Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan
pengertian sebagai berikut:
2.1.1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2.1.2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran
pernafasan (respiratory tract).
2.1.3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung
lebih dari 14 hari. 13
20
Sumber : http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.
2.3. Gejala ISPA
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena
menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau
21
stres. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung,
yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer
serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di
hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah
3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga
tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang
paru).15
22
penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi paru serta
pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu menegakkan
diagnosis etiologi pnemonia.
Pemeriksaan cara ini sangat efektif untuk mendapatkan dan menentukan jenis
bakteri penyebab pnemonia pada balita, namun disisi lain dianggap prosedur yang
berbahaya dan bertentangan dengan etika (terutama jika semata untuk tujuan
penelitian). Dengan pertimbangan tersebut, diagnosa bakteri penyebab pnemonia bagi
balita di Indonesia mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO),
bahwa Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang. Di negara maju
pnemonia pada balita disebabkan oleh virus.14
Diagnosis pnemonia pada balita didasarkan pada adanya batuk dan atau
kesukaran bernafas disertai peningkatan frekuensi nafas (nafas cepat) sesuai umur.
Penentuan nafas cepat dilakukan dengan cara menghitung frekuensi pernafasan
dengan menggunkan sound timer. Batas nafas cepat adalah :
a. Pada anak usia kurang 2 bulan frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali permenit
atau lebih.
b. Pada anak usia 2 bulan - <1 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 50 kali per
menit atau lebih.
c. Pada anak usia 1 tahun - <5 tahun frekuensi pernafasan sebanyak 40 kali per
menit atau lebih.
Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan ditandai
dengan adanya nafas cepat, yaitu frekuensi pernafasan sebanyak 60 kali per menit
23
atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke
dalam. Rujukan penderita pnemonia berat dilakukan dengan gejala batuk atau
kesukaran bernafas yang disertai adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum.
Pada klasifikasi bukan pneumonia maka diagnosisnya adalah batuk pilek biasa
(common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau penyakit non-pnemonia lainnya.3
24
b.3. Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada.
b.4. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
b.5. Pneumonia persisten: anak dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun
telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang adekuat dan
antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi
pernafasan yang tinggi, dan demam ringan.
2.6.2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitis
media, faringitis.
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai
dengan alveoli, dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis,
laringitis, laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.
25
lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih lemah, proses
penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat. Dalam setahun seorang anak rata-rata
bisa mengalami 6-8 kali penyakit ISPA.3
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk dengan menganalisa data Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1998, didapatkan bahwa prevalensi penyakit
ISPA berdasarkan umur balita adalah untuk usia <6 bulan (4,5%), 6-11 bulan
(11,5%), 12-23 bulan (11,8%), 24-35 bulan (9,9%), 36-47 bulan (9,2%), 48-59 bulan
(8,0%).6
Berdasarkan hasil penelitian Ridwan Daulay di Medan pada tahun 1999
mendapatkan bahwa kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan ISPA bawah pada umur < 6 tahun lebih sering pada anak lakilaki.18 Sesuai dengan penelitian Djaja, dkk (2001) prevalensi ISPA pada anak lakilaki (9,4%) hampir sama dengan perempuan (9,3%).6
b. Distribusi Penyakit ISPA Berdasarkan Tempat
ISPA, diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang. ISPA merupakan penyebab
morbiditas utama pada negara maju sedangkan di negara berkembang morbiditasnya
relatif lebih kecil tetapi mortalitasnya lebih tinggi terutama disebabkan oleh ISPA
bagian bawah atau pneumonia.17
Menurut penelitian Djaja, dkk (2001) didapatkan bahwa prevalensi ISPA di
perkotaan (11,2%), sementara di pedesaan (8,4%); di Jawa-Bali (10,7%), sementara
di luar Jawa-bali (7,8%).6 Berdasarkan klasifikasi daerah prevalensi ISPA untuk
daerah tidak tertinggal (9,7%), sementara di daerah tertinggal (8,4%).17
26
27
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling sering
terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo.15
Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003), mendapatkan bahwa bakteri
Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan sebagian besar kematian
4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini mengutip penelitian
WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95% S.pneumococcus
kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50% dari bakteri
yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan untuk
mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60%
S. pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.20
Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari
101 penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan
bahwa semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai
tumbuh dua galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri
gram positif dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur
(47,6%).
Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus
viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter aerogens 19 galur
28
29
30
2) Gizi Baik
3) Gizi kurang
4) Gizi Buruk
31
saja (ASI Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru
diberikan makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus
tertentu ketika anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi
postnatal.29
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif menderita pneumonia
sebesar 56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia 38,8%. Hasil uji statistik
diperoleh bahwa anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar
pada anak balita yang tidak mendapat ASI eksklusif.28
b.6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit
menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya
imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya
terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.
Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti,
POLIO (lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis.
Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit
tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju
Sehat (KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan,
Campak 1x : 9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian
imunisasi yang lebih dari 1x adalah 4 minggu.30
Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan
32
status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 4.413),
artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada
anak yang status imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian
Afrida di Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian penyakit ISPA
(p>0,05).11
c. Lingkungan
c.1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan
perumahan menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 4070%, optimum 60%.
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan
desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap
terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor
kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada
balita sebesar 28 kali.10
c.2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C
keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi
syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.10
33
c.3. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan
O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah
akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal
10% dari luas lantai.10
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens rate
ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat
kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan sebesar
30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).11
c.4. Kepadatan Hunian Rumah
Kepadatan penghuni dalam rumah dibedakan atas 5 kategori yaitu, 3,9
m2/orang, 4-4,9 m2/orang, 5-6,9 m2/orang, 7-8 m2/orang, 9 m2/orang. Dikatakan
padat jika luas lantai rumah 3,9 m2/orang, dan tidak padat jika luas lantai rumah 4
m2/orang.31
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan
proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di
rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak
padat.32 Berdasarkan hasil penelitian Chahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah
dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.10
34
35
36
bayi dan anak balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan
diterima oleh anaknya.6
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio
pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka
jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak.
Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8
kali lebih banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu
yang status ekonominya rendah.6
Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak
berobat ke fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak
mengobati sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang
berpendidikan minimal tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke
pelayanan kesehatan ketika sakit dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal
ini disebabkan karena ibu yang tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit
yang diderita oleh balitanya.6
37
38
obati
di
rumah,
terapi
antibiotik
dengan
memberikan
39
40
41