: Ny. S
Pekerjaan
: Karyawati
Umur
: 29 tahun
Alamat
: Pulo jahe
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
No. RM
: ...
ANAMNESIS
Autoanamnesa
1. Keluhan Utama
Mimisan sejak 2 bulan yang lalu
2. Keluhan Tambahan
Pilek hilang timbul, hidung tersumbat.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Mimisan paling banyak setengah tutup botol, seminggu 2x 3x, kadang sakit kepala
dan leher sebelum mimisan sejak 2 bulan yang lalu. Pilek hilang timbul dan hidung
tersumbat sejak 2 bulan lalu. Bersin ketika bertemu debu. Demam (-), nyeri didaerah
wajah (-), trauma di wajah (-), batuk(-), sakit kepala(-), pusing(-), gatal dihidung(-),
nyeri tenggorokan (-), napas berbau (-), nyeri saat menelan (-), sakit gigi (-), gigi
berlubang (-), tidur mendengkur (-), keluar cairan dari telinga (-), gangguan
pendengaran (-), telinga berdenging (-), sesak napas (-).
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan ini pertama kali dirasakan. Tidak ada riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus,
Asma, ataupun operasi
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan ini tidak di rasakan dalam keluarga
6. Riwayat Pengobatan
Jika pilek beli obat di warung
7. Riwayat Alergi
Alergi, makanan, cuaca, dan obat-obatan disangkal.
8. Riwayat Psikososial
Tekanan Darah
: Tidak diperiksa
Nadi
: Tidak diperiksa
Frekuensi Napas
: Tidak diperiksa
Suhu
: Tidak diperiksa
A. Status Generalis
Kepala
: Normochepal
Mata
: Tidak diperiksa
Mulut
Thorax
: Tidak diperiksa
Abdomen
: Tidak diperiksa
Ekstremitas
: Tidak diperiksa
Kulit
: Tidak diperiksa
Kelainan
Preaurikula
kongenital
Kelainan
Aurikula
kongenital
Auris
Retroaurikula
Canalis
Kelainan kongenital
Acustikus
Kulit
Tenang
Tenang
Externa
Sekret
Serumen
Edema
Jaringan granulasi
Massa
Cholesteatoma
Membrana
Intak
Timpani
Reflek cahaya
Perforasi
Gambar
Tes Penala
Tes Rhinne
Tes Weber
Sinistra
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tes Schwabach
Hidung
Tidak dilakukan
Pemeriksaan
Dextra
Keadaan Luar
Dalam batas
Dalam batas
ukuran
normal
normal
Hiperemis
Hiperemis
Eutrofi
Eutrofi
Sekret
Concha inferior
Rhinoskopi
Septum
Hiperemis
+ Hiperemis,
Polip/tumor
Pasase udara
Kelainan
Permukaan licin
+
Tenggorok
Bagian
Sinistra
Mukosa
anterior
Tidak dilakukan
Keterangan
Mukosa mulut
Lembab
Lidah
Bersih
Palatum molle
Tenang
Gigi geligi
Caries (-)
Uvula
Simetris
Halitosis
Mukosa
Hiperemis (-)
Besar
T2-T3
Kripta
Tidak melebar
Detritus
-/-
Mukosa
Hiperemis (-)
Granula
Mulut
Tonsil
Faring
Epiglotis
Glotis
Laring
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Aritenoid
Hiperemis (-)
Pita suara
Hiperemis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan Nasofaring potongan aksial dan koronal tanpa media kontras dengan jarak
irisan 5mm dan tebal irisan 2mm. Hasil sbb :
Lesi soft tissue hipoechoic di cavum nasi dextra region infero-anterior
Diameter lesi 12s11 mm, os nasal dan maksila tidak terlihat destruksi
Septum nasi tidak deviasi
Mukosa cavum nasi di region tidak menebal
Tak tampak pneumatisasi conchae bilateral
Processus uncinatus kanan dan kiri baik
Tak tampak sel haller
Osteo meatal complex kanan dan kiri terbuka
Sinus paranasal bilateral serasi normal
Adenoid tidak hipertrofi
Rongga nasofaring simetris
Tes Laboratorium
Test
Hematologi
Hasil
Unit
Nilai Rujukan
Hb
13.7
mg/dl
12.5-15.5
MCV
78
fl
82-98
MCH
26
pg
27-33
MCHC
34
g/dl
31-37
Eritrosit
5.2
10^6/ul
4.5-5.8
Hematokrit
41
37-47
Leukosit
12.9
10^3/ul
5.0-10.0
Trombosit
418
10^3/ul
150-400
LED
Hitung Jenis
17
Mm
0-20
Basofil
0.3
0.0-1.0
Eosinofil
1.1
1.0-3.0
Netrofil
58.1
37.0-72.0
Darah Lengkap
Limfosit
33.4
20.0-40.0
Monosit
Hemostasis
7.1
2.0-8.0
Bleeding Time
3.00
Menit
1.00-3.00
Cloating Time
6.00
Menit
3.00-6.00
RESUME
Anamnesis
Ny. S mimisan sejak 2 bulan yang lalu. Mimisan paling banyak setengah tutup
botol, seminggu 2x 3x, kadang sakit kepala dan leher sebelum mimisan sejak 2
bulan yang lalu. Pilek hilang timbul dan hidung tersumbat sejak 2 bulan lalu. Bersin
ketika bertemu debu. Punya kebiasaan ngorek-ngorek hidung.
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior : Mucosa : Livid. Septum : Hiperemis. Polip/Tumor dextra,
hiperemis, dan permukaan licin.
Pemeriksaan Penunjang
CT Scan
: Ditemukan Lesi soft tissue hipoechoic di cavum nasi dextra
region infero-anterior
Pemeriksaan Lab
DIAGNOSIS
Angifibroma dekstra
PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
-
Edukasi ke pasien, untuk menggunakan masker saat bekerja ataupun saat bepergian.
Jika menggunakan AC atau kipas angin jangan langsung mengenai wajah pasien.
Medikamentosa
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad fungsionam
: ad bonam
Quo ad sanactionam
: ad bonam
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Anatomi Hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, misalnya sumbatan hidung
perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung bagian luar
atau piramid hidung dan rongga hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta
fisiologi hidung. Untuk mendiagnosis penyakit yang terdapat di dalam hidung perlu
diketahui dan dipelajari pula cara pemeriksaan hidung.
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge)
2) dorsum nasi
3) puncak hidung
4) ala nasi
5) kolumela
6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung (os nasalis)
2) prosesus frontalis os maksila
3) prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu :
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
alar mayor,
3) beberapa pasang kartilago alar minor dan
4) tepi anterior kartilago septum.
depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat
konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih
kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung dan
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian
posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.
Infundibulum ethmoid
Perkembangan infundibulum mendahului sinus. Dibentuk oleh struktur yang
kompleks. Dinding anterior dibentuk oleh processus uncinatus, dinding medial dibentuk
oleh processus frontalis os maxila dan lamina papyracea. Infundibulum etmoid adalah
terowongan tiga dimensi yang menghubungkan ostium natural sinus maksilaris dengan
meatus medius melalui hiatus semilunaris.
Prosesus uncinatus
Merupakan sebuah lamina yang melengkung pada os etmoid, yang menjorok
kebawah dan kebelakang dan dibentuk oleh bagian kecil dari dinding medial sinus
maxilaris, dan dihubungkan dengan processus etmoid dari konka nasal inferior.
Resesus frontalis
Merupakan ruang antara sinus frontalis dan hiatus semilunaris yang menuju ke
aliran sinus. Bagian anterior dibatasi oleh sel ager nasi, superior oleh sinus frontalis,
medial oleh konka medial dan bagian lateral oleh lamina papyracea.
Bula ethmoid
superior procesus uncinatus membentuk hiatus semilunaris. Ini merupakan sel etmoid
anterior terbesar. Arteri etmoid anterior menyilang terhadap atap sel ini. Bulla etmoid
merupakan salah satu sel etmoid anterior yang paling konstan dan paling besar. Di
superior, dinding anterior bulla etmoid dapat meluas sampai ke basis kranii dan
membentuk batas posterior dari resesus frontalis. Bila bulla etmoid tidak mencapai
basis kranii, maka akan terbentuk resesus suprabullar antara basis kranii dengan
permukaan superior dari bulla. Di posterior, bulla bertautan langsung dengan lamina
basalis atau terdapat ruang antara bulla dan lamina basalis yang disebut resesus
retrobullar.
Sel-sel ethmoid anterior
Sel dibagian anterior menuju lamella basal. Pengalirannya ke meatus medial
melalui infundibulum etmoid. Termasuk sel ager nasi, bulla etmoid dan sel-sel
anterior lainnya.
Hiatus semilunaris
Hiatus semilunaris adalah celah berbentuk bulan sabit terletak antara posterior
tepi bebas prosesus unsinatus dengan dinding anterior bulla etmoid.
Ostium sinus maksilaris
Ostium naturalis sinus maksilaris mengalirkan sekretnya ke dalam
infundibulum. Ostium ini terletak di dinding medial sinus maksilaris sedikit ditepi
bawah lantai orbita. Van Alyea melaporkan bahwa 10% ostium maksilaris berada di
1/3 superior, 25% berada di 1/3 tengah dan 65% berada di 1/3 bawah dari
infundibulum. Ostium aksesoris sinus maksilaris ditemukan pada 20% - 25% kasus.
Ostium naturalis sinus maksilaris berbentuk bulat sedangkan ostium aksesoris
biasanya berbentuk elips dan berada di posterior ostium naturalis.
Sel agger nasi
Sel ager nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel etmoid
anterior. Terletak agak ke anterior dari perlekatan anterosuperior konka media dan
anterior dari resesus frontal. Sel ager nasi yang membesar dapat meluas ke sinus
itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di
tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara
saluran dari sinus maksilaris, sinus frontal, sinus sphenoid dan sinus etmoid. Daerah
ini rumit dan sempit, dinamakan kompleks osteomeatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula etmoid, sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksilaris.
Selaput sinus menghasilkan cairan bening berupa lendir yang berguna
membersihkan KOM dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran
drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan. Ini terjadi terus-menerus,
meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan
itu sering dikenal sebagai dahak yang dapat menghasilkan iritasi yang kronis di
tenggorokan dikenal dengan nama post-nasal drip.
Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.
Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
n.olfaktoirus.
Hanya 5 % yang digunakan untuk menghidu
Mebrana olfaktoria terletak pd celah sempit pada bagian superior rongga hidung
Luas permukaan membran 10 cm ~ panjang 170 cm
Celah olfaktorius perempuan > laki-laki, berhubungan dengan pigmentasi
Membran olfaktoria terdiri dari 3 lapis : lapisan penunjang, lapisan sel-sel reseptor,
dan lapisan sel basal
Sinus Paranasal
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra Penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat.
Kecepatan aliran udara pada saat inspirasi 250 ml/sec
Inspirasi dalam molekul udara lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius
5. Resonansi Suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses Bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.
Tumor hidung dan sinus paranasal adalah tumor ganas yang dimulai dari dalam
rongga hidung atau sinus paranasal disekitar hidung. Tumor hidung dan sinus
paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di
Indonesia dan di luar, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1% dari keganasan
seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher.
Hidung dan sinus paranasal atau disebut juga sinonasal merupakan rongga yang
dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga
tumor yang timbul didaerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga
sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam
keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh
sinus.
Epidemiologi dan Etiologi
Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang, yaitu 2 sampai 3,6 per
100.000 penduduk pertahun. Di Department THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo,
keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Laki-laki
ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1.
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat kimia
atau bahan industry merupakan penyebab antara lain nikel, debu, kayu, kulit,
formaldehid, kromium, minyak isopropil, dan lain-lain. Pekerja di bidang ini
mendapat kemungkinan terjadi keganasan sinonasal lebih besar. Banyak laporan
mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industry
penggergajian kayu dan pembuatan mebel, alcohol, asap rokok, makanan yang diasin
atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadinya keganasan, sebaliknya
buah dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.
Jenis Histopatologi
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah
sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial, yaitu adenoma dan papilloma, yang nonepitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma, diplasia
fibrosa,
dan
lain-lain.
Disamping
itu,
ada
tumor
odontogenik,
misalnya
Pemeriksaan
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah ada asimetri
atau distrosi. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika mata
terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral
berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.
Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi
anterior dan posterior. Deskripsi massa sebaik mungkin, apakah permukaannya licin,
merupakan pertanda tumor jinak, atau permukaan berbenjol-benjol, rapuh, dan mudah
berdarah, merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong
ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral,
disamping inspeksi lakukanlah palpasi dengan menggunakan sarung tangan, palpasi
gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan, penonjolan, atau gigi goyah.
Pemeriksaan naso-endoskopi dan sinus-kopi dapat membantu menemukan tumor
dini. Adanya pembesaran kelenjar di leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang
bermetastasis ke kelenjar leher.
Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan menentukan
perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Tetapi foto polos tetap
berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan
padat unilateral, harus dicurigai keganasan, dan buatlah tomogram atau CT scan. CT
scan merupakan sarana terbaik karena lebih jelas memperlihatkan perluasan tumor
dan destruksi tulang. MRI atau Magnetic Resonance Imaging dapat membedakan
jaringan tumor dari jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan
destruksi tulang. Foto polos paru diperlukan untuk melihat adanya metastase tumor di
paru.
Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi
atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
dengan baik, disamping perbaikan kosmetis melalui operasi bedah plastic. Dengan
tindakan-tindakan ini, pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan
masyarakat.
Prognosis
Pada umumnya, prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi
prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat. Faktor-faktor
tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status imunologi, terapi ajuvan yang
diberikan, status batas sayatan, lamanya follow up, dan banyak lagi faktor lainnya
yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian,
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik
dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan hidup selama
5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
D. Hemangioma
Definisi
Haemangiomas adalah tumor jinak pembuluh darah, yang berasal dari kulit,
mukosa dan struktur dalam seperti tulang, otot dan kelenjar. terdiri dari dua jenis
utama, kapiler dan kavernosa. Ketika neoplasma ini jarang muncul dalam rongga
hidung, mereka sebagian besar adalah tipe kapiler dan ditemukan melekat pada
septum hidung. Haemangiomas tipe kavernosa, lebih mungkin ditemukan pada
dinding lateral rongga hidung
Etiologi
Etiologi hemangioma belum diketahui pasti, namun proliferasi pembuluh
darah lokal dan peningkatan tekanan hidrostatik yang disebabkan oleh stimulasi lokal
berulang diketahui mempengaruhi terjadinya hemangioma. Ini biasanya terjadi pada
septum hidung anterior di Pleksus Kiesselbach karena daerah ini memiliki distribusi
pembuluh darah yang banyak dan sebagian besar terkena trauma berulang.
Patofisiologi
Fase proliferasi
Pertumbuhan hemangioma infantil terdiri dari sel lemak dan laju pemisahan
yang cepat dari sel endotel dan sel perisit sehingga membentuk kanal sinusodial yang
padat. Marker immunohistokimia seluler menjelaskan fase klinis dari siklus hidup
hemangioma. Bahkan pada tahap awal, sel-sel endotel mengekspresikan marker
fenotip dari kematangan dan molekul adhesi sel spesifik. Regulasi angiogenesis
didokumentasikan oleh ekspresi dari proses proliferasi antigen sel nuklear, dimediasi
dan dibagi oleh dua peptida angiogenik, vascular endothelial growth factor (VEGF)
dan basic fibroblast growth factor (bFGF). Enzim terlibat dalam proses remodeling
dari matriks ekstraselular yang juga ada, yang menunjukkan bahwa kerusakan kolagen
diperlukan untuk memberi ruang untuk proses pertumbuhan pembuluh kapiler. Tipe
eritrosit protein transporter glukosa-1 (GLUT1) adalah imunopositif disepanjang
siklus hidup dan negatif disebagian besar tumor pembuluh darah dan malformasi
vaskular.
Fase involunting
Regresi ini ditandai dengan semakin berkurangnya aktivitas endotel dan
pembesaran luminal. Degenarasi sel endotel, apoptosis dimulai sebelum 1 tahun dan
spesimen mencapai puncak dalam 2 tahun. Terdapat deposisi progresif dan dari
perivaskular dan jaringan fibrosa interlocular/interlobular, masuknya sebuah sel
stroma (termasuk sel mast, fibroblas, dan makrofag), dan munculnya inhibitor
jaringan metalloproteinase (TIMP)-1, penekanan pembentukan pembuluh darah baru.
Meskipun sel mast muncul dalam fase proliferasi akhir, mereka lebih jelas terlihat
selama fase involusi, berinteraksi dengan makrofag, fibroblas, dan jenis sel lainnya.
Sel mast dapat mensekresikan modulator yang menurunkan omset regulasi endotel.
Pada akhir hidup hemangioma, semua yang tersisa adalah beberapa kapiler seperti
pembuluh darah dan vena yang kosong atau kering. Berbagai macam dan lapisan yang
berlapis dari membran dasar, sebuah ciri ultrastruktural dari fase proliferasi, bertahan
pada daerah sekitar pembuluh kecil. Sekali peninggian parenkim selular digantikan
oleh jaringan longgar fibro-fatty yang bercampur dengan kolagen padat dan serat
retikuler.
Diagnosis
Gejala mungkin termasuk perdarahan hidung unilateral dan sumbatan hidung
bertahap selama periode enam bulan. Ukuran hemangioma yang terbatas pada rongga
hidung dalam berkisar dari beberapa mm lebih dari 2 cm, dapat terlihat dengan
rhinoskopi anterior. Dengan melakukan CT, ukuran tumor dan ada atau tidaknya
metastasis kedaerah sekitar dapat terlihat. Angiografi, sangat membantu dalam
membedakan hemangioma dari angiofibroma nasofaring dalam kasus-kasus
metastasis kedaerah sekitar.
Penatalaksanaan
Pengobatan dengan antibiotik topikal setiap hari atau balutan hidrokoloid.
Lidokain kental (2,5%) membantu untuk mengontrol rasa sakit. Apabila lesi masih
berukuran kecil, eksisi bedah sangat dianjurkan.
Pengobatan lini pertama untuk hemangioam adalah terapi kortikosteroid dapat
diberikan per oral maupan intralesi, yang sangat efektif (tingkat respon mencapai
85%). Prednisolon oral 2 sampai 3 mg/kgBB/hari selama 4 sampai 6 minggu.
Rekombinan interferon (IFN) -2 atau 2b adalah sebuah agen lini kedua
untuk
hemangioma
penggunaannya
yang
adalah
(a)
membahayakan
kegagalan
dan
untuk
mengancam
merespon
jiwa.
Indikasi
kortikosteroid,
(b)
10%
dari
hemangioma
menimbulkan
komplikasi
seperti
ulserasi/kerusakan besar, distorsi jaringan yang terlibat, dan obstruksi dari struktur
vital. Ulserasi spontan kulit yang terlibat dapat meluas ke jaringan yang lebih dalam,
menyebabkan hilangnya sebagian struktur, seperti hidung, kelopak mata, bibir, atau
daun telinga. Mungkin 1% dari semua hemangioma menyebabkan komplikasi yang
mengancam jiwa, seperti pengalihan aliran darah yang cukup untuk menghasilkan
gagal jantung.
Prognosis
Pada umumnya, prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat dan akurat.
E. Polip Nasi
Definisi
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inlamasi mukosa.
Etiologi
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah rinitis alergi atau
penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan teori dan para
ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi belum di ketahui dengan
pasti
Epidemiologi
Dalam populasi umum, prevalensi polip nasi sekitar 4%. Mereka terutama
mempengaruhi orang dewasa dan biasanya hadir pada pasien yang lebih tua dari 20
tahun. Di sebuah rumah sakit distrik Nigeria, dilaporkan bahwa tingkat presentasi
maksimum berusia antara 31 dan 40 tahun. Di Perancis, kejadian diperkirakan
meningkat dengan usia, mencapai puncaknya pada kelompok usia 50 sampai 59
tahun. Polip nasi jarang pada anak di bawah 10 dan mungkin terdapat cystic fibrosis.
Dengan rasio polip nasi 2:1 pada laki-laki dibanding perempuan.
Patofisiologi
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi
saraf otonom serta predisposisi genetic.
Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskopi akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang
baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan naso-endoskopi.
Pada kasus polip koanal juga dapat sering dilihat tangkai polip yang berasal
dari ostium asesorius sinus maksila.
Pemeriksaan Radiologi
Foto sinus paranasal (posisi waters, AP, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalas mukosa dan adanya batas udara-cairan dalam sinus, tetapu kurang
bermanfaat pada kasus polip.
Pemeriksaan tomografi komputer (Tk, CT scan) sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal. Tk teruatama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika
ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah
endoskopi.
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut polipektomi
medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe eosinofilik
memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal
dibandingkan polip tipe neutrofilik.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapu medikamentosa atau polip
masif disarankan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi)
menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal, etmodektomi intranasal
atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid. Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional)
Komplikasi
F. Angiofibroma
Definisi dan Epidemiologi
Patofisiologi
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa angiofibroma nasofaring terjadi
karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di
daerah oksipitalis os sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum
tersebut merupakan matriks dari angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran
lapisan sel epitelial yang mendasari ruang vaskular pada fasia basalis dan
dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut. Sehingga dikatakan
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon
androgen dan atau kelebihan hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan
erat antara tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta adanya hambatan
pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma. Diduga tumor berasal dari
periosteum
nasofaring
dikarenakan
tidak
adanya
kesamaan
pertumbuhan
Diagnosis
Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor pasca operasi. Tindakan
biopsi sebaiknya dihindari atau dilakukan dalam kamar operasi dengan peralatan
operasi yang telah dipersiapkan, mengingat bahaya perdarahan yang biasanya sukar
dikontrol.
Anamnesis
Gejala klinis yang tampak pada penderita angiofibroma sangat bervariasi
tergantung dari lokasi tumor serta perluasannya.
1. Pada permulaan penyakit gejala yang paling sering ditemukan (> 80%)
adalah hidung tersumbat yang progresif dilanjutkan dengan adanya
epistaksis masif yang berulang.
2. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret,
sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman.
3. Sefalgia hebat yang menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial,
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda, dengan
konsistensi kenyal dan permukaan licin.
Pemeriksaan Penunjang
Pada CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa
tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya
Pemeriksaan magnetic resonansi imaging (MRI) dilakukan untuk batas tumor
terutama yang telah meluas ke intrakranial
Pemeriksaan angiografi (arteriografi) bertujuan melihat pembuluh darah
pemasok utama (feeding vessel) untuk tumor serta mengevaluasi besar dan perluasan
tumor. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan terlihat vaskularisasi
tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksilaris interna homolateral.
Penatalaksanaan
Pengobatan angiofibroma adalah bedah reseksi. Pendekatan bedah ditentukan
oleh ukuran, lokasi dan suplai darah tumor. berbeda inovasi telah dijelaskan untuk
eksisi lengkap mulai dari pendekatan endoskopi untuk alotomy dan sebelah lateral
rhinotomy untuk eksposur yang lebih baik. Kelangkaan angiofibroma septal dan
kurangnya sistem pementasan membuat sulit untuk menetapkan pedoman standar
untuk terapi.
Komplikasi
Komplikasi meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).
Transformasi keganasan (malignant transformation).
Prognosis
Prognosis angiofibroma pada penderita dimana angka kekambuhan setelah terapi
dilaporkan bervariasi antara 6 % hingga 57%.Salah satu penelitian menyebutkan
angka rekuren 2,5% dari 19-40 penderita yang dirawat, dan satu dari penderita yang
ada mengalami kekambuhan sampai 12 kali. Angka mortalitas penyakit ini sekitar
3%.
Daftar Pustaka
Adam, Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta, 1997
Archontaki, M dkk, Cavernous haemangioma of the left nasal cavity. ACTA
Otorhinolharingologica Italica, 2008
Guyton, AC, Hall, JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997, editor: irawati setiawan, ed. 9,
1997, Jakarta: EGC
Kim, Seon Tae dkk, Three Cases of Hemangioma in Nasal Septum. 2000
Latif Hamdan, Abdul dkk, Angiofibroma of the Nasal Septum. Middle East Journal of
Anesthesiology. 2012
Meymane Jahromi, Ahmad dkk, The Epidemiological and Clinical Aspects
of
Nasal
Polyps
that
Require
Surgery.
National
Center
for