Anda di halaman 1dari 81

KATA PENGANTAR

Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) di Indonesia dimulai


sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Untuk
mengetahui sejauhmana pelaksanaan PUG, terutama dikaitkan dengan
pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan, dilakukan
kegiatan evaluasi pelaksanaan PUG oleh Direktorat Kependudukan dan
Pemberdayaan Perempuan, Bappeda bekerja sama dengan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Evaluasi pelaksanaan
PUG dilakukan di 9 (sembilan) sektor pembangunan, yaitu
ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan usaha
kecil dan menengah, kesehatan, keluarga berencana, kesejahteraan
sosial dan lingkungan hidup. Kesembilan sektor pembangunan tersebut
dipilih karena sejak tahun 2021 Bappeda bersama-sama dengan
Kementerian/Lembaga terkait telah melakukan analisis gender pada
kebijakan/program/kegiatan pokok pembangunan, serta
mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan.

Pelaksanaan evaluasi melibatkan tim ahli gender, yang telah aktif


sejak awal pelaksanaan PUG dalam memfasilitasi SKPD terkait. Diskusi
dan lokakarya dengan para focal points daerah dilakukan guna
menggali berbagai data dan informasi perkembangan pelaksanaan
PUG, khususnya yang terkait dengan lima aspek, yaitu: dukungan
politik, kebijakan, kelembagaan, sistem informasi, dan sumber daya
manusia. Evaluasi di daerah dilakukan di 33 SKPD dan 42 Kecamatan
di Kabupaten Garut.

Setidaknya terdapat dua hal yang tergambar dari hasil evaluasi ini,
yaitu masih belum dipahaminya pengarusutamaan gender di antara
para pengambil keputusan daerah, dan masih terbatasnya
kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang sudah responsif
gender.

i
Kami menyadari bahwa hasil evaluasi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu masukan dan saran guna keperluan perbaikan dan
penyempurnaan hasil evaluasi ini sangat diharapkan.

Akhirnya, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-


tingginya kepada semua pihak yang telah bekerjasama dan membantu
dalam penyusunan laporan evaluasi ini.

Garut, Feberuari 2022

Kepala Bappeda Kab. Garut

Drs. H. DIDIT FAJAR PUTRADI, M.Si.

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan perencanaan


pembangunan yang responsif gender, Direktorat Kependudukan dan
Pemberdayaan Perempuan Bappeda bekerja sama dengan CIDA
melalui Women’s Support Project Phase II, telah berhasil
mengembangkan suatu alat analisis yang dikenal dengan Gender
Analysis Pathway (GAP). GAP merupakan alat analisis yang dapat
digunakan terutama oleh para perencana di seluruh sektor
pembangunan dalam melakukan proses perencanaan, sehingga
kebijakan/program/proyek kegiatan pembangunan yang dihasilkan
dapat menjadi responsif gender. Perencanaan yang responsif gender
itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu perencanaan yang dilakukan
dengan memasukkan perbedaan-perbedaan pengalaman, aspirasi, dan
permasalahan yang dihadapi perempuan dan laki-laki sebagai target
dan sasaran dari pembangunan, ke dalam proses penyusunan
perencanaan, sehingga kebijakan/program/kegiatan pembangunan
tersebut dapat turut menjamin terwujudnya keadilan dan kesetaraan
gender di berbagai sektor pembangunan. Proses ini juga dikenal
dengan istilah pengarusutamaan gender (PUG) dalam perencanaan
kebijakan/program/kegiatan pembangunan.

Pelaksanaan PUG di Indonesia telah dimulai pada pada awal tahun


2000, yaitu dengan menggunakan GAP sebagai alat analisis
perencanaan pembangunan untuk mengevaluasi dan menganalisis
kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan dalam Repelita VI di
sektor ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, serta koperasi
dan usaha kecil menengah. Hasil evaluasi dan analisis tersebut
menunjukkan bahwa tidak satupun kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan dari kelima sektor tersebut di atas (dalam Repelita VI)
yang secara eksplisit responsif gender. Hasil analisis dari kelima sektor
tersebut, yang dikenal dengan Policy Outlook and Plan of Action-POP,
selanjutnya digunakan sebagai bahan masukan dalam penyusunan
rencana pembangunan selanjutnya, yaitu Program Pembangunan
Nasional (Propenas) 2000-2004, agar menjadi responsif gender.
Sebagai hasil dari proses perencanaan yang responsif gender, maka
Propenas 2000-2004 yang telah diundangkan sebagai UU No. 25
Tahun 2000 untuk pertama kalinya memuat 19 program pembangunan
yang responsif gender yang tersebar ke dalam 5 sektor pembangunan,
yaitu sektor hukum, ekonomi (khususnya ketenagakerjaan), politik,
pendidikan, dan sosial budaya (khususnya kesehatan, kesejahteraan
sosial, dan keluarga berencana).

2
Pada setiap Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) – mulai dari
Repeta 2001 hingga Repeta 2004, yang merupakan penjabaran dari
Propenas 2000-2004, upaya PUG terus dilakukan, dan hasil nyata yang
diperoleh adalah bertambahnya program yang responsif gender.
Hingga Repeta 2004 telah terdapat 38 program yang responsif gender,
tersebar di 9 sektor pembangunan, yaitu: ketenagakerjaan,
pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan UKM, kesejahteraan
sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup. Hal
tersebut terutama didukung oleh adanya komitmen Pemerintah melalui
pengesahan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG dalam
Pembangunan Nasional, yaitu suatu Instruksi Presiden kepada semua
Menteri, Lembaga Tinggi Negara, Panglima Angkatan Bersenjata,
Gubernur, Bupati, dan Walikota, untuk melakukan PUG dalam
keseluruhan proses pembangunan, mulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari seluruh kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan.

Strategi PUG ke dalam proses pembangunan dewasa ini semakin


diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, yang
telah diundangkan sebagai Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005,
mengamanatkan bahwa peningkatan kualitas hidup perempuan serta
kesejahteraan dan perlindungan anak merupakan salah satu dari
agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Upaya
tersebut diperkuat setiap tahunnya, melalui Rencana Kerja Pemerintah
(RKP), yang merupakan penjabaran dari RPJMN. Dalam RKP 2006,
pengarusutamaan gender telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip
pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh sektor
pembangunan untuk memastikan kebijakan/program/kegiatan
pembangunan responsif terhadap isu-isu gender. Disebutkan di dalam
RKP 2006 tersebut, bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional
harus senantiasa mempertimbangkan prinsip-prinsip
pengarusutamaan, yaitu tata-laksana pemerintahan yang baik (good
governance), pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
partisipasi masyarakat, desentralisasi, dan gender.

Setelah 5 (lima) tahun pelaksanaan PUG, Direktorat Kependudukan


dan Pemberdayaan Perempuan Bappeda dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan (KPP), dengan menunjuk Tim Evaluator
Independen (Tim Ahli Gender 9 Sektor), mengambil langkah untuk
melakukan evaluasi proses pelaksanaan PUG di 9 sektor pembangunan
yang telah memiliki kebijakan/program/kegiatan yang responsif
gender. Evaluasi dilakukan melalui Kementerian/Lembaga, yang
terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan program-program yang
responsif gender di 9 sektor tersebut, yaitu:

1. Sektor ketenagakerjaan – Departemen Tenaga Kerja dan


Transmigrasi
2. Sektor pendidikan – Departemen Pendidikan Nasional

3
3. Sektor hukum – Departemen Hukum dan HAM, Kejaksaan
Agung, Mahkamah Agung, dan Polri
4. Sektor pertanian – Departemen Pertanian
5. Sektor koperasi dan usaha kecil dan menengah – Kementerian
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
6. Sektor keluarga berencana – Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN)
7. Sektor kesehatan – Departemen Kesehatan
8. Sektor kesejahteraan sosial – Departemen Sosial
9. Sektor lingkungan hidup – Kementerian Negara Lingkungan
Hidup

Selain melakukan evaluasi PUG pada Kementerian/Lembaga tersebut


di atas, juga dilakukan evaluasi PUG di tingkat daerah, yaitu pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Evaluasi PUG di daerah
dilaksanakan di 3 (tiga) provinsi, yaitu Jawa Timur, Sumatera Utara,
dan Kalimantan Barat. Dari setiap provinsi, kemudian dipilih satu
kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Sidoarjo di Provinsi Jawa Timur,
Kabupaten Langkat di Provinsi Sumatera Utara, dan Kota Pontianak di
Provinsi Kalimantan barat.

1.2. Tujuan

Tujuan dari kegiatan evaluasi PUG ini adalah:

1. Melakukan penilaian atas pelaksanaan PUG ke dalam kebijakan/


program/kegiatan pembangunan pada 9 sektor pembangunan di
tingkat pusat dan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Penilaian yang dilakukan mengacu pada apa yang menjadi
tujuan semula dari melakukan PUG di masing-masing sektor
(sebelum dan sesudah Inpres 9/2000) serta tujuan yang
berkembang kemudian;
2. Melakukan dokumentasi atas proses pelaksanaan PUG di 9
sektor tersebut, dan memetik pelajaran (lesson learned) dari
pelaksanaan PUG sebagai masukan penyempurnaan kebijakan
PUG di 9 sektor pembangunan untuk masa datang. Untuk
melihat pelaksanaan PUG di tingkat daerah, evaluasi akan
dilakukan dengan mengunjungi 3 provinsi dan 3 kabupaten/kota
di provinsi tersebut, yaitu Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten
Garut;
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pelaksanaan PUG di 9 sektor tersebut; dan
4. Memberikan rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan PUG di
9 sektor tersebut, dan di tingkat kabupaten/kota.

4
1.3. Hasil yang diharapkan

Hasil yang diharapkan dari kegiatan evaluasi PUG ini adalah


tersusunnya hasil evaluasi pelaksanaan PUG serta rekomendasi
kebijakan untuk 9 sektor pembangunan tersebut di atas, serta untuk
provinsi dan kabupaten/kota.

1.4. Waktu pelaksanaan

Kegiatan evaluasi PUG ini dilakukan dalam kurun waktu pertengahan


November 2021 sampai dengan pertengahan Februari 2022.

1.5. Metodologi

1.5.1. Kerangka Kerja

Mengacu pada keadaan ideal pelaksanaan PUG, maka komponen/


aspek yang akan dievaluasi adalah:

1. Aspek Dukungan Politik

Evaluasi mengenai dukungan politik dari pimpinan


Kementerian/Lembaga dan Kepala Pemerintah Daerah terhadap
pelaksanaan PUG. Komponen yang ditelaah antara lain adalah:
(1) ada atau tidaknya Surat Keputusan Pimpinan Kementerian/
Lembaga dan Kepala Pemerintah Daerah yang terkait; dan (2)
ada atau tidaknya peraturan-peraturan atau keputusan internal
yang memungkinkan pelaksanaan PUG dapat terlaksana dan
berpotensi untuk terlembaga (sustained).

2. Aspek Kebijakan

Evaluasi mengenai dampak dari dukungan politik yang ada pada


kebijakan/program/kegiatan di sektor terkait, yaitu dilihat dari:

a) apakah kebijakan/program/kegiatan pokok yang responsif


gender dalam, RPJMD 2019-2024, dan RKPD 2022, telah
terjabarkan ke dalam dokumen Rencana Lima Tahunan
(Renstra/Renja) dan dokumen Rencana Tahunan (RKP/RKPD)
dari masing-masing SKPD
b) apakah kebijakan/program/kegiatan yang responsif
gender di sektor/daerah tersebut semakin bertambah dan
terus dilaksanakan.

5
3. Aspek Kelembagaan

Evaluasi atas potensi PUG untuk dapat terus terlaksana


(sustained) di Kementerian/Lembaga/Provinsi/Kabupaten/Kota
tersebut, antara lain dapat dilihat dari komponen: (1) tingkat
otoritas dari unit kerja terstruktur yang menangani PUG (letak
unit dan jenjang eselon); (2) keberadaan unit kerja fungsional
(focal point, kelompok kerja, Forum PUG, Dewan Pakar, dll);
dan (3) sifat dari unit PUG yang ada, apakah terintegrasi ke
dalam struktur perencanaan Kabupaten atau masih bersifat ad
hoc.

4. Aspek Sistem Informasi

Evaluasi atas tingkat dukungan serta ketersediaan dana dan


sarana bagi pelaksanaan PUG, antara lain yang mencakup:
ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin; pelaksanaan
advokasi/sosialisasi; serta pelaksanaan komunikasi, informasi
dan edukasi (KIE) internal maupun ekternal mengenai GAP dan
PUG.

5. Aspek Sumber Daya Manusia

Evaluasi atas kapasitas sumber daya manusia yang ada, yang


mampu melaksanakan PUG.

1.1.2. Piranti Evaluasi

Kegiatan evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi


pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data dan informasi yang
diperlukan dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner, serta
melakukan desk review, interview, focus group discussion (FGD),
diskusi, dan observasi. Sifat analisis dari kegiatan evaluasi ini adalah
deskriptif analisis, yaitu berusaha untuk menggambarkan proses
pelaksanaan PUG yang sudah berjalan saat ini serta melakukan
analisis atas tantangan dan keberhasilan yang ada untuk dapat
memberikan rekomendasi untuk pelaksanaan PUG di masa
mendatang.

6
BAB II
EVALUASI PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN
GENDER DI SEKTOR KETENAGAKERJAAN

2.1. Perkembangan Pengarusutamaan Gender Sektor


Ketenagakerjaan

Kegiatan yang mengawali pelaksanaan PUG di sektor tenaga kerja,


diprakarsai oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan berjalan
efektif mulai tahun 1999. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans) sebelumnya telah banyak melakukan kegiatan
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pemberdayaan pekerja
perempuan. Pada awalnya kegiatan pengarusutamaan gender (PUG)
hanya merupakan tindak lanjut dari kegiatan peningkatan peranan
wanita (P2W). Dengan memberikan pemahaman sekaligus penyadaran
yang terus menerus, akhirnya mulai dipahami bahwa P2W, dan
kegiatan PUG yang pada awalnya dianggap sama dengan P2W,
sesungguhnya berbeda dengan PUG. Secara internal hingga tahun
2003 kegiatan ini masih terus berlanjut dan menjadikan isu PUG
sebagai isu yang penting untuk dikembangkan. Bentuk-bentuk
pelatihan PUG terus diberikan dan dikembangkan sebagai landasan
pemahaman gender mainstreaming.

Pemahaman mengenai PUG terus disosialisasikan, tidak hanya dalam


lingkup Disnakertrans tetapi juga disosialisasikan kepada BUMN dan
swasta/perusahaan-perusahaan, dalam rangka memberikan
pengertian tentang pentingnya pengarusutamaan gender. Selain
sosialisasi, dilakukan pula pemberian pelatihan Gender Mainstreaming.
Dalam lingkungan internal, pejabat-pejabat yang telah diberikan
sosialisasi umumnya mereka belum menyadari dan memahami
mengenai pentingnya pengarusutamaan gender dalam pembangunan.
Masih banyak di antara pejabat yang kurang dapat memahami
perbedaan antara pemberdayaan perempuan melalui kegiatan P2W,
dengan pengarusutamaan gender. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena tidak ada perubahan nama unit yang menangani peranan
wanita (termasuk pejabatnya).

Ketika terjadi perubahan dalam Struktur Organisasi Disnakertrans, unit


kerja yang pada awalnya mempunyai tugas dan fungsi untuk
menangani pekerja perempuan setingkat eselon 4, dikembangkan
menjadi unit kerja khusus di bawah eselon 3. Unit kerja

7
ini mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pengawasan
kepada pekerja perempuan, berkaitan dengan upaya pemberian
perlindungan bagi pekerja perempuan.

Isu gender yang terus disosialisasikan instansi Bappeda dan Dinas


Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan
Perempuang dan Perlindungan Anak, telah berimplikasi kepada
pelaksanaan kegiatan (implementasi) di lapangan. Kegiatan- kegiatan
yang semula khusus ditujukan untuk membantu wanita melalui
kegiatan P2W, secara perlahan berubah menjadi kegiatan PUG. Sebagai
contoh, kegiatan yang dikembangkan untuk masyarakat dalam rangka
penciptaan kesempatan berusaha, pendayagunakan Forum
Musyawarah Kecamatan, dan Unit Pengelola Keuangan untuk
permodalan usaha bagi perempuan. Pelatihan/ sosialisasi PUG terus
dikembangkan melalui pelatihan-pelatihan TOT Gender Mainstreaming
mulai tingkat pusat hingga di beberapa wilayah (center) dan dilakukan
secara terus menerus mulai tahun 1999-2003.

Untuk mengembangkan kegiatan pengarusutamaan gender di sektor


tenaga kerja, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menjadi
koordinator dalam kegiatan PUG bersama ILO/UNDP. Bantuan hibah
dari organisasi internasional yaitu ILO bekerjasama dengan UNDP
membantu pelaksanaan kegiatan pengarusutamaan gender di
Departemen Tenaga Kerja Pusat dan di 15 provinsi, pada tahun
2000/2001. Kegitan ini melibatkan Non Government Organization
(NGO) yang seleksinya berdasarkan proposal yang diajukan. Kegiatan-
kegiatan yang mengarusutamakan gender banyak melibatkan NGO
bersama pakar gender di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Beberapa catatan berkaitan dengan kegiatan PUG, yang dapat


dihimpun adalah sbb:

1. Dukungan politik yang nyata nampak dengan dikeluarkannya


Surat Edaran Sekretaris Jenderal Disnakertrans No. 5 Tahun 1998
tentang Pengembangan Gender dalam Pelaksanaan Program dan
Proyek di Lingkungan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mulai
tahun anggaran 1998/1999.
2. Kebijakan yang mendukung pelaksanaan pengarusutamaan
gender di Disnakertrans menunjukkan adanya trend yang positif.
Respon dari unit-unit terkait di Disnakertrans turut memberikan
kontribusi dalam kegiatan pengarusutamaan gender.
3. Untuk menunjang kegiatan PUG di Disnakertrans, peran aktif
unit yang memprakarsainya cukup besar. Bersama ”focal point” yang
tergabung dalam PUG melakukan penyadaran dan pemahaman kepada
unit-unit kerja di lingkungan Disnakertrans. Mulai dari pejabat eselon
1, eselon 2, eselon 3, dan eselon 4 diberikan sosialisasi mengenai
pengarusutamaan gender. Meskipun unit kerja yang menangani
pengarusutamaan gender masih sama dengan unit kerja pelaksanaan
program-program P2W, tetapi pemahaman pelaksana PUG cukup

8
dinamis. Kegiatan pengarusutamaan gender yang semula hanya
berada di bawah satu program berkembang menjadi 2 (dua) program.

4. Seiring dengan kebutuhan dana untuk menunjang kegiatan PUG


yang semakin berkembang dari tahun ke tahun, perhatian dari
pimpinan sangat besar, dengan dikeluarkannya Surat Edaran
sebagaimana butir (1).
5. Pemilahan data ketenagakerjaan antara laki-laki dan
perempuan, sudah dimulai sejak tahun 1989, sebelum
dikembangkannya program PUG. Pengembangan data gender saat ini
dikembangkan oleh Pusat Data dan Informasi Ketenagakerjaan.
6. Unit kerja yang semula menangani pengarusutamaan gender
berada di tingkat eselon 4, kemudian berkembang ke unit kerja di
tingkat eselon 3. Khusus unit kerja yang memberikan pengawasan dan
perlindungan kepada perempuan dan anak, telah dikembangkan
menjadi satu direktorat tersendiri setingkat eselon 2.

2.2. Pelaksanaan PUG Sektor Ketenagakerjaan

Pelaksanaan PUG di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang


difokuskan dalam evaluasi ini meliputi 5 aspek, yaitu (a) dukungan
politik, (b) kebijakan, (c) kelembagaan, (4) sistem informasi, dan (5)
sumber daya manusia (SDM).

2.2.1. Aspek Dukungan Politik

Kebijakan Disnakertrans mengenai pengarusutamaan gender, mulai


nampak pada masa pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional. Pada
waktu itu, pemerintah secara bersungguh-sungguh dan konsisten telah
melakukan berbagai upaya reformasi hukum ketenagakerjaan
termasuk hukum atau peraturan untuk menangani masalah gender.
Hal ini sejalan dengan amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya untuk
meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Di samping itu,
Konvensi PBB tahun 1979 tentang ”Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan”, juga telah diratifikasi dengan UU
No. 7 Tahun 1984. Selanjutnya, pada tahun 2000 diterbitkan Inpres
No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional.

Berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan, Indonesia saat ini telah


meratifikasi Konvensi ILO NO. 100 mengenai Pengupahan Sama bagi
Buruh Laki-laki dan Perempauan untuk Pekerjaan yang Sama.
Konvensi ini didukung dengan UU No. 80 Tahun 1957. Konvensi
lainnya yang berkaitan dengan ini, adalah Konvensi ILO No. 111 tahun
1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Pelaksanaannnya didukung dengan UU No. 21 Tahun 1999.

9
Untuk mendukung kebijakan-kebijakan tersebut, maka disusun
perangkat peraturan untuk mendukung pelaksanaan konvensi ILO,
antara lain:

1. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1988 tentang


Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Wanita;
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3 Tahun 1989 tentang
Larangan PHK bagi Pekerja Perempuan yang Menikah, Hamil,
dan Melahirkan;
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1989 tentang
Pedoman Mempekerjakan Pekerja Perempuan Malam Hari;
4. Instruksi Menteri Tenaga Kerja No. 02 Tahun 1991 tentang
Memberikan Keleluasaan bagi Pekerja Perempuan yang
Menyusui Anak;
5. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 4 Tahun 1996 tentang
Larangan Diskriminasi bagi Pekerja Perempuan dalam Peraturan
Perusahaan;
6. Surat Keputusan bersama antara Ditjen Binawas dan Ditjen
Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan No. 22 Tahun
1996 dan No. 202 Tahun 1996 tentang Kekurangan Gizi pada
Pekerja Perempuan.

2.2.2. Aspek Kebijakan

Kebijakan, program, dan kegiatan pokok yang responsif gender di


tingkat pusat yang dituangkan ke dalam Propenas 2000-2004 dan
Repeta 2001-2004 selanjutnya telah dituangkan ke dalam kegiatan di
daerah. Kegiatan ini terbatas dari anggaran pusat melalui dana
dekonsentrasi. Kebijakan Departemen sebagai turunan dari Kebijakan
Nasional (Propenas 2000-2004 dan RPJMN 2004-2009) telah secara
tegas tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.

Program-Program yang Responsif gender

Mencermati berbagai dampak negatif yang sering terjadi dalam


pekerjaan, serta melihat masih adanya kelemahan dalam
pelaksanakan program pembangunan, pendekatan pengintegrasian
gender dalam arus utama yang dilakukan melalui program-program di
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini dimaksudkan untuk
mempertimbangkan kedudukan pekerja perempuan dan laki-laki yang
mana telah diperhitungkan pula keikutsertaannya dalam kegiatan-
kegiatan program pembangunan.

10
Program-program pengarusutamaan gender yang dilakukan
mencakup:

1. Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja,


melalui kegiatan: (a) penyusunan informasi pasar kerja dan
pelayanan bursa kerja, dan (b) penyebarluasan informasi
lowongan kerja dan penyempurnaan mekanisme penempatan
TKI;
2. Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga
Kerja, melalui kegiatan penyempurnaan berbagai peraturan
yang berkaitan dengan pengawasan dan perlindungan tenaga
kerja.

1. Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan


Kerja

Evaluasi yang dilakukan dalam program ini difokuskan pada kegiatan


(a) penyusunan informasi pasar kerja dan pelayanan bursa kerja, dan
(b) penyebarluasan informasi lowongan kerja. Kedua kegiatan ini erat
kaitannya dengan upaya menghilangkan diskriminasi bagi pekerja
perempuan.

Kegiatan pengarusutamaan gender yang diberikan dalam bentuk


pendidikan dan pelatihan meliputi:

11
1. Keterampilan Teknis.
Pendidikan keterampilan teknis yang dilaksanakan berkaitan
dengan keterampilan karyawan laki-laki dan perempuan yang
menjadi tanggungjawabnya.
2. Keterampilan Manajerial.
Pendidikan keterampilan manajerial adalah pendidikan dan
pelatihan yang berkaitan dengan penjenjangan karir karyawan
laki-laki dan perempuan.

Melalui pendidikan dan pelatihan tersebut disosialisasikan pula


program pengarusutamaan gender kepada para pelaksana program di
tingkat pemerintahan pusat dan tingkat pemerintahan daerah,
sebagian SDM di beberapa kantor BUMN dan beberapa perusahaan
swasta.

a. Rekrutmen

Pengarusutamaan gender yang dilakukan melalui kegiatan tersebut


meliputi kegiatan sejak rekrutmen sampai penempatan. Rekrutmen
merupakan bagian dari proses mendapatkan calon pekerja yang akan
ditempatkan. Dalam melakukan kegiatannya, petugas pengantar kerja
melakukan sosialisasi dengan menghimbau kepada perusahaan swasta
maupun badan usaha milik negara dan instansi pemerintah agar tidak
melakukan diskriminasi terhadap calon tenaga kerja laki-laki dan
perempuan. Penekanan diberikan kepada para pengantar kerja agar
selalu memperhatikan kesetaraan gender. Diskriminasi antara laki-laki
dan perempuan benar-benar tidak boleh terjadi dalam proses ini.
Kegiatan perekrutan dimulai melalui tahapan sebagai berikut:

1. Rekrutmen tenaga kerja dimulai sejak adanya pengumuman


lowongan di media masa. Pengumunan adanya lowongan secara jelas
sudah disebutkan bahwa hendaknya tidak membedakan antara
perempuan dan laki-laki. Biasanya iklan lowongan pekerjaan yang ada
hingga saat ini masih nampak membedakan jenis pekerjaan untuk
laki-laki dan perempuan.
2. Pendaftaran pencari kerja pada Bursa Kerja dimaksudkan untuk
memberikan layanan antar kerja, melalui pengisian formulir AK 1.
Pendaftaran pencari kerja harus menganut prinsip-prinsip: (i) tanpa
diskriminasi atau tidak membedakan suku, agama, golongan, atau
kondisi tubuh pencari kerja; (ii) pendaftaran sesuai urutan kedatangan
pencari kerja, artinya tidak membedakan laki-laki dan perempuan; dan
(iii) sesuai dengan prosedur yang berlaku yang tidak bertentangan
dengan prinsip gender.
3. Wawancara kepada pencari kerja dalam rangka mendalami dan
mengetahui minat, bakat, dan kemampuan pencari kerja yang
mendaftarkan diri harus netral, dan tidak boleh memiliki persepsi
bahwa kemampuan laki-laki lebih dari kemampuan perempuan.

12
Dari ketiga hal tersebut, sangatlah jelas bahwa pengarusutamaan
gender dalam proses perencanaan sampai dengan pelaksanaan
kegiatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender telah
dilaksanakan di sektor ketenagakerjaan.

b. Penempatan

Berkaitan dengan kegiatan penempatan, petugas pengantar kerja


telah mempertimbangkan pengarusutamaan gender. Beberapa hal
yang sudah diperhatikan seperti:

1. Kesamaan hak, yaitu kesamaan hak dalam mendapatkan


berbagai fasilitas hasil imbalan yang harus diterima oleh tenaga kerja
laki-laki dan perempuan.
2. Kesamaan kesempatan, yang berpeluang mendapatkan akses
yang sama terhadap berbagai jenis pekerjaan yang ada dan tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan.
3. Transparan dalam melakukan penempatan dan harus mempunyai
kejelasan aturan yang berlaku.
4. Memperhatikan kemampuan pegawai dalam menempatkan
posisinya, dan harus sesuai dengan kemampuannya dan tidak
memandang jenis kelamin, laki-laki atau perempuan.
5. Memperoleh legitimasi pada posisinya baik pekerja laki-laki
maupun perempuan.

Kelima hal tersebut merupakan kegiatan pengarusutamaan gender


yang dilakukan melalui program-program yang dilaksanakan di Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi

2. Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga


Tenaga Kerja

Evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender dalam program ini


difokuskan pada kegiatan penyempurnaan berbagai peraturan yang
berkaitan dengan pengawasan dan perlindungan tenaga kerja.

Kegiatan pengarusutamaan gender yang dilakukan melalui program ini


erat kaitannya dengan kerangka regulasi/peraturan yang dikeluarkan
oleh Disnakertrans. Dalam pelaksanaannya, kegiatan dalam program
ini lebih banyak memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan di
perusahaan. Perlindungan ini dimaksudkan karena banyak pekerja
perempuan yang kurang memperoleh perlindungan dari tempat
bekerjanya, seperti persoalan upah yang sering lebih rendah dari laki-
laki, kondisi kerja bagi pekerja perempuan, dan tidak tersedianya
fasilitas untuk menyusui bagi pekerja yang mempunyai bayi.
Selanjutnya Disnakertrans melakukan pengawasan di perusahaan

1
Pengantar Kerja adalah pegawai pemerintah (Disnakertrans/Pemda) yang bertugas
mempertemukan antara pencari kerja dan pengguna kerja.

13
yang banyak mempekerjakan pekerja perempuan oleh ”labour
inspection”.

Dari evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan


ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pekerja perempuan, terdapat
3 kebijakan, sebagai berikut:

1. Kebijakan yang bersifat protektif, yaitu kebijakan yang


diarahkan pada perlindungan fungsi reproduksi, seperti istirahat
haid, melahirkan/gugur kandungan, atau larangan pekerjaan di
sektor pertambangan dsb.
2. Kebijakan yang bersifat korektif, yaitu kebijakan yang
dirahkan pada peningkatkan kedudukan pekerja, seperti
larangan PHK pada perempuan yang karena menikah atau hamil
dsb.
3. Kebijakan yang bersifat non diskriminatif yaitu kebijakan
yang diarahkan pada kesetaraan hak dan kewajiban antara
pekerja laki-laki dan perempuan.

14
2.3. Kesimpulan

Pengenalan dan pengembangan pengarusutamaan gender yang


dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi cukup memadai.
Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan internal telah dilakukan secara
kontinyu.

Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pembangunan


ketenagakerjaan (program APBN), dinilai masih kurang memberi
manfaat bagi pengembangan PUG. Kegiatan-kegiatan yang ditujukan
untuk pengarusutamaan gender masih sangat terbatas. Belum banyak
kegiatan program ketenagakerjaan yang mengarusutamakan gender.
Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan dalam kegiatan
pengarusutamaan gender menggunakan pendekatan proyek.
Keterbatasan konsep pemahaman berwawasan gender para pelaksana
di lapangan menjadikan kendala dalam pengarusutamaan gender.
Sehingga dampak yang diperoleh kurang berarti dalam pembangunan
gender di sektor ketenagakerjaan.

15
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengembangkan
pengarusutamaan gender melalui kebijakan equal employment
opportunity (EEO). Kebijakan ini telah memberikan warna dalam
pengarustamaan gender dalam pasar kerja. Melalui kebijakan EEO
kemungkinan akan memberikan pengaruh yang sangat berarti dalam
pengarusutamaan gender dalam pasar kerja. Pendekatan melalui
kebijakan EEO sangat berbeda dengan pendekatan yang dilakukan
melalui kegiatan program-program pembangunan.

Hasil evaluasi menggambarkan bahwa ketidakadilan terhadap


perempuan dalam dunia kerja terus berlanjut sejak diadakannya
rekrutmen dari tahap penerimaan sampai dengan penempatan tenaga
kerja. Pada umumnya pekerja perempuan terkonsentrasi pada
pekerjaan-pekerjaan seperti misalnya di bidang garmen, elektronika,
makanan dan minuman, serta bidang jasa.

Penempatan tenaga kerja dalam pengarusutamaan gender juga harus


memperhatikan posisi pekerja perempuan dimana perempuan jangan
dianggap lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Sehingga antara
perempuan dan laki-laki harusnya ditempatkan pada posisi yang sama.

Stereotype terhadap perempuan di dalam dunia kerja sampai saat ini


sudah menjadi hal yang biasa dan kurang disadari. Pada umumnya
tenaga kerja perempuan secara tradisi terkonsentrasi pada bidang
pekerjaan domestik yang membutuhkan keterampilan dan ketelitian
seperti di sub bidang garmen, elektronika, makanan dan minuman.
Pandangan seperti ini harus diubah dengan beranggapan bahwa
perempuan juga bebas memilih jenis pekerjaan yang diminatinya dan
dikuasainya.

Tenaga kerja perempuan selama ini dianggap sebagai pencari nafkah


tambahan bagi keluarga. Karena laki-laki dianggap sebagai pencari
nafkah utama sehingga tenaga kerja perempuan tersisihkan atau
dinomor-duakan dalam dunia kerja. Juga sering mendapatkan jenis
pekerjaan yang rawan dan rentan perlindungan kerjanya. Melihat
permasalahan dalam PUG di sektor ketenagakerjaan, maka langkah
yang lebih tepat adalah dengan menggunakan pendekatan EEO dalam
pengarustamaan gender di pasar kerja.

16
BAB III
EVALUASI PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN
GENDER DI SEKTOR PENDIDIKAN

3.1. Perkembangan Pengarusutamaan Gender (PUG) Sektor


Pendidikan

Departemen Pendidikan Nasional sudah sejak lama memiliki komitmen


untuk meningkatkan peran serta perempuan dalam pembangunan. Hal
ini tercermin dari salah satu program yang dikembangkan melalui P2W
(Program Peranan Wanita). Pada saat itu (sebelum tahun 2000), P2W
diarahkan untuk mewujudkan peranan wanita sebagai mitra sejajar
pria melalui peningkatan kemandirian secara aktif dalam
pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan
bertaqwa, sehat, sejahtera, dan bahagia serta untuk pengembangan
anak, remaja, dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya. Di samping itu, kualitas perempuan dikembangkan melalui
peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, keahlian
dan keterampilan, serta ketahanan fisik, mental spiritual agar lebih
dapat memanfaatkan kesempatan berperan aktif di segala aspek
kehidupan dan dalam segenap kegiatan pembangunan termasuk
dalam proses perencanaan, pelaksanan, pemerataan hasil, dan
pengambilan keputusan serta mampu menghadapi perubahan.

Berbagai program P2W yang telah dikembangkan pada saat itu, di


antaranya; (1) Program Pemberantasan Buta Aksara Wanita, (2)
Pendidikan Keterampilan bagi Wanita, yang berisi berbagai latihan
keterampilan untuk meningkatkan kemampuan wanita, (3) Pendidikan
Keluarga Berwawasan Kemitrasejajaran Wanita dengan Pria, (4)
Latihan Kepemimpinan Wanita, (5) Pembinaan Peranan Wanita, dan
(6) Pembentukan Pusat Kegiatan Wanita (Pusginita).

Seiring dengan perubahan pada masyarakat, peningkatan peranan


wanita memiliki tantangan yang berubah. Pembangunan yang telah
dilaksanakan selama ini ternyata belum mampu mendorong
terwujudnya kesetaraan gender khususnya bagi perempuan. Hasil
pembangunan menunjukkan, dalam hampir di semua sektor
pembangunan (termasuk pendidikan), pencapaian perempuan jauh
tertinggal dibandingkan dengan lawan jenisnya, walaupun sebenarnya
kebijakan, dan program pembangunan telah menganut anti-
diskriminasi gender. Hal ini disebabkan karena adanya kesempatan
yang timpang menurut jenis kelamin yang berimplikasi jauh terhadap
berbagai gejala ketidakadilan gender. Hubungan yang timpang itu
secara empiris mengakibatkan kesetaraan gender semakin tereduksi,
posisi perempuan semakin tersubordinasi, sehingga kontribusi
perempuan terhadap sejumlah bidang pembangunan semakin lemah;
dan lebih jauh ketimpangan ini akan berimplikasi terhadap lambannya

17
produksi nasional. Berkaitan dengan isu gender tersebut, prioritas
pembangunan perlu didefinisikan kembali dengan menyebut secara
eksplisit bahwa pembangunan nasional antara lain bertujuan untuk
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Di samping itu, terdapat masalah gender yang khusus terkait dengan


pendidikan, yaitu; (1) persoalan pada pemerataan dan keadilan dalam
memperoleh pendidikan yang bermutu pada setiap jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan, (2) pengelolaan pendidikan dan SDM para pengelola
pendidikan, (3) kurikulum, buku atau bahan ajar, dan proses
pembelajaran, (4) program studi dan penjurusan.

Atas dasar hal tersebut, pada tahun 2002 Departemen Pendidikan


Nasional (Depdiknas) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Luar
Sekolah dan Pemuda (Ditjen PLSP) telah membentuk Kelompok Kerja
Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) dalam sektor pendidikan.
Sebenarnya hal ini merupakan tindak lanjut dari Inpres No.9 Tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional, di mana Presiden Republik Indonesia telah menginstruksikan
kepada seluruh Menterim, Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Gubernur, Bupati/Walikota, untuk melaksanakan
pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan, pelaksanaan, serta
pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program yang
berperspektif kesetaraan dan keadilan gender sesuai dengan bidang
tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing.

Sehubungan dengan hal tersebut, berbagai program dan kegiatan


pengarusutamaan gender sektor pendidikan telah disusun dan
dikembangkan oleh Pokja PUG Depdiknas, dengan kegiatan pokok
sebagai berikut: (1) Advokasi dengan pimpinan Depdiknas, yaitu
berupa workshop PUG bagi para pejabat tingkat pusat dan daerah
melalui program pengembangan kapasitas (capacity building).
Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah dalam bentuk roundtable
discussion (RTD) dengan para penentu kebijakan pendidikan; (2)
Analisis kebijakan, yaitu melakukan berbagai analisis terhadap
substansi pendidikan, serta perumusan bahan kebijakan Departemen
Pendidikan Nasional; (3) Kerjasama dengan Pusat-Pusat Studi
Wanita/Gender (PSW/G), organisasi wanita, serta lembaga-lembaga
swadaya masyarakat (LSM) pemerhati perempuan; (4) Penyusunan
Profil Pendidikan dan pengembangan database pendidikan menurut
jenis kelamin, guna menghasilkan data statistik serta indikator
pendidikan yang berwawasan gender; (5) Komunikasi Informasi dan
Edukasi (KIE), yaitu berupa sosialisasi mengenai kesetaraan dan
keadilan gender melalui berbagai media massa atau media lain yang
relevan untuk menjangkau masyarakat luas.

Adapun tujuan program PUG sektor pendidikan yang dikoordinasikan


melalui Pokja PUG yang ada di lingkungan Ditjen PLSP adalah untuk
membantu para pengambil keputusan di Depdiknas dalam upaya

18
peningkatan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai
komponen sistem pendidikan nasional, melalui penetapan kebijakan,
perluasan pemahaman, serta penyusunan rencana aksi nasional sektor
pendidikan yang berwawasan gender. Untuk mencapai tujuan tersebut,
Pokja berkoordinasi dengan berbagai unit kerja terkait baik di
lingkungan Depdiknas, dinas-dinas pendidikan provinsi dan
kabupaten/kota maupun organisasi kemasyarakatan dalam
pelaksanaan kegiatan pengarusutamaan gender yang meliputi
pelaksanaan berbagai studi kebijakan, perumusan bahan kebijakan
Mendiknas, perumusan rencana aksi nasional yang diperlukan pada
berbagai unit kerja terkait sebagai persiapan untuk pelaksanaan
gerakan nasional pembangunan pendidikan yang berwawasan gender.

Pada tahun 2003, 2004, dan 2005, Pokja PUG melakukan perluasan
dan pendalaman kegiatan agar semakin peka terhadap pemecahan
masalah yang berkaitan dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender dalam berbagai komponen mendasar dalam sistem pendidikan
nasional. Perluasan dilakukan dengan menambah cakupan daerah
provinsi dan kabupaten/kota serta satuan pendidikan, analisis bahan
ajar yang semakin mencakup lebih banyak bidang studi, pelibatan
komponen masyarakat yang semakin meluas, penyebarluasan
pemahaman yang dapat menyentuh sebanyak mungkin para pengelola
dan pelaksana pendidikan, serta penambahan beberapa kegiatan yang
dianggap lebih menyentuh kebutuhan masyarakat terhadap program
PUG.

Pendalaman dilakukan di antaranya melalui penambahan topik-topik


penelitian yang semakin sesuai dengan kebutuhan pemecahan
masalah pendidikan yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan
gender dan mengarah kepada program aksi yang secara langsung
dapat dipergunakan dalam program-program PUG, serta
pengembangan dan pelaksanaan model-model pendidikan sekolah,
pendidikan masyarakat dan pendidikan keluarga yang berwawasan
gender. Pemahaman akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender
pada berbagai dimensi sistem pendidikan nasional tidak hanya
dilakukan terhadap aparat pusat dan daerah, juga terhadap para
pelaksana serta stakeholder pendidikan pada setiap daerah dan satuan
pendidikan, seperti kepala sekolah, guru-guru, Dewan Pendidikan
maupun Komite Sekolah.

3.2. Pelaksanaan PUG Sektor Pendidikan

Pembangunan pendidikan yang berwawasan kesetaraan dan keadilan


gender memiliki arah dan kebijakan, seperti yang tertuang dalam
Inpres No. 9 Tahun 2000. Untuk mencapai kesetaraan dan keadilan
gender, pembangunan pendidikan perlu tetap diarahkan pada upaya
menangani persoalan kesenjangan gender yang terjadi pada sektor
pendidikan yang menyangkut isu akses, pemerataan, perluasan, dan

19
keadilan dalam pendidikan, mutu dan relevansi, dan efisiensi
manajemen pendidikan.

3.2.1. Aspek Dukungan Politik

Seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang peranan perempuan


dalam pembangunan, pelaksanaan PUG Sektor Pendidikan didasarkan
atas peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender


2. Kepmendagri Nomor: 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum
Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di
Daerah.
3. Kerjasama/kemitraan antara Depdiknas, Dinas Pendidikan
dengan DPR dan DPRD, misalnya dalam memberikan dukungan
kebijakan, yang secara khusus mengatasi isu gender
pendidikan.

20
3.2.2. Aspek Sumber Daya Manusia

Telah dilakukan advokasi, sosialisasi pelatihan kepada para pejabat


Pusat maupun Daerah. Pelatihan bertujuan untuk memberikan
pemahaman kepada para pengambil kebijakan dan pelaksana agar
sensitif terhadap isu kesetaraan gender.

Sasaran dari program PUG pendidikan lebih diarahkan pada penguatan


lembaga, sehingga sasaran yang telah dicapai dilihat dari jumlah
lembaga yang telah diberikan sosialisasi. Saat ini telah 25 provinsi, 58
kabupaten kota yang telah menerima penguatan kelembagaan. Namun
demikian, pelaksanaan sosialisasi yang semula ditujukan untuk para
pejabat, sering diwakilkan kepada stafnya, sehingga hasil sosialisasi
belum berdampak signifikan terhadap perubahan kebijakan dan
program pendidikan yang responsif gender.

Dari deskripsi di atas, secara sederhana Pelaksanaan PUG dalam


Sektor Pendidikan disajikan pada matriks di bawah ini:

21
Adapun hasil yang telah dicapai selama 4 tahun PUG di Sektor Pendidikan dapat dilihat pada matrik pencapaian di
bawah ini.

MATRIKS PENCAPAIAN PROGRAM PUG 2021-2022

KEGIATAN KELOMPOK HASIL YANG DICAPAI


No.
POKOK SASARAN 2019 2020 2021 2022
01 Capacity Perencana/penen  Rancangan  Position Paper Pemuktakhiran  Pemuktakhiran
Building PUG tu kebijakan Position  RTD untuk Data & Isu Data & Isu
Sektor pendidikan Paper PUG eselon III & II Position Paper Position Paper
Pendidikan tingkat pusat Tingkat di 5 Unit Utama  Vitalisasi Sub
Pusat Pokja Unit Utama
 Pelatihan
GAP & POP
5 Unit
Utama
Perencana/Penen  Draf Position Position Paper  Pemuktakhiran
tu kebijakan Paper dan RAD Provinsi dan RAD Data & Isu
pendidikan PUG sektor di 15 provinsi Position Paper di
tingkat provinsi Pendidikan di 15 provinsi
15 provinsi  Position dan RAD
 Pelatihan GAP & PUG Bidang
POP Pendidikan di 10
 RTD di 15 provinsi (baru)
provinsi

22
KEGIATAN KELOMPOK HASIL YANG DICAPAI
No.
POKOK SASARAN 2019 2020 2021 2022
Perencana/Penen Keikutsertaan 30 Penyusunan Draf Penyusunan Draf
tu kebijakan kab/kota dalam Position Paper Position Paper dan
pendidikan RTD Provinsi dan RAD 30 Kab/ RAD 45 Kab/Kota di
tingkat kab/kota Kota di 15 15 provinsi
provinsi
02 Studi Perempuan Hasil studi model
Kebijakan Marjinal pendidikan bagi
Pendidikan empat kelompok
Berwawasan perempuan
Gender/ marjinal di 4
Kemitraan provinsi
dengan PSW Data dan Data terpilah dan  Hasil studi
informasi BPS Informasi Sistem
pendidikan tahun Pendataan
2004 Pendidikan
Berperspektif
Gender
 Indikator
Pendidikan
Berperspektif
Gender
Kebijakan Terselenggara Terselenggara 17  Terselengg
pendidikan di 10 penelitian penelitian ara 17
provinsi gender sektor kebijakan penelitian
pendidikan pendidikan yang kebijakan
menghasilkan pendidikan
Profil gender yang

23
KEGIATAN KELOMPOK HASIL YANG DICAPAI
No.
POKOK SASARAN 2019 2020 2021 2022
pendidikan 15 menghasilkan
provinsi Profil gender
pendidikan 15
provinsi
(lama)
 Tersusunny  Tersusunnya
a profil gender profil gender
bidang bidang
pendidikan di pendidikan di 10
10 provinsi provinsi (baru)
(baru)
Hasil-hasil Meta analisis Meta analisis hasil
penelitian gender hasil studi tahun studi tahun 2004
bidang 2003
pendidikan
Peneliti PSW Meningkatnya Meningkatnya
Kemampuan Kemampuan
Metode GAP & Metode GAP & POP
POP pada peneliti pada pengelola dan
25 PSW peneliti PSW di 10
provinsi

24
KEGIATAN KELOMPOK HASIL YANG DICAPAI
No.
POKOK SASARAN 2019 2020 2021 2022
03 Kemitraan LSM Peduli Adanya Model dan  Block grant
dengan LSM Pendidikan Modul PKBG di 15 kepada 7
provinsi (30 kab/ LSM peduli
kota) bencana
ACEH
 Block grant
kepada 3
LSM peduli
bencana
busung lapar
di NTB
LSM Perempuan/ Adanya Adanya Model Dilaksanakannya
Organisasi Rancangan Pendidikan Adil Kegiatan Life
Perempuan Model Gender untuk Skills oleh 20
Pendidikan Adil Perempuan Organisasi
Gender untuk Marginal di 4 Perempuan
Perempuan daerah
Marginal di 4
daerah
04 Stakeholder Analisis Bahan Adanya hasil Penggandaan
Pendidikan Ajar yang Analisis Bahan Hasil Analisis
Responsif Gender Ajar Bahan Ajar
Penyusunan dan Draf Toolkit Guru Adanya Toolkit
Pengembangan dan Dosen Guru dan Dosen
Toolkit Guru dan
Dosen
Sosialisasi Bahan Sosialisasi Bahan Sosialisasi Bahan Sosialisasi Bahan

25
KEGIATAN KELOMPOK HASIL YANG DICAPAI
No.
POKOK SASARAN 2019 2020 2021 2022
Ajar yang Ajar kepada Ajar kepada Ajar kepada
Responsif Gender Anggota IKAPI di Anggota IKAPI di Anggota IKAPI di
tingkat pusat 15 provinsi 25 provinsi
penerima dana penerima dana
dekon dekon
05 Masyarakat Sistem Informasi Penyusunan Pemutakhiran Up-loading website
luas Gender dalam Website Data & Informasi pug_pendidikan
Pendidikan
KIE Talk Show Talk Show Radio, Talk Show Radio, Talk Show Radio
Radio, Iklan Iklan Layanan Iklan Layanan
Layanan Masyarakat Media Masyarakat Media
Masyarakat Cetak, Pembuatan Cetak,
Media Cetak dan Penanyangan Penanyangan
Filer di TV Filer di TV, CD
Tiga Tahun PUG
Pendidikan
06 Manajemen Pengelola Koordinasi dan Koordinasi dan Koordinasi dan
Program program di Pusat Sinkronisasi Sinkronisasi Sinkronisasi di 25
dan Provinsi program di 15 program di 15 provinsi penerima
provinsi sasaran provinsi penerima dana dekon
kegiatan pusat dana dekon Pengelola di 25
provinsi penerima
dana dekon paham
Perencanaan
Pendidikan
Responsif Gender

26
KEGIATAN KELOMPOK HASIL YANG DICAPAI
No.
POKOK SASARAN 2019 2020 2021 2022
Tersedianya
Panduan
Pengelolaan
Program dan
Panduan-panduan
semua jenis
kegiatan yang
termasuk dalam
strategi PUG
Pendidikan.

27
BAB IV
EVALUASI PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN
GENDER DI SEKTOR HUKUM
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan awal PUG di lingkungan Kejaksaan Agung dimulai pada tahun


2003 ketika untuk pertamakalinya dalam Repeta 2002-2004 terdapat
4 program yang responsif gender. Untuk itu Kejaksaan Agung bersama
dengan sektor hukum yang lain bersama-sama menyusun daftar
kegiatan yang responsif gender disamping juga membentuk Focal Point
PUG yang menangani kegiatan-kegiatan di instansi ini. Meskipun
demikian jauh sebelum adanya Focal Point PUG, Kejaksaan Agung
sudah menerbitkan berbagai kebijakan yang pada intinya memberikan
perlindungan bagi korban-korban kekerasan terhadap perempuan
utamanya yang berkaitan dengan perkara-perkara kejahatan dengan
kekerasan terhadap anak atau yang dilakukan oleh anak-anak (SE
nomor B-532/E/11/1995 tanggal 9 Nopember 1995 tentang Petunjuk
Tehnis tentang Penuntutan terhadap Anak), pelaksanaan UU nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (SE nomor B-
741/E/Epc.1/XII/1998 tanggal 15 Desember 1998) serta Masalah
Perlindungan terhadap Korban Kejahatan (termasuk di dalamnya
korban perkosaan) yang diatur dalam SE nomor B.187/E/5/1995
tanggal 3 Mei 1995. Surat-surat Edaran ini dikeluarkan oleh Jaksa
Agung Muda Tindak Pidana Umum yang merupakan pimpinan yang
langsung mengkoordinasikan operasional penegakan hukum bidang
tindak pidana umum yang mendapat masukan dari Biro Hukum
Kejaksaan Agung.

Evaluasi pelaksanaan PUG di sektor pembangunan hukum ini penting


untuk dilakukan karena dalam perpektif UUD 1945, hukum haruslah
menjadi dasar bagi pembangunan sektor lainnya. Selain itu, sektor
hukum adalah salah satu sektor yang dianalisis berdasarkan metode
Gender Análysis Pathway (GAP) yang kemudian menghasilkan Policy
Outlook and Plan of Action (POP) sektor hukum. Hasil analisis ini
kemudian menjadi dasar bagi perumusan Program Pembangunan
Nasional (Propenas) 2000-2004 (UU nomor 25 tahun 2000) yang
memfokuskan pembangunan hukum pada sektor pembangunan
peraturan perundang-undangan, penguatan kelembagaan dan budaya
hukum masyarakat serta pemberantasan KKN. Dalam Propenas inilah
untuk pertamakalinya memuat 19 program pembangunan yang
responsif gender yang ada di lima sektor pembangunan lainnya yakni
hukum, ekonomi, politik, pendidikan dan sosial budaya.

Jika dilihat pada program pembangunan nasional yang responsif


gender, maka akan tampak bahwa pada Repeta 2001 hanya terdapat
satu program yakni program pembentukan peraturan perundang-

28
undangan. Program ini tentu saja tidak mencukupi karena hanya
menyentuh satu aspek saja dari sistem hukum, yakni aspek substansi
atau materi hukum (legal content). Agar sistem hukum bisa berjalan
dengan baik untuk memastikan terciptanya kepastian dan keadilan
termasuk keadilan gender, maka pembangunan hukum nasional harus
pula diarahkan untuk membangun dua aspek sistem hukum yang lain,
yaitu aspek kelembagaan termasuk didalamnya sumberdaya manusia,
sarana dan prasarananya (legal structure) serta peningkatan
kesadaran dan budaya hukum masyarakat (legal culture). Dalam hal
ini, GBHN 1999-2004 yang menjadi dasar bagi perumusan Propenas
2000-2004 telah merumuskan dengan baik kebijakan pembangunan
sektor hukum yang mencakup ketiga aspek tersebut. Dalam GBHN
tersebut ditegaskan untuk melakukan perubahan hukum warisan
kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak berkeadilan
gender.

Atas dasar arahan GBHN ini serta masukan dari GAP/GAP sektor
hukum maka dalam Repeta 2001, 2002, 2003 dan 2004 pembangunan
sektor hukum berkembang dari satu program yaitu program
pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi 3 program
pada Repeta 2002 yang meliputi program pembentukan peraturan
perundang-undangan, program pemberdayaan lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum lainnya dan program peningkatan kesadaran
hukum dan pengembangan budaya hukum. Tiga program ini kemudian
berkembang lagi menjadi 4 program pada tahun 2003 dan 2004
dengan tambahan program penuntasan kasus KKN dan pelanggaran
HAM. Departemen/LPND/ Kementerian yang bertanggung jawab
terhadap program ini adalah Departemen Hukum dan HAM, Mahkamah
Agung, Kejaksaan Agung dan POLRI.

Untuk memastikan bahwa keempat program pembangunan sektor


hukum tersebut responsif gender dan perencanaannya sesuai dengan
Inpres nomor 9 tahun 2000 tentang PUG, maka sejak tahun 2003
dilakukan upaya pengarusutamaan gender ke dalam program-program
tersebut. Kegiatan utama pengarusutamaan gender di instansi-instansi
hukum tersebut lebih diarahkan kepada peningkatan kapasitas
kelembagaan (capacity building). Fokus kegiatan diarahkan pada
peningkatan sensitivitas gender pada sumberdaya manusianya baik
yang terlibat langsung pada kegiatan PUG maupun yang diharapkan
memberikan dampak langsung kepada pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat (seperti polisi, jaksa dan hakim) dan penerbitan
berbagai kebijakan internal yang responsif gender.

Kegiatan PUG sektor hukum ini pada gilirannya diharapkan dapat


memberikan dampak pada pembuatan kebijakan-kebijakan responsif
gender baik untuk peningkatan kapasitas internal (mengurangi gender
gap dan gender insensitivity) instansi tersebut maupun terbitnya
kebijakan-kebijakan yang berdampak luas kepada masyarakat serta
memberikan dampak pula bagi penyusunan program-program atau
kegiatan responsif gender pada perencanaan tahun berikutnya.

29
Akan tetapi sejauh mana kegiatan pengarusutamaan gender itu telah
dilaksanakan, bagaimana kelembagaannya, adakah dampaknya
terhadap kebijakan internal maupun kebijakan yang berdampak luas
terhadap masyarakat serta bagaimana pula dampaknya terhadap
pelaksanaan program pembangunan hukum di instansi yang
bersangkutan; ádalah pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab
dalam evaluasi ini sebagai dasar untuk melakukan penyempurnaan
GAP sebagai alat analisis dan kegiatan pengarusutamaan gender di
masa-masa yang akan datang.

Meski sejak tahun 2000 telah dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9


tahun 2000 tentang Pengarutamaan Gender dalam Pembangunan
serta kebijakan dalam GBHN untuk melakukan perubahan hukum
kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak berkedilan
gender, namun karena program responsif gender sektor hukum baru
dirumuskan dalam Repeta 2002-2004, maka sebelum tahun 2002 itu
belum ada satu unitpun yang menangani masalah-masalah yang
berkaitan dengan issue gender di lingkungan Kejaksaan Agung.

Akan tetapi setidaknya sejak tahun 1999, bekerjasama dengan


Convention Watch UI (yang menyediakan manual training CEDAW dan
gender bagi Jaksa), Diklat Kejaksaan Agung telah memasukkan
CEDAW/UU nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam kurikulum
Diklat Pembentukan Jaksa.Berdasarkan keputusan Jaksa Agung nomor
KEP-X-035/C/04/2005 tanggal 8 April 2005, kurikulum ini dibakukan
sebagai kurikulum tetap Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa
(PPPJ). Dalam kurikulum ini terdapat 4 mata pelajaran yang khusus
mengenai masalah gender dan anak yakni mata pelajaran Gender dan
Hukum, Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Transnational
Organised Crimes (yang didalamnya terdapat masalah perdagangan
orang khususnya perempuan dan anak) serta masalah Peradilan dan
Perlindungan Anak.Disamping itu terdapat pula mata pelajaran
pelanggaran HAM berat dan Hukum Acaranya.

A. KEJAKSAAN AGUNG

A.1. Pelaksanaan PUG di lingkungan Kejaksaan Agung

A.1.1. Aspek Dukungan Politik

Dari hasil wawancara dengan Focal Point dan laporan tertulis yang
berhasil dihimpun tampaknya pengambil keputusan di lingkungan
Kejaksaan Agung menyadari bahwa upaya untuk menjadikan
kepentingan perempuan dan laki-laki menjadi dimensi yang integral
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan dan evaluasi
kebijakan-kebijakan dan program nasional, sebagaimana diatur dalam
Inpres nomor 9 tahun 2000, sangat penting dan harus dilaksanakan
oleh semua instansi pemerintah termasuk Kejaksaan Agung. Untuk

30
melaksanakan Inpres nomor 9/2000 dan sejak ditetapkannya program
responsif gender dalam Repeta 2002, Kejaksaan Agung telah
menerbitkan keputusan Jaksa Agung nomor 680/A/JA/2001 untuk
pembentukan Focal Point/ Kelompok Kerja (Pokja) untuk
mengarusutamakan gender di lingkungan Kejaksaan Agung. Program
PUG di lingkungan Kejaksaan agung ini diharapkan dapat mendukung
efektitifitas dan efisiensi dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan
publik yang adil dan responsif gender. Saat ini Focal Point yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan PUG di Kejaksaan Agung adalah
Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan dengan melibatkan hampir
seluruh jajaran Kejaksaan Agung pada eselon II dan III.

Keputusan tersebut kemudian diperbaharui dengan keputusan Jaksa


Agung RI nomor KEP-008/C/Cr.3/01/2004 tanggal 13 Januari 2004.
Surat Keputusan ini kemudian menjadi dasar bagi pembentukan
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor KEP-X-
05/C/05/2005 tentang Pengarusutamaan Gender di lingkungan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Keputusan tersebut berisi pembentukan Kelompok Kerja/Tim Gender


Focal Point Pusat yang bertugas :
a. kelompok Kerja Evaluasi dan Pengembangan bertugas
melakukan evaluasi dan pengembangan guna menyusun
program pengarusutamaan gender;
b. kelompok kerja Konsultasi Hukum bertugas melakukan
konsultasi hukum terkait dengan penegakan hukum yang
responsif gender:
c. kelompok kerja Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan
bertugas melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan:
d. kelompok kerja Sosialisasi sistem TOT melakukan sosialisasi
dengan sistem TOT.

A.1.1.2. Kekuatan

Dibentuknya Kelompok Kerja tersebut dibawah koordinasi pejabat


Eselon I (Jaksa Agung Bidang Pembinaan) merupakan landasan yang
kuat bagi tim kerja PUG di lingkungan Kejaksaan Agung apalagi
dengan melibatkan seluruh unit kerja dalam organisasi Kejaksaan
Agung. Pelibatan ini akan berpengaruh kepada peningkatan
sensitivitas gender di unit-unit kerja tersebut, dan berpengaruh
kepada kinerja di masing-masing unit berkenaan dengan usaha-usaha
untuk melakukan pengarusutamaan gender di lingkungan Kejaksaan
Agung secara keseluruhan. Menempatkan kepala biro perencanaan
sebagai ketua merangkap koordinator dari tim evaluasi dan
pengembangan merupakan kebijakan yang tepat mengingat bahwa
biro inilah yang secara langsung dapat memastikan bahwa kegiatan
pengarusutamaan gender berada dalam rencana strategis Kejaksaan
Agung dan memastikan bahwa terdapat alokasi dana yang dibutuhkan
untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian ketentuan Inpres nomor 9
tahun 2000 tentang PUG di dalam pembangunan yang menetapkan

31
agar dilakukan PUG sejak perencanaan, dapat diterapkan dengan
seksama.

Hal ini juga menunjukkan kehendak politik dan komitmen yang kuat
dari pimpinan Kejaksaan Agung untuk secara serius
mengarusutamakan gender di seluruh lingkungan kerjanya.
Keterlibatan Biro Hukum dan Diklat merupakan kekuatan besar dalam
kelompok kerja ini karena upaya-upaya untuk melakukan perubahan
kebijakan (legal content) maupun perubahan perilaku penegak hukum
(legal structure) dan cara pandang masyarakat (legal culture) yang
sensitif gender dapat dilakukan secara lebih sistematis dan
programatik.

A.1.1.3. Kelemahan

a. Meskipun dalam SK tersebut, Jaksa Agung Bidang Pembinaan


disebut sebagai kelompok kerja/tim gender Focal Point pusat
tapi kelompok kerja ini tidak terdapat di tingkat Kejaksaan
Tinggi, apalagi di tingkat Kejaksaan Negeri. Mereka hanya
dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan apabila kegiatan tersebut
dilakukan di daerahnya. Hal ini tentu saja merupakan
kelemahan struktural yang berpengaruh besar bagi usaha-usaha
pengarusutamaan gender secara keseluruhan. Apalagi tim ini
dibentuk satu tahun sekali dengan orientasi proyek/anggaran
pertahun yang tersedia dan bersifat ad hoc serta hanya terdapat
di tingkat pusat dan tidak ada di tingkat daerah, Kajati
(provinsi) atau Kajari (kabupaten/kota). Oleh karena itu Tim
Kerja ini tidak tampak dalam struktur organisasi Kejaksaan
Agung. Hal ini akan mempengaruhi kepemilikan (ownership)
dari kegiatan ini. Di tingkat daerah merasa hanya sebagai obyek
atau unit pelaksana saja tanpa pelibatan yang berarti pada
tingkat perencanaan dan monitoringnya sehingga agak sukar
untuk diharapkan bahwa di tingkat daerah akan terbit
kebijakan-kebijakan yang responsif gender.

b. Kelemahan lainnya adalah bahwa pembagian tugas pada


masing-masing kelompok kerja kurang jelas hubungannya
dengan program-program yang telah ditetapkan dalam Repeta
2002-2004. Tidak terdapat keterangan yang cukup jelas tentang
penjabaran dari program dalam bentuk rencana kerja tahunan,
sehingga tidak bisa diketahui hasil kerja serta indikator
kinerjanya. Dokumen yang tersedia hanya menunjukkan adanya
pelaksanaan kegiatan Rencana Aksi Nasional (RAN)
Penghapusan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
tahun 2003 s/d 2007 oleh Kejaksaan Agung RI. Sasaran
kegiatan ini adalah adanya norma hukum dan tindakan terhadap
pelaku tindak kejahatan kekerasan perempuan dan anak melalui
program penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender dan
anak, dengan tujuan untuk mengembangkan norma hukum dan
pemberdayaan penegakan hukum.

32
c. Dari informasi tersebut diatas, meskipun tetap bisa dikaitkan
dengan program pembentukan peraturan perundang-undangan
yang responsif gender, namun terdapat ketidakjelasan dalam
memahami tujuan kegiatan pengarusutamaan gender yang
memastikan bahwa program-program dalam Repeta dapat
dijabarkan dan dilaksanakan menjadi program yang responsif
gender. Pelaksanaan RAN PKTP memang sangat penting, tapi
apakah kegiatan ini merupakan kegiatan yang berdiri sendiri
mengingat bahwa Jaksa Agung adalah salah satu
penandatangan SKB tentang pelaksanaan RAN PKTP, atau ini
merupakan entry Point untuk melakukan pengarutamaan gender
di lingkungan Kejaksaan Agung. Sehingga sasaran strategis
peningkatan sensitifitas gender para Jaksa bisa lebih
ditingkatkan, baik melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan
bersama dengan instansi lain yang terlibat dalam pelaksanaan
RAN PKTP atau secara proaktif melakukan terobosan dengan
mengeluarkan kebijakan internal (surat edaran atau keputusan)
sebagaimana yang telah dilakukan untuk memastikan bahwa
pelayanan atau pelaksanaan hukum yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung telah sensitif gender.

d. Kelemahan berikutnya adalah tidak adanya koordinasi yang


berkesinambungan dengan Kantor Kementerian Pemberdayaan
Perempuan sebagai kementerian yang bertanggungjawab dan
mempunyai mandat untuk memastikan bahwa kegiatan
pengarusutamaan gender berjalan dengan programatik dan
sistematis. Demikian pula tidak ada kejelasan koordinasi dengan
instansi sektor hukum lainnya yakni MA, Departemen Hukum
dan HAM dan juga dengan direktorat hukum Bappeda.
Sebagaimana ditetapkan dalam Inpres nomor 9 tahun 2000,
KPP mempunyai mandat untuk memberi bantuan tehnis kepada
instansi-instansi terkait termasuk melakukan koordinasi,
advokasi, komunikasi dan informasi termasuk tersedianya data
yang diperlukan.

e. Lemahnya koordinasi serta ketidakjelasan peran masing-masing


instansi menyebabkan berbagai ketegangan di lapangan apalagi
yang berkaitan dengan masalah-masalah finansial. Hal ini
pernah terjadi ketika melakukan kegiatan penguatan
kelembagaan dan penegak hukum di Lampung yang merupakan
kolaborasi antara KPP, MA dan Kejaksaan Agung yang kemudian
menyisakan persoalan-persoalan psikologis diantara para
pelaksana di ketiga instansi tersebut yang pada akhirnya
menghambat terjadinya koordinasi dan kerjasama antara KPP
dengan instansi-instansi tersebut.

f. Tidak tersedianya dana yang cukup bagi pelaksanaan PUG


merupakan kendala yang serius. Kegiatan yang ada lebih
difokuskan pada peningkatan kapasitas dengan melakukan

33
sosialisasi dan peningkatan sensitivitas gender, dan tidak ada
dana untuk melakukan kegiatan lain untuk mengarusutamakan
gender dalam program-program yang ada di Repeta. Adanya
kegiatan pengarusutamaan gender dan anak juga merupakan
kendala tersendiri. Menurut infomasi, penyatuan kegiatan
gender dan anak ini dalam APBN karena DPR tidak menyetujui
adanya kegiatan terpisah padahal UNICEF telah menetapkan
kebijakan mainstreaming children dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan.

g. Kelompok kerja evaluasi, tidak menunjukkan hasil yang jelas


dalam mengevaluasi kegiatan yang telah dilakukan.

A.1.1.4. Kesempatan

Namun demikian diantara kekuatan dan kelemahan diatas, adanya


komitmen yang tinggi pada pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung
merupakan kesempatan bagi kelompok kerja untuk mengembangkan
kelompok kerja dan kegiatannya menjadi kelompok kerja dan kegiatan
yang permanent dengan memastikan bahwa kelompok kerja ini
merupakan bagian dari struktur Kejaksaan Agung dan mempunyai
organisasi kerja sampai ke tingkat daerah. Sukses yang telah dicapai
selama ini juga menjadi modal yang baik untuk memperoleh dukungan
financial baik dari APBN maupun dari sumber lain untuk mempercepat
terintegrasinya perspektif gender dalam setiap proses pembangunan
sektor hukum di lingkungan Kejaksaan Agung.

A.1.1.5. Tantangan

Sifat kelompok kerja yang ad hoc sehingga harus diperbaharui setiap


tahun karena harus disuaikan dengan DIPA, lemahnya koordinasi dan
ketidakjelasan hubungan antara tujuan kegiatan pengarusutamaan
gender dengan program yang tercantum dalam Repeta serta program
lainnya seperti RAN Penghapusan Trafiking dan RAN Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan yang juga mempunyai program yang
sama dengan program Repeta meskipun terfokus pada masalah
kekerasan terhadap perempuan, menyebabkan dukungan politik yang
telah diberikan oleh pimpinan Kejaksaan Agung dengan membentuk
kelompok kerja ini bisa kehilangan arah dan sekedar mengerjakan
kegiatan-kegiatan/ proyek saja.

A.1.2. Aspek Kebijakan

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian pendahuluan diatas bahwa


jauh sebelum adanya kegiatan PUG, meski belum ada unit yang
menangani isu-isu gender namun Kejaksaan Agung telah
mengeluarkan beberapa kebijakan yang responsif gender dan bahkan
responsif terhadap kepentingan anak. Setelah adanya kegiatan PUG,
terdapat dua kebijakan yang dikeluarkan sehubungan dengan
penanganan kasus pardagangan prrempuan dan anak sebagai perkara

34
penting dan permintaan pengumpulan dan pelaporan data mengenai
kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak. Kebijakan ini
mengacu kepada Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi dan
protokolnya yang ditandatangani oleh Indonesia di Palermo pada tahun
2000 (SE nomor B-517/E/Ejp/9/2004) tertanggal 17 September 2004
tentang Pengendalian Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (money
laundering), Cyber Crime dan Perdagangan orang, perempuan/anak
sebagai perkara penting, dan SE nomor B-185/E/Ejp/03/2005
tertanggal 10 Maret tentang Pola Penanganan Perkara Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan Permintaan data.

Kebijakan lainnya yang dikeluarkan setelah adanya kegiatan PUG


adalah tentang pencantuman mata pelajaran gender dan hukum serta
masalah perdagangan perempuan dan anak, perlindungan dan
peradilan anak serta masalah kekerasan dalam rumah tangga dalam
kurikulum pendidikan dan pelatihan Jaksa. Selain kebijakan-kebijakan
tersebut diatas Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan untuk
mengembangkan norma hukum dan pemberdayaan penegak hukum
khususnya yang berkaitan dengan upaya untuk menghapuskan
kekerasan terhadap perempuan dan penghapusan eksploitasi dan
komersialisasi seksual anak

35
(DISARANKAN UNTUK MENJADI BAHAN MASUKAN DI
REKOMENDASI) BEBERAPA CATATAN TERHADAP
DATA-DATA YANGDIPEROLEH:

Jika kita menengok kembali konsep GAP/POP yang diperkenalkan


sejak tahun 2000 sebagai tindak lanjut dari strategi pengausutamaan
gender (PUG) sebagaimana yang ditetapkan dalam kebijakan Inpres
nomor 9/2000, maka sebenarnya ada beberapa hal yang ingin dicapai
dengan diterapkannya konsep dan strategi tersebut terutama yang
berkaitan dengan aspek kuantitative dan kualitatif dari relasi
(kekuasaan) gender baik di bidang ekonomi, social dan politik.Hampir
tidak mungkin untuk memisahkan ketiga aspek tersebut mengingat
bahwa relasi kekuasaan perempuan dan laki-laki di ketiga bidang
tersebut amat berkaitan erat (interrelated/interconnected) terutama
dalam perpektif hukum.

Dalam perspektif UUD NKRI 1945, hukum ditempatkan sebagai dasar


bagi pembangunan bidang lainnya sehingga pembangunan bidang
hukum menjadi amat sentral.amendemen UUD 1945 yang
menempatkan DPR sebagai pemegang keuasaan membuat UU juga
berpengaruh terhadap peran sektor hukum dalam pembangunan
secara umum maupun pembangunan sektor hukum sendiri.

Pendekatan GAP/POP sendiri dimulai dengan membuka wawasan atas


data-data yang ada pada masing-masing sektor/instansi untuk melihat
akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh dari setiap
kegiatan pembangunan.Akses berhubungan dengan kebijakan yang
memberikan atau membuka desempatan yang sama bagi perempuan
dan laki-laki untuk memperoleh control (kedudukan dalam
pengambilan keputusan) dan berpartisipasi serta memperoleh manfaat
yang sama dalam setiap kegiatan pembangunan. Oleh karena itu
adalah penting untuk melakukan assesment awal terhadap kondisi
ketimpangan gender di dalam instansi masing-masing karena masalah
ini adalah salah satu yang akan diatasi dengan kegiatan PUG. Dengan
diatasinya ketyimpangan gender dalam masing-masing instansi
dengan disertai pula upaya untuk meningkatkan sensistivitas gender
mereka serta kebijakan-kebijakan lainnya yang berkaiatan dengan
output yang diinginkan dalam rangka mewujudkan keadilan dan
keadilan gender maka diharapkan bahwa outputnyapun berkontribusi
terhadap penciptaan sistem hukum yang berkeadilan gender tersebut.

PUG di sektor hukum sebenarnya ingin memastikan bahwa


pembangunan sektor hukum mempertimbangkan relasi gender ini agar
kesetaraan dan keadilan gender dapat diwujudkan baik dari sisi materi
hukumnya (legal content , struktur hukumnya yang meliputi
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana (legal structure) dan
budaya hukum masyarakatnya (legal cukture). Karenanya dari 4
(empat) program yang telah ditetapkan sejak Repeta 2002, maka

36
program pembangunan hukum difokuskan kepada ketiga aspek
tersebut diatas ditambah satu program untuk menghapuskan praktek
KKN.

Dukungan politik dan komitmen untuk melakukan PUG di semua


instasi dapat dikatakan cukup kuat terbukti bahwa semua instansi
telah membentuk kelompok verja/Focal Point. Pembentukan kelompok
kerja atau Focal Point yang bertanggungjawab untuk mengintegrasikan
atau mengarusutamakan gender dalam setiap perencanaan,
pelaksanaan dan pemantauan proyek atau kegiatan pada masing-
masing instansi ini menunjukkan tingkat kesadaran gender dan
kepedualian yang tinggi terhadap pentingnya penerapan strategi PUG
di masing-masing instansi. Akan tetap karena tidak didahului oleh
assesment yang memadai tentang kondisi ketimpangan dan
insensitivitas gender yang ada dalam instansi tersebut dan juga tidak
disertai analisis yang dalam terhadap kebijakan-kebijakan apa saja
yang masih dianggap bias gender sehingga menghambat upaya-upaya
menghadirkan kesetaraan dan keadilan gender itu terhadap
masyarakat yang menjadi target pelayanan masing-masing instansi,
maka kegiatan PUG yang dilakukan tampak tidak terarah untuk
mengatasi berbagai ketimpangan yang ada baik di dalam instansi itu
sendiri maupun pada masuarakat yang menjadi target pelayanan
mereka.

Secara umum dapat dikatakan bahwa ada proses yang melompat dari
apa yang dilakukan oleh Tim GAP/POP pada tahun 2000 dalam
memfasilitasi sektor-sektor yang menjadi pilot project dari
pelaksanaan PUG ini. Meski pada umumnya sektor-sektor tersebut
mengetahui adanya Inpres nomor 9 tahun 2000 dan juga secara
umum telah diinformasikan pula tentang hasil GAP/POP pada masing-
masing sektor dan ada proses yang dilalui bersama saat menyusun
Repeta 2003/2004, akan tetapi pada proses selanjutnya ketika
melakukan transfer informasi kepada pengambilan keputusan di
instansi yang berkaitan tampak tidak terkomunikasikan dengan
baik.Akibatnya yang terjadi adalah masing-masing instansi
menafsirkan sendiri cara mengimplementasikan PUG cq Inpres nomor
9 tahun 2000.Oleh karena itu dimasa yang akan datang perlu
dilakukan semacam strategic planning baik bersama-sama maupun
secara sendiri-sendiri serta memastikan bahwa terutama di biro
perencanaan mempunyai ketrampilan untuk melakukan perencanaan
yang berperspektif gender dan di tingkat pelaksana kegiatan terutama
para penegak hukum dan pembuat peraturan perundangan
mempunyai ketrampilan untuk melalukan nalisis hukum berperspektif
gender.Dua ketampilan yang amat krusial bagi suksesnya PUG di
sektor hukum.

Tiadanya atau kurangnya intensitas pendampingan dalam melakukan


PUG di sektor hukum ini tampak misalnya dari perbedaan
implementasi dari dukungan politik yang diberikan oleh pimpinan
masing-masing instansi : baik dari aspek kelembagaan, kebijakan,

37
sumberdaya manusia maupun sistem informasi yang dibangun untuk
mendukung kebijakan PUG tersebut. Hampir semua instansi di séktor
hukum tidak menetapkan target tertentu dengan program PUG yang
dilakukan sehingga sulit sebenarnya untuk menarik kesimpulan apakah
program PUG tersebut berkembang sesuai dengan sasaran yang
diinginkan atau tidak.Meski tentu saja masing-masing instansi
mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing-masing. Meskipun
demikian seyogyanya Indikator keberhasilan haruslah diformulasikan
dengan SMART (Specific = khusus), Measurable (terukur),
Achievable(dapat dicapai), Relevant (relevan) dan in Time (pada
waktunya)

Berkaitan dengan masalah pendampingan ini maka seharusnya KPP


adalah instansi yang terlebih dahulu harus dievaluasi. kantor ini
mempunyai kedudukan dan peran yang strategis dalam pelaksanaan
PUG di berbagai sektor yang lain. Hal ini didasarkan pada mandat yang
diberikan oleh Inpres nomor 9 tahun 2000, yang menugaskan kepada
KPP untuk melakukan koordinasi,asistensi dan penyediaan data yang
diperlukan bagi terlaksananya Inpres tersebut.

Berdasarkan atas evaluasi pada aspek kelembagaan PUG di ke empat


instansi hukum ini maka di masa yang akan datang direkomendasikan
agar pembentukan kelompok kerja ini disesuaikan dengan program
pembangunan hukum masing-masing instansi sebagaimana yang
termaktub dalam Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2005 berikut
dengan RKP pada tahun yang berjalan. Dengan demikian indikator
kinerjanya dapat diformulasikan sesuai dengan SMART dan
budgetnyapun dapat disesuaikan dengan kebutuhan untuk mecapai
output sesuai dengan indikator kinerja tersebut.

38
39
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


A. Aspek 1. Terbitnya SK Menteri 1. Belum tersosialisasi 1. Dinyatakannya secara 1. Adanya sebagian
Dukungan Pertanian No. secara maksimal, dan eksplisit bahwa penentu kebijakan
Politik 247/Kpts/KP.150/4/2003 belum ditindak-lanjuti kesetaraan gender akan yang masih resisten
tanggal 30 April 2003 berupa penjabaran lebih tetap diperhatikan untuk terhadap konsep
tentang Pembentukan lanjut dan pembentukan semua langkah pokok gender dan PUG.
Tim Koordinasi Pokja pada setiap Eselon dalam rangka Revitalisasi
Pengarusutamaan 1, kecuali pada Badan Pertanian pada 2. Belum
Gender Departemen Pengembangan SDM RPJMNasional 2005-2009, dikeluarkannya SK
Pertanian, merupakan Pertanian berupa SK merupakan jaminan atas Menteri yang baru
acuan yang kuat dalam Pembentukan Kepala keberlanjutan PUG dalam tentang Tim
mengintegrasikan PUG Badan tentang pembangunan pertanian. Koordinasi PUG yang
dalam Program/Kegiatan pembentukan Pokja sesuai dengan
Pembangunan Pertanian PUG di lingkungan 2. Peraturan Menteri perubahan yang ada
BPSDMP. Pertanian No. akibat terjadinya
394/Kpts/RC.120/11/2005 mutasi dan promosi
2. Belum dilaksanakan tanggal 1 Nopember 2005 pejabat di lingkungan
monitoring dan evaluasi tentang Rencana Strategis departemen.
tentang sejauh mana Departemen pertanian
implementasi SK tersebut tahun 2005-2009, yang
dalam penyusunan (a) telah memasukkan
program/kegiatan aspek gender sebagai
Pembangunan di setiap salah satu pertimbangan
Eselon 1. penting untuk
diperhatikan dalam
memahami dinamika
sosial pelaku usaha dalam

40
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


rangka meningkatkan
kesejahteraan petani, (b)
menyatakan perlunya
penerapan Strategi PUG
dalam pembangunan
sektor pertanian.

B. Aspek 1. Kebijakan untuk 1. Operasionalisasi 1. Program-program 1. Adanya persepsi di


Kebijakan menginkorporasikan kebijakan belum pembangunan pertanian sebagian pengambil
perspektif gender dalam "melembaga" dan yang sebagian besar keputusan
setiap kebijakan masih terbatas dalam kegiatannya adalah operasionalisasi
pembangunan pertanian, lingkup proyek untuk berperspektif gender kebijakan pada
yang disertai dengan kegiatan PUG yang berpeluang atau tingkat eselon 1 yang
kegiatan sosialisasi disebabkan karena berpotensi untuk menganggap bahwa
kebijakan PUG di jajaran masih belum adanya mengintegrasikan atau kebijakan inkorporasi
pengambil keputusan di kesamaan persepsi mengkorporasikan PUG PUG adalah sebagai
tingkat pusat dan daerah dan pemahaman yang dalam kegiatan tersebut. hal yang dipaksakan.
keliru pada sebagian
kalangan pengambil
keputusan tentang
konsep gender dan
PUG sebagai salah
satu strategi dalam
meningkatkan
efektivitas

41
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


pembangunan
pertanian.
2. Progam pembangunan 2. Terbatasnya 2. Telah ditetapkannya 2. Pergantian pejabat
pertanian yang sebagian kemampuan kebijakan tentang di kalangan penentu
besar kegiatannya mengembangkan perlunya kebijakan/pengambil
adalah berperspektif pendekatan yang Pengasurutamaan Gender keputusan yang
gender berperspektif gender penerapan Strategi sebagian di antaranya
menyebabkan Pengarusutamaan Gender belum memahami
implementasi kebijakan dalam pembangunan di aspek strategis dan
pada kegiatan sektor pertanian dalam pentingnya integrasi
pembangunan lebih Rencana Strategis PUG dalam
cenderung menggunakan Departemen Pertanian program/kegiatan
pendekatan Women in 2005-2009 (Peraturan pembangunan
Development (WID). Menteri Pertanian No. pertanian.
394/Kpts/RC.120/11/2005
tanggal 1 Nopember
2005), merupakan
peluang untuk lebih
mengefektifkan dan
mengoperasionalkan
inkorporasi dan integrasi
PUG dalam kebijakan,
perumusan program dan
pelaksanaan kegiatan
pembangunan pertanian.

42
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


3. Pemahaman dan 3. Kegiatan sosialisasi 3. Dukungan Pendanaan
kesadaran sebagian yang masih terbatas dalam Lembaga Internasional
pengambil kebijakan/ hal cakupan, sasaran, terhadap kebijakan dan
keputusan tentang intensitas program dalam rangka
pentingnya analisis kesetaraan dan keadilan
gender dan PUG. gender.
C. Aspek 1. Kedudukan anggota 1. Sebagian besar Eselon 1 1. Keberadaan Tim 1. Mutasi atau
Kelembagaan Tim Koordinasi PUG belum mempunyai Tim Koordinasi PUG dan Focal promosi pejabat yang
(Focal point) pada setiap Pokja PUG yang point untuk peningkatan duduk dalam Tim
eselon I. mempunyai akses dan jejaring yang efektif Koordinasi/Tim Pokja
kontrol yang efektif dalam dalam rangka dapat mengganggu
mengimplementasikan implementasi kebijakan kesinambungan
kebijakan PUG dalam integrasi/korporasi PUG implementasi
program/kegiatan dalam Program/kegiatan kebijakan integrasi
pembangunan pertanian. pembangunan pertanian. PUG jika jabatan yang
2. Sudah dilakukannya 2. Kedudukan anggota Tim ditinggalkannya diisi
"capacity building" Koordinasi PUG (Focal oleh SDM yang belum
berupa sosialisasi PUG di point) pada Eselon III dan memahami dan
Pusat dan Daerah, bahkan IV kurang menyadari pentingnya
walaupun dalam mempunyai "power" untuk analisis gender dan
intensitas yang masih mengimplementasikan PUG.
terbatas. kebijakan integrasi
/korporasi PUG dalam
program/ kegiatan
pembangunan pertanian.

43
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


3. Pelaksanaan PUG belum
dijadikan sebagai salah
satu indikator kinerja Unit
Organisasi
D. Aspek 1. Sosialisasi PUG, serta 1. Sosialisasi, 1. Ketersediaan fasilitas 1. Digunakannya
Sistem penyusunan dan seminar/lokakarya, dan dan SDM pada Pusat Data konsep "agregasi"
Informasi distribusi dokumen pelatihan masih terbatas dan Informasi; serta data yang
tentang PUG dan dalam hal intensitas kerjasama sama dengan menghilangkan
Pedoman Umum penyelenggaraan, dan Badan Pusat Statistik informasi aspek
program/kegiatan sasaran peserta. untuk penyediaan data gender,
pembangunan oleh terpilah menurut jenis
sebagian unit Eselon I kelamin.
yang telah
mengintegrasikan aspek
gender dan PUG.
2. Sudah dilakukannya 2. Masih sedikitnya 2. Kesadaran akan 2. Pemilahan data
pemilahan data menurut ketersediaan data yang pentingnya data terpilah menurut jenis kelamin
jenis kelamin untuk terpilah menurut jenis menurut jenis kelamin masih dianggap
aspek SDM Pertanian, kelamin, karena (i) untuk analisis gender dan sebagai hal yang
serta pada pandangan pihak terkait PUG pada sebagian menambah beban
program/proyek dengan terhadap kepentingan data pengambil keputusan di kerja dan tidak
dana bantuan luar negeri tersebut dalam rangka tingkat Eselon 1. diperlukan.
GAP dan PUG, (ii) program
dan kegiatan yang
sebetulnya berperspektif
dan responsif gender –

44
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


akan tetapi selalu di “set”
sebagai “neutral gender”,
serta (iii) belum di
persyaratkannya
pemilahan menurut jenis
kelamin dalam usulan
perencanaan dan
pelaporan serta ukuran
kinerja program/proyek
yang relevan dan
berperspektif gender.
E. Aspek 1. Adanya SDM yang 1. Tidak semua Eselon 1 1. Pemberdayaan SDM 1. Adanya
Sumber Daya sudah memahami dan mempunyai SDM yang yang sudah memahami mutasi/promosi SDM
manusia menyadari pentingnya paham dan terampil dalam dan menyadari yang telah terampil
konsep PUG serta telah hal GAP dan PUG. pentingnya konsep PUG GAP dan
mampu melaksanakan serta terampil dalam memahami/menyadari
GAP, sebagai hasil dari melaksanakan GAP. pentingnya konsep
kegiatan sosialisasi dan PUG
pelatihan, walaupun
dalam jumlah yang
terbatas.

45
Matriks Analisis SWOT 5 Prasyarat PUG dalam Pembangunan Pertanian

Aspek Evaluasi Strength/Kekuatan Weakness/Kelemahan Opportunity/Peluang Thread/Ancaman


2. Kegiatan capacity 2. Integrasi PUG dalam 2. Kesinambungan
building untuk PUG masih kurikulum pendidikan program pelatihan dan
terbatas dan belum kepegawaian/kedinasan sosialisasi yang
terintegrasi dengan dalam rangka jenjang merata serta belum
program pendidikan kepangkatan dan jabatan. efektif dan optimalnya
kepegawaian/kedinasan hasil dari kegiatan
"training for trainer".

46
5.1. Kesimpulan

1. Sesuai dengan struktur hierarki birokratis di dalam lingkungan


Instansi Pemerintah termasuk di Departemen Pertanian, komitmen
pimpinan Departemen khususnya pada Eselon I dan II merupakan
faktor yang penting dalam rangka inkorporasi dan integrasi PUG dalam
program/kegiatan pembangunan pertanian. Komitmen ini antara lain
sangat ditentukan oleh persepsi dan pemahaman tentang PUG.
2. Tim Koordinasi PUG Departemen Pertanian yang dibentuk
berdasarkan SK Menteri Pertanian mempunyai komposisi anggota Tim
yang sudah tepat, akan tetapi dipandang masih belum cukup “kuat”
untuk mendorong percepatan pelaksanaan PUG.
3. Terjadinya mutasi/promosi pejabat yang duduk dalam Tim
Koordinasi PUG dan belum dikeluarkannya SK Menteri yang baru dapat
memperlemah pelaksanaan PUG di Departemen Pertanian.
4. Inkorporasi dan integrasi PUG bukan dilaksanakan oleh suatu
kelembagaan yang bersifat struktural, sehingga jejaring antar anggota
Tim Koordinasi dan antar Tim Pokja yang sudah terbentuk pada setiap
eselon I berperan penting untuk efektivitas pelaksanaan PUG di
Departemen secara keseluruhan. Di lain pihak, karena ketidak-
merataan pemahaman, kesadaran, keterampilan dan komitmen
terhadap PUG antar anggota Tim atau focal point menyebabkan
“kemajuan” PUG antar unit Eselon 1 beragam. PUG dalam
program/kegiatan pembangunan pertanian masih terbatas dan hanya
diterapkan pada beberapa program/kegiatan tertentu dan belum
berjalan secara optimal. Hal ini terutama juga terkendala oleh masih
terbatasnya SDM.
5. Sosialisasi dan advokasi PUG sudah dilaksanakan walau masih
dalam lingkup dan intensitas yang relatif terbatas.
6. Sebagian unit Eselon 1 sudah menyusun, mempublikasikan, serta
mendistribusikan Pedoman Umum untuk inkorporasi dan integrasi PUG
dalam program/kegiatan pembangunan, akan tetapi dalam
implementasinya masih belum efektif.
7. Mekanisme pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG dalam
program/kegiatan pembangunan pertanian masih belum berjalan
dengan baik, yang dapat dilihat dari tidak tersedianya data tentang
pelaksanaan program yang sudah dibuat responsif gender, seperti data
anggarannya, serta data pemanfaat program/kegiatan yang terpilah
menurut jenis kelamin.

5.2. Rekomendasi

Berdasarkan informasi yang diperoleh dan analisis terhadap


pelaksanaan PUG, berikut disampaikan rekomendasi sebagai berikut:

47
ASPEK UMUM SPESIFIK
1. Kebijakan 1. Perlu diterbitkannya 1.Perlu diterbitkannya SK
peraturan/perundangan Menteri Pertanian yang
berupa Undang-undang, secara eksplisit mewajibkan
Peraturan Pemerintah, atau setiap Eselon 1 untuk
Peraturan Presiden untuk membentuk Tim Kerja PUG
menggantikan Inpres No. 9 untuk menerapkan GAP dan
tahun 2000 sebagai PUG dalam perumusan
landasan hukum bagi kebijakan, program dan
pelaksanaan PUG pada perencanaan kegiatan yang
setiap Sektor Pembangunan sensitif gender dalam
di tingkat pusat, provinsi, pembangunan pertanian.
dan kabupaten/kota.
2. Pernyataan kebijakan 2. Penjabaran lebih lanjut
yang lebih tegas dari inkorporasi/integrasi PUG
pimpinan pemerintahan di dalam Rencana Strategis
Pusat dan Daerah tentang setiap Unit Eselon I
diimplementasikannya PUG Departemen Pertanian.
dalam kebijakan dan
program pembangunan
dalam rangka penjabaran
kebijakan pembangunan
yang berpusat pada
manusia dan pencapaian
tujuan pembangunan
milenium (Millenium
Development Goals).
3. PUG perlu diintegrasikan 3. Adanya ketentuan yang
dalam kurikulum pendidikan lebih "kuat" dari Eselon 1
kepegawaian/kedinasan untuk menerapkan secara
dalam rangka jenjang konsisten Pedoman Umum
kepangkatan atau jabatan yang berkaitan dengan
(seperti ADUM, SEPADIA, Pelaksanaan dan Penerapan
SESPA dan bahkan PUG dalam Program/
Lemhanas), dalam rangka Kegiatan Pembangunan
lebih mengefektifkan Pertanian.
pemahaman dan
penyadaran PUG pada
semua jenjang birokrasi
pemerintahan.
4. Diperlukan koordinasi 4. Integrasi materi PUG yang
lintas Departemen/Sektor, disesuaikan dengan
khususnya dalam hal kebutuhan pembangunan
ketentuan tentang format pertanian pada setiap
dokumen Perencanaan dan program pendidikan dan
Pelaporan, serta LAKIP yang pelatihan pegawai di
memilah data menurut jenis Departemen.
kelamin untuk
Program/Kegiatan yang
sensitif gender.

48
ASPEK UMUM SPESIFIK
2. Kegiatan 1. Penyempurnaan metode 1. Penyusunan strategi
dan teknis analis gender sosialisasi, komunikasi,
(GAP), serta pengembangan informasi dan edukasi yang
Sistem Informasi PUG Lintas lebih efektif dengan sasaran
Sektoral. akhir agar "mind set"
perencana dan pelaksana
pembangunan pertanian
pada setiap jenjang birokrasi
berperspektif dan peka
gender.
2. Peningkatan kerjasama 2. Keberlanjutan Sosialisasi
dan jejaring antar dan Advokasi PUG pertanian
lembaga/institusi di tingkat Pusat dan Daerah,
(pemerintah dan serta program pelatihan
masyarakat) di Pusat dan Analisis Gender dan GAP.
Daerah yang
berkepentingan dan
berkaitan dengan
pelaksanaan PUG.
3. Penyusunan kriteria 3. Penyiapan format
program pembangunan (borang), pengumpulan dan
yang responsif gender, penyajian data sumberdaya
serta indikator kinerja dan pemanfaat
implementasi PUG dalam program/kegiatan
pelaksanaan program pembangunan pertanian
/program pembangunan yang terpilah menurut jenis
yang responsif gender. kelamin.
4. Monitoring dan advokasi 4. Peningkatan kerjasama
yang lebih intensif dan dengan BPS dalam rangka
berkesinambungan persiapan pengumpulan data
terhadap lembaga dan penyajian data yang
pemerintah di Pusat dan terpilah menurut jenis
Daerah tentang kelamin untuk semua
pelaksanaan PUG dalam aspek/kegiatan
perencanaan dan pembangunan pertanian.
pelaksanaan pembangunan.
5. Penyusunan materi PUG
yang diintegrasikan dengan
kurikulum pendidikan dan
pelatihan pegawai di
lingkungan Departemen
Pertanian.
6. Pengembangan dan
peningkatan efektifitas
jejaring focal point PUG antar
unit Eselon 1 Departemen
Pertanian.

49
ASPEK UMUM SPESIFIK
3. 1. Pada tingkat Nasional 1. Adanya ketentuan dari
Kelembagaan diperlukan adanya suatu Menteri Pertanian bahwa
Tim Koordinasi Pelaksanaan penanggung jawab
PUG yang melibatkan pelaksanaan PUG pada setiap
Menteri terkait dalam eselon 1 adalah Direktorat
pelaksanaan PUG. Jenderal/Kepala Badan, dan
ketentuan bahwa di setiap
Eselon 1 mempunyai Tim
Kerja atau Tim Kerja
inkorporasi/integrasi PUG
yang melibatkan semua unit
organisasi di masing-masing
Eselon 1.
2. Tim Pokja PUG di tingkat
Departemen atau Tim
Kerja/Khusus Eselon I
diberikan fungsi dan
kewenangan dalam hal: (a)
menyusun ”guidelines” dan
petunjuk teknis tentang
bagaimana mejabarkan PUG
dalam program/kegiatan di
masing-masing eselon I,
atau bagaimana penyusunan
rencana dalam rangka
meningkatkan efektifitas Tim
Pokja, atau bagaimana
bentuk dan cara
implementasi di lapangan
yang efektif; (b) menyusun
indikator kinerja atau
pencapaian inkorporasi/
integrasi PUG pada semua
unit Eselon 1; (c) menyusun
target pencapaian
inkorporasi/integrasi PUG
dalam kurun waktu yang
telah ditetapkan; (d)
menyusun strategi
sosialisasi, komunikasi,
informasi dan edukasi
dengan sasaran agar ”mind
set” perencana dan
pelaksana program/kegiatan
pembangunan berperspektif
gender dan peka gender;
dan (e) melaksanakan
monev tentang sejauh mana
PUG telah diinkorporasikan
dan diterapkan di setiap unit
eselon1.

50
ASPEK UMUM SPESIFIK
4. 1. Kampanye secara 1. Peningkatan SDM dari segi
Keberlanjutan nasional dan jumlah dan kualitas untuk
Program/ berkesinambungan untuk kebutuhan inkorporasi dan
Kebijakan pemahaman dan integrasi PUG dalam
penyadaran tentang penting program/kegiatan
dan strategisnya PUG dalam pembangunan pertanian,
pembangunan. pada setiap unit eselon 1
yang didukung dengan
pendanaan yang sesuai.
2. Fasilitasi dan dukungan
yang lebih intensif bagi
peningkatan SDM dalam hal
PUG bagi Dinas di Tingkat
Provinsi, Kabupaten dan
Kota.

51
BAB IX
EVALUASI PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN
GENDER
DI SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL

9.1. Perkembangan Pengarusutamaan Gender (PUG) Sektor


Kesejahteraan Sosial

Keadaan, program/kegiatan pembangunan sektor Kesejahteraan Sosial di


Departemen Sosial yang berkaitan dengan perempuan/gender akan
diuraikan ke dalam 3 periode, yaitu:

Periode sebelum dikeluarkannya Inpres No. 9 Tahun 2000

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, sudah sejak lama Departemen
Sosial mempunyai program/kegiatan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan sosial. Termasuk di dalamnya program/kegiatan yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial perempuan.

Menjawab tantangan global5 yang mengidentifikasikan adanya fakta


bahwa perempuan tertinggal dalam pembangunan, maka sejak Repelita II
program/ kegiatan di Departemen Sosial yang berkaitan dengan
perempuan yaitu program Peningkatan Peranan dan Fungsi Wanita
(PPFW) lebih digalakkan, dengan tujuan untuk meningkatkan peran
perempuan dalam pembangunan6. Kegiatan itu kemudian bergabung
dengan Program Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat dan
Sejahtera (P2WKSS) yang dikoodinasikan Menmud UPW7. Lokasi P2WKSS
ditentukan oleh Meneg UPW melalui koodinator P2W di tingkat provinsi
yang diketuai oleh Wakil Gubernur. Departemen Sosial melakukan
program PPFW melalui proyek Peningkatan peranan wanita Bidang
Kesejahtraan Wanita (P2WBKS) dilokasi yang telah ditentukan. Unit
teknis di Departemen Sosial yang menangani kegiatan ini adalah
Direktorat Penyuluhan dan Bimbingan Sosial (Dit. PBS).

Di masa transisisi (1999-2000) yaitu masa Depsos menjadi BKSN dan


BKSN kembali lagi menjadi Depsos, terjadi kevakuman di dalam
penanganan berbagai masalah (sosial), termasuk isu perempuan/gender.
Oleh karena tidak ada struktur formal yang bertanggung-jawab
menangani PUG, maka ketika diadakan reorganisasi, ditunjuk

5 Hasil Konperensi Perempuan Sedunia pertama,di Mexico, 1975.


6 Biasa disebut dengan pendekatan Women in Development (WID).
7 Nama untuk KPP ketika itu. Kemudian berganti lagi menjadi Menteri Negara pemberdayaan
Perempuan (Meneg PP).

52
Balatbangsos sebagai unit yang bertanggung jawab. Dipilihnya
Balatbangsos karena unit kerja itu dianggap memiliki akses sampai ke
daerah (ada 6 UPT) dan jangkauan kerjanya meliputi seluruh Indonesia.
Sebagai penanggung jawab operasional ditunjuk Kepala Pusat
Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat dan dialokasikan dana
melalui proyek yang berada di Sekretariat Badan Pelatihan dan
Pengembangan Sosial. Berdasarkan atas SK MENSOS R.I. No.
07/PegHuk/2002 dikeluarkan Instruksi Sekretaris Jendral kepada seluruh
unit operasional di lingkungan Departemen Sosial untuk melaksanakan
kegiatan yang responsif gender di bawah koordinasi kepala Balatbangsos.

Kegiatan nyata yang berkaitan dengan PUG baru dimulai pada permulaan
tahun 2002 sehubungan dengan diadakannya pelatihan analisis gender
yang difasilitasi oleh BAPPEDA, KPP dan CIDA (Hickling) dalam rangka
proyek Development Planning Assistance (DPA). Pada tahun yang sama
dikeluarkan sebuah SK Mensos No. O7/PEGHUK/2002 mengenai
pembentukan Tim Pokja PUG Sektor Kesejahteraan Sosial. Dalam SK
MENSOS tersebut ditetapkan Menteri Sosial sebagai Pembina dan Kepala
Badan Latbangsos, sebagai ketua Pokja serta Wakil ketua dijabat oleh
staf Ahli Menteri yang juga ditunjuk menjadi focal point gender. Tim Pokja
itu beranggotakan 17 orang yang mewakili semua unit kerja dan terdiri
dari pejabat Eselon I, II dan satu dari Eselon III8. Bersamaan dengan itu
dikeluarkan juga SK Kepala Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial
No.01/PPS/KSM/SK/02 tentang dibentuknya Tim Teknis PUG Sektor
Kesejahteraan Sosial dengan anggota 17 orang, terdiri pejabat Eselon II
(sebagai ketua) Eselon III dan IV serta peneliti dan widyaiswara.

Sejumlah kegiatan disusun untuk pelatihan analisis gender ini. Disepakati


bahwa proses kegiatan pelatihan analisis gender ini dimaksudkan sebagai
usaha untuk peningkatan kapasitas staf. Pelatihan dilakukan secara
learning by doing, seraya memperkenalkan piranti analisis GAP (Gender
Analysis Pathway) ke dalam mekanisme perencanaan program/ kegiatan.
Pelatihan memakai program yang sudah ada/akan dikerjakan sebagai
materi latihan. Hasilnya diharapkan menjadi masukan penyusunan
REPETA 2003 dan REPETA 2004 yang responsif gender.

Untuk keperluan analisis gender itu diambil Program 7 Propenas, yaitu


Program Pembangunan Potensi Kesejahteraan Sosial. Dari program 7
tersebut disepakati untuk melakukan analisis pada dua sub program,
yaitu (1) kemiskinan dan (2) pemberdayaan anak terlantar (termasuk
anak jalanan). Pemilihan program tersebut didasarkan atas lima prioritas
8
Pada tahun 2005 karena ada pergantian personel dan struktur, SK MENSOS No. 07/PEGHUK/2002,
diperbaharui menjadi SK MENSOS No. 93/HUK/2005. Pada Pokja yang baru, terjadi perubahan
personel dalam kepengurusan, dengan ditunjuknya focal point gender yang juga menjabat staf Ahli
Menteri sebagai Wakil ketua . Demi efektifnya pelaksanaan PUG lebih banyak anggota dari eselon III
yang duduk dalam kepengurusan.

53
program Departemen Sosial (kemiskinanan, kecacatan, ketunasusilaan,
keterlantaran dan korban bencana alam/sosial). Oleh sebab itu
pelaksanaan kegiatan analisis gender diawali oleh unit-unit di Direktorat
Pelayanan Sosial Anak dan Direktorat Bantuan Sosial Fakir Miskin serta
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. Program ini akan
dipakai sebagai entry point untuk proses PUG sektor Kesejahteraan
Sosial.

Periode 2002 - 2004


Dengan berakhirnya pelatihan analisis gender, ada 2 program yang telah
berperspektif gender masuk pada Repelita 2003. Pada Repelita 2004, dua
program 2003 dilanjutkan dan ditambah lagi dengan 3 program responsif
gender yang baru (Lampiran 1).

Telah disepakati bahwa pada tahap pertama analisis gender dilakukan


hanya pada program No. 7 Propenas yaitu program Pembangunan Potensi
Kesejahteraan Sosial (Lampiran 2). Tidak semua Rencana Tindak dari
Program 7 yang sudah digenderkan direalisasikan. Dari awal kegiatan,
diharapkan program yang dipakai untuk pelatihan itu akan menghasilkan
semacam ’pool’ rencana tindak/ kegiatan-kegiatan yang sudah
berperspektif gender dan sewaktu-waktu dapat dipilih untuk mengisi
kegiatan Repeta.

9.2. Pelaksanaan PUG Sektor Kesejahteraan Sosial

Penilaian terhadap pelaksanaan PUG sektor Kesejahteraan Sosial dimulai


dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, mengenai
keharusan melaksanakan PUG di setiap sektor pembangunan. Fokus
penilaian pelaksanaan PUG dilihat dari 5 aspek yang dianggap sebagai
prakondisi ideal untuk melakukan PUG.9 Ke 5 aspek tersebut adalah (1)
dukungan politik; (2) kebijakan, (3) kelembagaan, (4) sistem informasi
dan (5) SDM, yang akan dilihat dari perspektif SWOT.

9.2.1. Aspek Dukungan Politik

Dalam mengimplementasikan kebijakan nasional (Inpres No. 9 Tahun


2000), serta RPJM 2004-2009 (Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005) dan
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2005 dan 2006 yang menegaskan lagi
bahwa PUG sebagai salah satu strategi yang harus dilakukan oleh seluruh
bidang/program pembangunan. Untuk itu sektor sosial telah
melengkapinya dengan mengeluarkan berbagai piranti legal:

9
Departemen Pemberdayaan Perempuan, Pedoman Pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembanguna Nasional (Edisi III, 2002)

54
 SK.Menteri Sosial RI No. 36/99 tentang Pola Pendataan Kesejahtraan
Sosial terpilah berdasarkan jenis kelamin
 SK Menteri Sosial RI.No. 07/PEGHUK/2002, tentang dibentuknya Pokja
PUG sektor Kesejahtraan Sosial (berfungsi sebagai Panitia
Pengarah)
 SK Kepala Balatbangsos No. 01/PPJ/KSM1/2002 tentang dibentuknya
Tim Teknis Pokja Sektor Kesejahtraan Sosial.

Akan tetapi kelemahannya adalah piranti legal yang mendukung


pelaksanaan PUG di sektor Kesejahteraan Sosial ini kurang
didesiminasikan dan disosialisaikan ke kalangan yang lebih luas,
termasuk di dalam internal Departemen Sosial sendiri. Akibatnya piranti
legal (yang berkaitan dengan gender) tidak selalu di tindak-lanjuti. Untuk
menyebut beberapa diantaranya:

 Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial,


Departemen Sosial mengeluarkan publikasi Data & Informasi yang
terbaru (2004), yang memuat data yang sarat dengan isu gender
seperti anak jalanan, anak korban tindak kekerasan, anak nakal,
lanjut usia terlantar, penyandang cacat, korban Napza, pekerja
migran terlantar, dst; tetapi tidak terpilah menurut jenis kelamin.
Padahal telah dikeluarkan SK Menteri Sosial RI. No.36/99 tentang
Pola Pendataan Kesejahteraan Sosial yang terpilah berdasarkan
jenis kelamin.
 Sebagian besar unit kerja tidak banyak mengetahui tentang
keharusan melaksanakan PUG di sektor Kesejahteraan Sosial,
meskipun masing-masing unit kerja diwakili dalam Tim Pengarah,
maupun di Tim Teknis.
 Hal ini juga berkaitan dengan adanya kerancuan secara umum (a)
dalam memahami konsep PUG, seolah-oleh PUG hanya dilakukan di
unit tertentu saja (Balatbangsos), bukan melihat pelaksanaan PUG
sebagai kepentingan lintas unit kerja/ lintas program/kegiatan; (b)
PUG hanya berkaitan pemberdayaan perempuan. Pemahaman
gender identik dengan perempuan masih merupakan mainstream
yang masih kuat di Departemen Sosial.

9.2.2. Aspek Kebijakan

Sejak Repelita 2 Departemen Sosial menempatkan kebijakan program


pembagunan khusus untuk peningkatan peran perempuan dengan
pendekatan Perempuan dalam Pembangunan (WID).

Setelah pertemuan Perempuan Sedunia di Beijing (1995), disepakati


bahwa selain pendekatan WID yang memang diperlukan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar perempuan sebagai perempuan, tetapi juga

55
diperkenalkan kebijakan pendekatan yang lebih strategis untuk
menghapuskan kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, partisipasi
serta penguasaan terhadap sumber-sumber. Pendekatan yang dikenal
dengan nama Gender dan Pembangunan (GAD). Masing-masing negara,
termasuk Indonesia bersepakat untuk melakukan strategi PUG ke dalam
keseluruhan siklus program pembangunan untuk seluruh bidang, di
semua level. Pengarusutamaan Gender adalah suatu strategi yang
mengakomodasi agar apa yang menjadi kepedulian dan pengalaman
perempuan dan juga laki-laki menjadi bagian integral dari rancangan,
implementasi, monitoring dan evaluasi dari kebijakan dan program dalam
seluruh kehidupan politik, ekonomi sosial. Dengan demikian perempuan
dan laki-laki mendapatkan keadilan. Tujuan akhir dari PUG adalah
mencapai kesetaraan gender.

Di Indonesia kesepakatan itu ditindak-lanjuti dengan dikeluarkannya


Inpres No.9/2000 tentang kebijakan yang mengharuskan semua sektor
pembangunan melaksanakan PUG. Di sektor Kesejahteraan Sosial
kegiatan dimulai dengan mensosialisasikan konsep gender dan PUG pada
wakil-wakil unit kerja di Departemen Sosial. Akan tetapi secara umum
kebijakan melaksanakan PUG itu masih diterjemahkan ke dalam program-
program WID. Baru sesudah ada pelatihan analisis gender yang difasilitasi
Bappeda, KPP dan CIDA, bagi internal Departemen Sosial, para peserta
pelatihan yang umumnya dari eselon III dan IV mulai memahami gender
dan melaksanakan strategi PUG untuk program-program kegiatannya.

Hal ini terlihat dari 4 program di sektor Kesejahteraan Sosial yang masuk
dalam Repeta 2003, dua di antaranya telah berperspektif gender. Kedua
program itu adalah:

1. Program Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial;


2. Program Pengembangan Sistem Informasi Masalah Sosial

Untuk Repeta 2004, selain melanjutkan kedua program di Repeta 3


tersebut di atas, ditambah lagi 2 program yang berperspektif gender
yaitu:

1. Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Profesionalisme


pelayanan Sosial
2. Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Publik dan Penanganan
Masalah-masalah sosial (Lampiran 2)

Sudah banyak program/kegiatan yang sudah perspektif gender, siap


dilaksanakan.

56
Realisasi kegiatan PUG Sektor Kesejahteraan Sosial tahun Anggaran 2003
yang dilaksanakan adalah:

1. Kajian Perspektif gender dalam budaya lokal (Studi Kebijakan).


2. Penyusunan Modul Pengembangan Kapasitas WBS.
3. Pemberdayaan dan pemasyarakatan: (a) Peningkatan Keterampilan
bagi WBS; (b) Pengembangan Kapasitas bagi WBS.
4. Pemberdayaan Keluarga Fakir Miskin termasuk wanita rawan sosial
ekonomi melalui kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE).
5. Pemberdayaan Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial (WPKS) melalui
penyusunan panduan dan pemantapan kemampuan WPKS.
6. Pemberdayaan dan Perlindungan Warga Binaan bagi warga
masyarakat di lingkungan komunitas adat terpencil.
7. Pemberdayaan dan Pelayanan Sosial bagi anak terlantar, termasuk
anak jalanan, laki-laki dan perempuan.

Tahun Anggaran 2004:

1. Kajian Kesejahteraan Sosial Berwawasan Gender di Era Otonomi


Daerah (Kajian Kebijakan).
2. Semiloka Pengembangan Kesejahteraan Sosial Berwawasan Gender.
3. Pembudayaan dan Pemasyarakatan: (a) Peningkatan Keterampilan
bagi WBS; (b) Pengembangan Kapasitas bagi WBS.

Tahun Anggaran 2005:

1. Kegiatan penyuluhan dan Penyebaran Informasi


2. Analisis Kebutuhan Jaringan Sosial perempuan dari perspektif gender
(Studi Kebijakan).
3. Pemberdayaan dan Pemasyarakatan: (a) Advance Kegiatan
Peningkatan Keterampilan dan Pengembangan Kapasitas bagi
WBS; (b) Peningkatan Keterampilan bagi WBS.

Untuk kegiatan Tahun Anggaran 2006 sektor Kesejahteraan Sosial


berganti program, menjadi 13 program, dan program gender ada pada
program 13, yaitu Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender dan
Anak.

Progam Kegiatan untuk Tahun Anggaran 2006:


1. Konsinyasi Perencanaan Program tahun 2007.
2. Pemetaan KUBE Perempuan di beberapa Direktorat Unit Eselon II di
Departemen Sosial.
3. Pemberdayaan dan Pemasyarakatan: (a) Peningkatan Keterampilan
bagi WBS; (b) Pengembangan Kapasitas bagi WBS.
4. Kegiatan Penyuluhan dan Penyebaran Informasi.

57
5. Analisis Kegiatan Peningkatan Ketrampilan bagi Warga Binaan Sosial
dan Kegiatan Pengembangan Kapasitas bagi Warga Binaan Sosial.
6. Kegiatan Pelaksanaan Analisis Gender di Unit Operasional ( lansia,
penca, napza) dengan menggunakan GAP.
7. Monitoring dan Evaluasi.

Sebagai penanggung jawab program adalah Balatbangsos. Program


gender ditempatkan sebagai program yang berdiri sendiri. Kalau dilihat
dari segi dana, alokasi yang diberikan untuk Program 13 yang menangani
masalah gender ini sangat kecil, Rp. 600.000.000,- dari seluruh anggaran
Departemen Sosial kurang lebih Rp. 2.225.000.000,-.

Meskipun kebijakan nasional maupun kebijakan sektor Kesejahteraan


Sosial telah menempatkan pentingnya perspektif gender dalam
Kesejahteraan Sosial, dan mendapat dukungan politik yang kuat, serta
menghasilkan beberapa kegiatan program yang berperspektif gender,
akan tetapi semua itu kurang tercermin dalam pelaksanaan kegiatan.
Kebijakan PUG di sektor Kesejahteraan Sosial (seperti juga di banyak
sektor lainya) tidak diperlakukan sebagai kegiatan lintas program atau
lintas unit kerja, sebaliknya diperlakukan sebagai suatu kegiatan yang
terisolasi dalam satu unit (Balatbangsos). Sesuai dengan tugas dan fungsi
Balatbangsos, maka kegiatan yang berkaitan dengan gender lebih berupa
kajian yang tidak berkait dengan program di unit-unit kerja lain.

9.2.3. Aspek Kelembagaan

Untuk kelancaran pelaksanaan PUG di sektor Kesejahteraan Sosial,


sebuah Pokja PUG sektor Kesejahteraan Sosial dibentuk berdasarkan atas
SK MENSOS No. 07 Tahun 2002 yang diperbaharui menjadi no.
93/HUK/2005 tanggal 12 September 2005. Di samping itu juga dibentuk
Tim Teknis, berdasarkan SK. Kepala Balatbangsos No.
01/PPJ/KSM/1/2002). Bersamaan dengan itu juga ditunjuk (tanpa SK)
seorang gender focal point yang bertugas sebagai penanggungjawab,
memfasilitasi, membantu pelaksanaan PUG internal sektor, dan yang
berkaitan dengan urusan eksternal.

Meskipun ketiga kelembagaan itu tidak di dalam wadah struktur, akan


tetapi kehadirannya merupakan bagian penting dari proses pelembagaan
PUG sektor Kesejahteraan Sosial. Ketiga kelembagan fungsional tadi
seharusnya dapat menjadikan kekuatan untuk melaksanakan PUG di
Departemen Sosial, sementara wadah formal belum ada. Akan tetapi
Pokja Gender tidak berfungsi dengan baik. Duduknya para wakil unit di
Eselon I dan II dalam Pokja Gender sebagai Tim Pengarah dan Tim Teknis
(Eselon III dan IV) tidak tercermin dalam program/kegiatan unitnya.
Tetapi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia No. 82/ HUK/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

58
Departemen Sosial, dibentuk sebuah subdirektorat baru, yaitu
subdirektorat Pemberdayaan Perempuan (Eselon III), di bawah Direktorat
Pemberdayaan Keluarga, Direktorat Jendral Pemberdayaan Sosial.

Subdirektorat Pemberdayaan Perempuan yang baru ini mempunyai tugas


melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
teknis, penyusunan standar teknis, norma, pedoman, kriteria, prosedure
dan pemberian bimbingan teknis serta penyiapan evaluasi di bidang
pemberdayaan perempuan.

Adapun program untuk Tahun 2006, adalah:

1. Pelatihan Fasilitator Pemberdayaan Perempuan (PUG) 2 angkatan


sebanyak 64 orang.
2. Uji coba pengembangan model di 2 (dua) lokasi dengan peserta 200
orang.
3. Pemberdayaan Perempuan di 32 provinsi.

Di samping kegiatan tersebut, terdapat program perempuan dari


Direktorat Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat pada Sudit.
Pemberdayaan Sosial Masyarat. Juga beberapa program perempuan pada
Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) pada Subdit.
Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Ada keuntungan menempatkan atau menunjuk satu unit sebagai unit


yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan PUG (meskipun nama
resminya subdirektorat Pemberdayaan Perempuan). Dengan demikian
ada wadah formal yang memfasilitasi pelaksanaan program
pemberdayaan perempuan dan PUG. Sisi lemahnya adalah (1) karena
wadah itu berada di eselon III, maka secara prosedural birokrasi
subdirektorat Pemberdayaan Perempuan ini kurang cukup kekuatan untuk
melakukan advokasi PUG pada pengelola program yang berada di Eselon
II dan penanggungjawab program yang berada di Eselon I. Padahal
seperti dinyatakan oleh Carolyn Hannan, Director of the UN Division for
the Advancement of Women ‘Responsibility for implementing the
mainstreaming strategy is system-wide, and rests at the highest levels
within agencies’. (2) Secara eksplisit dinyatakan bahwa pemberdayaan
perempuan menjadi bidang tugas Subdirektorat Pemberdayaan
Perempuan, yang oleh banyak pihak juga dianggap sebagai yang
bertangung-jawab terhadap PUG. Pandangan ini akan memperkuat
anggapan mainstream yang mengartikan bahwa subdirektorat ini dan
PUG eksklusif menangani perempuan.(3). Padahal secara prosedural
birokrasi entry point PUG seharusnya berada di Biro Perencanaan sebagai
fungsi koordinator mulai sejak perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
pelaporan program pembangunan kesejahteraan sosial.

59
Ketiga hal tersebut di atas dapat menjadi ancaman untuk menjadikan
PUG yang kuat di sektor Kesejahteraan Sosial. Apalagi apabila tugas dan
fungsi subdirektorat Pemberdayaan Perempuan, sesuai dengan namanya
dipahami sebagai usaha pemberdayaan dengan target hanya eksklusif
perempuan.

9.2.4. Aspek Sistem Informasi

Dari aspek Sistem Informasi, khusus yang berkaitan dengan pengadaan


data terpilah menurut jenis kelamin, sektor Kesejahteraan Sosial telah
lebih dulu melengkapinya dengan SK.Menteri Sosial RI No. 36/99 tentang
Pola Pendataan Kesejahteraan Sosial terpilah berdasarkan jenis kelamin.
Meskipun dalam kenyataanya hampir tidak ada data dan informasi yang
dikeluarkan sudah terpilah menurut jenis kelamin (termasuk data dan
informasi yang dikeluarkan oleh Pusdatin Kesejahteraan Sosial,
Departemen Sosial). Alasan yang banyak diberikan adalah :

1. Belum tersosialisaikan dengan baik SK. Menteri Sosial RI No. 36/99


tersebut;
2. Data dan informasi menurut jenis kelamin yang sudah dikumpulkan
oleh unit teknis di daerah, akan tetapi ditingkat nasional setelah
diolah tidak di kompilasi secara terpisah karena dengan menambah
perspektif jenis kelamin, akan merubah format yang sudah ada dan
membutuhkan biaya besar, waktu yang lama dan tenaga yang
banyak.

Untuk Tahun Anggaran 2006, ada kegiatan penyuluhan dan penyebaran


informasi sebagai Kegiatan PUG Sektor Kesejahteraan Sosial. Kegiatan ini
dapat menjadi kesempatan yang baik untuk mulai memasukkan
perspektif gender kedalam kegiatan-kegiatan tersebut.

9.2.5. Aspek Sumber Daya Manusia

Upaya sosialisasi gender dan peningkatan kapasitas analisis gender sudah


beberapa kali dilaksanakan baik yang diselenggarakan internal lembaga
maupun eksternal, seperti yang diselenggarakan KPP. Sosialisasi dan
advokasi mengenai gender juga telah diberikan pada jajaran eselon I dan
II di Departemen Sosial. Sedang pada tingkat pelaksana (eselon III dan
IV), peningkatan kapasitas sudah dilakukan melalui berbagai seminar,
lokakarya dan pelatihan termasuk pelatihan GAP dan PUG. Sudah ada
individu-individu maupun kelompok yang memulai dan mampu
melakukan analisis gender. Akan tetapi jumlahnya masih terbatas dan
masih perlu pendampingan dalam mengaplikasikannya ke dalam
program.

60
Semua sosialisasi dan pelatihan yang diterima dan dilakukan sampai saat
ini masih (1) bersifat peningkatan pemampuan individual (kebanyakan
perempuan, karena biasanya peserta pelatihan kebanyakan perempuan);
(1) terbatas dari unit kerja yang dianggap menangani pemberdayaan
perempuan; (3) dengan waktu yang terbatas; (4) masih bersifat umum,
materi pelatihan tidak dikaitkan dan tidak relevan dengan kebutuhan
sektor/ program; (5) bersifat ad hoc, dengan pendekatan proyek; sebab
itu tidak ada tindak lanjut. Sebagai hasilnya:

 SDM yang mampu dan terampil melakukan analisis dan melaksanakan


PUG masih terbatas jumlahnya;
 pihak atasan (langsung) maupun sejawat (yang tidak ikut dalam
pelatihan) tidak melihat relevansinya PUG dalam program. Sebab
itu kurang/ tidak memberikan dukungan/ apresiasinya;
 Mereka yang pernah mengikui sosialisasi maupun pelatihan merasa
baru cukup memberi pemahaman, akan tetapi dirasa kurang
memadai untuk dapat melaksanakan dan meyakinkan pada orang
lain (atasan atau sejawatnya).

Kesempatan untuk melakukan pelatihan internal bagi yang belum


mendapatkanya dijadwalkan di Tahun Anggaran 2006 ini, melalui
program kegiatan Pelaksanaan Analisis Gender Unit Operasional (selain
Bidang anak dan kemisikinan) melalui penggunaan GAP10.

Kelemahannya dengan pendekatan proyek – meskipun tetap dirasakan


perlu – durasi pelatihan yang pendek dan terputus-putus. Kesempatan
yang baik adalah melalui DIKLAT atau melalui Sekolah Kesejahteraan
Keluarga sebagai kegiatan rutin dengan memasukkan analisis gender dan
PUG ke dalam kurikulum dan materi ajar. Dengan demikian diharapkan
terciptanya keterkaitan secara kelembagaan maupun program serta dapat
berkesinambungan dan melembaga. Dengan memasukkannya ke dalam
DIKLAT, diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang
handal mengaplikasikan analisis gender dan PUG dalam tugasnya masing-
masing. Proses ini juga memberi ruang untuk melakukan perubahan
mainstream kearah sensitif gender ’yang datang dari dalam’ sehingga
menciptakan sense of ownership yang lebih kuat.

9.3. Kesimpulan

Sektor Kesejahteraan Sosial secara de jure memiliki kelima aspek yang


menjadi prasyarat ideal sebuah lembaga melakukan PUG. Telah ada yang
dicapai, tetapi de facto, masih banyak yang harus dibenahi. Dari kelima
aspek yang menjadi acuan evaluasi, beberapa kesimpulan dapat ditarik:

10
Bidang anak dan kemiskinan sudah pernah mendapatkannya melalui kegiatan pelatihan
analisis gender yang difasilitasi Bappeda, KPP dan Cida beberapa waktu yang lalu.

61
1. Dari aspek dukungan politik, meskipun dinyatakan secara eksplisit
dalam bentuk: SK Menteri (pola pengadaan data terpilah,
dibentuknya Pokja Tim Pengarah dan Pokja Tim Teknis); Instruksi
Sekretaris Jendral kepada seluruh unit operasional (keharusan
melaksanakan PUG); SK Kepala Balatbangsos untuk focal point di
daerah terutama di Pusdiklat dan Balai untuk melaksanakan
sosialisasi gender, akan tetapi tidak semua dioperasionalkan.
Sosialisasi dan advokasi belum terlaksana dengan baik. Di
kalangan internal sendiri masih sedikit yang mengetahui
keberadaan piranti legal untuk PUG itu. Apalagi banyak pejabat
baru yang belum pernah mendapat advokasi atau sosialisasi
mengenai hal ini, termasuk mengenai gender dan PUG. Oleh sebab
itu sangat diperlukan sosialisasi dan advokasi itu terutama untuk
Eselon I sebagai penanggung-jawab program dan Eselon II sebagai
pengelola program dan sebagai pengambil keputusan di unit
operasional.

Departemen Sosial memerlukan dukungan politik dalam bentuk


kongkrit dari KPP dan BAPPEDA, misalnya dengan pertemuan 3
menteri terkait yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan
untuk melaksanakan PUG di sektor Kesejahtraan Sosial.

2. Dari aspek kebijakan. Sesuai dengan tugas dan fungsi Departemen


Sosial, sudah sejak lama Departemen Sosial mempunyai kebijakan,
program, dan kegiatan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan sosial, termasuk di dalamnya program dan kegiatan
yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial perempuan.
Tradisi ini masih berlanjut dan mewarnai program-program yang
berkaitan dengan pemberdayaan perempuan hingga kini. Ada
kerancuan dalam memahami PUG, karena PUG di sektor
kesejahteraan sosial lebih dipahami sebagai pemberdayaan
perempuan dalam pembangunan (pendekatan WID) dan belum
dikaitkan dengan pendekatan gender dalam pembangunan (GAD).

Operasionalisasi kebijakan untuk melaksanakan PUG telah mulai


melibatkan unit kerja lain; tetapi ’motor’ masih di Balatbangsos.
Sepatutnya Balatbangsos sesuai dengan tugas dan fungsinya lebih
menitik beratkan pada kajian-kajian tentang gender di sektor
kesejahteraan sosial, khususnya untuk mendukung program-
program/kegiatan di Departemen Sosial.

3. Dari aspek kelembagaan. Selain ada kelembagaan di luar struktur


seperti Tim Pengarah PUG dan Tim Teknis PUG serta gender focal
point, telah dikeluarkan Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia No. 82/ HUK/2005 tentang Struktur Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Sosial yang di dalamnya terdapat sub-direktorat

62
Pemberdayaan Perempuan (Eselon III), Direktorat Pemberdayaan
Keluarga, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Keluarga, sebagai
wadah formal yang menangani pemberdayaan perempuan. Wadah
yang baru ini masih terasa ’kecil’ untuk dapat menggerakkan PUG
di unit kerja lain. Diperlukan jenjang yang lebih tinggi misalnya
Biro Perencanaan sebagai fungsi koordinator mulai sejak
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan
pelaksanaan program pembangunan kesejahteraan sosial.

Mainstream yang kuat di Departemen Sosial dalam memahami PUG


adalah berkaitan dengan pemberdayaan perempuan, dan untuk itu
dianggap sudah ada unit yang menangani yaitu sub-direktorat
Pemberdayaan Perempuan. Hal ini disebabkan karena PUG belum
dipahami dan diperlakukan sebagai usaha intervensi lintas
program/kegiatan atau lintas unit kerja. Sebagai contoh terlihat
dari perencanaan program/kegiatan PUG serta realisasinya yang
berjalan ’sendiri’ dan belum ditangani dalam sistem dan proses
bersama dan terintegrasi antar unit kerja terkait dan
program/kegiatan terkait.

4. Dari aspek sistem informasi. Meskipun telah dikeluarkan SK


Menteri Sosial RI No. 36/99 tentang Pola Pendataan Kesejahteraan
Sosial terpilah berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi dalam
kenyataannya hampir tidak ada tersedia data dan informasi terpilah
itu. Alasan apapun seperti mengubah formulir dan biaya mahal
tidak menjadi halangan, jika pengadaan data terpilah menurut
jenis kelamin ini dianggap prioritas. Keberadaan data terpilah
menurut jenis kelamin untuk perencanaan yang berperspektif
gender sebagai suatu keharusan. Apalagi kesepakatan itu sudah
dikeluarkan 7 tahun yang lalu, bahkan setahun lebih dulu dari
Inpres No.9/2000.

Kegiatan Penyuluhan dan Penyebaran Informasi yang berkaitan


dengan keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi agenda
program kegiatan Tahun anggaran 2006.

5. Dari aspek Sumber Daya Manusia, masih diperlukan peningkatan


kemampuan staf di unit-unit kerja lain dalam hal analisis gender
dan melaksanakan PUG. Sementara ini SDM yang mampu
melaksanakan analisis gender dan PUG bukan saja terbatas dalam
jumlah, tetapi juga terpusat di unit Balatbangsos. Diperlukan
penyegaran (update) pelatihan analisis gender secara rutin.

9.4. Rekomendasi

63
Rekomendasi disampaikan atas dasar pengamatan langsung, hasil
wawancara/diskusi, dan masukan dari focal point dan staf Departemen
Sosial.

64
REKOMENDASI SEKTOR KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PUG

No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan


1. Dukungan Cukup mendapat Umum Kondisi Umum
Politik dukungan politik, 1.1. Advokasi dan sosialisasi piranti legal PUG
komitmen formal serta Kessos, difasilitasi oleh gender focal point, Pokja Sektor Kesejahteraan
piranti legal, untuk Gender dan Ses Men, untuk seluruh jajaran Sosial memiliki prasyarat
melaksanakan PUG, dengan materi relevan dan format yang sesuai relatif cukup bagi
tetapi semua itu belum dengan target sasaran pelaksanaan PUG:
tersosialisasi dengan 1.2. KPP memfasilitasi kegiatan advokasi dan
baik. sosialisasi ini, bisa dengan mengundang pakar; Di  Diterbitkan SK
Di kalangan internal tingkat yang lebih tinggi, jika perlu diadakan MENSOS No. 103 Tahun
sendiri masih sedikit semacam pertemuan 3 menteri; yaitu: Menteri 2003 tentang
yang mengetahui KPP, Menteri/ketua Bappeda dan Menteri Sosial pembentukan Kelompok
keberadaan piranti legal seraya mengeluarkan SKB 3 menteri tentang Kerja Gender;
untuk PUG itu. PUG. SK.Menteri Sosial RI No.
Masih ada resistensi 36/99 tentang Pola
internal, tetapi lebih
1.3. Perbaharui SK MENSOS RI No.07, termasuk
keanggotaan Pokja Gender (Tim Pengarah dan Pendataan
disebabkan karena Kesejahteraan Sosial
pemahaman gender yang Tim Teknis); Pokja Gender lebih difungsikan
berperan aktif menyiapkan materi bagi terpilah berdasarkan
masih rancu. jenis kelamin; SK
penyusunan kebijakan PUG Sektor KESOS,
termasuk bertangung-jawab untuk terlaksananya Kepala Balatbangsos No.
Diperlukan dukungan 01/PPJ/KSM1/2002
SK Menteri Sosial RI No.36/99 tentang data
politik kongkrit dari KPP tentang dibentuknya
terpilah menurut jenis kelamin.
dan BAPPEDA. Tim Teknis Pokja Sektor
Khusus
Kesejahteraan Sosial;
1.4.Melakukan serangkaian advokasi, Instruksi Sekjen ttg
seminar,sosialisasi yang berkaitan dengan piranti keharusan seluruh unit
legal pendukung PUG serta PUG itu sendiri serta teknis melaksanakan
pelatihan analisis gender, sesuai dengan target PUG.
audience:
- round table discussion, brief kit/facts and
findings untuk Eselon 1; secara terpisah
 Sektor
Kesejahteraan Sosial
dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
menempatkan
mitra kerja Depsos;
kebijakan
- rapat koordinasi di antara Unit Kerja; Eselon 2
pemberdayaan
lokakarya, pelatihan analisis gender dan PUG
perempuan dan anak
untuk Eselon III dan IV;
- seminar untuk staf Departemen (a) Eselon 1 dalam prioritas

65
No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan
dan II; sosialisasi untuk eselon III, IV, PI. program
pembangunannya.

 Sudah ada wadah


formal (subdirektorat
pemberdayaan
perempuan) dan
wadah fungsional
(gender focal point
Pokja Gender) untuk
mendukung dan
memfasilitasi
pelaksanaan PUG
Kesejahteraan Sosial.

 Tersedia piranti
legal keharusan
menyusun data
terpilah (SK Menteri
Sosial RI No. 36/99).

 Meskipun masih
terbatas, tersedia SDM
yang mampu dan
sepakat melaksanakan
analisis gender dan
PUG di sektor kesos.
2. Kebijakan Secara umum kebijakan Umum
berperspektif gender 2.1. KPP, Bappeda sektor terkait dibantu oleh Tim  Telah dilakukan:
sektor Kesejahteraan Independent, mempersiapkan policy framework (a)sosialisasi dan
Sosial masih pada tahap (generik) sebagai landasan operasional untuk advokasi gender pada
wacana. Di dalam proses merumuskan kebijakan, strategi, tingkat eselon I dan
perencanaan maupun program/kegiatan, monev, dalam melaksanakan II; (b) lokakarya dan
pelaksanaan program PUG. pelatihan analisis
pembangunan gender (GAP) PUG
Kesejahteraan Sosial bagi eselon III dan IV,
yang ada, belum banyak meskipun dalam
mempertimbangkan

66
No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan
perspektif gender; pada jumlah terbatas;
umumnya ada kerancuan tersedia SDM yang
dalam memahami memahami analisis
perspektif gender sebagai gender dan PUG.
isu perberdayaan
perempuan.  Akan tetapi
permasalahan besar
pelaksanaan PUG di
Sektor Kesejahteraan
Sosial adalah (1)
mainstream di
Departemen Sosial
masih memandang
PUG sama dengan
Pemberdayaan
Perempuan; (2)
memahami
pelaksanaan PUG
sebagai kegiatan satu
unit, tidak
memperlakukan PUG
sebagai lintas isu/
program/kegiatan; (3)
SDM yang paham dan
handal merumuskan
kebijakan
berperspektif gender
masih kurang.

67
No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan
Khusus
2.2. Mengembangkan brief kit yang memuat isu
gender dan Kesejahteraan sosial sebagai bahan
advokasi /‘data pembuka mata’ bagi para
pengambil keputusan di eselon I dan II.

2.3. Mengembangkan Manual generik PUG


Kesejahteraan Sosial, sebagai ‘buku pintar’ dan
panduan bagi para pejabat teknis/operasional
dalam melaksanakan PUG di masing-masing unit
kerja; manual bisa dimodifikasi misalnya sesuai
dengan tema misalnya ’Gender dan Kemiskinan’,
’Gender dan Sistem Informasi’, ’Gender dan
Pengembangan Keserasian Kebijakan Publik
dalam Penanganan Masalah-masalah Sosial’ , dst.
2.4. Mengembangkan Modul training (TOT) gender
dan Kesejahteraan Sosial (generik) bagi para
trainers.
2.5. Penelitian/kajian yang diselenggarakan
Balatbangsos khususnya yang berkaitan dengan
gender, seharusnya berorientasi pada program;
Tujuannya untuk mendukung program
pembangunan bidang sosial yang responsif
gender.

3. Kelembagaan Mekanisme pelaksanaan Umum


PUG sektor 3.1. Gender dan PUG masuk dalam kurikulum dan
Kesejahteraan Sosial sebagai bahan ajar dalam Pusdiklat, Sekolah
belum melembaga, Tinggi Kesejahteran Sosial, serta pelatihan-
belum didukung dalam pelatihan formal lainya.
sistem, tetapi masih
bersifat ad hoc dan 3.2. Tersedia Wadah formal dalam struktur (paling
sementara ini baru rendah di Eselon II) yang memfasilitasi dan
menjadi kepedulian di bertanggung jawab pelaksanaan PUG di sektor
tingkat individu/unit Kesejahteraan Sosial. Misalnya Biro Perencanaan
kerja Balatbangsos; dapat berfungsi sebagai koordinator untuk unit-
unit kerja.
Memerlukan wadah

68
No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan
formal yang cupup tinggi
eselonnya, untuk
memfasilitasi dan
bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan
PUG. (Wadah yang baru
dibentuk yaitu
subdirektorat
Pemberdayaan
Perempuan (ada di
eselon III).
Khusus
3.3. Focal point dan SesMen, dibantu penuh oleh Biro
Perencanaan, sub-direktorat Pemberdayaan
Perempuan, dan Pokja Gender mengkoordinir,
memfasilitasi dan memastikan bahwa kebijakan,
program/kegiatan pembangunan kesejahteraan
sosial sudah responsif gender dan pelaksanaan
PUG di sektor kesejahteraan Sosial berjalan
dengan baik. Pada mulanya bisa dimulai dengan
beberapa program/kegiatan sebagai best
practice.
3.4. Untuk kegiatan tersebut di atas, ajang pertemuan
bersama diperlukan seperti misalnya melalui
temu koordinasi rutin.
3.5. Dibentuk Dewan Pakar, untuk up date informasi
yang berkaitan dengan gender dan Kesejahteraan
Sosial, memberi masukan ketika proses kegiatan
perencanaan dimulai, serta terlibat dalam monev
dst.
3.6. Dibentuk Forum Komunikasi yang difasilitasi oleh
focal point sebagai tempat jejaring kerja dan
berbagi pengalaman dan dukungan di antara unit
kerja maupun dengan stakeholders/mitra kerja.
(KPP, DPR/D, BAPPEDA/DA, focal point dari
Sektor terkait, LSM, dst.).

4. Sistem Secara umum data Umum:

69
No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan
Informasi terpilah menurut jenis a. Memperbaharui SK.Menteri Sosial RI No.
kelamin tidak tersedia di 36/99 tentang Pola Pendataan Kesejahteraan
Departemen Sosial. Sosial terpilah berdasarkan jenis kelamin dan
(a) menambahkan klausul keharusan setiap
program/kegiatan memilah data dan
informasinya berdasarkan jenis kelamin; (b)
pemutakhiran data terpilah, (c) keharusan
setiap program/kegiatan mendeposit data
terpilah pada PUSDATIN.
b. Dalam monev dan pelaporan memberi bobot
yang tinggi pada ketersediaan data terpilah
menurut jenis kelamin.

Khusus
c. Pusdatin merancang formulir baru dengan
perspektif data terpilah menurut jenis kelamin,
dan mendiseminasikan ke unit-unit kerja pusat
dan daerah untuk secara rutin mengisi dan
mengirimkannya kembali. Pusdatin
memasukkannya sebagai data base dan secara
rutin mengirim kembali data dan informasi itu
kepada seluruh unit kerja/para peneliti yang
memerlukan.

d. Pusdatin proaktif untuk mensosialisasikan


data terpilah ini di unit-unit kerja dan juga di
Dinas Sosial di daerah, dengan demikian
diharapkan kepedulian serta tuntutan
permintaan terhadap data terpilah tumbuh dari
dalam.

5. Sumber Daya SDM yang paham dan Umum


Manusia handal melaksanakan 1. Analisis gender dan PUG diusulkan masuk ke
analisis gender dan PUG dalam kurikulum dan bahan ajar di Diklat dan
di Departemen Sosial Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
masih terbatas.

70
No Aspek Isu Rekomendasi Keterangan

Khusus

2. Pemampuan untuk para pelaksana PUG di unit-


unit kerja, melalui sosialisasi PUG Kesejahteraan
Sosial dan pelatihan teknis analisis gender
(dengan waktu cukup, materi yang relevan,
program/kegiatan nyata), untuk eselon III dan
IV, serta PI dari seluruh unit kerja.
3. Pemutakhiran pengetahuan dan keterampilan
analisis gender secara rutin dilakukan melalui
lokakarya pelatihan internal maupun yang
diselenggarakan eksternal (misalnya short term
training di Australia yang difasilitasi KPP dan
Ausaid).

71
72
73
BAB XII
PENUTUP

Kesimpulan Umum Pelaksanaan PUG

Pelembagaan “Strategi Pengarusutamaan Gender” kedalam proses


pembangunan secara umum adalah suatu bentuk ideal dari pembangunan
yang merupakan pengharapan dimasa mendatang. Namun tidak dapat
disangkali bahwa hal ini memerlukan suatu proses pembelajaran dan
adaptasi yang panjang dari seluruh agen pembangunan yang terlibat di
dalamnya, terutama dalam hal ini adalah para perencana dan pengambil
keputusan. Dengan demikian, pelaksanaan PUG di Indonesia yang
walaupun secara resmi telah dimulai pada tahun 2021 namun pada
penerapannya di tingkat tingkat lembaga/instansi pelaksana baru mulai
berjalan sekitar tahun 2021-2023, dapat dikatakan masih baru pada
tahap awal pelembagaannya.

Meskipun demikian, hasil evaluasi pelaksanaan PUG ini menyingkapkan


bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan PUG di 9 sektor
pembangunan telah mulai berjalan. Piranti-piranti kelembagaan yang
memungkinkan pelaksanaan PUG secara ideal telah mulai tertanam
walaupun penuh dengan kekurangan dan kelemahan disana-sini.
Kesembilan sektor yang dievaluasi secara de jure telah memiliki seluruh
atau hampir seluruh aspek utama yang menjadi prasyarat ideal sebuah
lembaga melakukan PUG, yaitu adanya dukungan politik, ada dan telah
dilaksanakannya kebijakan-kebijakan yang responsif gender, adanya
dukungan kelembagaan berupa focal point atau unit kerja gender, adanya
sistem informasi yang mendukung pelaksanaan PUG, serta adanya
sumber daya manusia yang memahami konsep PUG dan mampu
melaksanakan PUG.

Secara umum, kesimpulan dari hasil evaluasi pelaksanaan PUG di 9


sektor pembangunan adalah sebagai berikut:

▪ Aspek dukungan politik

▪ Aspek kebijakan

▪ Aspek kelembagaan

▪ Aspek sistem informasi

▪ Aspek sumber daya manusia

74
Rekomendasi Umum bagi Pelaksanaan PUG di Masa Depan

ASPEK ISU REKOMENDASI


Umum Sektor KPP
Dukungan Secara umum telah ada Perlunya advokasi, sosialisasi, 1. Perlu adanya
Politik dukungan politik, dan pelatihan, seminar untuk pemantauan dan
komitmen formal dari mensosialisasikan piranti legal evaluasi secara berkala
pimpinan (antara lain PUG serta PUG (termasuk dari KPP atas
berupa piranti legal), analisis gender, di setiap sektor pelaksanaan PUG di
seperti Surat Keputusan yang difasilitasi oleh gender focal setiap sektor. Terutama
atau Surat Edaran point, Pokja Gender) untuk pada sektor yang
Menteri, untuk seluruh jajaran dengan materi mengalami stagnasi
melaksanakan PUG. relevan dan format yang sesuai dalam pelaksanaan
Tetapi pada dengan target sasaran: PUG. KPP perlu
kenyataannya - Round table discussion, melakukan advokasi
pelaksanaan PUG masih brief kit/facts and findings bagi para pimpinan
kurang efektif: untuk Eselon I dan II sektor untuk
- Piranti legal yang ada - Rapat koordinasi diantara meningkatkan kinerja
belum tersosialisasi Unit Kerja; PUG di sektor tersebut.
dengan baik dalam - Lokakarya, pelatihan untuk 2. KPP perlu memfasilitasi
satuan kerja yang Eselon III dan IV sektor dalam hal PUG
bersangkutan. - Seminar untuk Eselon 1 dan dalam perencanaan,
II pelaksanaan,
- Sosialisasi untuk echelon pemantauan dan
III, IV, dan perencana evaluasi. Apabila KPP
program (PI). tidak memiliki
kapasitas untuk
melakukannya, dapat
dengan cara ”out-
sourcing” atau
penyediaan ahli gender
(dari luar KPP).
Posisi Inpres 9/2000 Inpres No. 9/2000 tentang PUG - Piranti legal yang harus Perlu melakukan advokasi
sudah tidak termasuk ke perlu didukung oleh peraturan- mengatur mekanisme kerja bagi pemerintah daerah,
dalam struktur hirarkhi peraturan pendukung lainnya, PUG dan tugas anggota tim terutama dengan membuat
peraturan perundang- seperti SK Menteri/Kepala secara rinci. surat edaran yang
undangan yang ada saat Lembaga, Perda, dll. - Perlu meninjau ulang serta menjelaskan status dan

75
ASPEK ISU REKOMENDASI
Umum Sektor KPP
ini. membaharui piranti legal keberadaan Inpres No.
mengenai PUG yang ada, 9/2000 atau Perpres No.
terutama keanggotaan tim, 7/2005 sebagai landasan
uraian tugas dan mekanisme hukum bagi Biro PP di
kerjanya, dan disesuaikan daerah dan Bappeda untuk
dengan kondisi saat ini (adanya melaksanakan PUG dan
perubahan jumlah program membuat Perda yang
yang responsif gender, unit mendukung pelaksanaan
kerja yang terlibat PUG serta PUG tersebut.
adanya pergantian SDM yang
terlibat dengan PUG).
Kebijakan ▪ Walau secara umum 1. Perlu mengembangkan 1. Perlu mengembangkan ▪ KPP perlu memfasilitasi
kebijakan/program/ke filter/check list untuk manual generik PUG untuk sektor melalui bantuan
giatan yang responsif menentukan apakah suatu setiap sektor, sebagai ‘buku teknis dalam
gender telah ada di 9 kebijakan/program/kegiatan pintar’ dan panduan bagi melaksanakan PUG,
sektor ini, namun sudah responsif gender. para pejabat terutama dengan
cakupannya masih 2. Perlu merevisi materi teknis/operasional dalam memberikan
terbatas dan advokasi, sosialisasi dan KIE melaksanakan PUG di pendampingan (oleh
umumnya masih yang memuat isu gender masing-masing unit kerja; AsDep KPP yang
dalam bentuk wacana yang spesifik untuk masing- manual bisa dimodifikasi menangani sektor yang
(belum masing sektor (disesuaikan misalnya sesuai dengan tema bersangkutan) dalam
dilaksanakan). Hal ini dengan isu-isu gender di yang diperlukan di sektor membahas isu spesifik
terutama disebabkan masing-masing sektor) yang masing-masing, misalnya sektor yang dikaitkan
oleh masih sangat dapat dimanfaatkan sebagai ’Gender dan Kemiskinan’, dengan isu gender,
terbatasnya ‘data pembuka mata’ bagi ’Gender dan Lingkungan,’ termasuk mengenai
pemahaman tentang para perencana dan ’Sistem Informasi Gender,’ pentingnya
kaitan gender dengan pengambil keputusan. dst. ketersediaan data
isu-isu spesifik sektor 3. Indikator keberhasilan PUG 2. Unit Penelitian dan terpilah berdasarkan
pada unit-unit kerja tidak hanya pada jumlah Pengembangan Sektor perlu jenis kelamin.
yang ada. program yang responsif mengadakan penelitian- ▪ KPP dan Bappeda
▪ Masih banyak gender tetapi juga pada penelitian tentang serta dibantu oleh Tim
perencana yang jumlah unit kerja yang keterkaitan antara isu gender Independent,
beranggapan bahwa terlibat dengan PUG. dengan isu-isu spesifik sektor mempersiapkan policy
kebijakan/program/ke 4. Perlu meninjau ulang yang ada. framework (generik)
giatan di sektor beberapa instrumen PUG, sebagai landasan
operasional untuk

76
ASPEK ISU REKOMENDASI
Umum Sektor KPP
mereka sebagai terutama GAP (Gender merumuskan
’netral gender.’ Analysis Pathway), kebijakan, strategi,
▪ Rencana Aksi Daerah disesuaikan dengan kondisi program, kegiatan,
sebagai penerapakan saat ini. serta Monev, dalam
dari 5. Perlunya meningkatkan melaksanakan PUG.
kebijakan/program/ke anggaran untuk pelaksanaan
giatan nasional yang PUG.
responsif gender
serta tindak lanjut
pelaksanaan PUG di
daerah dapat
dikatakan belum ada.
▪ Masih terbatasnya
penelitian-penelitian
tentang isu-isu
gender yang terkait
dengan isu-isu
spesifik sektor
sebagai data
pembuka wawasan.
Kelemba ▪ Umumnya 1. Perlu memperkuat Focal 1. Setiap lembaga yang terkait
gaan kelembagaan yang Point yang ada dengan dengan PUG di setiap sektor
ada di setiap sektor melibatkan sub-focal point (Focal point, Sek Men, Biro
masih belum dari semua unit utama dan Perencanaan, unit PP, dan
didukung dalam unit strategis sektor serta Pokja Gender) perlu
sistem, yaitu masih memberdayakan Focal Point mengkordinir, memfasilitasi
bersifat ad hoc, baru tersebut sebagai unit yang dan memastikan bahwa
menjadi kepedulian di menjalin komunikasi dengan kebijakan/program/kegiatan
tingkat individu atau eksternal (terutama KPP). pembangunan disektornya
beberapa unit kerja, 2. Tersedia Wadah formal sudah responsif gender dan
serta PUG bukan dalam struktur (paling pelaksanaannya berjalan
tugas utama para rendah di Echelon II) yang dengan baik, misalnya
focal point PUG yang memfasilitasi dan melalui temu koordinasi
ada. bertanggung-jawab rutin.
pelaksanaan PUG di masing- 2. Perlu membentuk ’Dewan

77
ASPEK ISU REKOMENDASI
Umum Sektor KPP
▪ Diperlukan wadah masing sektor. Pakar’ untuk masing-masing
formal yang cukup 3. Gender dan PUG perlu masuk sektor yang memiliki keahlian
tinggi echelonnya, dalam kurikulum dan sebagai tentang isu spesifik sektor
untuk memfasilitasi bahan ajar yang resmi di dan isu gender yang terkait,
dan bertanggung- tiap-tiap instansi sektor, yang berfungsi untuk up date
jawab terhadap PUG. terutama untuk sektor- informasi yang berkaitan
Saat ini wadah/unit sektor yang memiliki dengan gender di masing-
yang sudah dibentuk Pusdiklat, atau pelatihan- masing sektor, memberi
umumnya masih ada pelatihan formal lainnya. masukan ketika proses
dibawah kegiatan perencanaan
tanggungjawab dimulai, terlibat dalam Monev
echelon III. dst.
3. Perlu dibentuk Forum
Komunikasi yang difasilitasi
oleh Focal Point sebagai
tempat jejaring kerja dan
berbagi pengalaman dan
dukungan diantara unit kerja
maupun dengan
stakeholders/ mitra kerja.
(KPP, DPR/D, BAPPEDA/DA,
focal point dari Sektor
terkait, LSM, dst.).
4. Tim Pokja PUG di masing-
masing sektor perlu diberi
fungsi dan kewenangan
dalam mengkoordinasi unit-
unit kerja untuk
melaksanakan PUG, antara
lain:
- menyusun guidelines
dan petunjuk teknis
tentang bagaimana
menjabarkan
kebijakan/program
nasional atau sektor

78
ASPEK ISU REKOMENDASI
Umum Sektor KPP
yang responsif gender
dalam kegiatan di
setiap unit kerja sektor.
- menyusun indikator
kinerja pencapaian PUG
- menyusun strategi
sosialisasi dan KIE
sektor
- melaksanakan monev.
Sistem 1. Secara umum e. Perlu 1. Perlu melembagakan sistem
Informasi ketersediaan data memperbaharui piranti legal informasi dan Pusdatin
terpilah menurut jenis yang ada di setiap sektor masing-masing sektor yang
kelamin masih sangat untuk mendukung didasarkan pada
terbatas: dari 9 pelaksanaan sistem ketersediaan data terpilah
sektor yang informasi gender, termasuk menurut jenis kelamin.
dievaluasi, hanya 3 kesediaan data terpilah Upaya ini mencakup:
sektor (pendidikan, berdasarkan gender. perancangan formulir baru
kesehatan, KB, dan dengan perspektif data
ketenagakerjaan) terpilah menurut jenis
f. Perlu memberi
yang mulai kelamin, penetapan
bobot yang tinggi pada
menyediakan data mekanisme pengumpulan
penilaian ketersediaan data
terpilah, dan itupun data serta diseminasi data
terpilah menurut jenis
masih belum terpilah tersebut (kepada
kelamin dalam pelaksanaan
menyeluruh, baru seluruh unit kerja di pusat
Monev dan pelaporan.
pada beberapa maupun daerah),
program saja. perencanaan mekanisme
g. Perlu
pembaruan data terpilah
memberdayakan mekanisme
2. KIE mengenai PUG tersebut secara
koordinasi antara Focal Point
dan isu-isu gender berkesinambungan, serta
PUG, Biro Perencanaan
yang spesifik sektor perancangan mekanisme
sektor dan BPS, dalam
masih sangat lemah. koordinasi antara Pusdatin
mendukung upaya
dan para penanggungjawab
pengumpulan data terpilah
program.
berdasarkan jenis kelamin di
masing-masing sektor.
2. Perlu adanya upaya yang
lebih lagi dari Pusdatin di

79
ASPEK ISU REKOMENDASI
Umum Sektor KPP
h. Perlu masing-masing sektor untuk
“memasarkan” isu-isu lebih proaktif dalam
gender dan PUG lewat mensosialisasikan data
tulisan-tulisan yang terpilah ini di unit-unit kerja
menggugah kesadaran para dan juga di dinas Sosial
pengambil keputusan melalui didaerah, sehingga
koran-koran terkemuka. kepedulian dan tuntutan
permintaan terhadap data
terpilah tumbuh dari dari
dalam.
Sumber Pada umumnya SDM yang 1. Capacity Building tentang 4. Perlu pemampuan untuk para 1. Perlu memfasilitasi LAN
Daya paham dan handal PUG masih harus pelaksana PUG di unit-unit untuk memasukan isu
Manusia melaksanakan analisis ditingkatkan secara berarti kerja, melalui sosialisasi PUG gender dan PUG
gender dan PUG di dan dengan sangat dan pelatihan teknis analisis kedalam kurikulum
kesembilan sektor masih terencana dan gender (dengan waktu pendidikan
sangat terbatas. Terlebih berkesinambungan. cukup, materi yang relevant, kepegawaian, seperti
lagi, tingginya tingkat program/ kegiatan nyata), ADUM, SEPADIA,
pergantian karyawan 2. Analisis gender dan PUG untuk echelon III dan IV, SESPA, bahkan
menyebabkan SDM yang perlu diusulkan masuk serta PI dari seluruh unit Lemhanas, dalam
telah mulai memahami kedalam kurikulum dan kerja. rangka lebih
gender dan PUG harus bahan ajar di Diklat masing- 5. Pemutahiran pengetahuan mengefektifkan
digantikan dengan SDM masing sektor. dan keterampilan gender pemahaman dan
yang baru dan belum analisis secara rutin penyadaran PUG pada
mengerti gender dan 3. Perlunya merumuskan dilakukan melalui lokakarya semua jenjang
PUG. strategi advokasi, sosialisasi pelatihan internal maupun birokrasi pemerintahan.
dan KIE yang berbeda yang diselenggarakan
menanggapi kondisi eksternal (misalnya short 2. Perlu membuat bahan
tingginya tingkat term training di Australia ajar tentang PUG yang
mutasi/rotasi para yang difasilitasi KPP dan standar.
karyawan/pejabat di setiap Ausaid)
sektor.

80

Anda mungkin juga menyukai