Anda di halaman 1dari 21

Referat

LIMFEDEMA PRIMER DAN SEKUNDER

Oleh:
Bima Ryanda Putra
04084821618145

Pembimbing:
dr. Erwin Azmar, SpPD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN

Referat

LIMFEDEMA PRIMER DAN SEKUNDER

Oleh:

Bima Ryanda Putra

Telah dilaksanakan pada bulan Juli 2016 sebagai salah satu persyaratan guna mengikuti
ujian Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unsri Palembang.

Palembang, Juli 2016


Pembimbing,

dr. Erwin Azmar, SpPD

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan
judul Limfedema Primer dan Sekunder untuk memenuhi tugas laporan Referat
yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya
dalam Departemen Ilmu Bedah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Erwin Azmar, SpPD selaku
pembimbing referat ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan
Referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Juli 2016

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
BAB II ..............................................................................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Limfatik .......................................................... 2
2.2 Limfedema ......................................................................................................5
2.2.1. Definisi .................................................................................................... 5
2.2.2. Epidemiologi ............................................................................................5
2.2.3. Etiologi dan Klasifikasi ........................................................................... 6
2.2.3.1 Limfedema Primer ............................................................................ 6
2.2.3.2 Limfedema Sekunder ........................................................................7
2.2.4. Manifestasi Klinis ....................................................................................7
2.2.5. Diagnosis ...................................................................................................8
2.2.5.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik ..................................................... 8
2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 10
2.2.6. Tatalaksana .............................................................................................. 11

BAB III ............................................................................................................................ 15


DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 16

BAB I
PENDAHULUAN

Limfedema adalah suatu kondisi patologis pada sistem limfatik yang


progresif dari sistem limfatik dimana terjadi penumpukan cairan protein pada
interstisial, peradangan dan selanjutnya terjadi hipertofi jaringan lemak juga
fibrosis. Limfedema dapat menyebabkan kecacatan, gangguan mobilitas, dan
gangguan fungsi dikarenakan terjadi pembengkakan pada regio yang terkena.1,4
Seseorang yang terkena limfedema sejak lahir disebut dengan limfedema
primer dikarenakan

jaringan

limfe

yang

tersedia

sedikit,

manifestasi

pembengkakan tergantung pada seberapa parah kondisi ini, dapat hadir pada saat
lahir atau mungkin berkembang di kemudian hari. Limfedema yang terjadi setelah
trauma, operasi, radiasi, invasi tumor, atau infeksi disebut dengan limfedema
sekunder.2
Secara epidemiologi insiden yang paling sering terjadi di dunia adalah
limfedema sekunder dengan penyebab tersering adalah filariasis karena infeksi
dari Wuscheria bancrofti. Menurut penelitian di Amerika Serikat, limfedema
sekunder paling sering disebabkan

oleh keganasan kanker dan paska terapi

radiasi. Penderita kanker payudara paska mastektomi paling sering menyebabkan


limfedema pada ekstremitas atas. Penyebab limfedema pasca operasi tertinggi
adalah mastektomi (24-49%). 1,4
Resiko berkembangnya limfedema tidak akan berkurang dari waktu ke
waktu, tetapi akan terus-menerus seumur hidup. Komplikasi limfedema progresif
dapat disebabkan karena infeksi yang berulang, kegagalan penyembuhan luka,,
aktivitas sehari-hari, emosional dan distress sosial. Pengobatan yang efektif untuk
limfedema melalui diagnosis dini karena pengobatan yang paling efektif ketika
limfedema didiagnosis pada stadium I awal. Setiap pasien dengan limfedema
harus memiliki akses untuk pengobatan efektif yang dibentuk pada kondisi ini.
Limfedema tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikelola ketika benar saat
didiagnosis dan diobati.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Limfatik

Sistem limfatik merupakan suatu jalur tambahan tempat cairan dapat


mengalir dari ruang interstitial ke dalam darah. Hal yang terpenting, sistem
limfatik dapat mengangkut protein dan zat-zat berpartikel besar keluar dari ruang
jaringan, yang tidak dapat dipindahkan dengan proses absorpsi langsung ke dalam
kapiler darah. Pengembalian protein ke dalam darah dari ruang interstisial ini
merupakan fungsi yang penting.3

Gambar. 1 Sistem Limfatik. Hampir seluruh jaringan tubuh mepunyai saluran limfe khusus
mengalirkan kelebihan cairan dari ruang interstisial. (Guyton AC, Hall JE. 2006.hal 199)

Sistem limfatik terdiri atas jaringan limfatik dan pembuluh limfatik.


Jaringan limfatik merupakan jenis jaringan ikat yang mengandung banyak sel

limfosit. Jaringan limfatik didapatkan pada organ-organ berikut ini: thymus,


nodus limfatikus, lien dan nodulus limfatikus. Jaringan limfatik penting untuk
pertahanan imunologik tubuh terhadap bakteri dan virus.3
Pembuluh

limfe

merupakan

pembuluh

yang

membantu

sistem

kardiovaskuler dalam mengembalikan cairan dari ruangan jaringan tubuh, lalu


pembuluh ini mengembalikan cairan ke dalam darah. Sistem limfatik pada
dasarnya merupakan sistem penyaluran dan tidak memiliki sirkulasi. Pembuluh
limfatik ditemukan di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali sistem saraf pusat,
bola mata, telinga dalam, epidermis kulit, kartilago, dan tulang.3

Gambar2. Pembuluh limfatik Struktur dari kapiler limfatik dan sebuah saluran limfe ,
memperlihatkan katup saluran limfe. (Guyton AC, Hall JE. 2006.hal 199)

Limfe adalah nama yang diberikan untuk cairan jaringan yang masuk ke
dalam pembuluh limfe. Kapiler limfe adalah anyaman pembuluh-pembuluh halus
yang mengalirkan limfe dari jaringan. Kapiler limfe selanjutnya mengalirkan
limfe ke pembuluh limfe kecil yang akan bergabung membentuk pembuluh limfe
besar. Pembuluh limfe berbentuk tasbih karena banyaknya katup yang terdapat
disepanjang perjalanannya.3

Sebelum limfe masuk ke aliran darah, cairan ini melalui paling sedikit satu
kelenjar limfe, bahkan seringkali lebih dari satu. Pembuluh limfe yang membawa
limfe ke kelenjar limfe dinamakan pembuluh aferen, pembuluh yang membawa
limfe keluar dari kelenjar limfe disebut pembuluh eferen. Limfe memasuki aliran
darah pada pangkal leher melalui pembuluh limfe yang dinamakan duktus
lymphaticus dextra dan duktus thorasikus.3
Pada dasarnya seluruh pembuluh limfe dari bagian bawah tubuh pada
akhirnya akan bermuara ke duktus torasikus, yang selanjutnya bermuara ke dalam
sistem darah vena pada pertemuan antara vena jugularis interna kiri dan vena
subklavia kiri.
Cairan limfe dari sisi kiri kepala, lengan kiri, dan sebagian daerah toraks
juga memasuki duktus torasikus sebelum bermuara ke dalam vena. Cairan limfe
dari sisi kanan leher dan kepala, lengan kanan, dan bagian kanan toraks memasuki
duktus limfatikus kanan, yang akan bermuara ke dalam sistem darah vena pada
pertemuan antara vena subklavia kanan dan vena jugularis interna.
Sistem limfatik berfungsi sebagai mekanisme untuk kelebihan aliran
(overflowmechanism) untuk mengembalikan kelebihan protein dan kelebihan
volume cairan ke sirkulasi dari ruang jaringan . Oleh karena itu, sistem limfatik
juga memiliki peran sntral dalam mengatur (1) konsentrasi protein dalam cairan
interstitial, (2) volume cairan interstitial, dan (3) tekanan cairan interstitial.
Sejumlah kecil protein terus keluar dari kapiler darah masuk ke dalam intertitium.
Hanya sejumlah kecil protein yang bocor, jika ada, yang kembali, ke sirkulasi
melalui ujung-ujung vena dari kapiler darah. Oleh karena itu, protein-protein ini
cenderung berakumulasi di cairan interstitial, dan hal ini kemudian akan
meningkatkan tekanan osmotik koloid cairan cairan intertitial
Peningkatan tekanan osmotik koloid dalam cairan intertisial akan
menggeser keseimbangan daya pada membran kapiler darah dalam membantu
filtrasi cairan ke dalam intertisium. Oleh karena itu, cairan bertukar tempat secara
osmosis keluar melalui dinding kapiler masuk ke dalam interstisium akibat protein,
sehingga meningkatkan volume cairan intertisial dan tekanan cairan intertisial.4

Peningkatan tekanan cairan intertisial akan sangat meningkatkan


kecepatan aliran limfe kemudian membawa keluar kelebihan volume cairan
interstisial dan kelebihan protein yang telah terakumulasi dalam ruang intertisial.
Begitu konsentrasi protein cairan intertisial mencapai nilai tertentu dan
menyebabkan peningkatan yang sebanding dalam volume cairan intertisial dan
tekanan cairan intertisial, pengembalian protein dan cairan melalui sistem limfatik
menjadi cukup besar untuk mengimbangi secara tepat kecepatan bocornya protein
dan cairan ke dalam intertisium dari kapiler darah. Oleh karena itu, nilai
kuantitatif dari semua faktor ini akan mencapai keadaan yang mantap. Faktorfaktor tersebut akan tetap seimbang pada nilai ini sampai terjadi perubahan pada
bocornya protein dan cairan kapiler darah.4
2.2 Limfedema
2.2.1 Definisi
Limfedema adalah suatu kondisi patologis pada sistem limfatik yang progresif
dari sistem limfatik dimana terjadi penumpukan cairan protein pada interstisial,
peradangan dan selanjutnya terjadi hipertofi jaringan lemak juga fibrosis. Limfedema
dibagi dalam dua klasifikasi yaitu limfedema primer yang terjadi karena jumlah
pembuluh limfe yang terbentuk lebih sedikit dari normal dan limfedema sekunder yang
disebabkan oleh adanya obstruksi aliran getah bening karena infeksi, radiasi, metastasis
tumor dan pembedahan.1,2,4

2.2.2

Epidemiologi

Secara epidemiologi limfedema sangat jarang terjadi pada limfedema


primer diperkirakan sekitar 1,15 di antara 100.000 orang yang berusia < 20 tahun,
dan lebih sering terjadi pada wanita. Insiden yang paling sering terjadi di dunia
adalah limfedema sekunder dengan penyebab tersering adalah filariasis karena
infeksi dari wuscheria bancrofti. 1,4,5
Sedangkan, menurut penelitian di Amerika Serikat, limfedema sekunder
paling sering disebabkan oleh keganasan kanker dan paska terapi radiasi. Di
belahan dunia bagian barat, penyebab utama limfedema sekunder adalah
pembedahan dan terapi radiasi untuk kanker, seperti karsinoma mamae dan pelvis,
melanoma, kanker kepala/leher, sarkoma kaposi). Penderita kanker payudara

pasca mastektomi paling sering menyebabkan limfedema pada ekstremitas atas.


Penyebab limfedema pasca operasi tertinggi adalah mastektomi.1,4,5
Menurut Data sub Direktorat Filariasis Departemen Kesehatan di
Indonesia, tahun 2009 limfedema filariasis hampir tersebar luas di seluruh
propinsi. Prevalensi filariasis di Indonesia bervariasi antara 0,5% hingga 19,64%
dengan rata-rata 3,1%. Berdasarkan laporan dari hasil survey sebanyak 1553 desa
tersebar di 231 kabupaten di 26 propinsi tercatat sebagai lokasi yang endemis,
dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survey laboratorium, melalui
pemeriksaan darah jari, rata-rata Microfilaria rate (Mf rate) 3,1%, berarti sekitar 6
juta orang sudah terinfeksi cacing filaria.
2.2.3

Etiologi dan Klasifikasi

2.2.3.1 Limfedema primer


Limfedema primer terbagi menjadi tiga bentuk yakini limfedema kongenital
(Milroys disease), limfedema praecox (Meiges disease), dan limfedema tarda.
Limfedema kongenital atau Milroys disease adalah suatu autosomal dominan. Pada

penyakit ini terjadi mutasi gen di lokus 5q35.3, yaitu FLT4, yang menyandikan
untuk reseptor Vascular Endothelial Growth Factor Receptor 3 (VEGFR3). Pada
penyakit Milroy biasanya terjadi limfedema bilateral mulai dari lutut sampai kaki,
serta dapat juga terjadi hidrokel, ski jump toenails, dan papilomatosis pada jarijari kaki.4,5,6
Limfadema praecox atau disebut juga Meiges disease, biasanya muncul
saat masa pubertas dan menunjukkan turunan dari autosomal dominan. Hal ini
terkait dengan beberapa variasi anomali, seperti cacat tulang belakang,
malforfamasi cerebrovaskular, gangguan pendengaran, dan distichiasis. Analisis
genetik molekuler telah menunjukkan lebih dari 30 mutasi faktor transkripsi
FOXC2 gen 6 yang terlibat dalam penumpukkan metabolisme adiposa.4
Limfedema tarda dapat dianggap limfedema kongenital dengan gejala
klinis yang muncul setelah usia 35 tahun.Dapat disertai dengan displasia nodus
dan obstruksi limfatik akibat etiologi idiopatik.4
2.2.3.1 Limfedema sekunder

Limfedema sekunder adalah limfedema yang terjadi setelah trauma, operasi,

radiasi, invasi tumor, atau infeksi. Penyebab limfedema sekunder adalah


limfangitis, filariasis, tuberkulosis, neoplasma, pembedahan, dan terapi radiasi.
Secara epidemiologi penyebab tersering adalah filariasis karena infeksi dari
Wuscheria bancrofti. Larva filariasis masuk melalui gigitan nyamuk dan
berkembang menjadi cacing dewasa hidup di dalam kelenjar dan saluran limfe.1,2,4

2.2.4

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari limfedema secara umum terjadi akumulasi subkutan

cairan edema dan jaringan adiposa. Respon inflamasi berkembang dengan akumulasi
cairan interstitial yang kronis. Selain peradangan, aliran limfatik melambat juga telah
terbukti menyebabkan lipogenesis

dan penumpukan lemak dan kemudian

menyebabkan peningkatan aktivasi fibrosit dan pertumbuhan jaringan ikat. Selain


hipertropi jaringan adiposa, pada penderita juga terjadi pembengkakkan daerah
subkutan yang semakin kencang atau terbentuk jaringan fibrosis. Perubahan patologis
awalnya sebagai pembengkakan pada tungkai atau wilayah yang terkena dampak.4

Terdapat tahap manisfestasi klinis pada limfedema yaitu :


Stage

Deskripsi

Stadium 0

Masa laten atau subklinis dimana pembengkakan tidak jelas meskipun


transportasi getah bening terganggu. Stage 0 mungkin ada selama
berbulan-bulan atau tahun sebelum edema terjadi.

Stadium I

Akumulasi awal dari cairan yang mengandung protein dimana berkurang


bila tungkai elevasi. Edema mulai terjadi dan peningkatan proliferasi sel
mulai terlihat

Stadium II

Pembengkakkan jaringan dan edema tidak berkurang dengan kaki elevasi


dan terjadi perkembangan fibrosis

Stadium III

Limfedema (elefentiasis), volume edema non pitting, bertambah dengan


dermatosclerosis dan lesi papillomatous

Manifestasi pada limfedema sekunder filariasis, terbagi menjadi akut dan


kronik. Pada manisfestasi akut terjadi demam tinggi, menggigil dan lesu,
limfangitis dan limfadenitis, dan dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Pada
banyak kasus, demam filarial tidak menunjukkan mikrofilaremia. Limfangitis
akan meluas ke daerah distal dari kelenjar yang terkena tempat cacing ini tinggal.
Limfangitis dan limfadenitis berkembang lebih sering di ekstremitas bawah dari
pada atas. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh tanpa
pengobatan. Kadang peradangan pada kelenjar limfe menjalar ke bawah mengenai
saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd yang dapat terlihat sebagai
garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke
jaringan sekitarnya. Selain pada tungkai dapat mengenai alat kelamin dan
payudara.7
Manifestasi kronik, yaitu berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Gejala klinis bervariasi
mulai dari ringan sampai berat yang diikuti dengan perjalanan penyakit obstruksi
yang kronis. Tanda klinis utama yaitu hidrokel, limfedema, elefantiasis dan
chyluria, meningkat sesuai bertambahnya usia.7
2.2.5

Diagnosis

2.2.5.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Dalam

menegakkan

diagnosis

limfedema

diperlukan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Paling sering pasien akan datang
dengan keluhan utama bengkak pada ekstremitas bawah. Pembengkakan yang
terjadi pada limfedema umumnya mulai dari distal dan berlanjut ke arah
proksimal dalam hitungan bulan sampai tahun. Pada stadium awal akan sulit
untuk membedakan pembengkakan karena penyebab yang lain seperti, gagal
jantung, gagal ginjal kronik, kehilangan protein, dan lokal etiologi seperti,
lipedema, trombosis vena dalam, vena kronis insufisiensi, myxedema, dan edema
siklus atau idiopatik. Perlu ditanyakan riwayat faktor resiko seperti pembedahan
diseksi nodul, riwayat terapi radiasi, riwayat trauma, riwayat infeksi, travel ke

daerah endemik filariasis, riwayat keganasan tumor, dan riwayat keluraga yang
memiliki limfedema.
Pasien datang dapat mengeluh ekstremitasnya lelah atau adanya tekanan
pada ekstremitas, tetapi nyeri jarang dirasakan. Riwayat keluarga tidak khas pada
limfedema, tetapi ciri-ciri limfedema, suatu lipodistrofi yang menyebabkan
pembesaran simetris pada ekstremitas bawah, sering terjadi pada wanita.
Pembengkakan yang terjadi pada limfedema umumnya mulai dari distal dan
berlanjut ke arah proksimal dalam hitungan bulan sampai tahun.4
Pada pemeriksaan fisik, limfedema akan ditemukan pitting edema, tetapi
perlahan menjadi non-pitting edema karena terbentuknya fibrosis dan jaringan
menjadi keras. Perubahan kulit dapat terjadi yaitu ditemukan peau dorange,
tetapi jarang terjadi ulkus. Tanda stemmer ditemukan positif.4
Uji stemmer dapat digunakan untuk menandakan ada atau tidaknya
limfedema. Cara untuk melakukan uji stemmer adalah dengan cara mencubit dan
mengangkat lipatan kulit basal pada digiti II pedis dan digiti III manus. Jika
lipatan kulit basal dapat diangkat tanda stemmer negatif bila tidak tanda stemmer
positif. False positive tidak pernah terjadi. Sebaliknya, tanda negatif tidak
menyingkirkan kalau itu bukan limfedema. Uji stemmer ini cepat untuk
mengetahui bila hasil positif menandakan limfedema dan dapat dilakukan
secepatnya terapi yang tepat.

Gambar 3. Uji Stemmer. Uji stemmer positif (kiri) dengan cara mencubit lipatan basal
digiti II pedis dan digiti III manus. Uji stemmer negatif (kanan) terhadap pasien CVI Chronic
Venous Insufficiency (Robyn Bjork, 2010)

2.2.5.2 Pemeriksaan Penunjang


a) Analisis Bioimpedansi
Bioelectric impedance analysis sering digunakan dalam analisis
komposisi tubuh dan memberikan analisis langsung tentang perbedaan
volume edema. Teknik ini terbukti dapat dipercaya dan memiliki
kemampuan dalam menunjukkan limfedema subklinis pada wanita yang
akan menjalani terapi kanker payudara. Teknik ini dapat mendeteksi area
kecil pada limfedema. Hanya saja, teknik ini tidak akurat dan tidak dapat
membedakan limfedema dengan penyebab edema yang lain dan tidak
dapat menentukan kapan edema temporer akibat paskaoperasi menjadi
edema yang kronik.2,4

b) Limfoskintigrafi
Limfoskintigrafi atau limfografi isotopik adalah suatu teknik
pencitraan noninvasif melalui injeksi technetium-labeled colloid ke dalam
jaringan subkutan. Radioisotop masuk ke dalam sistem limfatik dan

diperiksa

menggunakan

kamera

gamma

khusus.

Teknik

ini

menguntungkan namun resolusi gambar yang dihasilkan lebih kecil


dibandingkan limfangiografi. Limfoskintiografi merupakan gold standar
untuk limfedema karena akurat dalam menilai abnormalitas kerusakan
sistem limfe dengan menunjukkan aliran lambat limfe dan area refluks
limfe dan dapat memprediksi respon untuk tatalaksana.2,5
c) MRI
MRI dapat menunjukkan edema di kompartemen epifasial dan
pembesaran saluran limfatik. MRI juga dapat menunjukkan gambaran
khas limfedema yaitu penebalan kulit, honeycombing pada jaringan
subkutan karena terbentuknya fibrosis dan cairan mengelilingi akumulasi
adiposa, dan tidak adanya edema pada kompartemen muskular.5

d) CT Scan
Kegunaan CT-scan sama dengan pemeriksaan USG, yaitu untuk
mendeteksi lesi obstruksi seperti neoplasma, khususnya jika limfedema
terjadi spontan pada pasien dewasa karena menandakan adanya suatu
kompresi sistem limfatik akibat keganasan. Sensitivitasnya sebesar 97%
dan spesifisitasnya sebesar 100%.5

e) Diagnosis parasitologi
Pemeriksaan antigen filaria dapat ditemukan adanya antigen filarial
di dalam darah perifer, dengan atau tanpa mikrofilaria. Pemeriksaan ini
sekarang dipertimbangkan debagai diagnosis yang paten infeksi filarial
dan dipakai untuk memonitor efektivitas pengobatan. Jika dicurigai
filariasis limfatik, urin harus diperiksa secara mikroskopik untuk
menemukan adanya chyluria. Pada pemeriksaan imunoglobulin serum,
kadar Ig E serum yang meningkat ditemukan pada pasien dengan penyakit
filaria aktif.5

2.2.6

Tatalaksana

Penanganan limfedema yaitu dengan terapi decongestive lengkap yang


biasa disebut terapi gabungan, kompleks atau Comprehensive Decongestive
Therapy. Semua mengacu pada metode yang sama dikenal sebagai CDT. CDT
adalah pengobatan utama untuk limfedema. Para ahli yang merawat limfedema
mempertimbangkan CDT sebagai "gold standard" dari treatment. CDT telah
terbukti aman dan efektif.2
Terapi ini dibagi dalam dua fase reduksi awal (fase I) yang diikuti dengan
fase pemeliharaan (fase II). Tujuan utama fase I adalah mengurangi ukuran edema
dan memperbaiki kulit. Setelah fase I, pasien melanjutkan terapi ke fase II terus
menerus untuk memastikan bahwa hasil dari fase I akan bertahan lama.2
Fase I, CDT yang terdiri dari Drainase limfe manual (MLD) dan perban
kompresi short-stretch dilakukan setiap hari (5 hari/minggu) sampai terjadi
pengurangan volume cairan, yang dapat terjadi dalam 3-8 minggu. Beberapa
pasien mungkin memiliki hasil yang baik dari CDT dengan modifikasi pada
frekuensi dan durasi pengobatan. Frekuensi dan durasi CDT tergantung individual
masing-masing untuk menghasilkan pengurangan edema terbesar dan perbaikan
kondisi kulit dalam periode waktu terpendek.2
Pada akhir tahap I CDT, fase II pasien limfedema masuk pada program
manajemen diri yaitu latihan limfatik di rumah, rejimen perawatan kulit, dan
pakaian atau perban kompresi yang harus dipelajari oleh pasien. Pakaian kompresi
harus diganti setiap 4-6 bulan agar efektif. Fase II CDT dan pemantauan medis
periodik sangat penting untuk keberhasilan pengobatan limfedema jangka
panjang.2,9,10
Drainase limfe manual (MLD) merupakan bagian penting dari CDT.
Komponen ini adalah teknik manual (hands-on) atau disebut juga light massage
technique dengan dua mekanisme. Teknik ini merangsang pembuluh limfatik
superfisial untuk mengeluarkan cairan interstisial berlebih dan mengalirkannya
melalui saluran cairan subepidermal (di bawah kulit) yang terbentuk ketika
limfatik rusak. Beberapa orang menyebut teknik ini sebagai pijat, tetapi berbeda
dari jenis pijat otot biasa atau pijat miofasial yang dikenal dalam masyarakat. 2,9,10

Kedua, Perban kompresi terapi diterapkan untuk memobilisasi cairan edema


setelah setiap MLD sesi selama 23 jam/hari termasuk akhir pekan. Perban dengan
lapisan khusus diterapkan dengan cara yang tepat untuk anggota badan yang
terkena dengan menggunakan tekanan bertingkat. Bahan perban digunakan
menentukan kedalaman dari efek kompresi. Perban menyebabkan tekanan tinggi
selama aktivitas dan tekanan yang relatif rendah di tungkai ketika tubuh
beristirahat.9,10

Gambar 4. Perban Kompresi terhadap tangan sampai ke jari-jari untuk limfedema pada
tungkai atas (Bergan J, 2010)

Latihan khusus bermanfaat bagi semua pasien. Latihan berupa menarik


nafas

dalam dan

menggerakan anggota tungkai.

Latihan

yang

tepat

memungkinkan pasien limfedema melanjutkan aktivitas sambil meminimalkan


resiko

eksaserbasi

edema,

meskipun

aktivitas

berat

untuk

sementara

meningkatkan beban cairan. Perban kompresi harus tetap dipakai selama latihan
untuk mengimbangi terbentuknya cairan interstitial. Karena latihan telah terbukti
memiliki efek positif yang besar selama dan setelah pengobatan. Untuk bentuk
lain dari limfedema, latihan juga memiliki efek positif. Orang dengan atau
berisiko untuk limfedema didorong untuk bekerja dengan spesialis limfedema
untuk menggabungkan program latihan individual ke dalam manajemen
limfedema.9,10
Terakhir perawatan kulit dan kuku, kebersihan yang teliti dianjurkan untuk
mengurangi jumlah jamur dan bakteri pada kulit. Agar menjaga kulit dari
kekeringan dan retak pelembab dengan pH rendah harus diberikan . Daerah kulit

yang retak dan kering dapat mengakibatkan infeksi dan luka. Infeksi kulit yang
dikenal adalah selulitis (atau erisipelas) maka dari itu pengobatan antibiotik
diperlukan pada orang dengan limfedema.9,10
Menurut penelitian Comprehensive Decongestive Therapy sangat efektif
dalam mereduksi volume cairan penurunan yang signifikan terlihat pada 1 tahun
setelah awal pengobatan pasien limfedema mengalami penurunan volume cairan
sebesar 47%. Hanya saja menurut penelitian lainnya kualitas hidup pasien
limfedema kurang berpengaruh terhadap berkurangnya volume cairan. Pasien
limfedema masih sering merasa nyeri, terbatasnya pemilihan pakaian,
gangguan dalam pekerjaan juga psikososial.9,10

dan

BAB III
KESIMPULAN
Limfedema adalah suatu kondisi patologis pada sistem limfatik yang
progresif dari sistem limfatik dimana terjadi penumpukan cairan protein pada
interstisial, peradangan dan selanjutnya terjadi hipertofi jaringan lemak juga
fibrosis. Limfedema dibagi dalam dua klasifikasi yaitu limfedema primer yang
terjadi karena jumlah pembuluh limfe yang terbentuk lebih sedikit dari normal
dan limfedema sekunder yang disebabkan oleh adanya obstruksi aliran getah
bening karena infeksi, radiasi, metastasis tumor dan pembedahan.
Secara epidemiologi insiden yang paling sering terjadi di dunia adalah
limfedema sekunder dengan penyebab tersering adalah filariasis karena infeksi
dari wuscheria bancrofti. Limfedema sangat jarang terjadi pada limfedema primer
diperkirakan sekitar 1,15 di antara 100.000 orang yang berusia < 20 tahun, dan
lebih sering terjadi pada wanita.
Dalam

menegakkan

diagnosis

limfedema

diperlukan

anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan


riwayat faktor resiko seperti pembedahan diseksi nodul, riwayat terapi radiasi,
riwayat trauma, riwayat infeksi, travel ke daerah endemik filariasis, riwayat
keganasan tumor, dan riwayat keluraga yang memiliki limfedema. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan pitting edema, tetapi perlahan menjadi nonpitting edema karena terbentuknya fibrosis dan jaringan menjadi keras. Perubahan
kulit dapat terjadi yaitu ditemukan peau dorange, tetapi jarang terjadi ulkus.
Tanda Stemmer ditemukan positif
Limfoskintiografi merupakan gold standar untuk limfedema karena akurat
dalam menilai abnormalitas kerusakan sistem limfe. Penanganan limfedema yaitu
dengan Comprehensive decongestive therapy yang terbukti aman dan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Loscalzo J. Hauser S.
Harrison's Principles Of Internal Medicine, 18th ed. New York: McGrawHill;
2011: 1901

2.

NLN Medical Advisory Comittee. 2011. The Diagnosis and Treatment of


Lymphedema. NLN Paper; 2011: 1-19

3.

Snell,Richard S, .Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edsis 6.


EGC : Jakarta.2006.hal 21-23

4.

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerjemah:
Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2006.hal 199-203

5.

Warren AG, Brorson HK, Borud LJ, and Slavin S.2007. Lymphedema
Comprehensive Review;2007; 59: 464-472

6.

Baki A, et al. Idiophatic Congenital Lymphedema-a case report. Bangladesh J


Child Health 2013; Vol 37 (1) : 49-51

7.

Antigani PL. Diagnosis and treatment of primary lymphedema-UOP


Consensus. International Angiology: a Journal of The International Union of
Angiology, December 2013

8.

Supali T, Sri S, Margono, Alisah SN, Abidin. Nematoda jaringan. In: Sutanto
I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S; editors. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. 4th ed. Jakarta FKUI; 2008. hal. 32-42.

9.

JM Weiss, BJ Spray. The Effect of Complete Decongestive Therapy on The


Quality of Life of Patients With Peripheral Lymphedema. Missoury,
USA.2002; 46-58

10. Rashmi Koul, Tarek Dufan. Efficacy of Complete Decongestive Therapy and
Manual Lymphatic Drainage on Treatment-Related Lymphedema In Breast
Cancer.Elsevier, Canada. 2007; vol 67; 841-846

Anda mungkin juga menyukai