Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

PENYAKIT DALAM

DIABETES MELITUS + PENYAKIT JANTUNG KORONER

DAN DECOMPENSASI JANTUNG

Oleh:

dr. ALBION SANDY LOKAWIJAYA

Pembimbing :

Dr. HENDRIK, Sp.PD

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.SOEROTO

KABUPATEN NGAWI

2017
1
Laporan kasus

Nama Peserta : dr. Albion Sandy Lokawijaya


Nama Wahana : RSUD dr. Soeroto Ngawi
Topik : DM Hiperglikemia + Penyakit jantung koroner OMI anteroseptal +Decompensasi
Cordis
Tgl. Kasus : 30 Juli 2017
Nama Pasien : Ny.PSD
No. RM : 266708
Tanggal Presentasi : Nama Pembimbing :
30 Agustus 2017 Dr.Hendrik Sp.PD
Obeyektif Presentasi :
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil
Deskripsi : Pukul 19.10
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada sejak tadi siang, batuk-batuk, muntah (-), nyeri
perut kanan bawah, susah BAB, sesak nafas
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : DM (+)
Tujuan :
Penegakan diagnosis penyakit jantung koroner dan Penatalaksanaan penyakit jantung koroner
Bahan Bahasan o Tinjauan Pustaka o Riset o Kasus o Audit
Cara Pembahasan o Diskusi o Presentasi dan Diskusi o E-mail o Pos
Data Pasien Nama : Ny. PSD
Bangsal : ICU Telp. : 081219265692 Terdaftar Sejak : 30 Juli 2017
DATA UTAMA UNTUK BAHAN DISKUSI
Gambaran Klinis :
Keluhan Utama :
Nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan nyeri dada seperti tertusuk benda tajam dan menjalar ke lengan kiri disertai
sesak nafas, sesak nafas memburuk saat pasien berbaring dan membaik ketika berbaring dengan bantal yang
tinggi (30’), nafas sering tapi pendek sejak siang tadi, sejak 3 hari yang lalu pasien mengeluh batuk-batuk,
mual tapi tidak sampai muntah, pasien juga mengeluh susah BAB dan belum kentut sejak 1 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus (kurang lebih 10 tahun)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien menyangkal ada keluarga yang sakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi pada keluarga : diakui (ayah)

Riwayat Pengobatan :
Memiliki riwayat berobat Diabetes (tidak rutin minum Glibenclamid) dan hipertensi (tidak rutin minum
Captopril)
Riwayat kebiasaan :
Merokok (-), minum-minuman beralkohol atau jamu-jamuan disangkal pasien

2
Pemeriksaann Fisik :
1. Keadaan Umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Compos mentis (GCS 4/5/6)
3. Vital Sign :
TD : 140/90 mmHg
Nadi :121x/m reguler
Suhu : 36,00C
RR : 28x/m
SpO2: 95%
4. Kepala
Bentuk mesocepal, rambut tidak mudah dicabut
5. Mata
Conjunctiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), pupil : 3mm/3mm , refleks cahaya (+/+)
6. Telinga
Bentuk normotia, sekret (-), pendengaran berkurang (-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (+), sekret (-), epistaksis (-)
8. Mulut dan Tenggorokan
Cianosis (-), gusi berdarah (-), tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-)
9. Leher
trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-) JVP : 5 + 5 cmH2O
10. Thorax
Pulmo
Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri, irama reguler, otot bantu nafas (-), pola
nafas abnormal (-)
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar versikuler (+/+), suara tambahan : Wh (-/-), Rh (+/+), stridor (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak pada ICS V anterior axillary line
Palpasi : ictus cordis kuat angkat teraba pada ICS V anterior axillary line
Perkusi : batas jantung kiri melebar sampai anterior axillary line
Auskultasi : BJ I dan II intensitas normal, reguler, gallop pada ICS IV linea sternalis sinistra dan
ICS V anterior axillary line
11. Abdomen
Inspeksi : tidak terlihat masa
Palpasi : supel, hepar teraba membesar 1 jari di bawah arcus costae, pembesaran lien (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
12. Ekstremitas
Akral hangat (-), edema (-)
Intake cairan 147cc output 500cc balance 353cc
Laboratorium :
Darah lengkap : WBC 9.78 x 10^3 HCT 37,3%
RBC 5.02 x 10^6 PLT 269 x 10^3
HB 11,9 g/dl
Kimia Klinik :SGOT 35, SGPT 36, Albumin 3.90, Ureum 39, Creatinin 0.97, Gula darah sewaktu 588 mg/dl

3
EKG :

Kesimpulan : Gel QS di lead V1-V4- OMI Anteroseptal


Diagnosis Kerja : DM Hiperglikemia + Pjk OMI anteroseptal +suspect decompensasi cordis
Diagnosis Banding : Heart burn

Penatalaksanaan :
1. Non Medika Mentosa
- Kurangi aktvitas
- Tirah baring
- Intake cairan dibatasi
2. Medika Mentosa
- O2 4 liter per menit -ISDN 2x5mg

4
- Infus Normal saline 8 tetes/menit -Digoxin 1x1 tab
- Inj. Furosemid 3x1 amp -Clopidogrel 1x1 tab
- Inj. Ceftriaxone 2x1 amp - Ambroxol syr 3xcthI
- Inj. Esomeprazol 1x1 amp
- RCI 3x4
- EKG lagi besok pagi
- MRS ICU/HCU Mawar
Prognosis
- Ad vitam : ad bonam
- Ad fungsionam : ad bonam
- Ad sanationam : ad bonam

Follow up :
31 Juli 2017
S : Pasien mengeluh sesak nafas (ampeg), nyeri dada membaik
O : GCS : 4-5-6 compos mentis
Tekanan darah 113/80 mmhg, Nadi 82 x/menit, spO2: 97%, RR 29 x/menit, suhu 36,3 ‘C
Lab : GDA 489 mg/dl (pukul 06.00), 255 mg/dl (20.00)
intake 916cc output 1700cc balance 784cc (tgl 31 Juli)
A : DM hiperglikemia + Pjk OMI anteroseptal + Decompensasi cordis
P : O2 3-4 liter/menit, Infus PZ 8 tetes/menit, inj Ceftriaxon 2x1, inj esomeprazol 1x1, inj Furosemid 3x1,
syringe pump Insulin 4 unit/jam
Oral : ISDN 2x5 mg, Digoxin 0-1-0, Clopidogrel 0-0-1, Ambroxol syr 3xcthI
Foto Thorax PA hari ini

HASIL FOTO THORAX


PA
1 Agustus 2017
S : dada terasa sesak (ampeg)
O : KU: lemah GCS 4-5-6
Tekanan darah 120/72 mmhg, Nadi 81 x/menit, RR 32 x/menit, suhu 36 ‘C, spO2 96%
intake 144cc output 200cc balance 56cc (tgl 1 Agustus pukul 07.00-12.00)
GDA : 119 mg/dl ( pukul 06.00)

5
A : Diabetes Melitus + Decompensasi Cordis + Penyakit Jantung koroner
P : O2 3-4 liter/menit, Infus PZ 8 tetes/ menit, Inj Ceftriaxon 2x1 amp, Inj Furosemid 3x1 amp, Inj
esomeprazol 1x1 amp, Lantus 1x10 unit, Apidra 3x6 unit
Obat oral : ISDN 2x5 mg, Digoxin 0-1-0, Clopidogrel 0-0-1, Ambroxol 3xcthI
ACC pindah ruangan Mawar

2 Agustus 2017
S : Sesak nafas, nyeri dada saat bernafas, batuk (+), makan minum baik, belum BAB sejak MRS, flatus (+),
Mual dan muntah (-)
O : KU lemah, GCS 4-5-6
Tekanan darah 120/80, Nadi 88x/menit, RR 30 x/menit, suhu 36,5 ‘C
GDP 349 mg/dl (pukul 05.00)
A : Decompensasi Cordis + penyakit jantung koroner + DM Hiperglikemia
P : Infus NS 8 tetes/menit
Inj Furosemid 3x2 amp, Ceftriaxon 2x1 amp, Esomeprazol 1x1 amp, Santagesic 3x1 amp
PO ISDN 2x5 mg, Digoksin 1x1, Clopidogrel 1x1, Ambroxol syr 3xxthI, Lactulosa syr 3x1
Lantus 1x12 unit, Apidra 3x 8 unit
Jam 14.00  pasien BAB pertama kali saat MRS setelah minum obat lactulosa

3 Agustus 2017
S : Nyeri dada (-), Sesak nafas (ampeg) (-), mual muntah (-), batuk jarang-jarang, makan minum baik, BAB
lancar
O : KU: cukup, GCS 4-5-6
Tekanan darah 130/70 mmhg, Nadi 100 x/menit, RR 20 x/menit, suhu 36 ‘C
GDA 194 mg/dl (pukul 05.00)
A : Diabetes Melitus, Penyakit jantung koroner, Decompensasi Cordis
P : Infus NS 8 tetes/menit
Inj Furosemid 3x2 amp, Ceftriaxon 2x1 amp, Esomeprazol 1x1 amp, Santagesic 3x1 amp
PO ISDN 2x5 mg, Digoksin 1x1, Clopidogrel 1x1, Ambroxol syr 3xxthI, Lactulosa syr 3x1
Lantus 1x12 unit, Apidra 3x 8 unit
O2 aff

4 Agustus 2017
S : Nyeri dada (-), Sesak nafas (-), Batuk jarang, Makan minum baik, BAB lancar, BAK lancar.
O : KU cukup, GCS 4-5-6
Tekanan darah 120/70 mmhg Nadi 72 x/menit RR 19 x/menit suhu 36,8 ‘C GDA 129 mg/dl
A : Decompensasi Cordis + PJK + Diabetes Melitus
P : Infus NS 8 tetes/menit
Inj Furosemid 3x2 amp, Ceftriaxon 2x1 amp, Esomeprazol 1x1 amp, Santagesic 3x1 amp
PO ISDN 2x5 mg, Digoksin 1x1, Clopidogrel 1x1, Ambroxol syr 3xcthI, Lactulosa syr 3x1
Lantus 1x12 unit, Apidra 3x 8 unit, Kateter aff

5 Agustus 2017
S : kadang dada ndredeg,sesak (-), batuk jarang, nyeri perut berkurang, BAB lancar, BAK lancar
O : KU : lemah GCS: 4-5-6
Tekanan Darah 120/70 mmhg, Nadi 75 x/menit, RR 24 x/menit, suhu 36 ‘C GDA 100 mg/dl
A : Decompresi Cordis + Penyakit Jantung Koroner + Diabetes Melitus
P : PO Furosemid 1-0-0 ISDN 2x5 mg, Digoksin 1x1, Clopidogrel 1x1, Ambroxol syr 3xcthI
Lantus 1x12 unit, Apidra 3x 8 unit
Pasien KRS

6
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELITUS
1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
2. Klasifikasi dan Etiologis
DM dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori klinis, DM tipe 1, DM tipe 2 dan DM tipe
tertentu:
-DM tipe 1
DM tipe 1 atau IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus), dapat terjadi
disebabkan karena adanya kerusakan sel-β, biasanya menyebabkan kekurangan insulin
absolute. DM tipe 1 terjadi sebanyak 5-10% dari semua DM. DM tipe 1 ditandai dengan
onset yang akut dan biasanya terjadi pada usia sebelum 30 tahun.
-DM tipe 2
DM tipe 2 atau NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus), dapat terjadi
karena kerusakan progresif sekretorik insulin atau akibat resistensi insulin. DM tipe 2
mengenai 90-95% pasien dengan DM. Insidensi terjadi lebih umum pada usia di atas 30
tahun, berhubungan dengan obesitas, herediter dan faktor lingkungan. DM tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.
-DM tipe tertentu
DM tipe ini dapat terjadi karena penyebab lain, misalnya, defek genetik pada fungsi
sel-β, defek genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik dan
pankreatitis), penyakit metabolik endokrin, infeksi, sindrom genetik lain dan karena
disebabkan oleh obat atau kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)
Klasifikasi Etiologis DM (ADA, 2014) :
1. Diabetes Melitus Tipe 1 : (Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut): a. Melalui proses imunologik b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 : (Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin
disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama
resistensi insulin)
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek Genetik fungsi sel Beta :
1) Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3)

7
2) Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
3) Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)
4) Kromosom 13, insulin Promoter faktor -1 (IPF-1, dahulu MODY4)
5) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)
6) Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)
7) DNA Mitochondria, dan lainnya
b. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rhabson
Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya
c. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, fibrosis kistik,
hemokromatosis, pankreatopati fibro, kalkulus, dan lainnya
d. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma, hipertiroidisme
somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid,
diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilatin, interferon alfa
f. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya
g. Imunologi (jarang) : Sindrom “Stiff-man”, antibody anti reseptor insulin
h. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, Sindrom
Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, Chorea Hutington, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes kehamilan
3.Faktor Risiko
Menurut PERKENI (2011), faktor risiko DM tipe 2 terdiri dari faktor risiko yang
tidak bisa dimodifikasi, yang bisa dimodifikasi dan faktor lain yang terkait dengan risiko DM
tipe 2.
1. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu:
a. Ras dan etnik b. Riwayat keluarga dengan DM
c. Umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya
umur, umur >45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM)
d. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah
menderita gestasional
e. Riwayat lahir dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir dengan berat
badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat
badan normal)
2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu:
a. Berat badan lebih (IMT >23kg/m²) b. Kurangnya aktivitas fisik

8
c. Hipertensi (140/90mmHg) d. Dislipidemia (HDL>35mg/dL dan atau
trigliserida>250mg/dL)
e. Diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan
meningkatkan risiko menderita prediabetes atau intoleransi glukosa dan DM tipe 2
3. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM tipe 2 yaitu:
a. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
b. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
c. Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung
koroner (PJK) atau Peripheral Arterial Diseases
4. Patofisiologi
DM tipe 2 merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama terjadinya
hiperglikemik kronik. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan
memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe 2. Faktor genetik ini akan
berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya hidup, obesitas, rendahnya aktivitas
fisik, diet dan tingginya kadar asam lemak bebas (PAD) (PERKENI, 2011).
Mekanisme terjadinya DM tipe 2 umumnya disebabkan karena resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berikatan dengan reseptor khusus pada
permukaan sel, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel
Resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan. Untuk mengatasi peningkatan jumlah glukosa dalam darah, terjadi peningkatan
jumlah insulin yang disekresikan dan hal ini akan semakin memperberat kerja pankreas
sehingga akan memperberat resistensi insulin yang terjadi dan kerusakan sel beta pancreas
Pada penderita gangguan toleransi glukosa terjadi sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin,
maka kadar glukosa darah akan meningkat dan terjadi DM tipe 2.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas DM tipe2.
Namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan
lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol akan
menimbulkan masalah akut lainnya seperti sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non-
Ketotik (HHNK)
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan
progresif, maka DM tipe 2 sring tidak terdeteksi. Gejala yang sering dialami pasien, seperti:
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama-lama sembuh.,
konsekuensi tidak terdeteksinya penyakit DM selama bertahun-tahun adalah kelainan
vaskuler perifer yang sering mendahului diagnosis DM.komplikasi DM jangka panjang

9
(misalnya, kelainan mata, neuropati perifer, kelainan vascular perifer) mungkin terjadi
sebelum diagnosis ditegakkan
5. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel Kriteria diagnosis DM
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak
ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
(Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP,
sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan
HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi
darah 2-3 bulan terakhir, kondisikondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan
gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi.)
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke
dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa
darah puasa terganggu (GDPT).
1.Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl
2.Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

10
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi
medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi
metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat,
atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara
mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri
tersebut dapat dilakukan setelah mendapat pelatihan khusus.
6.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian
dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM
secara holistik . Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang
meliputi:
o Materi tentang perjalanan penyakit DM.
o Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.
o Penyulit DM dan risikonya.
o Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.
o Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral
atau insulin serta obat-obatan lain.
o Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia).
o Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia. o Pentingnya latihan jasmani
11
yang teratur.
o Pentingnya perawatan kaki.
o Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder dan /
atau Tersier, yang meliputi:
o Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
o Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
o Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
o Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
o Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit).
o Hasil penelitian, pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM
. o Pemeliharaan/perawatan kaki.

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:
- Mengikuti pola makan sehat.
- Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
- Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman
dan teratur.
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
- Melakukan perawatan kaki secara berkala.
- Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat.
- Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk
mengerti pengelolaan penyandang DM.
- Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:
- Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan.
- Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana dan

12
dengan cara yang mudah dimengerti.
- Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.
- Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien.
Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang
diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium.
- Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima.
- Memberikan motivasi dengan memberikan penghargaan.
- Melibatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi.
- Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien
dan keluarganya.
- Gunakan alat bantu audio visual.

6.2 Terapi Nutrisi Medis (TNM)


TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara
komprehensif(A). Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna
mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap
penyandang DM.
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi masing-masing individu. Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama pada
mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin atau terapi insulin itu
sendiri.
A. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
o Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
o Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
o Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
o Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
o Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
o Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori
sehari.
 Lemak
o Asupan lemak dianjurkan sekitar 20- 25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Komposisi yang dianjurkan:
◊ lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
◊ lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
◊ selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
o Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak

13
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.
o Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
Protein
o Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
o Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
o Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein
menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65%
diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah
menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
Natrium
o Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat
yaitu <2300 mg/hari.
o Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
o Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
o Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacangkacangan, buah
dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
o Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai
sumber bahan makanan.
Pemanis Alternatif
o Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(Accepted Daily Intake/ADI).
o Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis
tak berkalori.
o Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai
bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
o Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
o Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat
meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah
dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
o Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose, neotame.

B. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur,

14
aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan
ideal adalah sebagai berikut:
-Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi:
o Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB
dalam cm - 100) x 1 kg.
Normal: BB ideal ± 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 % Gemuk: lebih dari
BBI + 10 %
- Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/TB(m2 ) Klasifikasi IMT*
o BB Kurang <18,5 o BB Normal 18,5-22,9
o BB Lebih ≥23,0
◊ Dengan risiko 23,0-24,9
◊ Obes I 25,0-29,9
◊ Obes II ≥30
6.3 Jasmani
Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila
tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani
dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari
berturut-turut.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah 250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan
jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk dalam latihan
jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung maksimal)(A) seperti:
jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
6.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.

15
1. Obat Antihiperglikemia oral

16
2. Obat Antihiperglikemia Suntik
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi
insulin dan agonis GLP-1.
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
§ HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
§ Penurunan berat badan yang cepat
§ Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
§ Krisis Hiperglikemia
§ Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
§ Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut)
§ Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
§ Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
§ Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
§ Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

17
3.Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian
obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis

18
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi
tiga obat antihiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin
kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin
kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10
unit. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan(pada umumnya 2 unit)
apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana
kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat
insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.
4.Monitoring
Pada praktek sehari-hari, hasil pengobatan DMT2 harus dipantau secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
§ Mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
§ Melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi
Waktu pelaksanaan pemeriksaan glukosa darah:
§ Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa
§ Glukosa 2 jam setelah makan, atau
§ Glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan
kebutuhan.
b. Pemeriksaan HbA1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai HbA1C), merupakan
cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya.
Untuk melihat hasil terapi dan rencana perubahan terapi, HbA1c diperiksa setiap 3
bulan, atau tiap bulan pada keadaan HbA1c yang sangat tinggi (> 10%). Pada pasien
yang telah mencapai sasran terapi disertai kendali glikemik yang stabil HbA1C
diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun (E). HbA1C tidak dapat dipergunakan
sebagai alat untuk evaluasi pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,
riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, keadaan lain yang mempengaruhi umur
eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan
menggunakan darah kapiler. Saat ini banyak didapatkan alat pengukur kadar glukosa
darah dengan menggunakan reagen kering yang sederhana dan mudah dipakai. Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh
kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara
standar yang dianjurkan. Hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu
dibandingkan dengan cara konvensional secara berkala. PGDM dianjurkan bagi
pasien dengan pengobatan suntik insulin beberapa kali perhari atau pada pengguna
obat pemacu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada

19
tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu
yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (untuk menilai
ekskursi glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di
antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa
gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.
4.1 Kriteria Pengendalian DM

7. Diabetes dengan Sindrom Koroner Akut (SKA)


SKA merupakan suatu kegawatan medis yang diakibatkan penurunan perfusi jaringan
jantung akibat penyempitan hingga penyumbatan arteri koroner. Pasien dengan SKA
memberikan gambaran klinis nyeri dada sebelah kiri yang menjalar ke area sekitar. SKA
diklasifikasikan berdasarkan gambaran EKG dan pemeriksaan laboratorium, yaitu SKA
dengan elevasi segmen ST (STEMI) hingga SKA tanpa peningkatansegmen ST (Non-STEMI
atau angina pektoris tidak stabil).
Faktor-faktor pada pasien DM yang dapat meningkatkan resiko SKA, di antaranya:
terjadinya akselerasi atherosklerosis, prothrombic state, dan disfungsi autonomik. Pasien DM
yang mengalami sindrom koroner akut beresiko sering mengalami silent infarct, dimana
keluhan klasik nyeri dada tidak muncul pada pasien.
Rekomendasi pengobatan pasien dengan DM dan SKA:
a. Aggressive anti-thrombotic therapy
§ Terapi antiplatelet:
o Aspirin adalah terapi dasar pada SKA
o Clopidogrel masih kurang didokumentasikan pada pasien
DM, tapi termasuk pilihan penting.
o Terapi kombinasi aspirin dan klopidogrel dapat digunakan
sampai setahun setelah SKA.
o Terapi antiplatelet yang baru, sebagai contoh prasugrel,
menunjukan keuntungan yang potensial pada pasien DM
§ Terapi antikoagulan menggunakan unfractionated heparin dan
enoxaparin disarankan

20
b. Early invasive angiography
§ Pada MI dengan STEMI, segera dilakukan percutaneous coronary
intervention (PCI), konsultasikan dengan spesialis jantung.

PENYAKIT JANTUNG KORONER


1. Anatomi Pembuluh Darah Jantung

2. Fisiologi Aliran darah Koroner


Aliran darah koroner yang normal pada manumur rata-rata sekitar 225 mililiter/menit,
dimana jumlah ini sekitar 4-5% dari jumlah curah jantung total. Selama aktivitas berat,
jantung orang dewasa muda meningkat curah jantungnya menjadi 4-7 kali lipat dan
memompa darah melawan tekanan arteri yang lebih tinggi dari normalnya. Akibatnya, kerja
jantung dalam kondisi yang berat meningkat 6-9 kali lipat. Pada waktu yang sama, aliran

21
darah koroner meningkat 3-4 kali lipat untuk menyuplai nutrisi lebih banyak yang dibutuhkan
jantung, tetapi ini tidak sebanding dengan kerja jantung yang meningkat dimana berarti rasio
energi yang dikeluarkan jantung dengan aliran darah koroner meningkat. Jadi, efisiensi energi
oleh digunakan jantung meningkat dan tidak sebanding dengan suplai darah yang relatif
kurang. (Guyton & Hall,2006)
Nutrisi tidak dapat berdifusi cukup cepat dari darah di ruang jantung untuk menyuplai
seluruh lapisan sel yang menyusun dinding jantung. Alasan inilah yang membuat miokardium
memunyai jaringan pembuluh darah sendiri, yaitu sirkulasi aliran darah koroner
(Tortora,2009). Aliran darah koroner yang melewati ventrikel kiri menurun sampai jumlah
yang minimal ketika otot jantung berkontraksi karena pembuluh darah kecil, terutama di
daerah miokardium terkompresi oleh kontraksi otot jantung. Aliran darah pada arteri koroner
kiri selama fase sistol hanya 10-30 % dari jumlah darah ketika fase diastol dimana otot
jantung mengalami relaksasi dan banyak aliran darah terjadi. Efek kompresi dari sistol pada
aliran darah koroner sangat kecil pada atrium kanan sebagai akibat dari tekanan ventrikel
yang lebih rendah sehingga kompresi pada arteri koronernya sangat sedikit.
Perubahan aliran darah koroner selama siklus jantung pada orang yang sehat tidak
terlalu berdampak walaupun sewaktu aktivitas berat. Berbeda dengan orang yang memiliki
gangguan pada arteri koroner, sedikit peningkatan denyut jantung yang mengurangi waktu
diastol, akan mengganggu aliran darah koroner. Otot jantung mendapat perfusi nutrisi dari
permukaan epikardial (luar) ke permukaan endokardial (dalam). Selama sistol, gaya kompresi
lebih berefek pada aliran darah koroner pada lapisan miokardium dimana gaya kompresi
lebih tinggi dan tekanan pembuluh darah jantung lebih rendah sehingga aliran darah koroner
bagian miokardium menurun (Williams & Wilkins,2013). Tetapi pembuluh darah besar pada
pleksus subendokardial yang normal dapat mengompensasi hal tersebut (Guyton &
Hall,2006). Menurut Guyton & Hall (2006), ada beberapa hal yang mempengaruhi aliran
darah koroner, yaitu: 1. Hasil metabolisme dari otot lokal Aliran darah yang melalui sistem
koroner diregulasi oleh vasodilatasi arteriol lokal sebagai respon dari kebutuhan otot jantung
akan nutrisi. Ketika kebutuhan akan nutrisi meningkat, maka akan terjadi vasodilatasi arteri
koroner untuk mencukupi kebutuhan itu.
2. Kebutuhan akan oksigen
Aliran darah koroner diregulasi juga oleh proporsi kebutuhan oksigen. Normalnya,
sekitar 70% oksigen pada darah arteri koroner dipakai oleh otot jantung ketika istirahat dan
meningkat atau menurun seiring dengan aktivitas yang dilakukan. Dengan meningkatnya
aktivitas yang tidak diimbangi oleh suplai oksigen, berbagai substansi, seperti adenosin, ATP,
ion kalium, ion hidrogen, karbon dioksida, bradikinin, prostaglandin, dan nitrit oksida,
terlepas dan menyebabkan vasodilatasi arteri koroner.
3. Kontrol sistem saraf otonom Pengaktifan sistem saraf simpatis menyebabkan
pelepasan norepnefrin dan epinefrin dan merangsang reseptor α sehingga meningkatkan
kontraksi dan denyut jantung. Itu menyebabkan peningkatan hasil metabolisme otot jantung
dan mengaktifkan mekanisme regulasi oleh hasil metabolisme dan menyebabkan vasodilatasi.
Sebaliknya, pengaktifan sistem parasimpatis menyebabkan pengeluarkan asetilkolin dan
merangsang reseptor β sehingga menurunkan kontraksi dan denyut jantung. Itu menyebabkan
penurunan hasil metabolisme otot jantung dan menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner.

22
3. Penyakit Jantung Koroner
Definisi
Definisi Menurut Garko (2012), penyakit jantung koroner atau penyakit arteri koroner
adalah sebuah penyakit jantung di mana dinding endotel bagian dalam pada satu atau lebih
arteri koroner menjadi sempit baik sebagian ataupun total akibat akumulasi kronis dari plak
ateromatous yang mengurangi aliran darah yang kaya nutrisi dan oksigen dari paru-paru ke
otot jantung sehingga merusak struktur dan fungsi dari jantung dan meningkatkan resiko dari
berbagai kejadian pada jantung seperti nyeri dada (contohnya angina pektoris) dan serangan
jantung (infark miokard).
Etiologi
Penyebab tersering dari penyakit jantung koroner adalah deposit ateroma di jaringan
subintima pada arteri koroner besar dan sedang (aterosklerosis). Penyakit jantung koroner
juga dapat disebabkan spasme dari arteri koroner, vaskulitis (bisa karena systemic lupus
erythematosus (SLE) atau sifilis), dan penyakit-penyakit yang mengenai arteri koroner,
seperti emboli, diseksi, dan aneurisma, tetapi jarang menyebabkan penyakit jantung koroner
(Porter & Kaplan,2011).
Aterosklerosis adalah suatu proses kronis yang progresif dan tiba-tiba muncul dengan
karakteristik berupa penumpukan lemak, elemen fibrosa, dan molekul inflamasi pada dinding
arteri koroner. Aterosklerosis merupakan proses etiopatogenesis utama penyebab penyakit
jantung koroner dan progresivitasnya
Epidemiologi
a. Prevalensi
Menurut Roger, et al. (2012) dalam Garko (2012), diperkirakan sekitar 16,3 juta orang
(7% populasi orang Amerika dewasa di atas 20 tahun) menderita penyakit jantung koroner.
Dari total populasi yang terdiagnosis penyakit jantung koroner, sekitar 8,3% adalah laki-laki
dan 6,1% adalah perempuan. Diprediksi pada tahun 2030, sekitar 8 juta populasi Amerika
dewasa yang lain akan terdiagnosis penyakit jantung koroner. Jumlah ini mencerminkan
peningkatan prevalensi sebesar 16,6% dari prevalensi pada tahun 2010. Prevalensi penyakit
jantung di Indonesia adalah 0,5% yang terdiagnosis oleh dokter dan sekitar 1,5% bila jumlah
yang terdiagnosis ditambah dengan pasien yang memiliki gejala yang mirip dengan penyakit
jantung koroner.

b. Insidensi
Pada tahun 2011, 785.000 populasi Amerika dewasa akan mendapat serangan
penyakit jantung koroner yang baru, dimana 470.000 populasi Amerika dewasa akan
mendapat pengalaman sebuah serangan jantung berulang. Diperkirakan insidensi tiap tahun
dari kasus baru serangan jantung adalah 610.000 dengan 325.000 serangan berulang. Rata-
rata umur pertama kali mengalami serangan jantung adalah sekitar umur 64,5 tahun untuk
laki-laki dan 70,3 tahun untuk perempuan (Roger, et al.,2012). Perkiraan insidensi penyakit
jantung koroner di Indonesia adalah 1,05 juta kasus baru pada tahun 2004.

23
c. Mortalitas
Setiap 25 detik, seorang di Amerika akan mengalami pengalaman kejadian yang
berhubungan dengan koroner dan setiap menitnya, ada satu orang yang akan mendapat
pengalaman ke,jadian jantung yang fatal, biasanya serangan jantung (Roger, et al.,2012).
Berdasarkan data WHO (2011), kematian akibat penyakit jantung koroner di
Indonesia mencapai 234 ribu atau 17,05% total kematian di Indonesia. Angka kematian yang
sesuai umur (age adjusted death rate) adalah 150,77 per 100.000 populasi yang menempatkan
Indonesia sebagai peringkat 51 di dunia.
Klasifikasi
Penyakit jantung koroner termasuk dalam penyakit jantung iskemik kronis (ICD-
10CM I25) memiliki kode I25.1 dengan nama atherosclerotic heart disease of native coronary
artery (penyakit jantung aterosklerosis dari arteri koroner itu sendiri), memiliki klasifikasi,
yaitu:
1. Atherosclerotic heart disease of native coronary artery without angina pectoris
(ICD-10CM I25.10)
2. Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with angina pectoris (ICD-
10CM I25.11) dibagi 4, terdiri dari :
a) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with unstable angina
pectoris (ICD-10CM I25.110)
b) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with angina pectoris with
documented spasm (ICD-10CM I25.111)
c) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with other forms of angina
pectoris (ICD-10CM I25.118)
d) Atherosclerotic heart disease of native coronary artery with unspecified angina
pectoris (ICD-10CM I25.119) (CDC,2014).
Faktor resiko
Faktor resiko dari penyakit jantung koroner dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor resiko utama
Faktor resiko utama adalah faktor resiko yang menurut banyak penelitian memberikan
hasil yang bermakna dalam meningkatkan resiko dari penyakit jantung koroner, yang terbagi
menjadi 2 bagian, yaitu:
Faktor resiko utama yang tidak dapat dimodifikasi, terdiri dari :
1) Penambahan umur
Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan umur (Deopujari &
Dixit,2010). Hubungan umur dengan mortalitas dari penyakit jantung koroner membentuk
grafik log linear sebagai akibat efek akumulasi dari kerusakan pembuluh darah yang lama
dan kegagalan dalam mekanisme perbaikan (Vaidya, et al.,2011). Perubahan utama yang
terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima disertai tunika media yang mengalami
fibrosis. Ketebalan dari tunika intima yang diamati secara bertahap meningkat ketika dekade
keempat dan kemudian menipis secara bertahap (Deopujari & Dixit,2010). Umur berperan
penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner karena dapat mempengaruhi faktor resiko

24
lain, seperti tekanan darah tinggi, obesitas, dan kadar lemak. Berat badan yang merupakan
faktor resiko yang dapat dimodifikasi meningkat pada umur dewasa tua. Gangguan dalam
profil lemak, seperti nilai total kolesterol dan LDL meningkat disertai nilai HDL yang rendah,
juga berhubungan dengan pertambahan umur (Ghosh,2010). Sekitar 82% orang meninggal
akibat penyakit jantung koroner berumur di atas 65 tahun dan jumlah kasus pada umur antara
75 sampai 84 tahun akan menjadi 2 kali lipat pada 30 tahun kemudian (Odden, et al.,2011).
Pada umur yang lebih tua, wanita yang mengalami serangan jantung menjadi lebih sering dari
pria, kebanyakan dari wanita tersebut akan meninggal karena penyakit jantung koroner dalam
beberapa minggu (AHA,2013). Pada setiap umur, ditemukan juga perbedaan pada faktor
resiko yang meningkatkan resiko penyakit jantung. Pada dewasa muda, faktor resiko yang
berperan, yaitu stress dan serba kecukupan, sedangkan pada dewasa pertengahan, faktor
resiko yang berperan bertambah lebih banyak, yaitu stress, merokok, aktivitas fisik yang
kurang, obesitas, pria, dan pengangguran. Dan pada umur tua, faktor yang berperan dalam
menyebabkan penyakit jantung bertambah lebih banyak lagi, yaitu stress, riwayat merokok,
aktivitas fisik yang kurang, obesitas, lakilaki, pengangguran, kulit putih, dan kemiskinan
(Wang & Wang,2013).
2) Jenis kelamin
Pria mempunyai resiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan lebih
awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita (NHBLI,2011). Itu dikarenakan kebanyakan
faktor resikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL yang
lebih rendah dari wanita (Krämer, et al,2012) dan sebelum menopause, estrogen memberikan
perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung koroner (NHBLI,2011). Setelah masa
menopause, ketika angka kematian pada wanita akibat penyakit jantung koroner meningkat,
itu tidak melebih angka kematian pada pria (AHA,2013). Berbeda dengan pria, wanita
memunyai faktor resiko tambahan yang meningkatkan kejadian terjadinya penyakit jantung
koroner, seperti sindrom ovarium polikistik, preeklampsia, menopause, penggunaan obat
kontrasepsi oral, dan terapi hormonal (Tan, et al.,2009). Wanita dengan sindrom ovarium
polikistik meningkatkan resiko terjadinya sindrom metabolik dan faktor resiko penyakit
jantung koroner yang lain, seperti diabetes melitus tipe 2 (Shaw, et al.,2008 dalam Maas &
Appleman,2010). Preeklampsia pada wanita yang ditandai dengan hipertensi (>140/90
mmHg) dan proteinuria (> 0,3g/24 jam) setelah masa kehamilan 20 minggu juga beresiko 2
kali terkena penyakit jantung koroner dibandingkan wanita dengan normotensi selama masa
kehamilan (Bellamy, et al.,2007 dalam Maas & Appleman,2010). Menopause yang awal pada
seorang wanita akan meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner atau stroke
sebesar 2 kali lipat dan meningkatkan resiko mortalitas akibat penyakit jantung koroner
sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat dibandingkan dengan wanita dengan waktu menopause yang
normal (Wellons, et al.,2012). Wanita juga dapat hidup lebih lama dari pria dan memunyai
kecenderungan ke salah faktor resiko utama dari penyakit jantung koroner, yaitu diabetes
melitus dibandingkan pria (Lee, et al.,2013) dan hipertensi (Jamee,2013).
3) Genetik (termasuk ras)
Riwayat penyakit jantung koroner dini pada keluarga merupakan faktor resiko yang
bebas, dan diduga ada variasi urutan DNA yang diturunkan yang berperan dalam resiko
penyakit jantung. Studi asosiasi mengenai genom berhasil mengidentifikasi SNPs (single
nucleotide polymorphism) pada 13 daerah genom yang berkaitan dengan penyakit jantung
koroner, infark miokard, atau keduanya (Musunuru & Kathiresan,2010). Diperkirakan salah
satu gen yang berperan dalam kejadian penyakit jantung koroner adalah gen Ch9p21 SNPs
dan gen tersebut juga berperan dalam kejadian infark miokard (Angelakopoulou,2012). Anak

25
dari orang tua dengan penyakit jantung akan lebih berpotensi terkena penyakit jantung
(AHA,2013). Baik pria maupun perempuan yang memiliki paling sedikit satu orang tua yang
memiliki penyakit jantung koroner beresiko 1,4 sampai 1,6 kali terkena penyakit jantung
koroner dibandingkan dengan orang tanpa orang tua yang menderita penyakit jantung
koroner (Sundquist,et al.,2011). Orang Amerika Afrika memunyai tekanan darah yang sangat
tinggi dan parah dibandingkan orang Kaukasia serta berpeluang lebih tinggi menderita
pernyakit jantung. Itu dikarenakan mereka memiliki angka obesitas dan diabetes yang tinggi
(AHA,2013).
Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi, terdiri darah :
1) Merokok
Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida, ammonia,
formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin (efek akut) dan tars
(efek kronis). Efek nikotin pada sistem kardiovaskuler adalah efek simpatomimetik, seperti
menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol, meningkatkan noradrenalin dalam
plasma, tekanan darah, cardiac output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan
penyempitan aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih
mudah memasuki dinding arteri yang berperan dalam patogenesis penyakit jantung koroner
(Yathish, et al.,2011). Merokok juga meningkatkan oksidasi dari LDL dan meningkatkan
berbagai faktor resko lain, yaitu hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus
(Kelley,2009). Banyak efek merokok yang sinergis sehingga meningkatkan faktor resiko
penyakit jantung, seperti trombosis, disfungsi endotel, aterosklerosis, gangguan
hemodinamik, dan menyebabkan resistensi insulin (Prasad, et al.,2009). Merokok, bahkan
beberapa batang per hari, akan meningkatkan resiko menderita penyakit jantung
(HeartUK,2012). Merokok meningkatkan resiko penyakit jantung koroner sebanyak 2-4 kali
dari yang tidak merokok. Orang yang merokok satu bungkus rokok tiap hari meningkatkan
resiko serangan jantung sebesar 2 kali lipat dari yang belum pernah merokok (AHA,2013).
Mereka yang merokok terus menerus memiliki resiko terkena penyakit jantung koroner 2,01
kali lipat bila kurang dari 10 tahun dan 5,12 kali lipat bila lebih dari 10 tahun (Ram &
Trivedi,2012(a)). Mengisap rokok meningkatkan resiko penyakit jantung koroner lebih besar
dibandingkan yang memakai pipa dan cerutu (Yathish, et al.,2011). Wanita yang merokok
memunyai resiko 25% lebih besar terkena penyakit jantung koroner dibandingkan dengan
pria yang merokok bila bebas dari faktor resiko yang lain (Huxley & Woodward,2011).
2) Kadar lemak yang abnormal (kolesterol dan trigliserida)
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol sangat penting bagi
sel yang sehat, tetapi bila tubuh mengakumulasikannya dalam jumlah banyak, kolesterol akan
berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan kerusakan dan bisa
menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, resiko serangan jantung akan meningkat
(HeartUK,2012). Kolesterol terdiri dari 2 bentuk utama, yaitu HDL (high density lipoprotein)
yang berperan dalam membawa kadar lemak yang tinggi dalam jaringan ke hati untuk
dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan membawa kolesterol ke
jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL yang tinggi dan HDL yang rendah berperan
dalam peningkatan resiko penyakit jantung, terutama penyakit jantung koroner
(NHLBI,2011). HDL memiliki fungsi yang sangat menarik termasuk aktivitas antiinflamasi,
antioksidan (McGrowder, et al.,2011), antiapoptotik, dan antitrombotik (Ali, et al.,2012).
Aktivitas dari antioksidan dan antiinflamasi yang tinggi dari HDL berhubungan dengan
perlindungan tubuh terhadap penyakit kardiovaskuler (McGrowder, et al.,2011). Komponen

26
LDL yang berperan sebagai faktor resiko yang penting adalah lipoprotein a (lp(a)).
Mekanisme patogenesis lp(a) yang berlebihan meliputi peningkatan trombogenesis dan
gangguan fibrolisis akibat berkompetisi dengan plasminogen, penghambatan transforming
growth factor β, ketidakstabilan plak, peningkatan proliferasi dan migrasi otot polos,
pembentukan trombus penyumbat, gangguan pembentukan pembuluh darah kolateral,
peningkatan pengambilan oksidasi dan retensi LDL, dan upregulation dari pengekspresian
plasminogen activator inhibitor (PAI-I). Serum lp(a) didapati lebih rendah pada umur 20-30
tahun dan lebih tinggi pada umur 50-60 tahun (Sharma, et al.,2012). Hal lain yang berperan
penting dari komponen LDL adalah lipoprotein-associated phospholipase A2 (Lp-PLA2),
yaitu sebuah enzim yang diekspresikan oleh sel inflamasi pada plak aterosklerotik dan
dibawa oleh sirkulasi dengan berikatan utamanya dengan LDL. Lp-PLA2 menghidrolisis
fosfolipid yang teroksidasi menjadi produk proinflamasi yang berperan dalam disfungsi
endotel, proses inflamasi pada plak, dan pembentukan inti nekrotik pada plak (Thompson, et
al.,2010). Komponen yang lain adalah trigliserida. Bila dalam darah terdapat jumlah lemak
yang berlebih, terutama trigliserida, biasanya akan berpasangan dengan kadar HDL yang
rendah (HeartUK,2012). Rasio non-HDL kolesterol, trigliserida, dan total kolesterol dengan
HDL kolesterol lebih berhubungan erat dengan resiko penyakit jantung koroner pada masa
depan dibandingkan hanya LDL kolesterol. Di sini juga ditemukan pada kadar LDL dalam
berbagai level, individu dengan salah satu rasio peningkatan level non-HDL kolesterol, atau
peningkatan level trigliserida, atau dengan peningkatan total kolesterol dibandingkan dengan
level HDL kolesterol juga berpeluang berkembang menjadi penyakit jantung koroner
(Arsenault, et al.,2010).
3) Tekanan darah tinggi
Tekanan darah tinggi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung
menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik. Ini
meningkatkan resiko kejadian stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit jantung
kongestif. Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor resiko yang lain, akan
meningkatkan (AHA,2013). Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan penyakit jantung
koroner melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan
menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan membuat penumpukan okigen
reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi yang mendukung perkembangan dari
aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan
peningkatan afterload yang menyebabkan hipertropi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan
meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner. Semua
hal di atas mendukung terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan
kematian jantung tiba-tiba (Olafiranye, et al.,2011). Orang dengan hipertensi memiliki resiko
lebih besar terkena penyakit jantung koroner sebesar 3 kali lipat dibandingkan yang
normotensi. Hipertensi juga secara signifikant berkaitan dengan perkembangan penyakit
jantung koroner (Ram & Trivedi,2012(b)). Pulse pressure (PP), tekanan sistol, tekanan
diastol, dan mean arterial pressure (MAP) merupakan prediktor kuat dari gejala penyakit
jantung pada seseorang dengan hipertensi dan penyakit jantung koroner (Bangalore, et
al.,2009). Pada seseorang dengan hipertensi, terjadi penurunan tekanan diastol padahal suplai
nutrisi dan oksigen terjadi fase diastol, sehingga terjadi penurunan perfusi dan membuat otot
jantung rentang terkena iskemik. Penurunan diastol meningkatkan besar rentang pulse
pressure (Nogueira,2013). Seseorang dengan tekanan darah diastol
4) Aktivitas fisik yang kurang Aktvitas fisik dibagi 2 jenis, yaitu aktivitas fisik
pekerjaan yang kadang-kadang dapat merusak kesehatan dan aktivitas fisik pada waktu santai
(misalnya olahraga) yang bermanfaat bagi kesehatan. Aktivitas fisik pekerjaan sedang dapat

27
menurunkan resiko penyakit jantung, berbeda halnya dengan aktivitas fisik yang berat yang
tidak memberikan efek protektif terhadap penyakit jantung (Lie & Siegrist,2012). Ada peran
olahraga terhadap sistem hemodinamik yang mempengaruhi interaksi endotel pembuluh
darah dan otot polos (Newcomer, et al.,2011) dimana meningkatkan fungsi dan perbaikan dari
pembuluh darah dengan cara meningkatkan endothelial progenitor cell (EPC) (Lenk, et
al.,2010). Aktivitas fisik yang kurang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner sebesar
2 kali lipat dan dapat memperburuk faktor-faktor resiko yang lain, seperti tekanan darah
tinggi, kadar kolesterol dan trigliserida yang tinggi, diabetes, dan berat badan yang berlebih
(NHLBI,2011). Seseorang dengan aktivitas fisik sedang yang intensif selama 150
menit/minggu dan tambahan 300 menit/minggu akan menurunkan resiko penyakit jantung
koroner sebesar 14% dibandigkan dengan orang yang tidak melakukan aktivitas fisik
(Sattelmair, et al.,2011).
5) Berat badan berlebih (obesitas dan overweight) Obesitas abdominal atau sentral,
dapat diukur melalui lingkar pinggang, dipertimbangkan sebagai sebuah faktor resiko yang
kuat, terlepas dari berat badan (Canoy, et al.,2007 dalam Rana, et al.,2011). Obesitas,
khususnya obesitas sentral, menyebabkan berbagai hal. Salah satunya adalah menyebabkan
peningkatan kadar insulin dan resistensi insulin (diabetes melitus) dimana insulin
menyebabkan peningkatan sistem saraf simpatis dan mempengaruhi ginjal untuk meretensi
garam sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Obesitas juga menyebabkan defisiensi
leptin dimana leptin berperan dalam mengatur rasa kenyang dan juga mengaktifkan sistem
renin angiotensin aldosteron yang akan meningkatkan tekanan darah (Landsberg, et al.,2013).
Obesitas berhubungan dengan inflamasi derajat rendah yang kronis itu dikarenakan berbagai
substansi yang disekresikan oleh sel adiposa (sel lemak), seperti IL-1, IL-6, TNF-α, resistin,
prostaglandin, angiotensinogen, endotelin, PAI-I, dan c-reactive protein (CRP) (Wang &
Nakayama,2010). Pada orang obesitas, didapati kadar sirkulasi berbagai tanda-tanda
inflamasi, seperti CRP, secretory phospholipase A2 (sPLA2), fibrinogen, dan adiponektin,
berhubungan linear dengan aktivitas fisik yang kurang dan pertambahan lingkar pinggang
(Rana, et al.,2011). Orang dengan kelebihan lemak tubuh, terutama di daerah pinggang,
beresiko berkembang menjadi penyakit jantung dan stroke jika tidak memunyai faktor resiko
yang lain bahkan memperparah faktor resiko yang sudah ada. Berat badan berlebih akan
meningkatkan kerja jantung karena meningkatkan jumlah tahanan perifer total sehingga
tekanan darah menjadi tinggi (NHLBI,2011) dan menyebabkan penebalan dinding ventrikel
tanpa pelebaran ruangan ventrikel sehingga terjadi peningkatan massa pada ventrikel
terutama ventrikel kiri (Artham, et al.,2009). Selain meningkatkan tekanan darah, obesitas
dapat meningkatkan level kolesterol dan trigliserida, serta menurunkan HDL (NHLBI,2011).
Peningkatan 10 kg berat badan akan meningkatkan tekanan sistol sebesar 3 mmHg dan
tekanan diastol sebesar 2,5 mmHg (Artham, et al.,2009) dan setiap peningkatan IMT sebesar
4 kg/m2 meningkatkan resiko terkena penyakit jantung iskemik sebesar 26% (Nordestgaard,
et al.,2012). Dengan menurunkan berat badan sebesar 10%, akan menurunkan resiko penyakit
jantung (NHLBI,2011).
6) Diabetes melitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan plak
ateromatous pada arteri (NHLBI,2011). Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan
banyak perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai stressor oksidatif seluler,
peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-acetyl glucosamine yang diperkirakan
mengubah fungsi enzimatik seluler, dan pembentukan advanced glycation end product (AGE)
yang secara langsung menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta

28
peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel
dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur (Chiha, et al.,2012). Itu
menyebabkan kematian pasien dengan diabetes melitus sering disebabkan serangan sindrom
koroner akut dibandingkan yang tidak memiliki diabetes melitus (Unachukwu & Ofori,2012).
Yang lebih penting lagi, glikolisasi dari protein pada dinding arteri yang diperkirakan
berkonstribusi dalam pembentukan aterosklerosis diabetik (Chiha, et al.,2012). Pada tikus
pada uji eksperimental memperlihatkan hiperinsulinemia menstimulasi sintesis asam lemak
dengan meningkatkan transkripsi gen enzim lipogenik di hati. Asam lemak tersebut memacu
produksi dari very low density lipoprotein (VLDL) sehingga dikenal resistensi insulin
(diabetes melitus tipe 2) menginduksi dislipidemia (Steinberger, et al., 2009). Diabetes
melitus meningkatkan resiko morbilitas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskuler.
Diabetes dengan sindrom metabolik secara signifikan meningkatkan level trigliserida, rasio
level trigliserida dibandingkan HDL, atherogenic index of plasma (AIP), tekanan darah, dan
IMT (Kalidhas, et al.,2011). Diabetes secara serius meningkatkan resiko menjadi penyakit
jantung sebesar 2 kali lipat, terlepas dari faktor resiko lainnya (Sarwar, et al.,2010). Bahkan
ketika kadar glukosa dalam darah dapat dikontrol, diabetes tetap akan meningkatkan resiko
penyakit jantung dan stroke walaupun tidak separah yang tidak terkontrol kadar gula
darahnya. Sekitar 65% orang yang terkena diabetes meninggal karena berbagai penyakit pada
jantung dan pembuluh darah (AHA,2013).

2.Faktor resiko pendukung


Faktor resiko pendukung adalah faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko
penyakit jantung koroner, tetapi hasilnya tidak terlalu bermakna, terdiri dari:

1) Stres
Menurut Yayasan Jantung Inggris dalam Parswani, et al. (2013), peneliti
mengindikasikan bahwa faktor psikologi, seperti stres, depresi, dan anxiety secara signifikan
berkonstribusi dalam onset, gejala klinis, dan prognosis dari penyakit jantung koroner. Stres
merupakan efek fisik dan emosi yang tidak diinginkan dimana dapat berefek pada jantung
akibat perlepasan hormon-hormon tertentu yang meningkatkan tekanan darah dan dapat
mendorong pembentukan clotting pada arteri. Yang termasuk pemicu stres termasuk isolasi
sosial, stres pekerjaan, dan peristiwa akut atau kronik yang terjadi dalam kehidupan. Stres
dan kecemasan bisa berperan dalam penyebab penyakit jantung koroner karena akan
menyebabkan pembuluh darah arteri mengalami vasokonstriksi sehingga akan meningkatkan
tekanan darah. Ini bisa menyebabkan peningkatan serangan jantung. Stres juga dapat
menyebabkan seseorang makan makanan yang tinggi lemak dan gula berlebihan
(NHLBI,2011). Beberapa peneliti menemukan hubungan antara resiko penyakit jantung
koroner dan stres pada kehidupan seseorang, kebiasaan hidup sehat mereka, dan status
sosioekonomi. Misalnya, ketika berada dalam keadaan stres, seseorang akan mulai merokok
lebih dari yang mereka bisa (AHA,2013). Orang yang mengalami stres berat beresiko terkena
penyakit jantung koroner sebesar 1,27 kali dibanding yang mengalami stres ringan
(Richardson, et al.,2012). Menurut penelitian Orth-Gomér, et al. (2009), wanita dengan
penyakit jantung koroner yang menerima program berbasis grup untuk menurunkan stres
didapati angka harapan hidupnya 3 kali lebih besar 3 kali lipat dibandingkan yang mendapat
perawatan yang biasa.

29
2) Alkohol

Minum alkohol dalam jumlah sedang dapat menyebabkan penurunan resiko penyakit
jantung (HeartUK,2012). Alkohol dengan dosis 15 g/hari untuk wanita dan dosis 30 g/hari
secara signifikan bermanfaat meningkatkan meningkatkan level HDL, apolipoprotein A1,
adiponektin, dan menurunkan level fibrinogen, tetapi tidak berefek pada level trigliserida
(Brien,et al.,2010). Tetapi bila berlebihan, alkohol dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah sehingga menyebabkan gagal jantung dan memicu stroke (AHA,2013). Manfaat
alkohol dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner hanya berlaku pada dewasa
muda dan tidak bermanfaat bahkan merugikan pada dewasa pertengahan dan umur lebih tua
(Hvidtfeldt, et al.,2010).

3) Diet dan Nutrisi yang tidak sehat

Diet yang sehat dapat menjadi senjata yang baik dalam melawan penyakit jantung
(AHA,2013). Mengonsumsi daging yang telah diproses, bukan daging merah, berkaitan
dengan insidensi yang lebih tinggi dari penyakit jantung koroner (Micha, et al.,2010). Untuk
mencegah penyakit jantung koroner, asam lemak jenuh yang dikonsumsi sebaiknya diganti
dengan asam lemak tidak jenuh rantai jamak daripada mengonsumsi asam lemak tidak jenuh
rantai tunggal atau konsumsi karbohidrat (Jakobsen, et al.,2009) dan menghindari konsumsi
makanan trans-fatty acid dan makanan tinggi indeks glikemiknya (Mente, et al.,2009).
Makanan yang dimakan akan dapat berefek pada faktor resiko yang dapat dimodifikasi,
seperti kolesterol, tekanan darah, diabetes, dan obesitas. Diet yang tidak sehat, seperti tinggi
gula, lemak, dan garam, akan menyebabkan peningkatan berat badan, tekanan darah, kadar
lemak dalam tubuh, dan kadar gula darah sehingga meningkatkan resiko penyakit jantung
koroner (NHLBI,2011).

Patogenesis Plak Aterosklerosis

Struktur arteri koroner jantung yang sehat terdiri atas 3 lapisan, yaitu: intima, media dan
adventitia. Intima merupakan lapisan monolayer sel-sel endotel yang menyelimuti lumen
arteri bagian dalam. Sel-sel endotel menutupi seluruh bagian dalam sistem vaskular hampir
seluas 700 m2 dan berat 1,5 kg. Sel endotel memiliki berbagai fungsi, diantaranya
menyediakan lapisan nontrombogenik dengan menutupi permukaannya dengan sulfat heparan
dan melalui produksi derivat prostaglandin seperti prostasiklin yang merupakan suatu
vasodilator poten dan penghambat agregasi. platelet, rusaknya lapisan endotel akan memicu
terjadinya aterosklerosis sebagaimana yang akan dijelaskan dibawah ini.
Ada beberapa hipotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya
aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to injure
hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai response to injure
hypothesis sebagai berikut:

a. Stage A : Endothelial Injure

Endotelial yang licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah koroner
lancar. Faktor risiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas
rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara
endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan

30
terjadinya penempelan platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit
agregation).

b. Stage B : Fatty Streak Formation


Pembentukan fatty streak merupakan pengendapan kolesterol-kolesterol yang telah
dioksidasi dan makrofag di bawah endothelium arteri. Low Density Lipoprotein (LDL) dalam
darah akan menyerang endotel dan dioksidasi oleh radikal-radikal bebas pada permukaan
endotel, lesi ini mulai tumbuh pada masa kanak-kanak, makroskopik berbentuk bercak
berwarna kekuningan, yang terdiri dari sel-sel yang disebut foam cells. Sel-sel ini ialah sel-sel
otot polos dan makrofag yang mengandung lipid, terutama dalam bentuk ester cholesterol.
c. Stage C : Fibrosis Plaque Formation
Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan ikat
(cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu Stable fibrous plaque dan
Unstable fibrous plaque (Kasma, 2011).
Patofisiologi PJK

Aterosklerosis atau pengerasan arteri adalah kondisi pada arteri besar dan kecil yang
ditandai penimbunan endapan lemak, trombosit, neutrofil, monosit dan makrofag di seluruh
kedalaman tunika intima (lapisan sel endotel), dan akhirnya ke tunika media (lapisan otot
polos). Arteri yang paling sering terkena adalah arteri koroner, aorta dan arteri-arteri
sereberal. Langkah pertama dalam pembentukan aterosklerosis dimulai dengan disfungsi
lapisan endotel lumen arteri, kondisi ini dapat terjadi setelah cedera pada sel endotel atau dari
stimulus lain, cedera pada sel endotel meningkatkan permeabelitas terhadap berbagai
komponen plasma, termasuk asam lemak dan triglesirida, sehingga zat ini dapat masuk
kedalam arteri, oksidasi asam lemak menghasilkan oksigen radikal bebas yang selanjutnya
dapat merusak pembuluh darah. Cedera pada sel endotel dapat mencetuskan reaksi inflamasi
dan imun, termasuk menarik sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit, serta trombosit
ke area cedera, sel darah putih melepaskan sitokin proinflamatori poten yang kemudian
memperburuk situasi, menarik lebih banyak sel darah putih dan trombosit ke area lesi,
menstimulasi proses pembekuan, mengaktifitas sel T dan B, dan melepaskan senyawa kimia
yang berperan sebagai chemoattractant (penarik kimia) yang mengaktifkan siklus inflamasi,
pembekuan dan fibrosis. Pada saat ditarik ke area cedera, sal darah putih akan menempel
disana oleh aktivasi faktor adhesif endotelial yang bekerja seperti velcro sehingga endotel
lengket terutama terhadap sel darah putih, pada saat menempel di lapisan endotelial, monosit
dan neutrofil mulai berimigrasi di antara sel-sel endotel keruang interstisial. Di ruang
interstisial, monosit yang matang menjadi makrofag dan bersama neutrofil tetap melepaskan
sitokin, yang meneruskan siklus inflamasi. Sitokin proinflamatori juga merangsan ploriferasi
sel otot polos yang mengakibatkan sel otot polos tumbuh di tunika intima. Selain itu
kolesterol dan lemak plasma mendapat akses ke tunika intima karena permeabilitas lapisan
endotel meningkat, pada tahap indikasi dini kerusakan teradapat lapisan lemak diarteri.
Apabila cedera dan inflamasi terus berlanjut, agregasi trombosit meningkat dan mulai
terbentuk bekuan darah (tombus), sebagian dinding pembuluh diganti dengan jaringan parut
sehingga mengubah struktur dinding pembuluh darah, hasil akhir adalah penimbunan
kolesterol dan lemak, pembentukan deposit jaringan parut, pembentukan bekuan yang berasal
dari trombosit dan proliferasi sel otot polos sehingga pembuluh mengalami kekakuan dan
menyempit. Apabila kekakuan ini dialami oleh arteri-arteri koroner akibat aterosklerosis dan
tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen, dan

31
kemudian terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium dan sel-sel miokardium
sehingga menggunakan glikolisis anerob untuk memenuhi kebutuhan energinya. Proses
pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat
sehinga menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan angina
pectoris. Ketika kekurangan oksigen pada jantung dan sel-sel otot jantung berkepanjangan
dan iskemia miokard yang tidak tertasi maka terjadilah kematian otot jantung yang di kenal
sebagai miokard infark (Corwin, 2009).

Gejala PJK
Gejala PJK yang biasanya timbul adalah:

1. Dada terasa sakit, terasa tertimpa beban, terjepit, diperas, terbakar dan tercekik.
Nyeri terasa di bagian tengah dada, menjalar ke lengan kiri, leher, bahkan menembus
ke punggung. Nyeri dada merupakan keluhan yang paling sering dirasakan oleh
penderita PJK.
2. Sesak nafas
3. Takikardi
4. Jantung berdebar-debar
5. Cemas
6. Gelisah

32
7. Pusing kepala yang berkepanjangan
8. Sekujur tubuhnya terasa terbakar tanpa sebab yang jelas
9. Keringat dingin
10. Lemah
11. Pingsan
12. Bertambah berat dengan aktivitas
Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan
kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak terkontrol, anemia,
tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti
penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri (hipotensi, ronki dan gallop S3) menunjukkan
prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan
bahwa pasien memiliki kemungkinan penderita PJK (Depkes, 2006).

Diagnosis

Menurut Irmalita,1996 diagnosis IMA ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari
3 kriteria, yaitu

1. Adanya nyeri dada


Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat biasa.

2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)


Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal miokard infark akut,
EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri koroner menunjukkan elevasi segmen ST.
Kemudian gambaran EKG berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang
Q. Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Ketika trombus tidak
menyebabkan oklusi total, maka tidak terjadi elevasi segmen ST. Pasien dengan gambaran
EKG tanpa elevasi segmen ST digolongkan ke dalam unstable angina atau Non STEMI.

3. Peningkatan petanda biokimia.


Pada nekrosis miokard, protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan
masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik. Oleh sebab itu,
nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein dalam darah yang disebabkan
kerusakan sel. Protein-protein tersebut antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate
dehydrogenase, creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase III
(CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T (cTnI dan cTnT)
.Peningkatan kadar serum protein-protein ini mengkonfirmasi adanya infark miokard
EKG sebagai Penegakan Diagnosis Infark Miokard

Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika ventrikel
berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya bergerak
menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark sebagai defleksi
negatif abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang Q disebut infark
gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman EKG tidak menunjukkan
gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark miokard dengan daerah nekrotik
kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan abnormal jika durasinya ≥ 0,04 detik. Namun hal

33
ini tidak berlaku untuk gelombang Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang
Q di lead ini lebar dan dalam.
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna. Area
tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses depolarisasi. Jika
elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan terekam dalam bentuk
elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat yang berseberangan dengan area
injury, maka terekam potensial yang negatif dan ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST
depresi juga terjadi pada injury subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury
oleh daerah normal. Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran
ST depresi.
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih
negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak menjauhi
daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam gerakan ini sebagai
gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah gambaran gelombang T,
mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari epikard ke arah endokard. Karena
potensial elektrik dihasilkan repolarisasi subendokardium terhambat, maka gelombang T
terekam sangat tinggi (Chou, 1996).
Menurut Ramrakha (2006), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark
dapat ditentukan dari perubahan EKG.

Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST.
Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi
miokard yang terkena. Bagi pria us ia≥40 tahun, S TEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi

34
segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana,
2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih dari 2
minggu (Antman, 2005).
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai dengan
elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI beragam, bisa berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar atau pseudo-
normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk menegakkan diagnosis Non
STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan
lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi segmen ST tidak persisten (<20 menit),
dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T
yang simetris ≥ 2 mm semakin memperkuat dugaan Non STEMI (Tedjasukmana, 2010).
PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah:
o Memperbaiki prognosis dengan cara mencegah infark miokard dan kematian.
Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengurangi terjadinya trombotik akut dan
disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup
ataupun intervensi farmakologik yang akan (i) mengurang progresif plak (ii)
menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi endotel,
dan akhirnya (iii) mencegah trombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya
plak. Obat yang digunakan: Obat Antitrombotik: aspirin dosis rendah, antagonis
reseptor ADP (thienopyridin) yaitu clopidogrel dan ticlopidine; obat penurun
kolesterol (statin); ACE-Inhibitors; Beta-blocker; Calcium channel blockers
(CCBs).
o Untuk memperbaiki simtom dan iskemi: obat yang digunakan yaitu nitrat kerja
jangka pendek dan jangka panjang, Beta-blocker, CCBs.

Tatalaksana Umum
Kepada pasien yang menderita PJK maupun keluarga, perlu diterangkan tentang
perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien perlu diyakinkan bahwa
kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan
modifikasi gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti
hipertensi, diabetes, dislipidemia, dll. perlu ditangani secara baik (lihat selanjutnya pada
bab pencegahan).

Cara pengobatan PJK yaitu, (i) pengobatan farmakologis, (ii) revaskularisasi miokard. Perlu
diingat bahwa tidak satu pun cara di atas sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap
diperlukan modifikasi gaya hidup dan mengatasi faktor penyebab agar progresi penyakit
dapat dihambat.
Pengobatan Farmakologik
* Aspirin dosis rendah
* Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama
untuk pencegahan trombosis. Meta-analisis menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg
sama efektivitasnya dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin
disarankan diberi pada semua pasien PJK kecuali bila ditemui kontraindikasi.
Selain itu aspirin juga disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek
samping iritasi gastrointestinal dan perdarahan, dan alergi. Cardioaspirin

35
memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan aspirin lainnya. dengan
resistensi atau intoleransi terhadap aspirin. AHA/ACC guidelines update 2006
memasukkan kombinasi aspirin dan clopidogrel harus Thienopyridine Clopidogrel
dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan menghambat agregasi trombosit.
Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita diberikan pada pasien PCI dengan
pemasangan stent, lebih 1 bulan untuk bare metal stent, lebih 3 bulan untuk
sirolimus eluting stent, dan lebih 6 bulan untuk paclitaxel-eluting stent.

Obat penurun kolesterol


Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi
primer maupun prevensi sekunder. Berbagai studi telah membuktikan bahwa statin
dapat menurunkan komplikasi sebesar 39% (Heart Protection Study), ASCOTT-
LLA atorvastatin untuk prevensi primer PJK pada pasca-hipertensi.

Statin selain sebagai penurun kolesterol, juga mempunyai mekanisme lain


(pleiotropic effect) yang dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti trombotik dll.
Pemberian atorvastatin 40 mg satu minggu sebelum PCI dapat mengurangi
kerusakan miokard akibat tindakan.

Target penurunan LDL kolesterol adalah < 100 mg/dl dan pada pasien risiko tinggi,
DM, penderita PJK dianjurkan menurunkan LDL kolesterol
< 70 mg/dl.

ACE-Inhibitor/ARB
Peranan ACE-I sebagai kardioproteksi untuk prevensi sekunder pada pasien dengan
PJK telah dibuktikan dari berbagai studi a.l., HOPE study, EUROPA study dll. Bila
intoleransi terhadap ACE-I dapat diganti dengan ARB.

Nitrat pada umumnya disarankan, karena nitrat memiliki efek venodilator sehingga
preload miokard dan volume akhir bilik kiri dapat menurun sehingga dengan
demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga melebarkan
pembuluh darah normal dan yang mengalami aterosklerotik. Menaikkan aliran
darah kolateral, dan menghambat agregasi trombosit. Bila serangan angina tidak
respons dengan nitrat jangka pendek, maka harus diwaspadai adanya infark miokard.
Efek samping obat adalah sakit kepala, dan flushing.

Penyekat β juga merupakan obat standar. Penyekat β menghambat efek katekolamin


pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat menyebabkan penurunan konsumsi
oksigen miokard. Pemberian penyekat β dilakukan dengan target denyut jantung
50-60 per menit. Kontraindikasi terpenting pemberian penyekat β adalah riwayat
asma bronkial, serta disfungsi bilik kiri akut.

* Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi. Antagonis kalsium dapat


mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau penyekat β; selain
itu berguna pula pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan penyekat
β. Antagonis kalsium tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi bilik kiri atau
gangguan konduksi atrioventrikel.

Rekomendasi pengobatan untuk memperbaiki prognosis pasien dengan angina stabil

36
menurut ESC 2006 sbb.:
1. Pemberian Aspirin 75 mg per hari pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang
spesifik (cth. Perdarahan lambung yang aktif, alergi aspirin, atau riwayat intoleransi
aspirin) (level evidence A).
2. Pengobatan statin untuk semua pasien dengan penyakit jantung koroner
(level evidence A).
3. Pemberian ACE inhibitor pada pasien dengan indikasi pemberian ACE inhibitor,
seperti hipertensi, disfungsi ventrikel kiri, riwayat miokard infark dengan disfungsi
ventrikel kiri, atau diabetes (level evidence A).
4. Pemberian Beta-blocker secara oral pada pasien gagal jantung atau yang pernah
mendapat infark miokard (level evidence A).

Revaskularisasi Miokard
Ada dua cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada PJK stabil yang disebabkan
aterosklerotik koroner yaitu tindakan revaskularisasi pembedahan, bedah pintas koroner
(coronary artery bypass surgery = CABG), dan tindakan intervensi perkutan
(percutneous coronary intervention = PCI).
Akhir-akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami kemajuan pesat yaitu
diperkenalkannya tindakan, off pump surgery dengan invasif minimal dan drug eluting
stent (DES).
Tujuan revaskularisasi adalah meningkatkan survival ataupun mencegah infark ataupun
untuk menghilangkan gejala. Tindakan mana yang dipilih, tergantung pada risiko dan
keluhan pasien.

Indikasi untuk Revaskularisasi


Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography koroner dan
tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri koroner.
Selain itu, tindakan revaskularisasi dilakukan pada pasien, jika:
a. Pengobatan tidak berhasil mengontrol keluhan pasien.
b. Hasil uji non-invasif menunjukkan adanya risiko miokard.
c. Dijumpai risiko tinggi untuk kejadian dan kematian.
d. Pasien lebih memilih tindakan intervensi dibanding dengan pengobatan biasa
dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari pengobatan yang diberikan kepada
mereka

TINDAKAN PENCEGAHAN

Tidak ada motto kuno yang lebih baik dari ”Mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai faktor risiko yang
tinggi. Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada:
a. Pasien dengan PJK, penyakit arteri perifer, dan aterosklerosis
cerebrovaskular.
b. Pasien yang tanpa gejala namun tergolong risiko tinggi karena:
- Banyak faktor risiko dan besarnya risiko dalam 10 tahun  5% (atau dengan usia

37
lebih dari 60 tahun) untuk mendapat penyakit kardiovaskular yang fatal.
- Peningkatan salah satu komponen faktor risiko: cholesterol  8 mmol/l (320
mg/dl), low density lipoprotein (LDL) cholesterol  6 mmol/l (240 mg/dl), TD 
180/110 mmHg.
- Pasien diabetes tipe 2 dan tipe 1 dengan mikroalbuminuria.
c. Keluarga dekat dari:
- Pasien dengan penyakit kardiovaskular aterosklerotik yang lebih awal
- Pasien dengan risiko tinggi namun tanpa gejala.
d. Orang-orang yang secara rutin melakukan pemeriksaan klinis.

1. Pedoman Pencegahan Primer Penyakit Jantung dan Stroke


Telah banyak bukti–bukti yang menunjukkan bahwa PJK dapat dicegah dan penelitian
untuk hal ini terus berlanjut. Dari hasil studi prospektif jangka panjang menunjukkan
bahwa orang dengan faktor risiko rendah mempunyai risiko yang lebih kecil untuk
terkena PJK dan stroke.

ACC/AHA merekomendasikan petunjuk untuk pencegahan penyakit kardiovaskular


yang ditentukan dari faktor risiko yang ada (lihat Tabel 3). Usaha-usaha intervensi
dengan cara nonfarmakologik dan farmakologik dan berbagai uji klinis menunjukkan
hal yang bermanfaat.

2. Pencegahan Sekunder Penyakit Jantung Koroner


Prevensi sekunder pada individu yang sudah terbukti menderita PJK, adalah upaya untuk
mencegah agar PJK itu tidak berulang lagi.

Prevensi sekunder ini sangat perlu mengingat:


- Individu yang sudah pernah, atau sudah terbukti menderita PJK, cenderung untuk
mendapat sakit jantung lagi, lebih besar kemungkinannya ketimbang orang yang
belum pernah sakit jantung.
- Proses aterosklerosis yang mendasari PJK, bisa saja terjadi pada pembuluh darah
organ lain di otak yang menimbulkan cerebrovascular disease (strok), pada aorta
atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu prevensi sekunder untuk PJK
dapat juga merupakan prevensi primer untuk penyakit aterosklerotik lainnya.
- Prevensi sekunder belum sepenuhnya mendapat perhatian (under utilized) dari
kalangan praktisi kedokteran, sebagaimana dilaporkan WHO 2004, khususnya di
negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah.

GAGAL JANTUNG / DECOMPENSATIO CORDIS


Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologi dimana jantung gagal
mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian
cukup (Paul Wood, 1958). Gagal jantung juga dikatakan sebagai suatu sindroma dimana
fungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang
tinggi, dan penurunan harapan hidup (Jay Chon, 1988). European Society of Cardiology,

38
1995 juga menjelaskan adanya gejala gagal jantung yang reversible dengan terapi, dan bukti
objektif adanya disfungsi jantung
Etiologi
- Hipertensi
- Ischaemic heart disease
- Alcohol
- Hypothyroidsm
- Congenital (defek septum, atrial septal defek, ventrical septal defek)
- Kardiomiopati (dilatasi, hipertropik, restriktif)
- Infections
- Nutritional
- dll
Patogenesis
Gagal jantung merupakan kelainan multi sistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri
yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Jackson G, 2000).
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi
perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal (Jackson G, 2000).
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II
plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf
simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga
memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Jackson
G, 2000).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki
efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide
(ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap
ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Santoso A, 2007). Vasopressin merupakan
hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar

39
yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia
(Santoso A, 2007).
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal,
yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin
meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain
seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30
– 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.
Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
- Gejala dan tanda sesak nafas
- Edema paru
- Peningkatan JVP
- Hepatomegali
- Edema tungkai
b. Pemeriksaan Penunjang - --
- Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali
dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi
perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.

- Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar


pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan
konduksi, aritmia.

- Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan
abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat
disinggirkan.
-Tes darah direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal
sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.
- Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel
dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh.
Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung
koroner.

40
Penatalaksanaan
1. Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup
a. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas yang sesuai
menurunkan tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan, dan memperbaiki
gejala dan toleransi aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan stabil.

b. Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV, dan memperbaiki


aliran darah paru.

c. Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan denyut jantung, dan


meningkatkan resistensi vascular sistemik dan pulmonal dan harus dihentikan.

d. Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik negative, dan dapat


memperburuk hipertensi. Penghentian konsumsi alcohol memperlihatkan perbaikan
gejala dan hemodinamik bermakna.
2. Terapi obat-obatan
a. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan
pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung (Tjay, 2007). Diuretik
yang sering digunakan golongan diuterik loop dan thiazide (Lee, 2005). Diuretik
Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal
dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan secara
oral dapat menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini
menyebabkan hiperurisemia. Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid,
hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di tubulus
distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif dibandingkan
dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju filtrasi glomerulus turun
dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic loop dengan diuretic thiazude bersifat
sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat
menyebabkan intoleransi karbohidrat (Gibbs CR, 2000).
b. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan
penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin
meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu
memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis
diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil (Tjay, 2007). Digoksin
tidak meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena curah
jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut
jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan
menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan gejala.
c. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding ventrikel,
yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard, menurunkan
konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat
bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran
vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin,
prazosin dan nitroprusida). Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan

41
diuterik dosis tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi
postural. Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian yang
menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Pada gagal jantung sedang atau berat, vasodilator arteri juga dapat menurunkan
tekanan darah (Gibbs CR, 2000).
d. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta adrenoreseptor
biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja inotropik negatifnya. Namun,
stimulasi simpatik jangka panjang yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan
regulasi turun pada reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa
aktivitas simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan
menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi inotropik
katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard (Gibbs
CR, 2000). Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat
tambahan dari diuretic dan ACE-blokers pada dekompensasi tak berat. Obatobatan
tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi serta memeperbaiki gejala dan
keadaan fungsional. Efek ini bertentangan dengan khasiat inotrop negatifnya,
sehingga perlu dipergunakan dengan hati-hati (Tjay, 2007).
e. Antikoagulan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan pada keadaan
dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat, misalnya
pada trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat jantung menjadi mati
karena penyaluran darah kebagian ini terhalang oleh trombus disalah satu cabangnya.
Obat-obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup penderita (Tjay,
2007).
f. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan jalan
menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya berdasarkan penurunan
frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini sedikit banyak juga mengurangi
daya kontraksinya. Perlu pula diperhatikan bahwa obatobatan ini juga dapat
memeperparah atau justru menimbulkan aritmia (Tjay, 2007). Obat antiaritmia
memepertahankan irama sinus pada gagal jantung memberikan keuntungan
simtomatik, dan amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah AF
dan memperbaiki kesempatan keberhasilan kardioversi bila AF tetap ada (Gibbs,
2000).

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association.,2014. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.


Diabetes Care, 36(1).

American Heart Association (AHA). 2013. Coronary Artery Disease - Coronary Heart
Disease. Available from:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/MyHeartandStrokeNews/Coronary-
Artery-Disease---Coronary-Heart-Disease_UCM_436416_Article.jsp

42
Angelakopoulou, A., Shah, T., Sofat, R., Shah, S., Berry, D. J.,Cooper, J., et al.. 2012.
Comparative Analysis of Genome-Wide Association Studies Signals for Lipids, Diabetes,
and Coronary Heart Disease: Cardiovascular Biomarker Genetics Collaboration. Eur
Heart J. 33:393-407.
Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450
Arsenault, B. J., Rana, J. S., Stroes, S. G., Després, J. P., Shah, P. K., Kastelein, J. J. P., et al.. 2010.
Beyond Low-Density Lipoprotein Cholesterol. JACC. 55(1):35-41.

Center for Disease Control (CDC). 2014. International Classification of Diseases 10th
Revision Clinical Modification (ICD-10CM). Available from:
http://www.cdc.gov/nchs/icd/icd10cm.htm
Chiha, M., Njeim, M., Chedrawy, E. G.. 2012. Diabetes and Coronary Heart Disease: A Risk
Factor for the Global Epidemic. Hindawi. doi:10.1155/2012/697240.
Chon, 1988. Dalam: Houn H. Gray, Keith D, Dawkins, A. Aimpson & Jhon M. Morgon.,
2005. Lectur Notes On Cardiology: ed 4. Jakarta. EMS.
Chou, T., 1996. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W. B.
Saunders Company.
Corwin, E.j., 2009. Buku Saku Patofisiologi. Ed.3. Jakarta: EGC.
Deopujari, R., Dixit, A..2010. The Study of Age Related Changes in Coronary Arteries and its
Relevance to the Atherosclerosis. J Anat Soc India. 59(2):192-196.
Depkes, 2006. Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner Fokus Sindrom
Koroner Akut. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 37- 49.
European Society of Cardiology (ESC). 2006. guidelines for percutaneous coronary
interventions (PCI)
Garko, M. G.. 2012. Coronary heart disease – Part I: The prevalence, incidence, mortality
and pathogenesis of the leading cause of death in the United States. Available from:
http://letstalknutrition.com/coronary-heart-disease-part-i-the-prevalence-incidence-
mortality-and-pathogenesis-of-the-leading-cause-of-death-in-the-united-states/

Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure Management: digoxin and
other inotropes, beta blockers, and antiarrhythmic and antithrombotic treatment. BMJ;
320 : page 495-498.
Hvidtfeldt, U. A., Tolstrup. J. S., Jakobsen, M. U., Heitmann, B. L., Grønbæk, M., O'Reilly,
E., et al.. 2010. Alchohol Intake and Risk of Coronary Heart Disease in Younger,
Middle-Aged, and Older Adults. Circulation. 121:1589-1597.

43
Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono,
P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FK UI, 173-174.
Jackson G; Gibbs, C.R. 2000. Pathophysiology of heart failure. Vol 320. New York : Medline.
H 167 – 170.
Jamee, A., Abed, Y., Jalambo, M. O. 2013. Gender Difference and Characteristics Attributed
to Coronary Artery Disease in Gaza-Palestine. Glob J Health Sci. 5(5):51-56.
Jakobsen, M. U., O’Reilly, E. J., Heitmann, B. L., Pereira, M. A., Bälter, Fraser, G. E., et al..
2009. Major Types of Dietary Fat and Risk of Coronary Heart Disease: A Pooled
Analysis off 11 Cohort Studies. Am J Clin Nutr. 89:1425-1432.
Kalidhas, P., Kanniyappan, D., Gandhi, K., Aruna, R. M.. 2011. Coronary Artery Disease
Risk Factors in Type 2 Diabetes Mellitus with Metabolic Syndrome in the Urban South
Indian Population. J Clin Diagn Res. 5(3):516-518.
Kasma, 2011. Coronary Artery Disease. Referat Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman. Samarinda.
Krämer, H. U., Raum, E., Rüter, G., Schöttker, B., Rothenbacher, D., Rosemann, T., et al.
2012. Gender Disparities in Diabetes and Coronary Heart Disease Medication among
Patients with Type 2 Diabetes: Results from the DIANA study. Cardiovasc Diabetol.
11:88.
Lee, C. Y., Hairi, N. N., Ahmad, W. A. W., Ismail, O., Liew, H. B., Zambahari, R., et al. 2013.
Are There Gender Differencesin Coronary Artery Disease? The Malaysian National
Cardiovascular Disease Database – Percutaneous Coronary Intervention (NCVD-PCI)
Registry. PloS One. 8(8): e72382. doi:10.1371/journal.pone.0072382.
Lee TH. Practice guidelines for heart failure management.2005. In: Dec GW, editors. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker:
page, 449-65.
Maas, A. H. E. M., Appleman, Y. E. A..2010. Gender Difference in Coronary Heart Disease.
Neth Heart J. 18(12):598-603.
Mente, A., Koning, L. de, Shannon, H. S., Anand, S. S.. 2009. A Systematic Review of the
Evidence Supporting a Causal Link between Dietary Factors and Coronary Heart
Disease. Arch Intern Med. 169(7):659-669
Micha, R., Wallace, S. K., Mozaffarian, D.. 2010. Red and Processed Meat Consumption and
Risk of Incident Coronary Heart Disease, Stroke, and Diabetes Mellitus: A Systematic
Review and Meta-Analysis. Circulation. 121:2271-2283.
Musunuru, K., Kathiresan, S.. 2010. Genetics of Coronary Artery Disease. Annu Rev
Genomics Hum Genet. 11:91–108.
National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI). 2011. Coronary Heart Disease Risk
Factors. Available from: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-
topics/topics/hd/atrisk.html
Nigam. P.K., 2007. Biochemical Markers of Myocardial Injury. Indian Journal of Clinical
Biochemistry. Available from: http://medind.nic.in/iaf/t07/i1/iaft07i1p10.pdf

44
Orth-Gomér, K., Schneiderman, N., Wang, H. X., Walldin, C., Blom, M., Jernberg, T.. 2009.
Stress Reduction Prolong Life in Women with Coronary Disease: The Stockholm
Women’s Intervention Trial for Coronary Heart Disease (SWITCHD). Circulation. 2:25-
32.
Parswani, M. J., Sharma, M. P., Iyengar, S. S.. 2013. Mindfulness-Based Stress Reduction
Program in Coronary Heart Disease: A Randomized Control Trial. Int J Yoga. 6(2):111-
117.
Paul Wood., 1958. Gagal Jantung. Dalam: Houn H. Gray, Keith D, Dawkins, A. Aimpson &
Jhon M. Morgon., 2005. Lectur Notes On Cardiology: ed 4. Jakarta. EMS.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011.Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2015.Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.

Porter, R. S., Kaplan, J. L.. 2011. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy. 19th ed.
New Jersey: Merck Sharp & Dohme.
Pratanu, Sunoto, dkk. 2009. Elektrokardografi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
2Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis dan
Tatalaksana Praktis Gagal Jantung Akut.
Samsu, N., Sargowo, D., 2007. Sensitivitas dan Spesifisitas Troponin T dan I pada Diagnosis
Infark Miokard Akut. Tinjauan Pustaka. Malang: Fakultas Kedokteran Brawijaya.
Available from http://mki.idionline.org/index.php?
uPage=mki.mki_viewall&smod=mki&s p=public&id_katparent=14&id_artikel=178
Sarwar, N., Gao, P. Seshasai, S. R. K., Gobin, R., Kaptoge, S., Angelantonio, E. Di, et al, The
Emerging Risk Factors Collaboration. 2010. Diabetes Mellitus, Fasting Blood Glucose
Concentration, and Risk of Vascular Disease: A Collaborative Meta-Analysis of 102
Prospective Studies. TheLancet. 375:2215-2222.
Tedjasukmana, P., Karo-karo, S., Kaunang, D.R., Lukito, A.A., Tobing, D.P., Erwinanto,
Yamin, A., 2010. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut: Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PERKI, 4-5
Tan, Y. Y., Gast, G.-C. M., Schouw, Y. T. Van Der. 2009. Gender Differences I Risk Factors
for Coronary Heart Disease. Maturitas. 65:149-160.
Tjay Tan Hoan,Drs., Rahardja Kirana, Drs., 2007. Obat-Obat Penting: ed 6. Gramedia,
Jakarta.
Unachukwu, C., Ofori, S.. 2012. Diabetes Mellitus and Cardiovascular Risk. J Endocrinol.
7(1).
Vaidya, D., Becker, D. M., Bittner, V., Mathias, R. A., Ouyang, P.. 2011. Ageing, Menopause,
and Ischaemic Heart Disease Mortality in England, Wales, and the United State:
Modelling Study of National Mortality Data. BMJ. 343:d5170

45
Wellons, M., Ouyang, P., Schreiner, P. J., Herrington, D. M., Vaidya, D.. 2012. Early
Menopause Predicts Future Coronary Heart Disease and Stroke: The Multi-Ethnic Study
of Atherosclerosis (MESA). Menopause. 19(10):1081-1087.
World Health Organization (WHO). 2011. Indonesia: Coronary Heart Disease. Avalaible
from: http://www.worldlifeexpectancy.com/indonesia-coronary-heart-disease

46

Anda mungkin juga menyukai