Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN RUMAH DENGAN

KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TIPAR


KOTA SUKABUMI TAHUN 2016
Pantjawidi D., SKM.,M.Kes1 Dr. Hj. Sri Komalaningsih., M. S3
Sri Yulianti Purnama, S.KM3 123Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat
STIKes Dharma Husada Bandung Jl Terusan Jakarta No 75 Bandung
ABSTRAK
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang masih tinggi. Berdasarkan di
Jawa Barat tercatat 61.529 orang BTA negatif dan 31.325 orang BTA positif.
Sedangkan data Kota Sukabumi dilihat dari tahun 2015 ditemukan kasus sebanyak
846 orang. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu rumah yang kurang sehat
seperti kelembaban, pecahayaan, kepadatan hunian, jenis lantai. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan
kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota Sukabumi. Jenis
penelitian deskriptif korelatif dan pendekatan waktu cross sectional. Sampel
sebanyak 96 orang. Insrumen dalam pengumpulan data yaitu lembar cheklis
(Hygrometer, Luxmete, Roll Meter). Analisis yang digunakan univariat dan
bivariat dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukan angka kejadian TB
paru yaitu positif sebesar 52,1%. Didapatkan kelembaban 51,0% kurang,
pecahayaan 61,5% kurang, kepadatan hunian 64,4% memenuhi syarat dan jenis
lantai keramik sebesar 54,2%. Ada hubungan pada kelembaban (p value 0,000),
pencahayaan (p value 0,004) dengan kejadian TB Paru. Sedangkan kepadatan (p
value 0,105) dan jenis lantai (p value 0,097) tidak terdapat hubungan dengan
kejadian TB paru. Saran bagi puskesmas harus dilakukan penyuluhan rumah sehat
terutama pada masyarakat tentang kelembaban, pencahayaan dalam kondisi fisik
lingkungan rumah agar dapat menurunkan angka kejadian TB Paru yang tinggi.
Kata Kunci
Daftar Pustaka

: Kejadian TB Paru, Kondisi Lingkungan Rumah,


kelembaban, pecahayaan, kepadatan hunian, jenis lantai
: 30 Literatur (2002-2016)

STIKes Dharma Husada Bandung

yang ditetapkan dalam Rencana


Pembangunan
jangka
Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014 adalah
tercapainya penemuan penderita baru
Tuberkulosis
BTA
positif
yang
ditemukan dari 73% menjadi 90%.
Dengan
tercapainya
target
ini
diharapkan dapat menurunkan tingkat
prevalensi
dan
kematian
akibat
Tuberkulosis , sesuai dengan tujuan
MDGs (Millenium Development Goals)
pada tahun 2015 (Kemenkes, 2014).
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia
(Pusdatin, 2014) data hasil cakupan
penemuan kasus baru Tuberkulosis BTA
Positif di Jawa Barat mencapai 31,46%
hal ini merupakan rangking tertinggi di
Indonesia. Namun pencapaian tersebut
mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya, pada
tahun 2011 CDR mencapai 75,29%,
cakupan penemuan CDR ini masih
cukup tinggi. Pada tahun 2012 memiliki
capaian CDR 71,35%. Sedangkan untuk
tahun 2013 pencapaian CDR mencapai
69,34%. Tuberkulosis BTA Positif Pada
tahun 2014 mengalami penurunan
mencapai 31,496% dari target 80%
yang telah ditetapkan.
Pada Tahun 2014, jumlah seluruh pasien
TB paru di Jawa Barat tercatat sebanyak
61.529 orang sedangkan jumlah TB paru
BTA positif sebanyak 31.325 orang
dengan jumlah penduduk sebanyak
46.300.543 jiwa. Berdasarkan tingkatan
Kabupaten angka konversi pasien TB
BTA positif Provinsi Jawa Barat 2014,
sedangkan Kota Sukabumi itu sendiri
yaitu 90,66%. Adapun indikator
penemuan pasien TB paru dari proporsi
suspek yang diperiksa dahaknya dari
tahun ke tahun belum mencapai angka
minimal yang sebaiknya harus dicapai
yaitu 70%. Kota Sukabumi proporsi
suspek yang diperiksa dahaknya TB
paru Tahun 2013 yaitu sebanyak 688
kasus tahun 2014 sebanyak 798 kasus
dan tahun 2015 sebanyak 846 kasus
(Dinkes Kota Sukabumi, 2016).

PENDAHULUAN
Latar Belakang
TB Paru adalah salah satu penyakit
menular dimana merupakan penyakit
yang tersebar hampir di sebagian besar
negara di seluruh dunia dan menjadi
masalah kesehatan dimasyarakat, karena
angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Sumber penularan TB Paru
adalah penderita tuberkulosis BTA
(Basil Tahan Asam) positif yang sangat
berpotensi menularkan penyakit yang
berasal dari lingkungan dan dapat
merusak
kesehatan
lingkungan
(Kemenkes, 2014).
Dalam laporan WHO tahun 2013
diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus
Tuberkulosis pada tahun 2012 dimana
1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah
pasien TB dengan HIV positif. Sekitar
75% dari pasien tersebut berada di
wilayah
Afrika
(Kementerian
Kesehatan, 2014). Tuberkulosis salah
satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah serius khususnya di
negara berkembang. Direktur Jenderal
Pengawasan Penyakit dan Pengelolaan
Lingkungan
(P2PL)
mengatakan
berdasarkan
data
yang
dimiliki
Kementerian Kesehatan
bahwa
prevalensi Tuberkulosis di Indonesia
pada tahun 2013 ialah 297 per 100.000
penduduk dengan kasus baru setiap
tahun
mencapai
460.000
kasus.
Indonesia saat ini merupakan Negara
dengan pasien Tuberkulosis terbanyak
ke-4 di Dunia setelah Tiongkok , India,
dan Afrika Selatan (Kompas.com.2014).
Indikator nasional yang dipakai untuk
memantau pencapaian target program
penanggulangan Tuberkulosis adalah
angka penemuan penderita atau Case
Detection Rate (CDR) yakni presentase
jumlah pasien BTA positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut. Indikator ini masih digunakan
sampai akhir tahun 2015 (Kementerian
Kesehatan RI, 2014). Target Program
Nasional Pengendalian Tuberkulosis

Angka tersebut menunjukkan dari tahun


ke tahun kasus TB paru, meningkat
didominasi oleh memiliki ekonomi
lemah, dilihat dari kondisi fisik
lingkungan rumah yang memiliki
standar rumah sehat di Kota Sukabumi
masih rendah, dibandingkan dengan
kota lain seperti Kota Bogor. Kota
Bogor keadaan rumah sudah cukup baik,
ekonomi yang cukup dari penghasilan
Kota
Sukabumi
sebagian
besar
penduduk
yang
menderita
TB
merupakan kelompok ekonomi lemah
dengan keadaan rumah yang kurang
sehat dan 50% diantaranya memiliki
lantai yang tidak memenuhi syarat yaitu
sebagian lantai tidak menggunakan
lantai tanah akan tetapi kebanyakan
menggunakan teras ubin bahan berdebu
(Dinkes Kota Sukabumi, 2016).
Hasil penelitian Khadijah (2013)
menyatakan bahwa kondisi fisik rumah
dan perilaku dengan prevalensi TB paru
di Propinsi DKI Jakarta, Banten dan
Sulawesi Utara, menjadi faktor utama
yang rentan, dijelaskan dari 55
responden perilaku terhadap kondisi
fisik menjadi tahan terjadinya penularan
Tb paru, seperti tidak membuka kamar
tidur setiap hari berisiko terinfeksi
sebesar 1,36 kali, sedangkan perilaku
tidak menjemur kasur berisiko terinfeksi
sebesar 1,423 kali. Kondisi fisik rumah
yang berpengaruh adalah lantai rumah
berupa
semen
plesteran
rusak/papan/tanah yaitu berisiko 1,731
kali lebih besar dibanding rumah
berlantai lantai tanah , marmer atau ubin
(Khadijah, 2013).
Berdasarkan catatan yang diperoleh dari
data tahunan Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi Kasus TB paru tahun 2013
sebanyak 12 orang, tahun 2014
sebanyak 32 orang dan tahun 2015
sebanyak 32 orang dengan BTA positif.
Hasil studi pendahuluan dengan cara
wawancara yang didapatkan bahwa
orang
yang
terindetifikasi
TB
memerlukan pasien yang melakukan
pengobatan (kontrol) dalam setiap

minggunya
mereka
datang
ke
puskesmas,
keadaan
tersebut
bertentangan, seharusnya yang ingin
berobat atau kontrol akan sembuh. oleh
karena itu peneliti ingin menindaklanjuti
dengan penelitian terhadap kondisi
kesehatan rumah dengan kasus yang
sama untuk melihat kondisi fisik rumah
pasien tersebut karena Penyebaran
penyakit ini erat kaitannya dengan
kondisi lingkungan tempat masyarakat
tinggal.
Hasil
pengamatan
kondisi
fisik
lingkungan rumah dari pasien dengan
kasus TB paru tidak memenuhi syarat.
Selain itu perilaku penduduk yang tidak
memperhatikan kesehatan, lingkungan
dan
hygiene
individu,
turut
berkontribusi
positif
terhadap
peningkatan kejadian penyakit di
masyarakat dengan kondisi ekonomi
yang lemah cenderung lebih tinggi
dengan kejadian TB paru (Lap.
Observasi, 2016).
Peningkatan kejadian TB Paru di Jawa
Barat setiap tahun semakin meningkat
yaitu Kota Bogor (35%) dan kota
Cianjur
(50%),
sedangkan
kota
sukabumi sendiri (90,66%), berdasarkan
masalah tersebut Kondisi fisik rumah
memiliki peranan yang sangat penting
dalam penyebaran bakteri tuberkulosis
paru ke orang yang sehat. Sumber
penularan
penyakit
ini
melalui
perantaraan ludah atau dahak penderita
yang
mengandung
Mycobacterium
tuberkulosis. Pada saat penderita batuk
atau bersin butir-butir air ludah
beterbangan di udara dan akan hidup
beberapa jam lamanya (Naga, 2014) di
dalam ruangan lembab dan kurang
cahaya. Penyebaran bakteri tuberkulosis
paru akan lebih cepat menyerang orang
yang sehat jika berada di dalam rumah
yang lembab, gelap dan kurang cahaya
(Kemenkes, 2011). Mengingat dengan
berbagai faktor risiko tersebut diatas
peneliti ingin melakukan penelitian
tentang
hubungan
kondisi
fisik
lingkungan rumah dengan kejadian TB

STIKes Dharma Husada Bandung

paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tipar


Kota Sukabumi Tahun 2016.

Kriteria Eksklusi : Responden yang


menolak untuk dilakukan penelitian

METODOLOGI PENELITIAN

Instrumen Penelitian
Dalam
penelitian
ini
adalah
pengumpulan
data
dengan
cara
menggunakan
lembar
kuesioner.
Kuesioner adalah data primer yang
digunakan peneliti untuk mengukur
suatu kondisi fisik lingkungan rumah
yang dilihat berdasarkan kelembaban,
pecahayaan, kepadatan hunian, jenis
lantai Data sekunder yaitu data kejadian
TB paru yang diambil berdasarkan data
diagnosa dokter.

Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
Variabel Independen ini yaitu kondisi
fisik lingkungan rumah (kelembaban,
pecahayaan, kepadatan hunian, jenis
lantai) dan Variabel
dependen
penelitian ini yaitu kejadian TB paru.
Rancangan Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah
deskriptif korelatif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menemukan ada
tidaknya hubungan (Sugiyono, 2014).
Metode korelatif yang bertujuan untuk
mengetahui tingkat
hubungan antara
dua variabel atau lebih. Tanpa
melakukan perubahan, tambahan atau
manipulasi terhadap data yang memang
sudah ada (Sugiyono, 2014). Pada
penelitian
ini
dilakukan
untuk
mengetahui hubungan kondisi fisik
lingkungan rumah dengan kejadian TB
Paru.
Pendekatan Waktu
Pendekatan waktu pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cross sectional. Cross sectional.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
orang yang memeriksakan TB paru ke
Puskesmas Tipar Kota Sukabumi
sebanyak 96 orang.
Sampel dengan teknik yang digunakan
pada penelitian ini yaitu teknik total
sampling, maka Jumlah sampel diambil
secara keseluruhan dari jumlah populasi,
dalam penelitian jumlah sampel yang
diambil sebanyak 96 orang yang
ditentukan berdasarkan Kriteria Insklusi
: Responden yang berobat TB paru ke
Puskesmas Tipar, Responden yang
berada di Wilayah Puskesmas Tipar.

HASIL
PENELITIAN
PEMBAHASAN

DAN

Analisis Univariat
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi
Kejadian TB Paru, Kelembaban,
Pecahayaan, Kepadatan Hunian,
Jenis Lantai Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tipar Kota Sukabumi
Tahun 2016.
Variabel
Kejadian TB Paru
TB paru
BTA
Negatif
TB paru
BTA
Positif
Kelembaban
Baik
Kurang
Pencahayaan
Baik
Kurang
Kepadatan Rumah
Memenuhi
Syarat
Tidak
Memenuhi
Syarat
Jenis Lantai
Kermaik
Tegel
Semen
Total

f
(n=96)

46

47.9

50

52.1

47
49

49.0
51.0

37
59

38.5
61.5

62

64.6

34

35.4

52
27
17
n=96

54.2
28.1
17.7
100

Berdasarkan tabel 4.1 dapat terlihat hasil


penelitian kejadian TB Paru BTA Positif
paling banyak yaitu 52,1%, memiliki
kondisi fisik kelembaban kurang yaitu
sebesar
51,0%,
diikuti
dengan

STIKes Dharma Husada Bandung

kurangnya pencahayaan sekitar rumah


yaitu 61,5%, akan tetapi kepadatan
rumah responden paling banyak yang
memenuhi syarat sebesar 64,6%, dan
jenis lantai lantai tanah yaitu 54,2%.
Bivariat
Berikut hasil hubungan uji hipotesis
menggunakan
chi
square
yang
ditentukan berdasarkan nilai <p value
0,05 yaitu sebagai berikut :
Tabel
4.2
Hubungan
Antara
Kelembaban
Kondisi
Fisik
Lingkungan Rumah Dengan Kejadian
TB Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tipar Kota Sukabumi
Tahun 2016

Kejadian TB Paru
BTA
Positif

BTA Negatif

Kelembaban

OR
(CI
95%)

Total

Baik

38

82,6

18,0

47

49,0

Kurang

17,4

41

82,0

49

51,0

21,63
(7,5761,8)

Angka kejadian TB Paru dengan BTA


Positif variabel kelembaban yang kurang
baik menunjukan angka 41 atau 82,0%
dibandingkan dengan BTA Positif
dengan kelembaban baik yaitu angka 9
atau 18,0%.
Berdasarkan tabel 4.2 terlihat hasil
penelitian analisis uji chi square
menunjukan <0,05 artinya terdapat
hubungan
yang
signifikan
pada
kelembaban kondisi fisik lingkungan
rumah dengan kejadian TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi didapatkan p value 0,002.
Berdasarkan hasil analisis bivariat
diketahui nilai OR=21,63 dengan nilai
kontijensi (95% CI)=7,57-61,8.
Tabel
4.3
Hubungan
Antara
Pencahayaan
Kondisi
Fisik
Lingkungan Rumah Dengan Kejadian
TB Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Tipar Kota Sukabumi
Tahun 2016

Kejadian TB Paru
Pencahayaan

BTA
Negatif

Total

OR
(CI
95%)

P
value

3,77
(1,579,00)

0,004

BTA
Positif

Baik

25

54,3

12

24,0

37

38,5

Kurang

21

45,7

38

76,0

59

61,5

Angka kejadian TB Paru BTA positif


dengan pencahayaan kurang baik
menunjukan angka sebesar 38 atau
76,0%, dibandingkan TB Paru BTA
Positif dengan pencahayaan baik sebesat
12 atau 24,0%.
Berdasarkan tabel 4.3 terlihat hasil
penelitian analisis uji chi square
menunjukan <0,05 artinya terdapat
hubungan
yang
signifikan
pada
pencahayaan kondisi fisik lingkungan
P rumah dengan kejadian TB Paru di
value Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi didapatkan p value 0,004.
Berdasarkan hasil analisis bivariat
diketahui nilai OR=3,77 dengan nilai
0,002
kontijensi (95% CI)=1,57-9,00.
Tabel
4.4
Hubungan
Antara
Kepadatan Kondisi Fisik Lingkungan
Rumah Dengan Kejadian TB Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi Tahun 2016
Kejadian TB Paru
Kepadatan

Memenuhi
syarat
Tidak
memenuhi
syarat

BTA
Negatif

Total

OR
(CI
95%)

P
value

2,22
(0,935,27)

0,105

BTA
Positif

34

73,9

28

56,0

62

64,6

12

26,1

22

44,0

34

35,4

Angka kejadian TB Paru BTA negatif


dengan variabel kepadatan yang
memenuhi syarat sebesar 73,9%
dibandingkan TB Paru BTA negatif
yang tidak memenuhi syarat sebesar
26,1%.
Berdasarkan tabel 4.4 terlihat hasil
penelitian analisis uji chi square

STIKes Dharma Husada Bandung

menunjukan >0,05 artinya tidak


terdapat hubungan yang signifikan pada
kepadatan kondisi fisik lingkungan
rumah dengan kejadian TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi didapatkan p value 0,105.
Berdasarkan hasil analisis bivariat
diketahui nilai OR=2,22 dengan nilai
kontijensi (95% CI)=0,93-5,27.

Tabel 4.5 Hubungan Antara Jenis


Lantai Kondisi Fisik Lingkungan
Rumah Dengan Kejadian TB Paru Di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi Tahun 2016
Kejadian TB Paru
Jenis
Lantai

BTA
Negatif

OR
95%

Total

pvalue

BTA
Positif

Lantai
tanah

41

89,1

38

76,0

79

82,3

Non lantai
tanah

10,9

12

24,0

17

17,7

2,58
(0,838,03)

0,157

Angka kejadian TB Paru BTA negatif


dengan jenis lantai lantai tanah sebesar
89,1%, dibandigkan TB Paru BTA
negatif dengan jenis semen sebesar
76,0%.
Berdasarkan tabel 4.5 terlihat hasil
penelitian analisis uji chi square
menunjukan >0,05 artinya tidak
terdapat hubungan yang signifikan pada
jenis lantai kondisi fisik lingkungan
rumah dengan kejadian TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi didapatkan 0,157 dan
OR=2,58 artinya pada responden yang
memiliki rumah semen akan berpeluang
2,58 lebih besar terhadap kejadian TB
paru
positif
dibandingkan
pada
responden yang memiliki rumah jenis
lantai lantai tanah tidak TB paru atau
negatif.
Pembahasan
Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukan dari jumlah responden 96

orang di Wilayah Kerja Puskesmas


Tipar Kota Sukabumi paling banyak
didapatkan kejadian TB Paru BTA
negatif yaitu 52,1%. Hal ini diketahui
dari gambaran kondisi fisik lingkungan
rumah sebagian responden memiliki
kelembaban kurang yaitu sebesar 51,0%,
diikuti dengan kurangnya pencahayaan
sekitar rumah yaitu 61,5%, akan tetapi
kepadatan rumah responden paling
banyak yang memenuhi syarat sebesar
64,6%, dan jenis lantai lantai tanah
yaitu 54,2%. Kejadian Tuberkulosis
adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan
oleh
kuman
TB
(Mycobacterium tuberculosis). Rumah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan
merupakan salah satu faktor risiko
penyakit tuberkulosis paru.
Selaras dengan hasil penelitian Amalia,
(2015) yang mendapatkan hasil bahwa
Kesehatan
perumahan
merupakan
kondisi fisik, kimia, dan biologik di
lingkungan rumah dan perumahan
sehingga memungkinkan penghuni atau
masyarakat
memperoleh
derajat
kesehatan yang optimal yaitu sebesar
65%.
Diperkuat oleh Depkes RI, (2007) yang
pada dasarnya TB paru didominasi oleh
faktor luar, salah satunya yaitu dilihat
segi aspek kondisi fisik lingkungan
rumah
dapat
diketahui
bahwa
Tuberculosis (TB ) adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh
kuman yang berasal dari segi fisik
lingkungan.
Menyatakan
bahwa
sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ
tubuh lainnya.
Menurut pandangan peneliti dari hasil
survei yang dilakukan sebelumnya
kondisi rumah yang mereka tempati
adalah
lembab.
Hal
ini
perlu
diperhatikan karena kelembaban dalam
rumah akan mempermudah berkembang
biaknya mikroorganisme. Kelembaban
yang baik jika kelembaban suhu standar
rumah 18-200C dan kurang jika
kelembabann suhu<18-200C. Selain itu

STIKes Dharma Husada Bandung

rumah yang tidak masuk sinar matahari


mempunyai
resiko
menderita
tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan
dengan rumah yang dimasuki sinar
matahari jika baik pencahayaan
ruangan antara 60-120 lux dan kurang
jika pencahayaan ruangan <60-120 lux.
Kepadatan hunian untuk seluruh
perumahan biasa dinyatakan dalam m
per orang. Luas minimum per orang
sangat relatif, tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk perumahan sederhana, minimum
9 m/orang.
Hasil penelitian didapatkan bahwa
analisis uji chi square didapatkan
<0,05 artinya terdapat hubungan yang
signifikan pada kelembaban kondisi
fisik lingkungan rumah dengan kejadian
TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Tipar Kota Sukabumi p value 0,002.
Berdasarkan hasil analisis bivariat
diketahui nilai OR=21,63 dengan nilai
kontijensi (95% CI)=7,57-61,8. Hal ini
diketahui dari kelembaban kondisi fisik
rumah tidak memenuhi rumah sehat
yang seharusnya 18-20oC, sedangkan
rumah yang ia tempati kurang dari
standar yaitu 18-20oC.
OR=21,63
artinya
kondisi
fisik
lingkungan rumah dengan kelembaban
kurang akan memiliki risiko lebih besar
21,63 terhadap kejadian TB paru BTA
positif, dibandingkan dengan kondisi
fisik lingkungan rumah baik terhadap
kejadian TB paru BTA negatif.
Selaras dengan hasil penelitian Akhyar
(2010) yang menunjukan hasil bahwa
salah penyebab TB paru oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis selain
dipengaruhi oleh kelembaban udara juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
seperti pengaruh sinam matahari
langsung yang dapat masuk ke dalam
rumah dan cukup untuk membunuh
kuman ini dan menunjukkan besarnya
resiko kelembaban udara dalamrumah
yang tidak memenuhi syarat dalam
kejadian TB paru 1,4 kali lebih besar

dibanding dengan kelembaban udara


yang memenuhi syarat dan tidak ada
hubungan antara kelembaban udara
dalam rumah dengan kejadian TB pru
pada alfa 0,05.
Kelembaban merupakan sarana yang
baik
untuk
pertumbuhan
mikroorganisme,
termasuk
kuman
tuberkulosis sehingga viabilitas lebih
lama. Diperkuat oleh Depkes, (2007)
yang menyatakan bahwa penilaian
kelembaban dalam rumah dengan
menggunakan hygrometer. Bila kondisi
suhu ruangan tidak optimal, misalnya
terlalu panas akan berdampak pada
cepat lelahnya saat bekerja dan tidak
cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya,
bila kondisinya terlalu dingin akan tidak
menyenangkan dan pada orang-orang
tertentu dapat menimbulkan alergi.
Pada dasarnya sebagian responden yang
memiliki kondisi lingkungan fisik
dengan kelembaban yang kurang akan
lebih besar risiko terhadap kejadian TB
paru artinya kelembaban udara dalam
ruangan rumah untuk memperoleh
kenyamanan, dimana kelembaban yang
optimum
berkisar
60%
dengan
temperatur kamar 22 30C. Kuman
TB Paru akan cepat mati bila terkena
sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup selama beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab.
Pandangan peneliti berdasarkan hasil uji
chi square yang menunjukan bahwa
nilai OR=21,6.
Hal ini responden dengan kondisi fisik
lingkungan rumah yang memiliki
kelembaban kurang akan berisiko 21,63
lebih besar terhadap kejadian TB Paru
Positif,
dibandingkan
dengan
lingkungan kondisi fisik yang memiliki
kelembaban baik.
Berdasarkan hasil penelitian analisis uji
chi square didapatkan <0,05 artinya
terdapat hubungan yang signifikan pada
pencahayaan kondisi fisik lingkungan
rumah dengan kejadian TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi p value 0,004. Berdasarkan

STIKes Dharma Husada Bandung

hasil analisis bivariat diketahui nilai


OR=3,77 dengan nilai kontijensi (95%
CI)=1,57-9,00. Hal ini dilihat dari
kondisi fisik lingkungan rumah pada
pencahayaan rumah kondisi baik jika
ruangan 60-120 yang diukur dengan
menggunakan lux meter, bahwa
sebagian responden memiliki kondisi
fisik rumah kurang rata-rata <60-120
lux.
Selaras dengan hasil penelitian Haris
(2014) yang menunjukan bahwa
rumahnya memenuhi syarat kesehatan
sebesar 40,6%) dan yang memenuhi
tidak memenuhi syarat kesehatan
sebanyak sebesar (59,4%) dan ada
hubungan yang signifikan.
Diperkuat oleh Depkes RI, (1994) dalam
Fatimah, (2008) mengemukakan bahwa
: Sinar matahari dapat dimanfaatkan
untuk pencegahan penyakit tuberkulosis
paru, dengan mengusahakan masuknya
sinar matahari pagi ke dalam rumah.
Cahaya matahari masuk ke dalam rumah
melalui jendela atau genteng kaca.
Diutamakan sinar matahari pagi
mengandung sinar ultraviolet yang dapat
mematikan kuman Oleh sebab itu,
rumah dengan standar pencahayaan
yang buruk sangat berpengaruh terhadap
kejadian tuberkulosis.
Andani, (2011) Menyatakan Cahaya
yang cukup dapat diperoleh apabila luas
jendela kaca minimum 20% luas lantai.
Kamar tidur sebaiknya diletakkan
disebelah timur untuk memberikan
kesempatan masuknya ultraviolet. Jika
peletakan jendela kurang leluasa dapat
dipasang genteng kaca karena semua
jenis cahaya dapat mematikan kuman,
hanya berbeda satu sama lain tergantung
segi lamanya proses mematikan kuman.
Pandangan peneliti berdasarkan hasil uji
chi square yang menunjukan bahwa
nilai OR=3,77 artinya kondisi fisik
lingkungan rumah dengan pencahayaan
yang kurang akan berisiko 3,77 lebih
besar terhadap kejadian TB Paru positif
dibandingkan pada kondisi fisik

lingkungan rumah dengan pencahayaan


baik.
Berdasarkan hasil penelitian analisis uji
chi square didapatkan >0,05 artinya
tidak terdapat hubungan yang signifikan
pada kepadatan kondisi fisik lingkungan
rumah dengan kejadian TB Paru di
Wilayah Kerja Puskesmas Tipar Kota
Sukabumi p-value=0,105. Berdasarkan
hasil analisis bivariat diketahui nilai
OR=2,22 dengan nilai kontijensi (95%
CI)=0,93-5,27. Hal ini dilihat dari
kepadatan kondisi fisik lingkungan
rumah sebagian responden sudah
memenuhi syarat rumah sehat yaitu
ruang tidur rata-rata 8m2/2, dan tidak
ada luas kamar tidur < 8m2/2 atau luas
kamar sebagian responden cukup dan
memenuhi syarat rumah sehat.
Selaras dengan hasil penelitian Mawardi
(2014) yang menunjukan hasil bahwa
tidak
terdapat
hubungan
antara
kepadatan hunian dengan kejadian BTA
Positif. Lingkungan rumah merupakan
salah satu faktor yang memberikan
pengaruh
besar
terhadap
status
kesehatan penghuninya.
Fatimah, (2008) yang menyatakan
apabila ada anggota keluarga yang
menjadi penderita penyakit tuberkulosis
sebaiknya tidak tidur dengan anggota
keluarga lainnya dan ukuran luas
ruangan suatu rumah erat kaitannya
dengan kejadian tuberkulosis paru.
Disamping itu Asosiasi Pencegahan TB
Paru Bradbury mendapat kesimpulan
secara statistik bahwa kejadian TB Paru
paling besar diakibatkan oleh keadaan
rumah yang tidak memenuhi syarat pada
luas ruangannya.
Berdasarkan hasil penelitian analisis uji
chi square menunjukan >0,05 artinya
tidak terdapat hubungan yang signifikan
pada jenis lantai kondisi fisik
lingkungan rumah dengan kejadian TB
Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Tipar
Kota Sukabumi didapatkan 0,157 dan
OR=2,58 artinya pada responden yang
memiliki rumah semen akan berpeluang
2,58 lebih besar terhadap kejadian TB

STIKes Dharma Husada Bandung

paru
positif
dibandingkan
pada
responden yang memiliki rumah jenis
lantai lantai tanah tidak TB paru atau
negatif. Hal ini diketahui dari jenis
lantai kondisi fisik lingkungan hampir
seluruhnya menggunakan lantai tanah .
Selaras dengan hasil penelitian Anggie
(2014) yang menyatakan hasil bahwa
tidak ada hubungan antara jenis lantai
lantai tanah dengan kejadian TB paru.
Akan tetapi memiliki hubungan yang
signifikan dengan pencahayaan rumah
yang kurang dan kelembaban.
Menurut Depkes (2007) menyatakan
bahwa lantai yang tidak memenuhi
syarat dapat dijadikan tempat hidup dan
perkembangbiakan kuman dan vektor
penyakit, menjadikan udara dalam
ruangan lembab, pada musim panas
lantai menjadi kering sehingga dapat
menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya. Keadaan lantai rumah
perlu dibuat dari bahan yang kedap
terhadap air seperti tegel, semen atau
lantai tanah dan hipotesis jenis lantai
rumah memiliki peran terhadap proses
kejadian
tuberkulosis,
melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai
tanah
cenderung
menimbulkan
kelembaban, dengan demikian viabilitas
kuman tuberkulosis di lingkungan juga
sangat dipengaruhi. Pada penelitian ini
jenis lantai yang ditentukan adalah tegel,
lantai tanah , semen.
Kesimpulan akhir dari penelitian ini
yaitu paling banyak dengan kejadian TB
Paru Positif dan keadaan kondisi fisik
yang tidak baik seperti pencahaayan
yang
kurang,
sehingga
dapat
menyebabkan kelembaban yang kurang
dan kepadatan hunian yang tidak
memenuhi syarat rumah sehat. Pada
responden yang memiliki uberkulosis
paru BTA positif, apabila memenuhi
minimal 1 kriteria yaitu sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
menunjukkan hasil BTA positif dan
hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak
menunjukkan BTA positif dan kelainan
radiologi menunjukkan
gambaran

tuberkulosis aktif, Hasil pemeriksaan


satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif. Sedangkan
pada responden dengan Tuberkulosis
paru BTA negatif yaitu hasil
pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan
BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan
radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif dan hasil pemeriksaan
dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M. tuberculosis positif
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Didapatkan angka kejadian TB paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Tipar
Kota Sukabumi Tahun 2016 yaitu
positif sebesar 52,1%
2. Gambaran kondisi fisik lingkungan
rumah di Wilayah Kerja Puskesmas
Tipar Kota Sukabumi Tahun 2016
yaitu kelembaban kurang sebesar
51,0% , pecahayaan kurang sebesar
61,5%, kepadatan hunian yang
memenuhi syarat sebesar 64,4%, dan
jenis lantai lantai tanah sebesar
54,2%.
3. Terdapat hubungan pada kelembaban
kondisi fisik lingkungan rumah
dengan kejadian p value 0,002
4. Terdapat
hubungan
pada
pencahayaan
kondisi
fisik
lingkungan rumah dengan kejadian
TB Paru p value 0,004
5. Tidak terdapat hubungan pada
kepadatan kondisi fisik lingkungan
rumah dengan kejadian TB Paru p
value 0,105
6. Tidak terdapat hubungan pada jenis
lantai kondisi fisik lingkungan rumah
dengan kejadian TB Paru p value
0,157 .
Saran
1. Bagi Puskesmas
Dapat dilakukan penyuluhan rumah
sehat
terutama
pengetahuan
masyarakat tentang kelembaban,
pencahayaan dalam kondisi fisik

STIKes Dharma Husada Bandung

10

lingkungan rumah agar dapat


menurunkan angka kejadian TB Paru
yang tinggi.
2. Bagi Masyarakat
Dapat
memperhatikan
kondisi
lingkungan rumah sehat seoptimal
mungkin, terutama terlihat dengan
pencahayaan alam yang akan
menurukan kejadian TB Paru.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan dapat menemukan faktor
lain yang berhubungan dengan
kejadian TB paru seperti hubungan
kelembaban, kepadatan hunian,
ventilasi, dan faktor perilaku hidup
bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, 2014. tentang hubungan
kondisi fisik lingkungan rumah
dengan kejadian tuberkulosis
paru
di
Wilayah
Kerja
Puskesmas Perumnas I dan II
Kecamatan Pontianak Barat
Depkes RI, 2002. edoman pemberantasan
penyalit saluran pernafasan akut.
Jakarta . Departemen Kesehatan
RI.
Depkes RI, 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis.
Dinkes Kota Sukabumi, 2016. Data TB
Kota Sukabumi.
Djojodibroo,
2009.
Respirologi
(Respiratory Medicine). Jakarta .
EGC.
Fatimah, 2008. Faktor Kesehatan
Lingkungan
Rumah
Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Tb
Paru Di Kabupaten Cilacap
(Kecamatan . Sidareja, Cipari,
Kedungreja,
Patimuan,
Gandrungmangu,
Bantarsari)
Tahun 2008 (Tesis). Program
Pascasarjana
FKM
Undip
Semarang
Keman, 2005. Kesehatan Perumahan Dan
Lingkungan Pemukiman. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. Vol. 2,
No. 1

Kemenkes
RI,
2014.
No.
829/Menkes/Sk/Vii/1999
Tentang Persyaratan Kesehatan
Perumahan, Depkes Ri, Jakarta
Khadijah, 2013. Psikologi Pendidikan.
Palembang. Grafika Telindo
Press.
Mandal, 2006. Bibhat K., Wilkins,
Edmund G.L., Dunbar, Edward
M., Mayon-White, Richard T.
Lecture Notes. Penyakit Infeksi.
Jakarta. Erlangga.
Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014
(pp. II.277). Jakarta. Bappenas.
Naga, 2012. Buku Panduan Lengkap
Ilmu Penyakit Dalam. Jogjakarta:
Diva Press.
Nizar,
2010.Pemberantasan
dan
Penanggulangan Tuberkulosis.
Edisi
Pertama.
Yogyakarta.
Gosyen Publishing.
Notoadmodjo, 2003. Prinsip-Prinsip
Dasar
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat. Cetakan Kedua.
Jakarta. Rineka Cipta.
Notoatmodjo,
2010.
Metodologi
Penelitian Kesehatan. Jakarta .
PT Rineka Cipta.
Notoatmodjo, 2012. lmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta . PT Rineka
Cipta
Nursalam 2014. Pendekatan praktis
metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta. Info Medika
Nursalam, 2013. Pendekatan praktis
metodologi Riset Keperawatan.
Jakarta. Info Medika
Pedoman
Nasional
Pengendalian
Tuberkulosis, 2011
Riyanto, 2011. Aplikasi Metodologi
Penelitian
Kesehatan.
Yogyakarta. Nuha Medika.
Ruswanto, 2010. Analisis Spasial
Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru
Ditinjau dari Faktor Lingkungan
Dalam dan Luar Rumah di
Kabupaten Pekalongan. Tesis
Program
Pascasarjana
Universitas
Diponegoro
Semarang

STIKes Dharma Husada Bandung

10

11

Santoso, 2009. Panduan Lengkap


Menguasai Statistik dengan SPSS
17. Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Sastroasmoro dan Sofyan, 2010. asarDasar Metodologi Penelitian
Klinis edisi ketiga. In Pemilihan
Subyek Penelitian dan Desain
Penelitian. Jakarta. Sagung Seto
Sitepu, 2009. Respirologi (Respiratory
Medicine). Jakarta . EGC.
Soemirat, 2010. Dasar-Dasar Public
Relations, Bandung, Rosdakarya.
Sugiyono, 2014. MetodePenelitian
Kuantitatif Kualitatif & RND.
Bandung. Alfabeta.
Suryo, 2010. Herbal Penyembuhan
Gangguan Sistem Pernafasan.
Yogyakarta. Ariesta.
Tobing, 2009. Hubungan antara
Kepadatan
hunian
dengan
penderita tuberculosis paru di
Tapanuli Utara. Universitas
Tapanuli Utara
WHO, 2001. Data TB dunia.
Winarsih, 2007. Antioksidan Alami dan
Radikal
Bebas.
Penerbit
Kanisius. Yogyakarta

STIKes Dharma Husada Bandung

11

Anda mungkin juga menyukai