Kelimpahan PDF
Kelimpahan PDF
SISTEM PERTANIAN
Oleh :
Zahro Rohayati
Aurida Fauziyah
Zinatul Uthbah
Faikotu Syarifah
Yopi Sulistyono
Andriani Diah I
Yani Yuliani
Hanifah
Surati Dwi F
Titin Atinah
B1J011167
B1J011173
B1J012001
B1J012002
B1J012006
B1J012011
B1J012017
B1J012018
B1J012023
B1J012024
Kelompok : 16
Rombongan : IV
Asisten : Rizkita Dinda Pandhani
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengendalian hayati merupakan salah satu solusi dalam masalah hama pertanian
yang seharusnya lebih banyak dipraktekkan di lapangan karena lebih ramah
lingkungan dan dapat mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida. Menurut
Norris (2003), mendefinisikan pengendalian hayati sebagai penggunaan
parasitoid, predator, patogen, antagonis atau populasi kompetitor untuk menekan
populasi hama, membuat hama menjadi lebih sedikit kelimpahannya dan lebih
sedikit merusak daripada seharusnya bila agens hayati tidak ada. Prinsip
pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi,
yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alami (agen pengendali biologi),
seperti predator, parasit dan patogen.
Lahan pertanian adalah sekumpulan ekosistem yang tidak hanya meliputi
lahan pertanaman (agroekosistem) tetapi juga ekosistem diluarnya, seperti
tumbuhan liar, jalan raya, perkampungan dan lainnya. Lahan pertanian modern
struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat sangat bervariasi
dari satu lanskap ke lanskap yang lain. Lanskap pertanian yang sangat sederhana
misalnya, hanya terdiri atas satu jenis pertanaman (monokultur) dan tumbuhan
iiar, sedangkan lanskap penanian yang kompleks tidak hanya terdiri atas berbagai
pertanaman (polikultur), tetapi juga rerdapat banyak tumbuhan liar (Yaherwandi
et al., 2007). Van Emden (1991) menyatakan peningkatan keanekaragaman
habitat dalam lanskap pertanian dapat meningkatkan keanekaragaman dan
kelimpahan serangga hama dan serangga bemanfaat dan seringkali kerusakan
tanaman oleh hama berkurang. Selanjutnya Kruess and Tschamtke (2000)
menambahkan bahwa tipe dan kualitas habitat, susunan spasial dan keterhubungan
(connectivity) antar habitat di dalam suatu lanskap dapat mempengaruhi
keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Keanekaragaman stuktur lanskap
pertanian tidak hanya mempengaruhi keanekaragarnan hama dan musuh alami di
dalam pertanian, tetapi juga kelimpahan dan keefektifannya. Menurut Smith
(1983) hama adalah semua organisme atau agens biotik yang merusak tanaman
dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan manusia. Hama dalam arti
yang luas adalah makhluk hidup yang mengurangi kualitas dan kuantitas beberapa
sumber daya manusia yang berupa tanaman atau binatang yang dipelihara yang
hasil dan seratnya dapat diambil untuk kepentingan manusia.
Berbicara soal tentang sistem pertanian, ekosistem sawah tentu identik
dengan ekosistem pertanian yang tak lain merupakan sistem ekosistem sederhana
juga monokultur. Ekosistem persawahan jika ditinjau dari segi teoritik adalah
jenis ekosistem yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
kestabilan dari ekosistem sawah ini antara lain interaksi antara komponen
ekosistem di dalam sawah itu sendiri. Komponen dalam ekosistem sawah
mencakup semua komponen abiotik dan biotik yang ada di dalam lingkungan
sawah itu sendiri mulai dari tanah, bebatuan, padi, hama, predator dan masih
banyak lagi lainnya. Ekosistem sawah bisa dibagi menjadi dua yakni parasitoid
dan juga predator (Herlinda, 2005).
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui kelimpahan
organisme dalam sistem pertanian.
serangga
menyebabkan
terjadinya
biological
explosion
dan
terganggunya
dapat
dilakukan
dengan
mengelola
komponen
biotik
dan
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam acara praktikum ini adalah penggaris, tali
rafia sepanjang 8 m dan kamera.
Bahan yang digunakan adalah tanaman padi di area persawahan belakang
kampus Biologi.
B. Metode
1. Area pesawahan yang akan diamati kelimpahan hama dan musuh alaminya
ditentukan terlebih dahulu.
2. Tali raffia sepanjang 8 m, dibuat bentuk petakan persegi sehingga masingmasing panjangnya sekitar 2 m. Petakan tersebut digunakan sebagai tempat
pengamatan kelimpahan hama dan musuh alami bagi sistem pertanian.
3. Setiap oraganisme yang ada dalam area petakan tersebut diamati, dicatat dan
dihitung jumlah maupun jenisnya. Organisme yang diamati dapat berupa
serangga, kutu, capung, lab-laba, keong mas dan lain-lain.
4. Setiap organisme dikelompokkan ke dalam kelompok hama, musuh alami atau
lainnya.
5. Jumlah individu per hektar dihitung, dengan menggunakan rumus berikut:
Jumlah Individu Per Hektar =
Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000
Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei
A.
Hasil
Organisme
Kepik Leher
Kepik
Belalang
Wereng
Total
Jumlah
1
2
5
2
10
Perhitungan:
Jarak tanaman = 0,163 m
Jumlah Individu Per Hektar
= Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000
Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei
= 1,25 x 10.000
0,163 x 2
= 38, 34 individu/hektar
B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kelimpahan organisme
dalam sistem pertanian dapat didefinisikan sebagai banyaknya organisme atau
melimpahnya organisme yang menghuni suatu area pertanian yang membentuk
satu komunitas, dimana organisme itu mempunyai peran masing-masing.
Kelimpahan ini kemungkinan diakibatkan karena adanya sumber makanan
(sumber nutrisi) yang tersedia secara terus menerus serta kondisi suatu area
pertanian yang mendukung jalannya sistem rantai makanan yang melibatkan
semua organisme yang berada di area pertanian tersebut
Kelimpahan jenis
dilekatkan
pada
tongkat
kayu
bergaris
tengah
2-3
cm
untuk
Cara ini diperlukan sebuah sangkar kasa dengan ukuran 1,8 x 1,8 x 1,8 m
yang berkerangka metal. Salah satu sisi sangkar diberi zipper untuk masuk satu
dua orang. Sangkar ditempatkan pada lokasi yang dikehendaki. Pengambil
sampel masuk ke dalam sangkar membawa alat pengumpul serangga (aspirator),
pemotong tumbuhan, dan kantung plastik. Semua serangga di dinding sangkar
diambil sampai habis, kemudian tumbuhan dipotong dan dimasukkan ke dalam
kantung plastik dan diikat erat. Serasah dan daun jatuhan juga dikumpulkan
dalam plastik lainnya. Sangkar dibiarkan untuk satu dua jam lagi sehingga sisa
serangga yang keluar dari persembunyiannya masih dapat dikumpulkan lagi.
7. Mengektraksi serangga dari tanah
Sangat sulit untuk dapat mengumpulkan serangga yang berada di dalam
tanah, karena kepadatan dari tanah dan biasanya serangga di dalam tanah tidak
dapat dengan mudah untuk dilihat atau diambil. Teknik untuk mengumpulkan
serangga dari dalam tanah menjadi lebih kompleks, rumit, dan mahal. Walaupun
demikian mengambil sampel serangga dari dalam tanah sangat penting karena
lebih dari 90% spesies serangga menghabiskan sekurang-kurangnya satu tahapan
hidup di dalam atau pada permukaan tanah. Cara yang paling umum digunakan
untuk mengumpulkan serangga dari tanah adalah dengan menggunakan Berlese
funnel, menyaring, dan mengambangkan. Semua teknik tersebut memerlukan
sampel tanah terlebih dahulu. Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor
tanah atau sekop.
Berlese furnel merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan
untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah. Teknik ini, aslinya
dikembangkan oleh seorang ahli serangga Italia A. Berlese pada awal tahun
1990, menggunakan air panas di sekeliling furnel untuk memanaskan dan
mengeringkan sampel tanah yang terdapt di dalam furnel. A. Tullgreen, orang
Swedia, mengganti sumber panas ini dengan lampu pijar yang diletakkan di atas
sampel tanah. Modifikasi yang lain untuk efisiensi telah dikembangkan, tetapi
semuanya memiliki satu prinsip yang sama, yaitu membuat kondisi lingkungan
menjadi tidak sesuai bagi serangga sehingga memaksa mereka untuk keluar dari
tanah atau memberikan suatu bentuk perangsangan bagi serangga untuk keluar
dari dalam tanah. Bila menggunakan teknik ini, hal yang harus diperhatikan
menangkap
serangga
ham
dari
dari setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh
alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan
ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya
ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat
komponen, interaksi antar komponen ekosistem (Baehaki, 1991). Menurut Iriadi
(1990) mendeskripsikan dengan sederhana bagaimana faktor biotik dan abiotik
dapat mempengaruhi populasi serangga. Pengukuran faktor lingkungan serangga
dilakukan dengan cara menghitung besarnya kelimpahan dan nilai diversitas dari
pohon dan tumbuhan bawah, suhu dan kelembaban udara.
Kelimpahan serangga berhubungan erat dengan perbandingan antara
kelahiran dan kematian pada suatu waktu tertentu. Kelahiran dipengaruhi antara
lain oleh cuaca, makanan dan taraf kepadatannya. Kematian terutama dipengaruhi
oleh cuaca dan musuh alami. Kepadatan dapat mengakibatkan emigrasi yang
dapat berarti sebagai kurangnya individu di suatu lokasi yang dianggap suatu
kematian. Cuaca berpengaruh langsung terhadap tingkat kelahiran dan kematian,
secara tidak langsung cuaca mempengaruhi hama melalui pengaruhnya terhadap
kelimpahan organisme lain termasuk musuh alaminya. Semua makhluk hidup
dalam ekosistem alami berada dalam keadaan seimbang dan saling mengendalikan
sehingga tidak terjadi hama. Keragaman jenis dalam ekosistem alamiah sangat
tinggi yang berarti dalam setiap kesatuan ruang terdapat flora dan fauna tanah
yang beragam. Sistem pertanaman yang beranekaragam berpengaruh kepada
populasi spesies hama (Riyani, 1992). Menurut Irawan (2002), ada 6 faktor yang
saling berkaitan menentukan derajat naik turunnya keragaman, jenis yaitu :
a) Waktu, kelimpahan komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas
tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari
pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan
dalam ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.
b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin
kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin
tinggi keragaman jenisnya.
c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang
sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup,
V. KESIMPULAN
1. Jarak antar tanaman padi adalah sebesar 0,163 m dan jumlah individu per
hektarnya adalah 38,34, diantaranya kami amati, terdapat kepik leher 1 ekor,
kepik 2 ekor, belalang 5 ekor dan wereng 2 ekor.
DAFTAR REFERENSI
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas
artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah.
Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12.
Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat.
Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9.
Baiquni, H. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Praktek Unggulan
Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan.
Department of Industry Tourism and Resources, Australia.
Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily.
2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4:
2138-2152.
Debach, P. 1973. Biological Control of Insect Pests and Weeds. Chapman and
Hall Ltd., London 884pp.
Erawati, Nety Virgo, Sih Kahono. 2010. Keanekaragaman dan Kelimpahan
Belalang dan Kerabatnya (Orthoptera) pada Dua Ekosistem Pegunungan di
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Vol 7 (2) :100-115.
Herlinda S. 2005. Jenis dan kelimphan parasitoid Plutella xylostella L.
(Lepidoptera: lutellidae) di Sumatera Selatan. Agria 1(2):7883.
Herlinda S. 2010. Spore density and viability of entomopathogenic fungal isolates
from Indonesia, and its virulence against Aphis gossypii (Glover)
(Homoptera: Aphididae).Tropical Life Sciences Research. 21(1):1321.
Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian.
Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian.
Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa
ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten
Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Kartohardjono, A. 2011. Penggunaan Musuh Alami Sebagai Komponen
Pengendalian Hama Padi Berbasis Ekologi. Pengembangan Inovasi
Pertanian 4(1) : 29-46.
Kruess, A. and T. Tschamtke. 2000. Spesies dchness and parasitism in a
fragmented landscape: experiments and field studies with insects on Vicia
sepium. Oecolagia lZ2: 129-137
Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke
penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah