Anda di halaman 1dari 41

I.

Pendahuluan
Dalam rangka menegakkan diagnosis penyakit saraf diperlukan pemeriksaan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan mental dan penunjang. Pemeriksaan


neurologis meliputi pemeriksaan kesadaran, rangsang selaput otak, saraf kranial,
sistem motorik, sistem sensorik refleks dan pemeriksaan mental (fungsi luhur).
Saraf I dan II bersifat mirip dengan jaringan otak, sedangkan saraf otak
lainnya (III s/d XII) mempunyai bangunan dan fungsi yang mirip dengan saraf
spinal, dan bereaksi mirip dengan saraf spinal pada proses penyakit. Saraf otak ada
12 pasang dan biasanya dinyatakan dengan angka Romawi I-XII yaitu I (Nervus
Olfaktorius), II (Nervus Optikus), III (Nervus Okulomotorius), IV (Nervus
Trochlearis), V (Nervus Trigeminus), VI (Nervus Abdusens), VII (Nervus Fasialis),
VIII (Nervus Vestibulocochlearis), IX (Nervus Glossofaringeus), X (Nervus Vagus),
XI (Nervus Asesorius), XII (Nervus Hipoglossus). Masing-masing saraf kranial
mempunyai fungsi masing-masing sehingga bila terjadi kerusakan pada salah satu
saraf kranial maka akan timbul manifestasi klinis yang khas. Misalnya nervus
olfaktorius yang berfungsi untuk menghidu bila terjadi kerusakan maka akan
mengakibatkan hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurangnya penciuman
(hiposmia). Nervus optikus berfungsi dalam penglihatan, bila ada gangguan dapat
mengakibatkan penurunan ketajaman penglihatan (visus), mata mudah menjadi silau
atau fotofobi. Nervus okulomotorius, nervus trochlearis dan nervus abdusens
ketiganya berfungsi dalam pergerakan bola mata, sehingga bila terjadi kelumpuhan
salah satu dari ketiga nervus tersebut dapat terjadi strabismus. Nervus trigeminus
berfungsi mempersarafi otot-otot pengunyah (motorik) dan mengatus sensibilitas
wajah (sensorik), bila terjadi kelainan dapat mengakibatkan gangguan mengunyah,
mulut tidak dapat dibuka lebar (trismus) dan hipestesia wajah. Nervus fasialis
terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah.
Disamping itu, saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan
airmata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung. Gangguan yang tersering
mengenai nervus fasialis adalah Bells palsy, dimana terjadi kelumpuhan otot-otot
1

wajah. Nervus vestibulokokhlearis berfungsi untuk keseimbangan dan pendengaran,


terbagi menjadi dua nervus yaitu nervus vestibularis yang mengurus keseimbangan
dan nervus kokhlearis yang mengurus pendengaran. Gangguan pada nervus
vestibularis dapat mengakibatkan nistagmus atau vertigo, sementara gangguan pada
nervus kokhlearis dapat menyebabkan tuli, tinnitus atau hiperakusisi. Nervus
glossofaringeus dan nervus vagus fungsinya berkaitan, membantu dalan artikulasi
kata-kata, gejala yang dapat ditimbulkan bila ada kelainan adalah cadel (disatria)
atau

salah

telan

(disfagia).

Nervus

asesorius

mempersarafi

otot

sternokleidomastoideus dan otot trapezius yang berfungsi untuk rotasi dan fleksi
kepala serta pergerakan leher. Nervus hipoglossus menginervasi otot ekstrisik dan
intrinsik lidah, bila terjadi kelainan menyebabkan kelumpuhan otot lidah.
Memeriksa saraf kranial dapat membantu kita untuk menentukan lokasi dan
jenis penyakit. Tiap saraf kranial harus diperiksa dengan teliti, karena itu perlu
dipahami anatomi dan fungsinya, serta hubungannya dengan struktur lainnya. Lesi
dapat terjadi pada serabut atau bagian perifer (infranuklir/LMN) pada inti (nuklir)
atau hubungannya ke sentral (supranuklir/UMN). Bila inti rusak, hal ini diikuti
dengan degenerasi saraf perifernya. Saraf perifer dapat pula terganggu tersendiri.
Inti saraf kranial yang terletak di batang otak letaknya saling berdekatan dengan
struktur lain, sehingga jarang kita jumpai lesi pada satu inti saja tanpa melibatkan
bangunan lainnya. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik dan mental memegang
peranan yang sangat penting. Dari pemeriksaan fisik yang tepat kita dapat
menentukan diagnosis klinis bahkan diagnosis topis dari suatu kelainan neurologis.

II.

Tujuan
2

1. Meningkatkan kemampuan mengenal gangguan fungsi sistem saraf


melalui pemutaran video pemeriksaan klinis neurologi.
2. Memahami kaitan klinis (gejala & tanda) gangguan sistem saraf dengan
neuroanatomi dan neurofisiologi

III. Dasar Teori


1.

Sindrom Klinis Lesi Sistem Motorik

1.1 Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Sentral


Patogenesis paresis spastik sentral. Pada fase akut suatu lesi di traktus
kortikospinalis, refleks tendon profunda akan bersifat hipoaktif dan terdapat
kelemahan flaksid pada otot . Refleks muncul kembali beberapa hari atau beberapa
minggu kemudian dan menjadi hiperaktif, karena spindel otot berespons lebih sensitif
terhadap regangan dibandingkan dengan keadaan normal, terutama fleksor
ekstremitas atas dan ekstensor ekstremitas bawah. Hipersensitivitas ini terjadi akibat
hilangnya kontrol inhibisi sentral desendens pada sel-sel fusimotor (neuron motor )
yang mempersarafi spindel otnt. Dengan demikian, serabut-serabut otot intrafusal
teraktivasi secara permanen (prestretched) dan lebih mudah berespons terhadap
peregangan otot lebih lanjut dibandingkan normal.Paresis spastik selalu terjadi akibat
lesi susunan saraf pusat (otak dan/atau medula spinalis) dan akan terlihat lebih jelas
bila terjadi kerusakan pada traktus desendens lateral dan medial sekaligus (misalnya
pada lesi medula spinalis).
Sindrom ini terdiri dari:
a. Penurunan kekuatan otot dan gangguan kontrol motorik halus
b. Peningkatan tonus spastic
c. Refleks regang yang berlebihan secara abnormal, dapat disertai oleh klonus
3

d. Hipoaktivitas atau tidak adanya refleks eksteroseptif (refleks abdominal, refleks


plantar, dan refleks kremaster)
e. Refleks patologis (refleks Babinski, Oppenheim, Gordon, dan Mendel-Bekhterev,
serta diinhibisi respons hindar (flight), dan
f.

(awalnya) Massa otot tetap baik

1.1.1

Lesi di korteks serebri


lesi yang melibatkan korteks serebri, seperti pada tumor, infark, atau cedera

traumatik, menyebabkan kelemahan sebagian tubuh sisi kontra-lateral. Temuan klinis


khas yang berkaitan dengan lesi di lokasi tersebut adalah paresis ekstremitas atas
bagian distal yang dominan, konsekuensi fungsional yang terberat adalah gangguan
kontrol motorik halus. Kelemahan tersebut tidak total (paresis, bukan plegia), dan
lebih berupa gangguan flaksid, bukan bentuk spastik, karena jaras motorik tambahan
(nonpiramidal) sebagian besar tidak terganggu. Lesi iritatif pada lokasi tersebut dapat
menimbulkan kejang fokal.
1.1.2

Lesi di kapsula interna


Jika kapsula interna terlibat (misalnya, oleh perdarahan atau iskemia), akan

terjadi hemiplegia spastik kontralaterallesi pada level ini mengenai serabut


piramidal dan serabut non piramidal, karena serabut kedua jaras tersebut terletak
berdekatan. Paresis pada sisi kontralateral awalnya berbentuk flaksid (pada fase
syok) tetapi menjadi spastik dalam beberapa jam atau hari akibat kerusakan pada
serabut-serabut nonpiramidal yang terjadi bersamaan.
1.1.3

Lesi setingkat pedunkulus serebri

Lesi setingkat pedunkulus serebri, seperti proses vaskular, perdarahan, atau


tumor, menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh
kelumpuhan nervus okulomotorius.
1.1.4

Lesi pons

Lesi pons yang melibatkan traktus piramidalis (contohnya pada tumor, iskemia
batang otak, perdarahan) menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin
bilateral. Serabut-serabut yang mempersarafi nukleus fasialis dan nukleus
hipoglosalis telah berjalan ke daerah yang lebih dorsal sebelum mencapai tingkat ini;
dengan demikian, kelumpuhan nervus hipoglosus dan nervus fasialis tipe sentral
jarang terjadi.
1.1.5

Lesi pada piramid medulla

Lesi pada piramid medula dapat merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara
terisolasi, karena serabut-serabut nonpiramidal terletak lebih ke dorsal pada tingkat
ini. Akibatnya, dapat terjadi hemiparesis flaksid kontralateral. Kelemahan tidak
bersifat total (paresis, bukan plegia), karena jaras desendenss lain tidak terganggu.
1.1.6

Lesi traktus piramidalis di medula spinalis


Lesi traktus piramidalis di medula spinalis. Suatu lesi yang mengenai traktus

piramidalis pada level servikal (misalnya, akibat tumor, mielitis, trauma)


menyebabkan hemiplegia spastik ipsilateral; ipsilateral karena traktus tersebut telah
menyilang pada level yang lebih tinggi, dan spastik karena traktus tersebut
mengandung serabut-serabut piramidalis dan non piramidalis pada level ini. Lesi
bilateral di medula spinalis servikalis bagian atas dapat menyebabkan kuadriparesis
atau kuadriplegia.
1.2 Lesi-Lesi pada Jaras Motorik Perifer

Paralisis flaksid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat


manapun, dapat di kornu anterius, salah satu atau beberapa radiks anterior, pleksus
saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit motorik memutuskan serabut otot di unit
motorik dari persarafan volunter maupun refleks. Otot-otot yang terkena sangat lemah
(plegia), dan terdapat penurunan tonus otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya
refleks (arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik terputus. Atrofi otot
terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara perlahan-lahan digantikan
oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau tahun terjadinya atrofi yang progresif,
penggantian ini akan selesai.
Sindrom paralisis flaksid terdiri dari:
a. Penurunan kekuatan kasar
b. Hipotonia atau atonia otot
c. Hiporefleksia atau arefleksia
d. Atrofi otot
Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius, radiks
anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi dan
elektroneurografi. Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas disertai oleh
defisit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di distal radiks saraf dan
dengan demikian terletak di pleksus saraf atau di saraf tepi.
1.2.1

Sindrom ganglion radiks dorsalis


Infeksi pada satu atau beberapa ganglia spinalia oleh virus neurotropik paling

sering terjadi di regio torakal dan menyebabkan eritema yang nyeri pada dermatom
yang sesuai, diikuti oleh pembentukan sejumlah vesikel kulit. Gambaran klinis ini,
disebut herpes zoster, berkaitan dengan rasa sangat tidak nyaman, nyeri seperti
ditusuk-tusuk dan parestesia di area yang terkena. Infeksi dapat melewati ganglia
6

spinalia ke medula spinalis itu sendiri, tetapi, jika hal tersebut terjadi, biasanya tetap
terbatas pada area kecil di medula spinalis Keterlibatan komu anterius yang
menyebabkan paresis flaksid jarang ditemukan, hemiparesis atau paraparesis bahkan
lebih jarang lagi. Elektromiografi dapat nunjukkan defisit motorik segmental pada
hingga 2/3 kasus, tetapi karena herpes zoster biasanya ditemukan di area torakal,
defisitnya cenderung tidak bermakna secg fungsional, dan dapat luput dari perhatian
pasien. Pada beberapa kasus, tidak terdapat lesi kulit (herpes sine herpete). Herpes
zoster relatif sering, dengan insidens 3-5 kasus per 1000 orang per tahun; individu
dengan penurunan kekebalan tubuh (misal, pas AIDS, keganasan, atau dalam
imunosupresi) berisiko lebih tinggi. Terapi dengan pengobatan kulit topikal serta
asiklovir, atau agen virustatik lainnya, dianjurkan untuk diberikan. Bahkan dengan
terapi yang sesuai, neuralgia pasca-herpes di area yang terkena bukan merupakan
komplikasi yang jarang. Keadaan ini dapat diobati secara simptomatik dengan
berbagai terapi, termasuk karbamazepin dan gabapentin.
1.2.2

Sindrom substansia grisea


Kerusakan pada substansia grisea sentral medula spinalis akibat siringomielia,

hematomielia, tumor medula spinalis intra-medular, atau proses-proses lain


mengganggu semua jaras serabut yang melewati substansia grisea. Serabut yang
paling terpengaruh adalah serabut yang berasal dari sel-sel kornu posterius dan yang
menghantarkan sensasi tekanan, raba kasar, nyeri, dan suhu; serabut-serabut tersebut
menyilang di substansia grisea sentral dan kemudian berjalan naik di traktus
spinotalamikus lateralis dan anterior.
Siringomielia ditandai dengan pembentukan satu atau beberapa rongga berisicairan di medula spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia.
Rongga ini, disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme yang berbeda
dan terdisitribusi dengan pola karakteristik yang berbeda, sesuai dengan mekanisme
pembentukannya.Siringomielia paling sering mengenai medula spinalis servikalis,
umumnya menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan ekstremitas
7

atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak traktus medula spinalis yang
panjang, menyebabkan (para) paresis spastik, dan gangguan pada proses berkemih,
defekasi, dan fungsi seksual. Siringobulbia sering menyebabkan atrofi unilateral pada
lidah, hiperalgesia atau analgesia pada wajah, dan berbagai jenis nistagmus sesuai
dengan lokasi dan konfigurasi siring.
1.2.3

Sindrom kornu anterius


Baik poliomielitis akut maupun berbagai jenis atrofi otot spinal secara spesifik

memengaruhi sel-sel kornu anterius, terutama pada pembesaran servikalis dan


lumbalis medula spinalis. Pada poliomielitis (infeksi virus), sejumlah sel kornu
anterius hilang secara akut dan ireversibel, terutama di regio lumbalis, menyebabkan
paresis flaksid pada otot-otot di segmen yang sesuai. Otot proksimal cenderung lebih
terpengaruh daripada otot distal. Otot menjadi atrofi dan pada kasus yang berat, dapat
tergantikan seluruhnya oleh jaringan ikat dan lemak. poliomielitis jarang mengenai
seluruh otot ekstremitas, karena sel-sel kornu anterius tersusun di kolumna vertikal
yang panjang di dalam medula spinalis.
1.2.4

Sindrom transeksi medula spinalis


Ketika sindroma transeksi medula spinalis muncul perlahan-lahan bukan

dengan tiba-tiba, misalnya, karena tumor yang tumbuh secara lambat, syok spinal
tidak terjadi. Sindrom transeksi pada kasus seperti ini biasanya parsial, dan bukan
total. Paraparesis spastik yang berat dan progresif terjadi di bawah tingkat lesi,
disertai oleh defisit sensorik, disfungsi miksi, defekasi, dan seksual, serta manifestasi
otonomik (regulasi vasomotor dan berkeringat yang abnormal, kecenderungan untuk
terjadi ulkus dekubitus).
Sindrom Transeksi Medula Spinalis pada Berbagai Tingkat:
1.2.4.1 Sindrom transeksi medula spinalis servikalis

Transeksi medula spinalis di atas vertebra servikalis III fatal, karena dapat
menghentikan pernapasan (hilangnya fungsi nervus frenikus dan nervi interkostales
secara total). Pasien tersebut hanya dapat ber-tahan jika diberikan ventilasi buatan
dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya, keadaan yang sangat jarang
terjadi. Transeksi pada tingkat servikal bawah menyebabkan kuadriparesis dengan
keterlibatan otot-otot interkostal; pernapasan dapat sangat terganggu. Ekstremitas atas
terkena dengan luas yang bervariasi tergantung pada tingkat lesi. Tingkat lesi dapat
ditentukan secara tepat dari defisit sensorik yang ditemukan pada pemeriksaan fisik.
1.2.4.2 Sindrom transeksi medula spinalis torasika
Transeksi medula spinalis torasika bagian atas tidak menggangu ekstremitas
atas, tetapi mengganggu pernapasan dan juga dapat menimbulkan ileus paralisis
melalui keterlibatan nervus splankhnikus. Transeksi medula spinalis torasika bagian
bawah tidak mengganggu otot-otot abdomen dan tidak mengganggu pernapasan.
1.2.4.3 Sindrom radikula
Radiks terutama sangat rentan terhadap kerusakan pada atau di dekat jalan
keluarnya melalui foramina intervertebra. Penyebab tersering meliputi proses stenosis
(penyempitan foramina, misalnya akibat pertumbuhan tulang yang berlebihan),
protrusio diskus, dan herniasi diskus yang menekan radiks yang keluar. Proses lain,
seperti penyakit infeksi pada korpus vertebrae, tumor, dan trauma, dapat juga
merusak radiks nervus spina ketika keluar dari medula spinalis. Lesi radikular
menimbulkan manifestasi karakteristik berikut:
a. Nyeri dan defisit sensorik pada dermatom yang sesuai.
b. Kerusakan sensasi nyeri lebih berat dibandingkan modalitas sensorik lainnya.
c. Penurunan kekuatan otot-otot pengindikasi-segmen dan, pada kasus yang berat
dan jarang, terjadi atrofi otot.

d. Defisit refleks sesuai dengan radiks yang rusak


e. Tidak adanya defisit otonom (berkeringat, piloereksi, dan fungsi vasomotor pada
ekstremitas, karena serabut simpatis dan parasimpatis bergabung deng saraf
perifer di distal radiks dan dengan demikian tidak dirusak oleh radikular.

1.3 Neuropati
Transeksi beberapa saraf perifer menimbulkan paresis flaksid pada otot yang
dipersarafi oleh saraf tersebut, defisit sensorik pada distribusi serabut-serabut saraf
aferen yang terkena, dan defisit otonom. Ketika kesinambungan suatu akson
terganggu, degenerasi akson dan selubung mielinnya dimulai dalam beberapa jam
atau hari di lokasi cedera, kemudian berjalan ke arah distal menuruni akson tersebut,
dan biasanya selesai dalam 15-20 hari (disebut degenerasi sekunder atau degenerasi
Walleriari).
Penyebab kelumpuhan saraf perifer terisolasi yang lebih sering adalah:
kompresi saraf di titik yang rentan secara anatomis atau daerah leher botol (sindrom
skalenus, sindrom terowongan kubital, sindrom terowongan karpal, cedera n.peroneus
pada kaput fibula, sindrom terowongan tarsal); cedera traumatik (termasuk lesi
iatrogenik, misalnya cedera akibat tusukan atau injeksi); dan iskemia (misalnya, pada
sindrom kompartemen dan, yang lebih jarang, proses infeksi/ inflamasi).
1.3.1

Mononeuropati
Gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khususnya akibat tekanan, atau

gangguan suplai darah (vasa nervorum).

10

Gangguan sistemik yang secara umum dapat menyebabkan saraf sangat


sensitif terhadap tekanan, misalnya diabetes melitus, atau penyakit lain yang
menyebabkan gangguan perdarahan yang menyebar luas, misalnya vaskulitis, dapat
menyebabkan neuropati multifokal (atau mono-neuritis multipleks).
1.3.1.1 Carpal tunnel syndrome
Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan
saat saraf ini melalui terowongan karpal, yang dapat terjadi:
a. Secara tersendiri, contohnya pasien dengan pekerjaan yang banyak
menggunakan tangan
b.

Pada gangguan yang menyebabkan saraf menjadi sensitif terhadap tekanan,


misalnya diabetes melitus,

c. Saat terowongan karpal penuh dengan jaringan lunak yang abnormal


Gambaran klinis sindrom terowongan karpal adalah:
a. Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari, atau saat bekerja,
b. Pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia tenar,
c. Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nervus medianus,
d. Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan
perkusi pada telapak tangan daerah terowongan karpal (tanda tinel),
e. Kondisi ini sering bilateral.
1.3.1.2 Neuropati ulnaris

11

Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa


tempat di sepanjang perjalanannya, tetapi terutama pada siku. Gambaran klinis
meliputi:
a. Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku ke
lengan sampai batas ulnaris tangan,
b. Atrofi dan kelemahan otot-otot intrinsik tangan
c. Hilangnya sensasi tangan pada distribusi nervus ulnaris,
d. Deformitas

tangan

cakar

(claw

hand)

yang

khas

pada

lesi

kronik

Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang perjalanan


nervus ulnaris.
Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada malam hari, dengan
posisi siku ekstensi untuk mengurangi tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih
berat, dekompresi bedah atau transposisi nervus ulnaris, belum dapat dijamin
keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan jika terdapat kerusakan nervus ulnaris
terus-menerus, yang ditunjukkan dengan gejala nyeri persisten dan/atau gangguan
motorik progresif.
1) Polineuropati
Proses patologis yang mengenai beberapa saraf tepi disebut polineuropati, dan
proses infeksi atau inflamasi yang mengenai beberapa saraf tepi disebut
polineuritis. Polineuropati dapat diklasifikasikan berdasarkan kriteria strukturhistologis (aksonal, demielinasi, iskemia-vaskular), berdasarkan sistem yang
terkena (sensorik, motorik, otonom), atau berdasarkan distribusi defisit neurologis
(mononeuropati multipleks, distal-simetrik, proksimal). Polineuropati dan
polineuritis

memiliki

banyak

penyebab,

sehingga

diagnosis

serta

penatalaksanaannya sangat kompleks. Sering diakibatkan oleh proses peradangan,


metabolik, atau toksik yang menyebabkan kerusakan dengan pola difus, distal,

12

dan simetris yang biasanya mengenai ekstremitas bawah sebelum ekstremitas


atas.
2) Sindrom pada Taut Neuromuskular dan Otot
a) Miastenia
Kelelahan abnormal pada otot-otot rangka merupakan manifestasi utama
gangguan taut neuromuskular. Kelemahan yang bergantung-latihan awalnya
sering mengenai; otot-otot ekstraokular, menimbulkan ptosis atau diplopia, karena
unit motorik otot-otot tersebut hanya mengandung sedikit serabut otot. Pasien
dengan miastenia generalisata juga mengalami disfagia dan kelemahan otot
rangka yang timbul setelah melakukan latihan, terutama pada bagian proksimal.
Penyebab sindrom miastenik tersering adalah miastenia gravis (istilah
sebelumnya: miastenia gravis pseudopara- litika), suatu penyakit autoimun ketika
tubuh membentuk antibodi terhadap reseptor asetilkolin di motor end plate.
Reseptor yang tersisa untuk transmisi sinyal yang adekuat terlalu sedikit, sehingga
otot tidak lagi tereksitasi secara adekuat oleh saraf yang mempersarafinya.
Elektromiografi menunjukkan penurunan ukuran (decrement) potensial aksi
otot pada stimulasi elektrik berulang pada otot yang terkena.

Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yang khas,


penurunan elektromiografi, adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin di
sirkulasi,

dan

perbaikan

kelemahan

setelah

pemberian

penghambat

asetilkolinesterase kerja cepat, seperti edrofonium klorida. Gangguan ini dapat


diobati secara efektif dengan penghambat asetilkolinesterase kerja-panjang,
supresi imun, dan sebagai tambahan, dengan timektomi (pada pasien muda).

b) Miopati

13

Kebalikan dengan miastenia, miopati (gangguan primer otot) biasanya


menimbulkan kelemahan dengan progresivitas lambat dan tidak bergantung
latihan. Atrofi otot aki-bat miopati lebih ringan dibandingkan atrofi otot
neurogenik dan sebagian disamarkan oleh pergantian jaringan otot oleh lemak
(liposis, disebut juga lipomatosis), sehingga terdapat ketidaksesuaian antara
penampakan otot yang normal atau pseudohipertofik dan derajat kelemahan
sesungguhnya. Tidak ada defisit sensorik atau otonom, atau fasikulasi, yang
menunjukkan lesi neurogenik. Mialgia dan spasme otot lebih sering terjadi pada
miopati

metabolik

dibandingkan

pada

miopati

kongenital.

Berbagai jenis miopati meliputi distrofi muskular (resesif terkait-X, autosomal


dorninan, dan resesif), miopati metabolik, distrofi miotonik (dengan manifestasi
tambahan seperti katarak, kebotakan di bagian frontal, dan abnormalitas sistemik
lain, seperti pada distrofi Steinert-Batten-Curschmann), dan miositis. adekuat
terlalu sedikit, sehingga otot tidak lagi tereksitasi secara adekuat oleh saraf yang
mempersarafinya.

2) Kelumpuhan
Paresis (kelemahan otot pada lengan dan tungkai) adalah kerusakan yang
menyeluruh, tetapi belum meruntuhkan semua neuron korteks piramidalis.
Hemiparase yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi
sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai
darah, kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi,ataupun penekanan langsung dan
tidak langsung oleh massa hematoma, abses,dan tumor. Hal tersebut selanjutnya akan
mengakibatkan adanya gangguan pada tractus kortikospinalis yang bertanggung
jawab pada otot-otot anggotagerak atas dan bawah.
Hemiparesis adalah suatu penyakit sindrom klinis yang awal timbulnya
mendadak, progesif cepat, berupa defisit neurologis yang berlangsung 24 jam atau
lebih langsung menimbulkan kematiandan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak
non traumatic.
14

Kelumpuhan UMN (Upper Motor Neuron) umumnya melanda sebelah tubuh


sehingga dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis. Istilah paralisis
atau plegia merujuk pada kehilangan total kontraktilitas otot. Paralisis berarti
hilangnya kemampuan untuk bergerak. Hemiplagia adalah paralisis salah satu sisi
tubuh dan biasanya disebabkan oleh cedera otak, seperti stroke. Paraplegia adalah
paralisis ekstremitas bawah dan quadriplegia adalah paralisis keempat ekstremitas.
Sedangkan kehilangan kontraktilitas yang tidak total disebut paresis. Di batang otak,
daerah susunan pyramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan ke-12,
sehingga lesi yang merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan
hemiplegia yang melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia
alternans. Sebagai contoh pada pupil yang melebar unilateral dan tidak bereaksi,
menunjukkan adanya tekanan pada saraf ke-3.
Pada umumnya kelumpuhan UMN melanda sebelah tubuh sehingga
dinamakan hemiparesis, hemiplegia atau hemiparalisis, karena lesinya menduduki
kawasan susunan piramidal sesisi. Ketiga istilah yang bermakna kelumpuhan sesisi
badan itu digunakan secara bebas, walaupun hemiparesis sesungguhnya berarti
kelumpuhan sesisi badan yang ringan dan hemiplegia atau hemiparalisis berarti
kelumpuhan sesisi badan yang berat. Dalam uraian di bawah ini ketiga-tiganya akan digunakan
secara bebas tanpa pengarahan pada derajat keberatannya.Di batang otak daerah susunan
piramidal dilintasi oleh akar saraf otak ke-3, ke-6, ke-7, dan ke-12, sehingga lesi yang
merusak kawasan piramidal batang otak sesisi mengakibatkan hemiplegia yang
melibatkan saraf otak secara khas dan dinamakan hemiplegia alternans.

IV.

Cara Kerja
1. Disiapkan lembar yang berisi data pasien dan beberapa pertanyaan yang
telah dibagikan tutor
2. Dilakukan pemutaran video pemeriksaan neurologis untuk melengkapi
data sebelumnya
15

3. Pertanyaan yang telah diberikan kemudian dijawab dengan tepat


4. Dilakukanlan penulisan diagnosis klinis dan diagnosis topis pada kelainan
yang telah ditonton di video.
5. Kemudian dicatatlah feedback yang diberikan oleh narasumber.

16

VI.

Hasil dan Pembahasan

Kasus 1
Terlihat seorang laki- laki tidak dapat mengangkat alis sebelah kanan,
diketahui juga saat harus menutup mata dengan kuat, mata kanannya tidak menutup
dengan kuat layaknya tutupan mata sebelah kiri. Saat disuruh harus tersenyum, lakilaki itu hanya bisa menarik mulutnya dibagian sebelah kanan.
Kelainan yang ditemui :
1. Tidak dapat mengangkat alis sebelah kanan (m. frontralis)
2. Tidak dapat menutup rapat mata sebelah kanan (m. Orbicularis oculi)
3. Ketika tersenyum tidak bisa menarik mulut bagian sebelah kanan (m.
orbicularis oris)
Keterangan :
Laki- laki tersebut mengalami kelainan nervus facialis (nervus VII). Kelainan nervus
facialis dapat terbagi 2 yakni :
-

Tipe sentral
Kelumpuhan tipe sentral adalah kelumpuhan yang hanya terjadi pada bagian
wajah mulai dari bawah mata. Sedangkan bagian diatasnya masih dapat

digerakkan
Tipe perifer
Kelumpuhan tipe perifer adalah kelumpuhan yang terjadi pada bagian atas dan
bawah wajah.

Dari tipe kelainan tersebut diketahui laki- laki tersebut mengalami kelumpuhan
nervus facialis tipe perifer.
Tentang kasus :
Bells Palsy adalah kelumpuhan/paralisis Nervus Facialis Perifer (LMN), bersifat
akut yang tidak diketahui sebabnya (idiopatik) dan umumnya sesisi (unilateral).
17

Sir Charles Bell (1821) meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik,
sejak itu semua kelumpuhan nervus facialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya disebut Bells Palsy

Sering ditemukan pada orang dewasa, jarang dibawah 2 tahun. Dewasa pria
lebih banyak dibanding wanita.

Diagnosis BP ditegakkan dengan adanya kelumpuhan Nervus Facialis perifer diikuti


pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain kelumpuhan nervus facialis perifer.
Etiologi
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti, umumnya dikelompokkan sebagai
berikut:

Kongenital
Anomali kongenital
Trauma lahir

Didapat
Trauma
Osteomyelitis
Proses intrakranial (Tumor, Radang,Perdarahan)
Proses di leher yang menekan daerah proccesus stylomastoideus
Infeksi (otitis media, herpes zooster)
Sindroma paralisis nervus facialis familial
Faktor-faktor yang diduga menyebabkan BP antara lain:

18

hipertensi, stress, hiperkolesterolemi, DM, Penyakit Vasculer, gangguan


imunologik dan faktor genetik

Patogenesis

Hingga kini belum ada kesesuaian pendapat. Teori yang dianut saat ini yaitu
teori vasculer. Pada BP terjadi iskemi primer nervus VII yang disebabkan
vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara nervus VII dan dinding
kanalis facialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain: infeksi
virus dan proses imunologi.

Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural


yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi nervus
VII.

Perubahan patologik yang ditemukan pada nervus VII sebagai berikut:

Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema

Terdapat demielinisasi atau degenerasi myelin

Terdapat degenerasi akson

Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak

Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi

19

Gambar seseorang dengan Bell Passy

20

Manifestasi klinis

Pada anak 73% didahului ISPA yang erat hubungannya dengan cuaca dingin

Perasaan nyeri, pegal,linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya
sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot
wajah berupa:

Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi
yang sehat

Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophtalmus)

Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata (fenomena Bell Sign)

Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi
yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat

Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang


menyertai antara lain: gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan
gangguan lakrimasi

Diagnosis
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan
derajat kerusakan nervus facialis sebagai berikut:

Uji konduksi saraf (nerve conduction test)


pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur
kecepatan hantaran listrik pada N7 kiri dan kanan

Elektromyografi (EMG)
21

pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot


wajah

Uji Schirmer
pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang
kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas
rembesan air mata pada kertas filter, berkurang atau mengeringnya air mata
menunjukkan lesi nervus VII setinggi ganglion geniculatum

Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)


Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri dan kanan
setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan
keadaan patologik. Dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan N7
Irreversibel

Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah


Gilroy dan meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan
cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asam, dan rasa pahit (pil kina)
elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit
dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit
atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi nervus VII
setinggi korda timpani atau proksimalnya

Prognosis

Sangat bergantung pada derajat kerusakan dari N. VII.

Pada anak umumnya baik, karena jarang terjadi denervasi total.

Penyembuhan spontan terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada
anak 90% akan mengalami penyembuhan tanpa gejala sisa.

22

Penatalaksanaan
-

Istirahat
Fisioterapi
Obat- obatan
Edukasi :
Kompres hangat, gunakan tetes mata, latihan rutin

Kasus 2
3 hal yang dapat ditemukan dari video case II ini yaitu:
1. Tidak dapat senyum pada pipi sebelah kiri
2. Pipi disebelah kiri tak dapat dikembungkan
3. Kedua mata dapat terangkat dengan normal
Pada 1, 2, dan 3 hal ini menunjukkan adanya lesi pada N. VII kiri tipe sentral.
Karena pada sentral mata disisi lesi masih diselamatkan oleh saraf yang
berasal dari hemisfer seberangnya.
4. Lidah terjulur kearah kiri.
Otot lidah dipersarafi oleh N. XII. Ketika berada di dalam mulut, persarafan
dari kedua sisi membuat otot masing-masing sisi menarik ke arahnya sehingga
lidah bertahan di tengah. Dalam keadaan lidah terjulur, otot justru mendorong
ke sisi lawannya (otot kiri mendorong lidah kearah kanan sedangkan otot
kanan mendorong lidah kearah kiri). Karena pada kasus ini lidah terjulur ke
kiri, berarti otot sebelah kirinya gagal mendorong ke arah kanan paralisis N.
XII kiri. Pada kasus ini, apabila lidahnya di dalam mulut, dia pasti cenderung
tertarik ke kanan.
Kasus 3
Pembahasan Kasus 3.Terlihat pada kasus 3 pasien sedang melakukan
pemeriksaan pergerakan bola mata, saat dilakukan gerakan konjugasi ke sebelah
kanan, kedua bola mata dapat mengikuti gerakan jari pemeriksa. Tapi saat jari
pemeriksa diarahkan ke lateral kiri, mata bagian kiri tdk dapat mengikuti gerakan jari
tersebut, mata kiri tetap lurus saat mata kanan melakukan pergerakan ke arah nasalis
(Medial)
23

Kelainan ini disebabkan tdk berfungsinya M. Rectus Lateralis. M. Rectus lateralis


berfungsi untuk pergerakan lateral bola mata, dan nervus ini dipersarafi oleh Nervus
VI Abducens. Nervus VI berada pada daerah Pons, jadi jika ada kelainan pada nervus
VI seperti pada kasus, maka, Lesi yang diderita oleh pasien berada di sekitaran pons
setingkat dengan nervus VI tersebut atau Lesi yg ada meluas sampai daerah pons dan
mengenai nervus VI.
Jadi pasien tidak dapat melakukan konjugasi ke kiri (Leftward Gaze) karena
ada kerusakan pada nervus VI.
Kasus 4
Pada kasus 4 yang ditemukan pada pasien adalah:
1. Pasien tidak dapat membuka kelopak mata kiri tetapi dapat dengan normal
membuka kelopak mata kanan.
2. Pasien tidak dapat menggerakkan bola mata kiri ke arah medial, medial
superior dan medial inferior tetapi dapat dengan normal menggerakkan bola
mata kanan ke segala arah.
3. Pasien tidak dapat menggerakkan bola mata kiri ke arah lateral superior tetapi
dapat dengan normal menggerakkan bola mata kanan ke arah tersebut.
Otot yang terkena gangguan yaitu pada otot mata sebelah kiri, antara lain:
1. M. Levator palpebra superior (n. III) mengangkat kelopak mata saat
membuka mata
2. M. Obliqus Inferior (n. III) menggerakkan bola mata ke arah medial
superior
3. M. Medial Rectus (n. III) menggerakkan bola mata ke arah medial
4. M. Obliqus Superior (n. IV) menggerakkan bola mata ke arah medial
inferior
5. M. Rectus superior (n. III) menggerakkan bola mata ke arah lateral
superior

24

Kasus 5
Lebar pupil bervariasi berkaitan dengan adanya cahaya. Bila cahaya terang
akan menginduksi konstriksi pupil sedangkan bila gelap menginduksi dilatasi pupil.
Bila lesi terjadi pada nervus optikus maka akan terjadi gangguan serabut
aferen lengkung refles di lokasi yang berbeda sehingga mengganggu respons pupil
terhadap penyinaran. Apabila cahaya diberikan pada sisi lesi, pupil ipsilateral maupun
kontralateral tidak akan berkonstriksi secara normal. Bila penyinaran pada sisi
kontralateral (sisi sehat) akan diikuti oleh konstriksi kedua pupil secara normal.
Sedangkan

apabila

lesi

terjadi

pada

nervus

okulomotorius

yang

mempersyarafi otot konstriksi pupil maka akan terjadi gangguan pada lengkung
eferen refleks cahaya pupil. Adapun kelainan yang ditemukan yaitu midrialis
(pelebaran pupil) ipsilateral (sisi lesi) baik dengan refleks cahaya langsung maupun
tanpa refleks cahaya
Pembahasan:
Seorang laki-laki datang kerumah sakit dengan penurunan visual aktivitas
mata kiri. Kelainan yang ditemukan pada video yaitu:
a. Saat mata kanan diberi cahaya, maka pupil kiri ikut mengecil berarti
refleks cahaya tidak langsungnya normal.
b. Saat mata kiri diberikan cahaya, pupil kiri berdilatasi berarti refleks
cahaya langsung abnormal.
Nervus yang bisa saja terganggu yaitu nervus II ( nervus optikus), sehingga terjadi
gangguan pada refleks cahaya langsung, dan nervus III (nervus okulomotorius)
sehingga gangguan yang terjadi tidak hanya ada pada refleks cahaya langsung tetapi
juga refleks cahaya tak langsung.
Pada kasus 5 yang terjadi adalah gangguan pada refleks cahaya langsung, maka
dengan demikian lesi terjadi pada nervus II (nervus optikus)

25

Kasus 6
Dasar Teori :
Saraf kranial adalah 12 pasang saraf pada manusia yang mencuat dari otak,
berbeda dari saraf spinal yang mencuat dari medulla oblongata. Saraf kranial
merupakan bagian dari sistem saraf sadar. Dari 12 pasang saraf :
-

3 pasang memiliki jenis sensori (saraf I, II, VIII);


5 pasang jenis motorik (saraf III, IV, VI, XI, XII);
4 pasang jenis gabungan (saraf V, VII, IX, X).

NERVUS HIPOGLOSSUS
Saraf otak (nervus cranialis) ad`lah saraf perifer yang berpangkal pada batang
otak dan otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah
fungsi yang bersifat panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan,
pendengaran dan keseimbangan.
26

Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan
dengan otak tanpa melalui batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas
semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di
mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk di pons, dan saraf
otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata.
Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di samping
bagian dorsal fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat kaudal medulla
oblongata. Radiksnya melintasi substansia retikularis di samping fasikulus
longitudinalis medialis, lemniskus medialis dan bagian medial piramis. Muncul pada
permukaan ventral dan melalui kanalis hipoglosus kemudian keluar dari tengkorak.
Di leher turun ke bawah melalui tulang hioid. Membelok ke medial dan menuju ke
lidah. Dalam perjalanan melewati arteria karotis interna dan eksterna, dan terletak
dibawah otot digastrikus dan stilohiodeus.
Otot-otot lidah yang menggerakkan lidah terdiri dari muskulus stiloglosus,
hipoglosus, genioglosus, longitudinalis inferior dan longitudinalis superior. Semua
otot dipersarafi nervus hipoglosus. Kontraksi otot stiloglosus mengerakkan lidah
keatas dan ke belakang. Jika otot genioglosus berkontraksi, lidah keluar dan menuju
ke bawah. Kedua otot longitudinal memendekkan dan mengangkat lidah bagian garis
tengah. Dan otot hipoglosus menarik lidah ke belakang dan ke bawah.
Serabut saraf berasal dari medulla dan keluar dari kranial melalui kanal
hipoglossal. Hanya mengandung serabut somatomotorik yang menginervasi otot
ekstrinsik dan intrinsik lidah. Fungsi otot ekstrinsik lidah ialah menggerakkan lidah,
dan otot intrinsik mengubah ubah bentuk lidah. Inti saraf ini menerima serabut dari
korteks traktus piramidalis dari satu sisi kontralateral.
Test Nervus XII (Hypoglosus) yaitu :

Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan

Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)


27

Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan minta
untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

Pada lesi LMN, maka akan tamapk adanya atrofi lidah dan fasikulasi (tanda dini
berupa perubahan pada pinggiran lidah dan hilangnya papil lidah) Pemeriksaannya
sbb :
a. Menjulurkan lidah. Pada lesi unilateral, lidah akan berdeviasi kearah lesi.
Pada Bell,s palsy (kelumpuhan saraf VII) bisa menimbulkan positif palsu.
b. Menggerakkan lidah ke lateral. Pada kelumpuhan bilateral dan berat, lidah
tidak bisa digerkkan kearah samping kanan dan kiri.
c. Tremor lidah. Diperhatikan apakah ada tremor lidah dan atropi. Pada lesi
perifer maka tremor dan atropi papil positip
d. Articulasi Diperhatikan bicara dari penderita. Bila terdapat parese maka
didapatkan dysarthria.

28

Patologi dan Pemeriksaan :


29

Kelumpuhan nervus ini akan menimbulkan disartria, disfagia ringan, dan


kelainan saat menjulurkan lidah. Pada pemeriksaan amati apakah ada atrofi dan
mencongnya lidah. Jika ada lesi unilateral n. XII, lidah akan mencong ke arah lesi.
Apabila lesinya terjadi bilateral, lidah tidak dapat digerakkan atau dijulurkan. Selain
itu, juga didapatkan kesukaran bernapas akibat lidah yang jatuh ke belakang.

Interpretasi :
-

Normal : Deviasi
Kelainan : Deviasi +

Kasus :

Tuan C, 32 tahun, datang ke Rumah Sakit dengan slurred speech sejak 2 bulan

lalu.
Dia merasa lidahnya tidak simetris.
30

Hasil dan Pembahasan :


Hasil di video yang dapat ditemukan adalah:
- Ketika lidah dijulurkan berdeviasi ke kanan
- Atropi lidah kanan
- Kekuatan lidah kanan berkurang (di tes)
Pembahasan:
Untuk gerakan lidah, yang bertugas adalah n.XII (hipoglossus). Jika terjadi
lesi di n. hipoglossus kanan maka otot lidah bagian kanan akan lemah dan tidak
mampu melawan kekuatan dari otot kiri sehingga lidahnya akan mengarah ke kanan,
begitu juga sebaliknya.
Jadi untuk kasus 6, karena lidah berdeviasi ke kanan, artinya n. hipoglossus kananlah
yang mengalami kerusakan.
Kesimpulan :
Deviasi (+) pada tes n. hipoglossus.

Kasus 7

31

Pada video ini terjadi kelainan akibat dari kompresi dari radiks yang mengenai
kortiko spinal lateral yang mempersarafi

daerah lengan dimana terjadi tonus

berkurang akibat dari lesi yang terjadi di nervus radialis kelainan ini terjadi pada
LMN yang menyebabkan atrofia dan kelemahan tenaga otot-otot, yang berasal dari
miotoma C5 - C.7, yang menyusun otot-otot bahu (m, suprasinatus, m. Teres minor,
m.deltoideus, m. Infraspinatus, m.subskapulatis dan m.teres mayor), lalu ikut
membentuk sebagian muskulatur lengan atas (m.biseps brakii dan m.brakialis) dan
ikut menyusun juga sebagian dari otot-otot tangan, terutama yang menggerakan ibu
jari dan jari telunjuk

32

Kasus 8
Pada kasus ini terjadi kelumpuhan pada N. Radialis. Pada tangan kanan
kelumpuhannya lebih berat daripada tangan kiri, dapat dilihat dari kurangnya
kemampuan untuk meluruskan dan mengembangkan jari tangan.
Pada kelumpuhan N. Radialis, baik akibat lesi di bagian atas, maupun di
bagian bawahnya, yang paling jelas adalah kelumpuhan yang diperlihatkan oleh
tangan. Karena otot-otot ekstensor karpi radialis dan ulnaris lumpuh, maka tangan
tidak dapat melakukan gerakan dorsofleksi pada sendi pergelangan tangan. Lagi pula,
karena otot-otot ekstensor segenap jari (m. Ekstensor digitorum, m.ekstensor digiti
kuinti, m.ekstensor polisis longus/brevis dan m. Ekstensor indiksis proprius) lumpuh,
maka semua jari tangan tidak dapat diluruskan dan dikembangkan. Keadaan tangan
dan jari seperti yang dilukiskan itu dikenal sebagai drop hand dan drop fingers
(=seluruh tangan dan jari-jarinya bersikap menjulai).
Setelah fasikulus posterior memberikan cabang yang dinamakan nervus
aksilaris, maka ia melanjutkan perjalanannya ke lengan sebagai nervus radialis. Ia
33

membawakan serabut-serabut radiks dorsalis dan ventralis C5, C6, C7 dan C8. Otototot yang disarafi nervus radialis adalah m. Triseps, m. Ankoneus, m. Brakioradialis,
m. Ekstensor karpi radialis brevis, m. Supinator, m. Digitorum, m. Ekstensor digiti
kuinti, m. Ekstensor karpi ulnaris, ketiga m. Ekstensor polisis dan m. Ekstensor
indiksis.
N.radialis sering mengalami trauma pada 1/3 bagian bawahnya. Dalam hal itu
m.triseps dan m. Brakioradialis tidak terkena kelumpuhan. Sedangkan otot-otot
lainnya yang disarafi n. radialis menjadi lumpuh.
Lesi yang sering merusak bagian atas n. radialis adalah fraktur tulang
humerus, terutama bagian n. radialis yang melilit dari bagian dorsomedial tulang
humerus ke bagian ventrolateralnya. Bagian ini sering juga terkena penekanan dan
kehilangan fungsi sementara. Hal ini terjadi kalau tidur sambil duduk di kursi dengan
menempatkan ketiak pada sandaran kursi, lebih-lebih jika tertidur nyenyak karena
mabuk minuman keras. Hal ini memang sering terjadi pada orang-orang yang
berkunjung ke bar-bar pada malam minggu. Setelah banyak minum alkohol mereka
mabuk dan tertidur duduk di kursi atau bangku sambil merangkul sandarannya. Esok
harinya, mereka bangun dengan kelumpuhan pada lengan pada mana tangan menjulai
dan jari-jarinya tidak dapat dikembangkan. Gambaran penyakit tersebut dinamakan
Saturday night paralysis. Tangan yang menjulai dan tidak dapat didorsofleksikan
dikenal sebagai drop hand. Semua otot yang disarafi n. radialis tidak dapat
digerakkan, tetapi defisit sensorik yang mengiringi kelumpuhan itu hanya melanda
kulit dorsum manus selebar metakarpus pertama dan kedua.

Kasus 9
Berjalan/gait ada suatu proses kompleks yang dipengaruhi oleh sejumlah
mekanisme tubuh dan merupakan hasil dari kerjasama dari berbagai jenis refleks.
Berjalan secara normal biasanya tidak menarik perhatian. Gangguan berjalan dapat
dijumpai pada berbagai keadaan. Faktor-faktor mekanis seperti penyakit pada otot,

34

tulang, tendon, dan sendi berperan penting pada terjadinya gangguan berjalan.
Penyakit pada susunan saraf sangat sering menyebabkan gangguan berjalan, dan
kadang-kadang hanya dengan memperhatikan cara berjalan saja dapat ditentukan
adanya penyakit pada susunan saraf. Gangguan berjalan dapat merupakan akibat
gangguan sistem motorik dari berbagai tingkatan (korteks motorik dan jaras
dosendensnya, kompleks ekstra piramidal, serebelum, sel-sel kornu enterior, saraf
motorik perifer atau otot). Gangguan lain yang juga dapat menyebabkan
gangguan/perubahan cara berjalan adalah gangguan psiko motor (hiteria dan
malingering), gangguan kompleks vestibuler, gangguan pada saraf sensorik, kolumna
posterior, dan jaras averen serebeler.
Gangguan berjalan ini terdapat dalam hubungannya dengan foot drop dan
disebabkan oleh kelemahan atau paralisis dorsifleksi kaki dan/atau jari kaki. Waktu
jalan kaki bisa diseret atau diangkat tinggi untuk mengkompensasi foot drops.
Terdapat fleksi yang berlebihan pada panggul dan lutut, kaki dilemparkan kedepan
dan jari-jari turun dengan suara yang khas sebelum tumit atau bagian depan kaki
meneganai lantai. Pasen tidak dapat berdiri pada tumitnya. Gait ini bisa unilateral
atau bilateral. Penyebab yang paling sering adalah faresis tibialis anterior dan/atau
ekstensor digitorum danhallucis longus, yang disebabkan karena lesi pada nervus
peroneus komunis atau profunda, lesi pada segemen L4-S1 atau kauda ekuina. Foot
drops dan steppage gait bisa juga terdapat pada poliomyelitis, PSMA (progressive
spinal muscular attrophy), ALS, penyakit Charcot-Marie-Tooth, dan neuritis perifer.
Pembahasan:
Pada kasus ke-9 terlihat seorang pria mengangkat tinggi kaki saat berjalan,
dan juga sulit berdiri pada tumitnya. Pada baigan dorsofleksi terlihat tidak ada
pergerakan saat diminta untuk menggerakkannya. Sehingga kasus 9 pria ini
mengalami gangguan yang disebut the steppage gait.

35

Kasus 10
Gait distrofik (waddling gait)
Terdapat pada berbagai keadaan miopati dimana terdapat kelemahan pada
otot-otot gelang panggul. Paling khas terdapat pada distropi otot, tetapi dapat juga
pada miosists atau penyakit spinomuskuler. Berdiri dan berjalan dengan lordosis yang
berlebih, saat jalan terdapat goyangan yang nyata akibat kesulitan memfiksasi pelvis.
Pasien berjalan dengan langkah yang lebar dan terlihat rotasi pelvis yang berlebihan,
memutar atau melempar pelvisnya dari satu sisi ke sisi lainnya pada setiap langkah
untuk memindahkan berat badannya. Gerakan kompensasi bilateral ini terutama
disebabkan karena kelemahan otot-otot gluteal. Pasen sulit naik tangga, bila tidak
dibantu dengan tangan yang menarik keatas. Terdapat kesulitan berdiri dari posisi
berbaring atau duduk tanpa bantuan tangannya (mendaki pada dirinya sendiri).
Waddling gait ini juga terdapat pada dislokasi panggul.
Pembahasan:
Pada kasus 10, terlihat anak kecil yang berjalan jinjit, seperti bebek
(pinggulnya digoyangkan ke kanan dan ke kiri secara berlebihan). Terus dadanya
dibusungkan (lordosis berlebihan) kelainan ini disebut Myopathis gait (waddling).
Gait ini terjai karenan kelemahan otot-otot proksimal (otot gluteus), sehingga dia
tidak mampu mempertahankan posisi tegak. Kelemahan otot yang terjadi bisa karena
progressive muscular dystrophy, chronic spinal muscular atrophy. Inflammatory
myopathy, lumbar nerve root compression, atau congenital dislocation of the hips.
Pada saat berjalan normal, beban tubuh bertumpu pada kedua kaki, pinggul terfiksasi
oleh otot gluteus (terutama medius) sehingga gerakan pinggul (naiknya pinggul yang
berlawanan dengan kaki yang menapak) dapat ditekan . Pada kelemahan otot gluteus,
pinggulnya (pada kaki yang tidak menapak) tidak dapat dipertahankan, jadi menonjol
keluar berlebihan gitu, sehingga cara berjalan seperti bebek, atau biasa disebut
waddling.

36

Kasus 11
Pada kasus ini terlihat lidah tidak simetris, seperti:
-

Ketika lidah dijulurkan, lidahnya berdeviasi ke kanan

Atropi lidah kanan

Kekuatan lidah kanan berkurang (di tes)

Untuk gerakan lidah yang bertugas adalah nervus XII (hipoglossus) Jika terjadi Lesi
di nervus XII kanan maka otot lidah bagian kanan akan lemah dan tidak mampu
melawan kekuatan dari otot kiri sehingga lidahnya akan mengarah ke kanan, juga
sebaliknya. Jadi untuk kasus ini karena lidah berdeviasi ke kanan, artinya nervus XII
kanan yang mengalami kerusakan/lesi.
Kasus 12
Pergerakan bola mata dipersyarafi oleh tiga nervus, yaitu:
-

Oculomotorius (III) yang mempersyarafi m rectus medialis untuk pegerakan


bola mata ke arah media, musculus oblique inferior untuk menggerakkan bola
mata ke arah medial atas, dan musculus rectus inferior untuk pergerakan bola
mata lateral ke bawah.

Nervus trochlearis ( nervus IV) yang mempersarafi musculus oblique superior


untuk menggerakkan bola mata ke medial bawah.

Nervus abducens yang mempersarafi musculus rectus lateralis untuk


pergerakan bola mata ke arah lateral.

Pembahasan:
Pada kasus terlihat pasien sebagai berikut:
-

Ketika diminta melihat ke kiri, kedua mata bergerak secara simetris ke kiri

Ketika diminta melihat ke kanan, mata kiri bergerak ke kanan, sedangkan


mata kanan tidak dapat digerakkan.

Pada kasus ini, otot yang terkena adalah musculus rectus lateralis mata kanan.
Nervus yag terkena adalah nervus VI.

37

Diagnosis klinisnya adalah paralisis musculus rectus lateralis kanan yang


dipersarafi nervus abducens sehingga menyebabkan strabismus konvergen
(esotropia) tunggal kanan.

38

VII.

Rangkuman

1. Lesi LMN pada nervus fasialis akan menyebabkan kelumpuhan wajah bagian
atas dan bawah.
2. Lesi UMN pada nervus fasialis akan menyebabkan kelumpuhan hanya pada
wajah bagian bawah saja (mulut dan pipi)
3. Paralisis musculus Rectus lateralis yang dipersarafi nervus VI akan
menimbulkan strabismus konvergens.
4. Kelainan pada nervus III akan menimbulkan beberapa gejala seperti
strabismus divergen, ptosis, dan midrialis.
5. Kelainan nervus II akan menyebabkan midrialis pada refleks cahaya langsung
sedangkan pada nervus III akan terjadi kelainan baik pada refleks cahaya
langsung maupun tidak langsung.
6. Kelainan pada nervus XII tipe LMN akan menghasilkan ipsilateral dengan
temuan klinis berupa atropi lidah sisi lesi, lidah berdeviasi ke sisi lei dan
kekuatan lidah sisi lesi berkurang.

39

VIII.

Kesimpulan:
Kesimpulan yang didapatkan dari praktikum neurologi kali ini yaitu:

1. Kemampuan mahasiswa dalam mengenal gangguan fungsi sistem saraf


melalui pemutaran video pemeriksaan klinis neurologi semakin meningkat.
2. Pemahaman akan kaitan klinis (gejala dan tanda) gangguan sistem saraf
dengan neuroanatomi dan neurofisiologi semakin dalam.

40

Daftar Pustaka

Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan


Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC. 2009.

Mardjono, M, Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat,


2009. Hal.48.

Morton, Patricia Gonce. Panduan pemeriksaan kesehatan dengan dokumentasi


SOAPIE Edisi 2. Jakarta:EGC.2005.

Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis


Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2008.

Medical Neurosciences 731(online neuroscience resources) (dikutip 14 Nov


2013. Diunduh dari :
http://www.neuroanatomy.wisc.edu/virtualbrain/BrainStem/07CNXII.html

41

Anda mungkin juga menyukai