Anda di halaman 1dari 17

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2.4
3.2 Epidemiologi
Di Indonesia infeksi virus dengue pertama kali dicurigai di Surabaya pada
tahun 1968, tapi konfirmasi virology baru pada tahun 1970. Pada saat ini infeksi
virus dengue sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975
penyakit ini sudah berjangkit di pedesaan. Pada tahun 2007 dilaporkan 150.000
kasus dengue fever terjadi di indonesia diantaranya 25.000 kasus terjadi di jakarta
dan jawa barat. Pada tahun 2008 kasus DHF dapat ditemukan di seluruh propinsi
di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DHF.
Pada tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar di 33 provinsi, 440 Kab./Kota.
Sejak ditemukan pertama kali kasus DBD meningkat terus bahkan sejak tahun
2004 kasus meningkat sangat tajam.2,3
3.3 Etiologi
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae, genus flavivirus yang berukuran
50 nmini memiliki single standard RNA. Virion-nya terdiri dari nucleocapsid
dengan bentuk kubus simetris dan terbungkus dalam amplop lipoprotein. Genome
(rangkaian kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000 dan
terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu nucleocapsid atau protein core (C),
membrane-associated protein (M) dan suatu protein envelope (E) serta gen protein
non struktural (NS).5 Virus dengue memiliki 4 jenis serotipe, yaitu; DEN-1,
DEN2, DEN-3, DEN-4. Di indonesia DEN-3 merupakan serotype yang paling
terbanyak. dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang

12

13

berat. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat


berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas
distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue -4. Terinfeksinya
seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan menyebabkan
kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun
keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya antigen yang sama namun
berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi
infeksi dengan salah satu dari virus tersebut.Virus dengue dapat bereplikasi pada
hewan mamalia seperti tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan pimata. Selain itu
virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk jenis Aedes.1,3
3.4 Penularan dan masa inkubasi
a. Vektor DBD
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk
Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun
spesies lain seperti Ae.albopictus, Ae.polynesiensis dan Ae. niveus juga dianggap
sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae.aegypti semuanya mempunyai daerah
distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan
host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor
epidemi yang kurang efisien dibanding Ae.aegypti.3
b. Siklus penularan
Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia
menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viraemia)
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. Nyamuk menjadi
infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita yang sedang viremia (periode
inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama hidupnya. Setelah melalui periode
inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi
dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan
mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah
masa inkubasi di tubuh manusia selama 3 - 4 hari (rata-rata selama 4-6 hari)
timbul gejala awal penyakit secara mendadak, yang ditandai demam, pusing,
myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala
lainnya. Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal penyakit
tampak dan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Saat-saat tersebut
penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam

14

siklus penularan, jika penderita tidak terlindung terhadap kemungkinan digigit


nyamuk. Hal tersebut merupakan bukti pola penularan virus secara vertikal dari
nyamuk-nyamuk betina yang terinfeksi ke generasi berikutnya.1,3

Gambar 3.1 Siklus penularan dengue fever.3


c. Masa inkubasi
Infeksi Dengue mempunyai masa inkubasi antara 2 sampai 14 hari,
biasanya 4-7 hari.3
d. Host
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari primata
rendah. Tubuh manusia adalah reservoir utama bagi virus tersebut, meskipun studi
yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa monyet dapat
terinfeksi oleh virus dengue sehingga dapat berfungsi sebagai host reservoir.
Semua orang rentan terhadap penyakit ini, pada anak-anak biasanya menunjukkan
gejala lebih ringan dibandingkan dengan orang dewasa. Penderita yang sembuh
dari infeksi dengan satu jenis serotipe akan memberikan imunitas homolog
seumur hidup tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap terhadap infeksi
serotipe lain dan dapat terjadi infeksi lagi oleh serotipe lainnya.1,3
3.5 Patogenesis
Mekanisme

sebenarnya

tentang

patofisiologi,

hemodinamika,

dan

biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan


model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala

15

klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih
menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential
infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan
virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. Hipotesis
lain yaitu The Immunological Enhancement Hypothesis mennyatakan antibodi
yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi menghambat
peningkatan

replikasi

virus

dalam

monosit,

yaitu enhancing

antibody dan neutralizing antibody.1,5


Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1) Kelompok monoklonal
reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus,
dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya
memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant
spesificity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekuder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi
sekunder virus dengue

oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung

menyebabkan manifestasi berat.1,5,6


Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi immunologis (the
immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut:1,6

Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan


sel Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.

Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi


maupun yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik
untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear.
Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.

Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit


mononuklear yang telah terinfeksi.

Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun


akan menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut
mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa
renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.

16

Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi

dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya


mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem
koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit
dapat mengeluarkan interferon (IFN- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus
dengue (serotipe

berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4 +

berproliferasi dan menghasilkan IFN-. IFN- selanjutnya merangsang sel yang


terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh
limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis
dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan
perdarahan.1
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa
keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala
berat terjadi sebagai akibat serotipe/galur serotipe virus dengue yang paling
virulen.1
3.6 Manifestasi klinis
Demam Berdarah dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam
tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan
peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang
menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan
permeabilitas

dinding

embuluh

darah,

menurunnya

volume

plasma,

trombositopenia dan diatesis hemoragik.1,5,6,7,8 Perbedaan gejala antara DBD


dengan DD tertera pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Gejala Klinis Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue.1
Demam Dengue
(DD)
++
+++
+

Gejala Klinis
Nyeri Kepala
Muntah
Mual

Demam Berdarah
Dengue (DBD
+
++
+

17

++
++
++
+
+
++
+
0
0
+
++++
0
++
+
++
0

Nyeri Otot
Ruam Kulit
Diare
Batuk
Pilek
Limfadenopati
Kejang
Kesadaran menurun
Obstipasi
Uji torniquet positif
Petekie
Perdarahan saluran cerna
Hepatomegali
Nyeri perut
Trombositopenia
Syok

+
+
+
+
+
+
+
++
+
++
+++
+
+++
+++
++++
+++

Keterangan : (+) : 25%, (++) : 50%, (+++) : 75%, (++++) : 100%


Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di
anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Harus
diingat jyga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat
lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi.
Perdarahan lain seperti perdarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.
Pada masa konvalens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak
kaki.1,5,6,7,8
Gambaran klinis DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan.
a. Fase febris
Pada fase febris, pasien mengalami demam mendadak 2 hingga 7 hari, disertai
muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit
kepala. Beberapa kasus pada fase ini ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring
dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah, serta dapat pula ditemukan
manifestasi perdarahan yang ringan seperti ptekie, perdarahan mukosa, dan
perdarahan gastrointestinal walaupun jarang sekali ditemukan. Pembesaran
hepar dapat ditemukan beberapa hari setelah demam terjadi.8

18

b. Fase kritis
Pada fase kritis yang terjadi pada hari 3 7 ditandai dengan penurunan suhu
tubuh menjadi 37,5 38oC disertai kenaikan permeabilitas kapiler, peningkatan
hematokrit & timbulnya kebocoran plasma (plasma leakage). Kebocoran
plasma sering didahului oleh terjadinya leukopeni progresif & penurunan
jumlah trombosit. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura dan asites dapat
dideteksi pada fase ini. Pada fase kritis ini, pasien dapat mengalami dengue
syok syndrome.8
c. Fase pemulihan
Fase pemulihan akan terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Proses tersebut
membuat keadaan umum penderita semakin membaik, ditandai dengan nafsu
makan yang pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis membaik. Pada
fase ini peningkatan jumlah leukosit terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan
peningkatan jumlah trombosit.8
3.7 Diagnosis
Berdasarkan WHO 1975 diagnosis DBD ditegakkan jika terdapat demam
tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari ditambah 1 kriteria klinis dan 1
kriteria laboratorium yaitu:8
1. Klinis
Terdapat manifestasi/ tanda-tanda perdarahan ditandai dengan:
a. Manifestasi perdarahan, minimal uji bendung (Tourniquet Test) positif dan
salah satu bentuk perdarahan lain (Petekie, ekimosis, purpura Perdarahan
mukosa, epistaksis, perdarahan gusi) Hematemesis dan/ atau melena
b. Hepatomegali
c. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi ( 20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak
gelisah, sianosis disekitar mulut
2. Laboratorium
a. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
b. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, yang
ditandai adanya:
c. Hemokonsentrasi/ Peningkatan hematokrit 10% dari data baseline saat
pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia (hipoalbuminemia).
Tabel 3.2 derajat demam berdarah dengue.8

19

3.8 Diagnosis banding


Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang
luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan
idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari ke 34, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala klinis lain seperti
manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata. Kesulitan kadangkadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan sepsis, dalam hal ini
trombositopenia dan hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain
seperti tipe dan lama demam dapat membantu.1
3.9 Penatalaksanaan
Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) pada dasarnya bersifat
suportif, yaitu untuk mengatasi kehilangan suatu cairan plasma sebagai akibat
dari

peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan. Umumnya penderita

demam berdarah dianjurkan untuk dirawat di rumah sakit di ruang perawatan


biasa, akan tetapi pada kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan komplikasi
diperlukan perawatan yang intensif. Untuk dapat melakukan perawatan Demam
Berdarah Dengue (DBD) dengan baik perlu dokter dan perawat yang terampil
serta laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid serta bank darah
yang siap bila diperlukan. Untuk mengurangi angka kematian perlu dilakukan
diagnosis dini dan edukasi untuk dirawat bila terdapat tanda syok. Kunci
keberhasilan penanganan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

terletak

pada keterampilan dokter dalam mengatasi peralihan fase, dari fase demam ke
fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.1,8,9

20

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain


adalah adanya

peningkatan

permeabilitas

kapiler

yang

menyebabkan

perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat


khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan
kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian
mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence)
yang merupakan

fase

awal

terjadinya

kegagalan

sirkulasi,

dengan

melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan


gangguan

hemostasis.

Prognosis

DBD

terletak

pada

pengenalan

awal

terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar


hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunan jumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/
Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan
sebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih
mencermikan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian
caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti
volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian
khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit < 50.000/pl. Secara umum pasien DBD derajat I
danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat
sehari di rumah sakit kelas B danA.1,8,9
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh
karena itu masyarakat atau orang tua diharapkan untuk waspada jika melihat
tanda atau

gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit

DBD. Petama-tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu


tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab),
muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam,
maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai
tanda kedaruratan, periksa uji

tourniquet: apabila

uji tourniquet positif

lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit 100.000/ul pasien


dirawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet positif dengan trombosit
>100.000/ul atau normal atau uji tourniquet negativ, pasien boleh pulang dengan
pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Nilai gejala klinis

21

dan lakukan pemeriksaan Hb,Ht dan trombosit setiap kali selama anak masih
demam. Bila terjadi

penurunan kadar

Hb dan/atau peningkatan kadar

Ht,segera rawat. Beri nasehat kepada orang tua : anak dianjurkan minum
banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain, serta diberikan
obat antipiretik golongan parasetamol (kontraindikasi golongan salisilat). Bila
klinis menunjukkan tandatanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung
kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke
dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit. 1,9 seperti yang telah dijelaskan pada
gambar 3.3

22

Gambar 3.2 Tatalaksana kasus tersangka DBD.4

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,


bersifat simtomatik

dansuportif

yaitu

pemberian

cairan

oral

untuk

mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak
mau minum,

muntah

atau

nyeri

perut

yang

berlebihan,

maka

cairan

intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi

23

perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam


pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian. Rasa haus dan
keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan
muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup,
susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6
jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi,
tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam,
disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.1,4,6,7
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya
hari ke

3-5

fase

demam.

Pemeriksaan

kadar

hematokrit

berkala

merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil


pemberian cairan

yaitu

menggambarkan

derajat

kebocoran

plasma

dan

pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi


sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit
harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu
sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x
kadar Hb. 1,4,6,7
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif
(DBD derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit
(DBD derajat II) dapat dikelola seperti tertera pada gambar 3.4 Apabila pasien
masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan
setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis,
sirop, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu
> 38.5C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif.
Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya
diberikan infus NaCL 0,45% : dekstrosa 5% dipasang dengan tetesan rumatan
sesuai berat badan. Disamping itu perlu dilakukan pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan
trombosit setiap 2 jam.4

24

25

Gambar 3.3 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II


Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus
selama <_ 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan
(tersering perdarahan kulit danmukosa yaitu petekie atau *mimisan) disertai
penurunan jumlah trombosit !_100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit. Pada
saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau
dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda
vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24
jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht
cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan
dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda
vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke
dalam syok. Maka apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak
gelisah, nafas cepat (distres pernafasan), frekuensi, nadi meningkat, diuresis
kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai peningkatan Ht, maka
tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada perbaikan
tetesan dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan
danHt naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht
turun berarti terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam.1,9
Patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada
fase penurunan

suhu

dasar pengobatannya

(fase
adalah

a-febris,
penggantian

fase

krisis,

volume

fase

plasma

syok)
yang

maka
hilang.

Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan


berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan

26

pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-28
jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal
mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan,
apabila anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga
tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat
dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan
NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2
ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20%
atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada
diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%).1,9
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari
umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai
dengan derajat

hemokonsentrasi.

Pada

anak

gemuk,

kebutuhan

cairan

disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Jumlah cairan
rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak konstan
(perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume
cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma,
yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume
yang berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat
perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat
terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila
pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres
pernafasan. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan
nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat
terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.1

27

3.10

Komplikasi
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang

berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang
tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau
perdarahan, dapat menjadi penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati
DBD bersifat sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
trombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus
sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan
dengan kegagalan hati akut. Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak dan
alkalosis, maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung HC03- danjumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat
ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 1:3.
Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8
jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak
diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10
mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang
tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat
diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa
penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai pendek.1
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok
diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah
benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting
dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis
diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena bila syok belum teratasi
dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok

28

berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis,
ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.1,10
Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem
paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi
reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih
(kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai
sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada foto
rontgen dada. Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin
beratnya bentuk demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock
syndrome.1

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab V
    Bab V
    Dokumen3 halaman
    Bab V
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Rehab
    Lapsus Rehab
    Dokumen28 halaman
    Lapsus Rehab
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen17 halaman
    Bab Iv
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Vi
    Bab Vi
    Dokumen1 halaman
    Bab Vi
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen12 halaman
    Bab Iii
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • B Blocker
    B Blocker
    Dokumen5 halaman
    B Blocker
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Nervus Kranialis
    Nervus Kranialis
    Dokumen2 halaman
    Nervus Kranialis
    tiar
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen15 halaman
    Bab Ii
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • B Bloker
    B Bloker
    Dokumen7 halaman
    B Bloker
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    Daftar Pustaka
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen1 halaman
    Bab V
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen4 halaman
    Bab Iv
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • BAB II Tinjauan Pustaka
    BAB II Tinjauan Pustaka
    Dokumen10 halaman
    BAB II Tinjauan Pustaka
    Riskabawal
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen3 halaman
    Bab Iii
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen3 halaman
    Bab Iii
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen5 halaman
    Bab Ii
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • GINGIVA PIGMENTASI
    GINGIVA PIGMENTASI
    Dokumen2 halaman
    GINGIVA PIGMENTASI
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen15 halaman
    Bab Ii
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen3 halaman
    Kata Pengantar
    Fahmi_Iskandar
    Belum ada peringkat