Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Anak adalah anugerah yang diberikan oleh Allah subhanahu wa taala. Anugerah
yang membuat sepasang hati semakin bertambah bahagia. Kebahagiaan yang tidak bisa
dinilai dengan harta-benda.
Anak adalah rezki dari Allah. Sudah sepantasnya pasangan suami istri bersyukur atas
rezki itu. Allah subhanahu wa tala berfirman:




( 49)






49:({ ]50)








[50

Artinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang dia
kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang dia kehendaki.
Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa
yang dikehendaki-Nya). Dan Dia menjadikan mandul siapa yang dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS AsySyura : 49-50)
Di antara bentuk rasa syukur adalah memperhatikan hak-hak anak. Sehingga dengan
demikian, terjalinlah hubungan yang harmonis di dalam keluarga, terciptalah anak-anak
yang taat kepada orang tuanya, terbentuklah watak-watak anak soleh yang siap
membangun agama, bangsa dan negara.
Agama Islam adalah agama yang sempurna. Islam telah mengajarkan seluruh aspek
kehidupan. Islam telah mengajarkan hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh kedua orang
tuanya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Nama Yang Baik
Memberi nama dilakukan sebelum anak dilahirkan ataupun setelah kelahirannya.
Atau pada hari ketujuh, sebelumnya atau sesudahnya.
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah bersabda: Pada suatu malam lahir seorang
anak di dekatku, lalu aku menamainya dengan nama bapakku, Ibrahim.
Dari Sahl berkata: Mundzir bin Abi Usaid dibawa kepada Rasulullah kedka lahir,
lalu Nabi meletakkannya pada pangkuannya dan Abu Usai duduk, lalu Nabi mengambil
sesuatu disampingnya. Beliau memerintahkannya dengan anaknya membawa pada
pangkuan Nabi, Lalu Rasulullah bersabda: Dimana anak kecilitu? Abu Usaid berkata:
Kami kembali ya Rasulullah. Lalu ia berkata: Siapa namanya?Ia berkata: Fulan . Ia
berkata: Bukan, tapi namanya adalah Al-Mundzir. Maka sejak itu namanya Al-Mundzir
Dari hadis-hadis ini dapat diambil kesimpulan bahwa masalah ini terdapat keluasan
dalam memberi nama. Boleh pada hari pertama, boleh menunda hingga tiga hari, dan
boleh memberi nama pada hari ketujuh. Sebelum ataupun sesudah pada hari ketujuh.1
Hadis-hadis Nabi yang mulia telah memberi penjelasan untuk memberikan perhatian
dalam memberi nama anak dan memilih nama yang baik. Nabi bersabda:
Sesungguhnya kalian pada hari kiamat kelak dipanggil dengan nama-nama kalian,
dan nama bapak-bapak kalian, maka bedalah nama-nama yang bagus pada nama-nama
kalian.
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: Sesungguhnya nama-nama kalian
yang paling disukai Allah ft adalah Abdullah dan Abdurrahman.
Ucapan Rasulullah; Berilah nama dengan nama-nama para Nabi. Sebaik-baik nama
menurut Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman. Sebenar-benarnya adalah Harits dan
seburuk- buruknya adalah Harb dan Murrah.
Rasulullah bersabda: Ucapan yang paling disukai Allah itu ada empat,
Subhanallah, Alhamdulillah, La Ilaha Illlallah dan Allahu akbar. Janganlah kalian
memberi nama anak kalian dengan nama Yasar, Rabah, Najih, dan Adah. Karena jika
engkau bertanya: Adakah dia? Lalu ia tidak ada. Maka dikatakan tidak ada.
1 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 265
2

Rasulullah bersabda: Laki-laki yang paling dimurkai Allah pada hari kiamat adalah
yang paling buruk, laki-laki yang diberi nama Malikul Amlak. Karena tidak ada raja
kecuali Allah.
Dari sini kita mengetahui bahwa nama-nama yang memiliki keutamaan adalah namanama yang diberikan kepada para nabi. Nama-nama yang berarti menyembah Allah seperti
Abdullah dan Abdurrahman. Nama-nama yang hams dijauhi para penghamba selain Allah,
seperti Abdul Uzza, Abdul Kabah, Abdul Rasul, Abdun Nabi dan nama-nama yang di
dalamnya mengalir, menyerupai, dan sangat cinta, seperti Haifa (langsing), Hiyam (cinta
yang membara), Nuhad (kurang lebih), Sausan (pohon bunga lili), Miyadah, Nariman,
Ghadah, Ahlam, dan sebagainya. Nama-nama yang diambil dari kata- kata yang di
dalamnya terdapat makna pesimis sehingga seorang anak selamat dari keburukan nama ini
dan kecelakaannya, seperti Huzn (sedih) dan Jamrah (nyala api). Nama-nama yang khusus
untuk Allah seperti Al-Ahad, Ash-Shamad, Al-Khaliq, dan Ar-Razaq. Nama-nama yang di
dalamnya ada keinginan, optimis, sehingga tidak mendapatkan kekeruhan dalam panggilan
mereka, dan mereka menghilang dengan kata tidak, seperti Aflaha (keberuntungan) dan
Nafi (yang bermanfaat).
Tidak ada keraguan bahwa nama-nama baik yang terangkai dengan akidah Islamiah,
sehingga memihki pengaruh yang lebih baik pada jiwa yang dinamainya. Dengan
keutamaan bahwa itu membedakan umat Islam dengan umat-umat lainnya dalam setiap
fenomena kehidupannya untuk alam, selalu menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk
manusia, menunjukkan manusia kepada cahaya Yang Maha Benar dan dasar-dasar Islam.2
B.Nasab Yang Baik
Nasab atau keturunan yang artinya pertalian atau perhubungan merupakan indikasi
yang dapat menentukan asal-usul seorang manusia dalam pertalian darahnya.
Disyariatkannya pernikahan adalah untuk menentukan keturunan menurut Islam agar anak
yang lahir dengan jalan pernikahan yang sah memiliki status yang jelas. Artinya anak itu
sah mempunyai bapak dan mempunyai ibu. Akan tetapi, kalau anak itu lahir di luar
pernikahan yang sah, maka anak itu statusnya menjadi tidak jelas hanya mempunyai ibu,
tetapi tidak mempunyai bapak secara hukum.3
2 Ibid, hal. 266
3 Aminuddin Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), hal. 157
3

Penetapan nasab anak dalam perspektif Islam memiliki arti yang sangat penting, karena
dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya.
Disamping itu, penetapan nasab itu merupakan hak pertama seorang anak ketika sudah
terlahir ke dunia yang harus dipenuhi.
Dalam Fiqih, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan
ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang terlahir di luar
perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah. Biasa disebut dengan
anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah.4
C.Pendidikan dan Pengasuhan
Mengasuh anak bagi ibu berlangsung selama masa pengasuhan. Kemudian dialihkan
kepada bapak setelah anak menjadi seorang yang mampu untuk mencukupi dari kasih
sayang dan tanggung jawab ibu kepadanya. Dalam setiap keadaan diperbolehkan bagi
hakim untuk menetapkan pengasuhan yang lebih baik dari kedua orangtua. Jika telah jelas
kemaslahatan anak dalam hal itu.
Telah datang seorang perempuan kepada Nabi lalu ia berkata: Wahai Rasululah
sesungguhnya anak laki-lakiku inimemiliki hak dalamperutku, susuku baginya adalah
minuman, pangkuanku baginya adalah udara, jika bapaknya menceraikanku dan ingin
memisahkannya dariku. Lalu Rasulullah berkata: Engkau lebih berhak atasnya, selama
engkau tidak menikah.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
Barangsiapa memisahkan antara ibu dengan anaknya maka Allah akan memisahkannya
antara dirinya dengan yang dicintainya pada hari kiamat.
Dari Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya Nabi memilih seorang anak laki-laki
antara bapak dan ibunya. Kemudian ia memilih ibunya dan mengambil dengan tangan
ibunya dan ibunya pergi dengannya. "
Termasuk bagian hak seorang hakim pada saat perselisihan dalam pengasuhan anak,
memilih orang yang lebih bermanfaat bagi anak dan lebih mampu untuk berbuat baik
dalam pendidikannya dan melak- sanakan tanggung jawabnya.

4 Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 276.
4

Hasan Al-Bashri mengatakan, aku mendengar guru kita berkata: Telah terjadi
perselisihan antara kedua orangtua atas anak, menurut sebagian hakim memilihkan anak
antara kedua orangtuanya, maka dipilih bapaknya, ibunya berkata: Aku menanyakannya
kenapa ia memilih bapaknya?
Lalu ditanyainya, anak kecil itu berkata: Ibuku membawaku ke Kuttab setiap hari
dan ahli fiqh memukulku, sedangkan bapakku meninggalkanku bermain bersama anakanak. Maka diputuskan untuk memilih ibu, ia berkata: Engkau lebih berhak atasnya.
Sungguh Rasulullah menetapkan bagi bibi (dari ibu) untuk mengasuh.
Dari Ali berkata: Zaid bin Haritsah keluar ke Mekah bersama anak laki-lakinya,
Hamzah. Lalujafar berkata: Aku mengambilnya, aku lebih berhak atasnya, ia adalah
anakperempuan pamanku (dari bapak), aku memiliki bibi (dari ibu). Sesungguhnya bibi
(dari ibu) adalah ibu. Lalu Ali berkata: Aku lebih berhak dengannya, ia adalah
anakperempuan pamanku. Aku memiliki anak perempuan dari Rasulullah, aku lebih
berhak atasnya. Zaid berkata: Aku . lebih berhak atasnya, ia adalah anakperempuan
saudara laki-lakiku, sungguh aku keluar dan datang kepadanya. Lalu Rasulullah
menetapkan anak perempuan itu untuk Jafar dan Nabi, berkata: Sesungguhnya bibi (dari
ibu) adalah ibu. 5
D.Aqiqah
Akikah (al-aqiqah) adalah menyembelih kambing untuk anak pada hari ketujuh dari
kelahirannya.6
Dari Aisyah ra., ia menceritakan bahwa Rasulullah memerintahkan mereka untuk anak
laki-laki dua ekor kambing yang sama umurnya dan bagi anak perempuan seekor
kambing.
Dari Salman bin Amir Adh-Dhabiyy berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
Bersama seorang anak laki-laki ada hak akikah, maka tumpahkanlah darah darinya dan
hilangkanh bahaya darinya.
Jelas bagi kita tentang tata cara Nabi yang mulia, ketika Nabi ditanyai tentang
akikah, lalu sepakatlah beliau dengan dasarnya dan membenci nama kedurhakaan ketika di

5 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, hal. 288


6 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, hal. 273
5

dalamnya terdapat makna-makna yang seharusnya anak kecil tidak patut menerimanya.
Maka dipilih sebagai pengganti kata ibadah.
Akikah adalah sunnah yang diperintahkan menurut mayoritas ulama fiqh, kecuali
ulama fiqh mazhab Hanafi. Sungguh mereka mengingkari pensyariatannya bersandarkan
pada hadis-hadis yang dijumpai selurah imam dan ulama fiqh yang memilih makna-makna
yang tidak bertentangan dengan sunnah yang diperintahkan.
Waktu pelaksanaan akikah adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak berdasarkan
ucapan Rasulullah :
Dari Nabi bersabda: Setiap anak laki-laki tergadai dengan akikahnya,
disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberinama dan dicukur rambutnya.7
Namun di sini ada beberapa pendapat yang memberi pandangan bahwa penentuan hari
ketujuh tersebut bukanlah termasuk keharusan. Hal itu hanya merupakan suatu yang
dianjurkan. Jika disembelihkan untuknya pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh, atau
setelahnya maka pada demikian itu telah memenuhi untuk akikah. Sebagaimana juga
terdapat beberapa pendapat yang memberikan manfaat dengan kebolehan akikah dengan
satu ekor kambing untuk anak laki-laki. Mereka mendasarkan pendapat tersebut bahwa
akikah yang dilakukan Rasulullah untuk Hasan dan Husain berupa seekor kambing untuk
masing-masing dari mereka.
Termasuk disunnahkan untuk tidak melumat tulang binatang akikah, namun
potongan dari ruas-ruasnya sehingga potongan itu terbagi dengan bagian besar yang
sempurna. Diharapkan dengan demikian sebagai bentuk harapan dengan keselamatan
bagian anggota-anggota anak yang dilahirkan, kesehatan dan kekuatannya.
Akikah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari pertama anak
yang dilahirkan dalam kehidupan. Akikah merupakan tebusan yang diberikan kepada anak
yang dilahirkan dari musibah-musibah dan bencana-bencana, sebagaimana Allah menebus
Nabi Ismail dengan penyembelihan yang besar dengan keutamaan yakni memperlihatkan
kegembiraan dan kebahagiaan dengan keluamya napas nyawa manusia yang beriman
mengesakan Allah, yang dengannya Rasulullah memperbanyak umat pada hari kiamat.
Mengokohkan ikatan antara anak-anak dengan masyarakat untuk perkumpulan mereka
dengan hidangan makanan, penuh rasa gembira dengan adanya anak yang baru dilahirkan.
Memberi pertolongan bagi masyarakat dengan anugerah baru atas dasar-dasar keadilan
7 Ibid, hal. 277
6

kema- syarakatan sehingga menjadikan sesuatu bagi orang-orang fakir bagian dari akikah
ini. Oleh karena itu, hukumnya seperti hukum binatang untuk kurban dari segi
memakannya, menyedekahkan, dan memberikan. Ditambah dengan pemberian sebagian
darinya untuk menerima dengan memberikan kebahagiaan baginya dengan berdasarkan
hadis yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Ali sesungguhnya Rasulullah
memerintahkan Fatimah ra. lalu ia berkata: Timbanglah rambut Husain, sedekahkan
(hasil timbangan) dengan seberat perak. Berikanlah pada bidan atas laki-laki yang
berakikah.8
E.Keadilan Bagi Anak Laki-Laki dan Perempuan
Islam mewajibkan keadilan antara anak-anak dan persamaan antara mereka dalam
kasih sayang dan kelembutan. Karena pengkhususan sebagian dengan sesuatu dalam
bentuk kebaikan dan tanggung jawab menumbuhkan rasa benci dalam hati anak-anak dan
dapat merusak hubungan kekerabatan antara mereka.
Sungguh Islam telah memerintahkan berlaku adil di antara mereka dalam pembagian
dan pemberian. Begitu juga dalam kebaikan dan kasih sayang, selama mereka semua
berada pada satu kebiasaan dalam kebaikan dengan para bapak dan berbuat baik kepada
mereka, kemudian Rasulullah bersabda: Berlaku adillah antara anak-anakmu dalam
pemberian sebagaimana kalian mencintai untuk berbuat adil antara mereka dalam
kebaikan dan kelembutan.9
Sungguh telah jelas dalam penjelasan Alquran dalam kisah Nabi Yusuf yang
menyalakan kebencian pada teman-temannya, membawa perintah-perintah baginya, dan
sebagainya yang telah jelas karena pengaruh dari bapak mereka kepada Yusuf diberikan
perhatian khusus dengan berbagai macam kedekatan dan kemuliaan. Hal itu menjadi
keburukan baginya.
Allah berfirman:






8 Ibid, hal. 278
9 Ibid, hal. 289
7

Artinya: Ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf dan saudara


kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada
kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat).
Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.
Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia kesuatu daerah (yang tak
dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja,
dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
baik." (QS. Yusuf: 8-9)

Kita dapat mengatakan sesungguhnya hak keadilan dan persamaan antara anak-anak
ketika ada perintah sebagian mereka dari kedurhakaan atau kerusakan. Menjadikan jalanjalan lain untuk pengasuhan dan pendidikan tanpa penciptaan dan pembedaan, ia
menjadikan contoh-contoh dan hukum-hukum. Kata-kata mulia, pandangan yang penuh
kasih sayang, kesabaran yang indah, nasihat yang fasih, nasihat yang mem- bimbing,
bimbingan yang benar, perjanjian mereka dalam memilih teman yang benar, pengetahuanpengetahuan yang bermanfaat, semuanya menjadi perantara pendidikan yang sukses.
Mereka tidak melihat Rasulullah bahwa ia memerintahkan untuk menghukum anak
laki-laki yang durhaka atau fasik dengan mencegah atau mengurangi atas hak-haknya dari
saudara-saudaranya. Bahkan sungguh perintahnya untuk berlaku adil secara mutlak
meliputi setiap anak tanpa membedakan yang shaleh maupun yang bejat, yang taat dan
yang durhaka. Tidak tampak salah seorang sahabat Rasulullah, yang membedakan antara
anak-anaknya sebab kefasikan dan kedurhakaan.
Diriwayatkan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan suatu ketika memarahi anak lakilakinya, lalu ia mengutus kepada Al-Ahnaf bin Qais untuk menanyakan pendapatnya
dalam masalah anak-anak. Lalu ia berkata: Mereka adalah buah hati kami, tiang bagi dada
kami, kami bagi mereka seperti bumi yang hina, langit yang teduh. Jika mereka meminta
maka kami memberinya. Jika mereka marah maka kami meridhainya, jika mereka
memberikan kecintaaan kepadamu, maka kami memberikan kegigihan mereka. Maka
janganlah engkau menjadi berat bagi mereka sehingga mereka berpaling dari kehidupanmu
dan mengharapkan kematianmu.10

10 Ibid, hal. 230


8

F.Hak Anak Pungut, Anak Yatim Dan Anak Angkat


1. Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak diakui dan dijamin oleh
seseorang kemudian ia diambil oleh orang lain.11 Dalam istilah bahasa arab disebut
Laqiith, ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak
diketahui siapa ayah dan bundanya. Demikian defenisi yang tercantum dalam kitab AlLisaan dan kitab Al-Mishbaah. Biasanya laqiith adalah anak yang dibuang oleh orang
tuanya.
Ditinjau dari sisi istilah syari menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah sebutan untuk
seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau untuk menghindari
tuduhan telah berbuat aib. Menurut pendapat madzhab Syafii, laqiith adalah setiap bayi
yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya. Menurut madzhab Hambali, laqiith
adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz (dewasa) yang tidak diketahui
nasabnya dan terlantar, atau tersesat di jalan.12
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat disimpukan Laqiith adalah
anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang
tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau menghindari
tuduhan jelek, atau karena alasan lainnya.
2. Anak Yatim
Kata yatim berasal dari kata yutm, yang berarti tersendiri, permata yang unik, yang
tidak ada tandingannya (dinamakan). Yatim juga berarti ,

, yaitu seorang anak yang terpisah dari ayahnya (ditinggal mati) dan dalam
keadaan belum dewasa (baligh).13

11 Ibn Masud, Fiqih Mazhab Syafii, Penerjemah Zainal Abidin, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2000), hal.173.
12 Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, Ensiklopedi Anak, Penerjemah Ustadz Ali
Nur, (Jakarta: Penerbit Darus-Sunnah,2004), hal. 468-470.
13 Dahlan Addul Azizi, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Icktiar Baru Van Hoeve,
1997), hal. 1962
9

Secara umum kata yatim bagi anak manusia adalah seseorang yang belum dewasa dan
telah ditinggal mati oleh ayahnya.14 Ia dinamakan demikian karena ia bagaikan sendirian,
tak ada yang mengurusnya atau mengulurkan tangan (bantuan) kepadanya.
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa yang dinamakan yatim adalah anak yang
bapaknya telah meninggal dan belum baligh (dewasa), baik ia kaya ataupun miskin, lakilaki atau perempuan. Adapun anak yang bapak dan ibunya telah meninggal biasanya
disebut yatim piatu, namun istilah ini hanya dikenal di Indonesia, sedangkan dalam
literatur fikih klasik dikenal istilah yatim saja.15
Menurut Raghib al-Isfahani, seorang ahli kamus al-Qur'an, bahwa istilah yatim bagi
manusia digunakan untuk orang yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan belum
dewasa, sedangkan bagi binatang yang disebut yatim adalah binatang yang ditinggal mati
ibunya. Hal ini dapat dipahami karena pada kehidupan binatang yang bertanggung jawab
mengurus dan memberi makan adalah induknya. Hal ini berbeda dengan manusia di mana
yang berkewajiban memberi makan dan bertanggung jawab adalah ayahnya. Selanjutnya
al-Isfahami mengatakan bahwa kata yatim itu digunakan untuk setiap orang yang hidup
sendiri, tanpa kawan. Misalnya terlihat dalam ungkapan " Durrah Yatimah ". kata Durrah
(intan) disebut yatim, karena ia menyendiri dari segi sifat dan nilainya.16
3.Anak Angkat
Anak menurut Kamisa dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern adalah:
Anak adalah keturunan kedua.17 Pengertian ini memberikan gambaran bahwa anak
tersebut adalah turunan dari ayah dan ibu sebagai turunan pertama. Jadi anak adalah
merupakan suatu kondisi akibat adanya perkawinan antara kedua orang tuanya.
Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa Anak angkat adalah
anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan

14 Ibid., hal. 863


15 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), hal. 206
16 Dahlan Addul Azizi, Ensiklopedi Hukum Islam, hal 1962
17 Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),
hal. 13.
10

sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.18
Kedudukan anak angkat yang sedemikian memberikan arti yang sangat penting dalam
melanjutkan sebuah keluarga. Perhatian terhadap anak sudah lama ada sejalan dengan
peradaban manusia itu sendiri, yang dari hari kehari semakin berkembang, bimbingan
khusus agar dapat berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Dari pengertian di atas, maka pengertian anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaannya untuk hidupnya dialihkan dari tanggungan orang tua asal kepada orang
tua angkat.

18 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hal. 9.
11

BAB III
KESIMPULAN
Nama-nama yang memiliki keutamaan adalah nama-nama yang diberikan kepada
para nabi. Nama-nama yang berarti menyembah Allah seperti Abdullah dan Abdurrahman.
Nama-nama yang harus dijauhi para penghamba selain Allah, seperti Abdul Uzza, Abdul
Kabah, Abdul Rasul, Abdun Nabi dan nama-nama yang di dalamnya mengalir,
menyerupai, dan sangat cinta, seperti Haifa (langsing), Hiyam (cinta yang membara),
Nuhad (kurang lebih), Sausan (pohon bunga lili), Miyadah, Nariman, Ghadah, Ahlam, dan
sebagainya.
Nasab atau keturunan yang artinya pertalian atau perhubungan merupakan indikasi
yang dapat menentukan asal-usul seorang manusia dalam pertalian darahnya.
Disyariatkannya pernikahan adalah untuk menentukan keturunan menurut Islam agar anak
yang lahir dengan jalan pernikahan yang sah memiliki status yang jelas.
Akikah (al-aqiqah) adalah menyembelih kambing untuk anak pada hari ketujuh dari
kelahirannya. Akikah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari
pertama anak yang dilahirkan dalam kehidupan. Akikah merupakan tebusan yang
diberikan kepada anak yang dilahirkan dari musibah-musibah dan bencana-bencana,
sebagaimana Allah menebus Nabi Ismail dengan penyembelihan yang besar.
Islam mewajibkan keadilan antara anak-anak dan persamaan antara mereka dalam
kasih sayang dan kelembutan. Karena pengkhususan sebagian dengan sesuatu dalam
bentuk kebaikan dan tanggung jawab menumbuhkan rasa benci dalam hati anak-anak dan
dapat merusak hubungan kekerabatan antara mereka.

12

DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, Ensiklopedi Anak, Penerjemah Ustadz Ali Nur,
Jakarta: Penerbit Darus-Sunnah,2004
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010
Aminuddin Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, Bandung, Pustaka Setia, 1999
Amir Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2004
Dahlan Addul Azizi, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Icktiar Baru Van Hoeve, 1997
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Depag RI, 2002
Ibn Masud, Fiqih Mazhab Syafii, Penerjemah Zainal Abidin, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000
Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta: Balai Pustaka, 2005
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997

13

Anda mungkin juga menyukai