI Jakarta. Pola konsumsi reference population masing-masing daerah bisa berbedabeda, meskipun demikian, standar yang digunakan tetap didasarkan pada pola konsumsi penduduk yang sama pengeluaran riilnya, sehingga penilaian cukup terbandingkan (lihat pada Tabel Lampiran 1 dan tabel Lampiran 2 tahun 2005). Hasil ini juga dapat diartikan bahwa kebutuhan minimum di DKI Jakarta lebih tinggi jika dibandingkan dengan Nusa Tenggara Barat (NTB). Karena selera, adat istiadat, kebiasaan dan ketersediaan barang dan jasa yang berbeda antara kedua daerah, pola konsumsi penduduk Jakarta berbeda dengan penduduk NTB. Penduduk DKI Jakarta berbeda dengan penduduk NTB dalam hal 20 persen berpendapatan terendah, akan tetapi standar kelompok pengeluaran untuk reference population di setiap propinsi terjaga, dengan demikian, prinsip ini telah memfasilitasi keterbandingan antar-daerah dan antar-waktu.
Tabel 3. Garis Kemiskinan Makanan, Garis Kemiskinan Non Makanan, dan Garis Kemiskinan menurut Daerah Perkotaan dan Perdesaan
Perkotaan Tahun (1) 1976**) 1978**) 1980**) 1981**) 1984**) 1987**) 1990**) 1993**) 1996**) 1999*) 2002*) 2005*) Makanan (2) 17.520 23.330 29.681 70.959 93.351 103.992 NonGaris Makanan makanan kemiskinan (3) 3.094 4.602 8.565 21.450 37.148 46.807 (4) 4.522 4.969 6.831 9.777 13.731 17.381 20.614 27.905 38.246 92.409 130.499 150.799 (5) 12.617 15.576 23.197 59.822 73.030 84.014 Pedesaan Nonmakanan (6) 678 2.668 4.216 14.450 23.482 33.245 Garis kemiskinan (7) 2.849 2.981 4.449 5.877 7.746 10.294 13.295 18.244 27.413 74.272 96.512 117.259

Sumber: Data BPS Keterangan: *) Analisa dan penghitungan tingkat kemiskinan tahun 2005 **) Aryago Mulia 2005, Analisis Penetapan Penduduk Miskin, Tesis diajukan untuk memperoleh gelar Master di IPB, Bogor.

118

Pertumbuhan garis kemiskinan menurut komponennya pada periode tahun 1976-2005 dapat di lihat pada Tabel 3. Tampak di sana bahwa garis kemiskinan periode tahun 1976-1987 hanya menghasilkan garis kemiskinan perkotaan dan perdesaan tanpa dirinci menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Sejak tahun 1990 sudah dapat dihasilkan pendataan yang lebih rinci dari kelompok makanan dan bukan makanan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Pertumbuhan penduduk miskin dibedakan antara perkotaan dan perdesaan, hasilnya menunjukkan fluktuasi yang tidak tentu polanya. Dari tahun 1976 ke tahun 1978 tingkat kemiskinan di perkotaan lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan daerah pedesaan, masing-masing 9.89 persen dan 4.63 persen, sedangkan dari tahun 1978 ke tahun 1980 justru pertumbuhan kemiskinan perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan, masing-masing 37.47 persen dan 49,25 persen. Setelah tahun 1984 sampai dengan tahun 1996 pertumbuhan kemiskinan daerah perkotaan semakin tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan dan kecenderungannya sampai dengan tahun 2005 pola kemiskinan perdesaan pertumbuhannya lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah, Tahun 1996-2005
Ta-hun (1) 1996 1998 1999 Agustus 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sumber data: Jumlah Penduduk Miskin (dalam Juta) Kota+ Kota Desa Desa (2) (3) (4) 9,42 17,6 15,64 12,4 12,3 8,6 13,3 12,2 11,4 12,4 24,59 31,9 32,33 25,1 26,4 29,3 25.1 25,1 24,8 22,7 34.01 49.5 47.97 37.5 38.7 37.9 38.4 37.3 36.1 35.1 % Penduduk Miskin Kota (6) 13.39 21.92 19.41 15.09 14.60 9.76 14.46 13.57 12.13 11.37 Desa (7) 19.78 25.72 26.03 20.22 22.38 24.84 21.10 20.23 20.11 19.51 Kota+ Desa (8) 17.47 24.23 23.43 18.17 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 15.97

Analisa dan penghitungan tingkat kemiskinan, tahun 2005

119

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa secara absolut jumlah penduduk miskin di Indonesia berkisar antara 34-49 juta dan secara proporsi antara 15-24 persen. Dari tahun 1998 tren persentase penduduk miskin semakin lama semakin menurun, sejalan dengan kondisi pemulihan setelah krisis moneter yang berkepanjangan sejak tahun 1997. Persentase penurunan penduduk miskin di daerah perkotaan lebih cepat jika dibandingkan dengan daerah perdesaan. Dari tahun 1998 ke tahun 2005 di daerah perkotaan, persentase penduduk miskin turun dari 21,92 persen menjadi 11,37 persen, sebaliknya di daerah perdesaan dari 25,72 persen baru turun sampai dengan 19,51 persen. XII. Indikator MDGs Dalam Modul Sosial Budaya dan Pendidikan Susenas Indikator-indikator MDGs dan alternatif indikator MDGs yang bersumberkan data Modul Sosial-budaya dan Pendidikan Susenas, antara lain: 1. Persentase anak yatim piatu, 2. Persentase disabilitas/kecacatan (penglihatan, pendengaran, bicara, penggunaan alat gerak, kelainan bentuk tubuh, lumpuh layuh, penyakit kronis, keterbelakangan mental, dan penyakit jiwa), 3. Persentase orang tua (lansia) terlantar, balita terlantar, dan anak terlantar, 4. Persentase penerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan 5. Persentase penerima beasiswa. Metodologi Penghitungan Indikator 1. Persentase Anak Yatim Piatu Definisi: Persentase penduduk berusia 0 21 tahun dan statusnya belum menikah yang sudah tidak mempunyai bapak dan ibu kandung. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan persentase anak (kelompok usia bisa disesuaikan antara usia cakupan survei 0-21 th), dengan status anak yatim dan piatu. Rumus: Contoh untuk anak usia 0-4 tahun Jumlah anak usia 0-4 yang bapak dan ibunya sudah meninggal Jumlah penduduk usia 0-4 tahun

120

2. Persentase penduduk yang mengalami disabilitas/kecacatan (penglihatan, pendengaran, bicara, penggunaan alat gerak, kelainan bentuk tubuh, lumpuh layuh, penyakit kronis, keterbelakang mental, dan penyakit jiwa). Definisi: Persentase penduduk yang mengalami keterbatasan karena kecacatan atau keterbatasan yang disebabkan karena kondisi waktu lahir atau akibat sakit atau kecelakaan. Kegunaan: Indikator ini digunakan untuk menunjukkan persentase penduduk yang mengalami kecacatan penglihatan, pendengaran, bicara, penggunaan alat gerak, kelainan bentuk tubuh Jumlah penduduk yang mengalami kecacatan Jumlah penduduk seluruhnya 3. Persentase Orang Tua Terlantar. Definisi: Ketelantaran seseorang ditentukan dari variabel-variabel frekuensi makan makanan pokok dalam satu hari, frekuensi makan lauk-pauk berprotein tinggi, jumlah (stel) pakaian yang dimiliki, apakah mempunyai tempat tetap untuk tidur, apakah yatim atau piatu (untuk balita), frekuensi ditinggalkan orang tua (khususnya pengasuhan balita oleh orang tua), dan beberapa variabel yang diperoleh dari data Kor seperti apakah disusui, apakah pernah sekolah, apakah berobat bila sakit. Semakin banyak variabel-variabel tersebut memenuhi sarat keterlantaran maka, semakin tinggi tingkat keterlantarannya. Lansia adalah kelompok usia 65 ke atas. Anak adalah kelompok usia 5-18 tahun dan belum menikah. Balita adalah anak kelompok usia 0-4 tahun. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase penduduk yang mengalami keterlantaran sesuai dengan kelompok umur (lansia,

121

balita dan anak terlantar). Salah satu program dari Departemen Sosial (Depsos) di dalam penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), menggunakan indikator tersebut sebagai alat pemantauan dan evaluasi. Rumus: Lansia terlantar Jumlah lansia yang mengalami keterlantaran Jumlah lansia seluruhnya 4. Persentase Penerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah) Definisi: Jumlah penduduk yang menerima BOS sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang diduduki. Kegunaan: Indikator ini untuk mendapatkan persentase penduduk yang menerima BOS dari setiap jenjang pendidikannya. Rumus: Untuk penerima BOS di jenjang Sekolah Dasar. Jumlah penduduk yang menerima BOS di tingkat SD Jumlah penduduk pada jenjang SD 5. Persentase penerima beasiswa Definisi: persentase penduduk yang menerima beasiswa sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang diduduki. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk mendapatkan persentase penduduk yang menerima beasiswa dari setiap jenjang pendidikannya. Rumus: Untuk penerima beasiswa di jenjang sekolah dasar. Jumlah penduduk yang menerima beasiswa di tingkat SD Jumlah penduduk pada jenjang SD

122

XIII. Indikator MDGs dalam Modul Kesehatan dan Perumahan Susenas Bab ini akan menyajikan indikator-indikator MDGs, dan alternatif indikator MDGs yang bersumber dari data Modul Kesehatan dan Perumahan. Indikator yang dimaksud antara lain: 1. Persentase rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri dibangun di atas tanah bersertifikat, 2. Persentase rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri, 3. Persentase rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/lorong/gang, 4. Persentase rumah tangga yang tempat tinggalnya dilengkapi sarana pembuangan air mandi, cuci/dapur dengan saluran tertutup, 5. Persentase rumah tangga yang di sekitar rumahnya keadaan air got/selokan mengalir lancar, 6. Persentase ibu kandung balita yang mengkonsumsi pil zat besi/pil tambah darah selama mengandung, 7. Persentase wanita yang sedang pemeriksaan kehamilan (K4), mengandung melakukan

8. Persentase balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi selama satu tahun terakhir, dan 9. Persentase penduduk yang mengalami tes TBC/penyakit paru menurut propinsi dan nasional. Metodologi Penghitungan Indikator 1. Persentase rumah tangga yang tinggal di rumah milik sendiri dibangun di atas tanah bersertifikat Definisi: Persentase rumah tangga yang mempunyai tanah dengan status milik sendiri dan mempunyai sertifikat hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga dengan tingkat kesadaran hukum yang baik dan mempunyai kesejahteraan dan kemampuan ekonomi masyarakat yang baik di suatu daerah.

123

Rumus: Jumlah rumah tangga yang menempati tempat tinggal milik sendiri di atas tanah bersertifikat Jumlah rumah tangga seluruhnya 2. Persentase rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri Definisi: Jumlah rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri terhadap jumlah rumah tangga seluruhnya. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang mempunyai fasilitas ruangan dan tempat tinggal yang baik, serta memahami konsep kesehatan dan etika budaya yang baik serta mempunyai kesejahteraan dan kemampuan ekonomi masyarakat yang baik di suatu daerah. Rumus: Jumlah rumah tangga yang mempunyai ruang tidur tersendiri Jumlah rumah tangga seluruhnya 3. Persentase rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/ lorong/gang dengan lebar minimal 3 meter Definisi: Jumlah rumah tangga yang lokasi bangunannya berada di pinggir jalan/lorong/gang dengan lebar minimal 3 meter, dibagi jumlah rumah tangga seluruhnya, dikalikan seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah di tempat yang memadai memenuhi syarat lingkungan tempat tinggal. Apabila persentase rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/gang/lorong yang tingginya kurang dari 3 meter, maka besar pula persentase rumah tangga yang tinggal di lingkungan yang kurang sehat dan kurang sejahtera, dan ekonomi rumah tangga rendah.

124

Rumus: Jumlah rumah tangga yang tinggal di pinggir jalan/gang/lorong minimal 3 meter Jumlah rumah tangga seluruhnya 4. Persentase rumah tangga yang tempat tinggalnya dilengkapi sarana pembuangan air mandi, cuci, dan dapur dengan saluran tertutup. Definisi: Persentase rumah tangga yang mempunyai fasilitas sanitasi dan lingkungan yang baik ditunjukkan dengan kepemilikan sarana pembuangan limbah rumah tangga seperti limbah air mandi, cuci, dan dapur dengan saluran tertutup. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah dengan tingkat kesadaran kesehatan yang cukup baik, ditunjukkan dengan adanya fasilitas sanitasi pembuangan limbah rumah tangga yang tertutup. Apabila rumah tangga tidak memiliki saluran limbah pembuangan rumah tangga, memiliki saluran akan tetapi tidak tertutup maka sumber air minum terdekat akan menjadi tercemar, di samping itu penghuni rumah rawan terhadap penyebaran penyakit cacing, kudis, kurap dan diare. Rumus: Jumlah rumah tangga yang memiliki saluran limbah rumah tangga tertutup Jumlah rumah tangga seluruhnya 5. Persentase rumah tangga yang keadaan air got/selokan di sekitar rumahnya mengalir lancar. Definisi: Jumlah rumah tangga yang mempunyai fasilitas sanitasi dan lingkungan yang baik ditunjukkan dengan kondisi saluran air got/selokan di sekitar rumah mengalir dengan lancar. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki rumah dengan tingkat kesadaran kesehatan yang cukup baik, ditunjukkan dengan fakta bahwa fasilitas sanitasi lingkungan saluran air got/selokan di sekitar rumah mengalir dengan lancar. Apabila saluran air got/selokan tidak mengalir dengan lancar

125

maka akan timbul jentik-jentik nyamuk (demam berdarah dan malaria), serta bibit penyakit-penyakit lainnya karena kebersihan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Rumus: Jumlah rumah tangga yang memiliki saluran air/selokan/got mengalir dengan lancar Jumlah rumah tangga seluruhnya 6. Persentase ibu kandung balita yang mengkonsumsi pil zat besi pil tambah darah selama mengandung Definisi: Banyaknya ibu kandung balita yang mengkonsumsi pil/zat besi selama masa kehamilan dibagi dengan jumlah ibu mengandung seluruhnya dikalikan dengan seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase wanita yang mengkonsumsi zat besi (ukuran kurang dari 90 tablet dan lebih dari 90 tablet) selama masa kehamilan. Wanita hamil memerlukan konsumsi pil tambah darah untuk menjaga kandungan dan ibu agar tetap sehat. Rumus: Jumlah Ibu yang mengandung mengkonsumsi pil zat besi selama kehamilan Jumlah ibu yang mengandung seluruhnya 7. Persentase wanita yang pemeriksaan kehamilan (K4). sedang mengandung melakukan

Definisi: Banyaknya wanita selama masa kehamilan yang melakukan pemeriksaan kehamilan (K4) dengan tenaga medis dibagi dengan jumlah wanita yang mengandung seluruhnya. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase wanita pada masa kehamilan yang melakukan pemeriksaan kehamilannya pada tenaga medis untuk setiap kuartal masa kehamilan. Semakin banyak wanita hamil yang melakukan pemeriksaan setiap kuartalnya dengan

126

frekuensi yang disarankan, maka semakin aman wanita hamil dalam menjalankan proses kehamilannya. Rumus: Jumlah wanita yang mengandung melakukan pemeriksaan kehamilan ke tenaga medis selama masa kehamilan Jumlah wanita yang mengandung seluruhnya 8. Persentase balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi selama satu tahun terakhir. Definisi: Banyaknya balita yang mendapatkan vitamin A dosis tinggi selama satu tahun dibagi dengan jumlah balita kali seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase balita yang sudah mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi selama satu tahun terakhir. Rumus: Jumlah balita yang mengkonsumsi vitamin A dosis tinggi Jumlah balita seluruhnya 9. Persentase penduduk yang mengalami tes TBC/penyakit paru menurut propinsi dan nasional Definisi: Banyaknya penduduk yang mengalami tes TBC/penyakit paru dibagi dengan banyaknya penduduk seluruhnya kali seratus. Kegunaan: Indikator ini berguna untuk menunjukkan persentase penduduk yang mengalami pemeriksaan penyakit TBC/penyakit paru. Semakin besar persentase penduduk yang melaksanakan tes TBC maka semakin rawan daerah tersebut terhadap penyakit TBC. Rumus: Jumlah penduduk yang mengalami pemeriksaan TBC/penyakit paru Jumlah penduduk seluruhnya
File: Final 15-0507

127

Daftar Pustaka

Aryago Mulia, 2005, Analisis Penetapan Penduduk Miskin, Tesis diajukan untuk memperoleh gelar master di IPB, Bogor Badan Pusat Statistik, 2005, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan tahun 2005, BPS, Jakarta _________________, 2002. Buku pedoman pengolahan entry data Susenas tahun 2002, BPS, Jakarta. _________________, 2004. Data dan informasi kemiskinan tahun 2004. buku 1: Propinsi, BPS: Jakarta _________________, 2004. Data dan informasi kemiskinan tahun 2004. buku 2: Kabupaten, BPS: Jakarta _________________, 2005. Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan, tahun 2005, BPS: Jakarta DR. Pajung Surbakti. 1995. Suatu Sumber Data Berkesinambungan Untuk Analisis Kesejahteraan Rakyat di Indonesia. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statistik, Maret 2005

128

Lampiran 1 Tabel 1: Komoditas Pangan Perkotaan-Perdesaan 2005


No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52.

Komoditas
Beras Beras Ketan Jagung Pipilan Tepung Terigu Ketela Pohon Ketela Rambat Gaplek Tongkol/Tuna/Cakalang Kembung Teri Bandeng Mujair Daging Sapi Daging Babi Daging Ayam Ras Daging Ayam Kampung Tetelan Telur Ayam Ras Telur Itik/Manila Susu Kental Manis Susu Bubuk Bayam Buncis Kacang Panjang Tomat Sayur Daun Ketela Pohon Nangka Muda Bawang Merah Cabe Merah Cabe Rawit Kacang Tanah Tanpa Kulit Tahu Tempe Mangga Salak Pisang Ambon Pepaya Minyak Kelapa Kelapa Gula Pasir Gula Merah Teh Kopi Garam Kemiri Terasi/petis Kerupuk Mie Instan Roti Manis Kue Kering Kue Basah Rokok kretek filter Total

Unit
Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Ons Kg Kg Kg Kg Kg No. Kg Kg Kg Ons Kg Kg Ons Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Liter No. Ons Ons Ons Ons Ons Ons Ons Ons Ons Kg Ons Ons Buah Batang

Kandungan Kalori Kota Desa


909,0 0,0 5,6 6,4 25,4 7,3 0,2 6,4 3,1 1,2 2,9 2,2 0,7 0,8 15,5 1,7 0,1 17,0 1,4 4,8 1,9 1,2 0,6 3,1 0,8 6,0 1,1 2,1 0,9 2,7 3,1 13,8 28,6 0,4 4,2 2,5 1,6 70,6 39,6 89,3 8,4 2,4 10,6 0,0 5,0 2,7 10,5 26,4 7,6 5,6 24,1 0,0 1032,6 2,8 46,5 7,4 33,7 16,5 3,8 6,9 2,3 1,3 1,9 1,7 0,4 2,7 6,3 3,5 0,0 9,2 1,2 2,6 0,9 1,3 0,8 3,6 0,6 11,6 1,3 1,9 0,7 3,4 3,0 11,2 22,6 0,5 2,5 3,1 1,2 86,0 53,3 81,3 9,2 2,1 13,4 0,0 5,0 2,7 9,3 18,1 5,8 4,2 13,9 0,0 1.557,6

Harga (Rp/Kap/bln) Kota Desa


23.306 0 107 218 572 187 3 1.506 1.093 358 632 714 308 110 2.046 297 29 2.819 225 567 309 691 123 767 441 442 139 1.261 930 716 150 1.661 1.929 82 261 340 209 1.522 941 4.035 329 749 1.235 368 228 344 485 1.889 688 440 1.480 8.503 68.786 25.709 67 707 256 600 357 40 1.273 538 313 419 519 160 302 787 447 6 1.601 217 293 132 530 153 766 327 652 90 1.180 659 778 124 1.191 1.516 98 155 256 136 1.950 992 3.705 343 612 1.336 503 213 325 435 1.315 463 271 874 5.626 62.314

Sumber: Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan 2005.

129

Lampiran 2 Tabel 2: Komoditas Non-Pangan Perkotaan-Perdesaan 2005


Perkotaan No. Komoditas Pengeluaran
15.531,5 6.166,7 858,5 5.099,9 1.659,0 1.307,2 2.565,9 1.342,9 529,1 1.762,1 187,3 4.202,6 812,2 92,1 4099,3 116,5 1617,5 2051,7 1.491,1 145,8 1.039,9 182,5 2193,9 108,9 150,7 279,3 202,2 570,1 17,9 54,9 92,4 234,7 288,6 310,5 383,2 439,2

Perdesaan Kebutuhan Dasar


11.125 6.135 776 4.139 1.576 1.085 2.439 952 507 848 92 2.615 577 43 3.900 64 1.618 2.052 1.491 146 854 182 1.186 109 92 91 121 248 17 40 92 235 289 311 323 439

Rasio
0,7163 0,9948 0,9039 0,8115 0,9500 0,8301 0,9505 0,7091 0,9574 0,4811 0,4900 0,6223 0,7109 0,4643 0,9514 0,5534 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,814 1,0000 0,5405 1,0000 0,6125 0,3243 0,5989 0,4349 0,9551 0,7322 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,8417 1,0000

Pengeluaran
9.565,6 3.082,0 167,9 2977,4 3627,8 1.045,7 2.063,3 911,5 307,8 1.515,9 112,3 2.452,0 358,6 37,4 1988,4 119,8 1433,0 1530,3 1209,1 59,3 814,9 140,3 1.771,6 45,5 116,4 242,0 256,7 587,1 14,0 53,4 50,1 239,0 109,6 101,7 455,6 461,0

Rasio
0,9813 0,8964 0,9847 0,4802 0,6060 0,8291 0,9500 0,7636 1,0000 0,6218 0,3144 0,4899 0,7109 1,0000 0,9352 0,4998 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,9817 1,0000 0,8920 1,0000 0,7536 0,5894 0,7762 0,8260 0,9551 0,8259 1,0000 1,0000 1,0000 1,0000 0,7673 1,0000

Kebutuhan Dasar
9.387 2.763 165 1.430 2.198 867 1.960 696 308 943 35 1.201 255 37 1.860 60 1.433 1.530 1.209 59 800 140 1.580 45 88 143 199 485 13 44 50 239 110 102 350 461

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.

Perumahan Listrik Air Minyak Tanah Kayu Bakar Obat Nyamuk, korek api, baterai Perlengkapan Mandi Barang kecantikan Perawatan kulit/muka Kesehatan Pemeliharaan kesehatan Pendidikan Bensin Pos, dan benda Pos Pengangkutan Foto Pakaian jadi laki-laki dewasa Pakaian jadi wanita dewasa Pakaian jadi anak-anak Keperluan menjahit Alas kaki Tutup kepala Sabun Cuci Bahan Pemeliharaan Pakaian Handuk, Ikat Pinggang Perlengkapan perabot rumah tangga Perkakas rumah tangga Alat Dapur/makanan Arloji/jam Tas Mainan Anak Pajak PBB Pajak kendaraan bermotor Pungutan lain Perayaan hari raya agama Upacara agama

Total

46.807

33.245

Sumber: Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan 2005.

130

Tersedianya Indikator Pemantauan Target-target Pembangunan Milenium dalam Data Kor Survei Sosial-Ekonimi Nasional dan Survei Garam Yodium
(Halip Purnama, MA) I. Pendahuluan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), survei yang telah diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 1963, bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi terkait dengan karakteristik sosialekonomi penduduk yang merupakan gambaran kesejahteraan masyarakat. Variabel-variabel yang dikumpulkan meliputi variabel kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, pengeluaran rumah tangga, fertilitas dan KB serta berbagai variabel demografi lainnya. Pada mulanya data dan informasi yang dikumpulkan melalui Susenas hanya dapat disajikan hingga level propinsi. Setelah melewati beberapa tahap pelaksanaan Susenas, atas beberapa pertimbangan, terutama pentingnya ketersediaan data pada satuan administrasi yang lebih rendah, dirasakan perlu untuk dapat menyajikan data dan informasi tersebut hingga level kabupaten/kota. Langkah yang ditempuh tentunya melalui penambahan jumlah sampel rumah tangga. Selain itu variabel yang dikumpulkan juga lebih rinci dan dikelompokkan ke dalam kuesioner terpisah yaitu Kor dan Modul. Melalui Modul Susenas dapat dikumpulkan variabel mengenai kesehatan, sosial budaya dan pendidikan, dan konsumsi dan pengeluaran rumah tangga dengan lebih rinci yang pengumpulannya dilakukan tiap tiga tahun sekali secara bergantian. Namun data Modul Susenas hanya dapat disajikan hingga tingkat propinsi, sedangkan Kor Susenas dapat disajikan hingga level kabupaten/kota. Kelebihan Kor Susenas tidak hanya dari level penyajian data yang sudah mencapai level kabupaten/kota, tetapi dapat juga dilihat dari keragaman dan kegunaan data yang dikumpulkan. Kegunaan yang dimaksud adalah adanya data mengenai tingkat kesejahteraan rakyat setiap tahunnya, sehingga dengan begitu analisis tidak hanya dilakukan pada satu titik waktu tertentu, tetapi dapat juga memberikan gambaran dari waktu ke waktu yang sangat penting dalam upaya pemantauan dan evaluasi program-program pemerintah yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Atas permintaan berbagai pihak (sektor) pada tahun tertentu suatu survei khusus diintegrasikan ke dalam Susenas, salah satunya adalah Survei Garam Yodium (SGY). SGY merupakan survei yang bertujuan untuk memantau program iodisasi garam, seperti mengetahui penyebaran garam 131

beryodium di berbagai wilayah di Indonesia dan mengetahui status gizi balita dan wanita usia subur (wanita usia 15-49 tahun). Sejak tahun 1995 hingga tahun 2005 SGY telah dilaksanakan atas kerja sama BPS dengan Departemen Kesehatan dengan bantuan dana dari UNICEF dan Bank Dunia. Data yang dikumpulkan oleh Susenas maupun SGY sekarang ini peranannya cukup besar dalam upaya penyusunan indikator MDGs (Millenium Development Goals) yang merupakan program pemetaan upaya pemantauan kemiskinan dan pembangunan milenium yang merupakan kesepakatan bersama negara-negara di dunia. Dalam tulisan ini akan disajikan bagaimana Kor Susenas dan SGY memegang peranan dalam ketersediaan data dan penyusunan beberapa indikator MDGs beserta metodologi penghitungannya. Selain itu karena Kor Susenas dan SGY sebagai sumber datanya, disajikan pula penjelasan singkat tentang kedua survei ini yang meliputi ukuran sampel, cakupan, periodisitas, kekuatan estimasi dan lain-lain, termasuk contoh nilai atau besaran beberapa angka indikator untuk lima kabupaten di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. II. Kor Susenas 2.1 Latar Belakang Sejak tahun 1992 pengumpulan data Susenas terbagi menjadi dua kuesioner yaitu Kor dan Modul. Tujuan yang ingin dicapai melalui pemisahan ini adalah untuk dapat menyajikan data mengenai kemiskinan dan kaitannya dengan karakteristik sosial setiap tahunnya sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu sejumlah variabel terkait yang dikumpulkan dari tiap-tiap modul ditarik ke dalam Kor. Pada tahun 1992 ukuran sampel yang digunakan dalam Susenas baik untuk Kor maupun Modul sebesar 65.600 rumah tangga dengan level penyajian hingga propinsi. Selanjutnya untuk memenuhi permintaan penyusunan indikator kesejahteraan rakyat hingga level kabupaten/kota, pada tahun 1993 dilakukan penambahan jumlah sampel Kor menjadi 202.000 rumah tangga. Sampel sebesar itu berarti sudah memenuhi minimum sample size yang cukup untuk dapat menyajikan data pada level kabupaten/kota, meskipun belum dapat dipecah menurut klasifikasi tempat tinggal, perkotaan dan perdesaan. Sejak Susenas 1992 selanjutnya setiap tahun pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner Kor dan Modul secara terpisah. Tiga jenis kuesioner Modul dilakukan secara bergantian tiap tahun dan modul yang sama akan diulang setiap 3 tahun, ditambah dengan kuesioner dari survei lain yang diintegrasikan ke dalam Susenas seperti misalnya SGY. 132

2.2. Tujuan Tujuan pengumpulan data melalui Kor Susenas adalah tersedianya data tentang kesejahteraan rakyat yang sangat dibutuhkan untuk masukan penyusunan kebijakan dan sebagai alat untuk melihat keadaan, memonitor, dan mengevaluasi keberhasilan pembangunan. 2.3. Metodologi Pada dasarnya metodologi Susenas antara Kor dan Modul tidak berbeda, kecuali berbeda pada jumlah sampel sejak tahun 1993. a. Kerangka Sampel Kerangka sampel yang digunakan dalam Kor Susenas (terakhir/2006) terdiri atas: 1) Kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, 2) Kerangka sampel untuk pemilihan subblok sensus (khusus untuk blok sensus yang bermuatan lebih dari 150 rumah tangga), dan 3) Kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga dalam blok/subblok sensus terpilih. Pembentukan subblok sensus untuk blok sensus yang bermuatan lebih dari 150 rumah tangga, adalah dalam upaya menyeimbangkan beban kerja petugas dalam kegiatan pendaftaran rumah tangga dari blok sensus terpilih. b. Metode Penarikan Sampel Metode penarikan sampel Kor Susenas pada dua tahun terakhir (Susenas 2005 dan Susenas 2006) adalah Two-Stage Sampling atau Rancangan Sampel Dua Tahap, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Pada tahap pertama dipilih sejumlah blok sensus dengan PPS (Probability Proportional to Size) Systematic Sampling dengan size jumlah rumah tangga. Selanjutnya dari tiap blok sensus terpilih, dipilih 16 rumah tangga dengan cara sistematik. Apabila jumlah rumah tangga dalam blok sensus terpilih lebih dari 150 rumah tangga, maka terlebih dahulu harus dibentuk subblok sensus, kemudian dipilih 1 subblok sensus yang akan di-listing, kemudian diambil dari dalamnya sampel 16 rumah tangga. Metode penarikan sampel Kor Susenas telah beberapa kali mengalami perubahan. Pada Susenas 1993-2000 penarikan sampel dilakukan tiga tahap di masing-masing daerah perkotaan dan perdesaan, diawali dengan pemilihan wilcah, kelseg (kelompok segmen), dan rumah tangga. Kemudian pada tahun 2001 hingga 2003 penarikan sampel dibedakan antara 133

perkotaan dengan perdesaan. Di perkotaan dilakukan dengan 2 tahap dan di perdesaan dengan 3 tahap. Setelah dilakukan upaya penyeimbangan beban kerja bagi petugas listing dengan pembentukan subblok sensus pada blok sensus bermuatan lebih dari 150 rumah tangga, metode penarikan sampel pun mengalami perubahan. Penarikan sampel untuk blok sensus bermuatan kurang dari 150 rumah tangga adalah penarikan sampel 2 tahap, sedangkan untuk blok sensus bermuatan lebih dari 150 rumah tangga dengan 3 tahap. Metode yang sama juga diterapkan pada Susenas 2005 dan 2006. c. Cakupan

Kor Susenas meliputi semua wilayah Indonesia yang memungkinkan dalam pelaksanaan lapangannya. Maksudnya adalah jika ada wilayah Indonesia yang sedang dilanda kerusuhan atau bencana alam yang dahsyat, misalnya seperti yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam atau di Ambon, maka wilayah tersebut tidak dicakup Dalam penerapannya, blok sensus yang menjadi unit sampling tahap pertama hanya mencakup blok sensus biasa. Begitu pula halnya dengan rumah tangga sebagai unit sampling tahap kedua yang hanya mencakup rumah tangga biasa. Konsep blok sensus biasa dan rumah tangga biasa dapat dilihat di Lampiran 2. Selain rumah tangga, anggota rumah tangga dan kelompok penduduk seperti balita, wanita usia subur dan penduduk usia sekolah atau usia kerja juga menjadi unit dalam analisis. d. Ukuran Sampel dan Estimasi Sejak Susenas 1993 ukuran sampel Kor Susenas berkisar sekitar 200.000 rumah tangga. Dengan sampel sebesar itu data telah dapat disajikan hingga tingkat kabupaten/kota tanpa membedakan daerah perkotaan dan perdesaan. Untuk keperluan estimasi yang lebih rendah atau menambah variabel yang spesifik lokal di satu kabupaten/kota atau propinsi, pemerintah daerah setempat dapat menyelenggarakan Survei Sosial-Ekonomi Daerah (Suseda), dengan cara menambah sampel rumah tangga dan atau variabel spesifik lokal yang diinginkan. Pelaksanaannya dilakukan secara terintegrasi dengan Susenas. BPS daerah bertanggung jawab secara teknis dan lapangan. Sampai saat ini beberapa daerah di Indonesia, baik propinsi maupun kabupaten/kota, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kabupaten Badung, Polmas, Mamuju, Takalar dan Kota Yogyakarta pernah melakukan Suseda tahun 2006. 134

III. Survei Garam Yodium (SGY) 3.1. Latar Belakang Yodium diperlukan oleh setiap orang agar badannya memproduksi hormon endokrin, yang berperan penting dalam pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani. Gangguan yang dapat disebabkan oleh kekurangan yodium dapat berupa gangguan pertumbuhan fisik dan keterbelakangan mental. Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gondok, badan kerdil, gangguan motorik (kesulitan berdiri atau berjalan normal), bisu, tuli, dan mata juling, sedangkan keterbelakangan mental termasuk berkurangnya tingkat kecerdasan. Sementara itu kekurangan yodium yang sangat serius pada ibu hamil dapat mengakibatkan keguguran, bayi lahir mati atau bayi lahir kretin. Upaya penanggulangan jangka panjang yang berkesinambungan pada gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) adalah dengan menambahkan yodium ke dalam bahan makanan yang biasanya dikonsumsi setiap hari, yaitu melalui garam. Program ini dikenal dengan yodisasi garam, yang telah dimulai sejak tahun 1976 dengan bantuan UNICEF. Dalam rangka pemantauan keberhasilan program yodisasi maka dilakukan kerja sama lintas-sektor terkait. Salah satunya adalah kerja sama antara Departemen Kesehatan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam hal penyediaan data. Pemantauan dilakukan sejak tahun 1995-2005 melalui Survei Garam Yodium (SGY). 3.2 Tujuan Secara umum SGY bertujuan untuk mengetahui penyebaran garam beryodium di berbagai wilayah Indonesia, sedangkan secara khusus SGY bertujuan antara lain untuk: a. Mengetahui proporsi garam beryodium yang dikonsumsi masyarakat Indonesia; 1) Mengetahui status gizi balita dengan mengumpulkan data antropometri balita yang mencakup berat dan tinggi badan balita; dan 2) Mengetahui kasus-kasus kekurangan gizi pada wanita usia 15-49 tahun dengan mengumpulkan data ukuran LILA (lingkar lengan atas). 135

3.3

Metodologi

SGY yang pelaksanaannya terintegrasi dengan Susenas pada dasarnya mempunyai cakupan, kerangka sampel, dan metode penarikan sampel yang sama dengan Susenas. Adapun perbedaannya adalah pada tingkat penyajian data dan tentunya dalam metode pengumpulan data. Data SGY dikumpulkan tidak hanya dengan wawancara, tetapi juga menggunakan metode pengukuran antropometri dan pemeriksaan kandungan yodium melalui tes kit. Ukuran Sampel dan Estimasi Ukuran sampel dan estimasi dalam SGY 2005 dibedakan menjadi: 1. Ukuran sampel untuk pengumpulan data kandungan garam yodium dan data berat badan balita sama dengan ukuran sampel Kor Susenas. 2. Ukuran sampel untuk pengumpulan data LILA, berat dan tinggi badan balita usia 24-59 bulan sama dengan ukuran sampel Modul Susenas Dengan ukuran sampel yang berbeda tersebut, maka level estimasi atau penyajian masing-masing data juga berbeda. Data proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium dan status gizi balita dapat disajikan hingga tingkat kabupaten/kota. Namun data status gizi balita usia 24-59 bulan dan LILA untuk mengetahui status gizi wanita hanya dapat disajikan hingga tingkat propinsi. IV. Keterangan Pokok yang Dikumpulkan dalam Kor Susenas dan SGY 4.1 Kor Susenas Ada beberapa blok pertanyaan dalam kuesioner Susenas yang diajukan kepada rumah tangga terpilih dan anggotanya. Masing-masing blok mewakili aspek kehidupan dan terdiri dari beberapa pertanyaan. Blok pertanyaan yang dicakup dalam Susenas hampir sama dari tahun ke tahun tetapi jenis pertanyaan yang diajukan kepada rumah tangga terpilih dalam blok bisa berubah menurut kebutuhan. Berikut ini adalah garis besar pertanyaan yang dikumpulkan dalam Kor Susenas 2005 yang tercakup dalam blok pertanyaan penting sebagai berikut: Blok I. Pengenalan tempat yang berisi tentang lokasi rumah tangga sampel dari propinsi sampai blok sensus serta nomor urut sampel. Blok II. Keterangan rumah tangga yang berisi tentang ringkasan hasil wawancara. Blok III. Keterangan pencacahan yang berisi keterangan siapa yang melakukan wawancara, pemeriksaan, dan pengawasan.

136

Blok IVA. Keterangan anggota rumah tangga menyangkut siapa saja yang tinggal dalam rumah tangga terpilih beserta karakteristik demografinya. Blok IVB. Kejadian kematian sejak Januari 2002 untuk memperoleh keterangan tentang kematian secara langsung selama 3 tahun terakhir. Blok V. Keterangan perorangan, kesehatan dan pendidikan menyangkut antara lain mobilitas, pelayanan kesehatan, dan imunisasi, partisipasi sekolah, pendidikan yang ditamatkan, serta kemampuan membaca dan menulis. Blok VI. Kegiatan anggota rumah tangga berumur 10 tahun ke atas yang ditanyakan antara lain kegiatan anggota dan pekerjaannya. Blok VII. Fertilitas dan KB, untuk memperoleh keterangan tentang kesuburan ibu dan penggunaan alat KB. Dalam blok ini juga ditanyakan tentang jumlah anak lahir hidup dan jumlah anak yang masih hidup untuk menghitung angka kematian bayi dan balita secara tidak langsung. Blok VIII. Perumahan, fasilitas perumahan, dan lingkungan, untuk mengumpulkan keterangan antara lain tentang pemilikan rumah, luas bangunan, fasilitas penerangan, air dan sanitasi. Blok IX. Pengeluaran rata-rata rumah tangga sebulan dan sumber penghasilan utama rumah tangga. Blok ini digunakan untuk mengumpulkan data pengeluaran makanan dan non-makanan, dan sumber penghasilan utama. Empat belas jenis kelompok pengeluaran makanan seperti padipadian, umbi-umbian, ikan, daging, makanan jadi, dan konsumsi minuman dikumpulkan dalam subblok pertama. Kemudian subblok berikutnya mencakup pertanyaan tentang pengeluaran non-makanan seperti perumahan, pakaian, perhiasan, pajak dan pesta. Di samping itu sumber penghasilan utama rumah tangga juga ditanyakan dalam subblok ini. 2. SGY Seperti telah dikemukakan di muka, penyelenggaraan SGY diintegrasikan dengan Kor Susenas, oleh karena itu blok pertanyaan yang terkait dengan keterangan tempat dan petugas isinya sama dengan isi Susenas. Kuesioner SGY hanya terdiri dari 2 kuesioner masing-masing untuk mencatat hal-hal yang berkaitan dengan garam yodium dan penimbangan balita dan terdiri dari 4 blok pertanyaan, dua blok lainnya berisi ringkasan hasil wawancara di Blok IV. Dalam Blok IV kuesioner yang pertama dicakup adalah pertanyaan tentang pemakaian dan pengetahuan tentang garam beryodium, seperti kegunaan, perolehan, dan penyimpanan. Dalam blok ini juga dicatat hasil pengujian garam dengan test kit untuk melihat kadar yodium dalam garam.

137

Dalam Blok IV kuesioner kedua dicakup keterangan tentang anggota rumah tangga dan anak usia 0-59 bulan seperti umur, jenis kelamin, berat badan, pemberian vitamin A, dan penimbangan di Posyandu. V. Indikator MDGs dari Susenas Kor dan SGY Bab ini akan menyajikan indikator-indikator MDGs yang dihasilkan dari data Kor Susenas dan SGY. Berdasar hasil Susenas 2005 dan SGY tahun 2005 dapat disusun berbagai indikator yang sangat bermanfaat untuk pemantauan dan evaluasi MDGs seperti yang disajikan dalam lampiran. Indikator dimaksud yang dapat mengukur pencapaian tujuan MDGs antara lain: a. Tujuan 1: Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan 1) Proporsi penduduk miskin (sebagai proksi dari penduduk yang hidup dengan kurang dari $ 1 per hari) Definisi Perbandingan antara penduduk yang miskin dengan jumlah seluruh penduduk. Penghitungan penduduk miskin dari data Kor Susenas dilakukan dengan dasar garis kemiskinan yang dihitung dari data Modul Konsumsi Susenas. Garis kemiskinan hasil Modul untuk nasional dan propinsi dipakai sebagai patokan. Bila tahun penyelenggaraan Kor Susenas tidak sama dengan Modul Konsumsi Susenas maka garis kemiskinan harus dikoreksi dengan IHK. Setelah garis kemiskinan propinsi diperoleh maka masing-masing pengeluaran rumah tangga terpilih dibandingkan dengan garis tersebut. Rumah tangga yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan dikelompokkan sebagai rumah tangga miskin. Secara ringkas contoh penghitungan penduduk miskin tahun 2004 ada di Lampiran 3. 2) Kontribusi kuantil pertama penduduk berpendapatan terendah terhadap konsumsi kabupaten Definisi Perbandingan antara jumlah pendapatan penduduk di kuantil pertama dengan jumlah pendapatan seluruh penduduk di kabupaten. Rumus: Jumlah pendapatan penduduk di kuantil pertama Jumlah pendapatan penduduk kabupaten

138

3) Prevalensi balita kurang gizi Definisi: Perbandingan antara balita berstatus kurang gizi dengan balita seluruhnya. Prevalensi status gizi balita diperoleh melalui indeks berat badan menurut umur dan kategorinya ditentukan dengan menggunakan standar WHO-NCHS yang dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan Z-score yaitu: (1) (2) (3) (4) gizi lebih (Z-score >= +2) gizi normal (-2 < Z-score < +2) gizi kurang (-3 < Z-score < -2) gizi buruk (Z-score <= -3)

Dalam tulisan ini yang dikatakan sebagai balita kurang gizi adalah balita dengan status gizi buruk dan kurang. Rumus: Jumlah balita kurang gizi Jumlah balita b. Tujuan 2: mencapai pendidikan dasar untuk semua dapat diukur dengan: 4) Angka Partisipasi Murni (APM) SD (7-12 tahun) Definisi Perbandingan antara murid Sekolah Dasar (SD) usia 7-12 tahun dengan penduduk usia 7-12 tahun, dan biasanya dinyatakan dalam persen. SD yang dimaksud di sini mencakup Madrasah Ibtidaiyah (MI). Rumus: Banyaknya murid SD usia 7-12 Banyaknya penduduk usia 7-12 tahun 5) Angka Partisipasi Murni (APM) SLTP (13-15 tahun) Definisi Perbandingan antara murid Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP) usia 1315 tahun dengan penduduk usia 13-15 tahun, dan biasanya dinyatakan dalam persen. SLTP di sini termasuk sekolah kejuruan tingkat menengah pertama dan Madrasyah Tsanawiyah (MTs) Rumus: Banyaknya murid SLTP usia 13-15 tahun Banyaknya penduduk usia 13-15 tahun 139

6) Angka Partisipasi Murni (AMH) usia 15-24 tahun Definisi: Perbandingan antara jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang dapat membaca dan menulis dengan total seluruh penduduk usia 15-24 tahun Rumus: Jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang dapat membaca dan menulis Jumlah penduduk usia 15-24 tahun c. Tujuan 3: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dapat diukur keberhasilannya dengan: 7) Rasio APM anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat SD (712 tahun) Definisi Perbandingan antara APM SD perempuan dengan APM SD laki-laki, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: APM SD (Perempuan) APM SD (Laki-Laki) 8) Rasio APM anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat SLTP (13-15 tahun) Definisi Perbandingan antara APM SLTP perempuan dengan APM SLTP lakilaki, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: APM SLTP (Perempuan) APM SLTP (Laki-Laki) 9) Rasio APM anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat SLTA (16-18 tahun) Perbandingan antara APM Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) perempuan usia 16-18 tahun dengan APM SLTA laki-laki usia 16-18 tahun, biasanya dinyatakan dalam persen. SLTA yang dimaksud di sini mencakup Sekolah Menengah Kejuruan dan Madrasah Aliah (MA) Rumus:
APM SLTA (perempuan) APM SLTA (laki-laki)

140

10) Rasio APM anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan tinggi Definisi Perbandingan antara APM perempuan di tingkat pendidikan tinggi negeri, kejuruan, dan swasta dengan APM laki-laki di tingkat yang sama, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: APM pendidikan tinggi (perempuan) APM pendidikan tinggi (laki-laki) 11) Rasio melek huruf anak perempuan terhadap anak laki-laki (15-24 tahun) Definisi Perbandingan antara perempuan usia 15-24 tahun yang dapat membaca dan menulis dengan laki-laki usia 15-24 tahun yang dapat membaca dan menulis, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: AMH Perempuan 15-24 tahun AMH Laki-Laki 15-24 tahun 12) Kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian Definisi Perbandingan antara perempuan sebagai pekerja dibayar di sektor nonpertanian dengan seluruh laki-laki sebagai pekerja dibayar di sektor nonpertanian, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: Jumlah pekerja perempuan dibayar di sektor non-pertanian Jumlah pekerja laki-laki dibayar di sektor non-pertanian d. Tujuan 4: menurunkan angka kematian anak, keberhasilannya antara lain dapat diukur dengan: 13) Proporsi anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak Rumus Jumlah bayi yang telah diimunisasi campak Jumlah bayi

141

e. Tujuan 5: meningkatkan kesehatan ibu dapat diukur keberhasilannya dengan: 14) Proporsi pertolongan persalinan (penolong kelahiran bayi usia 12-23 bulan) oleh tenaga kesehatan terlatih Definisi: Perbandingan antara persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dengan kejadian persalinan seluruhnya, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: Jumlah persalinan bayi usia 12-23 bulan yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih Jumlah persalinan bayi usia 12-23 bulan seluruhnya 15) Angka pemakaian kontrasepsi pada perempuan menikah usia 15-49 tahun Definisi Perbandingan antara perempuan menikah usia 15-49 tahun yang menggunakan kontrasepsi dengan perempuan menikah usia 15-49 tahun, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: Jumlah perempuan menikah usia 15-49 tahun yang menggunakan kontrasepsi Jumlah perempuan menikah usia 15-49 tahun f. Tujuan 6: memerangi HIV/AIDS dan penyakit kelamin menular lainnya dapat diukur keberhasilannya dengan indikator 16) Angka pemakaian kontrasepsi kondom pada perempuan menikah usia 15-49 tahun Definisi: Perbandingan antara perempuan menikah usia 15-49 tahun yang menggunakan kontrasepsi kondom dengan perempuan menikah usia 15-49 tahun, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: Jumlah perempuan menikah usia 15-49 tahun yang menggunakan kontrasepsi kondom Jumlah perempuan menikah usia 15-49 tahun 142

g. Tujuan: memastikan kelestarian lingkungan hidup 17) Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan Definisi Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan dengan rumah tangga seluruhnya, biasanya dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud dengan air minum yang terlindungi adalah air leding, air kemasan, air hujan, serta air dari mata air dan sumur tertutup yang jaraknya lebih dari 10 m dari pembuangan kotoran, limbah, dan sampah. Rumus: Jumlah rumah tangga dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi Jumlah rumah tangga seluruhnya 18) Proporsi rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak Definisi Perbandingan antara rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak dengan rumah tangga seluruhnya, biasanya dinyatakan dalam persen. Fasilitas sanitasi yang layak artinya rumah tangga memiliki sendiri kakus yang bertangki septik. Rumus: Jumlah rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak Jumlah rumah tangga seluruhnya Catatan: Fasilitas sanitasi yang layak menggunakan penggunaan fasilitas tempat buang air besar sendiri. variabel

19) Proporsi rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa/kontrak sebagai proksi terhadap proporsi rumah tangga dengan akses terhadap tempat tinggal tetap. Definisi Perbandingan antara rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa/kontrak dengan rumah tangga seluruhnya, biasanya dinyatakan dalam persen. Rumus: Jumlah rumah tangga dengan status rumah milik atau sewa Jumlah rumah tangga seluruhnya 143

VI. Kesimpulan Dari kesimpulan di muka ada dua isu pokok untuk dikemukakan di sini yaitu isu indikator dan isu otonomi daerah. Pada waktu Kor Susenas dan SGY dirancang, MDGs belum dicanangkan sehingga indikator yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk mengukur pencapaian keberhasilan MDGs tidak tepat sama dengan indikator yang secara internasional disepakati. Begitu pula kaitan antara Kor Susenas dan SGY dengan perencanaan daerah. Kedua survei ini hanya menghasilkan indikator untuk melihat kinerja kabupaten atau kota tetapi tidak dapat menunjukkan kinerja kecamatan. Untuk menanggapi kedua isu di atas tidak tertutup kemungkinan untuk 1. Memodifikasi sebagian pertanyaan dalam Kor Susenas sehingga sesuai dengan indikator yang secara global disepakati, dan 2. Menambah sampel rumah tangga dalam Kor Susenas sehingga indikator yang dihasilkan dapat menggambarkan kondisi kecamatan.

144

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2005 Analisis Penghitungan Tingkat Kemiskinan, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Indikator Statistik Bidang Sosial Menurut Jenis dan Penggunaannya, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 1999 Laporan Hasil Survei Konsumsi Yodium Rumah Tangga 1999, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2001 Laporan Hasil Survei Konsumsi Yodium Rumah Tangga 2001, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. 2003 Laporan Hasil Survei Konsumsi Yodium Rumah Tangga 2003, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Garam

Garam

Garam

Badan Pusat Statistik dan UNFPA. Panduan Pelatihan. Pemantauan Perkembangan Kesejahteraan Rakyat: Pemanfaatan Data Susenas dan Data Sosial Kependudukan Lainnya, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Pedoman Pencacah Kor Susenas 2006, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Pedoman Pengawas Kor Susenas 2001, Badan Pusat
Statistik, Jakarta.

_________________. Pedoman Pengawas Kor Susenas 2002, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

_________________. Pedoman Pengawas Kor Susenas 2003, Badan Pusat Statistik, Jakarta.
145

_________________. Pedoman Pengawas Kor Susenas 2004, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Pedoman Pengawas Kor Susenas 2005, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Pedoman Pengawas Kor Susenas 2006, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Pedoman Survei Pengumpulan Data Status Gizi dan Garam Beryodium Susenas 2005, Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________________. Statistik Pendidikan 2003 Survei Sosial Ekonomi Nasional, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Surbakti, DR. Pajung. Susenas Suatu Sumber Data Berkesinambungan Untuk Analisis Kesejahteraan Rakyat di Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

146

Potensi Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia untuk Pemantauan Tujuan Pembangunan Milenium
(Dr. Wendy Hartanto) 1. Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dilaksanakan setiap tiga sampai lima tahun sekali. SDKI yang terakhir dilaksanakan adalah SDKI 2002-2003. Sebelumnya telah dilaksanakan Survei Prevalensi Indonesia 1987 (SPI 1987), SDKI 1991, SDKI 1994, SDKI 1997. Adapun tujuan dari SDKI adalah: - Menyediakan data mengenai perilaku fertilitas, keluarga berencana (KB), kesehatan ibu dan anak, kematian ibu, dan pengetahuan tentang AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS) yang dapat digunakan oleh pengelola program, pengambil kebijakan dan peneliti dalam menilai dan menyempurnakan program yang ada; - Mengukur perubahan yang terjadi pada angka kelahiran dan pemakaian alat kontrasepsi KB, serta mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pola dan status perkawinan, daerah tempat tinggal, pendidikan, kebiasaan menyusui dan pengetahuan tentang penggunaan, serta penyediaan alat-alat kontrasepsi; - Mengukur pencapaian sasaran dari program kesehatan nasional, khususnya yang berkaitan dengan program pembangunan kesehatan ibu dan anak; - Menilai partisipasi dan penggunaan pelayanan kesehatan oleh pria bagi seluruh keluarganya; dan - Menyediakan data dasar yang dapat dibandingkan dengan data sejenis dari negara-negara lain dan dapat digunakan oleh para pengelola program, pengambil kebijakan dan peneliti dalam bidang KB dan kesehatan. SDKI mengumpulkan data dari sampel wanita pernah kawin berumur 15-49 tahun dan pria berstatus kawin berumur 15-54 tahun untuk: - Mengestimasi parameter demografi khususnya fertilitas, kematian bayi dan kematian anak di bawah lima tahun; - Mengukur pengetahuan dan penggunaan alat kontrasepsi; - Mendapatkan indikator kunci kesehatan anak termasuk tingkat immunisasi, prevalensi dan pengobatan diare dan penyakit lainnya dan pemberian makanan kepada anak; - Menilai cakupan pelayanan perawatan ibu; - Menggali keterlibatan pria dalam kesehatan reproduksi; dan

149

- Meneliti variabel langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi situasi kesehatan ibu dan anak. Survei memberikan perkiraan di tingkat nasional dan propinsi untuk seluruh indikator tersebut di atas. SDKI 2002-2003 dilaksanakan di 26 propinsi di Indonesia. Karena alasan keamanan empat propinsi tidak dicakup yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku, Maluku Utara dan Papua, namun dari sisi cakupan ketidakhadiran tersebut tidak banyak berpengaruh karena keempat propinsi tersebut hanya dihuni oleh empat persen penduduk Indonesia. Dalam Tabel 1 disajikan alokasi blok sensus yang dicakup dalam sampel SDKI 2002-2003 menurut propinsi. Terlihat bahwa sekitar sepertiga alokasi sampel blok sensus terpilih terletak di pulau Jawa yaitu 446 blok sensus. Tabel 1. Alokasi Blok Sensus SDKI 2002-2003 menurut Propinsi
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Propinsi Sumatera Utara Riau Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka-Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa enggara timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Jumlah Jumlah Blok Sensus 60 50 50 40 50 40 50 40 82 84 74 66 74 66 66 50 40 50 40 50 40 50 40 60 40 40 1392

150

Kerangka sampel yang digunakan untuk SDKI 2002-2003 adalah daftar sampel Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002. Pendaftaran rumah tangga telah dilakukan di seluruh Blok Sensus (BS) yang tercakup dalam Susenas 2002. Dalam rancangan SDKI 2002-2003 ditentukan paling sedikit 40 BS untuk setiap propinsi. Sampel dirancang untuk menghasilkan indikator yang terpercaya di setiap propinsi. Jumlah BS disetiap propinsi tidak dialokasikan secara proporsional terhadap jumlah penduduk propinsi juga tidak proporsional menurut klasifikasi daerah perkotaan dan perdesaan. Sampel SDKI 2002-2003 dipilih melalui stratifikasi dua tahap dari 1392 BS. Setelah jumlah rumah tangga dialokasikan untuk setiap propinsi menurut daerah perkotaan dan perdesaan, jumlah BS ditentukan berdasarkan rata-rata sampel 25 rumah tangga di setiap BS. Seluruh wanita pernah kawin umur 15-49 tahun dalam rumah tangga memenuhi syarat untuk diwawancarai secara individu. Delapan rumah tangga dari setiap BS yang terpilih untuk sampel wanita dipilih untuk sampel pria. Seluruh pria yang berstatus kawin umur 15-54 tahun dalam rumah tangga terpilih diwawancarai. Sampel ini dirancang dapat memberikan asumsi yang mencakup Indonesia, perkotaan dan perdesaan serta propinsi untuk indikator kunci. Di setiap propinsi, pemilihan BS di wilayah perkotaan dan perdesaan dilakukan dengan menggunakan sampling beberapa tahap (multi stage stratified sampling). Di daerah perkotaan, tahap pertama BS dipilih secara sistematik sampling. Disetiap BS terpilih dipilih 25 rumah tangga secara acak. Di daerah perdesaan pemilihan rumah tangga dilakukan dengan tiga tahap. Pada tahap pertama, dipilih sejumlah kecamatan. Peluang terpilihnya masing-masing kecamatan proporsional dengan banyaknya rumah tangga dalam kecamatan tersebut. Di tahap ke-dua, dari setiap kecamatan terpilih, dipilih BS dengan sampling sistematik. Di tahap ke-tiga di setiap BS terpilih dipilih 25 rumah tangga secara acak. SDKI 2002-2003 menggunakan petugas lapangan sebanyak 530 orang, 362 wanita dan 168 pria. Petugas lapangan dibagi dalam 94 tim, setiap tim terdiri dari satu orang pengawas, satu orang editor, tiga pewawancara wanita dan satu pewawancara pria. Petugas lapangan dilatih di setiap propinsi. Pelatihan yang dilaksanakan termasuk presentasi di kelas, latihan wawancara dan ujian.

151

Pelaksanaan lapangan diselenggarakan lebih dari 51/2 bulan dari akhir Oktober sampai dengan Mei 2003. Di hampir seluruh lokasi survei, pelaksanaan lapangan berhenti paling sedikit 1 bulan selama bulan puasa bagi orang Muslim yang jatuh awal bulan November sampai dengan bulan Desember 2002. Di Propinsi Riau pelaksanaan lapangan baru dimulai pada bulan Desember 2002. Di tiga propinsi baru: Bangka Belitung, Banten dan Gorontalo pelatihan dilaksanakan pada bulan Maret 2003 dan pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April dan Mei 2003. 2. Estimasi Kesalahan Sampling Metode yang digunakan untuk mengukur kesalahan sampling SDKI 2002-2003 adalah metode Tailor Linearization sedangkan untuk perkiraan variansi (variance) dari beberapa variabel penting digunakan metode pengulangan dan penggandaan jacknife. Metode Tailor Linearization memperlakukan setiap persentase dan rata-rata sebagai estimasi rasio, r = y/x, di mana y menunjukkan nilai total sampel untuk variabel y, dan x menunjukkan jumlah kasus dalam kelompok atau sub-kelompok yang menjadi penelitian. Variansi dari r dihitung menggunakan rumus seperti dibawah ini, dengan galat baku (standard error) akar dari variansi:

SE 2 (r ) = var(r ) =

1 f x2

2 mh mh 2 zh zhi m i =1 mh h =1 h 1 H

zhi = yhi rxhi , and zh = yh rxh


di mana: h adalah stratum yang mempunyai nilai antara 1 dan H

mh yhi

adalah jumlah blok sensus terpilih dalam stratum ke-h adalah jumlah tertimbang nilai dari variabel y dalam blok sensus ke-i dan stratum ke-h

xhi adalah jumlah kasus (wanita) dalam blok sensus ke-i dan stratum ke
h,

adalah

fraksi

sampling

yang

karena

nilainya

kecil

tidak

diperhitungkan

152

Metode pengulangan jacknife memperoleh estimasi dari statistik yang rumit dari setiap sampel induk, dan menghitung galat baku dari statistikstatistik tersebut dengan menggunakan formula sederhana. Dalam setiap perhitungan estimasi dipertimbangkan semua blok sensus kecuali satu yang digunakan untuk menghitung estimasi. Pseudo-independent akan muncul. Pada SDKI 2002-2003 ada 1392 blok sensus yang berisi. Karena itu muncul 1391. 3. Kuesioner SDKI 2002-2003 menggunakan 3 daftar pertanyaan, yaitu Daftar Rumah Tangga (SDKI02-RT), Daftar Pertanyaan Wanita Kawin (SDKI02-WK), dan Daftar Pertanyaan Pria Kawin (SDKI02-PK). Daftar rumah tangga dan perseorangan didasarkan pada daftar pertanyaan Demographic and Health Survey (DHS) model A yang dirancang untuk negara-negara yang prevalensi KB-nya tinggi. Daftar rumah tangga digunakan untuk mendaftar semua anggota rumah tangga yang biasa tinggal dan tamu yang menginap dalam rumah tangga terpilih. Informasi dasar ini ditanyakan kepada semua orang yang didaftar antara lain: jenis kelamin, pendidikan, dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Tujuan utama dari daftar rumah tangga adalah untuk mengidentifikasi wanita dan pria yang memenuhi syarat untuk wawancara perseorangan. Daftar rumah tangga ini juga digunakan untuk mengidentifikasi wanita dan pria belum kawin berumur 15-24 tahun yang memenuhi syarat untuk wawancara perorangan dalam survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI). Informasi tentang karakteristik bangunan rumah tangga, seperti sumber air minum, jenis kakus, bahan bangunan yang digunakan untuk lantai dan dinding rumah, kepemilikan beberapa barang juga ditanyakan dalam daftar rumah tangga. Informasi tersebut mencerminkan status sosial-ekonomi rumah tangga. Daftar perseorangan Wanita digunakan untuk mengumpulkan informasi dari semua wanita pernah kawin berusia 15-49 tahun. Mereka ditanya tentang beberapa topik, antara lain: - Karakteristik latar belakang, seperti umur, status perkawinan, pendidikan, dan akses terhadap media massa; - Pengetahuan dan praktek keluarga berencana; - Preferensi fertilitas; - Kehamilan, persalinan, dan pemeriksaan masa nifas; - Pemberian air susu ibu dan pola pemberian makanan balita; - Immunisasi dan penyakit balita;

153

Perkawinan dan kegiatan sosial; Karakteristik latar belakang suami dan pekerjaan responden; Kematian balita; Kesadaran dan perilaku terhadap AIDs dan penyakit menular seksual lainnya; dan - Kematian saudara kandung, termasuk kematian ibu. Daftar pertanyaan Pria ditanyakan kepada semua pria kawin berumur 15-54 tahun dalam setiap rumah tangga terpilih dalam sampel SDKI. Informasi yang dikumpulkan dalam Daftar Pertanyaan Pria kurang lebih sama dengan Daftar pertanyaan Wanita, hanya lebih pendek sebab tidak mencakup riwayat kelahiran, kematian dan kesehatan anak, gizi dan kematian ibu. Sebaliknya ditanya tentang pengetahuan dan partisipasinya dalam pemeliharaan kesehatan anak. SDKI 2002-2003 dirancang untuk memperoleh angka estimasi tingkat nasional, perkotaan, dan perdesaan, dan propinsi. Sampel yang terpilih dalam survei ini adalah 34 738 rumah tangga, 29 996 wanita kawin dan 8 740 pria kawin. 4. Pemantauan dan Evaluasi Pembangunan Milenium melalui SDKI 2002-2003 Tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang secara global telah disepakati, dikelompokkan menjadi 8 tujuan dan 18 target. Guna memantau dan mengevaluasi MDGs telah dikembangkan berbagai indikator yang dapat merujuk pada tujuan dan target tersebut. Jumlah indikator yang dikembangkan di Indonesia makin lama makin banyak sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan data. Berbagai survei telah diidentifikasi sebagai sumber data yang mampu menyajikan berbagai indikator, di antaranya SDKI 2002-2003. Salah satu tujuan dilaksanakannya SDKI adalah mengukur pencapaian sasaran program kesehatan nasional khususnya yang berkaitan dengan program pembangunan kesehatan ibu dan anak. Sasaran program kesehatan nasional untuk ibu dan anak ini sejalan dengan kesepakatan global tersebut di atas. Pengukuran pencapaian sasaran MDGs dimungkinkan karena adanya tujuan SDKI lainnya, yaitu untuk menyediakan data antara lain tentang kesehatan ibu dan anak serta penyakit menular. Seperti telah diterangkan di muka, responden dalam SDKI adalah rumah tangga, dan anggota rumah tangga wanita yang pernah kawin pada usia subur atau berumur 15-49 tahun atau pria pernah kawin berusia 15-54

154

tahun. Oleh karena itu walaupun dalam SDKI telah dikumpulkan keterangan tentang pendidikan dan pekerjaan responden, data tersebut tidak dapat digunakan untuk memantau dan mengevaluasi Tujuan 2 yang terkait dengan pendidikan dan Tujuan 3 yang terkait dengan kesetaraan gender, karena indikator yang diperoleh tidak valid untuk mewakili seluruh populasi di Indonesia. Keterangan yang bermanfaat untuk pemantauan dan evaluasi MDGs adalah yang menyangkut Tujuan 4 tentang kematian anak, Tujuan 5 tentang kesehatan ibu, dan Tujuan 6 tentang penyakit menular. Di samping itu keterangan tentang aset rumah tangga, fasilitas air dan sanitasi dari rumah tangga terpilih dapat digunakan untuk menyusun indikator proxy yang terkait dengan Target 1 dan Target 10. Berikut adalah indikator yang dapat diturunkan dari SDKI 2002-2003 untuk mengukur pencapaian target MDGs. Target 1: Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah $1 per hari menjadi setengahnya antara 1990-2015 Variabel yang ada dalam kuesioner SDKI 2002-2003 tidak dapat digunakan secara langsung untuk mengukur pencapaian target 1 MDGs. Dari hasil survei ini dapat dihasilkan indeks kekayaan (wealth index) dari kondisi bangunan yang ditempati atau aset yang dimiliki oleh rumah tangga. Indeks kekayaan ini dapat digunakan sebagai proxy penghitungan orang miskin. Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua per tiganya antara tahun 1990-2015. Ada tiga indikator yang digunakan untuk mengukur target 5 MDGs dan seluruhnya dapat dihitung dari hasil SDKI 2002-2003. Angka kematian bayi dan balita dapat dihitung dengan metode langsung (direct estimate) dari riwayat kelahiran (birth history) yang dikumpulkan oleh survei ini. Indikator ketiga yaitu proporsi anak berusia 12-23 bulan yang telah diimunisasi campak juga dapat dihasilkan dari SDKI 2002-2003. Target 6: Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga per empatnya antara tahun 1990-2015. Ada dua indikator yang dapat digunakan untuk mengukur target 6 MDGs dan kedua indikator tersebut dapat dihitung dari hasil SDKI 2002-2003. Angka kematian ibu dapat dihitung dengan menggunakan metode langsung saudara kandung perempuan (direct estimate sisterhood method). Indikator proporsi pertolongan persalinan oleh tenaga medis dapat juga dihasilkan oleh survei ini.

155

Target 7: Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015. Dari tiga indikator yang digunakan untuk mengukur target 7 MDGs hanya indikator angka pemakaian kontrasepsi kondom pada perempuan menikah yang dapat diukur secara langsung, sedangkan dua indikator lainnya hanya dapat diukur melalui proxy, yiatu proporsi penduduk usia 15-24 tahun dan ibu hamil yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV/AIDS. Target 8: Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunkan jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya. Indikator untuk mengukur target ini belum dapat dihasilkan dari SDKI 20022003. Namun untuk SDKI mendatang indikator proporsi penduduk yang berisiko malaria yang menggunakan cara pencegahan dan penanganan efektif untuk memerangi malaria serta indikator proporsi anak balita tidur menggunakan kelambu yang direndam insektisida akan dimasukkan dalam kuesioner. Target 10: Penurunan sebesar separuh proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan. Indikator untuk mengukur pencapaian target ini dapat dihasilkan dari SDKI 2002-2003. Dalam survei ini kepada setiap rumah tangga ditanya mengenai sumber air untuk minum dan sanitasi sehingga pencapaian target ini dapat diukur. Target 11: Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh. Target ini diukur dengan indikator yang terkait dengan sanitasi yang layak yang datanya tersedia di SDKI 2002-2003. 5. Indikator Kesehatan dari SDKI 2002-2003 SDKI menghasilkan berbagai indikator yang dapat mengukur secara kuantitatif keberhasilan program kesehatan nasional. Indikator-indikator ini berpotensi dimanfaatkan untuk mengukur dan mengevaluasi MDGs, namun pada saat ini baru sebagian saja yang telah dimanfaatkan. Tabel 2 berikut adalah daftar indikator tersebut.

156

Tabe 2: Daftar Indikator dari SDKI tahun 2002/2003 yang telah dipakai untuk memantau dan mengevaluasi MDGs
Tujuan/ target dalam MDGs 4/5 4/5 5/6

Indikator

Ukuran

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Angka kematian perinatal (0-7 hari) Angka kematian neonatal (0-29 hari) Angka kematian post neonatal (1-11 bulan) Angka kematian bayi (0-11 bulan) Angka kematian anak (12-59 bulan) Angka kematian balita (0-59 bulan) Angka kematian ibu (15-49 tahun selama kehamilan, melahirkan atau selama masa nifas) Angka kematian dewasa (15-49 tahun) Angka fertilitas menurut kelompok umur (ASFR) Angka fertilitas total (TFR) Angka fertilitas umum (GFR) Angka kelahiran kasar (CBR) Rata-rata anak lahir hidup wanita 40-49 tahun Rata-rata umur wanita pada kelahiran anak pertama Persentase kelahiran yang ditolong oleh tenaga medis Persentase kehamilan yang diperiksa oleh tenaga medis Persentase ibu yang memeriksakan 4 kali selama kehamilan kepada tenaga medis Persentase wanita hamil yang mendapat imunisasi tetanus toksoid Persentase ibu yang mengalami komplikasi saat melahirkan Persentase persalinan dengan bedah caesar Persentase bayi dengan berat lahir rendah Persentase bayi dengan ukura kurang dari rata-rata

20 per 1000 kelahiran 15 per 1000 kelahiran 35 per 1000 kelahiran 11 per 1000 kelahiran 46 per 1000 kelahiran 307 per 100000 kelahiran

2 per 1000 penduduk Disajikan dalam publikasi 2.6 per wanita 89 per 1000 wanita 21.9 per 1000 penduduk 4.0 anak 21.9 tahun

1. 2. 3.

5/6 -

66.3 persen 91.5 persen 81 persen

4. 5. 6. 7. 8.

72.2 persen 7.1 persen 4.1 persen 5,6 persen 13.7 persen

157

Indikator

Tujuan/ target dalam MDGs 4/5

Ukuran

1. 2. 3. 4. 5.

Persentase anak yang mendapat imunisasi BCG Persentase anak yang mendapat imunisasi DPT lengkap Persentase anak yang mendapat imunisasi Polio lengkap Persentase anak yang mendapat imunisasi Campak Persentase anak yang mendapat imunisasi lengkap Pengetahuan tentang HIV/AIDS Persentase wanita kawin yang pernah mendengar HIV/AIDS Persentase laki-laki kawin yang pernah mendengar HIV/AIDS Persentase wanita kawin yang percaya ada cara untuk mengindari HIV/AIDS Persentase laki-laki kawin yang percaya ada cara untuk menghindari HIV/AIDS Pengetahuan tentang gejala PMS

93.1 persen 80.6 persen 70.4 persen 78.6 persen 70.9 persen

1. 2. 3. 4. 5. 6. 1.

Disajikan dalam publikasi Tabel 15.2 hal 175 58.8 persen 72.8 persen 33.6 persen 53.7 persen Disajikan dalam publikasi Tabel 15.7.1-2 hal 183,184 13.2 persen 6.2 persen 27.8 persen 4.3 persen 0.9 persen 3.7 persen 0.4 persen 56.7 persen 3.6 persen

6/7 -

Persentase wanita yang menggunakan Pil sebagai cara ber KB 2. Persentase wanita yang menggunakan IUD sebagai cara ber KB 3. Persentase wanita yang menggunakan Suntik sebagai cara ber KB 4. Persentase wanita yang menggunakan Susuk sebagai cara ber KB 5. Persentase wanita yang menggunakan Kondom sebagai cara ber KB 6. Persentase wanita yang menggunakan Sterilisasi wanita sebagai cara ber KB 7. Persentase wanita yang menggunakan Sterilisasi pria sebagai cara ber KB 8. Persentase wanita yang menggunakan Cara Modern sebagai cara ber KB Persentase wanita yang menggunakan Cara Tradisional sebagai cara ber KB
File: Final 15-0207

158

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen Kesehatan dan ORC Macro. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. 2002-2003, Desember 2003. Direktorat Statistik Kependudukan, Badan Pusat Statistik. United Nations, The Millenium Development Goals: The Way Ahead, A PAN-European Perspective. United Nation, New York and Geneva, 2006. Republics of Indonesia. Indonesia Country Report. National Progress in Implementary the ICPD Programme of Action 1994-2004, Jakarta 2004.

159

Memantau Kesetaraan Gender dan Pengangguran dari Data Survei Angkatan Kerja Nasional
(Dr. Indra M. Surbakti) I. Pendahuluan Data ketenagakerjaan merupakan data yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi-sosial di Indonesia. Data mengenai pengangguran, misalnya, dapat menggambarkan dampak sosial yang diakibatkan meningkatnya harga minyak, atau secara teknis dikuranginya subsidi pemerintah terhadap minyak. Kenaikan harga minyak yang terjadi pada bulan Oktober 2005 berakibat pada kenaikan harga barang yang cukup tinggi pula. Efek ganda atau multiplier effect yang diakibatkan kenaikan harga minyak ini adalah tingkat inflasi yang meningkat secara signifikan dan bertambahnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Yang tidak kalah penting adalah meningkatnya tingkat pengangguran sebagai akibat kenaikan harga minyak tersebut. Tingkat pengangguran, selain mencerminkan kondisi ekonomi juga merupakan barometer bagi pembangunan sosial. Di samping itu, angka pengangguran juga digunakan sebagai salah satu indikator penting bagi tujuan pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa yang disebut Millenium Development Goals atau MDGs. MDGs, kegiatan terbesar PBB di abad ke 21, telah disetujui oleh hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia. MDGs yang terdiri dari delapan tujuan dan 18 sasaran, perlu dipantau pencapaian targetnya melalui indikator-indikator yang telah dirancang sebelumnya. Salah satunya adalah tingkat pengangguran untuk penduduk usia muda. Sumber data untuk maksud tersebut adalah survei-survei sosial-ekonomi yang dilakukan berbagai negara. Di Indonesia, sumber utama data untuk menghitung angka pengangguran adalah Survei Angkatan Kerja Nasional atau Sakernas. Bagaimana kaitan Sakernas dengan MDGs serta potensi lain dari data yang dihasilkan oleh Sakernas akan diuraikan di dalam tulisan ini. Sakernas adalah suatu survei yang khusus mengumpulkan statistik tentang ketenagakerjaan. Survei ini merupakan survei sampel yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Selain mengumpulkan data tentang pengangguran, Sakernas juga mengumpulkan informasi tentang angkatan kerja menurut berbagai kategori, seperti sektor ekonomi, desa dan kota, serta formal dan informal. Selain jumlah tenaga kerja, Sakernas juga mengumpulkan informasi tentang pendidikan dan pendapatan tenaga kerja. Walaupun data yang dihasilkan Sakernas sangat penting bagi

161

pembangunan sosial-ekonomi nasional, informasi yang komprehensif mengenai Sakernas masih amat minim, apalagi jika dikaitkan dengan kegiatan lain seperti MDGs. Ada beberapa aspek yang menempatkan Sakernas sebagai kegiatan pengumpulan data yang sangat penting bagi BPS khususnya, dan pemerintah pada umumnya. Di Indonesia, data yang digunakan secara khusus untuk menyusun statistik dan indikator pasar tenaga kerja adalah Sakernas. Bersama dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas, Sakernas merupakan bagian dari survei yang menggunakan pendekatan rumah tangga dan berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, jika Susenas dilaksanakan untuk mengumpulkan statistik mengenai keadaan sosial-ekonomi masyarakat termasuk angkatan kerja, Sakernas hanya mengumpulkan statistik mengenai angkatan kerja dan karakteristik-karakteristik yang lebih rinci dan hanya terdapat pada survei ini. Di samping itu Sakernas juga mengumpulkan informasi mengenai pengangguran. Secara historis Sakernas telah mengalami berbagai transformasi, dari perubahan kuesioner, jumlah sampel, perubahan jadwal sampai dengan perubahan dari tahunan menjadi triwulanan, lalu semesteran. Oleh karena itu, sebelum membicarakan keterkaitan Sakernas dengan MDGs, sangatlah penting untuk membahas perkembangan Sakernas terlebih dahulu secara lebih komprehensif untuk mengupasnya dari berbagai sudut pandang. II. Tujuan Penulisan dan Perkembangan Sakernas Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menjelaskan secara komprehensif Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) dan kegunaannya sebagai sumber data bagi indikator-indikator MDGs. Tujuan dari Sakernas adalah untuk mengumpulkan data ketenagakerjaan. Data ketenagakerjaan yang dimaksud meliputi data-data seperti tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran terbuka dan rata-rata pendapatan tenaga kerja per bulan. Walaupun data ketenagakerjaan dengan karakteristik yang sama terdapat pada survei lainnya yang dilaksanakan oleh BPS, seperti Sensus Penduduk (SP), Susenas maupun Supas, namun tujuannya adalah untuk mengetahui sifat demografi secara umum. Dengan demikian informasi yang dikumpulkan dalam SP dan Supas lebih banyak dan beragam, antara lain meliputi data pendidikan, migrasi, keluarga berencana dan ketenagakerjaan. Begitu pula informasi yang dikumpulkan melalui Susenas lebih beragam sifatnya, seperti data pengeluaran/konsumsi, ketenagakerjaan, kesehatan dan perumahan.

162

Perbedaan tujuan survei yang hanya terbatas pada ketenagakerjaan ini menyebabkan kualitas data ketenagakerjaan lebih baik dari sumber data lainnya. Data Sakernas juga digunakan untuk mengaitkan indikator ketenagakerjaan dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa tingkat pengangguran dan partisipasi angkatan kerja mempunyai korelasi dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara tingkat pengangguran dan inflasi dituangkan ke dalam apa yang dinamakan Phillips Curve. Bahkan di Amerika Serikat, hubungan tersebut telah berkembang menjadi apa yang dinamakan NAIRU (non-accelerated inflationary rate of unemployment). 1 III. Data Dasar mengenai Tenaga Kerja yang tersedia di BPS BPS telah mengumpulkan berbagai macam data dasar mengenai tenaga kerja , baik dengan pendekatan rumah tangga maupun perusahaan (establishment). Data dasar mengenai tenaga kerja yang dikumpulkan oleh BPS adalah: 1. Informasi umum mengenai penduduk, general information on the population, manpower, and employment opportunity, 2. Jumlah tenaga kerja menurut sektor, jenis pekerjaan dan jabatan, 3. Jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan, konstruksi dan jasa, 4. Rata-rata upah untuk pekerja secara umum, 5. Average wage in selected formal and informal sectors, 6. Struktur ongkos petani, dan 7. Biaya jasa tenaga konstruksi dan sebagainya. Sumber data mengenai tenaga kerja ada beberapa, di antaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1

Sensus Penduduk, Pertanian dan Ekonomi, Survei Angkatan Kerja Nasional, Survei Pendapatan Pekerja, Survei Struktur Ongkos Petani, Survei Biaya Hidup, Survei Integrasi Usaha Informal, dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Nairu adalah tingkat pengangguran dalam suatu sistem perekonomian yang tidak menyebabkan inflasi

163

Namun demikian, jika dibandingkan dengan survei-survei lainnya, Sakernas merupakan survei yang khusus mengumpulkan data mengenai berbagai aspek tenaga kerja, termasuk tingkat pengangguran, rata-rata upah dan jumlah pekerja sektor informal. Di samping itu, data tenaga kerja yang dihasilkan oleh Sakernas secara umum relatif sangat mapan dan sangat berguna untuk berbagai macam analisis tenaga kerja (Korns, 1987). Keterangan berikut ini menjelaskan pentingnya data Sakernas bagi berbagai macam kebutuhan statistik secara individu, maupun nasional. III. Survei Angkatan Kerja Nasional Pengumpulan data ketenagakerjaan melalui SAKERNAS mempunyai tiga tujuan utama. Ketiga tujuan tersebut adalah untuk mengetahui: i. Kesempatan kerja, dan kaitannya dengan pendidikan, jumlah jam kerja, jenis pekerjaan, lapangan pekerjaan dan status pekerjaan, ii. Tingkat pengangguran, dan kaitannya dengan pendidikan, upaya dan lamanya mencari pekerjaan, iii. Penduduk yang tercakup dalam kategori bukan angkatan kerja yaitu, mereka yang sekolah, mengurus rumah tangga dan melakukan kegiatan lainnya. Beberapa faktor perlu dipertimbangkan oleh para pemakai data dalam menginterpretasi dan menganalisa data ketenagakerjaan yang tersedia. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan meliputi: 1. Ukuran Sampel Ukuran sampel dalam Sakernas berbeda dengan ukuran sampel dalam Sensus Penduduk dan Supas maupun Susenas. Perbedaan ini menyebabkan sampling error yang dikandung oleh angka perkiraan dari masing-masing sumber data juga berbeda. Semakin kecil ukuran sampel, akan semakin besar sampling errornya. 2. Kualitas Petugas Lapangan Petugas (pencacah) yang digunakan dalam Sakernas, umumnya adalah pegawai Badan Pusat Statistik yang ada di kecamatan (Mantri Statistik) dan BPS Kabupaten/Kota setempat. Sebagian besar dari mereka umumnya telah mempunyai pengalaman dalam berbagai survei maupun sensus serta lebih menguasai medan/lapangan, sedangkan dalam kegiatan Sensus Penduduk, Supas maupun Susenas sebagian besar pencacah bukan pegawai Badan Pusat Statistik, tetapi tenaga bantuan dari luar BPS yang disebut Mitra Statistik, seperti guru SD, pegawai Pemerintah Daerah dan ada pula dari Karang Taruna, tamatan SMTA/SMK yang tinggal di daerah penelitian.

164

3. Perencanaan Kuesioner Cara menyusun pertanyaan mengenai ketenagakerjaan dalam kuesioner dirasakan dapat berpengaruh terhadap hasil survei maupun sensus. Ini meliputi bentuk kalimat/pertanyaan yang tertulis, urutan pertanyaan, pemilihan kata-kata yang tepat dalam pertanyaan, dan banyaknya pertanyaan maupun jenis keterangan yang ditanyakan. Dalam Sakernas, telah diusahakan bentuknya ringkas/sederhana, mudah dimengerti serta tidak berubah-ubah. 4. Waktu Pelaksanaan/Pencacahan Waktu pelaksanaan lapangan antara Sakernas, Susenas, SP, dan Supas berbeda. Hal tersebut dapat menyebabkan perbedaan hasil yang diperoleh karena pengaruh musimannya. 3.1 Konsep dan Definisi Konsep dan definisi yang digunakan dalam pengumpulan data ketenagakerjaan oleh Badan Pusat Statistik adalah The Labour Force Concept yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk menjadi dua kelompok, yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Selanjutnya, penduduk usia kerja dibedakan pula menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukannya. Kelompok tersebut adalah angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Definisi konsep yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia dijelaskan dalam Lampiran 1. 3.3 Sejarah Singkat Sakernas Sejak implementasi Sakernas pertama kali di tahun 1976, Sakernas telah mengalami berbagai transformasi. Sebelumnya memang ada data tenaga kerja yang didapat dari Sensus Penduduk Tahun 1971 dan Survei penduduk Antar Census 1976. Namun, sebagai suatu survei yang independen Sakernas baru dilakukan pertama kali di tahun 1976, walaupun dalam bentuk Modul Susenas. Di samping itu, Sakernas bisa melakukan secara berkala pada tahun 1986 (tiap tahun). Sejak itu, Sakernas telah mengalami berbagai perubahan berupa modifikasi sampel, perubahan dari survei tahunan menjadi survei triwulanan, lalu semesteran dan seterusnya. Pada tahun 2007 Sakernas akan dilakukan secara semesteran, pada bulan Februari dan Augustus. Survei Sakernas Triwulanan yang rencananya akan dilakukan tahun 2007 telah ditunda menjadi tahun 2008. Padahal, ujicoba Sakernas triwulanan telah dilaksanakan pada tahun 2006. Tentunya, berbagai jenis perubahan seperti

165

ini juga akan mengubah hal-hal lainnya seperti sample size dan kegiatan lapangan. Perubahan Frekuensi Pelaksanaan Perubahan atas Sakernas terjadi pada tahun 1986, ketika berbagai usaha dilakukan untuk membuat data Sakernas lebih dipertanggungjawabkan. Sejak tahun ini pula Sakernas dilakukan setiap tahun (Korns, 1988), kecuali di tahun 1995 di mana data ketenagakerjaan didapat dari Supas 1995. Perubahan prosedur tersebut mengandung konsekuensi pada data Sakernas selanjutnya. Pada tahun itu pelatihan petugas lebih mendalam dan kuesioner yang digunakan pertanyaannya lebih sedikit. Akibatnya proporsi pekerja keluarga tidak dibayar meningkat (Korns, 1987). Rupanya, surveisurvei sebelumnya tidak menangkap banyaknya pekerka-pekerja tidak dibayar tersebut. Perubahan atas Sakernas terjadi kembali pada tahun 1994. Sampai dengan tahun 1993 Sakernas dilaksanakan dengan periode triwulanan, namun, mulai tahun 1994 Sakernas hanya dilakukan setahun sekali pada setiap bulan Agustus. Setelah itu Sakernas dilakukan per semester atau dua kali dalam setahun. Pada tahun 2002, Sakernas kembali dilaksanakan secara tahunan dan triwulanan. Terlihat bahwa perubahan ini terjadi setelah rekomendasi yang diberikan oleh konsultan BPS yang menyarankan bahwa sebaiknya Sakernas dilakukan secara triwulanan (Verma, 2001). Pada tahun 2006 dan 2007, Sakernas dilakukan dua kali setahun (semesteran). Seharusnya pada tahun 2007 akan dilakukan Sakernas tahunan ditambah dengan Sakernas triwulanan. Namun demikian, akibat dari Sakernas tahunan tahun 2007 diubah menjadi semesteran, sakernas triwulanan ditunda sampai dengan 2008 karena perubahan tersebut. Tentunya perubahan-perubahan semacam ini akan berakibat pada kegiatan lainnya yang berkaitan erat dengan Sakernas. Konsekuensi dari perubahan jadwal Sakernas, kegiatan di dalam tahapan Sakernas lain yang harus dilakukan adalah perubahan metode sampling Sakernas. Perubahan Metode Sampling Sebagai akibat dari perubahan kegiatan Sakernas dan penambahan kegiatan Sakernas triwulanan, tentunya BPS juga harus mengembangkan metode sampling untuk pengambilan sampel Sakernas. Kerangka sampel Sakernas tahunan diambil dari hasil pencacahan sensus penduduk yang dilaksanakan sebelum Sakernas. Sebagai contoh, Sakernas tahunan untuk tahun 2003 digunakan kerangka sampel yang berasal dari hasil pencacahan

166

rumah tangga Sensus Penduduk tahun 2000. Kerangka sampel yang digunakan untuk Sakernas triwulanan adalah dari daftar rumah tangga yang diperoleh dari kegiatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) KOR yang dilaksanakan sebelum Sakernas dilakukan. Sebagai contoh, untuk kegiatan Sakernas triwulanan 2002/2003, kerangka sampel yang digunakan berasal dari rumah tangga dari kecamatan terpilih Susenas 2002 (Sakernas 2002). Selain metode pengambilan sampel yang diubah, sample size untuk Sakernas juga berubah-ubah. Table 1 menunjukkan metode sampling yang digunakan untuk pengambilan sampel Sakernas dari tahun 1986-2006. Terlihat pada tabel tersebut bahwa sejak tahun 1986 sample size terus berubah-ubah, dari 65440 rumah tangga pada tahun 1986 menjadi 82 080 rumah tangga pada tahun 1990-1993. Semenjak itu jumlah sampel menurun sampai dengan 32 384 rumah tangga pada tahun 2000. Sejak tahun 2000 jumlah sampel terus meningkat dan menjadi stabil pada kisaran 67000-68000 rumah tangga. Bahkan, pada tahun 2007 (Agustus) sample size ditingkatkan secara signifikan menjadi 278352 rumah tangga. Meningkatnya sample size Sakernas akan memungkinkan untuk disajikannya data Sakernas sampai tingkat kabupaten/kota. Tentunya, sesuai dengan teori statistik, makin besar sample size maka makin kecil pula sampling error-nya. Sebaliknya, jika sample size makin kecil, maka makin besar pula sampling errornya. Table 1 juga menunjukkan bahwa metode sampling yang digunakan agak berbeda di beberapa tahun. Sebagai contoh, pada tahun 1986-1989 metode pengambilan sampel adalah dengan metode rotasi, di mana sebagian dari rumah tangga terpilih pada satu periode terpilih kembali pada periode berikutnya. Hal ini terjadi pada Sakernas triwulanan, yang memang dilaksanakan pada periode tersebut. Pada periode-periode lainnya sering digunakan metode sampling tiga tahap (three-stage sampling) untuk Sakernas tahunan, di mana pada tahap pertama dipilih blok sensus, tahap kedua sublok sensus dan tahap ketiga rumah tangga. Sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi, cakupan dari Sakernas juga sedikit berubah. Sakernas memang dirancang untuk mendapatkan data ketenagakerjaan secara nasional dan dapat disajikan menurut Propinsi. Rumah tangga yang dicakup adalah semua rumah tangga, kecuali rumahtangga korps diplomatik, rumah tangga yang tinggal dalam blok sensus khusus dan rumah tangga khusus yang berada di blok sensus biasa.

167

Table 1. Metodologi sampling untuk Sakernas dari tahun 1986-2006 Tahun 1986-1989 1990-1993 1994, 1996, 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003-2004 2005 Seb dan Nop 2006 Feb dan Agus Jumlah Sampel 65,440 82,080 65,664 57,456 49,248 32,384 34,176 68,608 67,072 69,408 68,800 Metodologi Rotasi Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap Sampling tiga tahap (dengan rotasi) Tingkat penyajian Propinsi Propinsi Propinsi Propinsi Propinsi Pulau Pulau Propinsi Propinsi Propinsi Propinsi Sudah mencakup 33 propinsi Tanpa Timor Timur Tanpa Propinsi Maluku Keterangan

Sumber: Sakernas

Walaupun mencakup seluruh Indonesia, ada beberapa keadaan ketika tidak semua Propinsi dicakup. Sebagai contoh, pada tahun 2000, Sakernas tidak mencakup Propinsi Maluku karena konflik horizontal yang terjadi di sana. Selain itu, merdekanya Timor Timur pada tahun 1999 juga mengubah cakupan Sakernas untuk tahun-tahun selanjutnya. Setelah itu, dengan adanya pemekaran Propinsi sebagai konsekuensi otonomi daerah, proporsi sampel per Propinsi juga berubah, seperti di tahun 2006 ketika jumlah Propinsi sudah menjadi 33. Walaupun demikian, perbedaan cakupan hanya berpengaruh pada besaran/level tidak pada pola. Di lain pihak, perubahan metodologi (termasuk sample size) dari waktu ke waktu kemungkinan besar berpengaruh pada hasilnya.

168

Perubahan Konsep dan Definisi Perubahan yang sangat signifikan bagi validitas data Sakernas adalah perubahan yang terjadi pada konsep pengagguran dan terjadi pada tahun 2001. Sebelum tahun 2001 definisi pengangguran adalah angkatan kerja yang tidak bekerja/tidak mempunyai pekerjaan dan yang sedang mencari pekerjaan. Namun, pada tahun 2001 definisi tersebut ditambah dengan mencakup angkatan kerja yang sedang mempersipkan usaha, yang mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, serta angkatan kerja yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Konsekuensi dari perubahan konsep adalah data Sakernas, khususnya TPT dan TPAK akan berubah proporsinya (Lihat Gambar 1 pada bagian berikut ini). Perubahan semacam ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat pengguna data supaya tidak memberikan interpretasi yang salah pada perkembangan TPT di Indonesia. 3.4 Indikator-indikator yang Dihasilkan oleh Sakernas

Sakernas menghasilkan berbagai macam statistik dan indikator yang berkaitan dengan tenaga kerja. Indikator-indikator yang dapat dibuat dari Sakernas didasarkan pada KILM (Key Indicators of the Labour Market) yang telah diperkenalkan oleh ILO. Salah satu dari indikator terpenting yang dapat dihasilkan oleh Sakernas adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) dan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Tingkat pengangguran terbuka, seperti halnya pertumbuhan ekonomi dan angka kemiskinan, merupakan suatu statistik dan indicator yang sangat strategis dan politis bagi pemerintah Indonesia karena terkait dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan di negara ini. Kebijakan pemerintah sejak jaman orde baru difokuskan pada penciptaan lapangan pekerja bagi rakyat Indonesia. Meningkatnya tingkat pengangguran terbuka dapat mencerminkan kurang berhasilnya pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Beberapa indikator lainnya dapat digunakan untuk menggambarkan situasi ketenagakerjaan menurut wilayah kota dan desa, sektoral dan beberapa kategori lain. Indikator-indikator kunci yang dapat dihasilkan oleh Sakernas adalah: 1. Tingkat partisipasi angkatan kerja, 2. Rasio penduduk yang bekerja dengan total penduduk usia kerja, 3. Proporsi penduduk yang bekerja menurut status pekerjaan, 4. Tenaga kerja menurut sektor, 5. Persentase penduduk yang bekerja di sektor informal di daerah perkotaan terhadap total penduduk yang bekerja di daerah perkotaan,

169

6. Tingkat pengangguran terbuka, 7. Tingkat pengangguran usia muda, 8. Tingkat pengangguran menurut pendidikan yang ditamatkan, 9. Persentase penduduk bukan angkatan kerja usia 25-54 tahun terhadap total penduduk usia kerja, dan 10. Proporsi angkatan kerja menurut pendidikan yang ditamatkan. Sebagai contoh, data yang paling ditunggu-tunggu para pengguna data yang dihasilkan oleh Sakernas adalah data pengangguran terbuka. Gambar 1 menunjukkan sejarah tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sejak tahun 1986. Perubahan konsep dan definisi pengangguran berakibat pada perbedaan tingkat penangguran tebuka sejak konsep tersebut diterapkan pada tahun 2002. Terlihat bahwa dengan konsep baru, tingkat pengangguran terbuka cenderung lebih tinggi dibanding TPT dengan konsep lama. Dari gambar tersebut terlihat bahwa perbedaan pada TPT berkisar antara 0,91 persen dan 3.77 persen. Tentunya, ini berakibat pada data publikasi yang notabene merupakan data resmi BPS untuk konsumsi pengguna data umum, serta kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja di Indonesia. Gambar 1. Sejarah Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia menurut Sakernas Konsep lama dan Konsep baru (1986-2006)
12,00

10,00

8,00

6,00

4,00

2,00

0,00 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2005 2006 FEB NOP FEB

PUBLIKASI

KONSEP LAMA

KONSEP BARU

Sumber: BPS, Diolah dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), 1986-2006

170

3.5. Kegunaan Data Sakernas sebagai Salah Satu Indikator Millenium Development Goals (MDGs) Lalu, setelah mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai Sakernas dan data yang dihasilkannya, bagaimana kaitannya dengan indikatorindikator MDGs? BPS dapat menyediakan berbagai macam indikatorindikator MDGs. Sebagai contoh, banyak data yang dihasilkan oleh Susenas digunakan sebagai indikator-indikator MDGs. Beberapa dari indikator tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan dasar umum (Tujuan 2) 2. Penggunaan alat kontraseptif (Tujuan 6). Kegiatan BPS lainnya yang dapat digunakan untuk mendapatkan indikator MDGs adalah Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Akan tetapi, apakah ada indikator MDGs yang didapat dari Sakernas. Sebelum membahas kaitan antara Sakernas dan MDGs, alangkah baiknya jika dijelaskan sedikit tentang MDGs. Millenium Development Goals (MDGs) Millenium Development Goals atau MDGs adalah sejumlah sasaran yang telah dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan disepakati oleh 189 negara, termasuk 147 kepala negara pada bulan September, tahun 2000. Indonesia merupakan salah satu dari negara yang telah menyepakati MDGs. Hasil dari kesepakatan tersebut tertuang dalam 8 tujuan utama (Goals) dan 18 sasaran (targets). Untuk memantau perkembangan dari tujuan dan sasaran tersebut, dibuat 48 indikator-indikator yang antara lain terkait dengan masalah tenaga kerja. Indikator-indikator tersebut digunakan untuk menyediakan ukuran-ukuran yang relevan dan robust untuk melihat perkembangan ke arah target-target MDGs (United Nations, 2003). Keterkaitan antara Millennium Development Goals (MDGs) and Sakernas Jika dilihat dari indikator-indikator MDGs yang ada sekarang, maka tidak banyak kontribusi yang dapat diberikan oleh Sakernas. Dibanding Susenas maupun SDKI, indikator yang dapat dihasilkan oleh Sakernas jauh lebih sedikit dan hanya tingkat propinsi. Namun demikian, data Sakernas dapat digunakan sebagai data pendukung seperti yang ditampilkan pada Annex 1 buku Indicator for Monitoring MDGs (United Nations, 2003). Data-data pendukung tersebut adalah proporsi anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang sedang bekerja, rasio tenaga kerja terhadap penduduk usia kerja, dan rasio tenaga kerja informal terhadap total tenaga kerja.

171

Dari indikator-indikator yang dipersiapkan untuk memantau perkembangan MDGs, kontribusi dari Sakernas untuk data Indonesia hanya 2 indikator. Yang pertama adalah indikator untuk Tujuan 3 Sasaran 4 (Promote Gender Equality and Empower Women), yaitu persentase tenaga kerja wanita di sektor non-pertanian. Data yang digunakan untuk mendapatkan indikator tersebut terdapat di data dasar Sakernas yang telah dibagi menurut gender. Indikator kedua berasal dari Tujuan 8 dan Target 16 (In cooperation with developing countries develop and implement strategies for decent and productive work for the youth). Ini berarti dibutuhkan data dari Sakernas mengenai tenaga kerja pemuda berumur 15 sampai dengan 24 tahun. Indikator yang dibutuhkan adalah tingkat pengangguran pada kelompok umur tersebut menurut gender dan total. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan tingkat pengangguran menurut kelompok umur. Tabel ini digunakan untuk sasaran 16. Terlihat pada tabel tersebut bahwa tingkat pengangguran untuk kelompok umur 15 sampai dengan 19 tahun merupakan tingkat pengangguran tertinggi (37.09 %), diikuti oleh kelompok umur 20 sampai dengan 24 tahun (27.2 %), dibanding tingkat pengangguran umum yang hanya 10.45 % pada bulan Februari 2006. Angka pengangguran untuk angkatan kerja muda usia ini memang sangat penting untuk menjadi bagian dari indicator MDGs. Indikator seperti ini akan sangat berguna bagi para pembuat keputusan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan, khususnya pengangguran di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Table 2. Tingkat Pengangguran di Indonesia menurut Kelompok Umur Dan Jenis Kelamin (Februari 2006) Tingkat Pengangguran (%) No Kelompok Umur . Pria Wanita Total 1. 33.85 41.58 37.09 15-19 2. 24.75 30.87 27.20 20-24 3. 9.96 15.28 11.90 25-29 4 4.36 8.85 5.92 30-34 5. 2.23 5.65 3.41 35-39 6. 1.91 3.73 2.58 40-44 7. 2.08 3.28 2.51 45-49 8. 2.20 3.03 2.48 50-54 9. 2.21 3.67 2.71 55-59 10. 3.16 9.14 5.71 60+ 8.58 13.72 10.45 Total
Sumber: BPS, Diolah dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), 2006.

172

Table 2 juga menunjukkan bahwa angkatan kerja wanita merupakan pihak yang paling dirugikan dalam mendapatkan pekerjaan. Terlihat bahwa tingkat pengangguran wanita pada setiap kelompok umur lebih tinggi daripada pria, termasuk pada kelompok usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa wanita, apalagi wanita muda usia sangat sulit untuk mendapatkan akses untuk bekerja. Secara umum proporsi pria yang menganggur lebih sedikit daripada wanita. Jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran, maka alangkah baiknya kalau salah satu cara adalah untuk memberikan akses yang lebih luas bagi wanita untuk dapat bekerja. Permasalahan gender juga merupakan salah satu indikator penting MDGs. Proporsi wanita yang bekerja di sektor non-pertanian adalah salah satu indikator yang digunakan untuk memonitor sasaran 4. Namun demikian untuk negara seperti Indonesia di mana sebagian besar penduduk masih bekerja di sektor pertanian, indicator seperti ini kurang relevan. Terlihat di Tabel 3 bahwa proporsi pekerja wanita di sektor non-pertanian kurang lebih sama dengan pekerja pria. Walaupun proporsi pekerja wanita di sekto nonpertanian lebih kecil dari pekerja pria, yaitu 55,41 persen dibanding 55,60 persen, namun perbedaan tersebut tidak signifikan untuk bisa mengatakan bahwa akses wanita kepada jenis pekerjaan non-pertanian lebih sedikit dibanding pria. Mungkin untuk Negara berkembang seperti Indonesia yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, indikator seperti inikurang efektif untuk memonitor tujuan MDGs. Sebaiknya, ada indikator lainnya yang dapat mengambarkan perbedaan lainnya yang lebih mencolok. Tabel 3. Tingkat pengangguran di Indonesia menurut Sektor Ekonomi dan Jenis Kelamin, 2006 (Februari) No. 1 2 Sektor Pertanian Non-pertanian Total Tingkat Pengangguran Pria 44.40 55.60 100.00 Wanita 44.59 55.41 100.00 Total 44.47 55.53 100.00

Sumber: BPS, diolah dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2006

173

Kemungkinan Penggunaan Data Sakernas Lainnya untuk MDGs Sebenarnya indikator tingkat pengangguran terbuka bukan merupakan satusatunya indikator yang penting bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Ada indikator-indikator lainnya yang tak kalah penting. Sebenarnya TPT tidak mencerminkan masalah ketenagakerjaan di Indonesia secara keseluruhan. Sebagian besar penduduk Indonesia tidak akan sanggup untuk menjadi penganggur dan pada saat yang sama mencari pekerjaan (Korns 1987, p. 3). Sebagai contoh, berbeda dengan negaranegara yang lebih maju di mana tunjangan pengangguran (unemployment benefit) disediakan, pemerintah Indonesia hanya menyediakan dana untuk jaringan pengaman sosial (social safety net) saja. Oleh karena itu perubahan tingkat pengangguran tidak akan berdampak besar terhadap partisipasi angkatan kerja. Perubahan pada pekerja yang dibayarlah yang dapat menjadi indikator perubahan jumlah tenaga kerja (Korns 1987, p. 7). Sebagian besar penduduk Indonesia yang berpotensial menganggur sebenarnya ditampung di sektor informal, di mana jumlah pekerja berjumlah lebih dari 3 kali lipat jumlah penganggur di Indonesia. Apalagi, mayoritas dari pekerja informal adalah wanita dan anak. Jadi, sudah seharusnya MDGs mengembangkan indikator lainnya seperti pekerja sektor informal, paling tidak untuk perspektif negara yang sedang berkembang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, MDGs sedang mengembangkan indikator-indikator lainnya untuk target 16. Bahkan dalam catatan kaki buku tersebut (United Nations 2003, p. 4), disebutkan bahwa the International Labour Organization (ILO) sedang mempersiapkan ukuran indikator yang lebih baik. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di bagian Annex 1 buku tersebut telah ditampilkan juga indikator-indikator pendukung seperti proporsi anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang sedang bekerja, rasio tenaga kerja terhadap jumlah penduduk usia kerja dan rasio jumlah pekerja sektor informal terhadap total pekerja. Seharusnya, PBB memasukkan indikator-indikator tersebut menjadi indikator untuk target 4 dan 16 dengan alasan bahwa data-data tersebut dapat diklasifikasikan menurut kelompok umur dan gender. Selain itu Sakernas juga dapat menghasilkan informasi yang berkaitan dengan tujuan-tujuan MDGs lainnya. Sakernas juga mempunyai data lainnya mengenai tenaga kerja yang dikelompokkan menurut pendidikan yang ditamatkan, dan sektor di mana pekerja berada, serta juga pendapatan tenaga kerja. Sakernas triwulanan juga menghasilkan trend pasar kerja dan pengangguran yang dapat dipantau secara triwulanan.

174

IV. Penutup
Data Sakernas memang merupakan salah satu data penting yang dihasilkan BPS untuk menggambarkan keadaan ketenagakerjaan di Indonesia. Data ketenagakerjaan yang dihasilkan Sakernas adalah satu-satunya yang paling lengkap dan dapat disajikan secara berkala dan menurut Propinsi. Memang ada data ketenagakerjaan lain yang dihasilkan BPS, namun data-data tersebut hanya sebatas data sektoral, data tentang satu aspek ketenagakerjaan saja, atau tidak berkala (tahunan). Data Sakernas pun masih terus berkembang sesuai dengan kebutuhan umum. Di masa mendatang data Sakernas akan lebih mencerminkan keadaan otonomi daerah menurut kabupaten atau kota. Walaupun data yang dihasilkan Sakernas hanya beberapa yang dapat digunakan sebagai indikator MDGs, namun data-data lainnya yang dihasilkan Sakernas berpotensi untuk dapat digunakan untuk menjadi indikator-indikator MDGs yang sedang dikembangkan. Dari sisi gender, Sakernas dapat berpotensi untuk menyajikan indikator-indikator tambahan. Untuk indikator decent and productive work for youth, Sakernas juga berpotensi untuk menambahkan indikator-indikator. Kalau dilihat dari aspek negara-negara berkembang, sebaiknya indikator-indikator untuk sektor informal juga disajikan karena sektor informal merupakan bagian yang tidak kalah penting di dalam permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia.

175

176

Lampiran
1. Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun dan lebih. 2. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan penganggur. 3. Penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya. 4. Bekerja adalah kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan ekonomi yang dimaksud termasuk pula kegiatan membantu suatu usaha/kegiatan ekonomi tanpa bayar. 5. Punya pekerjaan tetapi sedang tidak bekerja adalah mempunyai pekerjaan tetapi selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena berbagai sebab, seperti sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan sebagainya, termasuk yang sudah diterima bekerja tetapi selama seminggu yang lalu belum mulai bekerja. Mulai tahun 2001 ini, mereka yang sudah diterima bekerja tetapi selama seminggu yang lalu belum mulai bekerja dikategorikan sebagai penganggur (sesuai konsep ILO, hal. 97 An ILO Manual on Concepts and Methods). Contoh: a. Pegawai pemerintah/swasta yang sedang tidak masuk bekerja karena cuti, sakit, mogok, mangkir, mesin/peralatan perusahaan mengalami kerusakan, dan sebagainya. b. Petani yang mengusahakan tanah pertanian dan sedang tidak bekerja karena alasan sakit atau menunggu pekerjaan berikutnya (menunggu panenan atau menunggu hujan untuk menggarap sawah). c. Orang-orang yang bekerja atas tanggungan/risikonya sendiri dalam suatu bidang keahlian, yang sedang tidak bekerja karena sakit, menunggu pesanan dan sebagainya seperti dalang, tukang cukur, tukang pijat dan sebagainya. 6. Penganggur terbuka, terdiri dari a. mereka yang mencari pekerjaan, b. mereka yang mempersiapkan usaha,

177

c. mereka yang tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan d. mereka yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja (An ILO Manual on Concepts and Methods)

Mencari pekerjaan adalah tidak bekerja dan pada saat survei sedang berusaha mendapatkan pekerjaan: a. Yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan, b. Yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Usaha mencari pekerjaan ini tidak terbatas pada seminggu sebelum pencacahan. Jadi, mereka yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan dan yang permohonannya telah dikirim lebih dari satu minggu yang lalu tetap dianggap sebagai mencari pekerjaan. Mereka yang sedang bekerja atau yang sedang dibebas tugaskan, baik akan dipanggil kembali ataupun tidak, dan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan, tidak dapat disebut sebagai mencari pekerjaan. Mempersiapkan suatu usaha adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang dalam rangka mempersiapkan suatu usaha/pekerjaan yang baru, bertujuan untuk memperoleh penghasilan/keuntungan atas risiko sendiri, baik dengan atau tanpa mempekerjakan buruh/pekerja dibayar maupun tidak dibayar. Mempersiapkan yang dimaksud adalah apabila ada tindakan nyata, seperti mengumpulkan modal atau perlengkapan/alat, mencari lokasi/tempat, mengurus surat ijin usaha dan sebagainya, telah/sedang dilakukan. Mempersiapkan usaha tidak termasuk yang baru merencanakan, berniat, dan baru mengikuti kursus/pelatihan dalam rangka membuka usaha. Mempersiapkan suatu usaha yang nantinya cenderung pada pekerjaan sebagai berusaha sendiri (own account worker) atau sebagai berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar atau sebagai berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Penjelasan Kegiatan mempersiapkan suatu usaha/pekerjaan tidak terbatas dalam jangka waktu seminggu yang lalu saja, tetapi bisa dilakukan beberapa waktu yang lalu asalkan seminggu

178

yang lalu masih berusaha untuk mempersiapkan suatu kegiatan usaha. 7. Setengah Penganggur adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah penganggur ada dua kelompok, yaitu yang terpaksa, dan sukarela. Setengah Penganggur Terpaksa adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal, dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan. Setengah Penganggur Sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain (sebagian pihak menyebutnya sebagai pekerja paruh waktu/part time worker). 8. Sekolah adalah bersekolah di sekolah formal, mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi, selama seminggu yang lalu sebelum pencacahan. 9. Mengurus rumah tangga adalah mengurus rumah tangga tanpa mendapatkan upah, misalnya ibu-ibu rumah tangga dan anaknya yang membantu mengurus rumah tangga. Sebaliknya pembantu rumah tangga yang mendapatkan upah walaupun pekerjaannya mengurus rumah tangga dianggap bekerja. 10. Kegiatan lainnya adalah semua kegiatan selain yang disebut di atas, yakni pensiun, orang-orang yang cacad jasmani (buta, bisu dan sebagainya) yang tidak melakukan sesuatu pekerjaan seminggu yang lalu. 11. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan yang dicapai setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat (ijazah). 12. Jumlah jam kerja seluruh pekerjaan adalah jumlah jam kerja yang dilakukan oleh responden (tidak termasuk jam kerja istirahat resmi dan jam kerja yang digunakan untuk hal-hal di luar pekerjaan) selama seminggu yang lalu. Bagi pedagang keliling, jumlah jam kerja dihitung mulai berangkat dari rumah sampai tiba kembali di rumah dikurangi waktu yang tidak merupakan jam kerja, seperti mampir ke rumah famili/kawan dan sebagainya.

179

13. Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerjaan, usaha, perusahaan, kantor tempat responden bekerja. 14. Jenis pekerjaan/jabatan adalah macam pekerjaan yang dilakukan oleh/atau ditugaskan kepada responden yang sedang bekerja atau yang sementara tidak bekerja. Jenis pekerjaan pada publikasi 2004 ini mengikuti KJI (Klasifikasi Jabatan Indonesia)1982. 15. Upah/gaji bersih adalah penerimaan buruh/karyawan berupa uang atau barang yang dibayarkan perusahaan/kantor/majikan tersebut. Penerimaan dalam bentuk barang dinilai dengan harga setempat. Penerimaan bersih yang dimaksud tersebut adalah setelah dikurangi dengan potongan-potongan iuran wajib, pajak penghasilan dan sebagainya oleh perusahaan/kantor/majikan. 16. Status pekerjaan adalah kedudukan responden dalam melakukan pekerjaan di suatu unit usaha/kegiatan. Mulai tahun 2001 status pekerjaan dibedakan menjadi 7 kategori yaitu : a. Berusaha sendiri adalah bekerja atau berusaha dengan menanggung risiko secara ekonomis, yaitu dengan tidak kembalinya ongkos produksi yang telah dikeluarkan dalam rangka usahanya tersebut, serta tidak menggunakan pekerja dibayar maupun pekerja tak dibayar, termasuk yang sifat pekerjaannya memerlukan teknologi atau keahlian khusus; b. Berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar adalah bekerja atau berusaha atas risiko sendiri, dan menggunakan buruh/pekerja tak dibayar dan atau buruh/ pekerja tidak tetap; c. Berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar adalah berusaha atas risiko sendiri dan mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh/pekerja tetap yang dibayar; d. Buruh/Karyawan/Pegawai adalah orang yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan secara tetap dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang. Buruh yang tidak mempunyai majikan tetap, tidak digolongkan sebagai buruh/karyawan, tetapi sebagai pekerja bebas. Orang dianggap memiliki majikan tetap jika memiliki 1 (satu) majikan (orang/rumah tangga) yang sama dalam sebulan terakhir, khusus pada sektor bangunan batasannya tiga bulan. Apabila majikannya instansi/lembaga, boleh lebih dari satu; e. Pekerja bebas di pertanian adalah orang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir) di usaha pertanian baik berupa usaha

180

rumah tangga maupun bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. Usaha pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan dan perburuan, termasuk juga jasa pertanian. Majikan adalah orang atau pihak yang memberikan pekerjaan dengan pembayaran yang disepakati; f. Pekerja bebas di non pertanian adalah orang yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan terakhir), di usaha non-pertanian dengan menerima upah atau imbalan baik berupa uang maupun barang dan baik dengan sistem pembayaran harian maupun borongan. Usaha non-pertanian meliputi usaha di sektor pertambangan, industri, listrik, gas dan air, sektor konstruksi/ bangunan, sektor perdagangan, sektor angkutan, pergudangan dan komunikasi, sektor keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan, sektor jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Huruf e dan f yang dikembangkan mulai pada publikasi 2001, pada tahun 2000 dan sebelumnya dikategorikan pada huruf d dan a (huruf e termasuk dalam d dan huruf f termasuk dalam a); dan g. Pekerja tak dibayar adalah orang yang bekerja membantu orang lain yang berusaha dengan tidak mendapat upah/gaji, baik berupa uang maupun barang. Pekerja tak dibayar tersebut dapat terdiri dari: 1. Anggota rumah tangga dari orang yang dibantunya, seperti istri/anak yang membantu suaminya/ayahnya bekerja di sawah; 2. Bukan anggota rumah tangga tetapi keluarga dari orang yang dibantunya, seperti famili yang membantu melayani penjualan di warung; dan 3. Bukan anggota rumah tangga dan bukan keluarga dari orang yang dibantunya, seperti orang yang membantu menganyam topi pada industri rumah tangga tetangganya.

181

Daftar Pustaka
Hussman, R., Mehran, F. & Verma, V. (1990), Surveys of Economically Active Population, Employment and Underemployment: an ILO Manual on Concepts and Methods, International Labour Organizations: Geneva. Verma, V. (2001), Selected Issues in Labor Force Statistics, Report Number 25, Statistical paper Number 4, Statistical Assistance to the Government of Indonesia (Stat) Project. Badan Pusat Statistik (2002), Kumpulan Kuesioner dan Buku Pedoman Survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2002, Badan Pusat Statistik: Jakarta. __________________ (2004), Sampling Error Sakernas 2003 (Survei Angkatan kerja Nasional), Badan Pusat Statistik: Jakarta. __________________ (2005), Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2002-2004, Badan Pusat Statistik: Jakarta. __________________ dan Bank Indonesia (2005), Database dan Analisis Series Data Ketenagakerjaan 1986-2005, Badan Pusat Statistik: Jakarta. __________________ (2006), Keadaan Angkatan Kerja Indonesia: Februari 2006, Badan Pusat Statistik: Jakarta. Korns, A. (1987), Distinguishing Signal From Noise in Labor Force Data For Indonesia, DSP Research Paper Number 1, Development Studies Project II. _____, A. (1988), Projecting Labor Force Participation Rates, 1986-2000, DSP Research Paper Number 15. Development Studies Project II.

182

United Nations (2003), Indicators for Monitoring the Millennium Development Goals: Definitions, Rationale, Concepts and Sources, United Nations: New York.

183

Tersedianya Indikator Pemantauan Target-target Pembangunan Milenium dalam Data Potensi Desa
(M. Sairi Hasbullah, MA) I. Pendahuluan Salah satu agenda, dari delapan agenda the millenium summit, September 2000, yang diikuti oleh 189 negara, adalah memastikan keberlanjutan lingkungan hidup. Ada tiga target yang seyogyanya dicapai oleh setiap negara yang telah menandatangani kesepakatan dimaksud yaitu bagaimana memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional (target 9), penurunan sebesar separuh proporsi penduduk yang belum memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar yang layak pada tahun 2015 (target 10), dan mencapai perbaikan berarti kehidupan penduduk miskin yang tinggal di daerah kumuh pada tahun 2020 (target 11). Terkait dengan upaya pencapaian target-target dimaksud, pada saat ini setidaknya terdapat beberapa tantangan menyangkut lingkungan hidup di Indonesia yang perlu dicermati bersama. Tantangan tersebut antara lain yang berkaitan dengan penyelamatan air dari tindakan eksploitatif yang melewati batas-batas kewajaran dan pencemaran air, baik air tanah maupun air sungai, danau dan rawa bahkan air laut, yang terjadi di mana-mana. Berbagai kegiatan terkait dengan pencemaran air ini misalnya kegiatan industri, pertanian, transportasi, pertambangan, dan beragam kegiatan lainnya yang membuang limbahnya ke sungai, tanah maupun laut. Merosotnya areal hutan akibat eksploitasi besar-besaran untuk keperluan pembangunan maupun oleh peningkatan aktivitas manusia sebagai konsekuensi dari meningkatnya kepadatan penduduk di berbagai wilayah, juga merupakan tantangan lingkungan hidup yang cukup berat. Tantangan lingkungan hidup lainnya yang juga, saat ini, tidak ringan adalah menciutnya keanekaragaman hayati akibat rusaknya habitat lingkungan hidup berbagai tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Perubahan iklim juga merupakan tantangan dan permasalahan lingkungan hidup yang tidak kecil. Dewasa ini tingkat pencemaran udara semakin parah akibat dilepaskannya zat karbon oleh berbagai aktivitas khususnya yang berkaitan dengan transportasi dan kegiatan industri. Tantangan lingkungan hidup lainnya yang juga tidak kalah kompleksnya 183

adalah semakin tingginya kepadatan penduduk di kota-kota besar yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas lingkungan hunian seperti semakin meluasnya daerah pemukiman kumuh dan wilayah-wilayah miskin perkotaan lainnya. Beragam permasalahan dan tantangan yang disebutkan perlu terus dicermati. Sayangnya data yang diperlukan baik untuk perencanaan, pemantauan maupun untuk mengukur hasil-hasil pembangunan di bidang lingkungan hidup dapat dikatakan belum sepenuhnya terpenuhi. Idealnya, data statistik yang cukup untuk memantau setiap permasalahan yang disebutkan telah tersedia dan benar-benar dimanfaatkan. Sebetulnya cukup banyak ragam data yang diperlukan sebagai indikator lingkungan hidup untuk mengukur perkembangan kinerja pembangunan lingkungan. Salah satu sumber data yang cukup kaya untuk keperluan pemantauan tetapi selama ini belum begitu banyak dimanfaatkan, adalah yang berasal dari kegiatan pendataan potensi desa (Podes) yang dilakukan tiga kali setiap 10 tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Apa dan bagaimana ragam data terkait lingkungan hidup yang ada pada Podes akan menjadi inti paparan selanjutnya dari Bab ini. II. Hasil Pendataan Podes sebagai Salah Satu Sumber Data 2.1 Metodologi dan Tujuan Pendataan Podes Podes adalah singkatan dari potensi desa. Pengertian potensi yang selama ini digunakan adalah kemampuan, daya, kekuatan yang memiliki kemungkinan untuk dikembangkan, sedangkan pengertian desa adalah wilayah otonom di bawah kabupaten. Menurut asal-usul pembentukannya, desa dibedakan atas dua jenis, dan keduanya dicakup dalam kegiatan pendataan Podes yang dilakukan oleh BPS. Pertama, desa yang bersifat realita (das sein) di mana satu desa adalah wilayah geografis tunggal. Contohnya, adalah desa-desa yang ada di Jawa. Kedua, desa yang bersifat ideal (das sollen) yang merujuk ke pengertian bahwa satu wilayah desa terdiri dari beberapa desa yang dibentuk berdasarakan asal-usul atau kesepakatan bersama. Sebagai contoh yaitu Nagari di Sumatera Barat dan Marga di Sumatera Bagian Selatan. Pendataan Podes, secara metodologis adalah kegiatan sensus dengan pendekatan wilayah yaitu desa/kelurahan atau dengan nama lain, yang 184

menyangkut potensi, situasi sosial-ekonomi wilayah, ketersediaan modal ekonomi, sosial dan kultural serta ketersediaan sarana dan prasarana. Cakupan wilayah pendataan Podes meliputi seluruh wilayah administratif desa/kelurahan. Data podes dikumpulkan dengan cara pengisian daftar pertanyaan hasil wawancara langsung antara petugas pendata dengan kepala desa dan atau perangkat desa. Kekuatan data Podes terletak pada penggunaan standar prosedur statistik dalam proses pengumpulan data. Artinya baik metodologi (seperti pendekatan pengumpulan data dan penggunaan konsep dan definisi) maupun prosedur lapangan (seperti adanya penjenjangan petugas lapangan yaitu pencacah dan pengawas) menggunakan caracara yang memang selalu digunakan dalam setiap proses pengumpulan data. Contoh penggunaan konsep dan definisi pada Podes ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Petugas pendata Podes juga tidak hanya mencatat data yang tersedia pada papan monografi desa atau dari catatan di buku administrasi desa, melainkan petugas diharuskan melakukan wawancara langsung dengan perangkat desa untuk mendapatkan informasi yang paling mendekati kebenaran. Petugas pendata Podes sebelum melaksanakan tugasnya juga terlebih dahulu mengikuti pelatihan petugas secara intensif. Hal ini dimaksudkan agar para petugas memahami dengan baik konsep dan definisi yang digunakan dan untuk menjamin adanya kesamaan pemahaman antar-petugas di seluruh Indonesia. Walaupun demikian, data Podes juga masih mengandung beberapa keterbatasan. Dengan perangkat desa yang menjadi responden, belum semua jenis data yang diinginkan ada dan diketahui oleh para perangkat desa, sehingga menyulitkan petugas BPS untuk mendapatkan informasi yang paling mendekati kebenaran. Pada kegiatan pendataan Podes, ada dua jenis data yang dikumpulkan yaitu data hasil perhitungan dan data mengenai keberadaan. Untuk yang disebut pertama, cenderung memiliki keterbatasan. Hampir di semua desa aparatnya tidak memiliki informasi yang cukup misalnya, mengenai berapa jumlah orang yang menjadi buruh tani di desanya, berapa orang yang menempati kawasan kumuh dan informasi sejenis lainnya. Informasi yang dapat diperoleh oleh petugas pendata lebih mengarah ke perkiraan kasar.

185

Di lain pihak, untuk jenis data yang sifatnya keberadaan sesuatu, datanya cenderung akurat. Misalnya apakah di desa ini ada Puskesmas, ada sekolah, ada dokter, ada kejadian bencana alam dan sejenisnya. Di tengah kelebihan dan keterbatasannya, satu hal yang pasti, sampai saat ini, bahwa data Podes adalah satu-satunya data kewilayahan yang mencakup seluruh desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Pendataan Podes mempunyai tujuan untuk dapat menyajikan informasi global/agregat dari kegiatan statistik pada wilayah kecil, dan merupakan informasi awal bagi penelitian lebih lanjut. Secara lebih rinci tujuan pendataan Podes antara lain: 1. Menginformasikan tentang potensi/fasilitas/keadaan pembangunan di desa/kelurahan yang meliputi keadaan sosial-ekonomi, sarana dan prasarana/infrastruktur yang ada di wilayah administrasi terbawah; 2. Menyediakan data untuk dasar perencanaan regional (spasial) dan informasi pencapaian pembangunan di desa/kelurahan; 3. Menyediakan data pokok bagi penyusunan statistik wilayah kecil (small area statistics), dan 4. Sebagai informasi awal bagi keperluan penyusunan ringkasan statistik seperti penyusunan monografi desa, dasar penyusunan beberapa indeks komposit, penyusunan peta geografis (geographic information system), dan sebagainya. 2.2. Sekilas Sejarah Podes Untuk sekadar menambah wawasan pengetahuan tentang pendataan Podes akan sedikit dipaparkan tentang sejarah pendataan yang dilakukan. Cikal bakal dilakukannya pendataan Podes adalah pendataan fasilitas desa (Fasdes) yang diselenggarakan pada tahun 1976. Cakupan dari Fasdes sama dengan Podes yaitu seluruh desa/kelurahan di Indonesia namun variabel yang dikumpulkan datanya masih sangat terbatas. Bersamaan dengan diselenggarakannya Sensus Penduduk 1980, untuk pertama kalinya dilakukan pengumpulan data Podes dengan variabel yang lebih variatif dan relevan bagi berbagai keperluan pembangunan. Sejak itu pelaksanaan pendataan Podes selalu dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan berbagai kegiatan sensus seperti Sensus Pertanian, Sensus Ekonomi dan Sensus Penduduk. Karena selama kurun waktu 10 tahun dilakukan sebanyak 3 kali sensus, maka kegiatan 186

pendataan Podes dalam 10 tahun juga dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pendataan Podes terbaru adalah Podes SE 2006 yang dilakukan pada tahun 2005 (menjelang Sensus Ekonomi 2006 dan selanjutnya disebut Podes 2005), dan merupakan pelaksanaan pendataan Podes yang kesembilan kali. Sejak awal dilakukannya pengumpulan data Podes hingga yang kesembilan kalinya, telah banyak terjadi perubahan pada variabel yang dicakup. Perubahan disesuaikan dengan jenis sensus yang menjadi induk kegiatannya. Sekadar contoh, pada saat pendataan Podes ST 2003 (sensus Pertanian 2003) yang dilaksanakan menjelang Sensus Pertanian, ada beberapa tambahan pertanyaan yang berkaitan dengan aktivitas sektor pertanian. Begitu juga dengan pendataan Podes yang lain, pertanyaannya disesuaikan dengan kegiatan sensus yang akan dilakukan. Secara metodologi tidak banyak terjadi perubahan karena cakupan pendataan Podes adalah seluruh desa/kelurahan yang ada di Indonesia. Pada Podes 2005 dicakup hampir 70.000 desa/kelurahan. Pendataan ini cenderung lebih baik dibandingkan kegiatan pendataan Podes sebelumnya karena BPS melakukan pengawasan lapangan yang lebih intensif. Validasi dari data entry dan pemeriksaan tabel-tabel output dilakukan dengan lebih teliti dibanding sebelumnya. Kejanggalan-kejanggalan yang ditemui saat pemeriksaan tabel langsung dikonfirmasi ke daerah. Ini dimaksudkan untuk memberi hasil maksimal demi peningkatan kualitas data Podes. Perbaikan perencanaan dan penyelenggaraan pendataan Podes terus dilakukan oleh BPS demi memaksimalkan kualitas data yang dihasilkan. 2.3. Variabel yang Dikumpulkan dan Kegunaannya Variabel-variabel yang dikumpulkan pada pendataan Podes mencakup beragam jenis data di bidang kependudukan, lingkungan hidup, perumahan, pendidikan sosial-budaya, kesehatan, angkutan, komunikasi, informasi, rekreasi, hiburan, olahraga, pertanian, ekonomi, politik dan keamanan. Seperti telah sedikit disinggung sebelumnya, pada setiap kegiatan pendataan Podes ragam data yang dikumpulkan berbeda. Hal ini tergantung pada fokus pengumpulan data di setiap kegiatan Sensus. Pendataan Podes sensus penduduk (Podes SP) misalnya akan banyak mengumpulkan data variabel yang berkaitan dengan kependudukan. Pada pendataan Podes sensus pertanian, konsentrasinya pada pengumpulan data variabel yang berkaitan dengan aktivitas pertanian. 187

Begitu juga dengan Podes sensus ekonomi akan banyak difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan indikator perekonomian terutama keberadaan unit kegiatan usaha non-pertanian. Walaupun demikian, banyak jenis data/variabel yang dari satu Podes ke Podes yang lain selalu ditanyakan. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan series data. Data yang diperoleh dari kegiatan pendataan Podes diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bagi perencanaan pembangunan pemerintah, khususnya pemerintah daerah, dan juga bagi masyarakat umum. Dengan beraneka ragamnya variabel yang ada pada Podes, banyak hal dapat dianalisa berdasarkan data Podes yang tidak didapat dari sumber data lain, misalnya, antara lain: a. Keterisolasian dan keterbelakangan desa (desa tertinggal) dapat dideteksi dari daya jangkau penduduk desa ke pusat-pusat perekonomian dengan melihat jarak desa ke ibukota kabupaten/ kecamatan. Ketersediaan infrastruktur seperti listrik, jalan raya, fasilitas kesehatan dan pendidikan, dikaitkan dengan keadaan topografi desa (misalnya, persentase desa yang ada listrik menurut desa pesisir, bukan desa pesisir, desa di daerah aliran sungai dan lain-lain). b. Keadaan Lingkungan Hidup dan Bencana Alam. Podes menyediakan data yang dapat menjadi early warning terhadap bencana alam, dengan mengetahui wilayah mana saja yang memiliki desa-desa yang rawan longsor, desa dengan tanah kritis, gempa bumi, banjir dan lain-lain. Dengan demikian pemerintah dapat mengetahui wilayah-wilayah mana yang perlu dipersiapkan pada saat musim penghujan, misalnya, agar penduduk yang tinggal di daerah tersebut bisa diungsikan untuk meminimalkan korban jiwa. c. Data yang berkaitan dengan kemungkinan perluasan usaha/ investasi, misalnya dengan mengaitkan antara potensi yang ada dengan komoditi unggulan yang berkembang di setiap desa. Ketersediaan stok lahan yang ada di desa, berikut fasilitas yang tersedia juga merupakan informasi yang berharga bagi investor. d. Data/keadaan sosial-ekonomi penduduk desa/kelurahan, dapat diolah menjadi indikator tingkat kesejahteraan desa. Jumlah/persen desa yang sebagian besar penduduknya menggunakan kayu bakar untuk memasak, buang air besar di jamban umum atau bukan jamban, keperluan air untuk memasak dari sumber air sungai/ sumur tidak terlindung merupakan variabel-variabel yang bisa mengindikasikan mana desa yang miskin, mana yang tidak miskin. 188

e. Perubahan-perubahan struktur ekonomi desa misalnya dari agraris ke non-agraris. Maju tidaknya suatu wilayah, salah satunya, dapat dilihat dari adanya perubahan mata pencaharian sebagian besar penduduknya. Banyak indikator yang dapat diperoleh dari pendataan Podes, sekadar contoh, seperti: Persentase masyarakat dengan sumber penghasilan utama bukan dari sektor pertanian, Banyaknya/persentase desa yang memiliki kegiatan industri besar, sedang, dan kecil, dan Banyaknya/persentase desa/kelurahan yang memiliki kegiatan perdagangan seperti keberadaan kompleks pertokoan dan pasar permanen. f. Permasalahan yang berkaitan dengan dinamika kehidupan sosial juga dapat diperoleh dari hasil pendataan Podes. Peneliti ilmu sosial yang tertarik mengamati wilayah-wilayah yang telah mengalami proses akulturasi budaya dapat menggunakan data Podes ini terutama yang berkaitan dengan persentase desa yang penduduknya telah mengenal kawin campur antarsuku, dan desa yang dihuni lebih dari satu etnis. Semakin tinggi persentasenya cenderung semakin baik indikasi bahwa masyarakat tersebut semakin akulturatif dan terbuka. g. Kebutuhan identifikasi hirarki wilayah, misalnya desa menurut ukuran jumlah penduduknya dapat dipakai untuk menggolongkan desa-desa menurut jumlah dan kepadatan penduduknya tinggi, sedang atau jarang. Dengan mengetahui ukuran tersebut suatu wilayah akan dapat dikembangkan sebagai pusat-pusat pertumbuhan baru. h. Bidang sosial-politik juga dicakup dalam data Podes di antaranya data tentang keberadaan lembaga-lembaga sosial dan LSM di setiap desa. Indikator untuk medeteksi kekuatan modal sosial sebagian juga dapat diperoleh dari hasil pendataan Podes seperti tingkat integrasi sosial (perkawinan antarsuku, misalnya), institusi sosial (keberadaan kelompok-kelompok) dan trust (melalui gotong royong) serta problem sosial (informasi tentang judi). Pendataan Podes telah menghasilkan informasi yang cukup beragam. Di BPS data hasil pendataan Podes ini didesiminasikan melalui bentuk raw data (meliputi seluruh data Podes) dan dalam bentuk buku publikasi. Hasil pendataan Podes tahun 2005 (Podes 189

SE06) misalnya, telah diterbitkan melalui publikasi berjudul Statistik Potensi Desa Indonesia 2005 yang berisi beragam informasi tentang desa, termasuk di dalamnya informasi tentang lingkungan hidup, di seluruh Indonesia. Suatu hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tabel-tabel Podes yang disajikan dalam publikasi tersebut perlu dibaca dengan hati-hati, karena yang ditonjolkan adalah dimensi kewilayahannya, bukan sektor, aktivitas atau jumlah unit keberadaan sesuatu. Karena itu hampir dalam setiap tabel senantiasa judulnya dimulai dengan kata jumlah desa. Sebagai contoh, jumlah desa yang memiliki Pusksemas, jumlah desa yang dilalui oleh kenderaan roda empat, jumlah desa yang memiliki sarana olahraga dan sejenisnya; bukan jumlah Puskesmas di desa atau jumlah sarana olahraga di desa. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sampai sejauh mana suatu wilayah (baca: desa) memiliki kekuatan dan atau akses ke berbagai fasilitas yang ada. 2.4 Data Dan Indikator Lingkungan Hidup terkait MDGs Dari Podes Indikator lingkungan hidup dalam pendataan Podes SE 2006 (Podes 2005) diakomodir melalui sekitar 11 pertanyaan, sedangkan pada pendataan Podes Sensus Pertanian 2003 (Podes 2002) jumlah pertanyaan sedikit lebih banyak yaitu sekitar 15 pertanyaan. Beberapa pertanyaan yang ada pada pendataan Podes 2002 tetapi tidak pada pendataan Podes 2005, antara lain, adalah pertanyaan menyangkut keberadaan tanah kritis, limbah industri pengolahan, dan tempat pembuangan air kotor rumah tangga. Sebagai contoh pertanyaan-pertanyaan dan indikator yang dapat diperoleh dari pendataan Podes 2005 antara lain: a. Bahan bakar yang digunakan oleh rumah tangga untuk memasak Pertanyaan ini ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai jumlah dan persentase desa di Indonesia menurut daerah (provinsi, kabupaten/kota/kecamatan dan desa) dan bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar rumah tangga untuk memasak. Kategori jawaban dari pertanyaan ini, antara lain, gas/LPG, minyak tanah, kayu bakar, dan kategori lainnya. Kaitannya dengan indikator lingkungan, terfokus pada penggunaan kayu bakar. 190

Penggunaan kayu bakar dapat digunakan sebagai indikator banyak hal seperti kemiskinan penduduk, maupun tekanan penduduk untuk mendapatkan kayu bakar yang sudah tentu akan berakibat pada kelestarian hutan. Dalam konteks MDGs, penggunaan kayu bakar, yang merupakan bagian dari biomassa juga merupakan salah satu target yang harus diturunkan karena akan menimbulkan polusi dalam ruangan. Indikator lingkungan hidup yang dapat dibentuk dari pertanyaan ini, di antaranya: Jumlah dan persentase desa menurut daerah (semua tingkat pemerintahan) di mana sebagian besar keluarga menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak; Jumlah dan presentase desa menurut daerah (semua tingkat pemerintahan) di mana sebagian besar keluarga menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak; Jumlah dan presentase desa menurut daerah (semua tingkat pemerintahan) di mana sebagian besar keluarga menggunakan bahan bakar lainnya (batu bara, arang dan sejenisnya) sebagai bahan bakar untuk memasak. b. Tempat buang sampah sebagian besar keluarga Pertanyaan tempat buang sampah sebagian besar keluarga ini menyediakan beberapa kategori jawaban, antara lain, dibuang ke tempat sampah dan kemudian diangkut, dalam lubang/dibakar, sungai, dan kategori lainnya. Kaitannya dengan kelestarian lingkungan hidup adalah seberapa banyak desa di Indonesia yang sebagian besar keluarganya membuang sampah ke sungai atau ke tempat lainnya. Ini akan memiliki konsekuensi yang sangat besar. Semakin tinggi persentase desa yang warganya membuang sampah di sungai mengindikasikan ancaman serius bagi ketersediaan sumber daya air khususnya air baku (raw water) yang menjadi sumber air minum. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber air baku ini merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian dalam MDGs (tujuan 7, target 10). Indikator yang dapat kita peroleh antara lain: Jumlah dan persentase desa di mana sebagian besar keluarga membuang sampah di tempat sampah (kemudian diangkut).

191

Jumlah dan persentase desa di mana sebagian besar keluarga membuang sampah di lubang/dibakar. Jumlah dan persentase desa di mana sebagian besar keluarga membuang sampah di sungai.

c. Tempat buang air besar sebagian besar keluarga Pertanyaan ini memiliki 4 alternatif jawaban yaitu jamban sendiri, jamban bersama, jamban umum dan bukan jamban. Jawaban untuk kategori jamban sendiri merefleksikan situasi yang lebih baik, apakah itu dari perspektif kesejahteraan maupun dari perspektif kelestarian lingkungan. Di sisi lain, jawaban untuk jamban umum (yang biasanya merefleksikan tempat buang air besar di sungai/kali atau di tempat-tempat umum lainnya) dan tempat lainnya (seperti buang air besar di kebunkebun/ladang/hutan dan sejenisnya) akan berimplikasi banyak terhadap kelestarian lingkungan. Semakin tinggi, misalnya, jumlah desa yang masyarakatnya membuang air besar di sungai atau di kebun (lainnya) akan semakin kuat kemungkinan timbulnya efek yang kurang menguntungkan bagi sanitasi lingkungan yang baik. Indikator yang dapat diperoleh antara lain yaitu: Jumlah dan persentase desa di mana tempat buang sebagian besar keluarga adalah jamban sendiri. Jumlah dan persentase desa di mana tempat buang sebagian besar keluarga adalah jamban bersama. Jumlah dan persentase desa di mana tempat buang sebagian besar keluarga adalah jamban umum. Jumlah dan persentase desa di mana tempat buang sebagian besar keluarga adalah bukan jamban. air besar air besar air besar air besar

d. Penggunaan air sungai yang melintasi desa Pertanyaan ini pada Podes 2005 didahului dengan pertanyaan yang bersifat menjaring yaitu apakah desa/kelurahan ini dilalui oleh sungai atau tidak. Jawabannya, ada atau tidak ada. Jika jawabannya ada sungai yang melintasi desa ini, maka pertanyaan dilanjutkan untuk mendapatkan informasi tentang penggunaan air sungai tersebut. Artinya, air sungai yang melintasi desa tersebut dipergunakan untuk apa saja oleh penduduk. Jawabannya bersifat ganda yaitu untuk mandi/cuci, minum, bahan baku air minum (dijernihkan), irigasi, untuk keperluan industri/pabrik, transportasi, 192

lainnya. Jawaban-jawaban dari pertanyaan ini sesungguhnya memiliki implikasi lingkungan hidup yang luas. Jika air sungai di desa tersebut misalnya digunakan untuk keperluan industri, bukan tidak mungkin limbah airnya pun akan kembali ke sungai dan diminum oleh penduduk desa. Indikator yang dihasilkan antara lain: Jumlah dan persentase desa yang penduduknya menggunakan air sungai menurut kegunaannya (mandi/cuci, minum, bahan baku air minum (dijernihkan), irigasi, untuk keperluan industri/pabrik, transportasi, lainnya). e. Keluarga yang bertempat tinggal di bantaran sungai Jawaban atas pertanyaan ini dapat dipakai untuk mengetahui seberapa banyak desa yang penduduknya tinggal di bantaran sungai. Keluarga yang bertempat tinggal di bantaran/tepi sungai adalah keluarga yang bertempat tinggal di bantaran/tepi sungai dan atau sempadan sungai. Pengertian bantaran sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam (PP No.35 Tahun 1991 tentang sungai). Indikator yang dihasilkan antara lain: Jumlah dan persentase desa yang ada keluarga/warganya yang tinggal di bantaran sungai; Jumlah dan persentase keluarga yang menempati bantaran sungai; dan Jumlah bangunan rumah yang berada di bantaran sungai. f. Keluarga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi Pada pendataan Podes, baik pendataan tahun 2002 maupun pada pendataan 2005, ditanyakan jumlah keluarga dan jumlah bangunan rumah yang tinggal di lokasi/di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. Disebut jaringan listrik tegangan tinggi apabila kawat yang melintas mempunyai tegangan listrik lebih dari 500 KV. Keluarga dan bangunan yang dicatat pada rincian ini adalah keluarga dan bangunan yang berada di bawah jaringan dan berjarak 20 meter dari lintasan jaringan tersebut. (Permentamben No. 1.P/47/MTE/ 1992). 193

Indikator yang dihasilkan antara lain: Jumlah dan persentase keluarga yang tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi, dan Jumlah bangunan rumah yang berada di bawah jaringan listrik tegangan tinggi. g. Keberadaan permukiman kumuh Berkaitan dengan permukiman kumuh ini, pendataan Podes sejak Podes tahun 1999 (SP 2000), Podes 2002 (ST2003) maupun pada pendataan Podes 2005 (SE2006) selalu menanyakan tentang jumlah lokasi, jumlah bangunan rumah, dan jumlah keluarga yang menghuni permukiman kumuh. Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang ditandai oleh banyak rumah tidak layak huni, banyak saluran pembuangan limbah macet, penduduk/bangunan sangat padat, banyak penduduk buang air besar tidak di jamban, biasanya berada di areal marginal (seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta api dan sejenisnya). Indikator yang dihasilkan: Jumlah lokasi permukiman kumuh; Jumlah bangunan rumah di lokasi permukiman kumuh, dan Jumlah keluarga yang menghuni permukiman kumuh.

h. Jenis pencemaran lingkungan hidup setahun terakhir Pencemaran lingkungan adalah suatu hal, hasil, atau cara/proses kerja yang mencemari lingkungan hidup seperti yang ditimbulkan oleh limbah pabrik, pemakaian pupuk kimia pada tanaman, limbah keluarga/pasar/pertokoan/perkantoran dan sebagainya. Pada pendataan Podes, jenis pencemaran lingkungan hidup yang ditanyakan adalah pencemaran air, tanah, udara, dan suara bising. Selain itu, untuk masing-masing jenis pencemaran dimaksud ditanyakan pula sumber yang menyebabkan terjadinya pencemaran, dan adakah pengaduan yang dilakukan oleh warga ke kepala desa mereka. Terkait dengan pencemaran lingkungan ini, datanya tersedia secara berseri sejak pendataan Podes pada kegiatan Sensus Penduduk tahun 1990 (SP90) sampai Pendataan Podes tahun 2005 (SE2006). 194

Salah satu indikasi penting pencemaran lingkungan di suatu daerah ditunjukkan oleh adanya penyakit-penyakit tertentu pada manusia atau hewan, kerusakan atau matinya tanaman, perubahan fisik dan kimia lingkungan, yang dapat berupa perubahan yang khas pada tumbuhan atau hewan. Indikator yang dihasilkan: Jumlah dan persentase desa yang mengalami pencemaran air dalam satu tahun terakhir; Jumlah dan persentase desa yang mengalami pencemaran tanah dalam satu tahun terakhir; Jumlah dan persentase desa yang mengalami pencemaran udara dalam satu tahun terakhir; Jumlah dan persentase desa yang dicemari oleh suara bising dalam satu tahun terakhir; Jumlah dan persentase desa yang mengalami pencemaran lingkungan hidup dalam satu tahun terakhir menurut sumber pencemaran (untuk masing-masing jenis pencemaran); Jumlah dan persentase desa yang mengalami pencemaran lingkungan hidup dalam satu tahun terakhir, dan yang melaporkan adanya pencemaran lingkungan di desanya.

i.

Usaha penambangan/penggalian golongan C Pada pendataan Podes 2005 ditanyakan pula keberadaan usaha penambangan/penggalian Golongan C. Seperti banyak diketahui bahwa di samping mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi pengusaha pertambangan jenis ini, dampak negatifnya terhadap kelestarian lingkungan juga cukup tinggi. Penggalian golongan C ini adalah kegiatan di bidang pertambangan dan penggalian yang mencakup penambangan/ penggalian batu/koral, pasir, kapur, belerang, kaolin, pasir kwarsa, tanah liat dan lainnya seperti batu koral, aspal, gips, dan gamping. Indikator yang dihasilkan: Jumlah dan persentase desa yang memiliki/tidak memiliki usaha penambangan/penggalian golongan C.

195

j.

Letak desa (relatif terhadap kawasan hutan). Baik pendataan Podes SP 90, Podes ST2003 maupun pada Podes SE 2006, selalu memuat pertanyaan tentang letak suatu desa apakah berada dalam kawasan hutan, di tepi kawasan hutan atau di luar kawasan hutan. Lokasi desa ini akan juga berpengaruh pada kemungkinan perusakan kelestarian lingkungan hidup. Desa yang berada dalam kawasan hutan, misalnya, masyarakatnya sangat potensial untuk melakukan aktivitas yang dapat berakibat buruk atau sebaliknya terhadap kelestarian lingkungan. Indikator yang dihasilkan: Jumlah dan persentase desa menurut letaknya terhadap/dari kawasan hutan.

k. Kerawanan terhadap kejadian bencana alam dan peristiwa bencana alam Pada pendataan Podes 2005, ada dua pertanyaan yang menyangkut bencana alam yaitu pertanyaan tentang kerawanan terhadap bencana dan pertanyaan tentang kejadian bencana alam (bencana yang telah terjadi). Pertanyaan yang berkaitan dengan kerawanan terhadap bencana dimulai dengan pertanyaan apakah desa ini rawan bencana? Jika jawabannya ya, maka ditanyakan lagi jenis-jenis bencana yang rawan tersebut dengan alternatif jawaban yaitu rawan terhadap tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa bumi dan abrasi pantai. Untuk kejadian bencana alam ditanyakan tentang tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa bumi, gempa bumi disertai tsunami, kebakaran, pembakaran hutan/sawah dan bencana lainnya. Adapun indikator lingkungan yang dapat diperoleh antara lain: Jumlah dan persentase desa yang rawan bencana tanah longsor; Jumlah dan persentase desa yang rawan bencana banjir; 196

Jumlah dan persentase desa yang rawan bencana banjir bandang; Jumlah dan persentase desa yang rawan bencana gempa bumi; Jumlah dan persentase desa yang rawan bencana abrasi pantai; Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana tanah longsor; Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana banjir; Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana banjir bandang; Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana gempa bumi; Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana gempa disertai tsunami; Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana kebakaran; dan Jumlah dan persentase desa yang mengalami bencana pembakaran hutan/ladang/sawah. Pada pendataan Podes 2002 (Podes ST03), ada beberapa pertanyaan yang ditanyakan tetapi tidak dimasukkan pada pendataan Podes 2005 (Podes SE06), antara lain keadaan tempat pembuangan air kotoran rumah tangga (lancar, tidak lancar, tergenang, tidak ada saluran), pembuangan limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri pengolahan (dibuang ke instalasi pembuangan limbah, tanah, sungai dan lainnya), dan keberadaan lahan kritis (ada/tidak ada, luas lahan kritis dan jumlah keluarga yang menempati lahan kritis tersebut). Indikator yang dapat dihasilkan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain: Indikator pembuangan limbah, Jumlah dan persentase desa di mana sebagian besar saluran pembuangan air limbah/kotor dalam keadaan lancar;

197

Jumlah dan persentase desa di mana sebagian besar saluran pembuangan air limbah/kotor dalam keadaan tergenang/tidak mengalir; Jumlah dan persentase desa di mana sebagian besar saluran pembuangan air limbah/kotor dalam keadaan tidak ada saluran; Indikator pembuangan limbah industri, Jumlah dan persentase desa di mana kegiatan industri pengolahan membuang limbahnya ke instalasi pembuangan limbah; Jumlah dan persentase desa di mana kegiatan industri pengolahan membuang limbahnya ke tanah; Jumlah dan persentase desa di mana kegiatan industri pengolahan membuang limbahnya ke sungai; Indikator tentang tanah kritis, Jumlah dan persentase desa di mana ada lokasi tanah/lahan kritis; Luas lahan kritis; dan Jumlah keluarga yang tinggal di lahan kritis. Uraian yang telah dipaparkan tersebut di atas merupakan beberapa contoh data dan indikator lingkungan hidup, yang terkait dengan MDGs, yang dapat diperoleh dari hasil pendataan Podes. Agar lebih jelas mengenai penggunaan data Podes ini, kami cantumkan, untuk sekadar contoh, tabel yang memuat beberapa indikator lingkungan hidup terkait MDGs untuk kabupaten Bone, Bantaeng dan Takalar (Sulawesi Selatan) dan Mamuju dan Polewali (Sulawesi Barat) seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan untuk seluruh variabel Podes yang dilaksanakan sejak persiapan Sensus Penduduk tahun 1980 (Podes 1979) sampai ke Podes SE06 (Podes 2005) dapat dilihat pada Lampiran 2.

198

III. Penutup Dari uraian yang dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa begitu banyak ragam indikator lingkungan hidup yang dapat diperoleh dan dimanfaatkan dari hasil pendataan Podes baik dari hasil pendataan tahun 2005 (Podes SE06) maupun dari hasil kegiatan pendataan Podes sebelumnya. Data Podes adalah data kewilayahan dan satu-satunya yang mencakup seluruh wilayah. Di era otonomi daerah saat ini, data jenis ini idealnya menjadi komoditas utama untuk penyusunan perencanaan pembangunan regional/daerah. Apalagi di tengah suasana negeri yang selalu mengalami bencana alam saat ini, data tentang bencana dan tentang lingkungan hidup yang tersedia dari hasil pendataan Podes seyogyanya menjadi acuan sebagai bagian dari langkah early warning (peringatan dini) untuk mengantisipasi kemungkinan bencana yang lebih luas. Dari data hasil pendataan Podes akan diketahui wilayah/kelompok desa mana yang sering mengalami kabakaran hutan, banjir, tanah longsor dan sebagainya. Ada kesan selama ini bahwa aparatur pemerintah maupun berbagai pihak terkait lainnya belum maksimal (bahkan belum terlihat kemauan yang kuat) untuk memanfaatkan data Podes bagi kepentingan mengisi dan meningkatkan mutu perencanaan pembangunan kewilayahan di masing-masing daerah. Padahal data ini sangat potensial untuk memperkaya dan mendukung upaya-upaya pemerintah guna menyejahterakan masyarakatnya dan khususnya dalam mendukung berbagai kegiatan yang terkait dengan MDGs. Data Podes sangat kaya akan beragam informasi pembangunan, tetapi belum maksimal dimanfaatkan, dan ini merupakan tantangan kita bersama.

199

Lampiran 1:

Beberapa Indikator Lingkungan Hidup dari Podes 2005 Contoh Untuk Kabupaten Bone, Bantaeng dan Takalar (Sulsel) Dan Mamuju, Polewali (Sulbar)
Kabupaten Indikator BONE BANTAENG TAKALAR MAMUJU POLEWALI MANDAR 132

1. Jumlah Desa 2. Persentase Desa (sebagian besar ruta) Memasak Dengan Kayu Bakar 3. Persentase Desa (sebagian besar ruta) menurut Cara Pembuangan Sampah Tempat sampah, kemudian diangkut Dalam lubang/dibakar Sungai Lainnya 4. Persentase Desa (sebagian besar ruta) Menurut Jenis Jamban Jamban Sendiri Jamban Bersama Jamban Umum Bukan Jamban 5. Persentase Desa yang Ada Usaha Pertambangan Golongan C 6. Persentase Desa yang Ada Pencemaran Pencemaran Air Pencemaran Tanah Pencemaran Udara 7. Persentase Desa yang Ada Permukiman Kumuh

372

67

73

110

72.31

71.64

19.18

79.09

71.21

4.30 79.57 2.69 13.44

7.46 34.33 4.48 53.73

9.59 82.19 4.72 14.15

0.91 67.27 5.45 26.36

3.79 74.24 3.03 18.94

57.53 1.88 2.15 38.44 16.94

44.78 0 4.48 50.75 23.88

72.60 4.11 2.74 20.55 16.44

41.82 0.91 0 57.27 26.36

41.67 0 0.76 57.58 25.00

5.91 0.27 2.15 9.14

1.49 0 0 22.39

6.85 0 5.48 15.07

7.27 0 0 15.45

12.88 3.03 11.36 4.55

200

Lampiran 2 Daftar Variabel Podes SP1980 s/d Podes SE2006 yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Nama Variabel BLOK IV. KEPENDUDUKAN, LINGKUNGAN HIDUP DAN PERUMAHAN A. Kependudukan 1. Registrasi penduduk: 2. Keadaan setahun yang lalu a Banyak kelahiran b Kematian baji (berumur kurang dari 1 tahun) c Kematian (termasuk bayi) 3. Keadaan pada 30 Juni a.1) banyak penduduk Laki-laki Perempuan 2) % penduduk 10 th ke atas yang bisa membaca, menulis b. Banyak rumah tangga/keluarga c. 1) penduduk berumur 7-15 2) penduduk berumur 7-15 masih sekolah 3) penduduk berumur 7- 15 yang bekerja B. Lingkungan Hidup dan Perumahan Podes Podes Podes Podes Podes Podes Podes Podes Podes SE06 ST03 SP00 SE96 ST93 SP90 SE86 ST83 SP80 (2005) (2002) (1999) (1995) (1992) (1989) (1985) (1982) (1979)

x x

x x

x x

x x

x x

x x x x x

x x x x x

x x

x x

x x x x x x x

x x x x x x x

x x x x x x x

x x x x x x x

x x x x x x x

x x x x x

1. Bahan bakar RT untuk memasak 2. Cara pembuangan sampah

201

3. Penggunaan jamban/kakus 4a. Kakus/jamban umum Inpres b. Kakus/jamban umum lainnya c. Kakus/jamban umum pemerintah non Inpres d. Bukan jamban 5. Pembuangan air kotor 6. Bahan penambangan/galian gol C yg diusahakan 7. Dam pengendali/Dam penahan erosi 8. Peladang berpindah 9. Rumah tangga yang mengusahakan: Lebah madu Pohon murbai Ulat sutera Lainnya 10a. Pencemaran air b. Pencemaran udara c. Pencemaran tanah d. Pencemaran lainnya e. Pencemaran suara/bising 11. Kategori rumah menurut kualitas a. Permanen b. Semi/bukan permanen c. Sederhana 12. Jumlah bangunan rumah susun - Jumlah bangunan fisik - Jumlah bangunan sensus

x x x x x x x

x x x x

x x x x

x x x x x x

x x

x x x x x

x x x x x

x x x x x

x x x x x

x x x x x

x x x x x

x x x x x

x x x x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x x x x

x x x

x x x

x x x

x x x

x x x

x x x

x x

x x

x x

x x

x x

x x

x x

x x

202

13. RT bertempat tinggal bantaran/ tepi sungai 14. RT yang bertempat tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi (>500KV) 15. Pemukiman Kumuh 16. Industri pengolahan - Jenis industri - Limbah yang dihasilkan 17. Adakah lahan kritis 18. Adakah sungai yang melintasi desa 19. Letak desa/kel.relatif terhadap wilayah hutan 20. Permukiman mewah 21. Rawan Bencana a. Rawan bencana tanah longsor b. Rawan bencana banjir c. Rawan bencana banjir bandang d. Rawan bencana gempa bumi e. Rawan bencana abrasi pantai f. Rawan bencana lainnya 22. Kejadian Bencana a. Bencana tanah longsor b. Bencana banjir c. Bencana banjir bandang d. Bencana gempa bumi e. Rawan gempa dengan tsunami f. Kebakaran g. Pembakaran hutan/ladang

x x x

x x x

x x x

x x x

x x x

x x x

x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

x x x x x x

X x x x

x x x x x x x x

x x x x x x x x

x x x x x x x x

x x x x x x x x

x x x x x x x x

x x x x x x x x

x x x x x x x x

h. Bencana lainnya

203

Lampiran 3 : Beberapa Pengertian/Definisi Konsep Pada Pendataan Podes 2005 1. Umum Status pemerintahan desa/kelurahan Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. Kelurahan adalah suatu wilayah lurah sebagai perangkat daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan (UU RI No 32 Tahun 2004Tentang Pemerintahan Daerah). Nagari adalah bagian wilayah dalam kecamatan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan nagari. Badan Perwakilan Desa/Dewan Kelurahan adalah lembaga permusyawaratan/permufakatan yang keanggotaannya terdiri dari kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemuka-pemuka masyarakat desa yang bersangkutan. Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK)/Rukun Warga (RW) adalah organisasi masyarakat yang diakui dan dibina oleh pemerintah untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotong-royongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan dan masyarakat di desa dan kelurahan. Dari segi ukuran, RT biasanya lebih kecil dari RW/RK. Jumlah kepala keluarga/keluarga di dalam RT biasanya lebih kecil dari 30 keluarga untuk desa dan 50 untuk kelurahan. Setiap RW/RK biasanya terdiri dari paling sedikit 2 RT di desa dan 3 RT di kelurahan (Permendagri No.5 Th 1981 tentang pembentukan dusun dalam dan lingkungan dalam kelurahan, pasal 4). Letak Geografis Desa/Kelurahan 1) Desa pesisir adalah desa/kelurahan yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan garis pantai/laut (atau merupakan desa pulau) dengan corak kehidupan rakyatnya tergantung pada potensi laut dan bisa tidak tergantung pada potensi laut. 2) Desa bukan pesisir adalah desa yang tidak berbatasan dengan laut atau tidak mempunyai pantai. Desa bukan pesisir terdiri atas: 204

a) Desa lembah/daerah aliran sungai (DAS) adalah desa/kelurahan yang wilayahnya sebagian besar merupakan daerah cekungan/ledokan di sekitar aliran sungai atau berada di antara dua buah gunung/ bukit. b) Desa lereng/punggung bukit adalah desa/kelurahan yang wilayahnya sebagian besar berada di lereng/punggung bukit atau gunung. c) Desa dataran adalah desa/kelurahan yang sebagian besar wilayahnya rata. Letak Desa/Kelurahan Kawasan hutan adalah tertentu yang ditujukan dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk keberadaannya sebagai hutan tetap. 2. Kependudukan

Penduduk dan Keluarga Jumlah penduduk dan keluarga dihitung berdasarkan keadaan terakhir. a. Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di desa tersebut selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Banyaknya penduduk desa/kelurahan yang dicatat adalah jumlah penduduk yang tercatat pada saat pencacahan. b. Keluarga adalah sekelompok orang yang mempunyai hubungan darah terdiri dari bapak, ibu dan anak atau mempunyai kartu keluarga sendiri. c. Keluarga pertanian adalah keluarga yang sekurang-kurangnya satu anggota keluarga melakukan kegiatan bertani/berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak; menjadi nelayan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa pertanian. d. Pra Keluarga Sejahtera (Pra KS) adalah keluarga yang belum memenuhi salah satu atau lebih syarat berikut: 1) Bisa makan dua kali sehari atau lebih, 2) Mempunyai pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan, 3) Lantai rumah bukan tanah, dan 4) Bila anaknya sakit dibawa berobat ke sarana/petugas kesehatan. 205

Keluarga Sejahtera Tahap I (KS I) adalah keluarga yang sudah memenuhi syarat berikut: 1) Bisa makan dua kali sehari atau lebih, 2) Sudah mempunyai pakaian yang berbeda untuk keperluan yang berbeda, 3) Lantai rumah bukan terbuat dari tanah, dan 4) Sudah sadar membawa anaknya yang sakit ke sarana/petugas kesehatan. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk adalah sektor atau bidang usaha di mana sebagian besar penduduknya memperoleh penghasilan/pendapatan. a. Pertanian meliputi pertanian tanaman pangan dan tanaman pertanian lainnya; peternakan; jasa pertanian dan peternakan; kehutanan dan penebangan hutan; perburuan/penangkapan, dan pembiakan binatang liar; perikanan laut dan darat. b. Pertambangan dan penggalian adalah kegiatan/lapangan usaha di bidang pertambangan dan penggalian, seperti pertambangan batu bara, minyak dan gas bumi, biji logam, penggalian batu batuan, tanah liat, pasir, penambangan dan penggalian garam, pertambangan mineral bahan kimia dan bahan pupuk, penambangan gips, aspal, dan lain-lain. c. Industri pengolahan adalah kegiatan pengubahan bahan dasar menjadi barang jadi/setengah jadi, dari kurang nilainya menjadi barang lebih tinggi nilainya. Secara garis besar industri meliputi: 1) Industri makanan, minuman dan tembakau; 2) Industri tekstil, pakaian jadi dan kulit; 3) Industri barang dari kayu, termasuk perabot rumahtangga; 4) Industri kertas penerbitan; dan barang dari kertas, percetakan dan

5) Industri kimia dan bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet dan plastik;

206

6) Industri barang galian bukan logam, kecuali minyak dan batu bara; 7) Industri logam dasar; 8) Industri barang dari logam, mesin dan peralatan; dan 9) Industri pengolahan lainnya. d. Perdagangan besar/eceran, rumah makan dan akomodasi adalah kegiatan jual beli barang termasuk juga usaha restoran/rumah makan dan minuman, katering, restorasi di kereta api, kafetaria, kantin, warung, penginapan (hotel, motel, hostel, dan losmen). e. Jasa adalah kegiatan yang menghasilkan jasa dengan tujuan untuk dijual baik seluruhnya atau sebagian, meliputi: 1) Real estate, jasa persewaan, dan jasa perusahaan; 2) Jasa pendidikan; 3) Jasa kesehatan dan kebersihan; 4) Jasa dan kegiatan sosial; 5) Jasa rekreasi, kebudayaan, olahraga; dan 6) Jasa perusahaan dan rumah tangga. f. Lainnya adalah kegiatan yang bidang atau sektornya tidak termasuk pada rincian di atas seperti listrik, gas, air, konstruksi, transportasi, pergudangan, komunikasi dll. Perumahan dan Lingkungan Hidup

3.

Keluarga pengguna listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) adalah keluarga yang berlangganan listrik secara resmi dari PLN. Keluarga pengguna listrik non-PLN adalah keluarga yang berlangganan listrik non -PLN, misalnya dari diesel/generator yang diusahakan sendiri atau diusahakan secara bersama, termasuk dari diesel/generator yang dibangkitkan sendiri (tidak diusahakan) dan hanya digunakan sendiri. Jenis penerangan jalan utama desa/kelurahan adalah jenis penerangan yang ada pada jalan utama desa/kelurahan misalnya, listrik PLN, listrik non PLN, non- listrik atau tidak ada penerangan jalan utama. Penerangan jalan yang diusahakan oleh masyarakat walaupun sumbernya dari PLN dimasukkan listrik non-PLN. 207

Bahan bakar untuk memasak adalah bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar penduduk di desa/kelurahan, misalnya, gas kota/LPG, minyak tanah, kayu bakar, arang, sekam, tempurung, briket batu bara dan biogas. Sungai yang melintasi desa adalah sungai yang alirannya melalui wilayah desa/kelurahan, termasuk juga sungai yang menjadi batas desa/kelurahan. Keluarga yang bertempat tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi Dikatakan jaringan listrik tegangan tinggi apabila kawat yang melintas mempunyai tegangan listrik lebih dari 500 KV. Keluarga dan bangunan yang dicatat pada rincian ini adalah keluarga dan bangunan yang berada di bawah jaringan dan berjarak 20 meter dari lintasan jaringan tersebut (Permentamben No. 1.P/47/MTE/1992). Permukiman mewah adalah kelompok permukiman yang oleh masyarakat setempat dianggap mewah. Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang ditandai oleh: a. Banyak rumah tidak layak huni, b. Banyak saluran pembuangan limbah macet, c. Penduduk/bangunan sangat padat, d. Banyak penduduk buang air besar tidak di jamban, dan e. Biasanya berada di areal marginal (seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta api). Pencemaran lingkungan adalah suatu hal, hasil, atau cara/proses kerja yang mencemari lingkungan hidup seperti yang ditimbulkan oleh limbah pabrik, pemakaian pupuk kimia pada tanaman, limbah keluarga/pasar/pertokoan/perkantoran dan sebagainya. Pencemaran lingkungan di suatu daerah ditunjukkan oleh adanya penyakit-penyakit tertentu pada manusia atau hewan, kerusakan atau matinya tanaman, perubahan fisik dan kimia lingkungan, yang dapat berupa perubahan yang khas pada tumbuhan atau hewan.

208

Pengaduan masalah pencemaran adalah pengaduan pencemaran yang dilaporkan minimal sampai dengan Kepala Desa/Lurah. Penggalian golongan C adalah kegiatan di bidang pertambangan dan penggalian, seperti batu/koral, pasir, kapur, belerang, kaolin, pasir kwarsa, tanah liat dan lainnya seperti batu koral, aspal, gips, dan gamping. 3.4. Antisipasi dan Kejadian Bencana Alam Bencana alam adalah peristiwa alam yang menimbulkan kesengsaraan, kerusakan, kerugian, dan penderitaan penduduk. Tidak termasuk bencana adalah peristiwa kerusakan yang disebabkan karena hama tanaman atau wabah. Bencana lainnya misalnya angin topan dan sebagainya. Bencana alam yang dicatat yaitu bencana yang terjadi dalam 3 tahun terakhir. Jumlah bencana dihitung berdasarkan rangkaian kejadian.

209

Daftar Pustaka

BPS, 2005. Pedoman Petugas Lapangan Pendataan Potensi Desa 2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

BPS, 2005. Statistik Potensi Desa Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik.Jakarta.

Hasbullah, Jousairi 2006. Podes dan Indikator Pembangunan Wilayah. Makalah dalam Diskusi Litbang Kompas. Jakarta

Hasbullah, Jousairi 2006. Tentang Data Podes dan Manfaatnya. Makalah Pada Pelatihan Instruktur Nasional Podes, April 2005.

Bappenas, 2004. Indonesia: Laporan Perkembangan Pencapaian Pembangunan Milenium. Bappenas.Jakarta

210

Ringkasan:

Salah satu agenda, dari delapan agenda, the Millenium Summit, September 2000,yang diikuti oleh 189 negara, adalah memastikan keberlanjutan lingkungan hidup. Ada beberapa hal yang menjadi fokus antara lain, penduduk memiliki akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar yang layak pada tahun 2015, dan mencapai perbaikan berarti kehidupan penduduk miskin yang tinggal di daerah kumuh pada tahun 2020.
Terkait dengan hal tersebut diperlukan ketersediaan data yang cukup baik untuk perencanaan, monitoring, maupun eveluasi program, salah satu sumber data itu adalah hasil pendataan Potensi Desa (Podes) yang informasinya cukup kaya tetapi selama ini belum begitu banyak dimanfaatkan. Pendataan Podes ini dilakukan tiga kali dalam 10 tahun (setiap menjelang kegiatan sensus). Podes terakhir adalah pendataan Podes tahun 2005. Beberapa jenis data yang terkait dengan lingkungan hidup antara lain penggunaan bahan bakar untuk rumah tangga, pola pembuangan sampah, tempat buang air besar, penggunaan air sungai, keluarga yang tinggal di bantaran sungai dan di bawah jaringan listrik tegangan tinggi, permukiman kumuh, pencemaran lingkungan hidup dan beberapa informasi yang lain. Dalam konteks otonomi daerah, data jenis ini juga sangat diperlukan untuk merancang pembangunan wilayah yang sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

211

Pendataan untuk Identifikasi Calon Penerima Bantuan Langsung Tunai


(Nona Iriana, M.Si) I. Pendahuluan

Kenaikan harga minyak dunia sangat mempengaruhi harga minyak di Indonesia, karena kebutuhan minyak di Indonesia lebih tinggi dari jumlah minyak yang diproduksi. Beberapa saat yang lalu harga minyak yang ada jauh lebih rendah dari harga minyak dunia, karena sebagian mendapat subsidi dari pemerintah. Pemerintah kemudian memutuskan menyesuaikan harga dengan harga minyak dunia karena subsidi yang dikeluarkan untuk itu sangat besar, sedangkan keadaan ekonomi belum stabil. Dengan kenaikan tersebut pemerintah dapat mengurangi subsidi yang harus ditanggung namun kenaikan harga minyak mengakibatkan kenaikan harga barangbarang baik makanan maupun bukan makanan. Akibatnya masyarakat yang daya belinya rendah semakin terpuruk, terutama masyarakat miskin, sehingga terjadi keresahan. Untuk mengurangi keresahan masyarakat miskin, maka pemerintah mengalihkan sebagian dana subsidi minyak kepada masyarakat miskin dengan cara memberi bantuan tunai langsung kepada masyarakat miskin. Untuk itu diperlukan data mengenai berapa, siapa, dan di mana masyarakat miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) yang biasa menghitung jumlah penduduk miskin tidak memiliki data tentang siapa dan di mana tempat tinggalnya. Hasil penghitungan jumlah penduduk miskin dari BPS hanya menunjukkan gambaran umum yang digunakan untuk perencanaan dan evaluasi hasil pembangunan. BKKBN mempunyai data tentang keluarga yang dirinci menurut tingkat kesejahteraannya, lengkap dengan alamat tempat tinggalnya, namun konsep dan definisinya berbeda dengan yang diinginkan. Karena pentingnya masalah tersebut diatasi, suatu sistem pendataan yang dapat menunjukkan siapa dan di mana masyarakat miskin harus segera diadakan. Sistem seperti ini, pada dasarnya tidak bisa dilakukan oleh BPS, karena sesuai dengan undang-undang BPS tidak boleh mengungkapkan identitas responden. Lagi pula pendataan menyeluruh seperti ini tidak akan dapat dilakukan oleh instansi BPS sendiri tanpa bantuan instansi lain, khususnya Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Dibutuhkan jumlah petugas pencacah yang cukup banyak. Petugas BPS di tingkat kecamatan tidak 213

sanggup melakukan pencacahan sendiri dan mitra statistik yang bisa membantu pun jumlahnya terbatas. Depdagri bisa memberi bantuan dengan merekrut staf desa/pegawai kelurahan. Selain itu, sosialisasi merupakan hal penting untuk mempermudah pendataan. Semua ini tidak bisa dilakukan BPS sendiri tanpa bantuan kegiatan ini harus dibantu dari instansi lain, misalnya Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). Instruksi Presiden No. 12 adalah dokumen penting yang merupakan pegangan utama BPS untuk melaksanakan pendataan yang dinamakan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk Tahun 2005 (PSE05). Dalam Inspres tersebut disebutkan instansi yang terlibat dalam pendataan serta tugastugasnya: tugas BPS adalah (1) mengkoordinasikan kegiatan penyiapan data, termasuk menyiapkan dan mendistribusikan kartu tanda pengenal rumah tangga miskin supaya bantuan langsung tunai (BLT) dapat diberikan kepada rumah tangga miskin; dan (2) memberikan akses data rumah tangga miskin kepada instansi pemerintah lain yang melakukan kegiatan kesejahteraan sosial. Dengan demikian diperoleh informasi tentang siapa dan di mana rumah tangga miskin sehingga dana yang disalurkan tepat ke yang bersangkutan. Tujuan pendataan adalah untuk memperoleh direktori berupa daftar nama dan alamat rumah tangga miskin, urutan (rangking) rumah tangga miskin berdasarkan tingkat keparahannya (nilai score tertinggi sampai terkecil untuk masing-masing kabupaten/kota), dan klasifikasi rumah tangga miskin: sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. II. Cakupan Pendataan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan satuan lingkungan setempat (SLS) terkecil sebagai satuan unit kerja. SLS terkecil yang dimaksud adalah rukun tetangga (RT) yang umumnya dikenal di sebagian besar wilayah Indonesia. Di Bali dan Sumatera Barat SLS terkecil masing-masing adalah banjar dan jurong. Kampung/dusun juga merupakan SLS terkecil untuk daerah yang tidak menggunakan istilah RT. Jumlah SLS terkecil masing-masing propinsi dapat dilihat pada Lampiran 1. III. Prosedur Pembuatan Daftar Rumah Tangga Miskin Untuk dapat memperoleh data rumah tangga miskin di seluruh wilayah Indonesia tanpa harus mendatangi seluruh rumah tangga, maka pendataan dilakukan secara bertahap, yaitu:

214

1. Mempelajari kantong-kantong kemiskinan sampai wilayah terkecil. Perwakilan BPS propinsi diminta untuk mengidentifikasi wilayah yang banyak dihuni penduduk miskin secara cepat, untuk mendapat informasi jumlah kantong kemiskinan dan letak kantong-kantong tersebut. Identifikasi secara cepat dapat dilakukan dengan scara melihat keadaan tempat tinggal penduduk. Informasi ini digunakan juga untuk merekrut pencacah di wilayah yang dekat dengan tempat tinggalnya. 2. Mendatangi kantong-kantong kemiskinan tersebut, untuk mendapatkan rumah tangga yang betul-betul miskin. Informasi mengenai rumah tangga ini dapat diperoleh dari ketua satuan lingkungan setempat (SLS), misalnya ketua RT, dusun, kampung atau lainnya tergantung wilayah setempat. Nama-nama kepala rumah tangga yang dianggap miskin dicatat pada Daftar PSE05.LS (lihat Lampiran 2). Apabila ditemui rumah tangga miskin yang tinggal di suatu SLS, namun keberadaannya tidak diakui kepala SLS-nya, maka rumah tangga tersebut di catat dalam Daftar PSE05.LSK (Lampiran 3). 3. Mendatangi rumah tangga yang sudah tercatat dalam Daftar PSE05.LS, kemudian kepala rumah tangga, atau orang yang ada di rumah yang mengetahui keadaan rumah tangga, diwawancarai untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci. Informasi tersebut dicatat dalam Daftar PSE05.RT (Lampiran 4). Apabila rumah tangga yang didatangi dianggap tidak miskin oleh petugas, maka rumah tangga tersebut dicoret dari daftar. Sebaliknya apabila ditemukan rumah tangga yang dianggap miskin oleh petugas, tetapi tidak terdaftar, maka petugas mencatat rumah tangga tersebut ke dalam daftar. Rumah tangga yang terdaftar dalam PSE05.LSK tidak didatangi petugas dan juga tidak dicatat dalam Daftar PSE05.RT. Hal ini dilakukan karena mereka dianggap termasuk salah satu sasaran Departemen Sosial dalam rangka program penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). 4. Selanjutnya rumah tangga yang telah diwawancarai dengan Daftar PSE05.RT diseleksi berdasarkan isian pertanyaan dalam daftar tersebut. Proses seleksi dilakukan dengan proses komputerisasi. Pertama dokumen PSE05.RT dientry di masing-masing daerah, kemudian hasilnya dikirim ke pusat. Isian pertanyaan yang digunakan untuk penseleksian tersebut ada sebanyak 14 variabel, seperti terlihat pada Tabel 1.

215

Tabel 1.
No. 1. 2. 3. 4. 5.

Daftar 14 Variabel dan Klasifikasi yang Dicakup Dalam PSE05.RT


Klasifikasi Variabel 1 = tanah/bambu/kayu berkualitas rendah 2 = semen/keramik/kayu berkualitas tinggi 1 = bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah 2 = tembok/kayu berkualitas tinggi 1 = bersama/umum/lainnya 2 = sendiri

Variabel Luas Lantai Jenis Lantai Jenis Dinding Fasilitas Tempat Buang Air Besar Sumber Air Minum

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Sumber Penerangan Bahan Bakar Membeli Daging/Ayam/Susu Frekuensi Makan Membeli Pakaian Baru Kemampuan berobat

Lapangan Usaha

13. 14.

Pendidikan Asset a. Tabungan b. Emas c. TV berwarna d. Ternak e. sepeda motor

1 = sumur/mata air tak terlindung/sungan/air hujan 2 = air kemasan/leding/pompa/sumur/mata air Terlindung 1 = bukan listrik 2 = listrik (PLN/nonPLN 1 = kayu/arang 2 = minyak tanah 3 = gas/listrik 1 = tidak pernah membeli 2 = satu kali 3 = dua kali dan lebih 1 = satu kali 2 = dua kali 3 = tiga kali dan lebih 1 = tidak pernah membeli 2 = satu stel 3 = dua stel dan lebih 1 = ya 2 = tidak 1= pertanian padi/palawija 6 = perdagangan 2 = perkebunan 7 = angkutan 3 = peternakan 8 = jasa 4 = perikanan 9 = lainnya 5 = industri 0 = tidak bekerja 1 = SD/MI ke bawah 2 = SLTP 3 = SLTA ke atas 1 = ya 1 = ya 1 = ya 1 = ya 1 = ya 2 = tidak 2 = tidak 2 = tidak 2 = tidak 2 = tidak

Selanjutnya 14 variabel diklasifikasikan menjadi skor 1 dan 0. Skor 1 menunjukkan variabel yang mengidentifikasikan rumah tangga miskin. Sebaliknya skor 0 menunjukkan variabel yang mengidentifikasikan rumah tangga miskin. Pengklasifikasian skor 14 variabel dapat dilihat pada Tabel 2.

216

Semakin banyak skor 1 yang dimiliki suatu rumah tangga maka semakin miskinlah ia. Namun indikasi rumah tangga miskin berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lain. Oleh karena itu banyaknya rumah tangga miskin pada suatu variabel digunakan bobot sebagai penimbang dalam penghitungan rumah tangga miskin. Tabel 2. Pengklasifikasian Skor Variabel
Klasifikasi No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Variabel
PERKAP LULANT1 LULANT2 LULANT3 LANTAI DINDING JJAMBAN SBRMIN
*)

Keterangan
Pengeluaran per kapita Luas lantai per kapita Luas lantai per kapita Luas lantai per kapita Jenis lantai Jenis dinding Fasilitas Tempat BAB Sumber air minum

Skor 1

Skor 0

Jika <= 8 m

Jika > 8 m
2

*)

Jika <= 10 m Jika <= 15 m Jika tanah

Jika > 10 m Jika > 15 m

*)

Jika bukan tanah Jika tembok/kayu Jika sendiri Jika air kemasan/ leding/ pompa/ sumur/mata air terlindung Jika PLN/nonPLN Jika gas/listrik Jika membeli 1 kali Jika makan 1x dan 2x sehari Jika membeli >= 1 stel Jika mampu berobat Jika bukan pertanian Jika SMP ke atas Jika ada asset

Jika bambu/ lainnya Jika bersama/ umum Jika sumur/mata air tak terlindung/ sungai/air hujan dll Jika petromak dll Jika kayu/minyak Jika tidak pernah Jika makan 1xsehari Jika tdk pernah membeli Jika tidak mampu Jika pertanian Jika SD ke bawah Jika tidak ada aseset

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

LISTRIK BHBAKAR DAGSU MAKAN BAJUU SEHATT LAPUS EDUC ASET

Sumber penerangan Bahan bakar Daging/ayam/susu Frekuensi makan Beli pakaian baru Kemampuan berobat Lapangan usaha KRT Pendidikan KRT Kepemilikan asset

*)

Penggunaan variabel luas lantai tergantung hasil uji Tukey di masing-masing propinsi. Variabel yang digunakan adalah apabila hasil uji coba menunjukkan rata-rata penjelasannya mendekati garis kemiskinan.

217

Contoh penghitungan skor adalah sebagai berikut, misalnya di suatu kabupaten distribusi rumah tangga miskin masing-masing variabel adalah: Jumlah rumah tangga miskin dengan luas lantai < 8 m2 adalah 1000 rumah tangga Jumlah rumah tangga miskin dengan frekuensi makan 1 x sehari adalah 500 rumah tangga Jumlah rumah tangga miskin yang tidak pernah membeli baju adalah 800 rumah tangga Jumlah rumah tangga miskin yang tidak mampu berobat adalah 500 rumah tangga Jumlah rumah tangga miskin yang jenis lantainya tanah adalah 1000 rumah tangga

Maka penghitungan bobot masing-masing variabel sbb: Jumlah rumah tangga masing-masing variabel dibagi dengan jumlah seluruh rumah tangga, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Contoh Penentuan Bobot Variabel


Variabel (1) Luas lantai Frekuensi makan Kemampuan membeli pakaian Kemampuan berobat Jenis lantai Jumlah Jumlah rumah tangga (2) 1000 500 800 500 1000 3800 Bobot (3) 1000/3800 = 0,263 500/3800 = 0,132 800/3800 = 0,210 500/3800 = 0,132 1000/3800 = 0,263 1,000

Dengan menggunakan nilai bobot, selanjutnya dihitung nilai indeks untuk mendapatkan kategori keparahan kemiskinan suatu rumah tangga. Nilai indeks paling rendah 0 dan paling besar 1. Semakin besar nilai indeks semakin miskin rumah tangga tersebut.

218

Kategori berikut:

keparahan kemiskinan suatu rumah tangga

adalah sebagai

1) RT sangat miskin (very poor) bila nilai indeks: 0,80 1,00 2) RT miskin (poor) bila nilai indeks: 0,60 0,79 3) RT mendekati miskin (near poor) bila nilai indeks: 0,20 0,59 4) RT tidak miskin (tereliminir oleh model) bila nilai indeks: < 0,20 Misalnya suatu rumah tangga lantainya tanah dengan luas lantai 8 meter persegi, sehari makan 2 kali. Rumah tangga ini mampu berobat namun tidak pernah beli baju baru. Nilai indeks rumah tangga tersebut adalah sebagai berikut: (0,263x1) + (0,132x0) + (0,210*1) + (0,132*0) + (0,263*1)= 0,736. Dengan nilai indeks ini maka rumah tangga dikategorikan rumah tangga miskin. Selanjutnya daftar rumah tangga yang dikategorikan miskin dan sangat miskin hasil penghitungan ini diserahkan ke PT Pos, untuk dibuatkan kartu KKB. KKB dibuat 2 rangkap, satu diserahkan ke BPS untuk diberikan ke rumah tangga yang bersangkutan dan yang lainnya dipegang oleh PT Pos yang juga sebagai pembayar BLT di daerah. KKB yang ada di PT Pos merupakan salinan, namun KKB ini tidak bisa diuangkan. Dengan menggunakan KKB tersebut penduduk dapat mengambil dana BLT di Kantor Pos yang ditunjuk. Dalam KKB tercantum nama dan alamat pemegang kartu. KKB ini tidak bisa diperjualbelikan atau dipindahtangankan. Penyerahkan KKB dilakukan BPS daerah secara langsung, dari rumah ke rumah. Untuk memastikan bahwa rumah tangga yang menerima KKB adalah rumah tangga yang layak mendapatkannya, maka dalam waktu yang bersamaan petugas melakukan verifikasi terhadap rumah tangga yang akan menerima KKB tersebut. Kalau masih ditemukan adanya rumah tangga yang tidak layak mendapat KKB, maka KKB tersebut tidak diberikan. Sebaliknya bila ditemukan rumah tangga yang layak menerima, maka rumah tangga tersebut didaftar dengan menggunakan Daftar PSE05. RT. Pada waktu pembagian KKB, masyarakat sudah mengetahui bahwa pemerintah akan memberikan dana bantuan berupa uang yang pendataannya dilakukan oleh BPS, sehingga ketika penyerahkan KKB, banyak penduduk yang juga ingin mendapatkan dana tersebut. Untuk itu pemerintah meminta BPS berkerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat tempat pendaftaran susulan atau Posko. Pendataan susulan melalui Posko disebut sebagai pendataan tahap II. Penentuan RT miskin pada tahap II berbeda dengan tahap I. Pada tahap II hanya menggunakan metode scoring berdasarkan 14 variabel yang ada, 219

tanpa menghitung nilai indeks. Nilai skor masing-masing variabel terdapat pada Tabel 2. Nilai skor tertinggi adalah 14 dan terendah adalah 0. Semakin tinggi nilai skor semakin miskin. Kategori tingkat keparahan sebagai berikut: 1) RT sangat miskin (very poor) bila jumlah skor: 14 2) RT miskin (poor) bila jumlah skor: 12-13 3) RT mendekati miskin (near poor) bila jumlah skor: 9-11 4) RT tidak miskin (tereliminir oleh model) bila jumlah skor: < 9. Kegiatan pendataan PSE05 mulai dari persiapan sampai dengan selesai dirancang selama 4 bulan, mulai bulan Juli sampai dengan Oktober 2005. Namun kegiatan pendataan dapat selesai hingga 31 Juli 2006. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan dari masyarakat yang tidak mendapat BLT, padahal mereka merasa juga berhak mendapatkan BLT. Ketidakpuasan masyarakat umumnya disampaikan langsung ke BPS, dalam bentuk demonstrasi, pengancaman kepada pegawai, bahkan pengrusakan kantor. IV. Pelaksanaan Pendataan PSE05 Khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias (Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan) Pendataan rumah tangga miskin di Propinsi NAD dan Pulau Nias dilakukan dengan cara yang berbeda dengan propinsi lainnya. Pada saat yang bersamaan dengan dilaksanakannya kegiatan PSE05, di Propinsi NAD dan Pulau Nias sedang dilakukan kegiatan sensus penduduk NAD pasca tsunami yang dikenal dengan sensus penduduk Aceh dan Nias (SPAN). Pelaksanaan PSE05 diintegrasikan dengan pelaksanaan SPAN, yaitu pada awal tahun 2006. Penanggungjawab kegiatan adalah BPS propinsi masing-masing daerah. Pemantauan kegiatan dan kemajuan proses pencacahan dilakukan secara harian. BPS propinsi diwajibkan memberikan laporan, minimal setiap 3 hari sekali ke sekretariat PSE05 pusat tentang penyelesaian lapangan dan kemajuan proses pengolahan data. Dalam komunikasi dengan BPS pusat dan BPS kabupaten/kota, BPS propinsi juga membentuk sekretariat BPS propinsi dengan nomor telepon/fax yang dapat dihubungi setiap waktu. Seluruh rumah tangga dicacah dengan Daftar PSE05.RTAN (setara dengan Daftar PSE05.RT) kecuali rumah tangga yang tinggal di kamp, barak atau tenda pengungsi. Hal ini dilakukan karena kebutuhan rumah tangga yang 220

tinggal di kamp, barak dan tenda pengungsi sudah dipenuhi pemerintah dengan program Jatah Hidup (Jadup). Selain Daftar PSE05.RTAN, daftar yang digunakan adalah Daftar PSE05.LBS, daftar yang setara dengan Daftar PSE05.LB. Namun demikian sistem pengkategorian rumah tangga miskin atau tidaknya sama dengan rumah tangga di propinsi lainnya. V. Data yang Dihasilkan Ada dua jenis data yang secara resmi dikeluarkan oleh BPS dan dapat digunakan oleh masyarakat umum yaitu daftar rumah tangga penerima BLT lengkap dengan identitasnya dan rumah tangga menurut kategori keparahan kemiskinannya. Jumlah rumah tangga miskin yang layak menerima BLT seluruh Indonesia pada tanggal 31 Mei 2006 1 ada sebanyak 19.100.905 rumah tangga atau 32,25 persen dari jumlah seluruh rumah tangga yang ada di Indonesia. Jumlah terbanyak terdapat di Propinsi Jawa Timur (3.236.880 rumah tangga), Jawa Tengah (3.171.201 rumah tangga) dan Jawa Barat (2.905.217 rumah tangga), sedangkan yang paling sedikit di Propinsi Bangka Belitung (33.652 rumah tangga), seperti terlihat pada Tabel 4. Di Propinsi Sulawesi Selatan, kabupaten yang paling banyak menerima BLT terdapat di Kabupaten Gowa (64.731 rumah tangga) dan yang paling sedikit adalah Kota Pare-pare (6.265 rumah tangga). Namun demikian secara persentase, terdapat 2 kabupaten yang persentasenya cukup tinggi, yaitu Kabupaten Bantaeng (60,02 persen) dan Kabupaten Jeneponto (61,36 persen) dan persentase terendah di Kabupaten Luwu Utara (19,66 persen). Dilihat dari tingkat keparahannya, maka jumlah rumah tangga sangat miskin paling banyak terdapat di Kabupaten Tana Toraja (19.196 rumah tangga) dan paling sedikit terdapat di Kabupaten Kota Pare-pare (846 rumah tangga). Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah rumah tangga miskin penerima BLT di Propinsi Sulawesi Barat paling banyak terdapat di Kabupaten Poliwalimandar (33.977 rumah tangga). Namun secara relatif, Kabupaten Mamasa yang paling tinggi persentasenya (81,17 persen), seperti terlihat pada Tabel 6.
1

Kepala BPS menentukan bahwa tanggal 31 Mei 2006 merupakan hari kegiatan akhir PSE05.

221

VI. Penutup Hasil pendataan PSE05 dianggap cukup berhasil dalam meredam masyarakat ketika adanya kebijakan pemerintah menaikkan tarif BBM. Bagi BPS model pendataan PSE05 ini merupakan pengalaman yang sangat berharga. BPS menjadi dikenal oleh masyarakat. Masyarakat bisa menerima secara langsung manfaat dari hasil pendataan. Namun pengorbanan untuk mendapat kepercayaan masyarakat cukup berat, misalnya dengan adanya pengrusakan kantor dan peneroran terhadap pegawai.

222

Tabel 4. Jumlah Rumah Tangga Miskin Penerima BLT menurut Tingkat Keparahan Kemiskinan per Propinsi
(Keadaan tanggal 31 Mei 2006) Hampir Miskin (3)
195,745 420,562 87,859 95,715 88,753 269,216 48,555 230,321 6,569 31,944 66,513 1,223,903 1,277,795 105,592 955,039 374,446 31,832 125,969 187,907 160,873 62,968 106,893 82,591 33,979 42,916 170,709 124,383 23,475 21,568 46,921 16,303 59,956 191,832 6,969,602

No. (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Propinsi (2)
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Irjabar Papua Jumlah

Miskin (4)
208,774 342,655 123,592 126,075 77,676 265,846 67,518 342,777 18,692 27,502 70,316 1,065,439 1,544,513 130,079 1,763,373 219,497 70,705 259,907 297,997 98,345 62,872 62,609 92,395 60,773 83,837 238,042 117,366 37,871 60,647 98,463 22,072 40,626 138,138 8,236,989

Sangat Miskin (5)


92,519 181,755 101,189 71,917 33,309 148,119 47,863 211,943 8,391 14,233 23,651 615,875 348,893 39,439 518,468 108,106 44,507 181,729 137,233 101,687 71,633 76,446 53,109 32,543 84,620 186,215 39,591 41,385 29,687 37,457 26,979 26,936 156,887 3,894,314

Jumlah (6)
497,038

Jumlah (6)/(7)*10 Rumah 0 Tangga* (7) (8)


29.34 24.24 25.05 29.69 35.18 29.69 44.87 13.02 20.35 6.97 26.21 36.55 27.55 30.88 29.31 15.68 50.93 72.35 33.96 36.90 25.49 29.26 20.44 35.43 33.65 50.11 32.63 54.35 21.65 63.15 32.25

944,972 3,220,920 312,640 1,289,729 293,707 1,172,436 199,738 672,775 683,181 1,942,080 163,936 552,206 785,041 1,749,687 33,652 258,384 73,679 362,124 160,480 2,301,872 2,905,217 11,083,702 3,171,201 8,675,498 275,110 998,757 3,236,880 10,482,444 702,049 2,395,393 147,044 937,896 567,605 1,114,410 623,137 861,312 360,905 1,062,720 197,473 535,184 245,948 964,952 228,095 779,536 127,295 622,914 211,373 596,584 594,966 2,100,945 281,340 561,488 102,731 314,796 111,902 182,841 336,414 65,354 301,872 127,518 486,857 972,847 19,100,90 59,221,877 5

*) Berdasarkan Hasil Susenas 2005

223

TABEL 5. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Propinsi Sulawesi Selatan menurut Tingkat Keparahan Kemiskinan per Kabupaten/Kota (Keadaan tanggal 31 Mei 2006)
Jumlah Rumah Tangga* (7) 29,456 90,991 37,520 77,984 57,648 130,208 50,240 65,984 62,144 40,988 167,040 55,632 92,032 58,501 80,435 39,296 69,760 103,766 108,580 46,080 291,040 25,640 26,768 1,807,733

No. (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Propinsi (2) Kab. Selayar Kab. Bulukumba Kab. Bantaeng Kab. Jeneponto Kab. Takalar Kab. Gowa Kab. Sinjai Kab. Maros Kab. Pangkajene Kepulauan Kab. Barru Kab. Bone Kab. Soppeng Kab. Wajo Kab. Sidenreng Rappang Kab. Pinrang Kab. Enrekang Kab. Luwu Kab. Tana Toraja Kab. Luwu Utara Kab. Luwu Timur Kota Makassar Kota Pare-Pare Kota Palopo Jumlah

Hampir Miskin (3) 1,531 5,538 8,050 9,971 9,500 22,265 2,927 3,549 8,266 2,782 4,936 2,872 4,724 6,255 4,754 2,603 9,430 6,060 6,062 4,313 36,605 2,787 4,929 170,709

Miskin (4) 4,546 9,348 7,078 22,310 11,050 25,872 6,261 8,929 10,847 5,192 14,019 4,338 9,075 7,997 9,830 6,414 15,398 16,931 9,756 6,274 20,847 2,632 3,098 38,042

Sangat Miskin (5) 4,196 8,161 7,390 15,569 6,918 16,594 7,080 9,413 8,418 4,393 18,472 3,113 7,675 5,102 6,002 3,289 10,950 19,196 5,529 3,807 12,708 846 1,394 186,215

Jumlah (6) 10,273 23,047 22,518 47,850 27,468 64,731 16,268 21,891 27,531 12,367 37,427 10,323 21,474 19,354 20,586 12,306 35,778 42,187 21,347 14,394 70,160 6,265 9,421 594,966

(6)/(7)*100 (8) 34.88 25.33 60.02 61.36 47.65 49.71 32.38 33.18 44.30 30.17 22.41 18.56 23.33 33.08 25.59 31.32 51.29 40.66 19.66 31.24 24.11 24.43 35.20 32.91

*) Berdasarkan Hasil Susenas 2005

224

TABEL 6. Jumlah Rumah Tangga Miskin di Propinsi Sulawesi Barat menurut Tingkat Keparahan Kemiskinan per Kabupaten/Kota (Keadaan tanggal 31 Mei 2006)
Jumlah Rumah Tangga* (7) 28,828 88,320 29,184 86,112 18,560 251,004

No. (1) 1 2 3 4 5

Propinsi (2) Kab. Majene Kab. Polewali Madar Kab. Mamasa Kab. Mamuju Kab. Mamuju Utara Jumlah

Hampir Miskin (3) 4,347 9,047 1,583 5,676 915 21,568

Miskin (4) 10,042 15,103 13,529 16,750 5,223 60,647

Sangat Miskin (5) 4,099 9,827 8,578 6,205 978 29,687

Jumlah (6) 18,488 33,977 23,690 28,631 7,116 111,902

(6)/(7)*100 (8) 64.13 38.47 81.17 33.25 38.34 44.58

*) Berdasarkan Hasil Susenas 2005

225

Daftar Pustaka

BPS, 2005, Distribusi Kartu Kompensasi BBM _________, Metodologi Penentuan Rumah Tangga Miskin PSE05 (Draft Publikasi). Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________, Pedoman I: Pedoman Pengelolaan Kepala BPS Propinsi dan Kabupaten/Kota PSE05. Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________, Pedoman 2: Pedoman Pelaksanaan Lapangan KSK/PKSK

dan PCL. Badan Pusat Statistik, Jakarta. _________, Pedoman: Pelaksanaan Lapangan PSE05 khusus Anggroe Badan Pusat Statistik,

Aceh Darussalam dan Pulau Nias. Jakarta.

_________, Pelaksanaan Pendataan Rumah Tangga Miskin. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

226

Estimasi Intensitas Kekurangan Gizi di Wilayah Kecil dengan Peta Gizi


(Dr. Dedi Waluyadi)
I. Latar Belakang Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2003 (Susenas) menunjukkan bahwa sekitar 25,8 % anak-anak Indonesia di bawah umur lima tahun (balita) megalami gizi buruk (diukur dengan indikator berat badan menurut umur) dan sekitar 7,5 % anak-anak balita dengan status gizi sangat buruk. Dengan kata lain, ada 5,1 juta balita di negara ini yang fungsi kognitif dan perilakunya terancam dengan masalah ini di masa kecil mereka. Fakta yang menggambarkan bahwa jumlah anak yang mengalami gizi buruk bertambah dari 4,4 juta di tahun 2000 menjadi 5,1 juta di tahun 2003 menunjukkan betapa sulitnya untuk mengatasi masalah seperti ini. Salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah adalah keterbatasan informasi mengenai status gizi penduduk pada tingkat administrasi yang lebih kecil. Status gizi diukur dengan menggunakan persentase penduduk yang mengkonsumsi kurang dari 1700 kalori per hari dan persentase balita yang mengalami gizi buruk. Menyadari pentingnya mempunyai alat yang sangat baik untuk mengidentifikasi lokasi status konsumsi energi buruk dan anak dengan gizi buruk dan supaya pemerintah lokal dapat melaksanakan program aksi yang lebih mengenai sasaran, Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan World Food Program (WFP) mengembangkan peta gizi Indonesia tahun 2000. Tujuan utama pemetaan ini adalah untuk menyediakan informasi status gizi penduduk pada tingkat kecamatan. Melalui peta gizi, kita akan mendapatkan suatu kesempatan untuk mengidentifikasi kantong-kantong wilayah dengan gizi buruk dengan biaya yang lebih kecil, dengan menggunakan teknik statistik wilayah kecil (small area statistics), yang juga akan ditransfer menjadi peta-peta gizi yang terpisah-pisah. Bukti empiris telah menunjukkan bahwa keberhasilan suatu intervensi akan sangat tergantung pada efektivitas program untuk mencapai sasaran wilayah dan penduduk yang akan menikmatinya. Sebagai contoh, sebagai komponen dari jaringan pengaman sosial, program rehabilitasi gizi dapat menindaklanjuti keberadaan kantong-kantong wilayah yang kekurangan gizi tersebut supaya wilayah-wilayah yang sangat memerlukannya mendapatkan prioritas yang lebih besar sehubungan dengan alokasi sumber daya, kemitraan dan pemantauan. 235

Dalam waktu dekat, peta gizi bersama dengan peta lainnya serta informasi yang relevan lainnya dapat membantu BAPPEDA tingkat provinsi atau kabupaten dan lembaga daerah lainnya seperti Dinas Kesehatan Daerah dalam menangani gizi buruk anak. Diharapkan, dengan menggunakan peta gizi dan informasi relevan lainnya, wilayah sasaran untuk intervensi dan formulasi kebijakan yang efektif dan efisien untuk mengurangi gizi buruk anak dapat dengan jelas diketahui dan diindentifikasi. Untuk tujuan khusus ini, hasil dari model pemetaan gizi di lima kabupaten terpilih, yaitu Bantaeng, Takalar dan Bone (Provinsi Sulawesi Selatan) serta Polewali dan Mamuju (Provinsi Sulawesi Barat) disajikan dalam kajian ini. II. Model Peta Gizi, Status Gizi dan Data yang Digunakan Untuk mendapatkan estimasi yang akurat dari status gizi penduduk pada tingkat kecamatan, digunakan model pemetaan kemiskinan yang dikembangkan oleh Chris dan Lanjouw dan Lanjouw (2000). Model peta kemiskinan ini merupakan estimasi dengan model regresi yang mengintegrasikan efek individu, rumah tangga dan lokasi dari peubah independen (explanatory variables) terhadap peubah dependen atau peubah sasaran tertentu. Seperti peta kemiskinan, model peta gizi ini dikembangkan untuk mengestimasi indeks gizi dengan menggunakan data Susenas tahun 2002 (Model konsumsi dan Kor), Podes tahun 2003 dan Sensus Penduduk 2000. 2.1 Model Peta Gizi Model Peta Gizi pada dasarnya adalah suatu model peramalan untuk wilayah administrasi kecil dengan mengkombinasikan kelebihan-kelebihan yang dimiliki data sensus dan survei. Pada model yang digunakan di sini, status gizi diestimasi berdasarkan model berikut ini: (1) ln ych = E[ln ych xch ] + ch di mana c : cluster (kelompok) c (desa) ch: rumah tangga h di cluster c ych: status gizi rumah tangga h cluster c xch: karakteristik sosial ekonomi rumah tangga h di cluster c Aproksimasi model linear (1) dapat diuraikan sebagai berikut: (2) ln y ch = x ch a + ch (model Beta) di mana ch adalah error (disturbance) terms. 236

Data Susenas tidak menyediakan informasi lokasi. Dengan kata lain, pada error term yang terlihat di persamaan (2), termasuk peubah lokasi yang perlu diidentifikasi. Berikut ini rumus yang digunakan untuk mengestimasi efek lokasi: (3) ch = c + ch Di sini c adalah komponen cluster dan ch adalah komponen rumah tangga. Pada rata-rata tingkat desa, rumusnya dapat dijabarkan sebagai berikut:

(4)

c. = c + c. , lalu

E[ c 2 ] = 2 + var( c. ) = 2 + c 2
Pada persamaan di atas c dan ch diasumsikan berdistribusi normal dan independen. Mengikuti rumus dari Elbers et al (2002), estimasi varians dari efek lokasi dapat dijabarkan sebagai berikut: (5)

var( 2 ) = [a c 2 var( c. 2 ) +b c 2 var( c 2 )]


c

sederhana, ch = + ch . Akan tetapi, hal ini biasanya merupakan asumsi yang tidak realistis. Dengan menggunakan rumus dari Elbers et al (2002) residual ch dapat dijelaskan dengan model logistik yang me-regress ch dengan karakteristik rumah tangga:

Dengan tidak adanya efek lokasi, c, persamaan (3) menjadi lebih

(6)

e 2 ch T ln = Z ch + rch (Model Alpha) 2 A e ch

Di sini A ditetapkan sebagai A= 1.05*max{ch2}. Estimasi varians i ch dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini: (7)

AB(1 B) AB 1 + Var(r ) 2 , ch = 1 + B 2 (1 + B) 3

Persamaan (7) menunjukkan bahwa model OLS (ordinary least squaros) tidak dapat digunakan pada persamaan (2); oleh karena itu model yang digunakan adalah model GLS (generalized least squaros). 237

2.2 Status Gizi Tabel 1 di bawah ini menunjukkan pengukuran dari status gizi dan indikatornya. Tabel 1. Pengukuran Status Gizi dan Indikatornya
Masalah 1. Gizi buruk Pengukuran Konsumsi Energi; disesuaikan untuk struktur umur dan gender dengan Amsterdam scale Berat badan menurut umur diukur dengan ZScore Indikator Proporsi jumlah penduduk per kapita dengan konsumsi energi kurang dari 2100 dan 1700 kalori per hari Proporsi anak dengan berat badan kurang dari 2 Zscore

2. Balita Kekurangan Gizi

2.3 Data yang Digunakan Model peta gizi menggunakan dan menggabungkan kelebihan data survei dan sensus sebagai dasar dari model peramalan untuk wilayah administratif yang kecil. Suatu survei (sampel), walaupun tidak dapat mengestimasi indeks gizi pada pada tingkat di bawah provinsi, dapat menyediakan data yang dibutuhkan untuk mengestimasi indeks. Di lain pihak, suatu sensus tidak dapat mengumpulkan data yang diperlukan secara langsung, tapi dapat menyediakan data mengenai karakteristik dasar penduduk secara individu yang dapat digunakan untuk melakukan estimasi sampai dengan tingkat administratif yang paling rendah. Enam sumber data yang digunakan secara terus menerus di dalam model adalah sebagai berikut: 1) Modul Konsumsi Susenas tahun 2002, terdiri dari data mengenai konsumsi energi sebagai peubah sasaran. Jumlah sampel survei ini sekitar 65,000 rumah tangga tersebar di seluruh Indonesia; sampel bervariasi secara proporsional menurut provinsi. 2) Kor Susenas tahun 2002, berisi data karakteristik individu dan rumah tangga yang digunakan sebagai peubah independen di dalam model. Jumlah sample sekitar 210.000 rumah tangga dan sampel juga bervariasi menurut provinsi. Estimasi dimungkinkan sampai dengan tingkat kabupaten. 3) Survei Garam Yodium (SGY) integrasi dengan Susenas 2002 untuk balita, terdiri dari data mengenai status gizi balita diukur menurut berat badan dan umur. Jumlah sampel sekitar 210.000 rumah tangga yang 238

tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Estimasi dimungkinkan sampai dengan tingkat kabupaten. 4) SGY integrasi dengan Susenas 2002 khusus untuk wanita terdiri dari data status gizi wanita diukur dengan berat lengan atas wanita usia subur (child bearing) menurut umur. Jumlah sampel, yang merupakan subsampel dari Kor Susenas, sekitar 65.000 rumah tangga yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Estimasi dimungkinkan sampai dengan tingkat provinsi. 5) Sensus Penduduk tahun 2000, terdiri dari data karakteristik individu (dari daftar pertanyaan L2) dan rumah tangga (dari daftar pertanyaan L1), yang digunakan pada simulasi untuk mengestimasi indeks gizi. Data juga digunakan untuk menyediakan peubah tentang komunitas dengan menggabungkannya menjadi satu dalam tingkat desa. 6) Podes Tahun 2003 (Potensi Desa), berisi data tentang komunitas menurut tingkat desa, digunakan untuk mengidentifikasi apa yang dinamakan efek lokasi. PODES mencakup semua desa di wilayah Indonesia. III. Hasil Estimasi Tabel 2 dan Tabel 3 menyajikan estimasi persentase dan angka absolut penduduk kekurangan gizi (diukur dengan konsumsi energi per kapita kurang dari 1700 kalori per hari) dan balita kekurangan gizi menurut kecamatan di lima kabupaten terpilih sebagai hasil dari model peta gizi (lihat juga Gambar 1 dan 2 untuk ilustrasi geografis). Seperti yang dapat dilihat dari table-tabel yang tersedia, menurut kacamata statistik, estimasi balita kekurangan gizi jauh lebih baik dari estimasi penduduk kekurangan gizi. Perbandingan antar-kabupaten pada Tabel 2 dan Table 3 menunjukkan bahwa di Kabupaten Bone, yang terdiri dari 26 kecamatan, prevalensi penduduk kurang gizi dan balita kurang gizi lebih besar dari empat kabupaten lainnya. Fenomena ini menunjukkan suatu permasalahan tentang luasnya kontrol yang dimiliki kabupaten ini. Hasil tersebut juga menunjukkan prevalensi balita kurang gizi yang lebih tinggi dibanding penduduk kurang gizi antar-kecamatan yang harus ditangani dengan segera. 3.1 Penduduk kekurangan Gizi Kabupaten Bantaeng merupakan kabupaten terkecil (terdiri dari 3 kecamatan) dari lima kabupaten yang sedang diteliti. Rata-rata persentase penduduk kurang gizi adalah 14,6 persen. Jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya, estimasi untuk Bantaeng berada di tengah. Persentase tertinggi dari estimasi penduduk kurang gizi terdapat di Bone (18,3 persen) dan persentase terendah terdapat di Mamuju (9,2 persen). Di dua kabupaten 239

lainnya, yaitu Takalar dan Polewali Mamasa, persentase penduduk kurang gizi sekitar 16,6 dan 16,3 persen. Estimasi pada tingkat kecamatan menunjukkan bahwa persentase terendah estimasi penduduk kurang gizi terdapat di Kecamatan Mamubi (7,6 persen) dan Polewali (23,4 persen), keduanya berada di Kabupaten Polewali Mamasa. Seperti yang terlihat di sisi kanan Tabel 2, tepatnya Kolom 7 and Kolom 8, pada batas bawah dan atas estimasi terdapat variasi yang besar di setiap kecamatan. Variasi estimasi tersebut mencerminkan bahwa model mempunyai standard error yang tinggi.
Tabel 2: Penduduk yang Kekurangan Gizi (dengan Konsumsi Energi Kurang dari 1700 Kalori) di Lima Kabupaten Terpilih di Provinsi Sulawesi Selatan dan Barat menurut Kecamatan, 2002
Kurang dari 1700 Kalori PerJumlah sentase PenPenduduk duduk [5] [6] Interval P0 (%), =10% Batas Bawah [7] Batas Atas [8]

Kode

Kecamatan

Jumlah Rumah tangga

Jumlah Penduduk

[1] 73 7303 7303010 7303020 7303030 7305 7305010 7305020 7305030 7305040 7305050 7305060 7311 7311010 7311020

[2] Provinsi Sulawesi Selatan Bantaeng Bissappu Bantaeng Tompobulu Takalar Mangara Bombang Mappakasunggu Polobangkeng Selatan Polobangkeng Utara Galesong Selatan Galesong Utara Bone Bontocani Kahu

[3]

[4]

36 127 158 390 10 464 46 948 10 993 50 796 14 670 60 646 51 033 229 449 7 210 5 152 10 372 10 557 9 365 8 377 3 213 7 827 32 320 24 983 45 300 45 160 43 124 38 562 14 385 33 911

23 178 9 119 5 202 8 830 38 007 4 738 4 556 7 586 5 620 8 546 6 962 1 961 3 517

14.6 19.4 10.2 14.6 16.6 14.7 18.2 16.7 12.4 19.8 18.1 18.3 13.6 10.4

1.3 0.0 0.0 0.0 0.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.8 0.0 0.0

28.0 39.6 25.7 37.3 32.3 37.5 48.0 41.4 39.3 47.0 38.2 30.8 39.3 30.1

142 981 646 532 118 531

240

Kode

Kecamatan

Jumlah Rumah tangga

[1] 7311030 7311040 7311050 7311060 7311070 7311080 7311090 7311100 7311110 7311120 7311130 7311140 7311150 7311160 7311170 7311180 7311190 7311200 7311210 7311220 7311230 7311710 7311720 7311730 76 7319 7319010 7319020 7319030 7319040 Kajuara

[2] Salomekko Tonra Patimpeng Libureng Mare Sibulue Cina Barebbo Ponre Lappariaja Lamuru Bengo Ulaweng Palakka Awangpone Tellu Siattinge Amali Ajangale Dua Boccoe Cenrana Tanete Riattang Barat Tanete Riattang Tanete Riattang Timur Provinsi Sulawesi Barat Polewali Mamasa Tinambung Tutallu Campalagian Wonomulyo

[3] 6 230 2 837 2 353 3 039 6 513 4 548 6 185 5 116 5 093 2 499 4 813 8 014 5 304 5 305 5 108 5 828 8 764 4 744 5 969 6 802 4 399 7 094 8 568 6 816

Kurang dari 1700 Interval P0 (%), Kalori =10% Jumlah PenPerJumlah duduk sentaBatas Batas Pense Pen- Bawah Atas duduk duduk [4] [5] [6] [7] [8] 29 703 13 510 10 831 13 439 27 212 21 226 28 792 22 865 22 729 11 515 21 517 35 454 24 613 24 686 20 637 26 492 38 778 20 893 26 559 29 968 21 324 32 524 39 689 33 280 5 484 2 058 1 513 1 732 3 513 3 697 5 622 6 874 4 537 1 865 2 777 6 720 4 203 6 356 3 655 6 959 7 500 5 086 8 195 6 689 3 393 5 282 1 526 8 077 72 600 12 521 2 624 6 427 15 783 18.5 15.2 14.0 12.9 12.9 17.4 19.5 30.1 20.0 16.2 12.9 19.0 17.1 25.7 17.7 26.3 19.3 24.3 30.9 22.3 15.9 16.2 3.8 24.3 16.3 21.7 10.4 12.8 16.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.4 0.4 5.5 4.1 0.0 0.0 0.0 0.0 47.5 41.5 37.5 36.6 39.4 41.8 47.6 59.0 49.2 40.5 35.7 47.1 44.3 61.7 39.6 59.2 47.6 55.1 63.6 48.7 41.3 32.0 7.3 43.0 28.5 46.8 28.4 30.0 40.0

99 362 446 418 12 810 57 816 5 704 25 244 11 069 50 298 21 659 94 117

241

Kode

Kecamatan

Jumlah Rumah tangga [3] 17 742 4 492 3 681 8 817 9 520 67 604 4 183 9 911 16 271 3 882 15 614 17 743

[1] 7319050 7319060 7319070 7319080 7319090 7321 7321010 7321020 7321030 7321040 7321050 7321060

[2] Polewali Sumarorong Pana Mamasa Mambi Mamuju Tapalang Mamuju Kalukku Kalumpang Budong-Budong Pasangkayu

Kurang dari 1700 Interval P0 (%), Kalori =10% Jumlah PerPenJumlah Batas Batas sentaduduk Pense Pen- Bawah Atas duduk duduk [4] [5] [6] [7] [8] 83 525 19 559 23.4 0.0 44.2 19 485 2 631 13.5 0.0 35.6 16 935 1 955 11.5 0.0 31.6 38 852 4 857 12.5 0.0 34.8 42 817 3 245 7.6 0.0 20.6 296 617 27 254 9.2 0.0 19.4 19 490 46 153 71 688 17 944 67 861 73 481 1 500 3 987 8 671 2 038 5 248 5 809 7.7 8.6 12.1 11.4 7.7 7.9 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 23.0 24.9 31.6 29.9 25.4 24.5

3.2 Balita kekurangan Gizi Tabel 3 menyajikan hasil dari model peta gizi untuk balita kekurangan gizi. Dapat dilihat pada kolom 7 dan 8 tabel tersebut bahwa batas bawah dan atas estimasi balita kekurangan gizi bervariasi cukup kecil di tiap kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa standard error dari estimasi tersebut relatif kecil. Ini berarti bahwa beberapa peubah yang digunakan dalam model ini dapat dengan baik menjelaskan bukti adanya balita kekurangan gizi di lima wilayah yang sedang diteliti. Penelitian lebih lanjut antar-kabupaten juga menunjukkan bahwa prevalensi anak kekurangan gizi yang lebih banyak telah diestimasi dari Bone [24,1 persen] sampai dengan [27,9 persen]). Perbandingan antar-kecamatan menunjukkan adanya hasil estimasi balita kekurangan gizi yang terendah ada di Salomekko, Kabupaten Bone (sekitar 19,1 persen) dan yang tertinggi ada di Tinambung, Kabupaten Polewali Mamasa (sekitar 33,1 persen).

242

Tabel 3:

Balita kekurangan Gizi di Lima Kabupaten Terpilih di Provinsi Sulawesi Selatan dan Barat menurut Kecamatan, 2002
Jumlah Balita Kekurangan Gizi [4] Persentase Balita Kekurangan Gizi [5]

Kode

Kecamatan

Jum-lah Balita

Interval (%), =10% Batas Bawah [6] Batas Atas [7]

[1] 73 7303 7303010 7303020 7303030 7305 7305010 7305020 7305030 7305040 7305050 7305060 7311 7311010 7311020 7311030 7311040 7311050 7311060 7311070 7311080 7311090 7311100 7311110 7311120

[2] Provinsi Sulawesi Selatan Bantaeng Bissappu Bantaeng Tompobulu Takalar Mangara Bombang Mappakasunggu Polobangkeng Selatan Polobangkeng Utara Galesong Selatan Galesong Utara Bone Bontocani Kahu Kajuara Salomekko Tonra Patimpeng Libureng Mare Sibulue Cina Barebbo Ponre

[3]

18218 5175 6049 6994 22790 3429 2615 4145 4283 4083 4235 65879 1747 3587 3037 1537 1105 1422 2895 2324 2972 2434 2352 1271

4904 1463 1638 1803 5907 824 648 957 1037 1123 1318 15848 472 701 881 294 286 308 623 578 723 591 554 308

26.9 28.3 27.1 25.8 25.9 24.0 24.8 23.1 24.2 27.5 31.1 24.1 27.0 19.5 29.0 19.1 25.9 21.6 21.5 24.9 24.3 24.3 23.6 24.2

25.2 26.0 24.9 23.7 23.9 21.7 22.5 20.5 22.3 24.5 27.3 22.2 25.0 16.8 25.4 16.0 23.2 19.1 19.3 22.1 21.6 21.3 21.0 21.8

28.7 30.5 29.2 27.9 27.9 26.4 27.1 25.7 26.1 30.5 34.9 25.9 29.1 22.3 32.7 22.3 28.6 24.1 23.7 27.7 27.1 27.3 26.1 26.7

243

Kode

Kecamatan

Jum-lah Balita

Jumlah Balita Kekurangan Gizi [4] 424 821 513 604 570 591 888 368 630 570 527 946 938 1138

Persentase Balita Kekurangan Gizi [5] 22.2 24.7 21.0 25.0 26.1 22.0 23.8 20.8 28.5 19.7 22.6 26.4 24.4 29.4

Interval (%), =10% Batas Bawah [6] 19.7 22.1 18.8 22.3 23.7 19.3 21.3 18.0 24.8 16.8 20.1 23.6 22.1 26.3 Batas Atas [7] 24.8 27.2 23.3 27.8 28.6 24.7 26.2 23.7 32.3 22.7 25.1 29.2 26.6 32.5

[1] 7311130 7311140 7311150 7311160 7311170 7311180 7311190 7311200 7311210 7311220 7311230 7311710 7311720 7311730 76 7319 7319010 7319020 7319030 7319040 7319050 7319060 7319070 7319080 7319090 7321 7321010

[2] Lappariaja Lamuru Bengo Ulaweng Palakka Awangpone Tellu Siattinge Amali Ajangale Dua Boccoe Cenrana Tanete Riattang Barat Tanete Riattang Tanete Riattang Timur Provinsi Sulawesi Barat Polewali Mamasa Tinambung Tutallu Campalagian Wonomulyo Polewali Sumarorong Pana Mamasa Mambi Mamuju Tapalang

[3] 1907 3324 2440 2412 2178 2688 3740 1769 2208 2890 2334 3587 3851 3868

57646 6378 3546 8522 11031 10277 2831 2653 5297 7111 41384 3157

16088 2111 860 2331 3249 3153 733 618 1417 1615 10167 652

27.9 33.1 24.3 27.4 29.5 30.7 25.9 23.3 26.8 22.7 24.6 20.7

25.4 28.8 20.9 24.8 26.6 28.4 22.3 19.7 23.9 19.5 21.7 17.8

30.4 37.4 27.6 29.9 32.3 33.0 29.5 27.0 29.6 25.9 27.4 23.5

244

Kode

Kecamatan

Jum-lah Balita

Jumlah Balita Kekurangan Gizi [4] 950 2249 557 2347 2618

Persentase Balita Kekurangan Gizi [5] 24.5 24.3 22.1 24.6 25.0

Interval (%), =10% Batas Bawah [6] 22.4 21.5 18.3 21.3 21.7 Batas Atas [7] 26.6 27.2 25.9 27.9 28.4

[1] 7321020 7321030 7321040 7321050 7321060 Mamuju Kalukku

[2]

[3] 3876 9244 2523 9546 10453

Kalumpang Budong-Budong Pasangkayu

IV. Kesimpulan Di negara sebesar Indonesia, peta gizi merupakan salah satu perangkat data dan sumber informasi alternatif yang dapat digunakan untuk menangani program pembangunan dengan baik. Dengan bertambahnya masalah pengangguran dan kemiskinan yang mempengaruhi gizi penduduk, peta gizi dapat diintegrasikan dengan peta dan informasi relevan lainnya yang dapat memberikan alasan kuat bagi BAPPEDA dan lembaga daerah lainnya untuk menetapkan cara-cara melawan kemiskinan dan anak kekurangan gizi. Untuk kasus lima kabupaten terpilih pada penelitian ini, hasil modeling membuktikan bahwa estimasi balita yang kekurangan gizi dapat digunakan dengan baik untuk mengukur fenomena anak-anak yang kekurangan gizi. Langkah berikutnya adalah bagaimana cara melakukan diseminasi/sosialisasi hasil empiris tersebut kepada pemerintah dan perencana daerah supaya dapat digunakan dengan optimal untuk perencanaan masa mendatang untuk menangani program pembangunan mereka.

File: Final 15-0207 245

Daftar Pustaka

Alderman, H., M. Babita, G. Demombyues, N. Makhatha, and B. zler (2002), How Small Can You Go? Combining Census and Survey Data for Mapping Poverty in South Africa, Journal of African Economies, 11 : 169-200. BPS-Statistics Indonesia (2004a), Peta penduduk Miskin (Poverty Map) Indonesia 2000; Jakarta, BPS-Statistics Indonesia, Republic of Indonesia. BPS, Bappenas, UNDP (2004b), Indonesia Human Development Index 2004, Jakarta, BPS, Bappenas and UNDP Representative Indonesia Elbers, C., J.O. Lanjouw, and P. Lanjouw (2000), Welfare in Villages and Towns. Timbergen Institute Discussion Paper TI 200-029/2, Amsterdam: Timbergen Institute. ,(2002), Micro-level Estimation of Welfare. Policy Research Department Working paper 2911. Washington, DC: World Bank. ,(2003). Micro-level Estimation Econometrica, 71 (1):355-64 of Poverty and Inequality.

Fujii, T. (2004), Commune-level Estimation of Poverty Measures and its Application in Cambodia, WIDER Research paper No. 2004/48, United Nation University

246

Figure 1. Undernourished Population (with Energy Intake less than 1700 Calories) of Five Selected Districts in Provinces of South and West Sulawesi by Sub-district, 2002

247

Figure 2. Children Under-5 Year Undernourished of Five Selected Districts in Provinces of South and West Sulawesi by Sub-district, 2002

248

Poverty Map as a Small Area Estimation Technique of Poverty Incidence; Empirical Evidence from Five Selected Districts in South and West Sulawesi By: Dedi Walujadi

I. Introduction Indonesia experienced economic turmoil from almost six years caused by Asias financial crises in 1997. During that time Indonesia has experienced contracted economic growth and increasing levels of poverty. Recently, Indonesias economic indicators show a consistent progress that will be considered by many to indicate a recovery of its economy. While on the long-term plan, economic growth accepted as panacea for the economic turmoil and reducing the poverty level, in the short-term plan the government also provides a specific program to directly assist the poor. Indonesia calculated the poverty levels using data obtained from the National Socio-Economic Survey commonly known as SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). SUSENAS is a nationwide household survey conducted annually by Badan Pusat Statistik (the BPS Statistics-Indonesia or simply BPS) since 1963. The survey collected a wide range of individual and household socio-economic characteristics, among others the consumption expenditures of the household and household members. However, as it is realized, the present poverty line can only estimate the number of poor people at provincial level. While for the specific program targeting the poor, most of the needs are at the sub-district level (to some extent is the village level). Realizing that fact, BPS adopted the methodology developed by Chris Elbers, Lanjou and Lanjou (ELL) in 2001. The Poverty Mapping is aim to describe the welfare indicator, such as Head Count, Atkinson index, and Gini Rasio. Based on the map, it is expected that some poverty reduction will be launched, especially for the targeting area that it is believe as the higher poverty incident area. The map pored to be useful, since it will give the figure about related condition with poverty incident such as education, attainment, health, facilities, infrastructures development, etc.
To produce the map, BPS through technical assistance of the World Bank experts (Chris Elbers and Tomoki Fujii) has done some activities, including the pilot study of

poverty mapping together with SMERU Research Institute. The implementation of poverty mapping for whole Indonesia has done with the recruitment of staffs from various directorates and established a special unit call Poverty Mapping Team. In this

paper it will be presented the results of Estimation using the Poverty Map model in Five Selected Districts in Provinces of South and West Sulawesi, namely Bantaeng, Takalar, and Bone (Province of South Sulawesi), Polewali Mamasa and Mamuju (Province of West Sulawesi). II. Method and the Data Used The core of the method is to combine the information obtained from a household survey with the information collected through a population census. A household survey usually collects very detailed information on household characteristics, including consumption, but the coverage is generally limited and only representative at a relatively large geographical unit. A population census has a complete coverage of all households, but usually collects very limited information on household characteristics. The method tries to combine the advantage of detailed information on household characteristics obtained from a household survey with complete coverage of a population census. In principle, the method sets out to obtain welfare estimates for all households by applying parameter estimates of the components of household welfare from survey data on the same welfare components available in the census data. 2.1. The Consumption Model The consumption model is following the Elbers, C., Lanjouw, J.E, and Lanjouw Ps model (2001). The model start with the Consumption Model, which the concern is to develop an accurate empirical model of household consumption as: ln y vh = xvh + u vh
(1)

Where ln yvh is the logarithm of per capita consumption of household h in village v, xvh is a vector of observed characteristics of this household (including village level variables), and uvh is the error term. Note that uvh is uncorrelated with xvh. This model is simplified by using a linear approximation and decomposing uvh into uncorrelated terms:

u vh = v + vh (2) Where v represents a village level error term common to all households within the village, and vh is a household specific error term. It is further assumed that the v are uncorrelated across village and the vh are uncorrelated across households. With these assumptions, the equation (1) reduces to ln y vh = x vh + v + vh
(3)

Estimation of the parameters underlying this equation, in particular the vector of parameters and the distributional characteristics of the error terms, can be done by using standard tools from econometric analysis (see Elbers et al., 2002). 2.2. The Estimators The consumption model specification in equation (3) allows for an intra-village correlation in the error terms. Household income or consumption is certainly affected by the location where the household lives. Even though xvh has some variables representing village level characteristics, it is quite plausible that some of the location effects will remain unexplained. The consequence of failing to take into account this within-village correlation of the error terms can result in biased welfare estimates (in particular for inequality indicators) and will generally lead to underestimation of the standard errors of welfare estimates. Taking village averages over equation (2): u v = v + v
(4)

Where a subscript . indicates an average over the index. Since the two error components are uncorrelated, then:

2 E uv2 = var( ) + var( v ) = + v2

[ ]

(5)

An unbiased estimator for 2 can be defined as:

j w j (1 w j )

v wv u v2

v wv (1 wv ) v
j

w j (1 w j )

(6)

where

v =

1 ( vh v )2 nv (nv 1) h

(7)

and w is a set of non-negative weights summing to one. Elbers et al. (2001, 2002) give the following formula for the sampling variance of 2 :

2 2 2 2 2 var a v var u v + bv var v v

( )

2 2 2 2 2 2 2 2 a v + v + 2 v + bv2 v

2 v nv 1
2

(8)

2.3. The Data Used Four sources of data are used in Poverty Map model : (i) Consumption Module SUSENAS 1999, (ii) Core SUSENAS 1999, (iii) Population Census 2000, (iv) PODES (Village Potential) 1999. Household consumption is obtained from the Consumption Module SUSENAS, the data on household and individual characteristics is obtained from the Core SUSENAS, and the data on village-level characteristics is obtained from the PODES and village means of the population census.

SUSENAS, the National Socio-Economic Survey, is a nationally representative household survey, covering all areas of the country. A part of the SUSENAS is conducted every year in the month of February, collecting information on the characteristics of over 200,000 households and over 800,000 individuals. This part of the SUSENAS is known as the Core SUSENAS. Another part of the SUSENAS is conducted every three years, specifically collecting information on very detailed consumption expenditure from around 65,000 households. These households are a randomly selected subset of the 200,000 households in the Core SUSENAS sample of the same year. This consumption module part of the SUSENAS is commonly known as the Module SUSENAS.

Population census 2000 is the fifth population census conducted in Indonesia after independence. The previous censuses were conducted in 1961, 1971, 1980, and 1990. The 2000 population census was conducted in the month of June, covering all people living in the territory of Indonesia, including foreigners. Data on 15 demographic, social, and economic variables at both individual and household levels were collected in the census.

PODES, meanwhile, is a complete enumeration of villages throughout Indonesia. The information collected through this survey only includes village characteristics such as size of area, population, infrastructure, and local industries characteristics. The questionnaires are filled out by the local sub district officials who are responsible for collecting statistical data (Mantri Statistik). The information is obtained from official village documents as well as interviews with village officials. The PODES survey is usually conducted three times every ten years, usually prior to and as a preparation for an agricultural census, an economic census, or a population census. A PODES survey was conducted in the months of September and October 1999 as a preparation for the population census in 2000. In total, the 1999 PODES enumerates 68,783 villages.

III. The Results

Following is a complete table of Poor People of South and West Sulawesi Provinces in five selected districts, by sub-district level in the year 2000. As can be seen from the table 1., below the variation of percentage of poor people across districts is very closed. Based on the Poverty map results, the highest incidence of poverty was found in district of Mamuju (29.1 per cent) and the lowest was in district of Bantaeng (21.5 per cent) (See Figure1 for geographical presentation).

Further examination based on sub-districts evidence clearly shows that 15 out of 54 sub-districts had a poverty incidence more than 30 per cent. It means that around 25 percent of the sub-districts need promptly action in terms of poverty reduction programs. However, one of the advantages of the model is the capability to estimate the poverty incidence with a good precision at the sub-district level. So that, the poverty indicators will guide the policy that give a priority to expenditure on basic human needs such as education, health and nutrition in appropriate way.

Table 1. Poor People of South and West Sulawesi Provinces In Five Selected District by Sub-district, 2000

Code

District/Sub-district

Number of Number of Household Population

Number of Percentage Poor of Poor People People (Po) [5] [6]

Interval P0 (%), =10% Lower Upper Bound Bound [7] [8]

[1] 73 7303 7303010 7303020 7303030

[2] Province of South Sulawesi Bantaeng Bissappu Bantaeng Tompobulu

[3]

[4]

36 127 10 464 10 993 14 670

158 418 46 950 50 822 60 646

34 119 14 471 11 068 8 581

21.5 30.8 21.8 14.1

18.3 25.1 16.0 10.2

24.8 36.5 27.5 18.1

7305 7305010 7305020 7305030 7305040 7305050 7305060 7311 7311010 7311020 7311030 7311040 7311050 7311060 7311070 7311080 7311090 7311100 7311110 7311120 7311130 7311140 7311150 7311160 7311170 7311180 7311190 7311200 7311210 7311220 7311230 7311710 7311720 7311730 76 7319

Takalar Mangara Bombang Mappakasunggu Polobangkeng Selatan Polobangkeng Utara Galesong Selatan Galesong Utara Bone Bontocani Kahu Kajuara Salomekko Tonra Patimpeng Libureng Mare Sibulue Cina Barebbo Ponre Lappariaja Lamuru Bengo Ulaweng Palakka Awangpone Tellu Siattinge Amali Ajangale Dua Boccoe Cenrana Tanete Riattang Barat Tanete Riattang Tanete Riattang Timur Province of West Sulawesi Polewali Mamasa

51 033 7 210 5 152 10 372 10 557 9 365 8 377 142 981 3 213 7 827 6 230 2 837 2 353 3 039 6 513 4 548 6 185 5 116 5 093 2 499 4 813 8 014 5 304 5 305 5 108 5 828 8 764 4 744 5 969 6 802 4 399 7 094 8 568 6 816

229 592 32 270 24 983 45 437 45 263 43 124 38 515 647 099 14 336 33 866 30 040 13 476 10 831 13 439 27 103 21 226 28 752 22 776 23 375 11 406 21 504 35 380 24 590 24 686 20 637 26 492 38 778 20 881 26 559 29 925 21 176 32 519 39 683 33 663

49 970 8 009 5 793 6 394 8 759 6 483 14 533 150 693 4 378 9 840 5 476 3 668 1 781 5 651 5 600 3 606 8 965 6 588 2 957 3 286 6 680 13 414 7 969 4 222 4 158 5 810 5 075 4 519 3 396 7 245 6 764 6 497 3 603 9 546

21.8 24.8 23.2 14.1 19.4 15.0 37.7 23.3 30.5 29.1 18.2 27.2 16.4 42.0 20.7 17.0 31.2 28.9 12.7 28.8 31.1 37.9 32.4 17.1 20.2 21.9 13.1 21.6 12.8 24.2 31.9 20.0 9.1 28.4

19.0 18.0 15.2 8.8 14.2 10.0 29.0 21.4 22.9 22.4 13.8 18.8 11.5 34.2 15.9 12.2 24.9 21.8 9.0 21.9 23.4 32.5 24.4 12.2 13.3 17.5 9.0 16.9 8.1 20.1 26.8 12.0 5.7 19.9

24.5 31.6 31.2 19.4 24.5 20.1 46.5 25.1 38.2 35.7 22.7 35.6 21.4 49.9 25.4 21.8 37.4 36.0 16.3 35.8 38.7 43.3 40.4 22.0 27.0 26.3 17.2 26.4 17.4 28.3 37.1 28.0 12.5 36.9

99 362

446 227

115 113

25.8

23.5

28.1

7319010 7319020 7319030 7319040 7319050 7319060 7319070 7319080 7319090 7321 7321010 7321020 7321030 7321040 7321050 7321060

Tinambung Tutallu Campalagian Wonomulyo Polewali Sumarorong Pana Mamasa Mambi Mamuju Tapalang Mamuju Kalukku Kalumpang Budong-Budong Pasangkayu

12 810 5 704 14 937 21 659 17 742 4 492 3 681 8 817 9 520 67 604 4 183 9 911 16 271 3 882 15 614 17 743

57 815 25 244 67 786 94 072 83 498 19 485 16 922 38 586 42 819 296 169 19 478 46 144 71 664 17 890 67 629 73 364

15 662 8 148 18 021 22 080 17 828 4 720 5 586 13 864 9 205 86 171 3 640 9 200 19 188 6 536 21 253 26 353

27.1 32.3 26.6 23.5 21.4 24.2 33.0 35.9 21.5 29.1 18.7 19.9 26.8 36.5 31.4 35.9

21.3 23.0 21.1 20.0 16.5 17.4 25.3 30.5 16.8 26.3 12.3 12.0 22.1 29.2 27.1 30.2

32.8 41.6 32.1 27.0 26.2 31.1 40.7 41.4 26.2 31.9 25.1 27.9 31.4 43.8 35.7 41.7

IV. Conclusion

Recently, one of the most important aims of development effort in Indonesia is to reduce poverty, which can be accomplished by economic growth and/or by income redistribution. The policy package for a pro-poor growth strategy has to take account specific country circumstances and initial conditions. The policy also should give priority to expenditure on basic human needs such as education, health and nutrition. In this respect the availability of the estimation poverty and inequality at micro-level will be helpful. The growth strategy for a pro-poor does not have to only focus on economic growth, but could also combined with an active policy of income redistribution. The Poverty Map objective is to obtain estimates of poverty incidence at geographical units smaller than a province-urban/rural area, which is the lowest level of aggregation for which reliable (but still very imprecise) poverty statistics are currently available. This method has successfully calculated various poverty and inequality indicators at the provincial, district, sub-district, and village levels with reasonable and better than SUSENAS based calculations of standard errors. In particular, the standard errors at the provincial, district, and sub-district levels are reasonably acceptable. At the 8

village level, however, there are great variations in the precision of poverty headcount estimates across villages within a province. The implication of this is that the poverty mapping results for the village level need to be used with caution.
References

Alderman, H., M. Babita, G. Demombyues, N. Makhatha, and B. zler (2002), How Small Can You Go? Combining Census and Survey Data for Mapping Poverty in South Africa, Journal of African Economies, 11 : 169-200. BPS-Statistics Indonesia (2004a), Peta penduduk Miskin (Poverty Map) Indonesia 2000; Jakarta, BPS-Statistics Indonesia, Republic of Indonesia.
BPS, Bappenas, UNDP (2004b), Indonesia Human Development Index 2004, Jakarta, BPS, Bappenas and UNDP Representative Indonesia

Elbers, C., J.O. Lanjouw, and P. Lanjouw (2000), Welfare in Villages and Towns. Timbergen Institute Discussion Paper TI 200-029/2, Amsterdam: Timbergen Institute. ,(2002), Micro-level Estimation of Welfare. Policy Research Department Working paper 2911. Washington, DC: World Bank. Suryahadi, et.al (May 2003), Developing a Poverty Map for Indonesia: An Initiatory Work in Three Provinces, Part I : Technical Report, SMERU Research Institute.

Figure1. Poor People of South and West Sulawesi Provinces in Five Selected Districts by Sub-district, 2000

10

11

Memantau Tingkat Kemiskinan di Perdesaan dengan Indikator dari Data Sensus Pertanian 2003
(Dr. Suhariyanto) 1. Pendahuluan Hubungan antara kemiskinan dan sektor pertanian di Indonesia sangatlah erat. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta orang dan sebagian besar (63 persen) di antaranya berada di daerah perdesaan. Dari total jumlah penduduk miskin yang ada, sekitar 58 persennya bekerja di sektor pertanian. Di daerah perdesaan, persentasenya bahkan jauh lebih tinggi, mencapai 70 persen. Dapat diduga mereka adalah petani gurem atau buruh tani. Dengan demikian, sangat beralasan kalau banyak yang berpendapat bahwa kunci untuk mengurangi jumlah kemiskinan di Indonesia adalah mengembalikan arah pembangunan ke sektor primer seperti pertanian, perikanan, dan perkebunan. Pemerintah nampaknya menyadari betul hal ini. Salah satu komitmen politik dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) adalah revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk mampu berkontribusi signifikan pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan presiden pada tanggal 11 Juni 2005 mempunyai dua sasaran akhir, yaitu pertumbuhan sektor pertanian dengan rata-rata 3,52 persen per tahun selama periode 2004-2009, dan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani (RPJMN, 2005). Komitmen politik ini menunjukkan keyakinan dan pemahaman pemerintah bahwa pembangunan pertanian memang merupakan salah satu kontributor penting dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terutama di daerah perdesaan. Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS selama ini menggunakan dua cara. Pertama, untuk mengestimasi jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS menggunakan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Dengan menggunakan konsep 259

ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, BPS menghitung garis kemiskinan per kapita per bulan (BPS, 2005). Penduduk miskin didefiniskan sebagai penduduk yang mempunyai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Data kemiskinan yang bersifat makro ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa si miskin dan di mana alamat mereka, sehingga kurang operasional di lapangan. Meskipun demikian, data ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu. Selain itu, banyak informasi penting lainnya yang bisa digali yang sangat bermanfaat untuk program pengentasan kemiskinan, misalnya kenaikan harga barang kebutuhan pokok selama tahun 2005 telah membuat penduduk miskin tak punya pilihan lain dan terpaksa mengurangi kuantitas barang-barang kebutuhan pokok yang dikonsumsi, sehingga kalau tak cepat ditangani, dikhawatirkan akan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi di kemudian hari (Suhariyanto, 2006). Kedua, untuk menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam rangka Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM, diperlukan data mikro rumah tangga miskin yang memuat informasi nama kepala rumah tangga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya (rinci menurut nama dan alamat). Upaya penyediaan data mikro ini dilakukan BPS dengan melaksanakan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE) pada tahun 2005. Berbeda dengan metode Susenas yang mengukur kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar, penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan. Kedua jenis data kemiskinan yang dikumpulkan BPS tersebut sangat berguna dan saling melengkapi. Meskipun demikian, untuk memperoleh informasi kemiskinan yang lebih rinci di sektor pertanian, masih ada sumber data yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal yaitu data Sensus Pertanian 2003.

260

2. Sensus Pertanian 2003 Sensus Pertanian 2003 (ST03) merupakan sensus pertanian kelima yang dilakukan oleh BPS. Sensus Pertanian yang pertama dilaksanakan pada tahun 1963 dan sejak itu BPS secara rutin menyelenggarakan sensus pertanian setiap 10 tahun sekali, sesuai dengan amanah dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1960 tentang Sensus, maupun Undang-undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik. Dengan demikian hasil sensus pertanian yang pertama dapat dibandingkan dengan hasil sensus pertanian yang kedua, ketiga dan seterusnya, sehingga perubahan struktur pertanian di Indonesia dapat diikuti dari waktu ke waktu. Pelaksanaan ST03 bertujuan untuk: a. Mendapatkan data statistik pertanian yang lengkap dan akurat supaya diperoleh gambaran yang jelas tentang struktur pertanian di Indonesia, b. Mendapatkan kerangka sampel (sampling frame) yang dapat dijadikan landasan pengambilan sampel untuk survei-survei pertanian rutin, dan c. Memperoleh berbagai informasi tentang populasi rumah tangga pertanian, rumah tangga petani gurem, jumlah pohon dan ternak, distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan menurut golongan luas dan sebagainya. d. Hasil ST03 juga dapat digunakan sebagai angka patokan (benchmarks) untuk memperbaiki perkiraan produksi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan, termasuk di dalamnya populasi pohon/ternak yang diperoleh dari survei-survei pertanian. ST03 merupakan kegiatan berskala besar sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara bertahap. Secara umum, kegiatan ST03 dapat dibagi ke dalam dua tahap sebagai berikut: a. Tahap pertama, pendaftaran bangunan dan rumah tangga (listing). Kegiatan listing ini dilakukan dalam bulan Agustus 2003 di seluruh propinsi di Indonesia. Khusus untuk propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kegiatan listing dilakukan dalam bulan Mei 2004. Salah satu tujuan kegiatan listing adalah mengumpulkan informasi yang dapat memberikan gambaran mengenai perubahan populasi rumah tangga pertanian, baik rumah tangga pertanian pengguna lahan maupun bukan, dan juga rumah tangga petani gurem. 261

Definisi Rumah Tangga Pertanian Sebuah rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian apabila rumah tangga tersebut melakukan minimal salah satu kegiatan berikut: 1) Mengusahakan tanaman padi dan atau palawija, 2) Mengusahakan tanaman hortikultura, 3) Mengusahakan tanaman perkebunan, 4) Mengusahakan tanaman kehutanan, 5) Mengusahakan ternak/unggas, 6) Membudidayakan ikan/biota lain di air tawar, 7) Membudidayakan ikan/biota lain di tambak air payau, 8) Mengusahakan penangkaran satwa liar, 9) Membudidayakan ikan/biota lain di laut, 10) Membudidayakan ikan/biota lain di perairan umum, 11) Menangkap ikan/biota lain di laut, 12) Menangkap ikan/biota lain di perairan umum, 13) Memungut hasil hutan dan atau menangkap satwa liar, dan 14) Berusaha di bidang jasa pertanian. Rumah tangga pertanian yang melakukan kegiatan 1) s.d 8) disebut rumah tangga pertanian pengguna lahan, sedangkan yang melakukan kegiatan 9) s.d 14) disebut rumah tangga pertanian bukan pengguna lahan. Rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar disebut rumah tangga petani gurem. Metodologi Dalam pelaksanaan listing, wilayah administrasi desa/kelurahan diklasifikasikan menjadi perdesaan dan perkotaan sesuai konsep dan definisi BPS. Daerah perkotaan digolongkan lagi menjadi daerah pantai dan bukan pantai dengan tujuan untuk menjaring potensi perikanan laut. Wilayah bukan pantai dikelompokkan menjadi dua strata yaitu wilayah konsentrasi usaha pertanian dan wilayah tidak konsentrasi usaha pertanian. Pengelompokan wilayah-wilayah tersebut disesuaikan dengan metode pengumpulan data di lapangan dan ketersediaan anggaran ST03. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam kegiatan listing menurut kategori desa/kelurahan, letak geografis dan strata desa/kelurahan dapat dilihat pada Tabel 1. 262

Tabel 1. Metode Pengumpulan Data untuk Listing ST03


Kategori Letak Desa/Kelurahan Geografis Pantai Perkotaan Konsentrasi usaha pertanian Tidak konsentrasi usaha pertanian Strata Desa/Kelurahan Metode Pengumpulan Data Sensus Lengkap Sensus Lengkap Sensus Sampel Sensus Lengkap

Bukan Pantai

Pedesaan

b. Tahap kedua, adalah melakukan pencacahan sampel usaha rumah tangga pertanian menurut subsektor. Subsektor yang dicakup adalah tanaman padi, palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar), hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan, budidaya ikan, dan penangkapan ikan laut. Selain itu juga dilakukan pencacahan survei pendapatan petani. Tujuan dari kegiatan-kegiatan ini adalah mengumpulkan data yang rinci mengenai pola struktur ongkos, pengelolaan usaha subsektor pertanian, dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga pertanian. Jumlah sampel yang digunakan berkisar antara 45.000-358.000 rumah tangga (BPS, 2005). 3. Indikator Kemiskinan Dari Data Sensus Pertanian 2003 Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama dari sebagian besar penduduk Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia hidup dan mencari nafkah di sektor pertanian. Dari hasil Sensus Pertanian 2003 diketahui bahwa jumlah rumah tangga pertanian di Indonesia pada tahun 2003 adalah 24,9 juta. Dengan asumsi rata-rata anggota rumah tangga sebesar 4 orang, berarti sektor pertanian menjadi gantungan hidup sekitar 100 juta orang. Sangat disayangkan, sektor pertanian masih menghadapi sejumlah masalah yang cukup krusial. Jumlah rumah tangga petani gurem sangat banyak dan menunjukkan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani gurem secara rata-rata meningkat 2,17 persen per tahun, yaitu dari 10,7 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,3 juta rumah tangga 263

pada tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,13 persen menjadi 55,11 persen, mengindikasikan semakin banyaknya rumah tangga pertanian yang miskin. Sempitnya penguasaan lahan pertanian ini akan membuat produksi menjadi tidak efisien sehingga pendapatan petani menjadi terbatas. Masalah lain yang dihadapi sektor pertanian adalah terbatasnya modal dan informasi pasar para petani, dan juga terus terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian. Berbagai permasalahan tersebut membuat masalah kemiskinan di pertanian menjadi rumit. Dengan memperhatikan ketersediaan data dari Sensus Pertanian 2003, usaha untuk pemantauan tingkat kemiskinan di Indonesia setidaknya dapat dilakukan dengan dua cara: a. Dari data listing, dapat diperoleh informasi mengenai jumlah petani gurem yaitu rumah tangga pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Karena listing dilakukan secara lengkap di daerah perdesaan dan hampir lengkap di daerah perkotaan, maka penyebaran petani gurem di Indonesia dapat diketahui sampai satuan wilayah terkecil, tingkat kecamatan atau tingkat desa. Meskipun demikian, masih diperlukan pengolahan lebih lanjut karena tidak semua petani gurem adalah petani miskin. Pendapat umum yang mengatakan bahwa petani gurem adalah petani miskin mungkin benar kalau petani tersebut mengusahakan tanaman pangan seperti padi atau jagung. Apabila petani tersebut mengusahakan tanaman hias seperti anggrek atau membudidayakan ikan koi, maka lahan di bawah 0,50 hektar dapat menghasilkan pendapatan yang besar, sehingga petani yang mengusahakan komoditi tersebut tidak dapat digolongkan sebagai petani miskin. b. Dari data sampel rumah tangga usaha pertanian subsektor pertanian, selain data struktur ongkos dan pendapatan, juga dapat diperoleh data kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian yang bersifat kualitatif. Sebagian besar variabel yang dicakup hampir sama dengan 14 variabel kualitatif penjelas kemiskinan yang digunakan BPS dalam PSE. Namun tidak seluruh variabel tersebut dicakup dalam Sensus Pertanian 2003. Hanya ada 8 variabel yang sesuai sehingga indeks komposit yang dihasilkan adalah indeks komposit dari ke-8 variabel tersebut. Kedelapan variabel beserta klasifikasi dan sistem skoringnya dapat dilihat pada Tabel 2. 264

Tabel 2.

Jenis Variabel, Klasifikasi, dan Skoring yang Digunakan dalam Penentuan Kesejahteraan Rumah Tangga Usaha Palawija Variabel
Sumber Air Minum

No.
1.

Klasifikasi
1. Air dalam kemasan, leding, pompa, sumur. 2. Mata air, air sungai, air hujan. 1. Listrik, gas elpiji, minyak tanah. 2. Arang kayu/ tempurung, kayu, lainnya 1. Tembok, kayu 2. Bambu, lainnya. 1. Sendiri, bersama 2. Umum, tidak ada. 1. Tanah 2. Bukan tanah 1. =< 8 m2 2. > 8 m2 1. Listrik (PLN/Non-PLN) 2. Bukan listrik (petromak, pelita, sentir) 1. SD ke bawah 2. Di atas SD

Skor *)
0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 0 1 1 0

2.

Bahan Bakar Utama yang Digunakan Jenis Dinding Terluas Fasilitas Jamban yang Utama Jenis Lantai Terluas Luas Lantai Perkapita Penerangan Utama yang Digunakan Pendidikan Kepala Rumah Tangga

3. 4. 5. 6. 7.

8.

Catatan: *) Skor 0 menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan skor 1. Indeks Komposit (IK) diformulasikan sebagai berikut:

IK = Vi
i =1

Vi= skor variabel ke i. 265

Nilai minimum = 0, dan nilai maksimum=8. Skor semakin tinggi menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga usaha pertanian yang semakin memburuk. Batas skor yang digunakan adalah: Skor <= 2: dianggap sejahtera (tidak miskin) Skor = 3: hampir sejahtera (hampir miskin) Skor >= 4: tidak sejahtera (miskin) Batas skor dihitung berdasarkan distribusi/sebaran dari indeks komposit seluruh rumah tangga usaha yang telah diuji dengan menggunakan data Susenas. Dengan menggunakan metode tersebut, BPS menggunakan data Sensus Pertanian 2003 untuk menghitung tingkat kemiskinan di empat subsektor pertanian yaitu subsektor palawija, hortikultura, perkebunan, dan peternakan (BPS, 2005). Contoh hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Penduduk Miskin (Tidak Sejahtera) menurut Subsektor Pertanian, 2004
Propinsi Sulawesi Selatan Indonesia Palawija 27,66 24,29 Hortikultura 17,75 19,45 Perkebunan 18,16 22,55 Peternakan 17,30 21,40

4. Kesimpulan Data yang diperoleh dari hasil Sensus Pertanian 2003 sangat rinci dengan cakupan sampel yang besar, sehingga tingkat penyajian dapat dilakukan sampai wilayah kecil. Selama ini data Sensus Pertanian 2003 hanya digunakan untuk melakukan analisa deskriptif mengenai berbagai permasalahan di sektor pertanian, namun belum secara khusus digunakan untuk pemantauan tingkat kemiskinan. Usaha untuk menganalisa tingkat kemiskinan dengan menggunakan data Sensus Pertanian 2003 perlu segera dilakukan karena sebagian besar penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Kalau ini bisa dilakukan, analisis kemiskinan di sektor pertanian akan lebih fokus.

266

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (BPS) (2005). Sensus Pertanian 2003 di Indonesia. Organisasi dan Kegiatan, Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________________ (2005). Sensus Pertanian 2003. Analisis Rumah Tangga Usaha Palawija, Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________________ (2005). Sensus Pertanian 2003. Analisis Rumah Tangga Usaha Hortikultura, Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________________ (2005). Sensus Pertanian 2003. Analisis Rumah Tangga Usaha Perkebunan, Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________________ (2005). Sensus Pertanian 2003. Analisis Rumah Tangga Usaha Peternakan, Jakarta: Badan Pusat Statistik. __________________________ (2005). Analisis Dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005, Jakarta: Badan Pusat Statistik. RPJMN (2005). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, CV. Eko Jaya, Jakarta. Suhariyanto, K. (2006). Di Balik Angka Kemiskinan, Harian KOMPAS, 14 September 2006, Jakarta.

267

Indikator Pemantauan Dini Arah Perkembangan Kemiskinan dari Data Upah, Harga Produsen dan Harga Konsumen: Proyek Studi Kerja Sama antara Badan Pusat Statistik dan Asian Development Bank (Uzair Suhaemi, MA dan Dr. Sasmito Hadi Wibowo) Ringkasan Eksekutif Laporan ini meringkas hasil studi dan upaya pengembangan semacam sistem pemantauan dini (early warning system, EWS) berbasis data statistik upah, harga produsen dan harga konsumen, kerja sama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asian Development Bank (ADB). Kerja sama ini didorong oleh kesadaran akan perlunya EWS di tengah keprihatinan nasional maupun global terhadap kemiskinan. Alat pantau yang dimaksud sejauh ini tersedia secara agak memadai baru untuk tingkat nasional tetapi tidak untuk tingkat wilayah administrasi yang lebih rendah. Proyek kerja sama ini diarahkan untuk mengisi kekosongan ini dan EWS yang dihasilkan terbukti memadai paling tidak di lima daerah studi yaitu Tapanuli Selatan (Sumatera Utara), Trenggalek (Jawa Timur), Timor Tengah Selatan dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), dan Landak (Kalimantan Barat). I. Konteks Kemiskinan merupakan keprihatinan nasional maupun global. Hal ini tampak dari fakta bahwa upaya pengentasan kemiskinan tercantum secara eksplisit dalam dua macam dokumen strategis yaitu Pembangunan Jangka Menengah (PJM) untuk tingkat nasional dan Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goal, MDGs) untuk tingkat global. Pertanyaannya adalah apakah kini tersedia alat pantau untuk mendeteksi keberhasilan upaya itu secara dini, suatu alat yang berguna bagi pengambil kebijakan dalam memutuskan langkah yang responsif terhadap arah perubahan keadaan yang terkait dengan kemiskinan. Jawaban terhadap pertanyaan itu adalah positif tetapi tanpa kata sandang dini. Artinya, alat pantau itu kini tersedia tetapi tidak memenuhi syarat sebagai sistem pemantauan dini atau EWS khususnya untuk unit wilayah adminsitrasi sub-nasional. Jawaban itu diperoleh dari sejumlah studi kerja sama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asian Development Bank (ADB).

269

Ketiadaan EWS terjadi karena adanya kesenjangan informasi dari sisi waktu. Sebagaimana diketahui secara luas, sumber data definitif untuk menghitung angka kemiskinan secara langsung adalah Modul Konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diselenggarakan setiap tiga tahun. Jangka waktu itu jelas terlalu lama untuk keperluan EWS. Karena menyadari hal ini maka BPS dalam beberapa tahun terakhir ini memanfaatkan Kor Susenas yang diselenggarakan setiap tahun untuk memperkirakan angka kemiskinan secara tidak langsung (dalam arti tetap mengacu pada Modul Konsumsi Susenas). Angka kemiskinan tahunan itu sampai taraf tertentu memadai sebagai sumber informasi umum tetapi periodenya dinilai masih terlalu panjang sebagai basis data EWS, apalagi jika diperhitungkan time-lag dari survei itu. Menyadari fakta ini BPS bekerja sama dengan ADB melalui TA 3710INO (Developing Leading Indicators) mengidentifikasi survei-survei berkala BPS yang menghasilkan data yang dapat digunakan untuk merancang sistem pemantauan dini yang dimaksud. Salah satu keluaran TA ini adalah sistem pemantauan dini nasional yang relevan untuk analisis dan laporan cepat mengenai data upah dan pendapatan riil sebagai indikasi masalah kemiskinan yang muncul 1 . Data itu dinilai tepat karena strategi pengentasan kemiskinan yang mungkin paling alamiah adalah meningkatkan upah dan pendapatan riil kelompok berpendapatan rendah. Sistem pemantauan dini itu kini merupakan salah satu laporan bulanan BPS yang didiseminasikan melalui pressrelease bulanan dan bahan baku informasi bulanan ke sidang kabinet dan sejumlah lembaga internasional. Sistem pemantaun dini nasional itu disadari masih mengandung dua macam keterbatasan. Pertama, peningkatan pendapatan dan upah riil golongan berpendapatan rendah tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan hidup mereka jika biaya hidup yang harus mereka penuhi meningkat secepat (apalagi lebih cepat dari) peningkatan upah/pendapatan mereka. Hal ini berlaku karena angka inflasi yang digunakan dalam sistem pemantauan nasional bersifat sangat umum dalam arti berlaku bagi semua kelompok masyarakat yang belum tentu menggambarkan perkembangan biaya kelompok masyarakat bawah. Oleh karena itu informasi mengenai harga barang konsumsi khusus untuk kelompok berpendapatan rendah (sebagai indikator biaya hidup) dinilai perlu dimasukkan dalam sistem pemantauan dini kemiskinan
1

Melalui TA ini juga diselenggarakan berbagai kegiatan untuk penyempurnaan data harga perdesaan (rural prices data).

270

(selain data upah dan pendapatan tentunya). Kedua, sistem itu kurang mendukung semangat otonomi daerah sehingga dinilai perlu dikembangkan agar dapat diterapkan pada level kabupaten/kota. Dua macam keterbatasan inilah yang mendorong BPS untuk bekerja sama lebih lanjut dengan ADB. Selain upah buruh riil, TA3710-INO juga menemukan bahwa penggadaian dapat digunakan untuk EWS kemiskinan, jika data tersedia secara cepat. II. Cakupan dan Tahapan Studi Kerja sama BPS-ADB lanjutan yang dimaksudkan di atas direalisasikan dalam bentuk dana hibah melalui ADB-AOTA 3841-INO. AOTA ini diarahkan untuk mengembangkan sistem pemantauan indikator dini yang terkait dengan kemiskinan yang secara efisien dapat mengumpulkan data harga barang dan jasa yang dapat menangkap perubahan arah kemiskinan pada tingkat kabupaten/kota. Sistem itu dinilai sangat relevan sebagai alat statistik untuk memantau arah perubahan taraf kesejahteraan penduduk miskin (membaik atau memburuk), bukan untuk menghitung jumlah penduduk miskin. Melalui AOTA ini dilakukan sejumlah studi dengan tiga bentuk keluaran akhir yang diharapkan yaitu: (1) indeks harga konsumen (IHK) khusus kabupaten/kota (sebagai deflator), (2) Indeks Nominal dan riil harga produsen (IHP) khusus kabupaten/kota (sebagai indikator pendapatan), dan (3) indeks nominal dan riil upah (sebagai indikator pendapatan tenaga kerja). Sampai taraf tertentu ketiga indeks dapat diberikan kata sandang miskin karena dirancang relevan bagi penduduk yang berpendapatan rendah. Studi difokuskan di lima kabupaten terpilih dan memiliki angka kemiskinan relatif tinggi, yaitu Tapanuli Tengah (Sumatera Utara), Trenggalek (Jawa Timur), Timor Tengah Selatan dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), dan Landak (Kalimantan Barat). Atas inisiatif dan biaya sendiri, Kabupaten Demak menyelenggarakan studi yang sama. Studi ini dirancang sedemikian rupa sehingga hasil akhirnya diharapkan dapat merefleksikan pendapatan dan biaya hidup kelompok masyarakat berpendapatan rendah di tingkat kabupaten/kota. Sebagai ilustrasi, IHK yang dihasilkan, misalnya, diharapkan dapat menggambarkan biaya hidup kelompok masyarakat golongan berpendapatan rendah di suatu kabupaten/kota baik berdomisili di daerah perkotaan maupun perdesaan.

271

Asumsi dasar studi adalah bahwa kemiskinan, sejauh didekati dari sisi pendapatan (income poverty), terkait secara langsung di satu sisi dengan upah dan pendapatan tenaga kerja, di sisi lain dengan beban biaya hidup. Implikasi dari asumsi ini adalah bahwa perubahan arah kemiksinan sebenarnya dapat dipantau melalui perubahan tingkat pendapatan dan beban biaya hidup masyarakat. Penurunan tingkat upah riil, misalnya, merupakan indikasi meningkatnya jumlah penduduk miskin. Dengan demikian tantangannya adalah merancang survei yang dapat menyediakan data upah, pendapatan dan biaya hidup dalam periode waktu yang relatif singkat serta representatif pada tingkat kabupaten/kota. Studi ini diawali dengan suatu pertanyan riset (research question) apakah survei-survei yang selama ini diselenggarakan BPS secara berkala memadai sebagai sumber data untuk membangun sistem pemantauan yang dimaksud, khususnya di lima kabupaten terpilih. Pertanyaan semacam itu dijawab melalui evaluasi kritis terhadap surveisurvei BPS yang ada (the existing surveys) yang relevan dengan harga konsumen, harga produsen dan upah. Setelah tahapan evaluasi, tahapan berikutnya adalah merancang-ulang (new designs) surveisurvei yang relevan sehingga sesuai dengan tujuan proyek kerja sama itu. Dalam tahapan ini, di masing-masing kabupaten yang termasuk dalam wilayah studi diteliti tingkat dan pola konsumsi rumah tangga (makanan dan non-makanan), kegiatan produksi masyarakat (khususnya masyarakat perdesaan), dan keberadaan perusahaan yang relevan bagi kelompok berpendapatan rendah. Dalam studi ini digunakan berbagai sumber data termasuk Kor Susenas (gabungan beberapa tahun), Sensus Pertanian 2003 (hasil listing) dan direktori perusahaan. Hasil studi itu kemudian diverifikasi melalui kunjungan ke lapangan dan diskusi dengan staf BPS kabupaten yang bersangkutan. Rancangan survei hasil studi yang telah diverifikasi itu selanjutnya diujicobakan di lapangan selama empat kuartal dan hasilnya diseminarkan.

272

III. Evaluasi Survei-Survei BPS 2 BPS menyelenggarakan berbagai survei yang mengumpulkan data statistik upah, harga konsumen dan harga produsen, jenis data yang relevan dengan EWS kemiskinan. Hasil evaluasi menunjukkan paling tidak ada tiga kelompok jenis survei yang dimaksud: (1) survei harga konsumen, (2) survei harga produsen, dan (3) survei upah. Berikut ini adalah ringkasan dari hasil evaluasi survei-survei tersebut dalam kaitannya dengan penjajagan kemungkinan mengembangkannya untuk keperluan EWS kemiskinan. 3.1 Survei Harga Konsumen BPS secara berkala menyelenggarakan survei harga konsumen di daerah perkotaan maupun perdesaan. Melalui press release setiap bulan BPS menginformasikan inflasi nasional (perkotaan dan perdesaan) yang disusun dari hasil survei ini. Studi yang dibiayai TA 3710 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara inflasi perkotaan dan perdesaan dalam jangka panjang. Tetapi dalam jangka pendek penyesuaian harga di perdesaan relatif lebih lambat dibanding di perkotaan. a. IHK Perkotaan Survei harga konsumen di daerah perkotaan menghasilkan indeks harga konsumen (IHK) sebagai keluaran utamanya. IHK perkotaan 3 merupakan suatu indeks yang mengukur perubahan harga antar-waktu suatu paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat perkotaan berdasarkan tahun dasar tertentu. IHK perkotaan secara luas digunakan sebagai ukuran baku (yardstick) dalam menentukan pendapatan riil, penyesuaian upah dan gaji dan jenis pembayaran lain serta pembayaran kontrak agar sesuai dengan kenaikan harga barang dan jasa, tanpa memperhatikan perbedaan pola konsumsi masyarakat wilayah perkotaan dan perdesaan.

Hasil studi kerja sama menyajikan tiga laporan mengenai evaluasi survei-survei BPS masing-masing untuk survei harga konsumen, survei harga produsen dan survei upah. Bagian laporan ini dapat dianggap sebagai ringkasan yang sangat sederhana dari ketiga laporan itu. Penggunaan istilah IHK perkotaan dalam laporan ini dimaksudkan sekedar untuk keperluan analisis, untuk membedakannya dengan istilah IHK perdesaan.

273

Survei IHK perkotaan mencakup 45 kota (cities) 4 , di mana harga setiap komoditi dikumpulkan dari satu atau lebih pedagang/responden di pasar tradisional, pasar modern dan outlet mandiri. Survei ini mencakup sekitar 744 barang dan jasa yang tergolong dalam tujuh kelompok komoditi yaitu bahan makanan: makanan jadi, minuman; rokok dan tembakau; perumahan: air, listrik, gas dan bahan bakar; sandang; kesehatan; pendidikan; rekreasi dan olahraga; transpor, komunikasi dan jasa keuangan. Cakupan serupa dalam skala lebih kecil berlaku untuk survei IHK perdesaan. Berkaitan dengan cakupan komoditi IHK perkotaan ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, komoditi yang dicakup relatif sangat banyak jumlahnya sehingga data dari survei itu dinilai kurang sesuai untuk keperluan pemantauan dini yang memerlukan jumlah komoditas terbatas. Kedua, komoditi yang dicakup dalam survei HK itu didasarkan pada suatu basket komoditi konsumsi rata-rata kota IHK saja dengan mengabaikan perbedaan pola konsumsi antara masyarakat umum dan masyarakat berpendapatan rendah. b. IHK Perdesaan Selain IHK perkotaan BPS sebenarnya juga menghitung secara berkala IHK perdesaan, suatu indeks yang berfungsi serupa dengan fungsi IHK perkotaan tetapi ditujukan khusus bagi masyarakat perdesaan. Walaupun demikian perlu dicatat bahwa dalam praktek sekarang ini IHK perdesaan hanya bermakna jika ditafsirkan sebagai suatu komponen dari indeks nilai tukar petani, NTP (farmer terms of trade index). NTP yang merupakan rasio antara indeks harga produsen perdesaan dan indeks harga konsumen perdesaan, dimaksudkan sebagai alat ukur perkembangan taraf kesejahteraan masyarakat petani. Dalam kaitan ini IHK perdesaan sampai taraf tertentu dapat ditafsirkan sebagai alat ukur perubahan biaya hidup masyarakat perdesaan. Survei IHK perdesaan diselenggarakan di 23 propinsi; mencakup semua kabupaten di Jawa dan beberapa kabupaten di luar Jawa; mencakup 241 (dari total 430) kabupaten dan 533 (dari 4957) kecamatan. Sekalipun sepintas lalu sampel itu tampak besar, tetapi survei itu tidak dirancang untuk menghasilkan perkiraan angka kabupaten. Rancangan survei harga perdesaan adalah 3 sampel kecamatan di setiap kabupaten di Jawa dan antara 10-20 sampel kecamatan di tiap propinsi Luar Jawa.
4

Survei ini jelas tidak mencakup lima kabupaten (karena bukan cities) yang tercakup dalam studi ini.

274

Akibatnya dan sebagai ilustrasi, untuk Kabupaten Tapanuli Tengah yang terdiri dari 15 kecamatan, misalnya, hanya satu kecamatan yang terpilih sebagai sampel yaitu Kecamatan Lumut yang datanya digunakan untuk estimasi tingkat kabupaten. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa baik IHK perkotaan maupun IHK perdesaan yang sekarang ini dihitung oleh BPS tidak memadai sebagai deflator harga produsen maupun konsumen bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah di tingkat kabupaten/kota paling tidak karena tiga alasan: (1) IHK perkotaan dirancang hanya untuk 45 kota yang belum tentu sesuai dengan kabupaten/kota lain, (2) IHK perdesaan dapat mencerminkan perubahan harga wilayah perdesaan pada tingkat propinsi tetapi masih dipertanyakan apakah, dilihat dari sisi sampel, juga merefleksikan hal serupa di tingkat kabupaten/kota, dan (3) IHK perkotaan maupun IHK perdesaan sejak awal dirancang untuk mencakup keseluruhan kelompok masyarakat sehingga relevansi atau kecermatannya bagi kelompok berpendapatan rendah dapat dipertanyakan. Catatan: Pengumpulan data IHK dan pengolahannya adalah yang tercepat di BPS dibandingkan dengan survei mana pun. Mulai Desember 2006 BRI juga mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan harga beras mingguan. 3.2 Survei Harga Produsen Istilah produsen dalam survei harga produsen (lihat Lampiran) sebenarnya agak berlebihan karena survei ini tidak mencakup semua sektor ekonomi tetapi terbatas pada tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, ternak, perikanan dan hasil hutan, masing-masing menggunakan daftar yang berbeda. Bersama dengan survei IHK perdesaan, survei harga produsen untuk tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan dirancang untuk membangun NTP. Pencacahan survei ini dilakukan bulanan setiap tanggal 15 dan mencatat semua transaksi yang dilakukan oleh petani sampel (price leaders) sepanjang kurun waktu 1-15 setiap bulannya. Target sampel dari survei ini adalah petani di kecamatan terpilih yang diketahui berpengaruh. Secara keseluruhan, sampel survei ini mencakup 939 kecamatan untuk tanaman bahan makanan, 214 kecamatan untuk tanaman perkebunan, 164 kecamatan untuk ternak, 132 kecamatan untuk perikanan dan 45 kecamatan untuk hasil hutan.

275

Besarnya sampel itu menunjukkan bahwa survei itu belum memadai untuk estimasi tingkat kabupaten sehingga kurang sesuai untuk keperluan EWS pada tingkat administrasi itu (lihat penjelasan tentang prosedur survei dalam lampiran 4). 3.3 Survei Upah BPS mengumpulkan data upah dan pendapatan pekerja melalui berbagai survei; dua di antaranya adalah Susenas dan survei angkatan kerja nasional (Sakernas). Susenas dan Sakernas mengumpulkan data ketenagakerjaan dan karakteristiknya termasuk upah dan pendapatan pekerja. Tetapi untuk keperluan pemantauan jangka pendek kedua survei itu kurang sesuai karena beberapa alasan. Pertama, kedua survei itu adalah survei rumah tangga yang mahal karena untuk menghasilkan estimasi tingkat kabupaten diperlukan sampel yang relatif sangat besar yang tampaknya di luar kemampuan APBN. Kedua, kedua survei itu diselenggarakan setiap tahun sehingga akan menjadi terlambat untuk keperluan pemantauan jangka pendek; belum lagi mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk proses pengolahan dan tabulasi. Survei BPS lain yang juga mengumpulkan data upah dan pendapatan pekerja adalah survei upah buruh (SUB), survei harga produsen dan survei harga konsumen di daerah perkotaan maupun perdesaan. SUB diselenggarakan setiap kuartal (empat kali setahun) sejak tahun 1979/1980. Tujuan SUB adalah mengumpulkan data upah secara berkala yang dapat digunakan untuk memantau taraf kesejahteraan pekerja yang berstatus buruh (employees, wage earners) di bawah mandor. Karena fokus SUB adalah buruh rendahan (di bawah mandor) maka datanya sampai taraf tertentu dapat ditafsirkan sebagai mencerminkan taraf upah penduduk berpendapatan rendah secara keseluruhan. Selain itu, karena periode survei ini kuartalan (setiap tiga bulan) maka datanya relatif masih berguna untuk keperluan EWS, sekali pun dalam praktek SUB menghadapi masalah time-lag yang panjang. Karena data SUB diperoleh dari perusahaan-perusahaan sampel yang tergolong sedang-besar maka datanya dapat menggambarkan tingkat upah buruh sektor formal. Yang menjadi masalah SUB dalam kaitannya dengan EWS kemiskinan kabupaten/kota adalah bahwa rancangan SUB diarahkan untuk memenuhi keperluan estimasi nasional. Dengan demikian tantangannya adalah memperbesar sampel sedemikian rupa sehingga datanya representatif sampai tingkat kabupaten/kota.

276

Statistik upah juga dapat diperoleh dari survei harga konsumen dan Harga Produsen Perdesaan. Upah buruh bangunan dan pembantu rumah tangga diturunkan dari survei harga konsumen dan pembantu rumah tangga. Upah buruh bangunan sering ditampilkan sebagai upah buruh informal perkotaan. Upah buruh tani diturunkan dari survei harga produsen perdesaan. Sekalipun survei ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data harga produsen untuk sejumlah komoditi pertanian di wilayah perdesaan, beberapa pertanyaan dalam survei ini terkait dengan upah dari empat jenis pekerjaan yaitu mencangkul, menyiangi, menanam dan memanen. Sekalipun data yang dihasilkan pada awalnya dilihat sebagai biaya pertanian, bukan upah pekerja, data itu sampai taraf tertentu dapat ditafsirkan sebagai upah buruh informal di pertanian. Walaupun data dikumpulkan dari petani yang mempekerjakan buruh, bukan langsung dari buruh, sejumlah studi, termasuk hasil TA 3710-INO, memperlihatkan bahwa data yang diperoleh dari petani maupun buruh tidak berbeda secara nyata. IV. Rancangan Baru 5 Berdasarkan diskusi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh dari survei-survei harga konsumen, harga produsen dan upah yang selama ini dilakukan BPS secara berkala berpotensi dikembangkan untuk keperluan EWS kemiskinan. Diskusi sebelumnya juga mengidentifikasi berbagai aspek dari survei-survei itu untuk dikembangkan agar sesuai dengan EWS kemiskinan di tingkat kabupaten/kota. Bagian ini menyajikan rekomendasi pengembangan yang dimaksud berdasarkan hasil evaluasi survei-survei yang relevan yang kini berlaku (dibahas pada Bagian III), hasil penilaian cepat (rapid assessment) mengenai keadaan lapangan, uji kelayakan instrumen dan verifikasi lapangan di enam kabupaten terpilih. 4.1 Survei Harga Konsumen Studi proyek kerja sama BPS-ADB menghasilkan sejumlah rekomendasi terkait dengan survei harga konsumen untuk memperoleh keluaran yang diinginkan yaitu IHK spesifik kabupaten/kota yang berfungsi sebagai deflator indeks-indeks produsen dan upah. AOTA 28410-INO menghasilkan tiga laporan mengenai rancangan baru survei-survei harga konsumen, harga produsen dan upah. Bagian laporan ini dapat dianggap sebagai ringkasan yang sangat sederhana dari ketiga laporan itu.
5

277

Rekomendasi itu terkait dengan aspek-aspek keterwakilan, relevansi, keterbandingan, dan optimalisasi dari survei yang dikehendaki. Paling tidak ada lima macam rekomendasi. IHK yang dihasilkan representatif untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini menghendaki agar sampel outlet (pasar) yang dipilih harus mewakili daerah perkotaan maupun perdesaan. Selain itu, pasar terpilih direkomendasikan berlokasi tidak terlalu jauh dari ibu kota kabupaten/kota untuk mempercepat proses pengiriman dokumen, sesuatu yang dinilai sangat relevan khususnya untuk kabupaten di luar Jawa. Basket komoditi yang dipilih relevan dengan pola konsumsi masyarakat tergolong miskin. Kriteria ini menghendaki agar sebelumnya diidentifikasi secara cermat jenis-jenis komoditi yang dikonsumsi kelompok masyarakat itu di kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini berarti paket komoditi yang dicakup unik dalam arti spesifik hanya untuk kabupaten/kota yang bersangkutan. Agar terbuka kesempatan untuk perbandingan nasional, sebagian dari komoditi yang dipilih merupakan komoditi umum dalam arti terdapat di semua kabupaten/kota di Indonesia. Jumlah komoditi yang dicakup harus cukup banyak agar mewakili pola konsumsi masyarakat berpendapatan rendah keseluruhan di kabupaten/kota yang bersangkutan, tetapi juga tidak terlalu banyak agar dapat dikelola secara mudah dengan biaya yang terjangkau. Sebagai catatan tambahan mengenai sampel pasar, studi kerja sama ini melakukan uji coba dengan memilih satu pasar besar untuk wilayah perkotaan dan tiga pasar kecil untuk wilayah perdesaan. Pola ini, berdasarkan pengamatan lapangan dan diskusi dengan staf BPS kabupaten, dinilai paling optimal dari sisi biaya dan operasional lapangan, tetapi sekaligus juga mewakili keseluruhan kabupaten/kota sebagaimana dikehendaki. Berkaitan dengan paket komoditi, studi kerja sama ini mempelajari secara cermat arti penting suatu komoditi bagi kelompok masyarakat yang berpendapatan 30 persen terendah berdasarkan Modul Susenas 1999 dan 2002. Studi ini menunjukkan bahwa sekitar 45-65 persen dari total konsumsi kelompok masyarakat itu disumbangkan oleh sekitar 1015 komoditi kelompok makanan dan 10-15 komoditi kelompok bukan makanan. Secara teknis, pemilihan komoditi didasarkan pada tiga kriteria: (1) setiap komoditi terpilih dinilai sangat penting dilihat dari

278

elastisitas permintaannya, (2) setiap komoditi terpilih dikonsumsi paling tidak oleh 40 persen penduduk di hampir semua kabupaten/kota, (3) sumbangan konsumsi setiap komoditi terpilih terhadap total konsumsi dinilai signifikan. Berdasarkan semua pertimbangan tertulis di atas disusun daftar komoditi yang dinilai layak dimasukkan dalam kuesioner Survei IHK di masing-masing kabupaten terpilih, 12 di antaranya merupakan komoditi umum untuk perbandingan nasional. Lampiran 1a-1b, masing-masing berisi kuesioner, untuk daerah perkotaan dan perdesaan, yang mengilustrasikan cakupan komoditi dalam survei harga konsumen untuk kasus Kabupaten Terenggalek. 4.2 Survei Harga Produsen Untuk memperoleh keluaran yang diinginkan yaitu indeks harga produsen yang merefleksikan pendapatan dari penduduk miskin, studi kerja sama merekomendasikan serta mengujicobakan survei harga produsen dengan kualifikasi sebagai berikut. Rekomendasi itu tetap mengacu pada azas-azas keterwakilan, relevansi, dan efisiensi sebagaimana halnya survei harga konsumen. Berkaitan dengan pemilihan kecamatan sampel, misalnya, studi merekomendasikan tiga kriteria pemilihan: (1) Kecamatan yang dipilih adalah potensial dalam memproduksi suatu komoditas pertanian tertentu. Dalam hal ini data Sensus Pertanian 2003 dijadikan acuan, (2) Untuk mempermudah operasional lapangan, prioritas diberikan kepada kecamatan yang terpilih untuk survei harga konsumen, dan (3) Lokasi kecamatan terpilih tidak terlalu jauh dan relatif mudah dijangkau dari ibu kota kabupaten. Ini perlu untuk menghindari time-lag yang terlalu panjang nantinya. Walaupun demikian, tahapan akhir pemilihan kecamatan ditetapkan berdasarkan hasil kunjungan lapangan dan konsultasi dengan BPS kabupaten. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan itu pada akhirnya dipilih masing-masing tujuh kecamatan di Tapanuli Tengah dan Sumba Timur, masing-masing enam kecamatan dari Trenggalek dan Timor Tengah Selatan dan tiga kecamatan dari Landak. Dari masing-masing kecamatan terpilih dipilih tiga petani produsen yang dinilai kuat dalam mempengaruhi harga pasar suatu komoditas pertanian tertentu. Dalam praktek, pemilihan sampel petani diserahkan kepada BPS kabupaten.

279

Seperti disinggung sebelumnya, data ST2003 digunakan sebagai dasar pemilihan arti penting suatu komoditi pertanian di suatu wilayah (dalam hal ini kecamatan). Ukurannya adalah banyaknya rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan usaha. Tetapi kriteria terpenting adalah bahwa komoditi yang dipilih relevan dengan rumah tangga miskin. Hasil pemilihan komoditi, seperti telah diduga, bervariasi antar-kabupaten sampel. Walaupun demikian, seperti juga telah diduga sebelumnya, ada tiga komoditi umum yaitu beras, jagung dan singkong yang ada di semua kabupaten sampel kecuali Landak di mana yang terpilih hanya beras. Lampiran 2 kuesioner survei harga produsen yang mengilustrasikan komoditi yang dicakup dalam survei ini untuk kasus Kabupaten Trenggalek. 4. Survei Upah Studi kerja sama merekomendasikan serta mengujicobakan agar survei upah untuk keperluan EWS kemiskinan kabupaten/kota mencakup pekerja atau buruh sektor formal maupun informal. Data pekerja sektor formal direkomendasikan untuk dikumpulkan melalui model survei upah buruh, sedangkan data pekerja sektor informal dikumpulkan secara tidak langsung melalui survei harga produsen sebagaimana dibahas sebelumnya. a. Sektor Formal Hasil evaluasi dan kunjungan lapangan menegaskan bahwa bagi mayoritas penduduk di lima kabupaten terpilih peranan sektor informal sebagai sumber pendapatan sebenarnya jauh lebih penting daripada sektor formal. Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa sektor formal tidak penting sebagaimana ditunjukkan oleh data yang tersedia. Survei upah yang direkomendasikan adalah penyederhanaan dari SUB yang selama ini berlangsung. Model survei itu dinilai relevan dengan kemiskinan karena upah buruh yang ditanyakan terfokus pada buruh sektor konstruksi yang berstatus di bawah mandor. Dalam uji coba, sampel perusahaan menggunakan berbagai sumber data (kerangka sampel) antara lain Survei Industri 2001 (yang dinilai paling lengkap), Survei Hotel 2002, Direktori Perdagangan 2002, dan sumber data lain yang relevan. Sampel perusahaan yang terpilih, seperti diduga, bervariasi antar-kabupaten dilihat dari jumlah maupun jenis usaha.

280

b. Sektor Informal Seperti disinggung sebelumnya, data pekerja sektor informal di suatu kabupaten diperoleh dari model survei harga produsen untuk tanaman pangan dan tanaman perkebunan dengan menanyakan data upah untuk beberapa jenis pekerjaan sektor informal seperti menanam, membajak, mencangkul, menyiangi dan memanen. Untuk kelima jenis pekerjaan itu diajukan pertanyaan mengenai upah sebagai bagian dari ongkos produksi yang dikeluarkan petani produsen. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa cakupan survei dapat diperluas dengan mencakup sub-lapangan usaha peternakan, perikanan, manufaktur dan pertambangan (khusus untuk garam). Selain itu, hasil studi itu menunjukkan dua hal berikut: Cakupan komoditi bervariasi antar-kabupaten sampel. Subsektor perikanan, misalnya, hanya relevan ditanyakan di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Trenggalek, tetapi tidak relevan di tiga kabupaten lainnya. Sampel perusahaan industri dan pertambangan di kabupaten terpilih sebagian besar merupakan perusahaan rumah tangga sehingga lebih sesuai untuk didekati melalui survei rumah tangga, bukan melalui pendekatan survei perusahaan (seperti halnya SUB).

V. Hasil Uji coba Rancangan Baru Rancangan survei baru sebagaimana didiskusikan pada bagian sebelumnya diujicobakan di enam kabupaten terpilih (termasuk Kabupaten Demak yang melakukan kegiatannya atas biaya sendiri). Hasil uji coba selanjutnya didiseminasikan melalui press release oleh Pemda masing-masing. Materi press-release sudah tentu sesuai dengan tujuan TA 3841 yaitu menyediakan informasi yang bersifat dini untuk memantau perkembangan kesejahteraan rakyat di tingkat kabupaten/kota dengan cara memantau pendapatan dan beban hidup kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Pemantaun terhadap jalannya press-release di masing-masing kabupaten menunjukkan bahwa materi press-release pada umumnya

281

dapat dipahami secara memadai oleh pemangku kepentingan (Pemda, dinas-dinas terkait, media massa, DPRD, dsb) yang hadir. Di beberapa kabupaten, khususnya di Kabupaten Trenggalek, beberapa peserta memperlihatkan antusias mereka dan bahkan menuntut agar pengumpulan data sistem EWS ini dapat dilakukan setiap bulan selain juga, jika mungkin, memperluas cakupan materi survei. Respon ini tentu saja menggembirakan tetapi tuntutan semacam itu tentu saja tidak dapat dilaksanakan dilihat dari sisi kesibukan BPS kabupaten. 5.1 Indeks Harga Konsumen Salah satu materi press-release adalah indeks harga konsumen sebagai suatu instrumen untuk memantau beban hidup kelompok masyarakat berpendapatan rendah di masing-masing kabupaten. Hasil evaluasi terhadap hasil uji coba menunjukkan bahwa IHK di kabupaten terpilih yang dikembangkan melalui sistem ini secara konsisten lebih tinggi daripada IHK di propinsi yang bersangkutan atau di kabupaten/kota di mana sistem IHK konvensional dijalankan. Sebagai ilustrasi IHK Kabupaten Trenggalek jauh lebih tinggi dan lebih fluktuatif daripada IHK perkotaan Kediri (kota terdekat dari Kabupaten Trenggalek yang menjadi salah satu representasi Propinsi Jawa Timur dalam penghitungan inflasi nasional). Dengan asumsi bahwa tingkat dan pola konsumsi masyarakat di kedua wilayah itu setara, fakta itu menunjukkan bahwa perkembangan konsumsi masyarakat berpendapatan rendah jauh lebih cepat dan berfluktuatif daripada perkembangan konsumsi masyarakat secara keseluruhan. Dinyatakan secara lebih sederhana, beban biaya hidup kelompok masyarakat berpendapatan rendah naik lebih cepat dibandingkan beban hidup masyarakat secara keseluruhan. Implikasinya jelas: IHK khusus bagi kelompok masyarakat rendah (sebagaimana ditunjukkan oleh IHK Trenggalek) diperlukan karena tidak terefleksikan secara memadai dalam IHK konvensional (sebagaimana ditunjukkan oleh IHK Kediri). Gambar 5.1 dan Tabel 5.1 menunjukkan hal itu secara jelas.

282

Grafik 5.1 Inflasi Kabupaten Trenggalek dan Kota Kediri, Keadaan Triwulan IV-2004 s/d Triwulan II-2005
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 Triwulan IV-2004 Triwulan I-2005 Trenggalek Kediri Triwulan II-2005

Tabel 5.1.

Perkembangan Inflasi Triwulanan Kabupaten Trenggalek dan Kota Kediri, Triwulan IV-2004 s/d II-2005 Kabupaten Trenggalek 9,4 8,2 2,9 29,2 Kota Kediri 3,4 3,1 0,6 7,1

Triwulan Triwulan IV-2004 Triwulan I-2005 Triwulan II-2005 Kumulatif

Tabel 5.1. menunjukkan bahwa secara kumulatif inflasi selama satu tahun (dari Oktober 2004 sampai dengan Juni 2005) di Kabupaten Trenggalek (=29.2%) lebih besar dari inflasi di Kota Kediri (=7.1%), fakta yang menunjukkan perbedaan pola kenaikan hargaharga di dua wilayah itu padahal letak kedua wilayah tersebut berdekatan dan transportasi antar-wilayah dinilai cukup lancar. Dengan kata lain, inflasi Kota Kediri tidak relevan apabila digunakan untuk memantau perkembangan beban hidup masyarakat untuk Kabupaten Trenggalek, khususnya masyarakat kelas bawah.

283

5.2 Indeks Harga Produsen Sebagaimana didiskusikan pada bagian terdahulu, indeks harga produsen (IHP) yang dikembangkan melalui proyek kerja sama ini dimaksudkan sebagai instrumen untuk memantau perkembangan kesejahteraan masyarakat kelas bawah dari sisi pendapatan. Indeks ini dihitung berdasarkan perkembangan pendapatan nominal dan riil dari kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat kelas bawah di berbagai sektor usaha. Untuk Kabupaten Trenggalek, misalnya, kegiatan usaha yang terbukti relevan bagi kelompok berpendapatan rendah adalah subsektor tanaman pangan (petani gabah, jagung pipilan, ketela pohon, dan pisang), subsektor perkebunan (petani kelapa, cengkeh, dan sengon), subsektor peternakan (peternak kambing, ayam, dan sapi perah), sektor perikanan (ikan tongkol, kembung, dan tenggiri) dan sektor industri (industri genteng dan anyaman bambu). Tabel 5.2 memberikan ilustrasi bagaimana IHP jauh lebih berfluktuatif di Kabupaten Terenggalek dari pada IHP Jawa Timur secara keseluruhan. Fakta ini kembali menegaskan arti IHP khusus bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang tidak terefleksikan dalam IHP umum. Tabel 5.2. Pertumbuhan Indeks Harga produsen Kabupaten Trenggalek dan Propinsi Jawa Timur, Triwulan IV2004 s/d II-2005 Triwulan Triwulan IV-2004 Triwulan I-2005 Triwulan II- 2005 Kumulatif Kab. Trenggalek 4,2 -1,7 3,1 5,6 Prov. Jawa Timur 3,6 4,1 3,8 11,5

Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa secara kumulatif selama setahun (dari Juli 2004 sampai dengan Juni 2005) pertumbuhan IHP dari Triwulan IV2005 ke Triwulan II-2005 di Kabupaten Trenggalek meningkat sebesar 5,6 persen, lebih kecil daripada IHP Propinsi Jawa Timur sebesar 11,5 persen. Secara riil (setelah ditimbang dengan IHK masing-masing), pertumbuhan IHP Kabupaten Trenggalek sekitar -18,2, sementara

284

pertumbuhan IHP Propinsi Jawa Timur sekitar 4,1 persen. Ini berarti tingkat pendapatan masyarakat kelas bawah di Kabupaten Trenggalek selama setahun terakhir (Juli 2004 sampai dengan Juni 2005) turun sekitar 18,2 persen. 5.3 Indeks Upah Seperti halnya IHP, indeks upah dimaksudkan untuk memantau taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah dari sisi pendapatan. Tetapi berbeda dengan IHP, indeks upah mengukur pendapatan dari sisi upah yang diterima masyarakat dari pekerjaannya sebagai buruh, baik sebagai buruh formal maupun informal. a. Sektor Formal Hasil uji coba menunjukkan bahwa secara umum upah buruh formal kelompok masyarakat berpendapatan rendah cenderung naik secara nominal tetapi tidak mengalami kenaikan berarti secara riil (yakni setelah dideflasikan dengan IHK). Sektor usaha di mana kelompok masyarakat itu bekerja sebagai buruh berbeda antar-kabupaten terpilih. Untuk Kabupaten Trenggalek, misalnya, sektor usaha itu mencakup industri dan pertambangan, perhotelan dan industri, perdagangan dan konstruksi. Untuk kasus Trenggalek Tabel 5.3 memperlihatkan perkembangan upah buruh sektor formal selama kurun waktu setahun terakhir (Juli 2004 sampai dengan Juni 2005). Pada tabel itu tampak bahwa secara nominal upah buruh sektor formal di Kabupaten Trenggalek selama setahun terakhir meningkat pada sektor perdagangan dan konstruksi, namun demikian menurun pada sektor industri/perdagangan dan perhotelan/restoran. Dilihat secara riil (setelah dideflasikan dengan IHK), upah buruh sektor formal menurun di semua jenis upah selama setahun terakhir. Gambar 5.2 mendemontrasikan hal itu secara jelas. Pola perkembangan upah buruh formal di lima kabupaten sampel lainnya kira-kira serupa dengan yang ditunjukkan oleh kasus Kabupaten Trenggalek. b. Sektor Informal Hasil uji coba memperlihatkan bahwa pola perkembangan upah buruh informal di enam kabupaten terpilih serupa dengan upah buruh formal; yakni, cenderung naik secara nominal, tetapi cenderung tetap atau bahkan menurun secara riil. Hal ini ditunjukkan oleh kasus Kabupaten Trenggalek sebagaimana tampak pada Tabel 5.4 dan Gambar 5.3.

285

Tabel 5.3 Rata-rata Upah Sektor Formal di Kabupaten Trenggalek, Triwulan IV-2004 s/d Triwulan II-2005
Triwulan III-2004 Nominal 1. Industri dan Pertambangan 2. Perhotelan dan Restoran 3. Perda-gangan 4. Konstruksi Riil Nominal Triwulan IV-2004 Riil Triwulan I-2005 Nominal Riil Triwulan II-2005 Nominal Riil
986.575

Jenis Kegiatan

1.319.489 1.319.489 1.319.489 1.205.894 1.094.821

905.784 1.274.655

306.667

306.667 306.667

280.266

304.000

251.510

304.167

235.423

253.205

253.205 253.205

231.407

256.410

212.137

269.231

208.383

527.915

527.915 636.204

581.433

593.343

490.893

601.034

465.197

Gambar 5.2 Rata-rata Riil Upah Buruh Sektor Formal Kabupaten Trenggalek, Triwulan III-2004 s/d II-2005
1.408.000 1.208.000 1.008.000 808.000 608.000 408.000 208.000 8.000 Triwulan III-2004 Triwulan IV-2004 Triwulan I-2005 Triwulan II-2005

Industri & Pertambangan Perdagangan

Perhotelan & Restoran 4. Konstruksi

286

Tabel 5.4 Rata-rata Upah Sek tor Informal di Kabupaten Trenggalek, Triwulan III-2004 s/d Triwulan II-2005
Triwulan Jenis Kegiatan III-2004 Nominal Usaha Tanaman Pangan 1. Upah Mencangkul 2. Upah Menanam 3. Upah Merambet 4. Upah Memanen 5. Upah Membajak Usaha Perkebunan 1. Upah Mencangkul 2. Upah Menanam 3. Upah Merambet 4. Upah Memanen Usaha Peternakan 1. Upah Pemeliharaan Usaha Perikanan 1. Upah Penangkapan
10.000 10.000 10.000 9.139 10.000 8.273 10.000 7.740 7.800 7.800 8.300 7.585 9.125 7.549 9.125 7.063 22.000 15.000 20.250 18.465 22.000 15.000 20.250 18.465 22.000 15.000 18.250 17.667 20.106 13.709 16.679 16.146 23.000 15.000 19.000 18.722 19.029 12.410 15.719 15.490 24.000 17.500 19.875 16.125 18.576 13.545 15.383 12.481 16.238 16.238 15.952 16.169 19.111 29.889 15.952 16.169 19.111 29.889 16.167 15.810 16.074 19.111 31.083 14.775 14.448 14.690 17.466 28.407 16.667 15.952 16.352 19.222 32.889 13.789 13.198 13.528 15.903 27.210 16.786 16.298 16.604 21.048 39.303 12.992 12.614 12.851 16.291 30.420

Triwulan IV-2004 Nominal Riil

Triwulan I-2005 Nominal Riil

Triwulan II-2005 Nominal Riil

Riil

Gambar 5.3 Rata-rata Upah Buruh Riil Usaha Tanaman Pangan Kabupaten Trenggalek, Triwulan III-2004 s/d II-2005 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 T III-2004 T IV-2004 T I-2005 T II-2005

Upah Mencangkul Upah Merambet Upah Membajak

Upah Menanam Upah Memanen

287

VI. Kesimpulan Sistem EWS kemiskinan yang dikembangkan melalui proyek studi kerja sama BPS-ADB ini menunjukkan bahwa untuk memantau perkembangan kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah diperlukan modifikasi karena tidak direfleksikan secara memadai oleh indeks-indeks harga konsumen, harga produsen dan upah yang konvensional. IHK, IHP dan indeks upah yang dirancang khusus untuk kelompok masyarakat itu, tiga komponen EWS yang dibangun, terbukti relevan untuk keperluan pemantauan yang dimaksud. (Atau, dinyatakan secara berbeda, indeks-indeks konvensional tidak relevan jika digunakan untuk memantau kelompok masyarakat marjinal, dalam jangka pendek). Data hasil uji coba memberikan indikasi kuat bahwa di enam kabupaten perkembangan konsumsi masyarakat berpendapatan rendah cenderung lebih berfluktuasi dibandingkan dengan perkembangan biaya hidup masyarakat secara keseluruhan sebagaimana ditunjukkan oleh indeks harga konsumen. Pendapatan kelompok masyarakat itu, diukur dengan IHP dan indeks upah yang relevan, secara nominal cenderung meningkat tetapi secara riil cenderung tetap bahkan menurun untuk beberapa kasus.

288

Lampiran 1a

A.1.3

IHK-Perkotaan

BADAN PUSAT STATISTIK ASIAN DEVELOPMENT BANK

SURVEI HARGA KONSUMEN Daftar Harga Konsumen Barang Kebutuhan Rumah Tangga

PT. SIGMA SARANA

Petunjuk :Pencacahan harga konsumen dengan daftar ini dilaksanakan setiap triwulan

I. Keterangan Pencacahan Propinsi Kabupaten Kecamatan Desa/Kelurahan : JAWA TIMUR : TRENGGALEK

: : : : :
: 1 / 2 / 3 / 4

Wilayahpencacahanadalahpasar yang telah ditentukan dan tempat perbelanjaan di sekitarnya.

Pasar Tanggal Tahun Triwulan

II. Keterangan Petugas Harga yang dilaporkanadalah harga dalam satuan standard. Harga dalam satuan setempat agar dikonversikan ke dalam satuan standard. 1. Nama & Tanda tangan Pencatat 2. Jabatan/NIP Pencatat 3. Nama & Tanda tangan Pengawas 4. Jabatan/NIP Pengawas III. CATATAN

289

IV. NO
[1]

NAMA JENIS BARANG


[2]

KUALITAS/ MERK
[3]

SATUAN
[4]

HARGA (Rp) Responden 1


[5]

Responden 2
[6]

Responden 3
[7]

Beras

IR 64 Super Bengawan

Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kemas Kg Bata Kemas Butir Butir Potong Kg Kg Kg Bungkus Bungkus Bungkus Bungkus Helai Helai Pasang Pasang Buah Buah Kemas Kemas Kemas Kemas Kemas Kemas Strip Strip Buah Buah Liter

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Bawang Merah Cabe Rawit Bawang Putih Tongkol Diawetkan Minyak Goreng Gula Pasir Garam Kelapa Tempe Kopi (bubuk, biji) Teh Rokok Kretek Filter Pakaian Jadi Alas Kaki Sabun Mandi Sabun Cuci

Besar Kecil Merah Segar Hijau Segar Besar Sedang Teropong Sisik Curah Bimoli 1 Kg SHS Bata.Gr Segitiga Halus Besar, dikupas Sedang, dikupas Iris Bungkus BBL BBA 99 Minang Cempaka Light Jarum 76 Kempen Pria Katun Kempan Pria Sersin Sandal, Swallow Sandal, Lily GIV Lifebuoy Rinso 40 Gr Soklin 40 Gr Wing's Biru 400 Gr Ekonomi 400 Gr

18 19

Bedak Obat Ringan

Viva Skiva Bodrex Ultra Flu

20 21

Buku Tulis Minyak Tanah

Sidu 38 Lbr Sidu 58 Lbr Eceran

290

Lampiran 1b:

A.1.4

HK-Desa
BADAN PUSAT STATISTIK ASIAN DEVELOPMENT BANK

SURVEI HARGA KONSUMEN Daftar Harga Konsumen Barang Kebutuhan Rumah Tangga

PT. SIGMA SARANA

Petunjuk : Pencacahan harga konsumen dengan daftar ini dilaksanakan setiap triwulan

I. Keterangan Pencacahan Propinsi Kabupaten Kecamatan : JAWA TIMUR : TRENGGALEK :

Desa/Kelurahan :
Wilayahpencacahanadalah pasar yang telah ditentukan dan tempat perbelanjaan di sekitarnya.

Pasar Tanggal Tahun Triwulan

: : : : 1 / 2 / 3 / 4

II. Keterangan Petugas


Harga yang dilaporkan adalah harga dalam satuan standard. Harga dalam satuan setempat agar dikonversikan ke dalam satuan standard. 1. Nama & Tanda tangan Pencatat 2. Jabatan/NIP Pencatat 3. Nama & Tanda tangan Pengawas 4. Jabatan/NIP Pengawas

III. CATATAN

291

IV. NO
[1]

NAMA JENIS BARANG


[2]

KUALITAS/ MERK
[3]

SATUAN
[4]

HARGA (Rp) Responden 1


[5]

Responden 2
[6]

Responden 3
[7]

Beras

IR 64 Super IR 64 Biasa

Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Kg Botol Kg Bata Kemas Butir Butir Potong Kg Kg Kg Bungkus Bungkus Ons Ons Helai Helai Pasang Pasang Buah Buah Kemas Kemas Kemas Kemas Strip Strip Buah Buah Pikul Liter

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Bawang Merah Cabe Rawit Tongkol Diawetkan Minyak Goreng Gula Pasir Garam Kelapa Tempe Kopi (bubuk, biji) Rokok Kretek Filter

Sedang Kecil Hijau Segar Campur Segar Tongkol Sisik Oliin (Curah) Bimoli 1 Liter SHS Bata Grasak Besar Dikupas Sedang dikupas Iris Bungkus Dongko, Baik Dongko, Sedang Retjo Pentung Jarum 76

12 13 14 15 16

Tembakau Pakaian Jadi Alas Kaki Sabun Mandi Sabun Cuci

Ampenan Kraksan Kemaja Katun Pria Kemeja Sersin Pria Sandal, Swallow Sandal, Lily GIV Sehat Rinso 40 Gr Soklin 40 Gr Wing's Biru 400 Gr Ekonomi 400 Gr

17 18 19 20

Obat Ringan Buku Tulis Kayu Bakar Minyak Tanah

Bodrex Ultra Flu Sidu 38 Lbr Sidu 58 Lbr Campuran, 40 Kg Eceran

292

Lampiran 2

ASIAN DEVELOPMENT BANK

BADAN PUSAT STATISTIK

PT. SIGMA SARANA

SURVEI HARGA PRODUSEN


HP-PIK
PETUNJUK : > Pencacahan Harga Produsen dilakukan setiap triwulan pada bulan pencacahan.

I. KETERANGAN PENCACAHAN 3 5 1. Propinsi JAWA TIMUR


TRENGGALEK

> Harga yang dilaporkan adalah harga dalam 2. Kabupaten satuan standar dari hasil produksi yang dijual pada bulan pencacahan. > Harga dalam satuan setempat dikonversi ke satuan standar. 3. Kecamatan 4. Tanggal 5. Triwulan

03

II. KETERANGAN PETUGAS


1. Nama & Tanda Tangan Pencacah 2. Jabatan/NIP Pencacah 3. Nama & Tanda Tangan Pengawas 4. Jabatan/NIP Pengawas

III. CATATAN

293

IV. HARGA PRODUSEN Nama Barang


(1)

Kualitas
(2)

Satuan
(3)

Kode Kualitas
(4)

Harga (Rp) Responden 1 Responden 2 Responden 3


(5) (6) (7)

I. PERTANIAN A. TANAMAN PANGAN 1. Gabah

a. GKP b. GKG c. Beras

Kg Kg Kg Kg Kg Butir Kg Gelondongan Ekor Kg Liter

110101 110102 110103 110201 110301 120101 120801 121001 130501 130601 130701

2. Jagung pipilan 3. Ketela Pohon 1. Kelapa 2. Cengkeh 3. Sengon C. PETERNAKAN 1. Kambing 2. Ayam 3. Susu Perah D. PERIKANAN Produksi TPI (Ton) 1. Tongkol 2. Kembung 3. Tenggiri 4. Cumi 5. Selar 6. . TOTAL II. INDUSTRI/ PERTAMBANGAN 1. Genteng 2. Anyaman Bambu

Kering

Tidak Pahit B. PERKEBUNAN/KEHUTANAN Tua, dikupas Kering Siap Tebang Dewasa Ras potong Murni

Segar Segar Segar, Segar, sedang Segar Segar

Kg Kg Kg Kg Kg Kg

140101 140201 140301 140401 140501 .

Plentong Tampah, besar

Buah Buah

210501 210601

Va. UPAH BURUH TANAMAN PANGAN Jenis Kegiatan


(1)

Kualitas
(2)

Satuan
(3)

Kode Jasa
(4)

Upah (Rp) Responden 1 Responden 2 Responden 3


(5) (6) (7)

1. Mencangkul 2. Menanam 3. Merambet 4. Memanen 5. Membajak

a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan Borongan

Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari 2

510101 510102 510201 510202 510301 510302 510401 510402 510501

294

Vb. UPAH BURUH DAN PERKEBUNAN Jenis Kegiatan


(1)

Kualitas
(2)

Satuan
(3)

Kode Jasa
(4)

Upah (Rp) Responden 1 Responden 2 Responden 3


(5) (6) (7)

1. Mencangkul 2. Menanam 3. Merambet 4. Memanen

a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan

Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari

520101 520102 520201 520202 520301 520302 520401 520402

Vc. UPAH BURUH PETERNAKAN Nama Barang


(1)

Kualitas
(2)

Satuan
(3)

Kode Jasa
(4)

Upah (Rp) Responden 1 Responden 2 Responden 3


(5) (6) (7)

1. Pemeliharaan 2. Pemerahan 3. Mencari Rumput

a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan

Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari Orang/Hari

530101 530102 530201 530202 530301 530302

Vd. UPAH BURUH PERIKANAN Nama Barang


(1)

Kualitas
(2)

Satuan
(3)

Kode Jasa
(4)

Upah (Rp) Responden 1 Responden 2 Responden 3


(5) (6) (7)

1. Penangkapan 2. Sortir

a. Laki-laki b. Perempuan a. Laki-laki b. Perempuan

1 trip = .. Hari 1 trip = .. Hari

540101 540102 540201 540202

Orang/Hari Orang/Hari

VI. KETERANGAN RESPONDEN


NAMA RESPONDEN
(1)

NAMA DESA
(2)

KOMODITAS YANG DIHASILKAN


(3)

295

LAMPIRAN 3
Rahasia

SUB-1
SATU ASLI UNTUK BPS KAB SATU ARSIP PERUSAHAAN

ASIAN DEVELOPMENT BANK


Tgl Akan Diambil Bulan Tahun

BADAN PUSAT STATISTIK

PT. SIGMA SARANA

Prop

Kab

Kode Perusahaan Kec Sektor

No.Urut

Bulan

Tahun

BLOK I. KETERANGAN IDENTITAS PERUSAHAAN


1. Nama perusahaan: .. 2. Alamat perusahaan/unit produksi . Kec.:.... Tilp.:.. Fax:. Email:. DIISI BPS KAB

3. (a) Produk utama: . (b) Tahun mulai produksi:

BLOK II. UPAH/GAJI KARYAWAN PRODUKSI DI BAWAH TINGKAT PENGAWAS/MANDOR


SISTEM PEMBAYARAN RINCIAN (1) 1. PERIODE PEMBAYARAN DAN HARI KERJA UNTUK PERIODE PEMBAYARAN TERAKHIR BULAN PELAPORAN a. Periode pembayaran upah b. Jumlah hari kerja biasa pada pembayaran upah tersebut c. Jumlah hari kerja lembur pada hari libur selama periode pembayaran tersebut 2. Jumlah karyawan produksi di daftar gaji (Laki-laki+Perempuan) (ribuan rupiah) 3. a. Upah minimum karyawan produksi (ribuan rupiah) b. Upah maksimum karyawan produksi 4. JUMLAH UPAH/GAJI DAN TUNJANGAN YANG DIBAYARKAN KEPADA SEMUA KARYAWAN PRODUKSI DI BAWAH PENGAWAS/MANDOR a. Upah/gaji pokok atau upah kotor kalau tunjangan tetap tidak dapat dipisahkan b. Tunjangan lainnya yang dibayarkan dalam setiap periode pembayaran secara teratur dalam bentuk uang (Tidak termasuk THR, bonus tahunan/ semesteran/kuartalan, dan dalam bentuk natura) c. Upah lembur pada hari kerja biasa dan pada hari libur (ribuan rupiah) d. Jumlah (a+b+c) PERUSAHAAN DIHARAPKAN DAPAT MENYELESAIKAN PENGISIAN KUESIONER PALING LAMBAT 1 (SATU) MINGGU SETELAH DOKUMEN INI DITERIMA (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) (ribuan rupiah) MINGGUAN (2) BULANAN (3) LAINNYA

(4) DIISI BPS KAB

Tgl. .s.d..

Tgl.. s.d..

Tgl.s.d

(ribuan rupiah)

(ribuan rupiah)

(ribuan rupiah)

(ribuan rupiah)

(ribuan rupiah)

(ribuan rupiah)

Pernyataan:
"Data yang tercantum dalam daftar ini diisi dengan sebenarnya dan menurut keadaan yang sesungguhnya" Tanggal Pengisian: Pemberi Keterangan Nama : . Jabatan:..

Petugas Pengawas BPS

Petugas Pencacah BPS

_____________________________ Tanda Tangan dan Cap Perusahaan

_______________________ NIP: 34

________________________ NIP: 34

296

PENJELASAN PENGISIAN DAFTAR SUB-1 BLOK I. KETERANGAN IDENTITAS PERUSAHAAN 1. Nama perusahaan; tuliskan nama perusahaan dengan jelas menggunakan huruf capital (huruf besar) atau diketik 2. Alamat perusahaan/unit produksi; tuliskan alamat atau lokasi perusahaan/unit produksi dengan jelas termasuk nama kecamatan, nomor tilpon, nomor fax (jika ada) dan alamat email (jika ada) 3. (a) Jenis produk utama; tuliskan jenis produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Jika lebih dari satu produk yang dihasilkan, tuliskan yang jenis produk yang paling dominan (banyak). (b) Tahun mulai produksi; tuliskan tahun sejak perusahaan mulai menghasilkan produk. BLOK II. UPAH/GAJI KARYAWAN PRODUKSI DI BAWAH TINGKAT PENGAWAS/MANDOR 1. Karyawan Produksi adalah karyawan yang terlibat secara langsung dalam proses produksi diantaranya operator, pemeliharaan, pengolahan, perakitan, pengepakan, penggudangan, laboratorium, pesuruh di bagian produksi, dsb. 2. Tidak termasuk karyawan produksi antara lain: eksekutif, trucking, kredit, maintenance, pembelanjaan/penjualan, kantin, instalasi, keuangan, urusan pegawai, pembukuan, pemasaran, keamanan (security), klinik, product development dan sebagainya yang tidak berkaitan langsung dengan proses produksi. STATUS KARYAWAN a) Harian Lepas adalah status karyawan yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya. Kontrak adalah status karyawan yang dibayar berdasarkan kontrak kerja. b) Borongan adalah status karyawan yang dibayar langsung oleh perusahaan berdasarkan hasil kerja yang dihitung per satuan hasil, tidak termasuk karyawan borongan yang bekerja di rumah sendiri secara makloon. c) Harian Tetap adalah status karyawan yang dibayar berdasarkan jumlah hari kerjanya. Biasanya upah mereka terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap yang mungkin dapat dipisahkan sehingga kalau karyawan/pekerja absen, bisa dihitung potongan upahnya sesuai aturan yang berlaku.

297

d) Bulanan adalah status karyawan yang menerima upah/gaji pokok secara tetap setiap periode pembayaran (umumnya bulanan kecuali tunjangan-tunjangan dan perangsang lainnya yang tergantung jumlah hari kerjanya/jam kerja karyawan yang bersangkutan). Bila karyawan bulanan dibayar 2 kali atau lebih dalam sebulan tetap dimasukkan sebagai karyawan bulanan. SISTIM PEMBAYARAN (PAY ROLL) Sistim pembayaran didasarkan periode/jangka waktu pembayaran upah/gaji dan tunjangan teratur yang biasanya berlaku untuk berbagai kelompok karyawan produksi. Misalnya karyawan harian lepas atau harian tetap atau borongan dibayar mingguan atau dua minggu sekali. Karyawan bulanan dibayar bulanan. Diisi hanya untuk periode pembayaran yang ada di perusahaan, misalnya hanya ada karyawan mingguan maka hanya Kolom (2) yang perlu diisi. 1.a. Tuliskan periode pembayaran upah sesuai dengan sistim pembayaran pada Kolom 2, 3 dan 4. Semua keterangan yang diisikan hanya untuk 1 (satu) periode pembayaran pada bulan pelaporan yaitu yang terakhir pada bulan tersebut. Contohnya bila sistim pembayaran mingguan periode pembayaran upah dari tanggal 23 s.d 29, dua mingguan tanggal 16 s.d 29, dua kali sebulan tanggal 15 s.d 30 dan bulanan tanggal 1 s.d 30 sesuai bulan yang bersangkutan. b. Hari kerja biasa adalah hari-hari yang ada kegiatan kerja biasa selain hari libur yang dipakai untuk lembur. Hari minggu yang umumnya dipakai untuk bekerja shift/plug dimasukkan sebagai hari kerja biasa. Jam kerja seminggu adalah banyaknya jam kerja biasa/normal dalam satu minggu yang biasa digunakan untuk bekerja tidak termasuk jam istirahat/lembur.

c. Hari kerja lembur pada hari libur adalah banyaknya hari kerja pada hari Minggu, hari Besar dan hari Sabtu bagi perusahaan yang libur, yang dibayar dengan tarif lembur pada periode pembayaran di atas. 2. Tuliskan pada Rincian 2 jumlah seluruh karyawan produksi dibawah tingkat pengawas/mandor yang tercantum dalam daftar upah/gaji menurut periode pembayaran untuk masing-masing kolom yang sesuai. Banyaknya karyawan yang dimaksud bukan untuk setiap shift tetapi untuk seluruh shift.

298

3.a. Upah minimum adalah upah terendah (termasuk tunjangan teratur tetapi tidak termasuk upah lembur) yang dibayarkan kepada karyawan b. Upah maksimum adalah upah tertinggi (termasuk tunjangan teratur tetapi tidak termasuk upah lembur) yang dibayarkan kepada karyawan 4.a. Upah/gaji pokok adalah upah/gaji dasar sebelum ditambah dengan berbagai tunjangan dan perangsang tetap lainnya. Termasuk bila ada upah kotor yang tidak dapat dipisahkan antara upah pokok dan tunjangan teratur lainnya. Tidak termasuk upah/gaji antara lain: bonus yang dibayarkan tidak secara teratur, tunjangan lebaran/perkawinan/khitanan/ perumahan/ pakaian kerja, uang penggantian biaya sakit. 4.b. Tunjangan adalah penerimaan karyawan yang sifatnya rutin/teratur seperti makan, transpor dan beras. Tidak termasuk tunjangan seperti THR, bonus tahunan, kuartalan, semesteran, perlengkapan kerja dan tunjangan dalam bentuk natura (makanan, transpor, dll). 4.c. Upah Lembur adalah tambahan upah berupa uang yang dibayarkan perusahaan karena karyawan melakukan kegiatan kerja lembur.

299

Memantau dan Mengevaluasi Target-target Pembangunan Millenium dengan Indikator Pemantauan Pelayanan Kesehatan
(Dwi Retno WWU, S.Si) A. Survei Kesehatan Nasional I. Pendahuluan Studi mengenai pemetaan upaya-upaya pemantauan dan evaluasi kesehatan melalui indikator MDGS di Indonesia menjadi sangat penting dilakukan sebagai bagian dari peningkatan kesadaran banyak pihak tentang komitmen MDGs yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tahun 2000 lalu. Seperti diketahui MDGS dikembangkan berdasarkan falsafah bahwa pembangunan adalah pemenuhan hak-hak dasar manusia. MDGs juga menetapkan sasaran dan target yang harus dicapai masing-masing negara dalam upaya memenuhi hak-hak dasar penduduk di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup. Departemen kesehatan melalui Badan Litbangkes juga melakukan kegiatan mengukur kemajuan pencapaian tujuan MDGs melalui survei kesehatan nasional (Surkesnas). Surkesnas merupakan upaya mengintegrasikan survei-survei dengan lingkup nasional yang mengumpulkan data kesehatan seperti survei kesehatan rumah tangga (SKRT), Susenas dan survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI), untuk memenuhi kebutuhan informasi kesehatan secara optimal. Surkesnas merupakan komponen penting dari Sistem Informasi Kesehatan Nasional, dan dapat dipakai sebagai platform penyelenggaraan survei kesehatan dalam mendukung data kesehatan. Surkesnas dimulai tahun 2001 dan akan dilakukan berkesinambungan sebagai bagian dari sistem informasi kesehatan nasional dan digunakan untuk mengukur kemajuan berbagai tujuan dari Indonesia Sehat 2010 dan tujuan lain seperti MDGS dan WFFC (World Fit For Children). Surkesnas dianggap cukup efisien karena pengumpulan data dilakukan dengan cara mengintegrasikan sistem pengumpulan data yang sudah berjalan dan dengan nested design sehingga memungkinkan estimasi berbagai indikator pada tingkat kabupaten/kota. Karena itu Surkesnas merupakan sumber utama dalam menilai kinerja sistem kesehatan dan sumber utama dalam pengembangan benchmarking. Untuk daerah yang ingin mengembangkan survei sendiri maka tim teknis Surkesnas memfasilitasi penyelenggaraan survei kesehatan daerah (Surkesda). Keterlibatan daerah dalam Surkesnas memberikan pengalaman 297

aparat daerah melaksanakan survei. Saat ini hampir 50 persen propinsi di antaranya propinsi Kalbar, Kalteng, Kaltim, Papua, Aceh dan Jambi menyatakan siap untuk melakukan Surkesda. Khusus untuk Aceh, Surkesda dilakukan dengan fasilitas dan pendampingan secara penuh oleh pusat. Surkesda pada prinsipnya sama dengan Suseda pada Susenas, hanya kemudian diperluas dengan pertanyaan sesuai kebutuhan lokal. Surkesnas yang berkelanjutan dapat dikembangkan menjadi suatu bentuk sistem surveillans, misalnya untuk faktor risiko (behavioral risk factors surveillance system/BRFSS). Surkesnas juga dapat dijadikan wahana pengumpulan data khusus yang ditumpangkan (piggy back) pada komponen Surkesnas. Sebagai contoh survei Tb (Tuberculose) 2004 merupakan bentuk survei yang ditumpangkan pada SKRT 2004. II. Indikator/Goal Indikator Status Kesehatan (Umum) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) Angka harapan hidup Angka kematian bayi Angka kematian neonatal/post neonatal Angka kematian anak Angka kematian ibu Angka kematian kasar Angka kematian spesifik menurut umur Angka kematian spesifik menurut sebab (klasifikasi ICD 10) Angka fertilitas total (TFR) Angka fertilitas spesifik menurut umur (ASFR) Angka fertilitas untuk remaja

Indikator Status Gizi 12) Prevalensi berat badan rendah 13) Prevalensi anak pendek (stunted) 14) Prevalensi anak kurus (wasted) 15) Indeks masa tubuh (BMI) 16) Proporsi anak balita yang menderita anemia 17) Proporsi wanita usia 15-49 tahun yang menderita anemia 18) Proporsi ibu hamil yang menderita anemia 19) Angka prevalensi gondok (thyroid) 20) Angka prevalensi balita menderita bitotspot 298

Status Morbiditas 21) Angka prevalensi kesakitan menurut persepsi masyarakat 22) Angka prevalensi/insiden diare anak balita 23) Angka prevalensi ARI (Acute Respiratory Infection) 24) Angka prevalensi penyakit menular tertentu (pneumonia, tb, asma, COPD, ARI, diare, campak, typoid, dll) 25) Angka prevalensi penyakit tidak menular (hypertensi, stroke, jantung iskemik, dll) Impairment/Disability 26) Angka prevalensi kecacatan 27) Angka prevalensi disabilitas Faktor Risiko 28) Proporsi anggota rumah tangga (ART) umur 25 th+ dengan kolesterol >200 mg/dl 29) Proporsi ART umur 25 th+ dengan gula darah >180 mg/dl 30) Proporsi ART umur 25 th+ dengan rasio lingkar pinggang dan pinggul lebih dari 0,85 untuk laki-laki 31) Proporsi ART umur 25 th+ dengan rasio lingkar pinggang dan pinggul lebih dari 0,85 untuk perempuan Pelayanan Kesehatan 1) Persentase ART yang mengalami keluhan kesehatan yang memanfaatkan pelayanan/fasilitas kesehatan 2) Persentase ART yang mengalami keluhan kesehatan yang memanfaatkan pengobatan/fasilitas pengobatan tradisional 3) Persentase persalinan yang ditolong oleh petugas kesehatan 4) Persentase persalinan di fasilitas kesehatan 5) Rata-rata pengeluaran rt untuk rawat inap 6) Rata-rata pengeluaran rt untuk rawat jalan 7) Rata-rata hari inap di RS 8) Tingkat kepuasan pasien terhadap layanan rawat inap 9) Tingkat kepuasan pasien terhadap layanan rawat jalan 10) Persentase penduduk yang meninggal yang memanfaatkan layanan/fasilitas kesehatan selama sakitnya 11) Persentase kejadian kematian di fasilitas pelayanan kesehatan 12) Cakupan pelayanan antenatal 13) Cakupan pelayanan postnatal 14) Cakupan pelayanan perinatal 299

15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24)

Cakupan suplemen vitamin A Cakupan suplemen tablet Fe Angka prevalensi penggunaan alat kontasepsi Angka cakupan imunisasi TT Angka cakupan imunisasi DPT Angka cakupan imunisasi campak Angka cakupan imunisasi polio Angka cakupan imunisasi BCG Angka cakupan imunisasi hepatitis Angka cakupan imunisasi

Perilaku, Pengetahuan, Sikap Hidup Sehat 1) Penggunaan oral re-dehydration therapy (ORT) 2) Home management of diarhea 3) Pencarian pertolongan untuk ARI 4) Pengetahuan pencegahan HIV/AIDS 5) Pengetahuan miskonsepsi penularan HIV/AIDS 6) Pengetahuan penularan HIV dari ibu ke anak 7) Sikap terhadap penderita HIV/AIDS 8) Pengetahuan gejala PMS 9) Persentase penduduk 10 th+ yang tidak merokok 10) Prevalensi air susu ibu (ASI) ekslusif (bayi 0-4 bln) 11) Prevalensi Pengganti Air Susu Ibu (PASI) untuk bayi umur 6 bln + 12) Persentase ART mencari pengobatan modern untuk keluhan kesehatannya 13) Persentase ibu hamil mendapatkan ante natal care (ANC) memadai (K4, 5T) 14) Persentase persalinan ditolong petugas kesehatan 15) Persentase rumah tangga sadar gizi (kebutuhan kalori, protein, garam iodium) 16) Persentase anak balita mengunjungi/ditimbang di Posyandu 17) Persentase ART memiliki asuransi kesehatan/jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) 18) Persentase wanita kawin menggunakan cara kontrasepsi Lingkungan Sehat 19) Persentase rumah tangga akses pada air bersih 20) Persentase rumah tangga akses pada jamban saniter 21) Persentase rumah tangga tinggal dalam rumah sehat 300

III.

Metodologi Penghitungan Indikator

Metodologi penghitungan indikator secara umum menggunakan metode yang sudah baku. Khusus untuk penghitungan maternal mortality ratio (MMR), digunakan metode yang sedikit berbeda dengan yang dihitung BPS, walaupun menggunakan sumber data yang sama yaitu hasil SDKI, sehingga angka yang dihasilkan juga berbeda. MMR hasil penghitungan Litbangkes secara nasional di atas 500, sedangkan hasil BPS sekitar 307 pada tahun 2002-2003. Seperti diketahui dalam tujuan 5 MDGs yaitu meningkatkan kesehatan ibu, indikator yang digunakan adalah angka kematian ibu (MMR) dan persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih. Dalam Renstra Departemen Kesehatan Tahun 2005-2009 disebutkan bahwa salah satu tujuan pembangunan kesehatan adalah menurunkan angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100 000 kelahiran hidup dan dalam tujuan program upaya kesehatan masyarakat disebutkan meningkatkan cakupan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan menjadi 90 persen. Kembali pada cara pengukuran angka kematian ibu (AKI) yang dikenal sebagai salah satu indikator utama kesehatan ibu, terjemahan dari maternal mortality ratio (MMRatio), berbagai ukuran lain yang dapat pula digunakan sebagai indikator kesehatan ibu adalah maternal mortality rate (MMR), life time risk (LTR) dan proportion of maternal death of females of reproductive age (PMDF). Untuk menghitung berbagai ukuran kematian maternal tersebut diperlukan empat jenis data, yaitu 1) jumlah kematian maternal di masyarakat 2) jumlah kematian semua sebab pada wanita 15-49 tahun, 3) angka kelahiran (kasar dan total), dan 4) jumlah penduduk (total dan wanita umur reproduktif). MMRatio didefinisikan sebagai kematian maternal pada periode tertentu (biasanya 1 tahun) per 100 000 kelahiran hidup pada periode yang sama. Angka ini menggambarkan risiko kematian maternal di antara ibu hamil atau yang baru menyelesaikan kehamilan (risiko obstetrik). MMR didefinisikan sebagai kematian maternal dalam periode tertentu (satu tahun) per 100 000 ibu umur reproduksi (15-44 tahun atau 15-49 tahun). Angka ini mengukur dampak kematian maternal terhadap penduduk wanita umumnya, tidak terbatas pada ibu yang melahirkan. Antara MMR dan MMRatio ada hubungan yaitu, MMR tidak lain adalah perkalian antara MMRatio dengan angka fertilitas umum (general fertility rate, GFR) atau MMR=MMRatio x GFR. 301

LTR didefinisikan sebagai probabilitas seorang ibu selama menjalani hidupnya mempunyai risiko kematian karena maternal. Ukuran ini merefleksikan efek kumulatif risiko dari rata-rata suatu kehamilan dan jumlah kali rata-rata seorang ibu melahirkan terhadap risiko meninggal rata-rata wanita. Hubungan MMRatio dengan LTR diperlihatkan dari persamaan MMRatio=(1-(1-LTR) 1/TFR) x 100 000. PMDF disebut juga proportionate mortality ratio, didefinisikan sebagai persentase dari kematian karena sebab maternal terhadap kematian karena semua sebab untuk ibu umur reproduksi (15-44 tahun atau 15-49 tahun). Ukuran ini merupakan indikator penting kematian karena sebab maternal dibandingkan kematian karena sebab lain dalam rentang umur yang sama. IV. Sumber Data

Surkesnas merupakan upaya mengintegrasikan survei-survei dengan lingkup nasional, sehingga sumber data Surkesnas adalah SKRT (1972, 1980, 1985, 1992, 1995, 2001 dan 2004), Susenas, SDKI (1991, 1994, 1997, 2002-2003) dan survei lain (Supas, IFLS). Perjalanan dari SKRT ke Surkesnas adalah sebagai berikut. Dimulai dari SKRT yang berjalan sendiri (1972-1985) dengan cakupan hanya di 7 propinsi, dilanjutkan dengan pengintegrasian dengan Susenas (sejak 1992) di 27 propinsi dan ditingkatkan terpadu sebagai Surkesnas (mulai tahun 2001). SKRT merupakan survei kesehatan di masyarakat yang diselenggarakan terintegrasi dengan Susenas. Desain survei bersifat potong lintang (cross section). Metode pengumpulan data yaitu wawancara, pengukuran dan pemeriksaan darah dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Sampel SKRT merupakan subsampel dari sampel Modul Susenas dengan ukuran 10.000 rumah tangga yang dipilih secara sistematik. Berbeda dengan Susenas yang mampu memberikan gambaran untuk tingkat kabupaten/kota dan propinsi, maka sampel SKRT hanya mampu memberikan gambaran nasional dan kawasan. Pada SKRT 2004 responden terpilih adalah responden Modul Susenas 2004 dalam sampel SKRT 2004 (yang merupakan subsampel Modul Susenas 2004). Metode pengumpulan data SKRT 2004 adalah melalui wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan. Wawancara dilakukan dengan kuesioner terstruktur didukung dengan kartu/gambar (vignette). Pengukuran dan 302

pemeriksaan laboratorium menurut batasan umur tertentu digunakan dengan berbagai alat (yang selalu dicek dan ditera sebelum pengumpulan data). Pengukuran yang dilakukan adalah tekanan darah, tinggi badan dan berat badan. Tekanan darah dilakukan pada golongan 15 tahun atau lebih, untuk mengetahui prevalensi responden dengan tekanan darah >= 140/90 mmHg. Tinggi badan dan berat badan diukur untuk mengetahui balita yang stunting (TB/U), wasting (BB/U), dan underweight (BB/U), juga untuk mengetahui obesitas pada anak dan dewasa. Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dilakukan pada wanita usia subur, sedangkan pemeriksaan darah meliputi pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar gula darah puasa, dan kadar total kolesterol. Kadar hemoglobin darah diperiksa pada semua golongan umur, dengan menggunakan metode kertas saring yang langsung dibaca/dibandingkan dengan standar. Pemeriksaan standar Hb dimaksudkan untuk mengetahui prevalensi anemia. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan total kolesterol dilakukan pada golongan umur 25 tahun atau lebih, yaitu data yang dikumpulkan untuk mendapatkan prevalensi responden dengan hiperglikemia dan hiperkolesterolmia. Tenaga pengumpul data adalah tenaga kesehatan dari dinas kesehatan propinsi atau kabupaten, mahasiswa dan dosen. Jumlah tenaga pelaksana lapangan untuk seluruh sampel SKRT 2004 adalah sebanyak 75 tim. Setiap tim terdiri dari 4 orang yaitu dua orang pewawancara, satu orang pelaksana pengukuran serta pemeriksaan darah dan satu orang berfungsi sebagai supervisor/ketua tim. Pengumpul data minimal berpendidikan D3 kesehatan, sedangkan ketua tim minimal S1 kesehatan. Pengumpulan data SKRT dilakukan melalui tiga step: pertama wawancara, kedua pengukuran dan ketiga pengambilan spesimen, sehingga ethical clearence merupakan bagian penting yang tidak dapat ditinggalkan. Rekomendasi persetujuan etik penelitian kesehatan dimintakan kepada Komisi Etika Penelitian di Badan Litbangkes. Inform concent dimintakan kepada anggota rumah tangga yang menjadi subyek penelitian (survei): detil tindakan yang dilakukan oleh peneliti untuk pengambilan spesimen (darah), tujuan pengukuran (Hb, cholesterol, gula darah), kemungkinan akibat dari tindakan, memberikan informasi hasil tindakan, tindak lanjut tindakan kalau subyek dikategorikan menderita gangguan (anemia, cholesterol tinggi, gula darah tinggi). 303

V.

Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan

Surkesnas diselenggarakan sejak 2001, setiap putaran berlangsung tiga tahun dan dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai institusi. Pada tahun pertama adalah kegiatan pengumpulan data, tahun kedua analisis dan diseminasi laporan dan tahun ketiga adalah analisis lanjut. VI. Kuesioner survei terdiri dari kuesioner Kor Susenas, SKRT, dan SDKI dengan cakupan materi pertanyaan seperti yang dijelaskan pada penulisan indikator/goal pada tulisan yang sama. VII. Angka Indikator untuk 5 Kabupaten pada Tahun Terakhir (Bantaeng, Takalar, Bone, Polewali Mandar dan Mamuju) Karena survei ini diperuntukkan untuk mendapatkan angka nasional dengan jumlah sampel 10.000 rumah tangga maka yang dihasilkan dari survei ini tidak memungkinkan untuk menghitung indikator pada 5 kabupaten tersebut. B. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Seiring dengan perkembangan kebutuhan data kesehatan hingga tingkat kecamatan, maka Departemen Kesehatan berencana melakukan kegiatan riset kesehatan dasar (Riskesdas) atau baseline health research berbasis komunitas hingga di tingkat kecamatan. Kegiatan ini direncanakan dilakukan pada tahun 2007, sehingga hasilnya dapat diperoleh pada tahun 2008 dan bisa digunakan untuk menyusun rencana pembangunan tahun 2009-2013. Latar belakang pelaksanaan Riskesdas adalah perencanaan program di tingkat kabupaten pada era desentralisasi sangat membutuhkan data, sementara hasil survei yang berbasis populasi seperti Surkesnas (SDKI, Susenas, SKRT) yang selama ini dilakukan belum memadai untuk perencanaan kabupaten. Selain itu belum tersedianya peta status kesehatan (termasuk data biomedis) tingkat kabupaten. Riskesdas ini juga diharapkan dapat menyediakan informasi yang memadai untuk perencanaan dan evaluasi indikator MDGs tingkat kabupaten. Dengan latar belakang tersebut maka beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah menyediakan bahan bagi pemetaan masalah kesehatan antarkabupaten, mengintegrasikan berbagai survei/riset/studi di bidang kesehatan yang selama ini dilakukan secara terpisah dan sporadis, serta evidence based alokasi pembiayaan pemerintah pusat ke kabupaten. 304

Saat ini rencana pelaksanaan Riskesdas untuk keterwakilan data sebagai berikut:

Indikator Sampel Pola Mortalitas Perilaku Status Gizi Penyakit Menular PTM Disabilitas Biomedis Disain dan sampel untuk:

Keterangan 280.000 Nasional Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Propinsi

Potong lintang menggunakan kerangka sampel Kor Susenas Seluruh kabupaten di Indonesia (458 kab) Sampel riset adalah seluruh rumah tangga terpilih Besar sampel untuk data kesehatan umum adalah 18.000 BS atau 280.000 RT (13-128 BS/Kab) - Besar sampel untuk biomedis adalah 1 800 BS (10% dari BS kab) x 16 RT= 28 800 x 3 (2 dws, lk, pr dan balita), ART= 86 400 spesimen Riskesdas dilaksanakan sepenuhnya oleh Depkes dengan menggunakan sampel Susenas. Di mana pelaksanaan lapangan Riskesdas direncanakan setelah pelaksanaan pencacahan Susenas yaitu pada bulan Juni 2007. Jenis kuesioner yang digunakan: Kuesioner RT: - Pengenalan tempat, keterangan RT - Disabilitas - Manajemen pelayanan kesehatan - Pelayanan UKBM - Konsumsi makanan rumah tangga - Mortalitas 305

Kuesioner Individu I: - Penyakit (menular dan tidak menular) - Cedera dan kecelakaan - Fertilitas - Pengalaman kehamilan dan melahirkan terakhir - Deteksi dini kanker payudara - Berat bayi lahir, ASI eksklusif, MP ASI Kuesioner Individu II: - Pemantauan pertumbuhan balita - Imunisasi balita - Kesehatan mental - Pengetahuan sikap dan perilaku (diare, flu burung, merokok, buah-sayur, aktivitas fisik) - Ketanggapan pelayanan kesehatan (rawat jalan dan rawat inap) Biomedis: - Penyakit menular (dengue, TB, malaria, rubella, HIV, typhoid, PMS, CMV) - Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (DPT, campak, hepatitis) - Penyakit tidak menular/kronik degeneratif (DM, dislipidemia, thyroid, kardiovaskuler, thrombosis) - Kelainan gizi (anemia, KVA) - Penyakit kelainan bawaan (thalassemia) Agenda Pelaksanaan Tahun 2006 - Persiapan protokol, instrumen, prosedur sampling, pedoman - Advokasi dan sosialisasi - Uji coba telah dilakukan di Propinsi Jawa Barat, yaitu di Kabupaten Sukabumi dengan jumlah sampel 928 rumah tangga dan di Kabupaten Bogor dengan jumlah sampel 1184 rumah tangga Tahun 2007 - Pelaksanaan pengumpulan data - Pengolahan dan analisis data (sementara) Tahun 2008 - Laporan lengkap - Pemanfaatan informasi untuk perencanaan 2009-2013

306

RINGKASAN EKSEKUTIF

Departemen Kesehatan melalui Badan Litbangkes melakukan kegiatan mengukur kemajuan pencapaian tujuan MDGs melalui Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas). Surkesnas merupakan upaya mengintegrasikan survei-survei dengan lingkup nasional yang mengumpulkan data kesehatan seperti Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Susenas dan SDKI. Surkesnas dimulai tahun 2001 dan dilakukan berkesinambungan sebagai bagian dari sistem informasi kesehatan nasional dan digunakan untuk mengukur berbagai tujuan dari Indonesia Sehat 2010 dan tujuan lain seperti MDGs dan WFFC (World Fit for Children). Perjalanan dari SKRT ke Surkesnas adalah sebagai berikut. SKRT yang berjalan sendiri (1972-1985) dengan cakupan propinsi, dilanjutkan dengan pengintegrasian dengan Susenas di 27 propinsi dan ditingkatkan terpadu sebagai SURKESNAS 2001). Dimulai dari hanya di 7 (sejak 1992) (mulai tahun

Berbeda dengan Susenas yang mampu memberikan gambaran untuk tingkat kabupaten/kota dan propinsi, maka sampel SKRT hanya mampu memberikan gambaran nasional dan kawasan. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan data dasar kesehatan yang dapat menggambarkan indikator kesehatan minimal sampai tingkat kabupaten, Departemen Kesehatan melakukan kegiatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007. Riskesdas diharapkan mampu menyediakan peta status kesehatan (termasuk data biomedis) tingkat kabupaten dan mampu menyediakan informasi yang memadai untuk perencanaan dan evaluasi indikator MDGs tingkat kabupaten.

File: Final 15-0207

307

Daftar Pustaka

Litbangkes Depkes 2002. laporan SKRT 2001. _________Depkes 2004. SKRT 2004. Sudut pandang masyarakat mengenai Status, Cakupan, Ketanggapan, dan System Pelayanan Kesehatan. _________ Depkes 2006. Pedoman pengisian kuesioner; Riset Kesehatan Dasar Tahun 2006.

308

Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial untuk Pemantauan Target-target Pembangunan Milenium
(Mariet Tetty Nuryetty, MA) I. Pendahuluan Masalah kemiskinan saat ini merupakan fenomena sosial yang mendapat prioritas tinggi dari pemerintah dan masyarakat yang penanganannya perlu keterlibatan yang sangat serius dari semua pihak. Masalah ini cukup pelik untuk ditanggulangi karena mayoritas penduduk miskin termasuk dalam kategori kemiskinan kronis yang terjadi secara terus menerus (dikenal dengan istilah kemiskinan struktural). Selain itu cukup banyak penduduk yang mengalami kemiskinan sementara, yang disebabkan karena penurunan pendapatan dan kesejahteraan yang sifatnya sementara akibat dari bencana alam atau bencana sosial. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Departemen Sosial (Depsos) sebagai instansi sektoral yang terlibat langsung dalam penanganan masalah kemiskinan, dalam rencana strategisnya (renstra) mendefinisikan kemiskinan sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan dan interaksi sosial) yang ditandai dengan adanya pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Karena itu sangatlah beralasan bila kemiskinan dianggap sebagai akar penyebab timbulnya permasalahan kesejahteraan sosial seperti kecacatan, ketelantaran, dan ketertinggalan/keterpencilan dengan terbatasnya kemampuan masyarakat dalam mengakses sumber-sumber pelayanan sosial. Dalam renstranya Depsos memiliki program kemiskinan yang di antaranya adalah pemberdayaan fakir miskin, pemberdayaan komunitas adat terpencil (KAT), dan pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya. Keseluruhan program tersebut bertujuan untuk meningkatkan keserasian kebijakan publik, pengkajian strategi dan pelaksanaan program-program pembangunan dalam memberdayakan keluarga fakir miskin, KAT, keluarga dan perempuan rawan sosial-ekonomi. Sasaran programnya adalah kelompok masyarakat yang memiliki ketidakmampuan sosial-ekonomi atau rentan menjadi miskin termasuk keluarga fakir miskin, wanita rawan sosialekonomi dan warga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh.

II. Kegiatan Berkaitan dengan Kemiskinan Kemiskinan tidak lagi menjadi masalah nasional yang dihadapi setiap negara tetapi telah menjadi masalah internasional. Keprihatinan tentang kemiskinan kemudian diangkat pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) oleh 109 negara anggota PBB di New York pada September 2000. Konferensi ini menelurkan sebuah deklarasi yang dinamakan Milenium Development Goals (MDGs). MDGs menetapkan 8 tujuan pembangunan yang salah satunya adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan (Goal 1) dengan sasarannya (target 1) adalah menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US $1 per hari menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015. Berkaitan dengan masalah kemiskinan ini, Departemen Sosial telah meluncurkan program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan fakir miskin, KAT dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). 2.1.Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya Tujuan dari program ini adalah: a. Meningkatkan kesejahteraan keluarga fakir miskin; b. Mewujudkan kemandirian usaha sosial-ekonomi keluarga fakir miskin; c. Memberikan kemudahan akses modal usaha tanpa agunan bagi fakir miskin melalui lembaga keuangan mikro; d. Meningkatkan aksesibilitas keluarga fakir miskin terhadap pelayanan sosial dasar; e. Meningkatkan kondisi kualitas perumahan keluarga fakir miskin, dan f. Meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Sasaran a. Keluarga fakir miskin yang tidak mempunyai sumber mata pencaharian atau mempunyai mata pencaharian namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar serta tinggal di daerah hutan kemasyarakatan, perdesaan/pertanian, suburban, perkotaan, pesisir/ pantai, kepulauan terpencil dan perbatasan antar-negara.

b. Keluarga fakir miskin yang mengalami penurunan pendapatan dan kesejahteraan sementara sebagai akibat perubahan kondisi normal menjadi kritis seperti korban bencana alam, korban bencana sosial/korban konflik sosial, terkena pemutusan hubungan kerja dan masalah lainnya yang menyebabkan terhentinya penghasilan keluarga. Komponen Kegiatan a. Pengembangan usaha ekonomi produktif melalui kelompok usaha bersama (KUBE) untuk meningkatkan kemampuan mengakses sumber daya ekonomi, meningkatkan kemampuan usaha ekonomi, meningkatkan produktivitas kerja, meningkatkan penghasilan dan menciptakan kemitraan usaha yang saling menguntungkan. Kegiatannya dilaksanakan dalam bentuk pemberian fasilitas ekonomi atau bantuan modal usaha yang disalurkan kepada fakir miskin dengan pendekatan KUBE; b. Pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM)-KUBE Sejahtera untuk memecahkan masalah/kendala permodalan dan kebutuhan dana yang dihadapi KUBE fakir miskin; c. Rehabilitasi sosial daerah kumuh guna mendorong partisipasi warga masyarakat untuk peduli dan tetap memelihara kegotongroyongan serta kesetiakawanan sosial terhadap keluarga-keluarga fakir miskin di lingkungannya; d. Santunan hidup dan akses jaminan sosial melalui kegiatan pemberian bantuan sosial kepada keluarga fakir miskin guna memelihara taraf kesejahteraan sosialnya dalam jangka waktu sampai kegiatan usaha ekonomi produktif telah menghasilkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri; e. Pengembangan kemitraan sosial dalam penanggulangan kemiskinan untuk menumbuhkan jalinan kerja sama yang setara antarperorangan, kelompok, organisasi (PT, dunia usaha, LSM/Orsos, kalangan perbankan) dengan komitmen bekerja sama untuk mencapai tujuan penanggulangan kemiskinan; f. Pengembangan desa miskin/adopsi desa miskin, yang bertumpu pada pendekatan pengembangan masyarakat (community development); dan g. Manajemen pelayanan kesejahteraan sosial fakir miskin untuk meningkatkan profesionalisme pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin agar pelaksanaan program dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

Indikator Kinerja a. Meningkatnya taraf kesejahteraan keluarga fakir miskin dengan menjangkau 250.000 KK per tahun; b. Terbentuknya KUBE dengan kategori mandiri sebanyak 10%; c. Terbentuknya lembaga-lembaga keuangan mikro dengan kategori sehat dan mandiri dalam penyaluran modal usaha bagi KUBE fakir miskin sebanyak 5%; d. Berkurangnya jumlah pemukiman fakir miskin yang tidak layak huni; e. Meningkatnya aksesibilitas keluarga fakir miskin terhadap pelayanan sosial dasar; dan f. Meningkatnya kepedulian masyarakat (LSM/Orsos), pengusaha, pergurunan tinggi, kalangan perbankan dalam program penanggulangan kemiskinan. 2.2. Kegiatan Program Pemberdayaan Fakir Miskin, KAT, dan PMKS Lainnya

a. Penyusunan database program pemberdayaan fakir miskin Pada tahun 2005 Depsos melaksanakan penataan database program pemberdayaan fakir miskin, pengembangan sistem informasi dan standarisasi monitoring dan evaluasi. Untuk menyusun database diperlukan data. Pendataan ini didukung oleh pemerintah daerah seiring dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang efektif, efisien dan berkelanjutan. Hasil akhir dari kegiatan ini adalah penyusunan database program pemberdayaan fakir miskin per daerah yang digunakan untuk menentukan arah kebijakan, strategi dan rencana aksi daerah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, serta menentukan program/kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Tujuan penyusunan database adalah 1) Menyediakan informasi data makro tentang penanggulangan kemiskinan termasuk demografi, sosial-ekonomi, kemiskinan dan data program pemberdayaan fakir miskin,

2) Menyediakan informasi tentang kondisi fakir miskin, perkembangan KUBE, SDM pendamping, perkembangan LKM dan peran LSM/Orsos penanggulangan kemiskinan, 3) Menyediakan informasi tentang upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam menanggulangi kemiskinan, dan 4) Menyediakan informasi tentang rencana program yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. Sumber Data yang digunakan berasal dari: 1) BPS dan instansi terkait, 2) Penelitian/kajian yang dilakukan perguruan tinggi atau lembagalembaga penelitian, dan 3) Hasil laporan pendataan yang dilaksanakan dinas sosial (data mikro tentang sasaran program, data KUBE, data LKM, data pendamping, dan data LSM/Orsos). b. Evaluasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin Upaya yang dilakukan oleh Departemen Sosial melalui Program Bantuan Sosial Fakir Miskin berdampak pada penurunan jumlah fakir miskin dari tahun ke tahun, yaitu16,5 juta penduduk pada tahun 2002 turun menjadi 14,8 juta penduduk pada tahun 2004. Upaya yang dilakukan oleh Depsos melalui program pemberdayaan fakir miskin ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adalah pengembangan KUBE, LKM, dan kerja sama dengan dunia usaha, LSM dan instansi terkait. KUBE merupakan wadah anggota keluarga miskin untuk meningkatkan usaha ekonomi produktif secara berkelompok sehingga berbagai permasalahan usaha ekonomi dapat diatasi bersama. Upaya pemantauan pemberdayaan fakir miskin yang dilakukan oleh Depsos melibatkan para stakeholders dari unsur pemerintah, lembaga masyarakat, mitra usaha, dsb. sehingga tindakan koreksi untuk perbaikan dan penyempurnaan dapat segera dilakukan. Monitoring dilakukan oleh pengurus KUBE, pendamping KUBE dan LKM, pengelola LKM maupun para supervisor dari unsur pemerintah dan lembaga masyarakat atau pihak terkait. Data yang ada menunjukkan telah terjadi peningkatan jumlah KUBE dari sebanyak 7.198 kelompok pada tahun 2001, menjadi 15.615 pada tahun 2004. Pada tahun 2004 Depsos telah membuat replikasi

model terpadu KUBE dengan LKM di 9 propinsi, di mana modal usaha untuk fakir miskin dikelola oleh LKM secara profesional. Kegiatan ini menunjukkan hasil yang sangat baik dengan terkumpulnya dana swadaya masyarakat yang cukup besar. Aset LKM dari Desember 2004 sampai dengan Maret 2005 bertambah jumlahnya dalam bentuk penyertaan modal usaha dari Depsos sebagai akibat adanya dana swadaya dan tabungan masyarakat mampu serta dana simpanan KUBE fakir miskin. Dengan tersedianya dana Iuran Kesetiakawanan Sosial yang berasal dari KUBE fakir miskin akan meningkatkan kemampuan untuk pemberdayaan orang miskin, yang berarti orang miskin dapat menjadi pemberi bukan lagi peminta bantuan dari pemerintah. c. Penghitungan Indikator Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Metode Pengumpulan Data Untuk penghitungan indikator dimaksud diperlukan data yang akan dikumpulkan dari obyek yang termasuk dalam cakupan PMKS. Obyek pendataan adalah keluarga fakir miskin, penyandang cacat, penyalahgunaan NAPZA, eks narapidana, eks penderita penyakit kronis, anak dan lanjut usia terlantar, sedangkan teknik pengumpulan data melalui wawancara, diskusi, dan observasi. Variabel yang Dikumpulkan Ada 11 variabel yang diduga berkaitan dengan kualitas penyandang masalah kesejahteraan sosial yaitu: 1) Family Size. 2) Pendapatan/income. 3) Pemenuhan kebutuhan makan. 4) Pekerjaan. 5) Pendidikan. 6) Perumahan. 7) Sarana transportasi dan informasi. 8) Mortalitas. 9) Kesehatan. 10) Penggunaan waktu luang. 11) Kemampuan resolusi konflik dan masalah sosial.

Indikator yang dihasilkan 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) Jumlah tanggungan keluarga. Rata-rata kemampuan menabung per bulan. Frekuensi makan sehari-hari. Pola makan sehari-hari. Sifat pekerjaan kepala keluarga. Pendidikan tertinggi di lingkungan keluarga. Kemampuan keluarga untuk menyekolahkan anggota keluarganya. Status kepemilikan tanah dan bangunan. Kondisi rumah. Lampu penerangan rumah. Kondisi lantai. Kepemilikian sarana informasi. Kepemilikan sarana transportasi. Jumlah anggota keluarga yang meninggal dunia selama 5 tahun terakhir. Frekuensi sakit anggota keluarga setiap bulan. Pemeriksaan kesehatan kalau sakit. Biaya kesehatan keluarga. Frekuensi rekreasi bersama sebulan. Frekuensi konflik dalam rumah tangga selama 2 bulan terakhir. Kemampuan menyelesaikan konflik di lingkungan keluarga. Frekuensi konflik keluarga dengan tetangga selama 2 bulan terakhir. Kemampuan menyelesaikan konflik keluarga dengan tetangga. Jumlah anggota keluarga yang bermasalah sosial.

d. Pendataan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Pendataan dilakukan di 288 kabupaten dan 89 kota pada tahun 2004. Menurut Depsos, hingga saat ini terdapat 27 jenis PMKS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yaitu: 1) Anak balita telantar. 2) Anak telantar. 3) Anak korban tindak kekerasan/diperlakukan salah. 4) Anak nakal. 5) Anak jalanan. 6) Anak cacat.

7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19) 20) 21) 22) 23) 24) 25) 26) 27)

Wanita rawan sosial-ekonomi. Wanita korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah. Lanjut usia telantar. Lanjut usia korban tindak kekerasan/diperlakukan salah. Penyandang cacat. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis. Tuna susila. Pengemis. Gelandangan. Bekas narapidana. Korban penyalahgunaan NAPZA. Keluarga fakir miskin. Keluarga berumah tidak layak huni. Keluarga bermasalah sosial psikologis. Komunitas adat terpencil. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Korban bencana alam. Korban bencana sosial atau pengungsi. Pekerja migran terlantar. Penyandang HIV/AIDS. Keluarga rentan.

Untuk mengumpulkan data PMKS digunakan pendekatan survei. Melalui pendekatan survei, dikumpulkan data tentang 11 jenis PMKS yaitu: 1) Keluarga fakir miskin. 2) Keluarga berumah tidak layak huni. 3) Keluarga bermasalah sosial psikologis. 4) Keluarga rentan. 5) Balita telantar. 6) Anak telantar. 7) Anak cacat. 8) Penyandang cacat. 9) Penyandang cacat eks penderita penyakit kronis. 10) Wanita rawan sosial-ekonomi. 11) Lanjut usia telantar.

Teknik sampling yang digunakan dalam survei ini adalah stratified random sampling. Pendekatan kedua yaitu pendekatan kelembagaan dengan responden instansi sosial tingkat kabupaten/kota. Di lembaga ini dilakukan rekapitulasi oleh instansi sosial propinsi. Melalui pendekatan kelembagaan, ada 16 jenis PMKS yang dikumpulkan, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) Anak nakal. Anak jalanan. Anak korban tindak kekerasan/diperlakukan salah. Tuna susila. Gelandangan. Pengemis. Bekas narapidana. Wanita korban tindak kekerasan. Lanjut usia korban tindak kekerasan. Korban penyalahgunaan NAPZA. Penyandang HIV/AIDS. Korban bencana alam. Korban bencana sosial/pengungsi. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Komunitas adat terpencil. Pekerja migran telantar.

Hasil Pendataan PMKS Hasil pendataan PMKS dan PSKS (Tabel 1) menggambarkan bahwa dari 27 jenis PMKS yang dikumpulkan, keluarga fakir miskin merupakan masalah sosial yang paling banyak dialami oleh penduduk (14,8 juta jiwa). Masalah berikutnya yang perlu mendapat perhatian khusus, masih berkaitan dengan masalah kemiskinan, adalah rumah tidak layak huni yang menempati posisi kedua terbanyak setelah jumlah keluarga fakir miskin, yaitu sebanyak 6,5 juta rumah. Jenis PMKS yang menempati posisi ketiga terbanyak adalah anak telantar dengan jumlah 3,3 juta jiwa.

Tabel 1. Jumlah PMKS Tahun 2004 No. (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Anak Balita Telantar Anak Telantar Anak Korban Tindak Kekerasan/ Diperlakukan Salah Anak Nakal Anak Jalanan Anak Cacat Wanita Rawan Sosial-ekonomi Wanita Korban Tindak Kekerasan/ Diperlakukan Salah Lanjut Usia Telantar Lanjut Usia Korban Tindak Kekerasan Penyandang Cacat Penyandang Cacat Eks Penyakit Kronis Tuna Susila Pengemis Gelandangan Bekas Narapidana Korban Penyalahgunaan Narkotika Keluarga Fakir Miskin Korban Bencana Alam Korban Bencana Sosial /Pengungsi Pekerja Migran Telantar Jenis PMKS (2) Jumlah (3) 1.138.126 3.308.642 48.526 189.075 98.113 365.868 1.253.921 42.844 3.092.910 11.689 1.847.692 216.148 87.536 28.305 59.051 118.183 245.774 14.807.332 6.525.947 195.474 267.795 2.075.116 1.139.363 654.952 45.375 5.560 1.926.210

22 Penyandang HIV/AIDS 23 Rumah Tidak Layak Huni 24 Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis 25 Komunitas Adat Terpencil 26 Masyarakat yang Tinggal di Daerah Rawan Bencana 27 Keluarga Rentan
Sumber: Catatan:

Data & Informasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Satuan nomor 1-22 adalah jiwa Satuan nomor 23 adalah rumah Satuan nomor 24-27 adalah KK

Tabel 2 memperlihatkan jenis dan jumlah PMKS di 3 kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan, yaitu kabupaten Bantaeng, kabupaten Takalar, dan kabupaten Bone, serta 2 kabupaten di propinsi Sulawesi Barat, yaitu Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Polewali Mamasa. Jenis PMKS keluarga fakir miskin paling banyak dijumpai di kabupaten Polewali Mamasa di propinsi Sulawesi Barat (51,642 jiwa), rumah tidak layak huni paling banyak terdapat di Kabupaten Mamuju di propinsi Sulawesi Barat (14,367 rumah), dan jumlah anak telantar paling banyak terdapat di Kabupaten Bone (12,706 jiwa) di propinsi Sulawesi Selatan.

Tabel 2. Jumlah PMKS Tahun 2004

No. opinsi/Kabupaten (1) 1


(2) Sulawesi Selatan

ABT (3) 36.779

AT (4) 180.192

AKTK (5) 2.421

AN (6) 5.201

AJ (7)

AC (8)

WRSE (9) 64.982

WKTK (10) 1.795

LUT (11) 119.633

LUKTK (12) 334

PACA (13) 74.667

PACAEKS (14) 8.348

TS (15) 1.427

7.666 22.642

Kab. Bantaeng

1.153

4.189

48

254

275

275

1.651

96

1.609

14

1.292

267

42

Kab. Takalar

1.139

6.213

96

188

211

907

2.450

55

3.700

13

1.260

397

77

Kab. Bone

1.759

12.706

100

216

372

1.026

4.184

89

8.151

17

5.234

608

67

Sulawesi Barat

Kab. Mamuju

764

7.889

80

239

437

852

2.835

98

3.914

4.620

377

32

Kab. Polewali Mamasa

1.485

4.398

110

197

406

1.035

1.734

58

3.378

12

2.359

210

62

Indonesia

1.138.126 3.308.642 48.526 189.075 98.113 365.868 1.253.921 42.844 3.092.910 11.689 1.847.692 216.148

87.536

(Lanjutan)
No. (1) 1 Propinsi/ Kabupaten (2) Sulawesi Selatan Kab. Bantaeng Kab. Takalar Kab. Bone 2 Sulawesi Barat Kab. Mamuju Kab. Polewali Mamasa Indonesia PNGMIS GLDNGN (16) 359 9 11 13 20 13 (17) 1.782 73 59 61 81 88 NAPI NAPZA (18) (19) KFM (20) RTLH (21) KBSP (22) KAT (23) RWNBCN (24) KBA (25) KBS (26) 312 12 10 20 12 11 PMT (27) 23 HIV (28) 66 KLGRTN (29) 95.673 4.194 4.574 5.117 2.642 5.161

9.560 12.000 554.056 252.423 531 526 805 588 279 162 10.595 11.681 535 15.286 6.892

8.938 13.981 356 233 482 328 368 147 353 2.310

68.044 18.824 1.400 2.211 2.575 3.723 3.443 249 323 1.509 1.185 522

929 39.248 14.251 -

340 24.498 14.367 286 51.642 12.031

280.305

59.051 118.183 245.774

1.139.3 14.807. 6.525.9 654.952 45.375 195.474 267.795 2.075.116 63 332 47

5.560 1.926.210

Sumber: Data & Informasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Keterangan: ABT: Anak Balita Telantar, AT: Anak Telantar, AKTK: Anak Korban Tindak Kekerasan/ Diperlakukan Salah, AN: Anak Nakal, AJ: Anak Jalanan, AC: Anak Cacat, WRSE: Wanita Rawan Sosial-ekonomi, WKTK: Wanita Korban Tindak Kekerasan/Diperlakukan Salah, LUT: Lanjut Usia Telantar, LUKTK: Lanjut Usia Korban Tindak Kekerasan, PACA: Penyandang Cacat, PACAEKS: Penyandang Cacat Eks Penyakit Kronis,TS: Tuna Susila, PNGMIS: Pengemis, GLDNGN: Gelandangan, NAPI: Bekas Narapidana, NAPZA : Korban Penyalahgunaan Narkotika, KFM: Keluarga Fakir Miskin, RTLH: Rumah Tidak Layak Huni, KBSP: Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis, KAT: Komunitas Adat Terpencil, RWNBCN: Masyarakat yang Tinggal di Daerah Rawan Bencana, KBA: Korban Bencana Alam, KBS: Korban Bencana Sosial/Pengungsi, PMT: Pekerja Migran Telantar, HIV: Penyandang HIV/AIDS, KLGRTN: Keluarga Rentan.

Daftar Pustaka
Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, Departemen Sosial RI, 2006. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Direktorat Bantuan Sosial Fakir Miskin. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2005. Data dan Informasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) Tahun 2004. Departemen Sosial RI, 2005. Rencana Strategi Pembangunan Kesejaheraan Sosial 2004-2009. ____________________, 2005. Rencana Strategis Penanggulangan Kemiskinan Program Pemberdayaan Fakir Miskin Tahun 20062010. ____________________, 2005. Panduan Penyusunan Database Program Pemberdayaan Fakir Miskin (DP2-FM). Sekretariat Jenderal Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI, 2004. Indikator Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Ditinjau dari Mutu Kesejahteraan Sosial. Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial RI, 2006. Pedoman Pelaksanaan Pemberian Bantuan Dana Jaminan Sosial Bagi Penyandang Cacat Berat.

322

Indikator Keluarga Pasangan Usia Subur dan Pengetahuan tentang Keamanan Reproduksi Remaja dalam Survei-survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(Dr. I Made Arcana) I. PENDAHULUAN

Pada era otonomi seperti dewasa ini, ketepatan waktu laporan dari daerah ke pusat serta akurasi data hasil laporan rutin susah untuk dikontrol. Laporan peserta KB aktif dulu diperoleh melalui pengendalian lapangan. Tetapi sejak tahun 2004, laporan pengendalian lapangan tentang peserta KB aktif tersebut ditiadakan. Akibatnya laporan rutin peserta KB aktif tidak dapat diperoleh. Untuk itu maka dibuat suatu kegiatan survei berskala nasional yang representatif untuk tingkat propinsi dan kabupaten/kota yang dinamakan mini survei. Responden mini survei adalah wanita pasangan usia subur umur 15-49 tahun, sedangkan responden untuk indikator RPJM adalah keluarga dan remaja umur 15-24 tahun baik laki-laki maupun perempuan belum kawin. Mini Survei merupakan salah satu metode penelitian yang dikembangkan di Thailand oleh Center for Population and Family Health (CPFH) Columbia University untuk pengumpulan serta analisis data kuantitatif secara sederhana, murah dan cepat. Karena sifatnya yang cepat, maka variable yang dicakup dalam survei ini biasanya terbatas dan sifat jawabannya singkat dan tertutup. Mini Survei ini cocok digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan suatu program. Kegiatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 2003 yang kemudian dilanjutkan pelaksanaannya setiap tahun. Informasi dan indikator yang ingin diperoleh melalui program kegiatan ini senantiasa mengalami perubahan setiap tahun, namun pada intinya ditekankan pada informasi mengenai prevalensi peserta KB beserta karakteristik latar belakang sosial demografinya. Untuk tahun 2006, mini survei (MS-06) dilaksanakan secara simultan dengan survei indikator kinerja rencana program jangka menengah nasional (RPJM-06) yang bertujuan untuk memperoleh informasi keberhasilan program KB nasional yang telah dilaksanakan di Indonesia selama lebih dari 30 tahun, dilihat dari sasaran kinerja seperti tercantum pada RPJM dan rencana kerja program (RKP) 2006. 323

Melalui pelaksanaan mini survei ini, selain untuk melihat pencapaian peserta KB aktif menurut karakteristik dengan latar belakang PUS di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu, juga secara khusus untuk mendapatkan informasi-informasi tentang: a. Angka peserta KB aktif representatif propinsi, kabupaten kota, b. Data PUS menurut pemakaian dan jenis alat/cara KB, c. Data kesertaan KB menurut cara dan tempat mendapatkan alat/cara KB, d. Data mengenai ada tidaknya keinginan mempunyai anak, e. Alasan PUS memutuskan untuk tidak ber-KB, dan f. Data mengenai kebutuhan yang tidak terlayani (unmet need) KB pada PUS. (Proxy).

Sementara itu, informasi yang ingin dikumpulkan melalui survei indikator kinerja RPJM mencakup: a. Data tentang pemberdayaan dan ketahanan keluarga bagi keluarga yang dapat mengakses informasi dan sumber daya ekonomi, serta keluarga yang mengetahui dan mempunyai kemampuan dalam pengasuhan dan penumbuh-kembangan anak, b. Data tentang kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang mencakup pemahaman masyarakat, keluarga dan remaja tentang hal tersebut serta sumber informasinya, c. Data tentang pencapaian peserta KB aktif, peserta KB baru, pemakaian kontrasepsi yang rasional, efektif, efisien (REE), dan kesertaan KB pria (dari Mini Survei 2006), dan d. Data tentang penguatan kelembagaan dan jaringan KB. Data tersebut di atas tentunya sangat berguna dan dibutuhkan karena dapat dijadikan dasar oleh para penentu kebijakan, perencana dan pengelola program dalam menentukan arah kebijakan, perencanaan serta pelaksanaan progran KB nasional di masa yang akan datang. Di samping itu, data tersebut dapat juga dijadikan sebagai indikator dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program yang telah berjalan pada tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. 324

II. METODOLOGI SURVEI 1. Cakupan Wilayah Mini Survei dan Survei Indikator Kinerja RPJM tahun 2006 ini akan dilaksanakan di 33 propinsi di Indonesia untuk Mini Survei, dan 30 propinsi untuk Survei Indikator RPJM (Kepri, Kaltim, Irjabar tidak melakukan survei ini). 2. Rancangan Survei Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam survei ini adalah rancangan sampel 3 (tiga) tahap, yaitu: a. Tahap I : Memilih sejumlah sampel cluster yang diperlukan di setiap propinsi. Kerangka sampel yang digunakan adalah daftar keluarga dan anggota keluarga (DKAK) tahun 2004 yang tersedia di Direktorat Pengolahan dan Teknologi Informasi (Ditek) BKKBN Pusat. b. Tahap II : Menentukan lokasi cluster terpilih dengan metode PPS (probability proportional to size) dengan size banyaknya keluarga dalam setiap cluster. c. Tahap III: Memilih sasaran responden di setiap cluster terpilih, baik keluarga, remaja maupun PUS. Besarnya sampel keluarga dan PUS pada setiap propinsi berbeda-beda disesuaikan dengan banyaknya populasi keluarga dan PUS di wilayah tersebut. Besarnya sampel di tiap propinsi ditentukan berdasarkan kecukupan sampel untuk penyajian estimasi hasil mini survei sampai tingkat kabupaten/kota. Jumlah sampel keluarga sebanyak 31.791 keluarga, dan remaja 26.000, sedangkan wanita pasangan usia subur umur 15-49 tahun sebanyak lebih dari 300.000. 3. Variabel dan indikator yang dikumpulkan datanya Dalam pelaksanaan pokok-pokok program pembangunan, telah disusun sasaran kinerja program dan kegiatan-kegiatan yang mendukung, serta telah diidentifikasi indikator untuk mengukur kinerja dari kegiatankegiatan dimaksud, antara lain: A. Indikator kinerja untuk program pemberdayaan dan ketahanan keluarga, yaitu: a. Pengasuhan dan tumbuh kembang anak, 325

b. Persentase keluarga miskin yang mendapatkan penyuluhan, bimbingan dan pelatihan kegiatan usaha, c. Persentase keluarga miskin yang mengetahui akses modal (mikro kredit dan lain-lain), d. Persentase keluarga miskin yang memperoleh akses modal (mikro kredit dan lain-lain), e. Persentase keluarga yang pernah mendengar kelompok UPPKS, f. Persentase keluarga yang pernah menjadi anggota UPPKS, g. Persentase keluarga yang aktif menjadi anggota UPPKS, h. Persentase keluarga yang mengetahui cara pengasuhan dan tumbuh kembang anak yang benar, i. Persentase keluarga balita ikut BKB, j. Persentase keluarga remaja ikut BKR, dan k. Persentase keluarga lansia ikut BKL. B. Indikator kinerja untuk program kesehatan reproduksi remaja (KRR), yaitu: a. Persentase keluarga dan remaja yang mengetahui KRR, dan b. Persentase keluarga dan remaja yang mengetahui sumber informasi kesehatan reproduksi bagi remaja. c. PIK - KRR C. Indikator kinerja untuk program keluarga berencana, yaitu: a. Kesertaan KB pria, b. Jumlah pencapaian peserta KB aktif, c. Persentase PUS yang tidak terlayani KB (unmet need), dan d. Kemandirian KB. D. Indikator kinerja untuk program penguatan kelembagaan dan jaringan KB, yaitu: a. Jumlah lembaga pelayanan KB dan kesehatan reproduksi (pemerintah maupun non-pemerintah), b. Jumlah lembaga pengelola program KB kabupaten/kota, dan c. Jumlah petugas lapangan tingkat kabupaten/kota. 326

III.

JENIS DOKUMEN

Jenis dokumen yang digunakan pada pelaksanaan lapangan mini survei berupa daftar isian dan daftar pertanyaan. Daftar isian terdiri dari 2 (dua) jenis daftar yaitu: 1. Daftar PUS: digunakan untuk mendaftar semua keluarga dan PUS di cluster terpilih 2. Daftar PUS terpilih (DPT-MS06): digunakan untuk mencatat semua PUS yang ada di cluster terpilih untuk dilakukan wawancara mengenai berbagai karakteristik latar belakang dan demografi. Untuk Survei RPJM, jenis dokumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah: 1. Kuesioner berstruktur RPJM-06: digunakan untuk menjaring informasi dari responden keluarga dan remaja. 2. Daftar isian/matriks: digunakan untuk menjaring data sekunder yang bersumber dari pengelola, provider di tingkat kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi. IV. Konsep dan Definisi 1. Pasangan Usia Subur (PUS) Pasangan suami-istri yang istrinya berumur 15-49 tahun dan masih haid, atau pasangan suami-istri yang istrinya berusia kurang dari 15 tahun dan sudah haid, atau istri sudah berumur lebih dari 50 tahun, tetapi masih haid (datang bulan). Namun dalam mini survei dibatasi wanita PUS umur 15-49 tahun 2. Peserta KB Aktif (PA) PUS yang pada saat pendataan sedang memakai atau menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi modern. Dalam pengertian ini tidak termasuk cara-cara konstrasepsi tradisional, seperti pijat urut, jamu dan juga tidak termasuk cara-cara KB alamiah seperti pantang berkala, sanggama terputus dan sebagainya. 3. Prevalensi Peserta KB Aktif Proporsi PUS yang pada saat pelaksanaan survei sedang menggunakan salah satu alat/cara KB untuk menunda atau mencegah kehamilan. 4. Kelompok Keluarga Sejahtera Kelompok yang secara sukarela berperan aktif dalam melaksanakan serta mengelola gerakan pembangunan keluarga sejahtera di tingkat RT yang melakukan kegiatan di bidang KB dan KS seperti BKB, UPPKS, dan lain-lain. 327

5. Ketahanan Ekonomi Keluarga Kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki suatu keuletan dan ketangguhan ekonomi yang mampu secara materiil dan spiritual untuk hidup mandiri serta harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin keluarga. 6. Kelompok Kegiatan Kelompok masyarakat yang melaksanakan dan mengelola kegiatan ekonomi produktif keluarga (UPPKS/Kukesra) dan kegiatan-kegiatan bina keluarga sejahtera (BKMM, BKB, BKR, BKD dan BKL) serta kegiatan Posyandu, Piksa, dan PAKBD yang berada di tingkat desa/kelurahan. 7. UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera) Kelompok kegiatan dari para keluarga dalam wadah paguyuban keluarga sejahtera, melakukan berbagai kegiatan usaha ekonomi produktif yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga, beranggotakan keluarga pra-sejahtera, KS I, KS II dan seterusnya. 8. Remaja Individu (laki-laki maupun perempuan) yang berada pada masa/usia antara anak-anak dan dewasa. Batasan umur yang ditetapkan berbeda-beda, antara lain: - WHO menetapkan 10-19 tahun. - United Nations (UN) menetapkan batasan usia anak muda (youth) adalah 15-24 tahun. Dalam survei ini ditetapkan batasan usia untuk remaja adalah 15-24 tahun. 9. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) Beberapa pengetahuan dasar tentang kesehatan reproduksi yang perlu diketahui remaja, antara lain: a. Pengetahuan tentang sistem, proses dan fungsi alat reproduksi, b. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi, c. Penyakit menular seksual (PMS) dan HIV/AIDS serta dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, d. Pendewasaan usia kawin dan perencanaan kehamilan, e. Tumbuh kembang remaja (akil baliq, masa subur, anemia, dll), dan f. 328 Kehamilan dan persalinan.

Daftar Pustaka

BKKBN (2005). Rencana Strategis Program Keluarga Berencana Nasional Tahun 2005-2009. Jakarta, 2005. _______ (2005). Pemantauan Pasangan Usia Subur (PUS) Melalui Mini Survei di Indonesia. Jakarta, 2005. _______ (2006). Pedoman Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Pendataan Keluarga. Jakarta, 2006. _______ (2006). Pedoman Wawancara Survei Indikator Kinerja Rencana Program Jangka Menengah Nasional Tahun 2006 (RPJM-06). Jakarta, 2006.

329

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan Indonesia


(Ir. Aryago Mulia, M.Si)
1. Pendahuluan Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian telah menghasilkan peta kerawanan pangan Indonesia yang dikeluarkan pada bulan September, tahun 2005. (Sistem Informasi Ketahanan Pangan, Pusat Kewaspadaan Pangan, Jl Harsono R.M. No 3, Ragunan, Jakarta Selatan, E-mail: sikap@deptan. go.id). Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik. Kerawanan pangan yang bersifat khronis (chronic food insecurity) memerlukan penanganan jangka panjang, sedangkan kerawanan pangan yang bersifat transien (transient food insecurity) terjadi akibat adanya bencana alam: banjir, gempa bumi, tsunami, kekeringan, letusan gunung berapi dan tanah longsor di daerah yang berpotensi atau rentan terhadap bencana alam, memerlukan penanganan jangka pendek. Sejalan dengan ikrar yang dirumuskan dalam World Food Summit (WFS) tahun 1996 di Roma, diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang saat ini masih mengalami kelaparan dapat dikurangi separuhnya pada tahun 2015. Agar dapat mewujudkan harapan dari hasil WFS tersebut, Indonesia menyikapinya dengan upaya tahap awal yaitu mengidentifikasi daerah rawan pangan di tingkat kabupaten di seluruh Indonesia. Pada saat ini daerah kota belum disertakan dalam pembuatan peta. Untuk membuat perbandingan antar-kabupaten, digunakan tiga indikator makro untuk menetapkan daerah rawan pangan, yaitu ketersediaan pangan, penyerapan pangan dan konsumsi pangan. Ketiga indikator tersebut digunakan untuk menetapkan kabupaten sasaran yang didokumentasikan dalam peta kerawanan pangan/ food insecurity atlas (FIA), yang selanjutnya dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas daerah rawan pangan dalam perumusan kebijakan di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten untuk program pangan yang efektif karena dengan menggunakan FIA berarti perumus kebijakan telah memanfaatkan informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik. 331

FIA Indonesia ini merupakan hasil kerja sama dari sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian dengan World Food Programme (WFP) di mana dilibatkan pula beberapa nara sumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (Bulog), Departemen Kesehatan (Depkes), Badan Ketahanan Pangan propinsi, Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP). 2. Indikator/Goal Upaya dari Departemen Pertanian ini merupakan kontribusinya memperkecil populasi miskin sesuai dengan tujuan 1 (pertama) MDGs: Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015. Tujuan utama pembuatan peta kerawanan pangan adalah: Menyoroti titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan indikator terpilih, Mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten, dan Menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis. Dengan menggunakan beberapa variabel yang berhubungan dengan kelaparan, hasil publikasi BPS dan hasil olahan Departemen Kesehatan, dilakukan analisa di 265 kabupaten di 30 propinsi. Kemudian, data tersebut dianalisis dengan komponen utama (principal component analysis), yang menghasilkan 10 indikator yang dianggap berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya kerawanan pangan yang bersifat kronis (chronic food insecurity). Dalam analisa komponen utama 3 faktor utama menunjukkan pengaruh yang signifikan, sebagai berikut: a. Faktor Ketersediaan Pangan (Food Availibility) Faktor ketersediaan pangan diwakili oleh variabel kebutuhan konsumsi per kapita normatif terhadap ketersediaan serealia (padi + jagung + ubi jalar + ubi kayu) (per capita normative consumption to net cereal availibility ratio).

332

b. Faktor Akses Terhadap Pangan dan Mata Pencaharian (Food and Livelihoods Access) Faktor akses terhadap pangan, diwakili oleh 3 variabel yang berkorelasi kuat, yaitu: persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (percentage of people below poverty line), persentase rumah tangga yang tidak dapat mengakses listrik (percentage of people without access to electricity), dan persentase infrastruktur desa yang tidak memiliki daya hubung yang memadai (percentage of villages with inadequate connectivity). c. Faktor Penyerapan Pangan (Utilization) Faktor penyerapan pangan, diwakili oleh 6 variabel yang berkorelasi kuat yaitu: angka kematian bayi waktu lahir/infant mortality rate (IMR), umur harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth), persentase anak yang kurang berat (children underweight), persentase penduduk tanpa akses ke air bersih (percentage of population withaut access to safe drinking water), persentase penduduk yang tinggal > 5 km dari Puskesmas (percentage of people living more than 5 km away from Puskesmas), dan persentase wanita yang buta huruf (percentage of female illiteracy). Mengacu pada sifat kerawanan pangan yang bersifat sementara (transient food insecurity), digunakan 4 indikator kerawanan pangan yang bersumber dari data Badan Metereologi dan Geofisika (BMGs) dan Departemen Pertanian, antara lain persentase area tak berhutan, persentase area yang terkena puso, persentase daerah yang rawan terhadap bencana banjir dan tanah longsor (percentage of villages affected by flood and landslide), dan penyimpangan curah hujan. 3. Metodologi Penghitungan Indikator Peta kerawanan pangan komposit merupakan gabungan dari ketiga aspek/dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan, dan penyerapan pangan. Dalam perhitungan untuk pemetaannya, digunakan sejumlah indeks dari ketiga kelompok indikator tersebut. Adapun range indeks dari kerawanan pangan komposit adalah sebagai berikut.

333

Score dibuat dengan menghitung indeks komposit kerawanan pangan dengan menggunakan metode principal component analysis, dengan total score factor bernilai dari 0 sampai dengan 1, di mana nilai score semakin mendekati nilai 1 dianggap semakin rawan sebagai berikut. Score > 0,8 0,64 - < 0,8 0,48 - < 0,64 0,32 - < 0,48 0,16 - < 0,32 < 0,16 Kriteria Sangat rawan pangan Rawan pangan Agak rawan pangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Sangat tahan pangan Gradasi Warna Merah tua Merah Merah muda Hijau muda Hijau Hijau tua Prioritas 1 2 3 4 5 6

4. Sumber Data Masalah utama dalam penyusunan FIA adalah ketersediaan data, sehingga sebagian data terpaksa dilengkapi oleh pusat yang diambil dari hasil survei yang diselenggarakan oleh BPS, Badan Metrologi dan Geofisika (BMG), Departemen Kesehatan (DEPKES) dan instansi lainnya. Adapun data yang digunakan untuk penyusunan FIA adalah data tahun terakhir (kebanyakan tahun 2002-2003). Beberapa indikator menggunakan data individu, sedangkan yang lainnya ada yang menggunakan data rumah tangga atau data komunitas, kecuali untuk indikator ketersediaan pangan yang menggunakan data 3 tahun terakhir. Analisis dilakukan untuk 265 kabupaten di 30 propinsi berdasarkan data sekunder dengan sebaran data di tingkat kabupaten. Indikator yang berasal dari BPS: a. Konsumsi makanan sereal perkapita per hari (Susenas), b. Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan (Analisa Statistik), c. Persentase rumah tangga yang tidak mengakses listrik (Susenas), d. Persentase rumah tangga yang tidak mengakses air bersih (Susenas), e. Persentase wanita buta huruf (Susenas), f. Persentase penduduk yang tinggal > 5 Km dari Puskesmas (Podes), dan g. Persentase infrastruktur desa yang tidak memiliki daya hubung yang memadai (Podes). 334

Indikator yang digunakan bersumber dari hasil olahan Depkes: a. Persentase anak kurang gizi, b. Umur harapan hidup, dan c. Angka kematian bayi waktu lahir (IMR). Indikator yang digunakan bersumber dari BMG dan Departemen Pertanian: a. Persentase area tak berhutan, b. Persentase area yang terkena puso, c. Persentase daerah yang rawan terhadap bencana banjir dan tanah longsor, dan d. Penyimpangan curah hujan. 5. Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan Karena peta kerawanan pangan ini merupakan produk yang pertama kali dibuat, maka untuk menghasilkan peta rawan pangan tersebut harus ditempuh beberapa tahapan. Pada tahap awal ditentukan variabel, dilanjutkan dengan seleksi variabel untuk menghasilkan indikator-indikator yang berpengaruh terhadap kerawanan pangan kronis dan sementara. Tahapan berikutnya adalah menentukan batasan score untuk penetapan gradasi warna dan prioritas, yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan peta. Pada tahun 2002 dilaksanakan uji coba pada dua propinsi di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat dan dilanjutkan dengan pelatihan pembuatan peta kerawanan pangan yang diikuti oleh 30 propinsi, dan selanjutnya dilaksanakan workshop FIA guna menyatukan persepsi/pemahaman bagi aparat pelaksana di propinsi sampai di tingkat kabupaten pada bulan September tahun 2005, yang sekaligus merupakan peluncuran FIA di Indonesia. 6. Kuesioner dan Buku Pedoman Kegiatan pembuatan peta rawan pangan sepenuhnya menggunakan data sekunder yang diperoleh dari hasil publikasi, sehingga tidak menggunakan kuesioner di dalam perolehan data dan informasinya. 335

7. Angka Indikator untuk 5 Kabupaten pada Pengumpulan Data Tahun Terakhir Setelah hasil FIA nasional selesai dibuat, upaya selanjutnya yang sangat penting adalah mengadvokasinya pada pimpinan daerah agar memiliki respon terhadap hasil tersebut. Dalam kriteria merah tua yang artinya kabupaten bersangkutan mempunyai kecenderungan sangat rawan pangan, harus dipahami bahwa belum tentu semua kecamatan atau desa yang ada di kabupaten tersebut mempunyai status sangat rawan pangan, bahkan mungkin sekali ada kecamatan-kecamatan di dalam kabupaten tersebut yang sangat tahan pangan. Oleh sebab itu, pimpinan daerah perlu mengupayakan penyusunan peta kabupaten yang dirinci lagi per kecamatan ataupun per desa untuk memperoleh gambaran daerah-daerah mana saja yang mempunyai kecenderungan sebagai prioritas sangat rawan pangan tersebut. Status sangat tahan pangan pada kabupaten terpilih juga harus diartikan bahwa belum tentu semua kecamatan atau desa di kabupaten tersebut sudah sangat tahan pangan, karena dapat saja dijumpai desa-desa pada kabupaten tersebut yang mungkin masuk katagori sangat rawan pangan. Berdasarkan hasil analisa terhadap sebab-sebab terjadinya kerawanan pangan maka dapat ditentukan program/kebijakan pada sektor terkait dalam penanganan kerawanan pangan, yang dapat dirinci menjadi program kerja terpadu untuk menghijaukan daerah yang dikatagorikan merah tua tersebut. Departemen Pertanian melalui program Desa Mandiri Pangan berupaya untuk mengimplementasikan hasil FIA pada level desa untuk mengupayakan desa merah menjadi desa hijau. Berdasarkan hasil pemetaan FIA komposit dapat dilihat bahwa secara nasional jumlah atau persentase kabupaten yang masuk ke dalam masingmasing kategori dari sangat rawan pangan hingga sangat tahan pangan dengan tidak begitu mencolok perbedaannya. Daerah yang sangat tahan pangan (prioritas 6, warna hijau tua) terdapat di 65 kabupaten dari 265 kabupaten yang ada di Indonesia atau sebesar 24,53 persen. Daerah yang tahan pangan (prioritas 5, warna hijau) terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87 persen, begitu pun daerah yang cukup tahan pangan (prioritas 4, warna hijau muda) terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87 persen. Daerah yang agak rawan pangan (prioritas 3, warna merah muda) 336

terdapat di 40 kabupaten atau sebesar 15,09 persen dan daerah yang rawan pangan (prioritas 2, warna merah) serta daerah yang sangat rawan pangan (prioritas 1, warna merah tua) sama-sama terdapat di 30 kabupaten atau sebesar 11,32 persen. Kriteria Sangat rawan pangan Rawan pangan Agak rawan pangan Cukup tahan pangan Tahan pangan Sangat tahan pangan Prioritas 1 2 3 4 5 6 Jumlah Kabupaten 30 30 40 50 50 60

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa 100 kabupaten masuk dalam prioritas 1, 2 dan 3, yang merupakan kabupaten dengan status merah, artinya pimpinan daerah dalam program kerjanya sudah harus mulai melihat dan mengidentifikasi desa-desa yang masuk dalam katagori sangat rawan pangan untuk dimasukkan dalam program penghijauan, artinya diberi bantuan pembinaan, dan pemberdayaan agar supaya menjadi lebih baik. Nama Kabupaten yang Masuk Katagori Rawan Pangan No. 1 2 3 4 Rangking 234 213 206 197 Kabupaten Polewali Mamasa Selayar Jeneponto Majene Propinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Keterangan Prioritas 2 Prioritas 2 Prioritas 2 Prioritas 3

Prioritas 1: Sangat rawan pangan/warna merah tua Prioritas 2: Rawan pangan/warna merah Prioritas 3: Cukup rawan pangan/warna merah muda

337

Nama Kabupaten yang Masuk Katagori Ketahanan Pangan Propinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Kabupaten Soppeng Enrekang Sidenreng Rappang Pinrang Wajo Bantaeng Luwu Goa Bulukumba Tana Toraja Luwu Utara Maros Takalar Barru Bone Sinjai Mamuju Pangkajene Kepulauan Majene Jeneponto Selayar Polewali Mamasa PrioPeritas ringkat 6 6 6 6 6 6 6 5 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 3 2 2 2 6 32 37 42 55 56 65 66 81 85 107 108 115 128 129 136 138 147 197 206 213 234

Prioritas 6: Sangat tahan pangan/warna hijau tua Prioritas 5: Tahan pangan/warna hijau Prioritas 4: Cukup tahan pangan/warna hijau muda Prioritas 3: Cukup rawan pangan/warna merah muda Prioritas 2: Rawan pangan/warna merah Prioritas 1: Sangat rawan pangan/warna merah tua

338

Daftar Pustaka
Departemen Pertanian, 2005, Peta Kerawanan Pangan Indonesia, Pusat Kewaspadaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, September 2005.

339

Upaya Meningkatkan Ketahanan Pangan 2005-2009 Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan
(Ir. Aryago Mulia, M.Si)

1. Pendahuluan Pengertian ketahanan pangan berdasarkan Undang-Undang No. 7/1996 tentang pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pemenuhan kebutuhan pangan diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri dan pengelolaan sistem pangan negeri ditentukan sendiri sesuai kepentingan nasional. Pemenuhan pangan untuk hidup sehat dan aktif diukur dengan menggunakan tiga hal pokok yang meliputi aspek ketersediaan pangan, yaitu tersedia cukup untuk seluruh penduduk, kemudian aspek distribusi meliputi penyerapan pangan merata ke seluruh wilayah dengan harga stabil dan terjangkau, kemudian aspek konsumsi pangan yaitu masyarakat mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsi sesuai dengan kecukupan status gizi dan kesehatan. Ketiga indikator disusun untuk menentukan rumah tangga sasaran, dan pada tingkat makro, untuk menetapkan desa sasaran, agar dapat digunakan sebagai bahan penetapan daerah rawan pangan. Pendekatan penetapan peta kerawanan pangan/food insecurity atlas (FIA) dalam pengelolaan kebijakan di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten untuk program pangan dapat efektif karena memanfaatkan ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik. Perwujudan hasil penetapan peta kerawanan pangan adalah teridentifikasinya 100 kabupaten rawan pangan yang kemudian ditindaklanjuti dengan program aksi ketahanan pangan yaitu desa mandiri pangan secara nasional, dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu desa sebagai basis kegiatan pertanian. Program Aksi Desa Mandiri Pangan, berbasis pada pembangunan perdesaan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam satu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dalam aspek ketersediaan, distribusi, dan kecukupan konsumsi pangan dalam lingkup rumah tangga. 341

Program Aksi Desa Mandiri Pangan dilaksanakan di desa-desa terpilih yang mempunyai rumah tangga miskin sehingga risiko rawan pangan dan gizi buruk yang tersebar di seluruh propinsi dapat teridentifikasi. Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan, diharapkan masyarakat desa mampu memproduksi dan memenuhi produk-produk pangan yang dibutuhkan dengan didukung unsur-unsur sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan, permodalan, sarana dan prasarana, sehingga dapat mengurangi risiko kerawanan pangan dan dapat menciptakan ketahanan pangan di dalam lingkup desa. Desa mandiri pangan adalah desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi dengan memanfaatkan sumber daya setempat secara berkelanjutan. Pelaksanaan program aksi mandiri pangan tahap persiapan sudah dimulai sejak tahun 2005. Tahap perencanaan awal yang terstruktur dan terprogram akan menjadi acuan kinerja tahapan penumbuhan, pengembangan dan pemandirian. Kurun waktu pelaksanaan tahapan program aksi mandiri pangan menuju kemandirian direncanakan selama empat tahun. Pelaksanaan Program Aksi Mandiri Pangan melibatkan institusi-institusi terkait lintas-sektor yang dikoordinasikan melalui Dewan Ketahanan Pangan. Integrasi kegiatan lintas-sektor bertujuan menanggulangi kondisi rawan pangan dan gizi secara terpadu dan terarah hanya di daerah sasaran saja. Dana untuk kegiatan Program Aksi Mandiri Pangan bersumber dari APBN dan dukungan dana dari APBD. Komposisi dan besaran dana diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing daerah. Sebagai penguatan modal untuk kelompok sasaran, dialokasikan dana APBN yang disalurkan melalui lembaga keuangan perdesaan. 2. Keterkaitan dengan Indikator/Goal MDGS Upaya dari Departemen Pertanian ini memberikan kontribusi untuk memperkecil populasi miskin sesuai dengan tujuan 1 (pertama) MDGs: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; target 2: menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015. Sejumlah indikator input, output, outcome dan impact telah disusun Departemen Pertanian terkait dengan ketahanan pangan seperti terlihat pada tabel di bawah ini. 342

Tabel 1. Indikator Pemantauan dan Evaluasi Ketahanan Pangan


Jenis Indikator Input Indikator pemantauan dan evaluasi Indikator Proses Penetapan rumah tangga miskin? Bagaimana penetapan rt miskin? Pembentukan kelompok? Pembinaan/Pelatihan dan Pelayanan Aksi Desa Mandiri Pangan? Apakah pernah memperoleh pembinaan/pelatihan dalam satu bulan? Bagaimana kualitas dan materi pembinaan/pembimbingan? Besarnya kredit/pinjaman yang diterima kelompok/individu? Perhatian kelompok terhadap anggotanya? Perhatian anggota terhadap pengurusnya? Bagaimana permasalahan dibahas dalam kelompok? Bagaimana efektivitas pengambilan keputusan dalam kelompok? Jumlah rumah tangga miskin dirinci menurut Rata-rata jumlah ART (anggota rumah tangga) Jumlah art usia sekolah Jumlah art yang bekerja Rata-rata pendapatan per kapita Kondisi rumah tinggal Kepemilikan barang berharga dan ternak Jumlah kelompok yang terbentuk dirinci menurut Penetapan ketua dan pengurus kelompok Rata-rata jumlah anggota dalam kelompok Jumlah kelompok yang mempunyai tujuan Kelompok yang mempunyai pengurusan yang lengkap (ketua, bendahara, dan sekretaris) Pemilihan ketua kelompok dan pengurus kualitas pembinaan/pelatihan dan pelayanan Jumlah pertemuan pembinaan/pelatihan dalam satu bulannya Jumlah rt yang menyatakan kualitas dan materi pembinaan sudah sesuai Jumlah penerima kredit/pinjaman Aksi Desa Mandiri Pangan Jumlah usaha yang dilakukan Keterangan

Output

343

Indikator Dampak Outcome Jumlah rumah tangga yang: Mampu memanfaatkan pinjaman/kredit Memanfaatkan pembinaan dan pelatihan Mampu mengembalikan kredit tepat waktu Mempunyai usaha Mengembangkan usaha Mampu meningkatkan pendapatan/ kesejahteraan anggota

Impact (dampak)

Perubahan kondisi kesejahteraan rumah tangga Keikutsertaan dalam kegiatan pembinaan Keikutsertaan dalam perencanaan kegiatan usaha kelompok/individu Pemahaman hukum Pendidikan Apakah ada art yang tidak sekolah usia 7-15 tahun Apakah ada art yang sekolah tidak mampu membayar biaya sekolah Apakah ada art yang tdk mampu melanjutkan sekolah Kesehatan Apakah ada art sakit tidak berobat Akses terhadap air bersih Akses terhadap sanitasi Apakah ada art yang terkena busung lapar Apakah ada art yang melahirkan tidak ditolong oleh tenaga medis Kesejahteraan Apakah ada kepala rt yang tidak bekerja Apakah ada kegiatan menabung Apakah ada rt yang kekurangan bahan pangan dalam 3 bulan terakhir Apakah ada perubahan kondisi bangunan rumah tinggal Apakah ada keterlibatan wanita dalam kegiatan ekonomi rt

344

3. Metodologi Penghitungan Indikator Di dalam penghitungan jumlah rumah tangga miskin di desa, digunakan pendekatan rumah tangga miskin dengan penentuan kemiskinan relatif yaitu melakukan pengelompokan variabel pertanyaan menjadi 5 indikator, namun antara indikator-indikator tidak menunjukkan ada tingkat gradasi terhadap penilaian kemiskinan. Pengelompokannya adalah sebagai berikut: Indikator 1: Pendidikan Kepala Rumah tangga Kelompok ini mencakup: rumah tangga yang kepala rumah tangganya tidak pernah sekolah atau belum tamat sekolah dasar (SD) dan pekerjaannya bertani. Pengelompokan ini didasari atas pertimbangan bahwa apabila tingkat pendidikan kepala rumah tangga rendah dan lapangan pekerjaannya petani maka sangatlah rawan terhadap kemiskinan, sehingga ditetapkan sebagai indikator 1. Indikator 2: Kemampuan Daya Beli Rumah tangga Kelompok rumah tangga ini didasari atas pertimbangan ketidakmampuan rumah tangga dari sudut ekonomi yaitu, apabila rumah tangga dalam satu minggu terakhir ini tidak mengkonsumsi daging/ayam/telur/ikan, dan juga tidak mempunyai persediaan bahan makanan pokok. Di dalam kelompok ini juga dimasukkan semua rumah tangga yang tidak mampu membeli paling sedikit satu stel pakaian selama satu tahun yang lalu atau di dalam rumah tangga ini terdapat anak usia sekolah 7 15 tahun yang tidak bisa sekolah. Kelompok peubah ini dikategorikan sebagai indikator 2. Indikator 3: Pemilikan Aset Kepemilikan asset dapat dijadikan sebagai ukuran sederhana kemampuan cadangan rumah tangga di dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, bahkan dapat dijadikan sebagai modal usaha rumah tangga. Apabila rumah tangga tidak mempunyai motor/mobil/perahu motor atau kendaraan motor dan juga tidak memiliki sepeda/sampan atau kendaraan motor lainnya dan juga tidak memiliki kasur/tempat tidur dan tidak memiliki hewan ternak, maka rumah tangga tersebut dapat dinyatakan tidak memiliki asset berharga yang dapat cepat dijual sewaktu-waktu untuk membeli bahan makanan. Pemilikan aset dikategorikan sebagai indikator 3. Di dalam kelompok faktor ini ditambahkan juga rumah tangga yang tidak memiliki lahan/ladang untuk berkebun kurang dari 0,05 Ha, dan bahkan tidak memiliki lahan untuk bertani.

345

Indikator 4: Fasilitas Tempat Tinggal Dari kondisi dan fasilitas rumah tinggal yang diperhatikan adalah luas perkapita tempat tinggal. Apabila kurang dari 8.1 meter persegi (tempat<8.1) atau lantai tempat tinggal adalah tanah (b4k9>5) dan sumber air minum bukan leding, pompa atau sumur terlindung (b4k10>4) serta tidak mempunyai fasilitas listrik PLN (b4k11>2) maka rumah tersebut dianggap berada dalam kondisi yang kurang sehat sehingga dapat digolongkan sebagai rumah tangga yang tidak mampu. Kelompok Karakteristik, ini dikategorikan sebagai indikator 4. Indikator 5: Proporsi Pengeluaran untuk Makanan terhadap Total Di dalam penentuan rumah tangga kurang mampu dilihat dari sudut pandang pola konsumsi makanannya, maka apabila proporsi nilai konsumsi bahan makanan terhadap pengeluaran rumah tangga keseluruhan dalam satu bulan lebih besar dari 80 persen, maka dianggap bahwa rumah tangga tersebut menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk makanan saja, sedangkan untuk kebutuhan lainnya sangat kecil, sehingga kemampuan rumah tangga untuk membeli kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan biayabiaya listrik, bahan bakar tidak lebih dari 20 persen (makanan>80%). Indikator ini sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan pemerintah yang menyangkut kebutuhan dasar rumah tangga, seperti kenaikan harga BBM, kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan harga tarif telepon. I.5. Identifikasi Rumah Tangga Miskin Berdasarkan indikator-indikator yang ada, maka rumah tangga miskin dapat diidentifikasi dengan melihat kondisinya. Apabila syarat indikator 1, indikator 3 dan indikator 5 ketiga-tiganya terpenuhi, berarti kepala rumah tangga berpendidikan tidak pernah sekolah atau tidak tamat sekolah dasar, juga bekerja di bidang pertanian, mempunyai pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi makanan > 80 persen serta ketika diwawancarai tidak memiliki asset berupa mobil, motor, sepeda, kasur dan hewan, bahkan mungkin memiliki rumah dengan luas rata-rata kurang dari 8.1 m2 dan memiliki atau tidak memiliki lahan sawah atau ladang, maka sangat mungkin rumah tangga tersebut miskin. Pemilikan ladang atau sawah dijadikan sebagai asset rumah tangga yang sulit untuk cepat dijual sehingga rumah tangga yang memiliki asset tanah atau ladang kurang sensitif untuk indikator kemiskinan, akan tetapi biasa dijadikan sebagai informasi asset yang diberdayakan untuk dapat menghasilkan tambahan pendapatan rumah tangga. Selain memenuhi ketiga faktor tersebut, ada beberapa rumah tangga yang tidak memenuhi ketiga faktor tersebut akan tetapi memenuhi indikator 2 dan indikator 4 sehingga digolongkan dalam kelompok yang sama. 346

4. Sumber Data Indikator yang terukur dihasilkan melalui 3 kegiatan pengumpulan data. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner DDRT (data dasar rumah tangga), Dengan DDRT dilakukan pendataan rumah tangga dengan sensus lengkap pada 240 desa terpilih dengan menanyakan 23 variabel pertanyaan dengan tujuan mengidentifikasi rumah tangga miskin atau tidak miskin. Dari data ini dihasilkan 5 indikator dan satu indikator penetapan rumah tangga miskin. Berikutnya, seluruh rumah tangga yang teridentifikasi miskin didata kembali dengan menggunakan kuesioner SRT (survei rumah tangga). Tujuan dari SRT adalah untuk menghasilkan data karakteristik rumah tangga miskin, untuk menghasilkan jenis-jenis usaha yang diinginkan oleh rumah tangga miskin, dan juga untuk bahan pertimbangan dalam penentuan jenis usaha kelompok yang bisa dilakukan di desa tersebut. Tahap selanjutnya, menggunakan formulir rumah tangga, semua rumah tangga yang membentuk kelompok usaha desa mandiri pangan dapat mengajukan permintaan bantuan modal dan pembimbingan dari pendamping yang sudah dipersiapkan (satu orang) di setiap desa. Formulir rumah tangga berguna sebagai bahan acuan pemantauan kegiatan dan mendapatkan indikator tingkat keberhasilan program. Selain menggunakan daftar formulir juga dilakukan studi mendalam untuk memberikan wawasan yang lebih mendalam sebagai bagian dari proses pemantauan dan evaluasi dari program desa mandiri pangan. 5. Waktu yang Dibutuhkan untuk Kegiatan Pelaksanaan program aksi mandiri pangan dimulai pada tahun 2005 yang merupakan tahap persiapan sebagai landasan berpijak untuk pengembangan kegiatan lanjutan sehingga perencanaan awal yang terstruktur dan terprogram akan menjadi acuan kinerja tahapan penumbuhan, pengembangan dan pemandirian. Kurun waktu pelaksanaan tahapan program aksi mandiri pangan menuju kemandirian direncanakan selama empat tahun. Tahapan kegiatan yang dilakukan tersebut merupakan langkah untuk mewujudkan tujuan jangka panjang yaitu kemandirian pangan secara mikro dan makro. Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan tahapan kegiatan dari Program Aksi Desa Mandiri Pangan. 347

Tabel 2. Tahapan Program Aksi Desa Mandiri Pangan


INDIKATOR TAHAPAN PEMBANGUNAN DESA MAPAN
TAHAP PERSIAPAN 1. Data Base Desa 2. Rencana Pembangunan Desa Mapan 3. Meningkatnya kemampuan tenaga pendamping aparat dan masyarakat TAHAP PENUMBUHAN 4. Berkembangnya klbgn masy 5. Berkembangnya lembaga-lembaga usaha produksi dan agribisnis pangan 6. Berkembangnya lembaga permodalan di perdesaan 7. Berkembangnya lembaga pelayanan kesehatan di perdesaan 8. Meningkatnya peran kelembagaan pangan dan gizi TAHAP PENGEMBANGAN 9. Meningkatnya produksi pangan masyarakat 10. Meningkatnya usaha pemenuhan cadangan pangan keluarga 11. Dihasilkannya teknologi dan produk pangan olahan 12. Diterapkannya pola pangan 3B 13. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang gizi keluarga 14. Meningkatnya kemampuan SDM dalam sistem informasi ketahanan pangan TAHAP KEMANDIRIAN 15. Meningkatnya peran masyarakat dalam ketersediaan dan distribusi pangan 16. Berkembangnya usaha yang mapan 17. Mantapnya organisasi/ kelembagaan yang ada 18. Terbentuknya jaringan usaha 19. Menurunnya prevalensi kelaparan 20. Menurunnya prevalensi wabah penyakit 21. Menurunnya prevalensi gizi buruk

Pelaksanaan Program Aksi Mandiri Pangan melibatkan kerja sama antara institusi terkait lintas-sektoral yang dikoordinasikan melalui Dewan Ketahanan Pangan. Program dan kegiatan dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten. Integrasi kegiatan lintassektoral bertujuan menanggulangi kondisi rawan pangan dan gizi serta pembangunan wilayah perdesaan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian pangan. 6. Kuesioner dan Buku Pedoman Terdapat tiga daftar kuesioner yaitu DDRT, SRT dan Formulir RT. (terlampir). 7. Angka Indikator untuk 5 kabupaten pada pengumpulan data tahun terakhir Masih dalam tahap awal pembentukan kelompok di 100 kabupaten yang diidentifikasi sebagai kabupaten rawan pangan sesuai dengan hasil peta rawan pangan. Selain itu terdapat pula 20 kabupaten tambahan sesuai dengan usulan daerah.

348

Daftar Pustaka
Departemen Pertanian, 2005, Peta Kerawanan Pangan Indonesia, Pusat Kewaspadaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, September 2005.

___________________, 2005, Data Dasar Rumah Tangga (DDRT 2005) Desa Mandiri Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Juli 2005.

___________________, 2005, Survei Rumah Tangga (SRT 2005) Desa Mandiri Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Juli 2005. Departemen Pertanian, 2006 Pedoman Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Aksi Desa Mandiri Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Juli 2006.

349

Daftar Singkatan dan Istilah


ADB AIDS AKI AKB Akaba AMH ANC APM ARI ART ASFR ASI Balita Bappeda BB BB/U BBKP BBM BCG BKB BKD BKKBN BKN BKL BKMM BKR BLT BMG BMI BOS BPS BS BSM Bulog CEDAW CMV CO2 CRC CSpro D3 DAS = Asian Development Bank = Acquired Immune Deficiency Sindrome = Angka Kematian Ibu = Angka Kematian Bayi = Angka Kematian Balita = Angka Melek Huruf = Ante Natal Care = Angka Partisipasi Murni = Acute Respiratory Infection = Anggota Rumah Tangga = Age Specific Fertility Rate/Angka Fertilitas Specific Menurut Umur = Air Susu Ibu = Bayi di bawah lima tahun = Badan Perencanaan Pembangunan Daerah = Berat Badan = Berat Badan menurut Umur = Badan Bina Masyarakat Ketahanan Pangan = Bahan Bakar Minyak = Bacillus Calmette Guerin = Bina Keluarga Balita = Bina Keluarga Dewasa = Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional = Badan Kepegawaian Negara = Bina Keluarga Lansia = Bina Keluarga Muda Mandiri = Bina Keluarga Remaja = Bantuan Langsung Tunai = Badan Meteorologi dan Geofisika = Body Mass Index (Indeks Massa Tubuh) = Bantuan Operasional Sekolah = Badan Pusat Statistik = Blok Sensus = Bantuan Sosial Kemasyarakatan = Badan Urusan Logistik = Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women = Cytomegalovirus = Carbon Dioxide (Karbon Dioksida) = Convention on The Rights of the Child = Census and Survey Processing System = Diploma III = Daerah Aliran Sungai

vii

DDA Depag Depdiknas Depkes Depkominfo Depsos Deptan Dephut DHS Ditek DKI DOS DPR/D DPT Ek EMIS EO ESCAP EWS FIA GAKY GEM GFR GK GKG GKM GKNM GKP GKS HDI HIV HP IDG FIA IFLS IHK IHP ILO IMR Innas Intama IPM IPG ISSA IUD JPKM

= Data dalam Angka = Departemen Agama = Departemen Pendidikan Nasional = Departemen Kesehatan = Departemen Komunikasi dan Informasi = Departmen Sosial = Departemen Pertanian = Departemen Kehutanan = Demographic and Health Survey = Direktorat Pengolahan dan Teknologi Informasi = Daerah Khusus Ibu Kota = Dis Operating System = Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah = Diphtheria Pertussis, and Tetanus = Koefisien Engel untuk Kabupaten = Education Management Information System = Expectation of life at birth = Economic and Social Commission for Asia and the Pacific = Early Warning System = Food Insecurity Altas = Gangguan Akibat Kekurangan Yodium = Gender Empowerment Measure = Gross Fertility Rate = Garis Kemiskinan = Gabah Kering Giling = Garis Kemiskinan Makanan = Garis Kemiskinan non Makanan = Gabah Kering Panen = Gabah Kering Simpan = Human Development Index = Human Immunodeficiency Virus = Harga Produsen = Indek Pemberdayaan Gender = Food Insecurity Atlas/Peta Kerawanan Pangan = International and Life Survey = Indeks Harga Konsumen = Indeks Harga Produsen = International Labor Organization = Infant Mortality Rate = Instruktur Nasional = Instruktur Utama = Indeks Pembangunan Manusia = Indeks Pembangunan Gender = Integrated System for Survey Analysis = Intra Uterine Device = Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat

viii

K4 Kandep KAT KB KHPPIA KIA KIB KJI Kkal KKB KILM KPP KRR KS KS I KS II KS III KS III+ KSK KTT KUBE Kukesra KVA Lansia LB1 LB2 LB3 LB4 LILA LKM LPG LSM LTR MA MDGs MI MMR MMRatio MPASI MTs NAD NAIRU NAPZA NTP

= Pemeriksaan kehamilan ke empat (yang kedua pada triwulan terakhir) = Kantor Departemen = Komunitas Adat Terkecil = Keluarga Berencana = Kelangsungan Hidup, Perkembangan dan Perlindungan Ibu dan Anak = Kesehatan Ibu dan Anak = Kabinet Indonesia Bersatu = Klasifikasi Jabatan Indonesia = Kilo Kalori = Kartu Kompensasi BBM = Key Indicators of Labor Markets = Kementerian Pemberdyaan Perempuan = Kesehatan Reproduksi Remaja = Keluarga Sejahtera = Keluarga Sejahtera tahap 1 = Keluarga Sejahtera tahap 2 = Keluarga Sejahtera tahap 3 = Keluarga Sejahtera tahap 3 Plus = Koordinator Statistik Kecamatan = Konferensi Tingkat Tinggi = Kelompok Usaha Bersama = Kredit Usaha Keluarga Sejahtera = Kekurangan Vitamin A = Lanjut Usia = Formulir Baku Laporan Bulanan 1 = Formulir Baku Laporan Bulanan 2 = Formulir Baku Laporan Bulanan 3 = Formulir Baku Laporan Bulanan 4 = Lingkar Lengan Atas = Lembaga Keuangan Mikro = Liquid Petroleum Gas = Lembaga Swadaya Masyarakat = Life Time Risk = Madrasah Aliyah = Millennium Development Goals = Madrasah Ibtidaiyah = Maternal Mortality Rate = Maternal Mortality Ratio = Makanan Pengganti ASI = Madrasah Tsanawiah = Nanggroe Aceh Darussalam = Non-accelerated Inflationary Rate of Unemployment = Narkoba, dan Pecandu Zat Adiktif lainnya. = Nilai Tukar Petani

ix

Orsos ORT P2M P3N PAKBD PBB PC PDKBM Pemda Permentamben PES PHP Piksa PJM PKPS PLKB PLN PMDF PMKS PMS Podes Posyandu PPS Pra KS PSE Propenas PSKS PT PUS Puskesmas Puslitbang Raskin Riskesdas RK RKP RPJM RPM RPPK RS RT rt RUB/K RUK RW Sakernas

= Organisasi Sosial = Oral Re-dehydration Therapy = Pemberantasan Penyakit Menular = Pembantu Pegawai Pencatat Nikah = Pos Alat KB Desa = Perserikatan Bangsa Bangsa = Personal Computer = Pemutakhiran Data Kemiskinan Berbasis Masyarakat = Pemerintah Daerah = Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi = Pendataan Sosial Ekonomi = = Pusat Informasi Keluarga Sejahtera = Pembangunan Jangka Menengah = Program Kompensasi Pengurangan Subsidi = Petugas Lapangan Keluarga Berencana = Perusahaan Listrik Negara = Proportion of Maternal Death of Female of Reproductive Age = Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial = Penyakit Menular Seksual = Potensi Desa = Pos Pelayanan Terpadu = Probability Proportional to Size = Keluarga Pra-Sejahtera = Pendataan Sosial Ekonomi = Program Perencanaan Nasional = Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial = Perguruan Tinggi = Pasangan Usia Subur = Pusat Kesehatan Masyarakat = Pusat Penelitian dan Pengembangan = Beras untuk keluarga miskin = Riset Kesehatan Dasar = Rukun Kampung = Rencana Kerja Program = Rencana Program Jangka Menengah = Ratio Penduduk Miskin = Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan = Rumah Sakit = Rukun Tetangga = rumah tangga = Rencana Usaha Bersama/Kelompok = Rencana Usaha Kelompok = Rukun Warga = Survei Angkatan Kerja Nasional

SBH SD SDKI SDM SE SGY SIK SIS SIPBM SKPG SKRRI SKRT SLS SMK SMP SMU/SMTA SP SP2TP SPAN SPI SPSS SRT ST ST03 SUB SUPAS Surkernas Surkesda Suseda SUSENAS TB TB/U TBC TFR TI TPAK TPT UKM UN/DP UNICEF UPPKS WFFC WFP WHO

= Survei Biaya Hidup = Sekolah Dasar = Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia = Sumber Daya Manusia = Sensus Ekonomi = Survei Konsumsi Garam Yodium = Sistem Informasi Kependudukan = Sistem Informasi Statistik = Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat = Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi = Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia = Survei Kesehatan Rumah Tangga = Satuan Lingkungan Setempat = Sekolah Menengah Kejuruan = Sekolah Menengah Pertama = Sekolah Menengah Umum = Sensus Penduduk = Sistem Pelaporan dan Pencatatan Terpadu Puskesmas = Survei Penduduk Aceh dan Nias = Survei Prevalensi Indonesia = Statistical Packages for Social Sciences = Survey Rumah Tangga = Sensus Pertanian = Sensus Pertanian Tahun 2003 = Survei Upah Buruh = Survei Penduduk Antar Sensus = Survei Kesehatan Nasional = Survei Kesehatan Daerah = Survei Sosial Ekonomi Daerah = Survei Sosial Ekonomi Nasional = Tinggi Badan = Tinggi Badan menurut Umur = Tubercolosis = Total Fertility Rate/Angka Fertilitas Total = Teknologi Informasi = Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja = Tingkat Pengangguran Terbuka = Usaha Kecil dan Menengah = United Nations/Development Programs = United Nation Institution Children Education Fund = Usaha Peningkatan Pendapatan Kesejahteraan Sosial = World Fit For Children = World Food Program = World Health Organisation

xi

Anda mungkin juga menyukai