Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik melainkan
juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan kondisi sehat
seperti ini diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan tubuh. H.L Blum
menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan timbulnya
masalah kesehatan.
Keempat
style),faktor
faktor
tersebut
lingkungan (sosial,
terdiri
dari faktor
perilaku/gaya
hidup (life
ekonomi,
politik,
budaya), faktor
pelayanan
di
alam
tersebut.
(Sumirat,
1996). Penyakit
Berbasis
Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi atau morfologi
suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu
disekitarnya yang memiliki potensi penyakit.
Berdasarkan berbagai data dan laporan, saat ini penyakit berbasis lingkungan
masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia. ISPA dan diare yang
merupakan penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakt di
hampir seluruh Puskesmas di Indonesia, selain malaria, Demam Berdarah
2. ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA dapat meliputi saluran pernapasan
bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah, merupakan infeksi saluran
pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Sebagian besar dari infeksi saluran
pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan
pengobatan dengan antibiotik. Akan tetapi, anak yang menderita pneumoni bila tidak
diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian.
ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang
mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran pernapasannya. Sumber
penyakit ini adalah manusia. Biasanya penularan organisme terjadi dari orang ke
orang, tetapi penularan melalui kontak sesaat jarang terjadi. Penderita yang positif
ISPA adalah mereka yang ditandai dengan serangan mendadak dengan demam
menggigil, sesak nafas, nafas cepat, batuk produktif dengan dahak kemerahan serta
lekositosis. Pada bayi dan anak kecil, demam, muntah dan kejang dapat merupakan
gejala awal penyakit.
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.
A. Faktor lingkungan
Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan
konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan
ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar
tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan
karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya
sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara,
diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang
tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9
bulan dan 6 10 tahun.
Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari
ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat
dijabarkan sebagai berikut :
Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga
dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab
bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan
berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah
berat.
Cara efektif mencegah penyakit ISPA (berdasarkan faktor penyebab
penyakit), sebagai berikut :
- Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar
-
3. TBC
Tuberculosis (TBC) adalah batuk berdahak lebih dari 3 minggu, dengan
penyebab penyakit adalah kuman/bakteri mikrobakterium tuberculosis. Adapun
beberapa faktor risiko TBC antara lain:
a. Faktor Umur.
Hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada Panti penampungan
orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi
tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan
75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.
b. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada
tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan
jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada
wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat
sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru
Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki
sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya
TB paru.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka
seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di
daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.
Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama
terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga
yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi
makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap
kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan
dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang
kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru.
Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka
kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan
mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
e. Kebiasaan Merokok
tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.
h. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga
agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik
karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini
akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TB.
Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara
yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi
lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam
kelembaban (humiditiy) yang optimum.
i. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit
TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.
Lantai dan dinding yag sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,
sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
j. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana
kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22 30C.
Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
k. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan
orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.
l. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan
dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk
maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan
terkena infeksi TB Paru.
m. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan
penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
Cara efektif mencegah penyakit TBC (berdasarkan faktor penyebab penyakit),
sebagai berikut :
-
Satu kamar dihuni tidak lebih dari 2 orang atau sebaiknya luas kamar lebih
4. Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan
binatang. Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara
beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup
yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih
binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang
liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi
kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur
dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi
leptospira. Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis
Rattus norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans
Suncu murinus (cecurt) (Mansjoer, 2005).
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia,
fase imun dan fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier
mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis
untuk sementara.
b. Fase Imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis
bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi 14 ginjal dan hati, serta
gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
c. Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas.
Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah,
nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta
splenomegali.
Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan
tidak langsung yaitu :
Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ 18 tubuh hewan misalnya
pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air
2) Sungai atau badan air
3) Danau
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Faktor resiko Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak
langsung atau terpajan air atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir.
2) Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
3) Mencuci atau mandi disungai atau danau.
4) Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
5) Petani tanpa alas kaki di sawah.
6) Pembersih selokan.
7) Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
8) Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan
bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih.
9) Pekerja tambang.
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
11) Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
12) Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung.
Pencegahan
Menurut
Saroso
(2003)
pencegahan
penularan
kuman
atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal,
kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan
hewan tanpa sarung tangan.
5. Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak
dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap
kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
6. Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lainlain.
7. Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum
yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
8. Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk atau
bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira
berkurang.
9. Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan
air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
10. Manajemen ternak yang baik.
c. Jalur pejamu manusi
1. Menumbuhkan sikap waspada Diperlukan pendekatan penting pada
masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira.
Masyarakat
perlu
mengetahui
aspek
penyakit
leptospira,
cara-cara
DAFTAR PUSTAKA:
_______. 2003. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta; Departemen Kesehatan R.I.
_______. (2005). Kewaspadaan Terhadap Penyakit Leptospirosis. Semarang; Dinkes
Prop Jateng.
Achmadi, U. F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Cetakan 1. Jakarta;
Kompas Media Nusantara,
Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI. http://
www.depkes.go.id/downloads/profil-data-kesehatan-indonesia-tahun- 2011.pdf
Mansjoer, A. 2005. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius,
FKUI. Jakarta.
Saroso, S. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I.
Sumirat, S. J.1996. Kesehatan Lingkungan. Universitas Gajah Mada; Yogyakarta.