Anda di halaman 1dari 29

HALAMAN PENGESAHAN

Referat dengan judul:

LARINGITIS TUBERKULOSIS
Disusun oleh :
Yosia Handoko (406151058)
Febian Sandra (406138031)
Ines Syadza (406151026)
Patrick Gianny Warouw (406151073)
Manuel Gideon (406147013)
Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL periode 9 November 2015 5 Desember 2015 di
Rumah Sakit Umum Daerah Semarang.

Semarang, 26 November 2015


Pembimbing,

Dr. Bambang Agus Soesanto , Sp. THT-KL

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
referat ini dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Referat yang berjudul Laringitis Tuberkulosis ini merupakan salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran UNTAR di RSUD Semarang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Bambang Agus Prasetyo, Sp. THT-KL
dan dr. Djoko Prastyo Adi, Sp THT-KL yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam referat ini, baik susunan maupun materi
yang disajikan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, 26 November 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
KATA PENGANTAR............................................................................................ iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi
BAB I

PENDAHULUAN.................................................................................. 1

BAB II LARINGITIS TUBERKULOSIS.......................................................... 3


2.1. Anatomi Laring............................................................................. 3
2.2. Fisiologi Laring............................................................................. 9
2.3. Definisi.......................................................................................... 12
2.4. Epidemiologi................................................................................. 13
2.5. Etiologi.......................................................................................... 13
2.6. Patogenesis.................................................................................... 13
2.7. Gambaran Klinis........................................................................... 16
2.8. Diagnosis....................................................................................... 19
2.9. Diagnosis Banding........................................................................ 22
2.9. Penatalaksanaan............................................................................ 23
2.10. Prognosis....................................................................................... 25
2.11. Komplikasi.................................................................................... 25
BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 27

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Dosis Obat Anti Tuberkulosis.................................................................. 24

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Laring................................................................................... 4
Gambar 2. Sistem Arteri pada laring..................................................................... 8
Gambar 3. Sistem Vena pada Laring..................................................................... 8
Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring............................................................... 9
Gambar 5. Temuan Laringoskopi Laringitis pada Tuberkulosis........................... 18
Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis........................................................................ 21
Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru............................................................ 21
Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis................................................. 22

BAB I
PENDAHULUAN
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah laring.
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi, baik secara akut
maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun
waktu kurang dari 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis
kronis. Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah penyakit granulomatosa yang paling umum dari laring
dan seringkali dihubungkan dengan tuberkulosis paru aktif. Laringitis tuberkulosis
merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis paru. Pada awal abad ke-20, laringitis
tuberkulosis mengenai 25-30% pasien tuberkulosis paru. Sedangkan sekarang hanya 1%
kasus laringitis tuberkulosis.1 Penurunan kejadiaan laringitis tuberkulosis ini terjadi sebagai
akibat dari peningkatan perawatan kesehatan masyarakat dan perkembangan antituberkulosis
yang efektif.
Penderita dengan laringitis tuberkulosis biasanya datang dengan gejala, seperti
disfonia, odynophagia, dyspnea, odynophonia, dan batuk. Obstruksi pernafasan bisa terjadi
pada stadium lanjut penyakit. Pemahaman bahwa karsinoma laring juga sering menunjukkan
gejala serupa merupakan keharusan untuk mengevaluasi laringitis. Gejala pada saluran
pernapasan seperti batuk kronis, hemoptisis dan gejala sistemik seperti demam, keringat
malam, dan penurunan berat badan merupakan gejala-gejala umum yang sering dijumpai
pada pasien dengan tuberkulosis.2
Pada laringitis tuberkulosis proses inflamasi akan berlangsung secara progresif dan
dapat menyebabkan kesulitan bernapas. Kesulitan bernafas ini dapat disertai stridor, baik
pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya. Jika tidak segera diobati, stenosis dapat
berkembang, sehingga diperlukan trakeostomi. Akan tetapi, sering kali setelah diberi
pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini
terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi
yang tidak sebaik di paru, sehingga bila sudah mengeni kartilago, pengobatannya lebih lama.3
Oleh karena itu, pembahasan mengenai laringitis tuberculosis lebih lanjut diperlukan
agar dapat memberi pengetahuan mengenai cara diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat
guna mencegah komplikasi yang akan terjadi.

BAB II
6

LARINGITIS TUBERKULOSA
2.1.

Anatomi Laring
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
menelan makanan.4
Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang
berhubungan dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago
krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra
cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring, serta di
sebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah
lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid, dan lobus kelenjar
tiroid.3,4
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk seperti huruf U, yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendo
dan otot-otot. 3,4,5
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata dan kartilago tiroid.3,4,5
Pada laring terdapat dua buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,
ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid
lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum
ventrikularis, ligamentum vokal yang menghubungkan kartilago aritenoid dengan
kartilago tiroid dan ligamentum tiroepiglotika.3,4
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago
tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid
dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat
melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada
usia 2 tahun.3,4
7

Gambar 1. Anatomi Laring


Anatomi Bagian Laring Dalam
Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut:4
1. Supraglotis (vestibulum superior)
Yaitu ruangan diantara permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2. Glotis (pars media)
Yaitu ruangan yang terletak antara pita suara palsu dengan pita suara sejati serta
membentuk rongga yang disebut ventrikel laring Morgagni.
3. Infraglotis (pars inferior)
Yaitu ruangan diantara pita suara sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.
Beberapa bagian penting dari dalam laring:4
Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral
oleh plika ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m.
aritenoideus.
Rima Vestibuli.
Merupakan celah antara pita suara palsu.
8

Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus
vokalis dan basis kartilago aritenoidea.
Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk
oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.
Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago
epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.

Plika Pyriformis (Hipofaring)


Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.
Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.
Plika Ventrikularis (pita suara palsu)
Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan
tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.

Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)


Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari
ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu
dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
9

beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati,
disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.
Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh
ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima
belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut
intercartilagenous portion.

10

Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.4,5
1.

Nn. Laringeus Superior.


Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan
dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna yang kemudian akan
bercabang dua, yaitu : Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula,
epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara
sejati. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.
Konstriktor inferior.

2.

N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren).


Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat di
belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai perjalanan
yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu. Merupakan
cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia dan berjalan membelok
ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai
laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan:
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea

Pendarahan
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.4,5
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana
tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.

2. Arteri Laringeus Inferior


Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus
Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan
memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.
11

Gambar 2. Sistem Arteri pada Laring


Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea
Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.

Gambar 3. Sistem Vena pada Laring


Sistem Limfatik
Laring mempunyai tiga sistem penyaluran limfe, yaitu: 4,5
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe
esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring
dan menentukan terapinya.
12

Gambar 4. Sistem Limfatik pada Laring


2.2.

Fisiologi Laring
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut:3,6,7,8
1. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.
2. Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi.
13

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga


dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial
CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan
rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara
reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan
menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah
berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.
5. Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.
6. Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah
(M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)
mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta
menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah
dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah
makanan

atau

minuman

masuk

ke

saluran

pernafasan

dengan

jalan

menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis.

14

Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus


laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus
laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.
7. Fungsi Batuk.
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,
sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi.
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha
mengeluarkan benda asing tersebut.
9. Fungsi Emosi.
Perubahan emosi dapat menyebabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada
waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.
2.3.

Definisi
Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi,
baik secara akut maupun kronik. Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan
berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3
minggu dinamakan laringitis kronis.
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis
akut (common cold). Sedangkan laringitis kronik merupakan radang kronis laring
yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung
atau bronkitis kronis. Mungkin juga disebabkan oelh penyalahgunaan suara (vocal
abuse) seperti berteriak-teriak atau biasa berbicara keras.9
Laringitis kronis dibagi menjadi laringitis kronik non spesifik dan spesifik.
Laringitis kronik non spesifik dapat disebabkan oleh faktor eksogen (rangsangan fisik
oleh penyalahgunaan suara, rangsangan kimia, infeksi kronik saluran napas atas atau
bawah, asap rokok) atau faktor endogen (bentuk tubuh, kelainan metabolik).
Sedangkan laringitis kronik spesifik disebabkan tuberkulosis dan sifilis.10
Salah satu bentuk laringitis kronis spesifik adalah laringitis tuberkulosis.
Laringitis tuberkulosis adalah proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring
15

yang terjadi dalam jangka waktu lama yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosa.6
2.4.

Epidemiologi
Sebagaimana insidensi dan prevalensi tuberkulosis paru yang mengalami
penurunan, kejadian laringitis tuberkulosis juga mengalami penurunan, meskipun
kecenderungan peningkatan kejadian laringitis tuberkulosis dalam beberapa tahun
terakhir.11
Dulu, dinyatakan bahwa penyakit ini sering terjadi pada kelompok usia muda
yaitu 20 40 tahun. Dalam 20 tahun belakangan, insidens penyakit ini pada penduduk
yang berumur lebih dari 60 tahun jelas meningkat. Saat ini tuberkulosis dalam semua
bentuk dua kali lebih sering pada laki-laki dibanding dengan perempuan. Tuberkulosis
laring juga lebih sering terjadi pada laki-laki usia lanjut, terutama pasien-pasien
dengan keadaan ekonomi dan kesehatan yang buruk, banyak diantaranya adalah
peminum alkohol.12

2.5.

Etiologi
Hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati biasanya
tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru. Infeksi
laring oleh Mycobacterium tuberculosa hampir selalu sebagai komplikasi tuberkulosis
paru aktif, dan ini merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering.10,11,12

2.6.

Patogenesis
Laringitis tuberkulosis umumnya merupakan sekunder dari lesi tuberkulosis
paru aktif, jarang merupakan infeksi primer dari inhalasi basil tuberkel secara
langsung.10,11,12,13 Secara umum, infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara
pernapasan, sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui darah atau
limfe.9
Berdasarkan mekanisme terjadinya laringitis tuberkulosis dikategorikan
menjadi 2 mekanisme, yaitu:
1. Laringitis Tuberkulosis Primer
16

Laringitis tuberkulosis primer jarang dilaporkan dalam literatur medis.


Laringitis tuberkulosis primer terjadi jika ditemukan infeksi Mycobacterium
tuberculosa pada laring, tanpa disertai adanya keterlibatan paru. Rute penyebaran
infeksi pada laringitis tuberkulosis primer yang saat ini diterima adalah invasi
langsung dari basil tuberkel melalui inhalasi.13,14 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Shin dkk (2000), menyatakan bahwa sebanyak 40,6% pasien dengan
laringitis tuberkulosis memiliki paru yang normal.15
2. Laringitis Tuberkulosis Sekunder
Laringitis tuberkulosis sekunder terjadi jika ditemukan infeksi laring akibat
Mycobacterium tuberculosa yang disertai adanya keterlibatan paru. Laringitis
tuberkulosis sekunder merupakan komplikasi dari lesi tuberkulosis paru aktif.
Mekanisme penyebaran infeksi ke laring dapat berupa penyebaran langsung di
sepanjang saluran pernapasan dari infeksi paru primer berupa sputum yang
mengandung kuman maupun penyebaran melalui sistem darah ataupun limfatik. 9
Penyebaran Lewat Sputum (Bronkogen)
Penyebaran infeksi basil tuberkel ke laring melalui mekanisme bronkogenik
merupakan teori yang lazim dipahami. Adanya bronkogen dalam hal ini, sputum
yang mengandung bakteri M. tuberculosis mendasari patogenesis terjadinya
laringitis tuberkulosis. Terjadinya laringitis tuberkulosis dapat disebabkan oleh
tersangkutnya sputum yang mengandung basil tuberkulosis di laring, terutama
pada struktur posterior laring termasuk aritenoid, ruang interaritenoid, pita suara
bagian posterior dan permukaan epiglotis yang menghadap ke laring.11,12
Antigen dari basil TB yang berada di laring dicerna sel dendritik lalu dibawa
ke kelenjar limfe regional dan mempresentasikan antigen M. Tuberculosis ke sel
Th1. Th1 kemudian berproliferasi dan dapat kembali ke tempat awal infeksi.
Restimulasi oleh sel penyaji setempat menghasilkan produksi IFN dan
mengaktifasi makrofag. Bila eliminasi mikroorganisme ini gagal akan berlanjut
pada inflamasi kronik terjadi dimana patogen persisten di dalam tubuh, maka
terjadi pengalihan respon imun berupa reaksi hipersensitifitas tipe lambat
membentuk granuloma.16

17

Setelah kontak awal dengan antigen, sel Th disensitisasi, berproliferasi dan


berdiferensiasi menjadi sel DTH (delayed type hypersensitivity) dimana
pengerahan makrofag yang berkelanjutan akan membentuk sel-sel epitloid berupa
sel datia dalam granuloma.16
Tuberkel yang avaskular berisikan daerah perkijuan di tengah dikelilingi oleh
sel epiteloid dan di bagian perifer oleh sel-sel mononukleus. Kemudian tuberkeltuberkel ini bersatu membentuk nodul. Karena letaknya di subepitel, epitel yang
melampisinya mungkin hilang dan sering terjadi ulserasi dengan infeksi sekunder.
Proses ini pertama kali cenderung akan mengenai prosesus vokalis dan
epiglotis.11,12
Adanya tuberkel mungkin akan merangsang terjadinya hiperplasia epitel dan
jaringan fibrosis subepitel. Hal ini mungkin bermanifestasi pada daerah
interaritenoid berupa penebalan yang menyerupai pakiderma. Prosesus vokalis
mungkin di tutupi oleh nodul yang menyerupai morbili. Hal ini merupakan
manifestasi dari proses perbaikan karena hanya ditemukan sedikit perkijuan pada
lesi.11,12
Edema jelas pada keadaan lebih lanjut dan mungkin terjadi sebagai akibat
obstruksi jaringan limfe oleh granuloma. Edema dapat timbul di fossa
interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika vokalis, plika ventrikularis, epiglottis
serta terakhir ialah subglotik. Epiglotis dan jaringan ikat di atas aritenoid
merupakan tempat yang paling tampak edema.9,11,12
Penyembuhan tuberkulosis laring disertai oleh pembentukan kapsul jaringan
fibrosa dan jaringan menggantikan tuberkel.
Penyebaran Melalui Limfohematogen
Selain mekanisme bronkogenik, penyebaran M. tuberculosis pada laring dapat
juga melalui sistem limfohematogen. Penyebaran melalui sistem limfohematogen
biasanya mengenai laring anterior dan epiglotis.15
2.7.

Gambaran Klinis
Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium
yaitu:9,10,12
1. Stadium infiltrasi
2. Stadium ulserasi
18

3. Stadium perikondritis
4. Stadium pembentukan tumor
Stadium Infiltrasi
Mukosa laring bagian posterior mengalami pembengkakan dan hiperemis pada
bagian posterior, kadang-kadang dapat mengenai pita suara. Pada stadium ini mukosa
laring berwarna pucat.
Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga mukosa tidak
rata, tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel makin membesar dan beberapa
tuberkel yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa diatasnya meregang. Pada suatu
saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan terbentuk ulkus.
Stadium Ulserasi
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus ini dangkal,
dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan sangat nyeri oleh pasien.
Stadium Perikondritis
Ulkus makin dalam sehingga mengenai kartilago laring terutama kartilago
aritenoid dan epiglottis. Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga
terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut dan terbentuk sekuester. Pada
stadium ini pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat
bertahan maka proses penyakit berlanjut dan msuk dalam stadium terakhir yaitu
fibrotuberkulosis.
Stadium Fibrotuberkulosis
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, pita suara
dan subglotik.
Berdasarkan Shin dkk (2000), temuan pada laringitis tuberkulosis dapat
dikategorikan menjadi empat grup, antara lain (a) lesi ulserasi (40,9%), (b) lesi
inflamasi non spesifik (27,3%), (c) lesi polipoid (22,7%), dan (d) lesi massa
ulcerofungative (9,1%).14

19

Gambar 5. Temuan Laringoskopi pada Laringitis Tuberkulosis, A. Lesi Ulseratif (pada


seluruh laring), B. Lesi Granuloma (pada glotis posterior), C. Lesi Polyploid (pada
plika vokalis palsu kanan), D. Lesi Nonspesifik (pada plika vokalis kanan)
Gejala Klinis
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai berikut:
-

Rasa kering, panas, dan tertekan di daerah laring.

Suara parau yang berlangsung berminggu-miggu, sedangkan pada stadium lanjut


dapat timbul afoni.

Hemoptisis.

Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri karena
radang lainnya, merupakan tanda yang khas.

Keadaan umum buruk.

Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologis) terdapat proses aktif
(biasanya pada stadium eksudatif atau pada pembentukan kaverne).

2.8.

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat ditanyakan:
20

Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi gejala

Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat memicu
timbulnya laringitis seperti debu, asap.

Penggunaan suara berlebih

Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang


dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.

Riwayat merokok

Riwayat makan

Suara parau atau disfonia

Batuk kronis terutama pada malam hari

Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita suara

Disfagia dan otalgia

2. Gejala dan Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik, tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi,
sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi
dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak
sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia.
3. Laboratorium
-

Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH).
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (keesokan harinya)

21

Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari
berturut-turut.
-

Kultur kuman
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan TB
khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka
terhadap OAT yang digunakan.

4. Laringoskopi direk atau indirek


Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama di bagian atas dan bawah glotis.

Gambar 6. Laringitis Tuberkulosis


5. Foto toraks
Untuk melihat apabila terdapat pembengkakan dan adanya gambaran
tuberkulosis paru. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan
hasil yang lebih baik. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
-

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.

Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

22

Gambar 7. Foto Toraks Tuberkulosis Paru

6. Pemeriksaan patologi anatomi


Pada gambaran makroskopi tampak permukaan selaput lendir kering dan
berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebal
dan opaque, pembentukan granuloma, sel besar Langhans, serbukan sel radang
menahun pada lapisan submukosa.

Gambar 8. Histopatologi Laringitis Tuberkulosis


2.9.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding laringitis tuberculosis, antara lain:9,10,12
-

Laringitis luetika
Laringitis luetika seringkali memberikan gejala yang sama dengan laringitis
tuberkulosis. Akan tetapi, radang menahun ini jarang ditemukan. Laringitis luetika
terjadi pada stadium tertier dari sifilis, yaitu stadium pembentukan guma. Apabila
23

gma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus inimempunyai sifat yang khas, yaitu sangat
dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan
eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus tidak menyebabkan nyeri dan menjalar
sangat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi perikondritis.

Karsinoma laring
Karsinoma laring memberikan gejala yang serupa dengan laringitis
tuberkulosa. Serak adalah gejala utama karsinoma laring, namun hubungan antara
serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.

2.10.

Penatalaksanaan
1. Terapi non medikamentosa
-

Mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara.

Menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya


goreng-gorengan, makanan pedas.

Konsumsi cairan yang banyak.

Berhenti merokok dan konsumsi alkohol.

2. Terapi medikamentosa : Obat antituberkulosis (OAT)


Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu:
Obat primer:
-

INH (isoniazid)

Rifampisin

Etambutol

Streptomisin

Pirazinamid

Obat sekunder:
-

Exionamid

Paraaminosalisilat

Sikloserin

Amikasin

Kapreomisin
24

Kanamisin

Tabel 1. Dosis Obat Anti Tuberkulosis


Obat

Dosis harian

INH

Dosis 2x/minggu

Dosis 3x/minggu

(mg/kgbb/hari)
(mg/kgbb/hari)
5-15 (maks. 300 mg) 15-40 (maks. 900

(mg/kgbb/hari)
15-40 (maks. 900

Rifampisin

10-20 (maks. 600

mg)
10-20 (maks. 600

Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin

mg)
15-40 (maks. 2 g)
15-25 (maks. 2,5 g)
15-40 (maks. 1 g)

mg)
50-70 (maks. 4 g)
50 (maks. 2,5 g)
25-40 (maks. 1,5 g)

mg)
15-20 (maks. 600
mg)
15-30 (maks. 3 g)
15-25 (maks. 2,5 g)
25.40maks. 1,5 g)

3. Operatif
Tindakan operatif dilakukan dengan tujuan untuk pengangkatan sekuester.
Trakeostomi diindikasikan bila terjadi obstruksi laring.
Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat luabang pada dinding depan/anterior
trakea untuk bernafas. Trakeostomi dilakukan atas indikasi, berikut:
-

Mengatasi obstruksi laring

Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.

Mempermudah penghisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik.

Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).

Untuk menambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.

Trakeostomi pada kasus laringitis tuberkulosis dilakukan atas indikasi yaitu jika
terjadi obstruksi laring dan mengurangi ruang rugi di saluran napas bagian atas
seperti daerah rongga mulut, sekitar lidah, dan faring.
2.11.

Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta
ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.4,5

25

2.12.

Komplikasi
Pada laringitis akibat peradangan yang terjadi dari daerah lain maka dapat
terjadi inflamasi yang progresif dan dapat menyebabkan kesulitan bernafas. Kesulitan
bernafas ini dapat disertai stridor baik pada periode inspirasi, ekspirasi atau keduanya.
Pada laringitis tuberkulosis dapat terjadi sekuele, di antaranya stenosis glotis
posterior, stenosis subglotis, paralisis plika vokalis, dan persisten disfonia

26

BAB III
KESIMPULAN
Tuberkulosa laring hampir selalu disebabkan tuberkulosis paru. Setelah diobati
biasanya tuberkulosis paru sembuh namun laringitis tuberkulosisnya menetap, karena struktur
mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi tidak sebaik paru, sehingga bila
sudah mengenai kartilago, pengobatannya lebih lama.
Secara klinis tuberkulosa laring terdiri dari 4 stadium, yaitu : stadium infiltrasi,
stadium ulserasi, stadium perikondritis, stadium pembentukan tumor (fibrotuberkulosis).
Diagnosa laringitis tuberculosis ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, gejala dan
pemeriksaan fisik, laringoskopi direct dan indirect, laboratorium, foto toraks, dan
pemeriksaan patologi anatomi.
Terapinya

dibagi

menjadi

medikamentosa

dan

pembedahan.

Terapi

non

medikamentosa yaitu mengistirahatkan pita suara dengan cara pasien tidak banyak berbicara,
menghindari iritan yang memicu nyeri tenggorokan atau batuk misalnya goreng-gorengan,
makanan pedas, konsumsi cairan yang banyak, berhenti merokok dan konsumsi alkohol.
Sedangkan terapi medikamentosa adalah OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Terapi
pembedahannya pengangkatan sekuester dan trakeostomi bila terjadi obstruksi laring.
Prognosisnya tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat
serta ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yvette E Smulders, dkk. Laryngeal tuberculosis presenting as a supraglottic carcinoma:
a case report and review of the literature. Smulders et al; licensee BioMed Central Ltd.
2009
[Diakses
tanggal
28
April
2012].
Didapatkan
dari:
http://www.jmedicalcasereports.com/content/3/1/9288

27

2. Gupta, Summer K, Gregory N. Postma, Jamie A. Koufman. Laryngitis. Dalam: Bailey,


Byron, Johnson, Jonas T. editor. Head & Neck Surgery Otolaryngology, edisi ke-4.
Newlands: Lippincott William & Wilkins; 2006. Hal 831-832.
3. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala Leher: Disfonia. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008. Hal 231-234
4. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head and
neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran: Anatomi Laring. Edisi
keenam. Jakarta: EGC; 2006. Hal 805-813.
6. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Pentakit THT, Edisi keenam. Jakarta:
EGC; 1999. Hal 369-377
7. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery .
Eight edition. Connecticut: McGraw-Hill; 2003. Hal 724-736, 747, 755-760.
8. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey. Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1. Philadelphia: Lippincot Williams and
Wilkins; 2001. Hal 479-486.
9. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Teggorok Kepala
Leher : Kelainan Laring, Edisi keenam. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2008. Hal 238-241
10. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokteran, Laringitis, Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius; 2006. Hal 126-127
11. Probst, Rudolf, Gerhard Grevers, Heinrich Iro. Basic Otorhinolaryngology : Infectious
Disease of Larynx and Trachea. New York: Thieme; 2006. Hal 354-361
12. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher, Penyakit
Granulomatosis Kronik Laring, Edisi ketigabelas. Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; hal
547-558
13. Keyvan Kiakojuri, Mohammad Reza Hasanjani Roushan. Laryngeal tuberculosis without
pulmonary involvement. Caspian J Intern Med 3(1): Winter 2012: 3(1): 397-399.
28

14. Mehndirattan, Anil, Pravin Bhatn, Lamartine DCosta. Primary tuberculosis of Larynx.
Ind J tub 1997. 44.211. Didapat dari: http://lrsitbrd.nic.in/IJTB/Year%201997/Octuber
%201997/OCT1997%20J.pdf

15. Shin JE, Nam SY, Yoo SJ, Kim SY. Changing trends in clinical manifestations of
laryngeal tuberculosis. Laryngoscope 2000; 110: 1950-1953s.
16. Baratawijdaja KG. Imunologi Dasar Edisi 7. Balai penerbit FK UI. Jakarta. 2006; h. 145,
170-173.

29

Anda mungkin juga menyukai