Anda di halaman 1dari 15

Pengertian Paralisis ( Paralysis ) / kelumpuhan

Kelumpuhan (Paralysis) adalah hilangnya fungsi otot untuk satu atau lebih otot. Kelumpuhan
dapat disertai dengan hilangnya perasaan (kehilangan sensori) di daerah yang terkena jika terjadi
kerusakan sensorik serta motorik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Christopher & Dana Reeve
Foundation, menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 50 orang telah didiagnosa dengan kelumpuhan.
Lumpuh berasal dari kata (Yunani) yang berarti, "penghentian saraf", diri dari
(para), "di samping, dengan" + (lusis), "kehilangan" dan (luo), yang berarti
"kehilangan".
Kelumpuhan paling sering disebabkan oleh kerusakan dalam sistem saraf, terutama saraf tulang
belakang. Penyebab utama lainnya adalah gangguan hormon seperti hiperthyroid,gangguan
kelenjar adrenal ( aldosteron / hipokalemia ), stroke, trauma dengan cedera saraf, poliomielitis,
amyotrophic lateral sclerosis (ALS), botulisme, spina bifida, multiple sclerosis, dan sindrom
Guillain-Barr. Kelumpuhan sementara terjadi selama tidur REM, dan disregulasi dari sistem ini
dapat menyebabkan kelumpuhan saat bangun. Obat-obatan yang mengganggu fungsi saraf,
seperti curare, juga bisa menyebabkan kelumpuhan. Ada beberapa penyebab yang dikenal
banyak untuk kelumpuhan, dan belum ditemukan. Pseudoparalysis (pseudo-makna "palsu, tidak
asli", dari Yunani) adalah pembatasan secara mendadak atau penghambatan gerak karena
rasa sakit, ketiadaan koordinasi, orgasme, atau penyebab lainnya, dan bukan karena kelumpuhan
otot yang sebenarnya. pada bayi, mungkin merupakan gejala sifilis bawaan. Sebagian besar
kelumpuhan disebabkan oleh kerusakan sistem saraf (cedera saraf tulang belakang) yang terjadi
secara konstan namun, beberapa bentuk kelumpuhan yang periodik, termasuk kelumpuhan tidur,
disebabkan oleh faktor lain.
Fisiologi dan patofisiologi
Setiap serabut otot yang mengatur gerakan disadari melalui dua kombinasi sel saraf , salah
satunya terdapat pada korteks motorik, serabut serabutnya berada tepat pada traktus piramida
yaitu penyilangan traktus piramida, dan serat lainnya berada pada ujung anterior medula spinalis,
serat seratnya berjalan menuju otot. Yang pertama disebut sebagai neuron motorik atas ( upper
motor neuron ) dan yang terakhir disebut neuron motorik batah ( lower motor neuron ). Setiap
saraf motoric yang menggerakkan setiap otot merupakan komposisi gabungan ribuan saraf
saraf motorik bawah. Jaras motorik dari otot ke medula spinalis dan juga dari serebrum ke batang
otak dibentuk oleh UMN. UMN mulai di dalam korteks pada sisi yang berlawanan di otak,
menurun melalui kapsul internal, menyilang ke sisi berlawanan di dalam batang otak, menurun
melalui traktus kortikospinal dan ujungnya berakhir pada sinaps LMN. LMN menerima impuls
di bagian ujung saraf posterior dan berjalan menuju sambungan mioneural. Berbeda dengan
UMN, LMN berakhir di dalam otot. Ciri ciri klinik pada lesi di UMN dan LMN adalah :
- UMN : kehilangan kontrol volunter, peningkatan tonus otot, spastisitas otot, tidak ada atropi
otot, reflek hiperaktif dan abnormal

- LMN : kehilangan kontrol volunter, penurunan tonus otot, paralysis flaksid otot, atropi otot,
tidak ada atau penurunan reflek.
Rangkaian sel saraf berjalan dari otak melalui batang otak keluar menuju otot yang disebut motor
pathway. Fungsi otot yang normal membutuhkan hubungan yang lengkap disepanjang semua
motor pathway. Adanya kerusakan pada ujungnya menurunkan kemampuan otak untuk
mengontrol pergerakan pergerakan otot.
Hal ini menurunkan efesiensi disebabkan kelemahan, juga disebut paresis. Kehilangan hubungan
yang komplit menghalangi adanya keinginan untuk bergerak lebih banyak. Ketiadaan kontrol ini
disebut paralisis. Batas antara kelemahan dan paralisis tidak absolut. Keadaan yang
menyebabkan kelemahan mungkin berkembang menjadi kelumpuhan. Pada tangan yang lain,
kekuatan mungkin memperbaiki lumpuhnya anggota badan. Regenerasi saraf untuk tumbuh
kembali melalui satu jalan yang mana kekuatan dapat kembali untuk otot yang lumpuh. Paralisis
lebih banyak disebabkan perubahan sifat otot. Lumpuh otot mungkin mebuat ototo lemah,
lembek dan tanpa kesehatan yang cukup, atau mungkin kejang, mengetat, dan tanpa sifat yang
normal ketika otot digerakkan.
Tipe paralisis :
- monoplegia yaitu hanya mengenai satu anggota badan
- diplegia yaitu mengenai bagian badan yang sama pada kedua sisi badan
contohnya : kedua lengan atau kedua sisi wajah
- hemiplegia yaitu mengenai satu sisi badan atau separuh badan
- quadriplegia yaitu mengenai semua keempat anggota badan dan batang tubuh
Penyebab kelumpuhan
Kerusakan saraf yang dapat menyebabkan paralisis mungkin di dalam otak atau batang otak
( pusat sistem saraf ) atau mungkin di luar batang otak ( sistem saraf perifer ). Lebih sering
penyebab kerusakan pada otak adalah : stroke, tumor, truma ( disebabkan jatuh atau pukulan ),
multiple sclerosis ( penyakit yang merusak bungkus pelindung yang menutupi sel saraf ),
serebral palsy ( keadaan yang disebabkan injuri pada otak yang terjadi sesaat setelah lahir ),
gangguan metabolik ( gangguan dalam penghambatan kemampuan tubuh untuk
mempertahankannya ). Kerusakan pada batang otak lebih sering disebabkan trauma.
Kondisi lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan saraf dalam atau dengan segera berdekatan
pada tulang belakang termasuk : tumor, herniasi sendi ( juga disebut ruptur sendi ), spondilosis,
rematoid artrirtis pada tulang belakang atau multiple sklerosis. Kerusakan pada saraf tepi
mungkin disebabkan trauma, carpal tunel sindrom, Gullain Barre Syndrom, radiasi, toksin atau
racun, CIDP, penyakit dimielinisasi.

Tanda dan gejala :


Distribusi paralisis memberikan syarat yang penting untuk bagian saraf yang rusak. Hemiplegia
disebabkan kerusakan otak pada sisi berlawanan dengan paralysis, biasanya dari stroke.
Paraplegia terjadi setelah injuri pada bagian bawah batang otak , dan quadriplegia terjadi setelah
kerusakan bagian atas batang otak pada tingkat bahu atau lebih tinggi ( saraf yang mengontrol
lengan sejajar tulang belakang ). Diplegia biasanya mengindikasikan kerusakan otak, lebih sering
karena serebral palsy. Monoplegia mungkin disebabkan pemisahan kerusakan diantara system
saraf pusat atau saraf perifer. Kelemahan atau paralysis hanya dapat terjadi pada lengan dan kaki
dapat mengindikasikan penyakit diemelinisasi. Gejala berfluktuasi dalam membedakan bagian
tubuh mungkin disebabkan multiple sclerosis. Kejadian paralysis lebih sering disebabkan injuri
atau stroke. Penjalaran paralysis mengindikasikan penyakit degeneratif, penyakit infeski seperti :
GBS atau CIDP, gangguan metabolisme . Gejala lain yang sering menyertai paralisis termasuk
mati rasa dan perasaan kesemutan, nyeri, perubahan penglihatan , kesulitan berbicara,atau
masalah dengan keseimbangan. Cedera pada batang otak sering menyebabkan menurunnya
fungsi kandung kemih, BAB dan organ sex. Injuri diatas batang otak dapat menyebabkan
kesulitan dalam bernafas.

A.

Gejala Klinis

Tabel 1 Diagnosis Etiologi Kelumpuhan Berdasarkan Gejala Klinisnya

B.

Epidemiologi

Kelemahan tungkai adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus gangguan neuromuskular1.
Guillain-Barre syndrome (GBS) merupakan penyebab utama nontraumatic, non-stroke paralisis
flaksid akut di negara-negara Barat , dengan angka kejadian 0,75-2,0 kasus per 100.000 orang1.
Myasthenia gravis (MG) adalah penyebab paling umum transmisi penyakit neuromuskuler,
dengan prevalensi sebesar 14,2 kasus per 100.000 orang1. Botulisme terjadi lebih jarang, di AS
yang dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dari tahun 1973 sampai
1996. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus West Nile juga dapat menyebabkan paralisis
flaksid1, , .
Penyebab paralisis flaksid akut lainnya termasuk poliomyelitis paralitik dan myelitis transversal;
etiologi yang jarang terjadi berupa neuritis traumatis, ensefalitis, meningitis dan tumor .
Tabel 2 Perbedaan gejala klinis pada Lesi UMN dan LMN
LMN UMN
Atrofi Ada (atrofi neurogenik)

Hanya atrofi karena tidak digunakan (disuse)

Fasikulasi

Mungkin ada Tidak ada

Tonus Normal atau menurun (flaksiditas)

Meningkat (spastisitas)

Kekuatan
gerakan

Kelemahan fokal, misalnya pada distribusi nervus/radiks saraf

Postur

Penyimpangan gerakan tangan yang diluruskan (mata tertutup)

Refleks tendon

Menurun atau tidak ada

Klonus Tidak ada

Mungkin ada

Respons plantar

Ke bawah (plantarfleksi) atau tidak ada

Respons abdomen superfisial Ada

Berdasar

Meningkat

Ke atas (Babinski positif)

Mungkin tidak ada

Pola berjalan Mungkin melangkah tinggi-tinggi

C.

Sindrom Klinis Lesi Sistem Motorik

1.

Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Sentral

Spastik, langkah menggunting, sirkumduksi

Patogenesis paresis spastik sentral. Pada fase akut suatu lesi di traktus kortikospinalis, refleks
tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan terdapat kelemahan flaksid pada otot . Refleks
muncul kembali beberapa hari atau beberapa minggu kemudian dan menjadi hiperaktif, karena
spindel otot berespons lebih sensitif terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan normal,
terutama fleksor ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi
akibat hilangnya kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor (neuron motor ) yang
mempersarafi spindel otot. Dengan demikian, serabut-serabut otot intrafusal teraktivasi secara
permanen (prestretched) dan lebih mudah berespons terhadap peregangan otot lebih lanjut
dibandingkan normal.
Paresis spastik selalu terjadi akibat lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medula spinalis) dan
akan terlihat lebih jelas bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial
sekaligus (misalnya pada lesi medula spinalis). Patofisiologi spastisitas masih belum dipahami,
tetapiyaros motorik tambahan jelas memiliki peran penting, karena lesi kortikal murni dan
terisolasi tidak menyebabkan spastisitas.
Sindrom paresis spastik sentral. Sindrom ini terdiri dari:

Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus

Peningkatan tonus spastik

Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh klonus

Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks abdominal, refleks plantar,
dan refleks kremaster)

Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan Mendel-Bekhterev, serta


diinhibisi respons hindar (flight), dan

(awalnya) Massa otot tetap baik

1.1.

Lesi di korteks serebri

Suatu lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor, infark, atau cedera traumatik,
menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontra-lateral. Temuan klinis khas yang berkaitan
dengan lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas atas bagian distal yang dominan,
konsekuensi fungsional yang terberat adalah gangguan kontrol motorik halus. Kelemahan
tersebut tidak total (paresis, bukan plegia), dan lebih berupa gangguan flaksid, bukan bentuk
spastik, karena jaras motorik tambahan (nonpiramidal) sebagian besar tidak terganggu. Lesi
iritatif pada lokasi tersebut (a) dapat menimbulkan kejang fokal.
1.2.

Lesi di kapsula interna

Jika kapsula interna terlibat (misalnya, oleh perdarahan atau iskemia), akan terjadi hemiplegia
spastik kontralaterallesi pada level ini mengenai serabut piramidal dan serabut non piramidal,
karena serabut kedua jaras tersebut terletak berdekatan. Paresis pada sisi kontralateral awalnya
berbentuk flaksid (pada fase syok) tetapi menjadi spastik dalam beberapa jam atau hari akibat
kerusakan pada serabut-serabut nonpiramidal yang terjadi bersamaan.
1.3.

Lesi setingkat pedunkulus serebri

Lesi setingkat pedunkulus serebri, seperti proses vaskular, perdarahan, atau tumor, menimbulkan
hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh kelumpuhan nervus okulomotorius.
1.4.

Lesi pons

Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (contohnya pada tumor, iskemia batang otak,
perdarahan) menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin bilateral. Serabut-serabut
yang mempersarafi nukleus fasialis dan nukleus hipoglosalis telah berjalan ke daerah yang lebih
dorsal sebelum mencapai tingkat ini; dengan demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan
nervus fasialis tipe sentral jarang terjadi,
1.5.

Lesi pada piramid medula

Lesi pada piramid medula dapat merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara terisolasi,
karena serabut-serabut nonpiramidal terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya, dapat
terjadi hemiparesis flaksid kontralateral. Kelemahan tidak bersifat total (paresis, bukan plegia),
karena jaras desendenss lain tidak terganggu.
1.6.

Lesi traktus piramidalis di medula spinalis

Lesi traktus piramidalis di medula spinalis. Suatu lesi yang mengenai traktus piramidalis pada
level servikal (misalnya, akibat tumor, mielitis, trauma) menyebabkan hemiplegia spastik
ipsilateral; ipsilateral karena traktus tersebut telah menyilang pada level yang lebih tinggi, dan
spastik karena traktus tersebut mengandung serabut-serabut piramidalis dan non piramidalis pada
level ini. Lesi bilateral di medula spinalis servikalis bagian atas dapat menyebabkan
kuadriparesis atau kuadriplegia.
2.

Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Perifer

Paralisis flaksid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat manapun, dapat di kornu
anterius, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit
motorik memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunter maupun refleks. Otototot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat penurunan tonus otot yang jelas
(hipotonia), serta hilangnya refleks (arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik
terputus. Atrofi otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara perlahan-lahan
digantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya atrofi yang progresif,
penggantian ini akan selesai.

Sindrom paralisis flaksid terdiri dari:


Penurunan kekuatan kasar
Hipotonia atau atonia otot
Hiporefleksia atau arefleksia
Atrofi otot
Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius, radiks anterior, pleksus saraf,
atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi dan elektroneurografi. Jika paralisis pada satu
atau beberapa ekstremitas disertai oleh defisit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di
distal radiks saraf dan dengan demikian terletak di pleksus saraf atau di saraf tepi.
2.1.

Sindrom ganglion radiks dorsalis7

Infeksi pada satu atau beberapa ganglia spinalia oleh virus neurotropik paling sering terjadi di
regio torakal dan menyebabkan eritema yang nyeri pada dermatom yang sesuai, diikuti oleh
pembentukan sejumlah vesikel kulit. Gambaran klinis ini, disebut herpes zoster, berkaitan
dengan rasa sangat tidak nyaman, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan parestesia di area yang terkena.
Infeksi dapat melewati ganglia spinalia ke medula spinalis itu sendiri, tetapi, jika hal tersebut
terjadi, biasanya tetap terbatas pada area kecil di medula spinalis Keterlibatan komu anterius
yang menyebabkan paresis flaksid jarang ditemukan, hemiparesis atau paraparesis bahkan lebih
jarang lagi. Elektromiografi dapat nunjukkan defisit motorik segmental pada hingga 2/3 kasus,
tetapi karena herpes zoster biasanya ditemukan di area torakal, defisitnya cenderung tidak
bermakna secg fungsional, dan dapat luput dari perhatian pasien. Pada beberapa kasus, tidak
terdapat lesi kulit (herpes sine herpete). Herpes zoster relatif sering, dengan insidens 3-5 kasus
per 1000 orang per tahun; individu dengan penurunan kekebalan tubuh (misal, pas AIDS,
keganasan, atau dalam imunosupresi) berisiko lebih tinggi. Terapi dengan pengobatan kulit
topikal serta asiklovir, atau agen virustatik lainnya, dianjurkan untuk diberikan. Bahkan dengan
terapi yang sesuai, neuralgia pasca-herpes di area yang terkena bukan merupakan komplikasi
yang jarang. Keadaan ini dapat diobati secara simptomatik dengan berbagai terapi, termasuk
karbamazepin dan gabapentin.
2.2.

Sindrom substansia grisea7

Kerusakan pada substansia grisea sentral medula spinalis akibat siringomielia, hematomielia,
tumor medula spinalis intra-medular, atau proses-proses lain mengganggu semua jaras serabut
yang melewati substansia grisea. Serabut yang paling terpengaruh adalah serabut yang berasal
dari sel-sel kornu posterius dan yang menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar, nyeri, dan
suhu; serabut-serabut tersebut menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik
di traktus spinotalamikus lateralis dan anterior.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisi-cairan di medula
spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia. Rongga ini, disebut siring,
dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda dan terdisitribusi dengan pola
karakteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya.Siringomielia paling
sering mengenai medula spinalis servikalis, umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan
suhu di bahu dan ekstremitas atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak traktus
medula spinalis yang panjang, menyebabkan (para) paresis spastik, dan gangguan pada proses
berkemih, defekasi, dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada
lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah, dan berbagai jenis nistagmus sesuai dengan lokasi
dan konfigurasi siring.
2.3.

Sindrom kornu anterius.

Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik memengaruhi selsel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikalis dan lumbalis medula spinalis. Pada

poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu anterius hilang secara akut dan ireversibel,
terutama di regio lumbalis, menyebabkan paresis flaksid pada otot-otot di segmen yang sesuai.
Otot proksimal cenderung lebih terpengaruh daripada otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada
kasus yang berat, dapat tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. poliomielitis jarang
mengenai seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius tersusun di kolumna vertikal
yang panjang di dalam medula spinalis.
2.4.

Sindrom transeksi medula spinalis

Ketika sindroma transeksi medula spinalis muncul perlahan-lahan bukan dengan tiba-tiba,
misalnya, karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal tidak terjadi. Sindrom transeksi
pada kasus seperti ini biasanya parsial, dan bukan total. Paraparesis spastik yang berat dan
progresif terjadi di bawah tingkat lesi, disertai oleh defisit sensorik, disfungsi miksi, defekasi,
dan seksual, serta manifestasi otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang abnormal,
kecenderungan untuk terjadi ulkus dekubitus).
Sindrom Transeksi Medula Spinalis pada Berbagai Tingkat
2.4.1. Sindrom transeksi medula spinalis servikalis.
Transeksi medula spinalis di atas vertebra servikalis III fatal, karena dapat menghentikan
pernapasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales secara total). Pasien
tersebut hanya dapat ber-tahan jika diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah
trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang terjadi. Transeksi pada tingkat servikal bawah
menyebabkan kuadriparesis dengan keterlibatan otot-otot interkostal; pernapasan dapat sangat
terganggu. Ekstremitas atas terkena dengan luas yang bervariasi tergantung pada tingkat lesi.
Tingkat lesi dapat ditentukan secara tepat dari defisit sensorik yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik.
2.4.2. Sindrom transeksi medula spinalis torasika.
Transeksi medula spinalis torasika bagian atas tidak menggangu ekstremitas atas, tetapi
mengganggu pernapasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralisis melalui keterlibatan nervus
splankhnikus. Transeksi medula spinalis torasika bagian bawah tidak mengganggu otot-otot
abdomen dan tidak mengganggu pernapasan.
2.5.

Sindrom radikular.

Radiks terutama sangat rentan terhadap kerusakan pada atau di dekat jalan keluarnya melalui
foramina intervertebra. Penyebab tersering meliputi proses stenosis (penyempitan foramina,
misalnya akibat pertumbuhan tulang yang berlebihan), protrusio diskus, dan herniasi diskus yang
menekan radiks yang keluar. Proses lain, seperti penyakit infeksi pada korpus vertebrae, tumor,
dan trauma, dapat juga merusak radiks nervus spina ketika keluar dari medula spinalis.

Lesi radikular menimbulkan manifestasi karakteristik berikut:

Nyeri dan defisit sensorik pada dermatom yang sesuai.

Kerusakan sensasi nyeri lebih berat dibandingkan modalitas sensorik lainnya.

Penurunan kekuatan otot-otot pengindikasi-segmen dan, pada kasus yang berat dan
jarang, terjadi atrofi otot.

Defisit refleks sesuai dengan radiks yang rusak

Tidak adanya defisit otonom (berkeringat, piloereksi, dan fungsi vasomotor pada
ekstremitas, karena serabut simpatis dan parasimpatis bergabung deng saraf perifer di distal
radiks dan dengan demikian tidak dirusak oleh radikular.
3.

Neuropati

Transeksi beberapa saraf perifer menimbulkan paresis flaksid pada otot yang dipersarafi oleh
saraf tersebut, defisit sensorik pada distribusi serabut-serabut saraf aferen yang terkena, dan
defisit otonom.
Ketika kesinambungan suatu akson terganggu, degenerasi akson dan selubung mielinnya dimulai
dalam beberapa jam atau hari di lokasi cedera, kemudian berjalan ke arah distal menuruni akson
tersebut, dan biasanya selesai dalam 15-20 hari (disebut degenerasi sekunder atau degenerasi
Walleriari).
Penyebab kelumpuhan saraf perifer terisolasi yang lebih sering adalah: kompresi saraf di titik
yang rentan secara anatomis atau daerah leher botol (sindrom skalenus, sindrom terowongan
kubital, sindrom terowongan karpal, cedera n.peroneus pada kaput fibula, sindrom terowongan
tarsal); cedera traumatik (termasuk lesi iatrogenik, misalnya cedera akibat tusukan atau injeksi);
dan iskemia (misalnya, pada sindrom kompartemen dan, yang lebih jarang, proses infeksi/
inflamasi).
3.1.

Mononeuropati

Gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khususnya akibat tekanan, atau gangguan suplai
darah (vasa nervorum).
Gangguan sistemik yang secara umum dapat menyebabkan saraf sangat sensitif terhadap
tekanan, misalnya diabetes melitus, atau penyakit lain yang menyebabkan gangguan perdarahan
yang menyebar luas, misalnya vaskulitis, dapat menyebabkan neuropati multifokal (atau mononeuritis multipleks).
3.1.1. Carpal tunnel syndrome

Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan saat saraf ini
melalui terowongan karpal, yang dapat terjadi:

Secara tersendiri, contohnya pasien dengan pekerjaan yang banyak menggunakan tangan,

Pada gangguan yang menyebabkan saraf menjadi sensitif terhadap tekanan, misalnya
diabetes melitus,

Saat terowongan karpal penuh dengan jaringan lunak yang abnormal

Gambaran klinis sindrom terowongan karpal adalah:

Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari, atau saat bekerja,

Pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar,

Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus,

Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan perkusi pada
telapak tangan daerah terowongan karpal (tanda tinel),

Kondisi ini sering bilateral.

Diagnosis dapat dipastikan secara elektrodiagnostik. Pemeriksaan penunjang untuk mencari


penyebab, bila belum jelas, meliputi kadar glukosa darah, LED, dan fungsi tiroid.
Tabel 3 Hubungan keadaan medis umum dengan sindrom terowongan karpal6
Kehamilan
Diabetes melitus
Deformitas lokal, misalnya sekunder akibat osteoartritis, fraktur
Artritis reumatoid
Miksedema
Akromegali
Amiloidosis
Neurologi

3.1.2. Neuropati ulnaris

Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa tempat di sepanjang
perjalanannya, tetapi terutama pada siku.
Gambaran klinis meliputi:

Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku ke lengan
sampai batas ulnaris tangan,

Atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik tangan

Hilangnya sensasi tangan pada distribusi nervus ulnaris,

Deformitas tangan cakar (claw hand) yang khas pada lesi kronik

Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang perjalanan nervus ulnaris.
Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada malam hari, dengan posisi siku ekstensi
untuk mengurangi tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih berat, dekompresi bedah atau
transposisi nervus ulnaris, belum dapat dijamin keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan jika
terdapat kerusakan nervus ulnaris terus-menerus, yang ditunjukkan dengan gejala nyeri persisten
dan/atau gangguan motorik progresif.
3.2.

Polineuropati

Proses patologis yang mengenai beberapa saraf tepi disebut polineuropati, dan proses infeksi
atau inflamasi yang mengenai beberapa saraf tepi disebut polineuritis. Polineuropati dapat
diklasifikasikan berdasarkan kriteria struktur-histologis (aksonal, demielinasi, iskemia-vaskular),
berdasarkan sistem yang terkena (sensorik, motorik, otonom), atau berdasarkan distribusi defisit
neurologis (mononeuropati multipleks, distal-simetrik, proksimal). Polineuropati dan polineuritis
memiliki banyak penyebab, sehingga diagnosis serta penatalaksanaannya sangat kompleks.
Sering diakibatkan oleh proses peradangan, metabolik, atau toksik yang menyebabkan kerusakan
dengan pola difus, distal, dan simetris yang biasanya mengenai ekstremitas bawah sebelum
ekstremitas atas.
Tabel 4 Diagnosis pada gangguan saraf perifer1

Tabel 5 Penyebab polineuropati6

Infeksi
Lepra

Difteri
Penyakit Lyme
HIV

Inflamasi
Sindrom Guillain-Barre
Polineuropati demielinasi inflamasi kronik
Sarkoidosis
Sindrom Sjorgen
Vaskulitis-lupus, poliarteritis
Neoplastik
Paraneoplastik
Paraproteinemik
Metabolik
Diabetes melitus
Uremia
Miksedema
Amiloidosis
Nutrisi
Defisiensi vitamin, terutama tiamin, niasin, dan B12

Toksik
Contohnya alkohol, timbal, arsen, emas, merkuri, talium, insektisida, heksana
Obat-obatan
Contohnya isoniazid, vinkristin, sisplatin, metronidazol, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron

3.2.1. Diagnosis
Penyakit difus saraf perifer dapat disubklasifikasikan menurut ada tidaknya keterlibatan sensorik
atau motorik atau keduanya. Secara patofisiologis, dapat dibagi menjadi subdivisi lagi,
tergantung apakah lokasi penyakit pada selubung mielin atau sarafnya sendiri (neuropati
demielinasi dan neuropati aksonal, yang dapat dibedakan dari pemeriksaan konduksi saraf).
Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan/atau parestesia atau nyeri. Gejala
motorik meliputi kelemahan dan distal atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan
deformitas pada kaki dan tangan (pes cavus, tangan cakar) dan gangguan sensorik berat dapat
menyebabkan ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala otonom.
Tanda-tanda klinisnya adalah keterlibatan luas LMN distal dengan atrofi, kelemahan otot, serta
arefleksia tendon. Hilangnya sensasi posisi distal dapat menyebabkan ataksia sensorik. Dapat
terjadi hilangnya sensasi nyeri, suhu, dan raba dengan distribusi glove and stocking .
3.2.2. Tatalaksana
Terapi polineuropati tergantung dari penyebabnya. Neuropati akibat inflamasi umumnya harus
ditangani di pusat spe-sialistik. Polineuropati demielinasi inflamasi akut (sindrom GuillainBarre) merupakan keadaan neurologis yang berpotensi gawat darurat. Polineuropati demielinasi
inflamasi kronik dan neuropati vaskulitis membutuhkan terapi kortikosteroid dan/atau
imunomodulator yang meliputi obat-obat imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid, atau
siklosporin), imunoglobulin intravena, atau pertukaran plasma. Terapi simtomatik dapat
mengurangi komplikasi neuropatik seperti gambaran otonom dan nyeri. Sangat penting untuk
membedakan antara sindrom Guillain-Barre dan polineuropati demielinasi inflamasi kronik,
karena keduanya merupakan gangguan pada saraf perifer, akibat demielinasi pada SSP.
Tabel 6 Pemeriksaan penunjang polineuropati6

Pemeriksaan darah
Darah perifer lengkap, LED, glukosa, ureum, elektrolit, fungsi hati dan tiroid, vitamin B]2,
elektroforesis protein serum, autoantibodi
Urin
Mikroskopik untuk mencari bukti vaskulitis, glukosa, porfirin, protein Bence-Jones
Cairan serebrospinal
Peningkatan protein, terutama pada neuropati inflamasi

Neurofisiologi
Pemeriksaan konduksi saraf dan EMG

Foto toraks
Untuk sarkoidosis, karsinoma
Pemeriksaan penunjang khusus untuk pasien tertentu

Biopsi saraf, bila penyebab perburukan neuropati belum diketahui dengan pemeriksaan
lengkap, juga untuk mengkonfirmasi vaskulitis, lepra, dan polineuropati demielinasi inflamasi
kronik Biopsi sumsum tulang, survei tulang bila ada kecurigaan myeloma

Tes darah spesifik untuk kecurigaan kondisi tertentu, misalnya analisis DNA untuk neuropati herediter, enzim sel darah putih untuk inborn error of metabolism, antibodi Borrelia untuk
penyakit Lyme

4.

Sindrom pada Taut Neuromuskular dan Otot6

4.1.

Miastenia

Kelelahan abnormal pada otot-otot rangka merupakan manifestasi utama gangguan taut
neuromuskular. Kelemahan yang bergantung-latihan awalnya sering mengenai; otot-otot
ekstraokular, menimbulkan ptosis atau diplopia, karena unit motorik otot-otot tersebut hanya
mengandung sedikit serabut otot. Pasien dengan miastenia generalisata juga mengalami disfagia
dan kelemahan otot rangka yang timbul setelah melakukan latihan, terutama pada bagian
proksimal. Penyebab sindrom miastenik tersering adalah miastenia gravis (istilah sebelumnya:
miastenia gravis pseudopara- litika), suatu penyakit autoimun ketika tubuh membentuk antibodi
terhadap reseptor asetilkolin di motor end plate. Reseptor yang tersisa untuk transmisi sinyal
yang adekuat terlalu sedikit, sehingga otot tidak lagi tereksitasi secara adekuat oleh saraf yang
mempersarafinya. Elektromiografi menunjukkan penurunan ukuran (decrement) potensial aksi
otot pada stimulasi elektrik berulang pada otot yang terkena.
Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas, penurunan
elektromiografi, adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin di sirkulasi, dan perbaikan
kelemahan setelah pemberian penghambat asetilkolinesterase kerja cepat, seperti edrofonium
klorida7. Gangguan ini dapat diobati secara efektif dengan penghambat asetilkolinesterase kerjapanjang, supresi imun, dan sebagai tambahan, dengan timektomi (pada pasien muda).
4.2.

Miopati

Kebalikan dengan miastenia, miopati (gangguan primer otot) biasanya menimbulkan kelemahan
dengan progresivitas lambat dan tidak bergantung latihan. Atrofi otot aki-bat miopati lebih ringan
dibandingkan atrofi otot neurogenik dan sebagian disamarkan oleh pergantian jaringan otot oleh
lemak (liposis, disebut juga lipomatosis), sehingga terdapat ketidaksesuaian antara penampakan
otot yang normal atau pseudohipertofik dan derajat kelemahan sesungguhnya. Tidak ada defisit
sensorik atau otonom, atau fasikulasi, yang menunjukkan lesi neurogenik. Mialgia dan spasme
otot lebih sering terjadi pada miopati metabolik dibandingkan pada miopati kongenital.
Berbagai jenis miopati meliputi distrofi muskular (resesif terkait-X, autosomal dorninan, dan
resesif), miopati metabolik, distrofi miotonik (dengan manifestasi tambahan seperti katarak,
kebotakan di bagian frontal, dan abnormalitas sistemik lain, seperti pada distrofi Steinert-BattenCurschmann), dan miositis. adekuat terlalu sedikit, sehingga otot tidak lagi tereksitasi secara
adekuat oleh saraf yang mempersaraflnya. Elektromiografi menunjukkan penurunan ukuran
(decrement) potensial aksi otot pada stimulasi elektrik berulang pada otot yang terkena.
Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas, penurunan
elektromiografi, adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin di sirkulasi, dan perbaikan
kelemahan setelah pemberian penghambat asetilkolinesterase kerja-cepat, seperti edrofonium
klorida. Gangguan ini dapat diobati secara efektif dengan penghambat asetilkolinesterase kerjapanjang, supresi imun, dan sebagai tambahan, dengan timektomi (pada pasien muda).
Informasi terpenting untuk diagnosis banding miopati didapatkan dari riwayat keluarga secara
rinci, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium (terutama kreatin kinase), dan
elektromiografi, serta analisis genetik molekular, yang telah menjadi pemeriksaan yang sangat
canggih dalam beberapa tahun terakhir dan dapat memberikan diagnosis pasti pada banyak
kasus. Akibatnya, hal ini memungkinkan prognosis yang lebih sesuai dan konseling genetik yang
baik.
Kaitan dengan pemicu
Gejala yang dialami pasien pada pemicu, yakni berupa paralisis flaksid secara umum dapat
ditemukan pada lesi LMN dan NMJ. Kejadian yang hanya 3 hari (akut) umumnya ditemukan
pada polineuropati dan NMJ. Walaupun gejala teraparesis umumnya ditemukan pada lesi UMN,
namun juga khas ditemukan pada polineuropati, yaitu sindrom Guillain-Barre, dan biasanya
menjalar asendens. Oleh karena itu, masih perlu dilakukan analisis cairan serebrospinal. Pada
pasien paralasis flasid juga sering disertai dengan ketidakmapuan mempertahankan jalan nafas
tetap terbuka, karena paralisis otot-otot pernapasan dan diafragma. Oleh karena itu, diperlukan
intubasi secepat mungkin terutama pada penyakit yang onsetnya progresif, seperti sindrom
Guillain-Barre.

Anda mungkin juga menyukai