Anda di halaman 1dari 17

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan
juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat
seperti ini diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L Blum
menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya
masalah kesehatan.
Keempat
style),faktor

faktor

tersebut

lingkungan (sosial,

terdiri

dari faktor

perilaku/gaya

hidup (life

ekonomi,

politik,

budaya), faktor

pelayanan

kesehatan(jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat


faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan
derajat kesehatan masyarakat. Diantara faktor tersebut faktor perilaku manusia
merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar ditanggulangi,
disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena faktor perilaku yang
lebih dominan dibandingkan dengan faktor lingkungan karena lingkungan hidup
manusia juga sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.
Penyakit merupakan suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi dan /atau
morfologi suatu organ dan/atau jaringan tubuh. (Achmadi, 2005). Sedangkan
pengertian lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya (benda hidup,
mati, nyata, abstrak) serta suasana yang terbentuk karena terjadi interaksi antara
elemen-elemen

di

alam

tersebut.

(Sumirat,

1996). Penyakit

Berbasis

Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi
suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu
disekitarnya yang memiliki potensi penyakit.
Berdasarkan berbagai data dan laporan, saat ini penyakit berbasis lingkungan
masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia. ISPA dan diare yang
merupakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakt di
hampir seluruh Puskesmas di Indonesia, selain malaria, Demam Berdarah

Dengue (DBD), Filariasis, TB Paru, Cacingan, Penyakit Kulit, Keracunan dan


Keluhan akibat Lingkungan Kerja yang buruk. Masih tingginya penyakit berbasis
lingkungan antra lain penyakit disebabkan oleh faktor lingkungan serta perilaku
hidup bersih dan sehat yang masih rendah.
Pembahasan kali ini akan membahas penyakit berbasis lingkungan yang
banyak terjadi dimasyarakat antara lain diare, ISPA, TBC, dan Leptospirosis.
1. Diare
Diare adalah suatu penyakit yang biasanya ditandai dengan perut mulas,
meningkatnya frekuensi buang air besar, dan konsentrasi tinja yang encer. Tandatanda diare dapat bervariasi sesuai tingkat keparahannya serta tergantung pada jenis
penyebab diare. Penularannya bisa dengan jalan tinja mengontaminasi makanan
secara langsung ataupun tidak langsung (lewat lalat). Selain itu, makanan juga dapat
terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen akibat lingkungan yang tidak sehat, di
mana-mana ada mikroorganisme patogen, sehingga menjaga makanan kita tetap
bersih harus diutamakan.
Cara penularan mikroorganisme antara lain melalui :
a. Makanan yang terkontaminasi dengan bakteri E.Coli yang dibawa oleh lalat yang
hinggap pada tinja, karena buang air besar (BAB) tidak di jamban.
b. Air minum yang mengandung E. Coli yang tidak direbus sampai mendidih.
c. Air sungai yang tercemar bakteri E.coli karena orang diare buang air besar di
sungai digunakan untuk mencuci bahan makanan, peralatan dapur, sikat gigi, dan
lain-lain.
d. Tangan yang terkontaminasi dengan bakteri E.coli (sesudah BAB tidak mencuci
tangan dengan sabun)
e. Makanan yang dihinggapi lalat pembawa bakteri E.Coli kemudian dimakan oleh
manusia.
Cara pencegahan penyakit diare yang disesuaikan dengan faktor penyebabnya adalah
sebagai berikut :
a. Penyediaan air memenuhi syarat
b. Gunakan air dari sumber terlindung
c. Pelihara dan tutup sarana agar terhindar dari pencemaran
d. Pembuangan kotoran tidak saniter

e. Buang air besar di jamban


f. Buang tinja bayi di jamban
g. Apabila belum punya jamban harus membuatnya baik sendiri maupun
berkelompok dengan tetangga.
h. Perilaku higienis:
- Cuci tangan sebelum makan atau menyiapkan makanan
- Cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar
- Minum air putih yang sudah dimasak
- Menutup makanan dengan tudung saji
- Cuci alat makan dengan air bersih
- Jangan makan jajanan yang kurang bersih
- Bila yang diare bayi, cuci botol dan alat makan bayi dengan air
panas/mendidih
Intervensi pada faktor lingkungan dapat dilakukan antra lain melalui :
- Perbaikan sanitasi lingkungan dan pemberantasan vektor secara langsung.
- Perbaikan sanitasi dapat diharapkan mampu mengurangi tempat perindukan
lalat. Cara yang bisa diambil di antaranya adalah menjaga kebersihan
kandang hewan, buang air besar di jamban yang sehat, pengelolaan sampah
-

yang baik, dan sebagainya.


Keberadaan lalat sangat berperan dalam penyebaran penyakit diare, karena
lalat dapat berperan sebagai reservoir. Lalat biasanya berkembang biak di
tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran hewan, tumbuh-tumbuhan
yang membusuk, dan permukaan air kotor yang terbuka. Pada waktu hinggap,
lalat mengeluarkan ludah dan tinja yang membentuk titik hitam. tanda-tanda
ini merupakan hal yang penting untuk mengenal tempat lalat istirahat. Pada
siang hari lalat tidak makan tetapi beristirahat di lantai dinding, langit-langit,
rumput-rumput, tempat yang sejuk, serta menyukai tempat yang berdekatan
dengan makanan, serta terlindung dari angin dan matahari yang terik. Di
dalam rumah, lalat istirahat pada pinggiran tempat makanan, kawat listik dan
tidak aktif pada malam hari. Tempat hinggap lalat biasanya pada ketinggian
tidak lebih dari 5 (lima) meter. Pemberantasan lalat dapat dilakukan dengan 3
cara, fisik (misalnya penggunaan air curtain), kimia (dengan pestisida), dan
biologi (sejenis semut kecil berwana hitam Phiedoloqelon affinis untuk
mengurangi populasi lalat rumah di tempat-tempat sampah).

2. ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA dapat meliputi saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah, merupakan infeksi saluran
pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Sebagian besar dari infeksi saluran
pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan
pengobatan dengan antibiotik. Akan tetapi, anak yang menderita pneumoni bila tidak
diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Sumber
penyakit ini adalah manusia. Biasanya penularan organisme terjadi dari orang ke
orang, tetapi penularan melalui kontak sesaat jarang terjadi. Penderita yang positif
ISPA adalah mereka yang ditandai dengan serangan mendadak dengan demam
menggigil, sesak nafas, nafas cepat, batuk produktif dengan dahak kemerahan serta
lekositosis. Pada bayi dan anak kecil, demam, muntah dan kejang dapat merupakan
gejala awal penyakit.
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
A. Faktor lingkungan
Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan
ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar
tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan
karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara,
diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang
tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9
bulan dan 6 10 tahun.
Ventilasi rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari
ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang

optimum bagi pernapasan.


Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-

zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.


Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh,

kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.


Mendisfungsikan suhu udara secara merata.

Kepadatan hunian rumah


Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan
nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu
orang minimal menempati luas rumah 8m. Dengan kriteria tersebut diharapkan
dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat
tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah
ada.
B. Faktor individu anak
Umur anak
Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit
pernapasan oleh veirus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap
menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 12 bulan.
Berat badan lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat
badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan
lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram


dihubungkan dengan meningkatnya

kematian akibat infeksi saluran

pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap


status pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anakanak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih
tinggi terhadap penyakit saluran pernapasan, tetapi mengalami lebih berat
infeksinya.
Status gizi
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting
untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang
adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang
bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan
antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta
menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang
kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai
nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang,
balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.
Vitamin A
Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul
200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun.
Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun
yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu
penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok
kontrol.
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi
akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya
tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan
terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak

berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit


penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.
Usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala
terhadap anak-anal prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan
terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu
meningkatkan daya tahan tubuh dan erlindungan terhadap anak Indonesia
sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam
keadaan yang sebaik-baiknya.
Status Imunisasi
Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan
mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis,
campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam
upaya pemberantasan ISPA. Upaya dalam mengurangi faktor yang
meningkatkan mortalitas ISPA adalah dengan imunisasi lengkap. Bayi dan
balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat
diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.
C. Faktor perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan
tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan
berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai
masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga
lainnya.
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini
pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem
pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat.

Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga
dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab
bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan
berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah
berat.
Cara efektif mencegah penyakit ISPA (berdasarkan faktor penyebab
penyakit), sebagai berikut :
- Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar
-

lebih atau sma dengan 8m2/jiwaq


Plesterisasi lantai rumah
Ventilasi rumah/dapur memenuhi syarat
Memperbaiki lubang penghawaan / ventilasi
Selalu membuka pintu/jendela terutama pagi hari
Menambah ventilasi buatan
Perilaku bersih dan sehat:
Tidak membawa anak/bayi saat memasak di dapur
Menutup mulut bila batuk
Membuang ludah pada tempatnya
Tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar
Tidur sementara terpisah dari penderita

3. TBC
Tuberculosis (TBC) adalah batuk berdahak lebih dari 3 minggu, dengan
penyebab penyakit adalah kuman/bakteri mikrobakterium tuberculosis. Adapun
beberapa faktor risiko TBC antara lain:
a. Faktor Umur.
Hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan
orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan
75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada
tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada
wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat

sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru
Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki
sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya
TB paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di
daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama
terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga
yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi
makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap
kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan
dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang
kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru.
Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka
kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
e. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk


mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan
kanker kandung kemih.Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB
paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per
tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra
Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan
(Achmadi, 2005). Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih
dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.
Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya
infeksi TB Paru.
f. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.
g. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela
kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang
leluasa maka dapat dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya
proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila
dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang
lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman TB Paru relatif

tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga
agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini
akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara
yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi
lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humiditiy) yang optimum.
i. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.
Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
j. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C.

Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
k. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.
l. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk
maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan
terkena infeksi TB Paru.
m. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
Cara efektif mencegah penyakit TBC (berdasarkan faktor penyebab penyakit),
sebagai berikut :
-

Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar lebih

atau sma dengan 8m2/jiwa.


Lantai rumah disemen
Ventilasi rumah/dapur memenuhi syarat
Memperbaiki lubang penghawaan / ventilasi

Selalu membuka pintu/jendela terutama pagi hari


Menambah ventilasi buatan
Perilaku bersih dan sehat :
Menutup mulut bila batuk
Membuang ludah pada tempatnya
Jemur peralatan dapur
Jaga kebersihan diri
Istirahat yang cukup
Makan makan bergizi
Tidur terpisah dari penderita

4. Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara
beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup
yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih
binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang
liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi
kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur
dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi
leptospira. Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis
Rattus norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans
Suncu murinus (cecurt) (Mansjoer, 2005).
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia,
fase imun dan fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier
mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis
untuk sementara.
b. Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis
bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi 14 ginjal dan hati, serta
gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
c. Fase Penyembuhan

Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas.
Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah,
nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta
splenomegali.
Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan
tidak langsung yaitu :
Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ 18 tubuh hewan misalnya
pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air
2) Sungai atau badan air
3) Danau
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Faktor resiko Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak
langsung atau terpajan air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
2) Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
3) Mencuci atau mandi disungai atau danau.
4) Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
5) Petani tanpa alas kaki di sawah.
6) Pembersih selokan.
7) Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
8) Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan
bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
9) Pekerja tambang.
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
11) Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.

12) Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung.
Pencegahan

Menurut

Saroso

(2003)

pencegahan

penularan

kuman

leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi :


a. Jalur sumber infeksI:
1. Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
2. Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin,
ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman
leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan
yang terinfeksi.
3. Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun
tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
4. Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum
dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian,
sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan
membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
5. Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan
semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana
pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air
minum yang bersih.
6. Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
7. Membuang kotoran hewan peliharaan. Jika perlu lakukan pemberian
desinfektan.
b. Jalur penularan Penularan dapat dicegah dengan:
1. Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker).
2. Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap
air.
3. Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,
tanah, dan air yang terkontaminasi.
4. Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk
mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan

atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal,
kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan
hewan tanpa sarung tangan.
5. Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak
dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6. Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lainlain.
7. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum
yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8. Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk atau
bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira
berkurang.
9. Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan
air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
10. Manajemen ternak yang baik.
c. Jalur pejamu manusi
1. Menumbuhkan sikap waspada Diperlukan pendekatan penting pada
masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira.
Masyarakat

perlu

mengetahui

aspek

penyakit

leptospira,

cara-cara

menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi


kuman leptospira.
2. Melakukan upaya edukasi Dalam upaya promotif, untuk menghindari
leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi yang meliputi : a)
Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian,
institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit
leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah
pajanan. Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk
informasi lebih lanjut. b) Melakukan penyebaran informasi.

DAFTAR PUSTAKA:
_______. 2003. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta; Departemen Kesehatan R.I.
_______. (2005). Kewaspadaan Terhadap Penyakit Leptospirosis. Semarang; Dinkes
Prop Jateng.
Achmadi, U. F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Cetakan 1. Jakarta;
Kompas Media Nusantara,
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI. http://
www.depkes.go.id/downloads/profil-data-kesehatan-indonesia-tahun- 2011.pdf
Mansjoer, A. 2005. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius,
FKUI. Jakarta.
Saroso, S. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
Sumirat, S. J.1996. Kesehatan Lingkungan. Universitas Gajah Mada; Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai