Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Urinalisa merupakan suatu metoda analisa untuk mendapatkan kandungan zat-zat yang
terdapat dalam urin, juga untuk identifikasi adanya kelainan pada urin terkait fungsi ginjal.
Urin atau air seni adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi. Eksresi urin diperlukan untuk
membuang molekul-molekul atau zat-zat sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal untuk
menjaga homeostasis cairan tubuh. Komposisi zat-zat dalam urin berbeda-beda tergantung
dari jenis makanan serta air yang diminum seseorang. Urin normal berwarna jernih
transparan, sedangkan urin yang berwarna kuning muda berasal dari zat warna empedu
(bilirubin dan biliverdin). Urin normal pada manusia terdiri dari air, urea, asam urat,
amoniak, kreatinin, asam laktat, asam fosfat, asam sulfat, klorida, garam-garam terutama
garam dapur, dan zat-zat yang berlebihan di dalam darah misalnya vitamin C dan obatobatan. Semua cairan dan materi pembentuk urin tersebut berasal dari darah atau cairan
interstisial. Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorbsi ketika molekul yang penting
dari tubuh, misalnya glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa.
Mekanisme Pembentukan Urin :
Urin merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air ( 96%) air dan
sebagian kecil zat terlarut ( 4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan sementara dalam
kandung kemih dan dibuang melalui proses mikturisi. (Evelyn C. Pearce, 2002). Proses
pembentukan urin, yaitu :
Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malpighi menyaring darah dalam
glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat bermolekul besar (protein
dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer). Di dalam filtrat ini
terlarut zat seperti glukosa, asam amino dan garam-garam.
Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal zat dalam urin
primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filtrat tubulus (urin
sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
Sekresi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah
menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion Na+ dan
Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke
pelvis renalis. ( Roger Watson, 2002 )

Sampel yang digunakan pada praktikum pemeriksaan urin ini digunakan sampel urin 24
jam yaitu urin yang dikumpulkan selama 24 jam. Urine yang pertama keluar dari jam 7 pagi
dibuang, berikutnya ditampung termasuk juga urine jam 7 pagi esok harinya. (R.
Gandasoebrata, 2006)
Pemeriksaan urin :
a) Pemeriksaan bobot jenis urine
Berat jenis (yang berbanding lurus dengan osmolalitas urin yang mengukur
konsentrasi zat terlarut) mengukur kepadatan air seni serta dipakai untuk menilai
kemampuan ginjal untuk memekatkan dan mengencerkan urin. Berat jenis urin sangat
erat hubungannya dengan diuresis, makin besar diuresis makin rendah berat jenisnya,
dan sebaliknya. Diuresis adalah keadaan peningkatan urine yang dibedakan menjadi
dieresis air dan dieresis osmotic. Bila urine pekat terjadi retensi air dibandingkan zat
terlarut dan bila urine encer terjadi ekresi air yang lebih dibandingkan zat terlarut, kedua
hal ini memiliki arti penting dalam konservasi dan pengaturan osmolalitas cairan tubuh
(Gandasoebrata,2006).
Berikut beberapa metode pemeriksaan berat jenis urine, yaitu :
Metode refraktometer
Cara menentukan berat jenis urine dengan menggunakan refraktometer makin
banyak diapakai karena cara ini hanya memerlukan bebrapa tets urine saja. Indeks
reraksi suatu cairan bertambah secara linier dengan banyaknya zat yang terlarut, jadi
indeks refraksi urine mempunyai hubungan erat degan berat jenis urine.
Refraktometer yang khusus dibuat untuk pemakaian dalam laboratorium mempunyai
skala berat jenis disamping skala indeks rfraksi, sehingga hasil penetapan dapat
langsung dibaca. Berat jenis yang dibaca pada refraktometer dipengaruhi oleh glukosa
dan protein dalam urine. Refraktometer tidak memerlukan koreksi untuk suhu. (R.
Gandasoebrata, 2006)
Metode Urinometer
Di dalam laboratorium klini, berat jenis urine ditetukan dengan suatu alat yang
disebut urinometer. Penetapan berat jenis urine biasanya cukup teliti dengan
urinometer. Prinsip penetapan berat jenis urine ini adalah berat jenis diukur dengan
alat urinometer yang mempunyai skala 1000-1060, dimana tempertaur urine harus
diperhatikan koreksinya terhadap hasl yang diperoleh.
b) Uji Benedict
Uji benedict adalah uji kimia untuk mengetahui kandungan gula (karbohidrat)
pereduksi. Gula pereduksi meliputi semua jenis monosakarida dan beberapa disakarida

seperti laktosa dan maltosa. Pada uji Benedict, pereaksi ini akan bereaksi dengan gugus
aldehid, kecuali aldehid dalam gugus aromatik, dan alpha hidroksi keton. Oleh karena
itu, meskipun fruktosa bukanlah gula pereduksi, namun karena memiliki gugus alpha
hidroksi keton, maka fruktosa akan berubah menjadi glukosa dan mannosa dalam
suasana basa dan memberikan hasil positif dengan pereaksi benedict. Dalam suasana
Alkalis sakarida akan membentuk enidid yang mudah teroksidasi. Semua monosakarida
dan diskarida kecuali Sukrosa dan trekalosa akan bereaksi positif bila dilakukan uji
Benedict. Prinsip uji benedict adalah glukosa yang memiliki gugus aldehid/ keton bebas
mereduksi ion kupri (Cu2+) dalam suasana alkalis membentuk kuprooksida yang tidak
larut dan berwarna merah bata.

Warna endapan yang diperoleh memberikan gambaran tentang jumlah gula yang
ada dalam urin, sehingga tes ini disebut semi kuanitatif. Berikut acuan kadar gula dalam
urin :

Normalnya glukosa tidak ada atau ada tapi dalam jumlah yang sangat kecil di
dalam urin. Ketika tingkat glukosa dalam darah ini melebihi batasan gula ginjal (160-180
mg/dl) maka glukosa mulai nampak dalam urin. Kehadiran glukosa dalam urin
(glucosuria) merupakan indikasi adanya penyakit diabetes mellitus.
c) Uji Obermeyer
Indikan berasal dari pertumbuhan bakteri, sering di usus kecil. Indican merupakan
indole diproduksi oleh bakteri pada suatu asam amino tryptophan dalam usus.
Kebanyakan indol dibuang dalam kotoran. Sisanya akan diserap dan dimetabolisme serta
diekskresi sebagai indicant dalam urin. Urine normal, jumlah indicant tersekresinya
kecil. Hal ini meningkat dengan diet protein tinggi atau kurang efisiennya pencernaan
protein. Jika tidak benar dicerna, atau jika salah jenis protein yang dikosumsi,

pembusukan usus dapat terjadi. Asam amino triptofan akan membentuk indol danskatol.
Indol dan skatol akan diserap dari usus, selanjutnya dalam hati akan dioksidasimenjadi
indoksil. Indoksil akan berkombinasi dengan sulfat (proses konjugasi) membentuk
indikan (=indoksilsulfat). Indikan akan dieksresi kedalam urin dan merupakan salah satu
sulfatetereal dalam urin. Pada keadaan normal, dalam sehari diekskresi 10-20 mg. Variasi
ekskresi terutama ditentukan oleh jenis makanan. Makanan tinggi protein akan
meningkatkan ekskresi indikan dalam urin dan sebaliknya pada makanan tinggi
karbohidrat. Bila terjadi peningkatan proses pembusukan dalam usus atau bila ada
stagnasi isi usus juga akan terjadi peningkatan ekskresi indikan urin. Peningkatan indikan
dalam urin juga dapat ditemukan bila ada deomposisi protein dalam tubuh oleh bakteri,
seperti gangrene. Indikan dalam urin ditetapkan dengan uji obermeyer dimana gugus
indoksil dari indikan oleh pereaksi obermeyer yang mengandung FeCl dalam HCl pekat
akan membentuk warna biru yang larut dalam kloroform.

d) Uji Rothera (Zat Keton)


Keton meruapakan molekul yang larut dalam air, diroduksi oleh sel hati dari asam
lemak ketika asupan makanan rendah (puasa) atau pembatasan karbohidrat yang
digunakan oleh sel tubuh sebagai energy. Ketika peningkatan jalur metabolise ini
mencapai titik tertentu, pemanfaatan asam lemak menjadi produk antara terjadi di darah
dan urin. Produk ini adalah aseton, asetoasetat dan -hidroksibutirat. Kehadiran keton
dalam urin (ketonuria) biasanay mengindikasikan terjadinya diabetes mellitus yang tidak
terkontrol, kelaparan atau diet karbohidrat yang sangt rendah. Dalam skala laboratorium,
untuk mendeteksi adanya keton dalam urin digunakan uji rothera. Prinsip dari uji rothera
yaitu asam asetoasetat (zat keton) akan membentuk kompleks dengan nitroprusida dalam
larutan tembaga alkali menghasilkan warna ungu.
e) Pemeriksaan Kadar Kreatinin Urin (folin)
Kreatinin dalam urin terbentuk dari fosfokreatinin. Kecepatan ekskresi kreatinin
relative konstan dari hari ke hari. Oleh karena itu ekskresi kreatinin dari setiap individu
manusia hanpir selalu konstan seperti halnya kadar kalium di dalam tubuh manusia.
Dengan demikian cara terbaik untuk mengetahui volume urin yang diekskresikan selama

24 jam adalah melalui penetapan kadar kreatinin dengan berdasarkan fraksinya yang
relatif konstan terhadap laju kreatinin setiap hari. Pengukuran kreatinin sebagai petunjuk
laju ekskresi urin seperti yang telah dilakukan oleh Folin adalah pengukuran warna
merah kreatinin pikrat dalam larutan alkali. Tubuh manusia mengandung kira-kira 120 gr
kreatin fosfat yang hamper seluruhnya berada dalam otot sebagai mata rantai
perpindahan energi kimia menjadi energy kinetic dari otot besar. Laju ekskresi kreatinin
tidak tergantung pada jumlah aktivitas fisik atau latihan yang keras. Jumlah kreatinin
tidak berbeda banyak pada seseorang yang sedang diet walaupun kreatinin banyak
diekskresikan melalui urine. Kreatinin yang ada di dalam urine sebagian besar berasal
dari filtrasi glomular dan tidak berpengaruh terhadap kreatinin dalam plasma darah yang
jumlahnya lebih besar. Laju ekskresi urin kreatinin dalam urin berbeda pada setiap
individu. Kreatinin lebih banyak diekskresikan oleh laki-Iaki dari wanita. Dasar
perbedaan ini dapat dilihat pada pertumbuhan otot antara laki-Iaki dan wanita. Bayi
mempunyai laju ekskresi urin rendah dan akan terus bertambah pada masa kanak-kanak
dan remaja.
f) Uji Heller (Protein)
Untuk mengetahui keberadaan protein dalam urine. Proteinuria dapat menandakan
ekskresi ginjal yang abnormal (baik akibat glomerulus yang bocor secara abnormal
ataupun ketidakmampuan tubulus untuk mereabsorpsi protein secara normal). Proteinuria
bisa juga hanya mencerminkan adanya sel atau darah di dalam urine. Karena itu, periksa
juga ada tidaknya darah atau leukosit (sel darah putih) saat melakukan uji carik celup;
penapisan infeksi saluran kemih juga patut dikerjakan dengan mengirim specimen urine
untuk kultur.
Prinsip Uji ini dilakukan dengan mencampurkan bahan dengan HNO 3 pekat
sehingga hasilnya akan terbentuk cincin yang berwarna putih pada permukaan larutan.
Protein jika terkena asam pekat (HNO3) akan terjadi denaturasi protein di permukaan,
tetapi jika berlangsung lama, denaturasi akan berlangsung terus-menerus sampai cincin
putih menghilang.

Daftar Pustaka
Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta : Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama.
Price, Syilvia,A, dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
R. Gandasoebrata. 2006. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.
Roger watson 2002. Anatomi Fisiologi untuk Perawat. Jakarta : ECG
Gaw, Allan, dkk . Biokimia Klinis Teks Bergambar Edisi 4. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai