Pendahuluan
Hingga saat ini HIV masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan tahun 2011, kasus HIV
teridentifikasi tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di seluruh (33) provinsi di
Indonesia. Provinsi pertama kali ditemukannya adanya kasus HIV adalah Provinsi Bali (1987),
sedangkan yang terakhir melaporkan adanya kasus HIV (2011) adalah Provinsi Sulawesi Barat.
Berdasarkan data terbaru, kejadian penularan infeksi HIV di Indonesia terbanyak melalui
hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi tanpa menggunakan kondom. Diikuti oleh
penggunaan alat suntik yang tercemar darah yang mengandung HIV (karena penggunaan alat
suntik secara bersama di antara para pengguna Napza suntikan), dan ditularkan dari ibu pengidap
HIV kepada anaknya, baik selama kehamilan, persalinan atau selama menyusui. Cara penularan
lain adalah melalui transfusi darah yang tercemar, alat tusuk dan peralatan lainnya (tato, dan lain
lain) dan adanya infeksi menular seksual seperti sifilis.
Sejak beberapa tahun belakangan ini telah banyak kemajuan dicapai dalam program
pengendalian HIV di Indonesia. Berbagai layanan terkait HIV telah dikembangkan dan
dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya yaitu para populasi kunci dengan jumlah
yang terus meningkat. Namun demikian efektifitas maupun kualitas intervensi dan layanan
tersebut masih belum merata dan belum semuanya saling terkait. Selainitu, masih banyak
tantangan yang harus dihadapi seperti jangkauan layanan, cakupan, maupun retensi klien pada
layanan, termasuk di wilayah dengan beban yang tinggi.
Maka dari itu diperlukan langka langkah yang dapat menurunkan angka kejadian HIV
dimasyarakat, salah satunya dengan langkah promosi dan prevensi pada setiap wilayah di
Indonesia. Dalam hal tersebut peran puskesmas sebagai unit pelaksana teknis daerah yang berada
paling dekat dengan masyarakat jangkauannya diharapkan mampu menjalankan program
tersebut.1
Identifikasi Masalah Kesehatan di Masyarakat
Berdasarkan skenario terdapat angka kejadian HIV/AIDS semakin hari semakin
memprihatinkan. Sampai dengan triwulan III tahun 2014 jumlah kasus baru HIV 7335 kasus,
infeksi tertinggi menurut golongan umur adalah 25-49 tahun mencapai 69,1%, 20-24=17,2%,
umur >50 th = 5,5%. Rasio laki-laki:perempuan = 1:1. Sementara itu kasus AIDS dari bulan juli
smapai september 2014 telah bertambah 176 orang. Persentase tertinggi kasus AIDS pada usis
30-39 tahun (42%) umur 20-29 th (36,9%) dan umur 40-49 (13,1%). Rasio AIDS laki:perempuan
adalah 2:1. Yamg menarik adalah adanya 4% kasus berasal dari ibu yang HIV positif yang
menularkan pada anaknya. Pemerintah saat ini sedang melaksanakan program yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS ini,
antara lain dengan program VCT (Voluntary, Counseling and Test). Diharapakan mampu
menjaring sebanyak mungkin kasus HIV/AIDS sedini mungkin untuk mencegah penularan lebih
lanjut. Selain itu sasaran lain adalah usia muda dan remaja agar mampu melaksanakan upaya
promosi dan prevensi terhadap penyakit ini.
Analisis Masalah dengan Pendekatan Epidemiologi
Ditinjau dari sudut ekologis ada tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu kesakitan,
kecacatan, ketidakmampuan dan kematian pada manusia yang disebut sebagai Trias Ekologi
(Ecological Triad) atau Trias Epidemiologi (Epidemiological Triad) yaitu agen penyakit,
manusia dan lingkungan.2
a. Agen penyakit
HIV AIDS
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu sejenis virus yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia. Virus HIV akan masuk ke dalam sel darah
putih dan merusaknya, sehingga sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap infeksi akan menurun jumlahnya. Akibatnya system kekebalan tubuh menjadi
lemah dan penderita mudah terkena berbagai penyakit. Kondisi ini disebut AIDS.
AIDS merupakan singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yaitu kumpulan
gejala penyakit (sindrom) yang didapat akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan
oleh HIV.2
Etiologi
Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini
mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus
mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam
informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus
membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.3
Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti
sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat
terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi
target utama HIV.3 HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel
T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti
p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen.3 Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi
sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri
setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3
bulan setelah infeksi.3 Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita
HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan
virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode). 3 Kemudian dimulailah
infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan
CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun,
tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga
tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8- 10 tahun,
dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/L.
Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan
DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap
AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang
juga bertahap.6 Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai
menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam
lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dll.
Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan
menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak,
sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan
sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati
dan pada sel epitel usus adalah diare kronis.3
b. Host /Pejamu
Faktor manusia sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit dan tergantung pada
karakteristik yang dimiliki oleh masing masing individu antara lain:2
a) Umur
b) Jenis kelamin
c) Pekerjaan: status pekerjaan mempunyai hubungan erat dengan penyakit akibat
pekerjaan.
d) Status kekebalan: reaksi tubuh terhadap penyakit tergantung pada status
kekebalan yang dimiliki sebelumnya seperti kekebalan terhadap penyakit virus
yang tahan lama dan seumur hidup.
e) Gaya hidup: multiple sex partner, narkoba.
f) Psikis: Faktor kejiwaan seperti emosional,stress Lingkungan
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian, yaitu lingkungan hidup
internal berupa keadaan yang dinamis dan seimbang yang disebut hemostasis dan
lingkungan hidup eksternal di luar tubuh manusia.Lingkungan hidup eksternal ini terdiri
dari tiga komponen yaitu:2
a) Lingkungan fisik: bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca,
makanan, rumah, panas, sinar, radiasi dan lain-lain.Lingkungan fisik ini
berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa, serta
memegang peran penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat,
seperti kekurangan persediaan air bersih terutama pada musim kemarau dapat
menimbulkan penyakit diare dimana-mana.2
b) Lingkungan biologis: bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh- tumbuhan,
hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain lain yang dapat berfungsi
sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit atau pejamu (host)
intermediate.2
Lingkungan sosial: beberapa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan,agama , sikap,
standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan
politik.Manusia dipengaruhi oleh lingkungan sosial melalui berbagai media seperti radio,
TV, pers, seni, literatur, cerita, lagu dan sebagainya.Bila manusia tidak dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosial, maka akan terjadi konflik kejiwaan dan
menimbulkan gejala psikosomatik seperti stress, insomnia, depresi dan lainnya.2
Transmisi HIV/AIDS
Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu
melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang
dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui,
misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana.3
Transmisi seksual
Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau
cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut
pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan
seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko
penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik
terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.3
Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko tertinggi
bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya mukosa rektum sehingga mudah
sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin
bertambah apabila terjadi perlukaan dengan tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko
kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV.
Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya terjadi pada
hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV.
Transmisi Non-Seksual
HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik
dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV. Penggunaan jarum suntik
yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza
suntik (IDU). Pada umumnya, ibukota dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna
napza suntik yang besar. Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang
mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru
HIV. Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang mengandung HIV.
Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%, artinya bila seseorang mendapat
transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita
HIV sesudah transfusi itu. Di negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah
sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan
HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap
darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama
masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. HIV tidak menular
melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersamasama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra
seksual dan hubungan sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin
serta gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS.3
Masa inkubasi
Bervariasi. Walaupun waktu dari penularan hingga berkembang atau terdeteksinya
antibodi, biasanya 1 3 bulan, namun waktu dari tertular HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS
sekitar < 1 tahun hingga 15 tahun atau lebih. Tanpa pengobatan anti-HIV yang efektif, sekitar 50
% dari orang dewasa yang terinfeksi akan terkena AIDS dalam 10 tahun sesudah terinfeksi.
Median masa inkubasi pada anak-anak yang terinfeksi lebih pendek dari orang dewasa.
Bertambahnya ketersediaan terapi anti-HIV sejak pertengahan tahun 90 an mengurangi
perkembangan AIDS di AS dan di banyak negara berkembang secara bermakna.4
Masa penularan
Tidak diketahui, diperkirakan mulai berlangsung segera sesudah infeksi HIV dan
berlangsung seumur hidup. Bukti-bukti epidemiologis menyatakan bahwa infektivitas meningkat
dengan bertambahnya defisiensi imunologis, tanda-tanda klinis dan adanya Penyakit Menular
Seksual (PMS) lainnya. Studi epidemiologis menyatakan bahwa infektivitas menjadi tinggi
selama periode awal sesudah infeksi.4
konseling, konseling ini seharusnya selalu harus ditawarkan pada klien. Tujuan utama adalah
memahami hasil tes dan beradaptasi dengan serologi.5
Bila hasil Positif (+):
a. Hasil segera disampaikan kepada klien dengan jelas dan nada suara datar, lakukan dukungan
emosional pada klien dan diskusikan tentang cara menghadapinya.
b. Pastikan klien mempunyai dukungan emosional cukup dan segera dari orang dekatnya.
c. Diskusi hubungan seks aman.
d. Konseling memberikan dukungan akan perlunya terapi perawatan diri gaya hidup sehat.
e. Bagi keluarga yang membutuhkan konseling agar dapat mendukung klien dan diri sendiri.
Bila hasil Negatif (-):
a. Diskusikan perubahan perilaku ke arah hidup sehat
b. Motivasi klien untuk mengubah perilaku dengan memberikan akses rujukan pelayanan
c. Hasil negatif bukan berarti tak terinfeksi, ulangi tes 1 3 bulan lagi.
Prinsip Pelayanan VCT
Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT), terdiri dari:
a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar
kerelaan klien, tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak
ditangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan,
organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan
untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen
pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asuransi kesehatan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan harus bersifat profesional,
menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus
dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di
luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak
dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya
dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.
c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif. Konselor mendukung klien
untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk
mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam
menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif. d. Testing merupakan salah
satu komponen dari VCT. WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang
dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh
konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien.
Kebijakan dan Upaya Penanggulangan5
Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang. Sistem
imunitas menurun secara progrsif sehingga muncul infeksi-infeksi opurtunistik yang muncul
secra bersamaan pula dan berakhir pada kematian. Sementara itu hingga saat ini belum
ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Pengobtan HIV/AIDS dpat dibagi dlam tiga
kelompok:
a. Pengobtan suportif
Yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri
dari pemberian gizi yang baik, obat simtomatik, vitamin dan dukungan psikososial agar
penderita dpat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin.
b.Pengobatan infeksi opurtunistik
Yaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi opurtunistik dan dilakukan secara empiris.
c. Pengobatan antiretroviral
Saat ini telah ditemukan beberapa obat antiretroviral (ARV) yang dapat menghambat
perkembangan HIV. ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau
penghambat enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas
hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih mudah
diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat
menyembuhkan atau membunuh virus. Kendala dalam pemberian ARV antara lain
kesukaran Odha untuk minum obat secara teratur, adanya efek samping, harga yang
relatif mahal dan timbulnya resistensi HIV terhadap obat ARV.
Terapi anriretroviral (ARV)
Pengobatan ARV dimaksudkan untuk mengurangi jumlah virus didalam tubuh. Biasanya
ARV digunakan dalam dua atau tiga kombinasi untuk mencegah resistensi. ARV terdiri dari
kombinasi golongan Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI), Non-Nukleoside
Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) dan Protease Inhibitor (PI). NRTI dan NNRTI dipakai
secara bersama-sama agar tubuh semakin kuat menghambat perkembangan (replikasi) virus.
Kedua golongan obat ini bekerja pada tahap awal perkembangan virus, saat proses perubahan
DNA menjadi RNA. NRTI dan NNRTI menghambat terbentuknya RNA. Sedangkan ARV
golongan PI berfungsi menghambat terbentuknya protein baru yang bakal menjadi virus baru.
Sesuai WHO bagi negara dengan kemampuan terbatas, kombinasi ARV yang danjurkan
yaitu 2 NRTI dan 1 NRTI atau PI. Menurut dr Samsuridjal SpPD, terapi ARV yang diterapkan
sekarang yaitu kombinasi tiga obat, yakni Zidofudine, Lamivudine, dan Nevirapine. Ketiga obat
tersebut digabung dalam satu tablet Zidovex-LN. Dr Samsuridjal adalah Koordinator Program
Akses Diagnosis dan Terapi Kelompok Studi Khusu AIDS (Pokdisus) FKUI RSCM.
Obat ARV bukan sembarang obat yang bisa dipakai kapan saja. Dampaknya harus selalu
diperhatian oleh dokter yang meresepkannya. Evaluasi dapat dilakukan dengan menghitung
kadar RNA dalam plasma darah, CD4, kadar enzim SGPT/SGOT.
Efek samping yang dapat ditimbulakan oleh obat ARV ini adalah anemia, gangguan saraf
pusat karena Efapirenz, merusak hati, diare, dan kemerahan pada kulit karena pemakaian
Neverapine. Efek lain yaitu gangguan pertukaran zat yang meliputi pembentukan dan penguraian
zat organik dalam tubuh yang disebabkan oleh PI.
Tujuan terapi AVR
a. Menurunkan angka kematian dan angka perawatan rumah sakit
b. Menurun kan viral load
c. Meningkatkan CD4 (pemulihan respons imun)
d.Mengurang resiko penularan
e. Meningkatkan kualitas hidup
penccegahan yang dikenal sebagai teori five levels of prevention. Hal ini meliputi pencegahan
primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.7
Pencegahan primer dilakukan saat individu belum menderita sakit, meliputi hal-hal berikut : 1)
promosi kesehatan (health promotion) yang ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap masalah kesehatan; 2) perlindungan khusus (specific protection) berupa upaya spesifik
untuk mencegah terjadinya penularan penyakit tertentu, misalnya melakukan imunisasi dan
peningkatan ketrampilan remaja untuk mencegah ajakan menggunakan narkotik, sex bebas serta
penanggulangan stress.7
Pencegahan sekunder dilakukan pada masa individu mulai sakit meliputi hal-hal berikut: 1)
diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment). Tujuan utama
tindakan ini adalah mencegah penyebaran penyakit jika penyakit ini merupakan penyakit
menular, mengobati dan menghentikan proses penyakit, meyembuhkan orang sakit dan
mencegah terjadinya komplikasi dan cacat; 2) Pembatasan kecacatan (disability limitation). Pada
tahap ini, cacat yang terjadi diatasi, terutama agar penyakit tidak berkelanjutan hingga mengarah
pada cacat yang lebih buruk.7
Pencegahan tersier (rehabilitasi). Pada proses ini, diusahakan agar cacat yang diderita tidak
menjadi hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal secara fisik, mental
dan sosial.7
Surveilance
Pengertian Surveilans HIV/AIDS
Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk mengetahui tingkat masalah melalui pengumpulan
data yang sistematis dan terus menerus terhadap distribusi dan kecenderungan infeksi HIVdan
penyakit terkait lainnya.8
Tujuan Surveilans HIV/AIDS
Tujuan Umum :
Tujuan surveilans HIV/AIDS adalah untuk memperoleh gambaran epidemiologi tentang infeksi
HIV/AIDS di Indonesia untuk keperluan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.8
Tujuan Khusus :
Mengetahui prevalensi infeksi HIV/AIDS pada kelompok sub populasi tertentu yaitu
pada kelompok berperilaku risiko tinggi dan perilaku risiko rendah pada lokasi tertentu.
Memantau kecenderungan infeksi HIV/AIDS berdasarkan waktu, tempat dan orang.
Penyebaran Infeksi HIV/AIDS pada kelompokkelompok sub populasi tertentu
berdasarkan waktu perlu dipantau dengan seksama.
hasil laboratorium. Dinas Kesehatan Provinsi akan memakai Laporan Surveilans Sentinel
HIV tersebut sebagai data dasar untuk dimasukkan kedalam program komputer SSHIV
yang menjadi pusat pengolahan data surveilans sentinel HIV di provinsi. Data yang
dikumpulkan tersebut pada umumnya bukan merupakan populasi sasaran surveilans
sentinel HIV misalnya: Data darah donor dari UTD/ UTDP dan Data dari Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) yang berangkat ke luar negeri.8
b. Kompilasi Data
Semua data yang dikumpulkan dari lapangan (dari masing-masing sub- populasi
sentinel) diolah dengan menggunakan SSHIV oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota dan
Provinsi, selanjutnya Dinas Kesehatan Provinsi akan melakukan kompilasi hasil
pengumpulan data dari lapangan dan dari Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi di
tingkat Provinsi. Hasil olahan ini akan dikirimkan ke Ditjen PPM& PL - Dit P2ML, cq
Subdit AIDS& IMS untuk dilakukan analisis di tingkat nasional.8
c. Analisis Data
Di kabupaten/ kota dan provinsi pengelola program PMS dan HIV/AIDS
melakukan analisis sederhana supaya bisa menunjukkan tren/ kecenderungan prevalens
HIV pada setiap sub- populasi sentinel menurut waktu dan tempat dengan menggunakan
grafik-grafik sederhana. Di tingkat pusat, data yang terkumpul dari semua daerah akan
disimpan di Subdit AIDS & PMS Ditjen PPM & PL DepKes RI. Data tersebut akan
dianalisis untuk melihat tren/ kecenderungan prevalens infeksi HIV berdasarkan orang,
waktu dan tempat dalam bentuk grafik dan ditambahkan penjelasan.8
d. Interprestasi Data
Data surveilans sentinel HIV harus diinterpretasikan untuk menilai seberapa cepat
peningkatan atau penurunan prevalens HIV pada berbagai sub-populasi sasaran di daerah
masing-masing (populasi sentinel).8
e. Umpan Balik Data
Direktorat P2ML cq. Subdit AIDS& PMS akan memantau pelaporan pelaksanaan
kegiatan surveilans HIV di seluruh wilayah yang melaksanakan kegiatan surveilans
sentinel HIV. Selanjutnya mereka akan membuat laporan singkat hasil surveilans sentinel.
Laporan singkat tersebut akan dikirimkan kepada semua pihak yang terkait baik di tingkat
nasional maupun di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang terkait. Dinas Kesehatan
Provinsi juga perlu membuat laporan singkat yang berasal dari kabupaten/ kota setempat,
dan mengirimkannya kepada semua pihak yang terkait di provinsi tersebut. Laporan
umpan balik tersebut memuat interpretasi analisis data sentinel surveilans HIV:
Ringkasan hasil prevalens HIV menurut populasi sentinel dan waktu: tren/kecenderungan
peningkatan atau penurunan prevalens infeksi-HIV pada masing-masing populasi sentinel
yang dipilih pada masing-masing wilayah.
Bila tersedia, hasil surveilans perilaku dilaporkan bersamaan hasil sero surveilans sentinel
HIV.8
f. Monitoring
Monitoring merupakan pengawasan rutin terhadap informasi penting dari kegiatan
surveilans sentinel yang sedang dilaksanakan dan hasil-hasil program yang harus dicapai.
Pada pelaksanaan surveilans sentinel, monitoring dilakukan pada prosesnya melalui
sistem pencatatan dan pelaporan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, BLK dan Subdit AIDS& PMS
sesuai dengan protap.8
g. Evaluasi
Evaluasi kegiatan surveilans sentinel dilakukan pada tahap input, proses pelaksanaan dan
output.
Pada evaluasi input pemegang program HIV dari semua tingkat admisnistratif perlu
mengevaluasi berbagai kebutuhan. Petugas tersebut perlu melaksanakan kerangka sampel
yang benar dan pelaksanaan pemetaan lokasi sentinel. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah jumlah petugas kesehatan yang bermutu, materi dan peralatan serta biaya yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan lapangan. Selain itu perlu diantisipasi masalah-masalah
yang mungkin timbul dalam pelaksanaan di lapangan.
Evaluasi proses pelaksanaan perlu dilakukan untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan
kegiatan. Pada tahap ini evaluasi dilakukan terhadap siapa melakukan apa dan
bagaimana caranya. Evaluasi ini dilakukan untuk semua petugas yang dilibatkan, seperti
misalnya petugas pencatatan dan pelaporan, petugas laboratorium. Misalnya apakah
petugas pengambil spesimen darah telah menggunakan prosedur yang benar dan telah
melakukan pengkodean pada setiap venoject berisi spesimen darah.
Evaluasi output mencerminkan evaluasi terhadap kegunaan data, kualitas data dan
cakupan surveilans sentinel. Evaluasi terhadap kegunaan hasil surveilans dilakukan oleh
setiap tingkat administrasi. Evaluasi ini dilakukan dengan mengintrepretasikan
tren/kecenderungan prevelans HIV pada sub-populasi yang diamati. Sedangkan evaluasi
terhadap kualitas surveilans sentinel ini dilakukan untuk mengetahui seberapa valid data
yang dihasilkan kegiatan sentinel tersebut. Evaluasi tahap ini lebih dititip beratkan pada
proses pelaksanaan kegiatan. Evaluasi terhadap cakupan surveilans ini meliputi hal-hal
yang menghambat pelaksanaan sentinel seperti jarak antara petugas kesehatan dan
sentinel site, jadwal pelaksanaan, biaya pelaksanaan dan sosial budaya setempat.8
Promosi Kesehatan9
Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Strategi
Untuk mencapai tujuan dan target yang telah ditetapkan, promosis kesehatan akan
menggunakan bebrapa strategi secara simultan untuk sasarana yangh berbeda. Strategi tersebut
adalah:
1.Advokasi
Merupakan upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen
dan dukungan dari para pengambil kemputusan dan pihak-pihak yang terkait (staholders)
dalam penegndalian HIV/AIDS. Strategi ini dilakukan untuk intervensi kebijakan berupa:
-
Yang dimaksud kebijakan disini adalah semua produk hukum yang dikeluarkan oleh
pejabat negara baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
Perencanaan merupakan fungsi yang terpenting karena merupakan awal dan arah dari
proses manajemen posyandu secara keseluruhan.Perencanaan dimulai dengan sebuah ide
atau perhatian yang khusus ditujukan untuk situasi tertentu.Perencanaan program yandu
bersifat operasional karena langsung akan diimplementasikan (dilaksanakan) di
lapangan.Perencanaan program yandu terdiri dari lima langkah penting yaitu:10
a) Menjelaskan berbagai masalah
Untuk dapat menjelaskan masalah program yandu diperlukan upaya analisis
situasi.Sasaran analisis situasi adalah berbagai aspek penting pelaksanaan
program yandu di di berbagai wilayah, khususnya di wilayah puskesmas. Aspek
yang dinilai meliputi aspek epidemiologis masalah kesehatan, aspek demografis,
aspek geografis, aspek sosial ekonomi dan aspek organisasi pelaksana program.10
b) Menentukan prioritas masalah
Penetapan prioritas masalah adalah sebuah keharusan karena begitu kompleksnya
masalah dan terbatasnya sumber daya yang tersedia.Semua masalah yang telah
diidentifikasi kemudian ditentukan priortasnya.Prioritas masalah dijadikan dasar
untuk menentukan tujuan perencanaan program.Prioritas masalah secara praktis
dapat ditetapkan berdasarkan pengalaman staf, jumlah dana yang tersedia, dan
mudah tidaknya masalah itu dipecahkan.10
c) Menetapkan tujuan dan indikator keberhasilannya
Apabila prioritas program dan wilayah binaan sudah ditetapkan, langkah
selanjutnya adalah menetapkan tujuan dan target masing masing program
berdasarkan jumlah penduduk sasaran di suatu wilayah kelima program yandu.10
d) Mengkaji hambatan dan kendala
Sebelum menetapkan tolak ukur, perlu dipelajari lebih dahulu hambatanhambatan program kesehatan yang pernah dialami atau yang diperkirakan dapat
terjadi, baik yang bersumber dari masyarakat, lingkungan, puskesmas maupun
sektor-sektor lainnya di tingkat kecamatan.10
e) Menyusun rencana kerja operasional
Dahulu rencana kerja operasional (RKO) akan memudahkan pimpinan
mengetahui sumber daya yang dibutuhkan dan sebagai alat untuk pemantauan
program secara menyeluruh.10
b. Pengorganisasian
Dari struktur organisasi Puskesmas dapat diketahui mekanisme pelimpahan wewenang
dari pimpinan kepada staf sesuai dengan tugas-tugas yang diberikan.Dalam lokakarya
mini biasanya dihasilkan kesepakatan kerja sama secara tertulis di antara staf untuk
menyelesaikan tugasnya masing masing.10
c. Penggerakan-Pelaksanaan
Keberhasilan pengembangan fungsi menajemen ini sangat dipengaruhi oleh keberhasilan
pimpinan Puskesmas menumbuhkan motivasi kerja staf dan semangat kerja sama antara
staf dengan staf lainnya di Puskesmas (lintas program), antara staf Puskesmas dengan
masyarakat, antara staf Puskesmas dengan pimpinan instansi di tingkat kecamatan (lintas
sektoral).Mekanisme komunikasi yang dikembangkan oleh pimpinan Puskesmas dengan
stafnya, demikian pula antara pimpinan puskesmas dengan camat dan pimpinan sektor
lainnya di tingkat kecamatan, termasuk dengan aparat di tingkat desa akan sangat
berpengaruhpada keberhasilan fungsi menajemen ini.10
d. Pengawasan dan pengendalian (Wasdal)
Tolak ukur keberhasilan program yandu sudah ditetapkan melalui RKO (Rencana Kerja
Operasional) yang telah disusun.Pimpinan puskesmas dan koordiantor program yandu
dapat mengevaluasi keberhasilan program dengan menggunakan RKO sebagai standar
dan membandingkan hasil kegiatan program di masing masing pos yandu.Tnggung
jawab pengawasan program yandu tetap berada di tangan pimpinan Puskesmas tetapi
wewenang pengawasan di lapangan dilimpahkan kepada coordinator program.10
e. Penilaian keberhasilan program yandu
Untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan program yandu, kajian output (cakupan)
masing masing program yang dibandingkan dengan targetnya adalah salah satu cara
yang dapat dipakai sebagai bahan penilaian.Cakupan program adalah hasil langsung
(output) kegiatan program yandu.Cakupan setiap program dapat dihitung segera setelah
pelaksanaan kegiatan program.Perhitungan cakupan ini dapat dilakukan dengan
menggunakan statistik sederhana yaitu jumlah orang yang mendapatkan pelayanan dibagi
dengan jumlah penduduk sasaran setiap program.10
Kesimpulan
Meningkatnya insiden masyarakat yang terinfeksi HIV pada kelompok masyarakat
tertentu seperti masyarakat usia produktif 15 60 tahun serta golongan resiko tinggi yaitu
ibu hamil serta bayi yang dilahirkan dari ibu yang positif HIV. Maka dari itu
diperlukannya tindakan dari pemerintah dan dinas kesehatan untuk menekan peningkatan
insiden tersebut dengan langkah promotif dan preventif pada masyarakat luas.
Daftar Pustaka
1. Pedoman penerapan layanan komperehensif HIV-IMS berkesinambungan. Diunduh dari
http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-hivims2012.pdf. 17 Juli 2016
2. Kurniawati ND, Nursalam. Asuhan keperawtan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS.
Jakarta; Salemba Medika, 2007.h.38 50
3. Stolley KS, Glass JE. HIV/AIDS. USA: Greenwood Publishing Group: 2009.p.3-35
4. Davis, Sarah LM. et. al. 2009. Harm Reduction journal Survey of abuses against injecting
drug users in Indonesia. Diunduh dari : http://www.harmreductionjournal.com. Diakses
pada tanggal 17 juli 2016
5. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor s/d
Juni 2011. Di unduh dari http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf. 17 July 2016
6. Daili, S. F. Infeksi genital nonspesifik dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2001.h.67-8
7. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta, EGC; 2009.h.18 - 31
8. Depkes RI. 2006. Surveilans HIV Generasi Kedua Pedoman Nasional Surveilans
Sentinel HIV. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Diunduh dari : www.perpustakaan.depkes.go.id/cgibin/.../opac-search.pl?q...HIV, diakses pada tanggal 16 Juli 2016
9. Kemkes-RI. Rencana operasional promosi kesehatan dalam penegndalian HIV/AIDS
tahun 2010.
10. Chandra B. Ilmu kedokteran pencegahan dan komunitas.Jakarta:EGC;2009.h 1,9-12.