Anda di halaman 1dari 10

14

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan di lingkungan lingkar kampus IPB Dramaga. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011- Januari 2012.

Bahan dan Alat Hewan coba yang digunakan adalah 12 ekor kucing kampung (Felis domestica) yang hidup secara liar (tidak dipelihara) di daerah lingkar kampus IPB Dramaga, Bogor Bahan yang digunakan adalah kapas, tisu, aquadestilata, alkohol 70%, larutan Hayem, HCl 0.1 N. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan darah meliputi tabung EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), disposable syringe 3 ml, mikroskop, sentrifus, hemositometer, tabung mikrohematokrit, hemometer, hand counter, cover glass.

Metode Penelitian Darah diambil dari vena femoralis sebanyak 1 ml, menggunakan disposable syringe berukuran 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam vacutainer berantikoagulan EDTA. Sampel darah yang diambil kemudian diperiksa terhadap jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit.

Jumlah Eritrosit Jumlah eritrosit dihitung menggunakan metode hemositometer (Schalm 1986). Darah dihisap menggunakan menggunakan pipet pengencer eritrosit dan aspiratornya sampai batas garis 0.5, kemudian dilanjutkan dengan menghisap larutan hayem sampai batas 101. Campuran di dalam pipet eritrosit dihomogenkan dengan gerakan memutar membentuk angka delapan. Sebelum dimasukkan ke kamar hitung, campuran yang tidak ikut terkocok yang berada di ujung pipet dibuang terlebih dahulu sebanyak 2-3 tetes . Secara hati-hati, campuran diteteskan

15

ke kamar hitung dengan menyentuhkan ujung pipet pada pertemuan antara kamar hitung dengan cover glass. Penghitungan eritrosit dilakukan pada ruang hitung untuk eritrosit, yaitu pada kelima kotak yang terletak diagonal pada lima bujur sangkar besar yang berada tepat ditengah kamar hitung, menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Hasil yang diperoleh = a x 104/l.

Konsentrasi Hemoglobin Pengukuran konsentrasi hemoglobin dilakukan menggunakan metode Sahli (Schalm 1986). Sampel darah dihisap menggunakan pipet Sahli sampai batas angka 20 (0.02ml). Sebelumnya tabung Sahli telah diisi dengan HCl 0.1N sampai angka 10 (garis terbawah dari tabung). Kemudian darah dari pipet dipindahkan ke dalam tabung Sahli. Tabung yang telah berisi campuran tersebut diletakkan diantara kedua bagian standar warna dalam alat hemometer. Dibiarkan sebentar selama tiga menit sampai terbentuk asam hematin berwarna coklat. Kemudian ditambahkan aquades dengan menggunakan pipet tetes sambil diaduk sampai warna campuran sama dengan warna standar yang terdapat pada tabung Sahli. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam gram %.

Nilai Hematokrit Nilai hematokrit ditentukan dengan menggunakan metode

mikrohematokrit (Schalm 1986). Sampel darah diambil menggunakan tabung mikrohematokrit. Darah dibiarkan masuk sampai mengisi 4/5 bagian dari tabung mikrohematokrit. Ujung tabung kemudian disumbat dengan creatoseal. Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 12000 rpm selama lima menit. Persentase volume eritrosit diukur dengan menggunakan alat baca microhematocrit reader. Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam %.

Analisis Data Data jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dihitung rataan dan standar deviasinya, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Eritrosit (Sel Darah Merah) Profil parameter eritrosit yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit kucing kampung (Felis domestica) ditampilkan pada Tabel 2. Jumlah eritrosit semua kucing kampung percobaan bervariasi diantara individu, yaitu berkisar antara 5.10-9.22 x106/l, dengan rataan sebesar 7.00 1.30 x106/l.

Tabel 2 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit pada kucing kampung (Felis domestica). Kode Jenis Hewan Kelamin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata Kisaran Referensi*)
*)

Jumlah Eritrosit (106/l) 6.80 6.51 5.10 6.10 6.20 8.50 9.22 6.42 5.60 8.15 8.52 6.84 7.00 1.30 5.10-9.22 5.00 10.00

Hemoglobin (g/dl)

Hematokrit (%)

SD

8.60 8.30 8.80 8.50 8.40 11.80 11.00 8.20 8.40 11.50 12.20 10.30 9.66 1.56 8.20-12.20 8.00 15.00

24.00 32.00 25.00 32.00 28.00 39.00 33.00 30.00 27.00 31.00 37.00 36.00 31.16 4.68 24.00-39.00 24.00 45.00

Jain (1993)

Jumlah eritrosit pada kucing normal menurut Jain (1993) berkisar antara 5.0010.00 106/l. Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah eritrosit tertinggi yaitu 9.22 x106/l, dan terendah adalah 5.10 x106/l. Secara umum jumlah eritrosit pada kucing kampung yang diamati masih berada pada interval normal menurut Jain (1993).

17

Tabel 3 Rataan jumlah eritrosit (106 /l) pada kucing kampung (Felis domestica) jantan dan betina. Kode Hewan 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata SD Jumlah Eritrosit (106/l) Betina Jantan 6.80 6.42 6.51 5.60 5.10 8.15 6.10 8.52 6.20 6.84 8.50 9.22 1.04 7.57 1.52

Tabel 3 memperlihatkan perbandingan jumlah eritrosit pada kucing kampung (Felis domestica) jantan dan betina. Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina. Rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan adalah 7.57 1.52 x106/l (kisaran 5.60-8.52 x106/l), sedangkan pada kucing kampung betina 6.58 1.04 x106/l (kisaran 5.10-9.22 x 106/l). Rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan normal menurut Triastuti (2006), yang melakukan penelitian terhadap kucing kampung yang dipelihara, adalah 6.32 1.91x106/l, dan pada kucing kampung betina yaitu 6.02 2.20 x106/l. Jumlah eritrosit pada percobaan ini menunjukkan hasil yang hampir sama bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triastuti (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit di dalam sirkulasi darah meliputi faktor fisiologis dan patologis. Beberapa faktor fisiologis diantaranya jenis kelamin, umur, kondisi kebuntingan, laktasi, dan tempat ketinggian (Riswan 2003; Jain 1993). Faktor yang bersifat patologis yang juga mempengaruhi jumlah eritrosit diantaranya hemoragi, hemolisis, gangguan sumsum tulang, penyakit akibat virus (mis Feline Leukemia virus), gangguan hormonal, gagal ginjal kronis, infeksi parasit kronis, dan defisiensi nutrisi pembentuk hemoglobin (Dorland 1998; Stockham dan Scott 2008). Biasanya ditandai dengan menurunnya salah satu parameter eritrosit di dalam sirkulasi darah (Meyer dan Harvey 2004).

18

Rendahnya atau menurunnya salah satu dari parameter eritrosit, yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi Hb, dan nilai hematokrit, dalam sirkulasi darah dibawah nilai interval normal disebut anemia. Anemia merupakan kondisi patologis akibat menurunnya kapasitas angkut O2. Anemia bukan merupakan penyakit melainkan gejala klinis. Biasanya muncul sebagai respons sekunder akibat adanya penyakit atau gangguan fungsi organ. Keadaan anemia merupakan salah satu gangguan respon eritrosit yang paling sering dijumpai pada hewan anjing dan kucing (Jain 1993). Anemia dapat ditemukan pada kondisi kebuntingan dan menyusui, karena pada kondisi tersebut zat besi banyak dialihkan ke fetus maupun ke anak pada saat proses menyusui (Riswan 2003). Suplai zat besi pada saat bunting dialihkan pada fetus untuk pembentukan sel darah merah (Tumbelaka et al. 2005). Anemia juga dapat terjadi pada kasus hemolisis dan hemoragi (Dorland 1998). Menurut Dorland (1998), pada kasus hemoragi, apabila terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan jumlah eritrosit berkurang secara drastis. Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 3), rataan jumlah eritrosit baik pada kucing kampung jantan maupun betina, masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada kucing kampung jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina. Jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya jenis kelamin (Jain 1993). Jumlah eritrosit pada kucing jantan sedikit lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kucing betina (Schalm 2010). Hormon kelamin jantan diketahui dapat meningkatkan produksi eritropoietin (Spence dan Mason 1987), sedangkan estrogen yang merupakan hormon kelamin betina diketahui dapat menekan produksi eritropoietin (Spence dan Mason 1987). Eritropoietin merupakan hormon yang merangsang proses pembentukan eritrosit (eritropoiesis) (Dorland 1998). Jumlah eritrosit dapat pula dipengaruhi oleh nutrisi dalam pakan seperti zat besi, Cu, vitamin dan asam amino (Frandson 1992). Defisiensi vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan kegagalan proses eritropoiesis, sehingga produksi eritrosit menurun, dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah menjadi rendah

19

(Guyton dan Hall 1997). Menurut jain (1993), jumlah eritrosit mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan umur, dan pada umur satu tahun mencapai nilai yang stabil. Jumlah eritrosit pada saat kelahiran hampir 12 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah eritrosit pada hewan dewasa (Schalm 1986). Guyton dan Hall (1997) berpendapat bahwa kadar oksigen di daerah dataran tinggi sangat rendah. Adanya hipoksia jaringan akan merangsang diproduksinya eritropoietin sehingga produksi eritrosit meningkat. Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan jumlah eritrosit pada kucing kampung masih berada dalam nilai interval normal. Pengamatan secara individu juga menunjukkan bahwa ke-12 ekor kucing kampung memiliki jumlah eritrosit yang masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993).

Konsentrasi Hemoglobin (Hb) Rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung dapat dilihat pada Tabel 2. Rataan konsentrasi Hb yang diperoleh adalah 9.66 g/dl (kisaran 8.20-12.20

g/dl). Menurut Jain (1993), rataan konsentrasi Hb pada kucing normal adalah 11.00 g/dl (dengan kisaran antara 8.0015.00 g/dl), sedangkan menurut Muir et al. (1995) berkisar antara 8.5016.00 g/dl. Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi Hb tertinggi sebesar 12.20 g/dl dan terendah 8.20 g/dl. Dengan demikian, secara umum konsentrasi Hb pada ke-12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993) dan Muir et al. (1995). Jika diamati berdasarkan jenis kelamin, konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan memiliki rataan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina (Tabel 4). Rataan konsentrasi Hb kucing kampung betina yaitu 9.30 1.46 g/dl (kisaran 8.3011.80 g/dl), sedangkan rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan 10.18 1.52 g/dl (kisaran 8.20-12.20 g/dl). Menurut Triastuti (2006), konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan sebesar 9.74 4.28 g/dl, dan pada kucing kampung betina 9.67 4.24 g/dl. Konsentrasi Hb pada percobaan ini menunjukkan hasil yang hampir sama bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triastuti (2006).

20

Tabel 4 Rataan konsentrasi hemoglobin (g/dl) pada kucing kampung (Felis domestica) jantan dan betina. Kode Hewan 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata SD Konsentrasi Hemoglobin (g/dl) Betina Jantan 8.60 8.20 8.30 8.40 8.80 11.50 8.50 12.20 8.40 10.30 11.80 11.00 9.30 1.46 10.18 1.52

Rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung jantan hasil pengamatan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina. Menurut Guyton dan Hall (1997), konsentrasi Hb dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya jenis kelamin, nutrisi, ras, umur, musim, waktu pengambilan sampel, metode penelitian dan antikoagulan yang dipakai dalam penelitian (Guyton dan Hall 1997; Mbassa dan Poulsen 1993). Menurut Spence dan Mason (1987), hormon kelamin jantan diketahui dapat merangsang produksi eritropoietin (Swenson 1997). Konsentrasi Hb yang rendah dapat ditemukan pada beberapa kasus seperti defisiensi zat besi, infeksi kronis, inflamasi, malnutrisi, thalassemia minor (Andrews 1999). Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi Hb diantaranya kecukupan zat besi dalam tubuh (Gunadi 2008). Zat besi dibutuhkan dalam produksi hemoglobin, sehingga anemia akibat defisiensi besi akan menyebabkan terbentuknya ukuran eritrosit yang lebih kecil dengan kandungan Hb yang rendah (Gunadi 2008). Zat besi juga berperan dalam sintesis Hb dalam eritrosit dan mioglobin dalam sel otot (Riswan 2003). Zat besi dibutuhkan dalam sintesis heme sehingga dapat mempengaruhi konsentrasi Hb (Meyer dan Harvey 2004). Menurut Cunningham (2002), meningkatnya konsentrasi Hb (dari konsentrasi yang rendah) dapat menyebabkan kemampuan membawa oksigen ke dalam jaringan lebih baik dan eksresi karbondioksida lebih efisien sehinggga keadaan dan fungsi sel membaik (Guyton dan Hall 1997).

21

Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa rataan konsentrasi Hb pada kucing kampung masih berada dalam nilai interval normal. Pengamatan secara individu juga menunjukkan hasil yang sama, dimana ke-12 ekor kucing kampung memiliki konsentrasi hemoglobin yang masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993).

Nilai Hematokrit Nilai hematokrit menggambarkan persentase eritrosit dalam volume darah (Dorland 1998). Berkurangnya plasma darah membuat persentase sel darah terhadap cairannya meningkat, berbanding lurus dengan nilai hematokrit yang dihasilkan (Tumbelaka et al. 2005). Rataan nilai hematokrit pada semua kucing yang diperoleh pada penelitian ini adalah 31.164.68 % (kisaran 24-39%). Menurut Jain (1993), rataan nilai hematokrit pada kucing normal adalah 34.50 % dengan kisaran 24.0045.00%. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai hematokrit hasil pengamatan terhadap 12 ekor kucing kampung yang tidak dipelihara masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993). Rataan nilai hematokrit yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5. Rataan nilai hematokrit kucing kampung jantan lebih tinggi dibandingkan dengan kucing kampung betina. Rataan nilai hematokrit pada kucing kampung jantan sebesar 32.00 4.48 % dengan kisaran 27.0037.00 %, sedangkan pada kucing kampung betina adalah 30.58 5.14 % dengan kisaran 24.0039.00 %. Menurut Triastuti (2006), nilai hematokrit pada kucing kampung jantan sebesar 26.50 10.55 % dan pada kucing kampung betina 25.84 10.83 %. Rataan nilai hematokrit kucing kampung jantan dan betina hasil pengamatan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Triastuti (2006).

22

Tabel 5 Rataan nilai hematokrit (%) pada kucing kampung (Felis domestica) jantan dan betina. Kode Hewan 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata SD Nilai Hematokrit (%) Betina Jantan 24.00 30.00 32.00 27.00 25.00 31.00 32.00 37.00 28.00 36.00 39.00 33.00 30.58 5.14 32.00 4.48

Banyak faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit. Menurut Foster (2009), nilai hematokrit yang tinggi dapat dijumpai pada hewan yang mengalami dehidrasi, berada pada dataran tinggi, dan pada lingkungan yang rendah oksigen. Beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi nilai hematokrit yaitu jenis kelamin, status nutrisi, keadaan hipoksia dan ukuran eritrosit (Swenson 1997). Aktivitas yang tinggi dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan melalui penguapan (keringat), urinasi dan pernapasan. Kondisi kekurangan cairan tersebut menyebabkan tubuh akan merespon dengan mengambil cairan vaskular melalui proses homeostasis untuk memenuhi kebutuhan terhadap cairan tubuh sehingga konsentrasi darah dalam vaskular meningkat. Menurut Frandson (1992), nilai hematokrit yang tinggi dapat mengindikasikan terjadinya dehidrasi pada hewan tersebut. Dehidrasi merupakan suatu keadaan dimana keseimbangan cairan tubuh terganggu karena hilangnya cairan tubuh baik cairan intraseluler maupun ekstraseluler tanpa diimbangi dengan konsumsi cairan yang cukup. Peningkatan jumlah eritrosit berbanding lurus dengan peningkatan nilai hematokrit (Guyton dan Hall 1997). Menurut Spence dan Mason (1987), kucing jantan cenderung memiliki jumlah eritrosit lebih tinggi dibandingkan dengan kucing betina karena pengaruh hormon kelamin jantan. Secara umum, rataan nilai hematokrit pada kucing kampung hasil pengamatan (Tabel 2) masih berada dalam interval normal. Pengamatan secara individu juga menunjukkan hasil yang sama, dimana ke-12 ekor kucing kampung

23

memiliki nilai hematokrit yang masih berada dalam nilai interval normal menurut Jain (1993). Hasil pengamatan terhadap ketiga parameter eritrosit, yang meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi Hb, dan nilai hematokrit yang masih berada dalam nilai interval normal menunjukkan bahwa ke-12 ekor kucing kampung yang diamati tidak terindikasi anemia atau polisitemia. Hasil pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum kucing yang meliputi frekuensi nafas, frekuensi pulsus, suhu tubuh, dan selaput lendir mendukung temuan ini.

Anda mungkin juga menyukai