Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin meningkat. Salah
satunya adalah dalam bidang transportasi. Transportasi merupakan suatu
kegiatan manusia untuk melakukan suatu perjalanan dengan jarak
tertentu, dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan menggunakan
alat transportasi.
Sistem transportasi nasional menyelenggarakan transportasi guna
memperlancar arus penumpang dan barang dari suatu tempat ke tempat
yang lain di seluruh wilayah tanah air serta untuk pelayanan internasional.
Terselenggaranya sistem transportasi terpadu, tertib, lancar, dan aman
serta terjangkau oleh kemampuan masyarakat sehingga akan tercapai jasa
transportasi yang handal dan berkemampuan tinggi.
Keunggulan alat transportasi udara terletak pada kecepatan yang
tinggi dan kemampuanya untuk menembus daerah yang terisolasi. Tetapi
banyak juga kelemahanya, antara lain kemampuan angkut terbatas, sarana
dan prasarananya mahal, serta biaya operasinya juga mahal. Oleh karena
itu transportasi udara lebih banyak diminati untuk perjalanan jarak jauh.
1.2 Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan Tugas Besar Perencanaan
Terbang adalah:
1. Agar mahasiswa dapat menganalisa dan menentukan arah angin
dominan dalam penetapan arah landasan pacu (runway)
2. Agar mahasiswa dapat mendesain komponen geometrik Bandar udara
(runway, taxiway, apron, terminal dan bangunan pelengkapnya)
3. Agar mahasiswa dapat mendesain tebal perkerasan runway, taxiway,
apron.

AGUS DAUD F 111 13


070

BAB II
STANDAR STANDAR YANG DIGUNAKAN DAN LANDASAN
TEORI
2.1Standar Yang Digunakan Dalam Perencanaan
1. Menggunakan standar klasifikasi perencanaan ICAO (International Civil
Aviation Organization) Annex 11 ; 14 Fourth Edition Aerodrome Design
and Operations juli 2004
2. Menggunakan
standar

Perencanaan

FAA

(Federal

Aviation

Administration) AC 150/5300-13 FAA; AC 150/5320-6D FAA Tahun 2009


3. Aturan-aturan menurut keputusan Direktur Jendral Perhubungan Udara Indonesia Nomor :
SKEP/347/XII/1999 tentang Standar Rancang Bangun dan/atau Rekayasa Fasilitas dan
Peralatan Bandar Udara.; SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis Pengoperasian
Fasilitas Teknik Bandar Udara.
2.2

Analisa Angin
Sebuah analisa angin adalah dasar bagi perencanaan lapangan terbang,

sebagai pedoman pokok, landasan pacu sebuah lapangan terbang arahnya


harus sedemikian rupa sehingga searah dengan prevailling wind (arah
angin dominan).
Ketika mengadakan pendaratan dan lepas landas, pesawat dapat
melakukan manuver sejauh komponen angin samping (cross wind) tidak
berlebihan. Maksimum cross wind yang diizinkan tergantung pada bukan
saja ukuran pesawat, tetapi juga pada konfigurasi sayap dan kondisi
perkerasan landasan.
2.2.1 Arah Runway (Landasan Pacu)
Arah runway dapat ditentukan secara grafis, data angin untuk
segala kondisi penglihatan adalah sebagaimana data yang diberikan,
kemudian data tersebut diplot ke dalam diagram wind rose (mawar
angin).
Persentase angin yang bersesuaian dengan arah dan rentang
kecepatan yang diberikan ditandai dalam sektor yang sesuai dengan
mawar angin dengan menggunakan skala koordinat kutub untuk arah
dan besar angin.

AGUS DAUD F 111 13


070

Gambar 2.1. Wind Rose


Sumber : FAA AC 150/5300-13A (2014)
Arah landasan pacu optimum dapat ditentukan dari mawar
angin dengan menggunakan suatu lembar bahan yang tembus
pandang yang padanya telah dilukiskan 3 garis sejajar dan berjarak
sama. Garis tengah menyatakan garis tengah landasan pacu dan
jarak antara kedua garis yang di tepi, dengan skala adalah 2 kali
komponen angin sisi yang diizinkan. Lembaran tembus pandang itu
diletakkan di atas mawar angin sedemkian rupa, sehingga garis
tengah pada lembaran melalui pusat mawar angin.
Dengan pusat mawar angin sebagai titik pusat, lembaran itu
diputar di atas mawar angin sampai jumlah dari persentase yang
tercakup di antara garis tepi maksimum, apabila salah satu garis tepi
pada lembaran itu membagi suatu segmen arah angin, bagian yang
terbagi itu dihitung secara visual dengan pembulatan 0,1%. Langkah
berikutnya adalah membaca arah landasan pacu skala sebelah luar
mawar angin, dimana garis tengah pada lembaran itu memotong
AGUS DAUD F 111 13
070

skala arah. Sebagai langkah pertama dalam hal ini adalah memplot
data kecepatan dan arah angin ke dalam mawar angin yaitu
lingkaran yang terdiri dari berbagai sektor arah angin dan kecepatan
angin.
Kemudian masing-masing arah yang ditinjau dijumlahkan, maka
jumlah yang terbesar dijadikan standar untuk menghitung dan
menentukan arah landasan pacu (runway). Dengan demikian maka
diperoleh wind rose untuk masing-masing arah. Peninjauan arah
angin dilakukan pada 4 (empat) arah yaitu:
a) Arah N S.
b) Arah NE SW.
c) Arah W E.
d) Arah NW SE.
Persyaratan ICAO Pesawat Landas Pacu Rencana, diambil Panjang
Landas Pacu Pesawat dengan Komponen Cross Wind tidak melebihi :
20 Knots dengan ARFL 1500 m
13 Knots dengan ARFL diantara 1200 m 1499 m
10 Knots dengan ARFL 1200 m
2.3

Karakteristik Pesawat
Adalah penting untuk menyadari bahwa karakteristik-karakteristik
seperti berat operasi kosong, kapasitas penumpang dan panjang landasan
pacu tidakdapat dibuat secara tepat dalam pentabelan karena terdapat
banyak variabel yang mempengaruhi besaran-besaran tersebut,

baik

internal variable yang berhubungan dengan jenis dan mesin pesawat,


maupun external variable yang berhubungan dengan keadaan lokal seperti
arah dan kecepatan angin, temperatur, ketinggian lokasi dan kemiringan
memanjang landasan.
2.3.1 Klasifikasi Airport, Desain Group Pesawat dan Jenis Pesawat
Menurut Horonjeff (1994) berat pesawat terbang penting untuk
menentukan tebal perkerasan runway, taxiway dan apron, panjang
runway lepas landas dan pendaratan pada suatu bandara. Bentang
sayap dan panjang badan pesawat mempengaruhi ukuran

apron

parkir, yang akan mempengaruhi susunan gedung-gedung terminal.


Ukuran pesawat juga menentukan lebar runway, taxiway dan

AGUS DAUD F 111 13


070

jarakantara keduanya, serta mempengaruhi jari-jari putar yang


dibutuhkan pada kurva-kurva perkerasan.
Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh penting dalam
menentukan fasilitas-fasilitas di dalam dan yang berdekatan dengan
gedung-gedung terminal. Panjang runway mempengaruhi sebagian
besar daerah yang dibutuhkan disuatu bandara. Panjang landas pacu
yang terdapat pada Tabel 2.1 adalah pendekatan panajang landasan
pacu minimum yang dipakai setelah beberapa kali tes yang dilakukan
oleh pabrik pembuat pesawat terbang yang bersangkutan.

Gambar 2.2 Besaran Dan Ukuran Pesawat Terbang


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru
2014)
Tabel 2.1 Characteristics of Commercial Service Aircraft
Turboprop Aircraft
Aircraft

Wingspan

Length

MSTOW
(lb)

#
Engines

Avg. #
Seats

Beech 1900c

54'06"

57'10"

16600

19

Runway
required
(ft)
3300

Shorts 360
Dornier 328100
SAAB 340 B

74'10''

70'10"

27100

35

4300

68'10''

68'08"

27557

30

3300

70'04"

64'09"

28500

37

4200

AT-42-300

80'06"

74'05"

36815

45

3600

EMB 120

64'11"

65'7"

26433

30

5200

AGUS DAUD F 111 13


070

Jet Aircraft Less than 100,000 lb MSTOW (Regional Jets)

ERJ 135

Embrear

65'9"

86'5"

41887

35

Runway
required
(ft)
5800

ERJ 140

Embrear

65'9"

93'4"

44313

40

6100

Aircraft

Manufacturer Wingspan

Length

MSTOW
# Engines
(lb)

Avg. #
Seats

ERJ 145

Embrear

65'9"

98'0"

46275

50

7500

CRJ 200

Bombardier

69'7"

87'10"

51000

50

5800

CRJ 700

Bombardier

76'3"

106'8''

72750

70

5500

CRJ 900

Bombardier

81'6"

119'4"

80500

90

5800

Jet Aircraft Less than 100,000 lb MSTOW (Regional Jets)


Aircraft

Manufacturer Wingspan

Length

MSTOW
# Engines
(lb)

Avg. #
Seats

Runway
required
(ft)

BAe-RJ70

British
Aerospace

86'00"

78'9"

89999

95

4700

BAe-RJ85

British
Aerospace

86'00"

86'11"

92999

110

5400

BAe-RJ100

British
Aerospace

86'00"

94'10"

97449

110

6000

Jet Aircraft Between 100,00 and 250,000 lb MSTOW (Narrow Body Jets)
Aircraft

Manufacturer Wingspan

Length

Wheel
Base

Wheel
Track

MSTOW
# Engines
(lb)

Avg. #
Seats

Runway
required
(ft)

A-319

Airbus
Industrie

111'25''

111'02''

41'33''

24'93''

141095

140

5800

MD-87

McDonnellDouglas

107'10''

130'05''

62'11''

16'08''

149500

135

7600

MD-90-30

McDonnellDouglas

107'10''

152'07''

77'02''

16'08''

156000

165

6800

A-320-200

Airbus
Industrie

111'03"

123'03''

41'05''

24'11''

158730

160

5700

B-737-800

Boeing

112'06''

124'11''

50'09''

18'8''

172445

175

B-727-200

Boeing

108'00''

153'03''

63'03''

18'09''

184800

165

8600

B-757-200

Boeing

124'10''

155'03''

60'00''

24'00''

220000

210

5800

Jet Aircraft Greater than 250,000 lb MSTOW (Wide Body Jets)


A310-300

Airbus
Industrie

144'00''

153'01''

49'11''

31'06''

330690

240

7500

B-767-300

Boeing

156'01''

180'03''

74'08''

30'06''

345000

275

8000

A-300-600

Airbus
Industrie

147'01''

175'06''

61'01''

31'06''

363765

310

7600

L-1011-500

Lockheed

164'04''

164'03''

61'08''

36'00''

510000

290

9200

B-777-200

Boeing

199'11''

209'01''

84'11''

36'00''

535000

375

8700

DC-10-40

McDonnellDouglas

165'04''

182'03''

72'05''

35'00''

555000

325

9500

A-340-200

Airbus
Industrie

197'10''

195'00''

62'11''

16'09''

558900

320

7600

AGUS DAUD F 111 13


070

DC-10-30

McDonnellDouglas

165'04''

182'03''

72'05''

35'00''

572000

320

9290

MD-11

McDonnellDouglas

170'06''

201'04''

80'09''

35'00''

602500

365

9800

B-747-SP

Boeing

195'08''

184'09''

67'04''

36'01''

630000

315

7000

B-747-400

Boeing

213'00''

231'10''

84'00''

36'01''

800000

535

8800

Avg. #
Seats

Runway
required
(ft)

Jet Aircraft Between 100,00 and 250,000 lb MSTOW (Narrow Body Jets)
Aircraft

Manufacturer Wingspan

Length

Wheel
Base

Wheel
Track

MSTOW
# Engines
(lb)

B-787-8
Dreamliner

Boeing

197'04''

186'02''

74'09''

32'07''

242000

230

9600

A-380

Airbus
Industrie

261'08''

239'03''

99'08''

46'11''

1235000

525

10000

Sumber: Planning & Design of Airports (Robert Horonjeff & Francis .S


Mckelvey ) 1994
2.3.2. Beban pesawat
Beban pesawat diperlukan untuk menentukan tebal lapis keras
landing movement yang dibutuhkan. Beberapa jenis beban pesawat
yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat antara lain
(Sartono, 1992):
(1)
Berat kosong operasi (Operating Weight Empty = OWE)
adalah beban utama pesawat, termasuk awak pesawat dan
konfigurasi roda pesawat tetapi tidak

termasuk muatan

(payload) dan bahan bakar.


(2)
Muatan (Payload) adalah beban pesawat yang diperbolehkan
untuk diangkut oleh pesawat sesuai dengan persyaratan angkut
pesawat.

Biasanya beban muatan menghasilkan pendapatan

(beban yang dikenai biaya). Secara teoritis beban maksimum ini


merupakan perbedaan antara berat bahan bakar kosong dan
berat operasi kosong.
(3)
Berat bahan bakar kosong (Zero Fuel Weight = ZFW) adalah
beban maksimum yang terdiri dari berat operasi kosong, beban
penumpang dan barang.
(4)
Berat Ramp maksimum (Maximum Ramp Weight = MRW)
adalah beban maksimum untuk melakukan gerakan, atau berjalan
dari

parkir

pesawat

ke

pangkal

landasan

pacu.

Selama

melakukan gerakan ini, maka akan terjadi pembakaran bahan


bakar sehingga pesawat akan kehilangan berat.
AGUS DAUD F 111 13
070

(5)

Berat maksimum lepas landas (Maximum Take Off Weight =

MTOW) adalah beban maksimum pada awal lepas landas sesuai


dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan.
Beban ini meliputi berat operasi kosong, bahan bakar dan
cadangan (tidak termasuk bahan bakar yang digunakan untuk
melakukan gerakan awal) dan muatan (payload).
(6)
Berat maksimum pendaratan (Maximum Landing Weight =
MLW)

adalah

beban

maksimum

pada

saat

roda

pesawat

menyentuh lapis keras (mendarat) sesuai dengan bobot pesawat


dan persyaratan kelayakan penerbangan.
Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian beban pesawat saat
pengoperasian dirangkum dalam Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Beban Pesawat Saat Pengoperasian
Komponen Berat
Crew
Pesawat Dasar

Gear

Muata
n

Bahan Bakar
Man T.o Trav.

Ld.

Res.

OWE

Payload

Max.payloa
d
ZFW

+ max.

+ max.

MRW

MTOW

MLW

Sumber: Sartono (1992)


Catatan:
Tanda (+) = diperhitungkan
Tanda (-) = tidak diperhitungkan
Man

= Manuver (gerakan)

T.o

= Take off (tinggal landas)

Trav

= Travelling (Perjalanan)

Ld

= Landing (Mendarat)

Res

= Reserver (cadangan)

2.3.4. Konfigurasi Roda Pendaratan Utama


Selain berat pesawat, konfigurasi roda pendaratan utama
sangat berpengaruh terhadap perancangan tebal lapis perkerasan.
Pada umumnya konfigurasi roda pendaratan utama dirancang untuk
AGUS DAUD F 111 13
070

menyerap

gaya-gaya

yang

ditimbulkan

selama

melakukan

pendaratan (semakin besar gaya yang ditimbulkan semakin kuat roda


yang digunakan), dan untuk menahan beban yang lebih kecil dari
beban pesawat lepas landas maksimum.

Dan selama pendaratan

berat pesawat akan berkurang akibat terpakainya bahan bakar yang


cukup besar.
Adapun

jenis-jenis

konfigurasi

roda

pendaratan

utama

diperlihatkan pada gambar 2.3 dan tipe roda pendaratan utama


sesuai dengan jenis pesawat sajikan dalam bentuk tabel 1-6 pada
lampiran.

AGUS DAUD F 111 13


070

AGUS DAUD F 111 13


070

10

Gambar 2.3 Konfigurasi Roda Pendaratan


Sumber : FAA AC 150/5300-13A (2014)

AGUS DAUD F 111 13


070

11

2.4 Desain Landasan Pacu (Runway)


2.4.1 Geometrik Landas Pacu
Untuk menghitung panjang runway akibat pengaruh prestasi
pesawat dipakai suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Amerika Serikat bekerja sama dengan Industri Pesawat Terbang yang
tertuang dalam Federal Aviation Regulation

(FAR).

Peraturan-

peraturan ini menetapkan bobot kotor pesawat terbang pada saat


lepas landas dan mendarat dengan menentukan persyaratan prestasi
yang harus dipenuhi.
Perhitungan panjang runway dipengaruhi oleh kondisi lokal
lingkungan

bandara.

Lingkungan

bandara

yang

berpengaruh

terhadap panjang runway adalah: temperatur, angin permukaan


(surface wind), kemiringan runway (effective gradient), elevasi
runway dari permukaan laut (altitude) dan kondisi permukaan
runway. Sesuai dengan rekomendasi dari International Civil Aviation
Organization (ICAO) bahwa perhitungan panjang runway harus
disesuaikan dengan kondisi lokal lokasi bandara. Metoda ini dikenal
dengan metode Aeroplane Reference Field Length (ARFL).
Menurut ICAO, ARFL adalah runway minimum yang dibutuhkan
untuk lepas landas pada maximum sertificated take off weight,
elevasi muka laut, kondisi atmosfir standar, keadaan tanpa angin
bertiup, runway tanpa kemiringan (kemiringan = 0). Jadi di dalam
perencanaan

persyaratan-persyaratan

tersebut

harus

dipenuhi

dengan melakukan koreksi akibat pengaruh dari keadaan lokal.


Adapun uraian dari faktor koreksi tersebut adalah sebagai berikut:
a) Koreksi elevasi
Menurut ICAO bahwa panjang runway bertambah sebesar 7%
setiap kenaikan 300 m (1000 ft) dihitung dari ketinggian di atas
permukaan laut. Maka rumusnya adalah:
Fe = 1 + 0.07 .(h/300)
( Pers. 2.1)
Dengan

Fe

: Faktor koreksi elevasi

: Elevasi di atas permukaan laut, m

b) Koreksi temperatur
AGUS DAUD F 111 13
070

12

Pada temperatur yang tinggi dibutuhkan runway yang lebih


panjang sebab temperatur tinggi akan menyebabkan density udara
yang rendah. Sebagai temperatur standar adalah 15C. Menurut
ICAO panjang runway harus dikoreksi terhadap temperatur sebesar
1% untuk setiap kenaikan 1C. Sedangkan untuk setiap kenaikan
1000 m dari permukaaan laut rata-rata temperatur turun 6.5C.
Dengan dasar ini ICAO menetapkan hitungan koreksi temperatur
dengan rumus:
Ft = 1 + 0.01 (T (15 - 0.0065h))
( Pers. 2.2)
Dengan

Ft

: Faktor koreksi temperatur

: Temperatur di bandara, C

c) Koreksi kemiringan runway


Faktor

koreksi

kemiringan

runway

dapat

dihitung

dengan

persamaan berikut:
Fs = 1 + 0.1 S

Pers.2.3)
Dengan

Fs

: Faktor koreksi kemiringan

: Kemiringan runway, %

d) Koreksi angin permukaan (surface wind)


Panjang runway yang diperlukan lebih pendek bila bertiup angin
haluan (head wind) dan sebaliknya bila bertiup angin buritan (tail
wind) maka runway yang diperlukan lebih panjang. Angin haluan
maksimum yang diizinkan bertiup dengan kekuatan 10 knots, dan
menurut Basuki (2014) kekuatan maksimum angin buritan yang
diperhitungkan adalah 5 knots. Tabel 2.3 berikut memberikan
perkiraan pengaruh angin terhadap panjang runway.
Tabel 2.3 Pengaruh Angin Permukaan Terhadap Panjang Runway
Kekuatan angin

Persentase Pertambahan
Pengurangan Runway

+5
+10
-5

-3
-5
+7

AGUS DAUD F 111 13


070

13

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru


2014)
e) Kondisi permukaan runway
Untuk kondisi permukaan runway hal sangat dihindari adalah
adanya genangan tipis air (standing water) karena membahayakan
operasi pesawat. Genangan air mengakibatkan permukaan yang
sangat licin bagi roda pesawat yang membuat daya pengereman
menjadi jelek dan yang paling berbahaya lagi adalah terhadap
kemampuan kecepatan pesawat untuk lepas landas. Menurut hasil
penelitian NASA dan FAA tinggi maksimum genangan air adalah
1.27 cm. Oleh karena itu drainase bandara harus baik untuk
membuang air permukaan secepat mungkin.
Jadi panjang runway minimum dengan metoda ARFL dihitung
dengan persamaan berikut:
Lro = ARFL x ( Ft x Fe x Fs x (1+ % pengaruh angin permukaan)
(Pers.2.4)
Dengan,

Lro

: Panjang runway rencana, m

Ft

: Faktor koreksi temperatur

Fe

: Faktor koreksi elevasi

Fs

: Faktor koreksi kemiringan

Setelah panjang runway menurut ARFL diketahui dikontrol lagi


dengan Aerodrome Reference Code (ARC) dengan tujuan untuk
mempermudah membaca hubungan antara beberapa spesifikasi
pesawat terbang dengan berbagai karakteristik bandara. Kontrol
dengan ARC dapat dilakukan berdasarkan pada Tabel 2.4 berikut:
Tabel 2.4 Airplane Desain Group (ADP)
Group
Tail Height (ft)
Wingspan (ft)
I
< 20
< 49
II
20 - < 30
49 - < 79
III
30 - < 45
79 - < 118
IV
45 - < 60
118 - < 171
V
60 - < 66
171 - < 214
VI
66 - < 80
214 - < 262
Sumber : AC 150/5300-13 Airport Design 2014
AGUS DAUD F 111 13
070

14

Dari data karakteristik pesawat diketahui panjang bentang sayap


pesawat yang paling lebar diantara pesawat rencana, sesuai
dengan tabel 2.4 pesawat tersebut masuk kategori yang telah
ditetapkan, Selanjutnya data yang diperlukan telah ditetapkan
dalam tabel berikut :

Tabel 2.5 Runway design standards matrix, C/D/E - I

AGUS DAUD F 111 13


070

15

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

16

Tabel 2.6 Runway design standards matrix, C/D/E - II

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

17

Tabel 2.7 Runway design standards matrix, C/D/E - III

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

18

Tabel 2.8 Runway design standards matrix, C/D/E - IV

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

19

Tabel 2.9 Runway design standards matrix, C/D/E - V

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

20

Tabel 2.10 Runway design standards matrix, C/D/E - VI

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014


Catatan:
Jarak Standar runway centerline to parallel taxiway centerline jarak batasnya adalah 400 feet (122
m) untuk bandara di bawah elevasi 1345 feet (410,2 m), 450 feet (137,3 m) ,untuk bandara diantara
elevasi 1345 feet sampai 6560 feet, dan 500 feet (152,5m) untuk bandara di atas elevasi 6,560 feet.

AGUS DAUD F 111 13


070

21

Gambar 2.4 Typical airport layout


Sumber : AC 150/53000-13A

AGUS DAUD F 111 13


070

22

Tabel 2.11 Taxiway Design standards based on Airplane Design Group (ADG)

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014


Tabel 2.12 Design standards based on Taxiway Design Group (TDG)

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

23

Gambar 2.5 Taxiway turn - 90 degree delta


Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

24

Gambar 2.6 Taxiway turn - less than 90 degree delta


Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

Gambar 2.7 Taxiway turn - greater than 90 degree delta


Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

25

Tabel 2.13 Standard intersection details for TDG 1A

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014


Tabel 2.14 Standard intersection details for TDG 1B

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014


AGUS DAUD F 111 13
070

26

Tabel 2.16 Standard intersection details for TDG 2

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

27

Tabel 2.17 Standard intersection details for TDG 3

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

Tabel 2.18 Standard intersection details for TDG 4

AGUS DAUD F 111 13


070

28

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014


Tabel 2.19 Standard intersection details for TDG 5

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

Tabel 2.20 Standard intersection details for TDG 6

AGUS DAUD F 111 13


070

29

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014


Tabel 2.21 Standard intersection details for TDG 7

Sumber: AC/150/5300-13, Airport Design 2014

AGUS DAUD F 111 13


070

30

Perencanaan geometrik lapangan terbang sangat bergantung


terhadap

dimensi

pesawat

yang

dilayani.

Untuk

dimensi

yang

berhubungan dengan taxiway, maka pesawat dibagi dalam beberapa


kelompok/group.
Pembagian kelas ini berdasarkan dimana wingspan (lebar sayap),
under width (lebar bagian bawah) dan wheel head dan wheel base
(jarak antara kepala roda dengan roda badan). Masing-masing group
terdapat beberapa jenis:

Perlambatan diambil 1,5 m/dtk2 dan jarak harus ditambahkan 3% per


300 m (1000 ft) setiap kenaikan dari muka air laut dan 1% setiap

kenaikan 56 C (10F) dari temperatur 15C - 50C.


Kecepatan touch down
diambil sesuai tipe pesawat

untuk

perencanaan taxiway
Tabel 2.22 Jarak touchdown pesawat berdasakan design group
Design
Group

Tipe Pesawat

Kecepatan
towchdown
(Km/Jam)

Jarak
towchdown
(m)

Bristul Freighter
170, DC-3, DC-4,
F-27

< 167 Km/Jam


(90 knots)

300 m ( 1000 ft
)

Bristul Freighter,
DC-6, F-28, MK100, Viscount
800

169 122 Km/Jam


( 90 120 knots )

400 m ( 1500 ft
)

B-707, B-727,B737,B747, air Bus, DC8,DC-9, DC-10,L1011,Trident

> 244 Km/Jam


( < 121 knots )

450 m ( 1500 ft
)

II

III

Sumber: FAA AC 150/5320-6D


Jarak dari Threshold ke lokasi exit taxiway = jarak touch down + D dari
threshold
D=

S 12S 22
2a

(Pers.

2.5)
Dimana :
D

= jarak dari touch down ke titik perpotongan antara runway dan

taxiway
AGUS DAUD F 111 13
070

31

S1 = kecepatan touchdown (m/s)


S2 = kecepatan awal ketika meninggalkan landasan (m/s)
a

= perlambatan

2.5 HOLDING BAY


Pada lapangan terbang yang mempunyai lalu lintas pesawat padat, sudah perlu
dibangun Holding Bay. Dengan disediakannya holding bay, maka pesawat dari apron dapat
menuju ke ujung landasan dengan cepat, dan memungkinkan sebuah pesawat lain untuk
menyalip masuk ujung landasan tanpa harus menunggu pesawat di depannya yang sedang,
menyelesaikan persiapan teknis, macam-macam tipe holding bay seperti yang terlihat pada
gambar 2.6. Keuntungan dari holding bay antara lain:
Keberangkatan sebuah pesawat tertentu yang harus ditunda karena suatu hal padahal
sudah masuk taxiway menjelang sampai ujung landasan, tidak menyebabkan tertundanya
pesawat lain yang ada dibelakangnya.
Pemeriksaan altimeter (alat pengukur tinggi) sebelum terbang, memprogram alat bantu
Navigasi Udara, apabila tidak bisa dilaksanakan di apron.
Pemanasan mesin sesaat sebelum lepas landas. Sebagai titik pemeriksaan aerodrome
untuk VOR (Very High Omny Range), karena untuk pemeriksaan itu pesawat harus
berhenti untuk menerima sinyal yang benar.
a

Bentuk Holding Bay


Apron tunggu (holding apron), lantai pemanasan (run-up pad) atau kadang-kadang disebut
holding bay, ditempatkan di ujung landasan pacu. Apron-apron tersebut digunakan sebagai
tempat pesawat sebelum lepas landas, apron-apron tersebut harus cukup luas sehingga
apabila sebuah pesawat tidak dapat lepas landas karena ada kerusakan mesin, pesawat
lainnya yang siap untuk lepas landas dapat melewatinya (Gambar 2.8).

AGUS DAUD F 111 13


070

32

Gambar 2.8 Holding Bay untuk landasan approach presisi kode angka No.4
Sumber : Gambar 4-10. Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
b Dimensi Holding Bay
Dimensi yang diperlukan untuk sebuah holding bay disajikan dalam tabel 2.23:
Tabel 2.23 Dimensi Holding Bay

Sumber: SKEP 77-VI-2005


c

Lokasi Holding Bay


Holding Bay harus ditempatkan di luar area kritis yaitu sekitar instalasi ILS (Instrument
Landing System) agar terhindar gangguan pada peralatan bantu pendataran.

2.6 Desain Apron


1
Geometrik Apron
Apron ialah suatu areal parkir pesawat untuk memuat dan menurunkan barang.
Tempat naik dan turunnya penumpang pesawat. Perencanaan apron dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
Karakteristik pesawat yang terdiri dari:

Panjang pesawat.

Lebar sayap pesawat

Jari-jari putar pesawat.


AGUS DAUD F 111 13
070

33

Jarak keamanan antar pesawat.


Volume penerbangan.
Kapasitas rencana lapangan terbang.
1 Tipe Parkir Pesawat Terbang

Dalam perencanaan lapangan terbang ada beberapa tipe parkir pesawat


terbang yang dapat digunakan, yaitu:

Noise In
Pesawat diparkir tegak lurus gedung terminal, hidung pesawat menghadap
terminal.

Angied Noise In
Pesawat diparkir menyudut dan hidung pesawat menghadap ke gedung
terminal.

Paralel
Konfigurasi parkir dengan badan pesawat/sayap pesawat menghadap
gedung terminal dengan sudt 90o

Angied Noise Out


Konfigurasi parkir sama dengan tipe Angied Noise In tetapi hidung
pesawat membelakangi gedung terminal.

Macam-macam tipe parkir tersebut dapat dilihat seperti yang tercantum pada
gambar Berikut:

AGUS DAUD F 111 13


070

34

ANGIED NOISE IN

NOISE IN

TERMINAL
BAGIAN DEPAN

AGUS DAUD F 111 13


070

35

Gambar 2.9 Macam macam tipe parkir pesawat


Sumber: Robert horonjeff & Francis. S Mckelvey. Hal. 509
2

Menentukan Gate Type


Area Terminal (Apron) secara khas dirancang untuk menangani spesifikasi
pesawat terbang yang cock dengan dimensi ukuran-ukuran tertentu. Pada Bab
4 dari AC 150/5360 13 menguraikan metodologi untuk menentukan tipetipe gate yang berbeda. Airport Reference Code (ARC) adalah system yang
digunakan untuk menentukan ukuran desain, dan tipe-tipe gate dengan cara
mudah. Berikut adalah tipe-tipe gate yang dikategorikan pada Bab 4
150/5630 -13;
1

Tipe Gate A. Pesawat tipe golongan III dengan panjang sayap (wingspan)

antara 79-118 ft
Tipe Gate B. Pesawat tipe golongan IV dengan panjang sayap (wingspan)

antara 118 - 171 ft


Tipe Gate C. Pesawat tipe golongan III dengan panjang sayap (wingspan)

antara lebih besar 160 ft


Tipe Gate D. Pesawat tipe golongan V dengan panjang sayap (wingspan)
antara 171 - 213 ft

Menentukan Jumlah Gate Position


Menentukan jumlah gate position untuk tiap jenis pesawat digunakan rumus:
G=
Pers. 2.6
Dimana:
G

= Jumlah gate position.

= Volume rencana opesawat tiba/berangkat perjam

= Ratarata gate occupancy time

= Faktor keamanan (0,65 0,85 T)

Tabel 2.24 Typical Gate Occupancy Time (in minutes)


Aircraft
B-737, DC-9, F-28
B-707, B-757
A300, DC-10, L-1011
B-747
AGUS DAUD F 111 13
070

Domestic
Through
Turnaround
Flight
Flight
25
45
45
50
45-60
60
60

International
Turnaround Flight
60
120
120-180
36

Sumber: ICAO Airport Planning Manual, Master Planning 1987


4

Menghitung kapasitas gate yang direncanakan dengan rumus :


Gi
C=
Pers. 2.7
Ti . Mi
Dimana :
Gi
= jumlah gate
Ti
= gate accupancy time
Mi = mix pesawat

Turning Radius
Ukuran gate position tergantung dari jenis pesawat dan tipe parkir pesawat
yang digunakan, yaitu sebesar 2 x Turning Rasius + Clearance.
a

Turning Radius (R) dihitung sebagai berikut:


R

= (wing span + wheel track) + forward roll

Pers. 2.8

Ukuran gate position = 2.R + Clearance

Pers. 2.9

b Menghitung Ukuran Gate Position


Tabel 2.25. Wing Tip Clearance yang disarankan oleh ICAO
Code
Letter
A

Clearance

Air Craft Wing Span


Up to but including 15 m (49 ft)

3,0 m (10 ft)

15 m (49 ft) up to but not including 24 m (79 ft)

3,0 m (10 ft)

24 m (79 ft) up to but not including 36 m (118 ft)

4,5 m (15 ft)

D
E

36 m (118 ft) up to but not including 52 m (171 ft)


52 m (171 ft) up to but not including 60 m (197 ft)

7,5 m (25 ft)


7,5 m (25 ft)

Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

Menentukan Lebar Dan Panjang Apron


Dihitung dengan mengambil gate position yang paling besar ditambah
wing span yang terpanjang. Dari jenis pesawat yang akan dilayani oleh
lapangan

ditambah

clearance.

Panjang

apron

diperoleh

dengan

menjumlahkan gate position dari ujung apron. Bisa juga dengan penentuan
berdasarkan FAA, yaitu :

AGUS DAUD F 111 13


070

37

Gambar 2.9. Desain standar untuk apron metode FAA


Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
2.7 Perencanaan Perkerasan
Perkerasan didefenisikan sebagai struktur yang terdiri dari satu atau lebih lapisan
perkerasan yang dibuat dari bahan terpilih. Perkerasan dapat berupa aggregat bermutu tinggi
yang diikat dengan aspal yang disebut perkerasan lentur, atau dapat juga plat beton yang
disebut perkerasan kaku. Perkerasan dimaksudkan untuk memberikan permukaan yang halus
dan aman pada segala kondisi cuaca, serta tebal dari setap lapisan harus cukup aman untuk
menjamin bahwa beban pesawat yang bekerja tidak merusak lapisan dibawahnya.
Perkerasan lentur dapat terdiri dari satu lapisan atau lebih yang digolongkan sebagai
permukaan (surface course), lapisan pondasi atas (base course), dan lapisan pondasi bawah
(subbase course) yang terletak di antara pondasi atas dan lapisan tanah dasar (subgrade) yang
telah dipersiapkan. Lapisan permukaan terdiri dari campuran bahan berbitumen (biasanya
aspal) dan agregat, yang tebalnya bervariasi tergantung dari kebutuhan. Fungsi utamanya
adalah untuk memberikan permukaan yang rata agar lalu-lintas menjadi aman dan nyaman dan
juga untuk memikul beban yang bekerja diatasnya dan meneruskannya kelapisan yang ada
dibawahnya. Lapisan pondasi atas dapat terdiri dari material berbutir kasar dengan bahan
pengikat (misalnya dengan aspal atau semen) atau tanpa bahan pengikat tetapi menggunakan
bahan penguat (misalnya kapur). Lapisan pondasi harus dapat memikul beban-beban yang
bekerja dan meneruskan dan menyebarkannya ke lapisan yang ada dibawahnya.
Lapisan pondasi bawah dapat terdiri dari batu alam yang dipecahkan terlebih dahulu atau
yang alami. Seringkali digunakan bahan sirtu (batu-pasir) yang diproses terlebih dahulu atau
bahan yang dipilih dari hasil galian di tempat pekerjaan. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak
setiap perkerasan lentur memerlukan lapisan pondasi bawah. Sebaliknya perkerasan yang tebal
dapat terdiri dari beberapa lapisan pondasi bawah.
2.8.1

Stuktur Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

AGUS DAUD F 111 13


070

38

Menurut Basuki, (1986) dalam buku Merancang Merencanakan Lapangan


Terbang, perkerasan flexible adalah suatu perkerasan yang mempunyai sifat elastis,
maksudnya adalah perkerasan akan melendut saat diberi pembebanan. Adapun
struktur lapisan perkerasan lentur sebagai berikut:
a. Tanah dasar (Sub Grade)
Tanah dasar (sub grade) pada perencanaan tebal perkerasan akan
menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifatsifat tanah dasar
menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi landasan pacu. Banyak metode
yang dipergunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar, dari cara yang
sederhana sampai kepada cara yang rumit seperti CBR (California Bearing
Ratio), MR (Resilient Modulus), dan K (Modulus Reaksi Tanah Dasar). Di
Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaaan tebal lapisan
perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan CBR. Penentuan daya
dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium tidak
dapat mencakup secara detail (tempat demi tempat), sifat sifat daya dukung
tanah dasar sepanjang suatu bagian jalan. Koreksikoreksi perlu dilakukan baik
dalam tahap perencanaan detail maupun tahap pelaksanaan, disesuaikan dengan
kondisi tempat. Koreksikoreksi semacam ini akan di berikan pada gambar
rencana atau dalam spesifikasi pelaksanaan.
b. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari konstruksi
perkerasan landasan pacu yang terletak di antara tanah dasar (Sub Grade) dan
lapisan pondasi atas (Base Course)
c. Lapisan Pondasi Atas (Base Coarse)
Lapisan pondasi atas (Base Coarse) adalah bagian dari perkerasan landasan pacu
yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan. Fungsi
lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut:
Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban lapisan dibawahnya.
Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
d. Lapisan Permukaan (Surface Course)
Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan yang terletak paling atas.
Lapisan ini berfungsi sebagai berikut:
Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai stabilitas
yang tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.
Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke
lapisan dibawahnya.
AGUS DAUD F 111 13
070

39

Lapisan aus (wearing Course), lapisan yang langsung menderita gesekan


akibat rem kendaraan sehingga mudah nenjadi aus.
Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga lapisan bawah
yang memikul daya dukung lebih kecil akan menerima beban yang kecil
juga.
Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air,
di samping itu bahan aspal sendiri memberikan tegangan tarik, yang berarti
mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas. Pemilihan
bahan untuk lapisan permukaan perlu dipertimbangkan kegunaanya, umur
rencana serta pentahapan konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar
besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
Karena perencanaan perkerasan merupakan suatu masalah rekayasa yang
kompleks sehingga perencanaan ini melibatkan banyak pertimbangan dari banyak
variabel. Parameter-parameter yang dibutuhkan untuk merencanakan perkerasan
meliputi berat kotor lepas landas pesawat (MSTOW), konfigurasi dan ukuran
roda pendaratan utama dan volume lalu-lintas. Kurva-kurva perencanaan terpisah
disajikan untuk roda pendaratan tunggal, roda tandem, roda tandem ganda, dan
pesawat berbadan lebar.
Langkah pertama prosedur adalah menentukan ramalan keberangkatan
pesawat tahunan dari setiap type pesawat dan mengelompokkannya ke dalam
pesawat menurut konfigurasi roda pendaratan. Berat landas maksimum dari setiap
pesawat digunakan dan 95% dari berat pasawat ini dipikul oleh roda pendaratan
utama.

Tabel 2.26 Faktor konversi roda pendaratan


Konversi dari
Ke
Faktor penggali
Single wheel
Dual wheel
0.8
Single wheel
Dual Tandem
0.5
Dual wheel
Dual Tandem
0.6
Double Dual Tandem
Dual Tandem
1.00
Dual Tandem
Single wheel
2.00
Dual Tandem
Dual wheel
1.70
Dual wheel
Single wheel
1.30
Double Dual Tandem
Dual wheel
1.70
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
2.8.2

Menentukan Tipe Roda Pendaratan Utama


a Sumbu Tunggal Roda Tunggal (Single)

AGUS DAUD F 111 13


070

40

Gambar 2.10 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda tunggal


Sumber: Yang, (1984)
b Sumbu Tunggal Roda Ganda (Dual wheel)

Gambar 2.11 Konfigurasi roda pendaratan untuk pesawat roda ganda


Sumber: Yang, (1984)

Sumbu Tandem Roda Ganda (Dual Tandem)

Gambar 2.12 Konfigurasi roda pendaratan pesawat roda tandem ganda


Sumber: Yang, (1984)
d Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT)

AGUS DAUD F 111 13


070

41

Gambar 2.13 Konfigurasi roda pendaratan pesawat roda ganda dobel


Sumber : Yang, (1984)
2.8.3

Menentukan Pesawat Rencana


Pesawat rencana dapat ditentukan dengan melihat jenis pesawat yang
beroperasi dan besar MSTOW (Maksimum Structural Take Off Weight) dan data
jumlah keberangkatan tiap jenis pesawat yang berangkat tersebut. Lalu dipilih jenis
pesawat yang menghasilkan tebal perkerasan yang paling besar. Pemilihan pesawat
rencana ini pada dasarnya bukanlah berasumsi harus berbobot paling besar, tetapi
jumlah keberangkatan yang paling banyak melalui landasan pacu yang
direncanakan.
Pesawat rencana kemudian ditetapkan sebagai pesawat yang membutuhkan
tebal perkerasan yang paling besar dan tidak perlu pesawat yang paling besar yang
beroperasi di dalam bandara. Karena pesawat yang beroperasi di bandara memiliki
angka keberangkatan tahunan yang berbeda-beda, maka harus ditentukan
keberangkatan tahunan ekivalen dari setiap pesawat dengan konfigurasi roda
pendaratan dari pesawat rencana.

2.8.4

Menentukan Beban Roda Pendaratan Utama Pesawat (W2)


Untuk pesawat yang berbadan lebar yang dianggap mempunyai MTOW
cukup tinggi dengan roda pendaratan utama tunggal dalam perhitungan Equivalent
Annual Departure (R1) ditentukan beban roda tiap pesawat, 95% berat total dari
pesawat ditopang oleh roda pendaratan utama, dalam perhitungannya dengan
menggunakan rumus:
W2 = P x MSTOW x

1 1
x
A B

(Pers 2.10)
Dimana:
W2

= Beban roda pendaratan dari masing-masing jenis pesawat

MSTOW = Berat kotor pesawat saat lepas landas


AGUS DAUD F 111 13
070

42

= Jumlah konfigurasi roda

= Jumlah roda per satu konfigurasi

= Persentase beban yang diterima roda pendaratan utama

Tipe roda pendaratan utama sangatlah menentukan dalam perhitungan tebal


perkerasan. Hal ini dikarenakan penyaluran beban pesawat melalui roda-roda ke
perkerasan.
2.8.5

Menentukan Nilai Ekivalen Keberangkatan Tahunan Pesawat Rencana


Pada lalu-lintas pesawat, struktur perkerasan harus mampu melayani berbagai
macam jenis pesawat, yang mempunyai tipe roda pendaratan yang berbeda-beda dan
berfariasi beratnya. Pengaruh dari beban yang diakibatkan oleh semua jenis model
lalu-lintas itu harus dikonversikan ke dalam pesawat rencana dengan equivalent
annual departure dari pesawat-pesawat campuran tadi, sehingga dapat disimpulkan
bahwa perhitungan ini berguna untuk mengetahui total keberangkatan keseluruhan
dari bermacam pesawat yang telah dikonversikan ke dalam pesawat rencana. Untuk
menentukan R1 dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
Log R1 = Log R2

[ ]
W2
W1

1/2

(Pers 2.11)
Dimana:
R1

= Keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana (pound)

R2

= Jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat berkenaan dengan konfigurasi


roda pendaratan rencana

W1 = Beban roda pesawat rencana (pound)


W2 = W2 = Beban roda pesawat yang harus diubah
Karena pesawat berbadan lebar mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama
yang berbeda dengan pesawat lainnya, maka pengaruhnya terhadap perkerasan
diperhitungkan dengan menggunakan berat lepas landas kotor dengan susunan roda
pendaratan utama adalah roda tunggal yang dikonversikan dengan nilai yang ada,
Dengan anggapan demikian maka dapat dihitung keberangkatan tahunan ekivalen
(Equivalent Annual Departure, R1).
2.8.6

Menentukan Tebal Perkerasan Total


Perencanaan perkerasan yang dikembangkan oleh FAA ini adalah
perencanaan untuk masa umur rencana, dimana selama masa layan tersebut harus
tetap dilakukan pemeliharaan secara berkala. Grafik-grafik pada perencanaan

AGUS DAUD F 111 13


070

43

perkerasan FAA menunjukkan ketebalan perkerasan total yang dibutuhkan (tebal


pondasi bawah + tebal pondasi atas + tebal lapisan permukaan). Nilai CBR tanah
dasar digunakan bersama-sama dengan berat lepas landas kotor dan keberangkatan
tahunan ekivalen dari pesawat rencana.
Grafik-grafik perencanaan digunakan dengan memulai menarik garis lurus
dari sumbu CBR, ditentukan secara vertikal ke kurva berat lepas landas kotor
(MSTOW), kemudian diteruskan kearah horizontal ke kurva keberangkatan tahunan
ekivalen dan akhirnya diteruskan vertikal ke sumbu tebal perkerasan dan tebal total
perkerasan didapat. Beban lalu-lintas pesawat pada umumnya akan disebarkan pada
daerah lateral dari permukaan perkerasan selama operasional. Demikian juga, pada
sebagian landasan pacu, pesawat akan meneruskan beban ke perkerasan. Oleh
karena itu, FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada pemukaan yang
berbeda-beda:
a Tebal penuh T pada seluruh daerah kritis, yang digunakan untuk tempat pesawat
yang akan berangkat, seperti apron daerah tunggu (Holding Apron), bagian

2.8.7

tengah landasan hubung dan landasan pacu (Runway).


Tebal perkerasan 0.9 T diperlukan untuk jalur pesawat yang akan datang, seperti

belokan landasan pacu berkecepatan tinggi.


Tebal perkerasan 0.7 T diperlukan untuk tempat yang jarang dilalui pesawat,

seperti tepi luar landasan hubung dan tepi luar landasan pacu.
Kurva-kurva Perencanaan Tebal Perkerasan
a Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana
Beroda Tunggal

AGUS DAUD F 111 13


070

44

Gambar 2.14 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Pesawat Roda Tunggal


Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

b Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Ganda

AGUS DAUD F 111 13


070

45

Gambar 2.15 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Pesawat Roda Ganda


Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Dual Tandem

AGUS DAUD F 111 13


070

46

Gambar 2.16 Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Pesawat Roda tandem


ganda
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

d Kurva Perencanaan Tebal Perkerasan Total Untuk Pesawat Rencana Beroda


Dual Tandem

AGUS DAUD F 111 13


070

47

Gambar 2.17 Kurva Perencanaa Tebal Perkerasan Untuk Pesawat Dual Tandem
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
Langkah -langkah Perhitunga tebal Perkerasan:
1 Memplot nilai CBR subgrade dam MSTOW didapat tebal perkerasan total dari
Grafik 2.14, 2.15 dan 2.16 di atas:

AGUS DAUD F 111 13


070

48

Dari grafik yang sama dengan CBR 20, diperoleh Tebalnya, maka subbase = Tebel
total perkerasan tebal yang diperoleh dengan nilai CBR 20.

Annual depature melebihi annual depature yang ada dalam grafik maka tebal
surface aspal ditambah 1 inchi.
Tebal surface untuk daerah kritis

= 4 inchi.

Tebal surface untuk daerah non kritis = 3 inchi


4

Tebal Base Coarse = Tebal pada CBR 20 Tebal Surface

Chek tebal minimum base course dengan CBR tanah dasar dari Tabel 2.27 berikut:
Tabel 2.27 Minimum base course thickness
Design Load Range

Minimum Base
Course Thickness

Design Aircraft
lbs.

(Kg)

In.

(mm)

Single Wheel

30.000 50.000
50.000 75.000

(13.600 22.700)
(22.700 34.000)

4
6

(100)
(150)

Dual Wheel

50.000 100.000
100.000 200.000

(22.700 45.000)
(45.000 90.700)

6
8

(150)
(200)

Dual Tandem

100.000 250.000
250.000 400.000

(45.000 113.400)
(113.400 181.000)

6
8

(150)
(200)

757
767

200.000 400.000

(90.700 181.000)

(150)

DC-10
L1011

400.000 600.000

(181.000 272.000)

(200)

B-747

400.000 600.000
600.000 850.000

(181.000 272.000)
(272.000 385.700)

6
8

(150)
(200)

C-130

75.000 125.000
125.000 175.000

(34.000 56.700)
(56.700 79.400)

4
6

(100)
(150)

Sumber: AC 150/5320-6E
8

Perkerasan Apron
Rigid pavement (perkerasan kaku) terdiri dari slab-slab beton yang digelar di atas
tanah granular atau sub base course yang telah dipadatkan, ditunjang oleh lapisan
tanah asli dipadatkan yang disebut dengan sub grade. Pada kondisi tertentu kadangkadang sub base tidak diperlukan.

AGUS DAUD F 111 13


070

49

Rigid pavement biasanya dipilih untuk ujung landasan. Pertemuan antara


landasan pacu dengan taxiway, apron, dan daerah-daerah lain yang dipakai untuk
parkir pesawat atau daerah-daerah yang mendapat pengaruh panas blass jet dan
limpasan minyak. Dalam merencanakan tebal slab beton digunakan metode PCA
(Portland Cement Asphalt) yang didasarkan pada faktor keamanan.
Menentukan Pesawat Rencana
Pesawat rencana yang digunakan haruslah sesuai dengan pesawat rencana yang
digunakan pada saat menghitung tebal perkerasan lentur.
Menentukan Flextural Strengh/Mutu Baja(WS).
Menentukan Harga K (Modulus of Sub Grade Reaction)
Harga K subgrade ditentukan di lapangan dengan Test Planning Booring, dimana
harga pendekatan dari nilai K berbagai jenis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.28 Harga K
Bahan subgrade

Harga K
MN/m3

Psi

Sangat jelek
< 40
< 150
Baik
55 68
200 250
Sangat baik
> 82
> 300
Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
1.

Tebal Perkerasan Kaku (Rigid Pavement).


Menghitung Tebak perkerasan kaku dengan memasukkan parameter-parameter
diatas ke dalam grafik-grafik rencana yang sesuai.

AGUS DAUD F 111 13


070

50

Gambar 2.18 Kurve Evaluasi perkerasan Rigid Single Wheel Gear


Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

AGUS DAUD F 111 13


070

51

Gambar 2.19 Kurva Evaluasi perkerasan Rigid Dual Wheel Gear


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
2.

Perhitungan Jumlah Tulangan.


Perbandingan panjang dan lebar slab beton paling baik berkisar 1 s/d 1,25. Ada 2
macam construction joint, yaitu arah memanjang dan melintang.
Tabel 2.29 Jarak Joint

AGUS DAUD F 111 13


070

52

Tebal slab beton

Melintang

< 9 inch (25 cm )


9 12 inch (25 31 cm)

15 ft (4,6 m)

Memanjang
12,5 ft (3,8 m)
20 ft (6,1 m)

20 ft (6,1 m)

> 12 inch (31 cm)

25 ft (7,6 m)
25 ft (7,6 m)
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
Perhitungan Penulangan Arah Memanjang = Arah Melintang.

3.

As

imperial unit

Pers. 2.12
As

metrik unit

Pers. 2.13
Dimana:
As

Luas penampang melintang besi untuk setiap ft atau meter lebar atau
panjang slab beton dalam inchi atau cm2.

4.

Lebar slab (ft atau meter).

Lebar slab (ft atau meter).

Fs

Tegangan tarik baja (Psi atau MN/m2)

Dowel (Besi Pemindah Beban).


Dowel ini dipasang pada joint tulangan yang berfungsi sebagai besi pemindah
beban, apabila beban melintasi sambungan, dowel ini digunakan untuk mengatasi
penurunan vertikal relatif pada slab beton ujung.
Tabel 2.30. Ukuran dan Jarak Dowel
Tebal slab beton

Diameter

Panjang

Jarak

18 inch (46 cm)


19 inch (46 cm)

12 inch (31 cm)

20 inch (51 cm)

15 inch (38 cm)

6 7 inch (15 18 cm)

inch (20 mm)

8 12 inch (21 31 cm)


13 16 inch (33 41 cm)

1 inch (25 mm)


1 inch (30 mm)

17 20 inch (43 51 cm)

1 inch (40 mm)

20 inch (51 cm)

18 inch (46 cm)

21 24 inch (54 61 cm)

2 inch (50 mm)

24 inch (61 cm)

18 inch (46 cm)

12 inch (31 cm)

Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014) .hal 392

2.9 Analisa Kebutuhan Ruang Terminal


2.9.1

Kebutuhan Luas Terminal

AGUS DAUD F 111 13


070

53

Kebutuhan ruang bagi masing-masing fasilitas idealnya proses penentuan kebutuhan


ruang fasilitas:

Penentuan demand desain jam puncak

Menentukan type lalu-lintas penumpang

Mengidentifikasi volume setiap fasilitas

Kalkulasi kebutuhan ruang

Tabel 2.31. Perhitungan TPHP rekomendasi FAA


Total Penumpang
Tahunan
> 30.000.000
20.000.000 - 29.999.999
10.000.000 - 19.999.999
1.000.000 9.999.999
500.000 - 999.999
100.000 - 499.999
< 100.000
Sumber: AC 150/5360 FAA

THP sebagai suatu


Persentase Arus Tahunan
0,035
0,040
0,045
0,050
0,080
0,130
0,200

Penentuan tipe lalu-lintas penumpang

Tipe pergerakan dan demand penumpang menentukan kebutuhan ruang suatu


fasilitas di terminal

Tipe dan demand juga mempengaruhi jam-jam puncak pergerakan penumpang


seperti: jenis penerbangan, tujuan perjalanan, jenis pergerakan dan moda akses

Idealnya, mengestimasi volume penumpang dikategorikan ke dalam jadwal


penerbangan domestik, internasional, carter, transfer atau transit, bisnis atau
perjalanan santai

Identifikasi masing-masing perhitungan volume dan luasan fasilitas

Di sini akan dihitung banyaknya penumpang pada masing-masing fasilitas pada


jam-jam puncak (volume desain)

dan volume desain ini digunakan untuk menghitung luasan fasilitas pada tingkat
pelayanan tertentu

Standar desain ruang terminal menurut FAA sebagai berikut :


Tabel 2.32. Fasilitas Ruang Terminal Domestik
Fasilitas Ruang Terminal
Domestik
AGUS DAUD F 111 13
070

Kebutuhan Ruang per 100


TPHP
2
1000 ft
100 m2
54

Ticket Lobby
1,0
0,95
4,8
4,57
Operational Airline
1,0
0,95
Penanganan bagasi (Baggage Claim)
1,8
1,70
Ruang Tunggu
1,6
1,52
Fasilitas Makanan / Kantin
1,6
1,52
Dapur dan Gudang
0,5
0,48
Ruang Pengusahaan lainnya
0,3
0,28
Toilet
Ruang Sirkulasi, Mekanikal,
Pemeliharaan
11,6
11,05
dan Dinding
24,2
23,02
Total
Sumber : SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis Pengoperasian
Fasilitas Teknik Bandar Udara.
88)
Tabel 2.33. Fasilitas Ruang Terminal Internasional
Tambahan Kebutuhan Ruang per 100
Fasilitas Ruang Terminal
TPHP
Internasional
1000 ft2
100 m2
Kesehatan Publik
1,5
1,42
1,0
0,95
Bagian Keimigrasian
3,3
3,14
Kepabeanan
0,2
0,19
Tanaman tanaman
1,5
1,42
Ruang Tunggu Pengunjung
7,5
7,12
Total
Ruang Sirkulasi, Perakitan
Bagasi, Utilitas, Dinding7,5
7,12
dinding partisi
15,0
14,24
Total
Sumber : SKEP/77/VI/2005 tentang Persyaratan Teknis Pengoperasian
Fasilitas Teknik Bandar Udara.

AGUS DAUD F 111 13


070

55

Gambar 2.20 Hubungan antara fasilitas di terminal


lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

Gambar 2.21 Hubungan antara fasilitas bandara


2.9.2

Marking (tanda-tanda visual)


Tanda-tanda garis dan nomor dibuat pada perkerasan landasan dan taxiway
agar pilot mendapat alat bantu dalam mengemudikan pesawatnya mendarat ke
landasan serta menuju apron melalui taxiway. Marking ini hanya berguna pada
siang hari saja, sedangkan malam hari fungsi marking digantikan dengan sistem
perlampuan.

AGUS DAUD F 111 13


070

56

Warna yang dipakai biasanya putih pada landasan yang mempunyai perkerasan
aspal, sedangkan warna kuning untuk taxiway dan apron. Pada dasarnya
warnanya harus mencolok terhadap sekitarnya. Jadi, kalau landasan berwarna
putih (landasan beton) harus diberi warna lain untuk markingnya.
Kedua organisasi penerbangan telah membuat standar marking. FAA dalam
Advisory Circular 150/6340 1E kita pakai edisi tanggal 11-4-1980. ICAO dalam
Annex 14 Chapter 5, 6. 7 dipakai edisi kedelapan Maret 1983. Ada 4 macam tipe
marking:
a

Marking landasan.

Marking taxiway.

Marking untuk area yang dibatasi.

Marking untuk objek tetap.


ICAO membagi marking landasan menjadi tiga:

Landasan approach presisi.

Landasan approach non presisi.

Landasan non instrument.


Yang ketiga menurut FAA adalah basic runway, memang antara keduanya
(FAA dan ICAO) mengatur marking sama, hanya istilah yang kadang berbeda.
Landasan non presisi dioperasikan di bawah kondisi VFR (Visual Flight
Rule). Landasan approach non presisi, adalah landasan yang dibantu dengan
peralatan VOR (Very High Frequency Omny Radio Range) bagi pesawat yang
mendarat ke landasan dengan VOR sebagai pedoman. Landasan instrument
presisi adalah landasan yang dilengkapi dengan ILS (Instrument Landing System).

a.

Marking Landasan
1) Marking Landasan (runway marking)

Ditempatkan di ujung landasan sebagai nomor pengenal landasan


itu, terdiri dari dua angka. Pada landasan sejajar harus dilengkapi dengan
huruf L (Left), R (Right), atau C (Central).
Dua angka tadi merupakan angka persepuluhan terdekat dari utara
magnetis dipandang dari arah approach, ketika pesawat akan mendarat.
2) Marking sumbu (runway center line marking).
Ditempatkan sepanjang sumbu landasan berawal dan berakhir pada
nomor landasan, kecuali pada landasan yang bersilangan, landasan yang
AGUS DAUD F 111 13
070

57

lebih dominan, sumbunya terus, yang kurang dominan sumbunya


diputus.
Merupakan garis putus-putus, panjang garis dan panjang pemutusan
sama. Panjang strip bersama gapnya tidak boleh kurang dari 50 m, tidak
boleh lebih dari 75 m. Panjang strip = panjang gap atau 30 m mana yang
terbesar, lebar strip antara 0,30 m sampai 0,90 m tergantung kelas
landasannya

Gambar 2.22. Ukuran ukuran dan bentuk angka untuk


marking nomor landasan
Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru
2014). Hal 231
3) Marking threshold.
Ditempatkan di ujung landasan, sejauh 6 m dari tepi ujung landasan
membujur landasan, panjang paling kurang 30 m, lebar 1,8 m.
Banyaknya strip tergantung lebar landasan.
Tabel 2.34. Jumlah strip landasan
Lebar Landasan

Banyaknya Strip

18 m
4
23 m
6
30 m
8
45 m
12
60 m
16
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
4) Marking untuk jarak-jarak tetap (fixed distance marking).
Berbentuk empat persegi panjang, berwarna menyolok. Biasanya orange.
Ukuran panjangnya 45 m 60 m, lebar 6 m 10 m terletak simetris
kanan kiri sumbu landasan. Marking ini yang terujung berjarak 300 m
dari threshold.
AGUS DAUD F 111 13
070

58

5) Markingtouchdown zone.
Dipasang pada landasan dengan approach presisi, tapi bisa juga
dipasang pada landasan non presisi atau landasan non instrument, yang
lebar landasannya lebih dari 23 m. Terdiri dari pasangan-pasangan
berbentuk segi empat di kanan kiri sumbu landasan lebar 3 m dan
panjang 22,5 m untuk strip-strip tunggal. Untuk strip ganda ukuran 22,5
x 1,8 dengan jarak 1,5 m (Lihat gambar 5.2). Jarak satu sama lain 150 m
diawali dari threshold, banyaknya pasangan tergantung panjang
landasan.
Tabel 2.35. Marking Touchdown
Panjang Landasan

Banyaknya Pasangan

< 90 m

900 1200 m

1200 1500 m

1500 2100 m

> 2100 m
6
Sumber: Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)

AGUS DAUD F 111 13


070

59

Gambar 2.23. Marking touchdown zone dilukiskan untuk landasan yang


panjangnya 2.100 atau lebih
Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014).Hal 235
6) Marking tepi landasan (runway side stripe marking).
Merupakan garis lurus di tepi landasan, memanjang sepanjang landasan
dengan lebar strip 0,9 m. Bagi landasan yang lebarnya lebih dari 30 m
atau lebar strip 0,45 m bagi landasan kurang dari 30 m. Berfungsi sebagai
batas landasan terutama apabila warna landasan hampir sama dengan
warna shouldernya.
7) Marking Taxiway
Marking sumbu taxiway adalah sebagai garis pedoman dari sumbu
landasan untuk masuk ke taxiway, berbentuk garis selebar 15 cm berwarna
kuning, Untuk lebih mendetail lihat gambar 2.24 Berikut.

AGUS DAUD F 111 13


070

60

Gambar 2.24. Marking posisi holding menurut Menurut FAA


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014).Hal 241
Marking posisi taxi holding (Taxi Holding Position Marking) sebagai tanda
bahwa taxiwayakan berpotongan dengan landasan pesawat harus berhenti
disini sebelum mendapat perintah masuk kelandasan.
8) Marking area yang dibatasi
Landasan atau taxiway yang tidak digunakan, dan ditutup untuk kegiatan
lalu lintas pesawat, diberi tanda silang berwarna kuning, dengan ukuran
sebagai gambar berikut ini.

Gambar 2.25. Landasan yang ditutup dan marking taxiway


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru
2014).Hal 243
Permukaan yang mampu menahan beban pesawat dan yang tidak mampu
menahan berat pesawat (taxiway dan bahunya) dipisahkan oleh taxiwayslide

AGUS DAUD F 111 13


070

61

strip marking. Pembuatan strip taxiway sepenuhnya diserahkan kepada


b

pengelola lapangan terbang.


Di landasan yang threshold-nya dpindahkan (displaced) secara permanen atau
perkerasan diluar threshold panjangnya lebih dari 60 m dibuat marking yang
disebut Prethreshold Marking yang bentuknya serupa kepala anak
panah(Chevron).

Gambar 2.26. Pre Threshold Marking


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014)
9) Marking untuk objek tetap
Yang dimaksud dengan misalnya menara air, antena, gedung/bangunan
yang diperkirakan menjadi halangan pada flight path harus diberi tanda yang
menyolok, misalnya diberi warna putih oranye bergantganti atau kotak-kotak.

AGUS DAUD F 111 13


070

62

Gambar 2.27. Contoh Marking dan Perlampuan Bangunan Tinggi


Sumber : Merancang, merencana lapangan terbang (Basuki, Heru 2014
2.6.2.9.3.
1)

2)

3)

Bangunan Pelengkap
Hanggar
Hanggar ialah tempat reparasi pesawat yang terlindung.
Menghitung panjang Hanggar (P)
P= (2xTurning Radius) + (clearancex4)
Pers. 2.14
Lebar hangar
L = (2 x Turning radius) + (2 x clearance)
Pers. 2.15
Control Tower
Ditempatkan pada lokasi yang strategis, yang tugasnya mengatur lalu lintas
udara.
Fasilitas Air Dan Listrik
Kebutuhan air bersih untuk Bandar udara pada sat ini dipenuhi dari sumber
sumur alam yang terdapat di daerah perumahan Bandar udara yang

4)

operasionalnya menggunakan sub mersible pump.


Fasilitas Drainase
Sistem drainase yang baik akan menghindarkan kawasan Bandar udara
tergenang air, juga menjaga stabilitas tanah tidak terganggu, terutama pada
fasilitas pojok Bandar udara seperti landasan pacu dan sebagainya.
Konstruksi drainase pada umumnya di bandar udara adalah bentuk saluran

AGUS DAUD F 111 13


070

63

terbuka baik karena biaya pembuatan dan pemeliharaannya yang relatif


5)
6)

murah jika dibandingkan dengan konstruksi bawah permukaan tanah.


Fuel Deput
Fasilitas Pemadam Kebakaran

AGUS DAUD F 111 13


070

64

2.7

Langkah Kerja
2.7.1. Desain Runway
2.7.1.1. Penentuan Geometrik Runway

AGUS DAUD F 111 13


070

65

Hitung Panjang Runway Berdasarkan ARFL

Tentukan Kode Perencanaan Menurut ARC

AGUS DAUD F 111 13


070

66

Gambar 2.28. Flowchart Penentuan Geometrik Runway


2.7.1.2. Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur (Runway)

Karak
Tentukan pesawat rencana

Pesawa

Hitung R2
R2 = Forecast annual depart x f.konversi
Hitung W2
W2 = MTOW x 0,95 x
Kemiringan
Runway

Hitung W1
W1 =

Hitung R1
CBR Tanah Dasar

Log R1 = Log R2

Hitung

Elevasi

Hitung tebal total (T)


Berdasarkan Grafik Tipe Roda Pesawat Rencana

Hitung tebal subbase (tsb)


CBR Subbase

Berdasarkan grafik tipe roda pesawat rencana

AGUS DAUD F 111 13


070

67

Tetapkan Tebal Lapis Permukaan Untuk Daerah Ktiris dan Non Kr


Hitung Tebal Lapis Base Course (Tbc)

Ya
Kontrol
Tbc min < Tbc
Tidak
Pakai Tbc Minimal

Hasil Desain Tebal Perkerasan Runway

Gunakan Tbc

Gambar 2.29. Flowchart Perhitungan tebal perkerasan Runway

AGUS DAUD F 111 13


070

68

2.7.2. Desain Taxiway


2.7.2.1. Penentuan Geometrik Taxiway
Perencanaan Geometrik Taxiway

Tentukan Grup Pesawat

Jarak Threshold

Tabel Airplane Design Group (ADG)


Menentukan Dimensi Taxiway

Tabel Kecepatan dan Jarak Touchdown

Exit Taxiway 900


Exit Taxiway 600
Koreksi Terhadap Suhu

Koreksi Elevasi

Jarak Threshold Terkoreki

Dimensi Taxiway
Gambar 2.30. Flowchart Perencanaan Geometrik Taxiway
2.7.2.2. Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur (Taxiway)

Perhitungan Tebal Perkerasan Lentur pada taxiway sama dengan runway


2.7.3. Desain Apron
2.7.3.1. Perencanaan Geometrik Apron

AGUS DAUD F 111 13


070

69

Hitung Lalu Lintas Pesawat Rencana Pada Jam Sibuk

Hitung Mix Design Kelas Pesawat Dan Jumlah Gate Setiap Kelas / Grup Pesaw

Ri = 0,5 x (w+z+d)
W = Jenis Clear Untuk Setiap Kelas Pesawat
d = Wheel Track

Hitung jumlah gate (G)

z = Wirstips Clear

Hitung Luas Gate yang dibutuhkan Untuk Setiap Pesawat (Li)


Li = 0,5 . . R2
Menentukan Pesawat Rencana
MSTOW Pesawat
Type Roda Pesawat
Tentukan
Panjang
dan LebarStrengh)
Apron
Menentukan
Mutu
Baja (Flexural
Grafik Hubungan CBR vs Modolus of Subgrade

Grafik Subbase on Modulus of Subgrade Reaction

Dimensi Apron
Menentukan Harga K

Gambar 2.31. Flowchart Perencanaan Dimensi Apron


Grafik Design Perkerasan Rigid

Tabel Tebal Slab Beton

Tebal Perkerasan Kaku

Menghitung Jumlah Tulangan

Luas Tulangan Pakai


Luas tulangan Minimum

Penulangan Arah Memanjang dan Melintang

As min = 0,05% x P x L
2.7.3.2. Perhitungan
Luas Tulangan
As20-250 Tebal Perkerasan Kaku /Rigid (Apron)

Tabel Ukuran dan Jarak Dowel

Dowel (Besi Pemindah Beban)

AGUS DAUD F 111 13


070

70
Desain Tebal Plat, Tulangan, dan Subbase

Gambar 2.32. Flowchart Perhitungan Tebal Perkerasan Rigid


Total Penumpang Dalam 1 Tahun

Menentukan Rencana Penumpang Pada Jam Puncak

Tabel TPHP Standar FAA

2.7.4. Perencanaan Terminal


Hitung Luas Run Terminal Domestik dan Internasional

Tabel Standar Design FAA

Total Kebutuhan Standar Minimum Terminal


AGUS DAUD F 111 13
070
Perhitungan Kebutuhan Terminal untuk Standar Minimum

71

Gambar 2.32. Flowchart Kebutuhan Terminal Minimum

AGUS DAUD F 111 13


070

72

Anda mungkin juga menyukai