Anda di halaman 1dari 40

GEOGRAFI BUDAYA PROVINSI BANTEN

MAKALAH
Diajukan untuuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah antropologi budaya

Disusun oleh:
Ana Silviana
Liska Restiani
Syifa Nur Aziz

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2016

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah dipanjatkan kepada Alah Swt, yang telah
memberi karunia, rahmat, dan ridho-Nya, sehingga laporan ini dapat terselesaikan.
Shalawat dan sallam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Makalah ini mencoba mendeskripsikan berbagai hal terkait dengan budaya
budaya yang diciptakan manusia yang pada khususnya oleh penduduk Banten
dari zaman kolonial hingga kebudayaan yang berkembang hingga saat ini
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1
2
3
4

Elly Setiasih Rosali, S.Pd, M.Pd.


Dosen program studi pendidikan geografi Universitas Siliwangi.
Teman teman di program studi geografi Universitas Siliwangi.
Orang tua kami yang telah memberikan do`a dan dukungan dalam
penulisan makalah ini.

Penulis juga menyampaikan bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak


memiliki kekurangan dengan segala keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki
dalam penyusunan laporan ini.
Dengan hal ini, dengan marwah diri yang dihadirkan, semoga makalah ini bisa
memberikan

manfaat yang baik kepada penulis khususnya ataupun kepada

masyarakat dan pelajar pada umumnya.

Tasikmalaya, Februari 2016

Penuis,

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.

Latar belakang masalah


Rumusan masalah
Tujuan
Manfaat
Prosedur penulisan

BAB II PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.

Profil Provinsi Banten


Tipe masyarakat sunda lama di Provinsi Banten (Baduy).
Tipe masyarakat modern di Provinsi Banten
Hubungan anatara masyarakat sunda lama dan masyarakat
modern di Provinsi banten

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR
BAB II PEMBAHASAN
Gambar 2.1: Peta provinsi banten
Gambar 2.2: Lukisan pelabuhan banten tahun 1724
Gambar 2.3: Litografi berdasarkan lukisan oleh Abraham
Salm dengan pemandangan di Banten (1865-1872)

Gambar 2.4: Pakaian adat suku baduy / kanekes


Gambar 2.5: Masakan khas orang baduy
Gambar 2.6: Rumah adat orang kanekes/baduy

DAFTAR TABEL
BAB II PEMBAHASAN
Tabel 2.1: Lokasi relatif provonsi Banten

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah
paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian

dari Provinsi Jawa Barat, namun menjadi wilayah pemekaran sejak


tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang. Undang undang tersebut
didasarkan atas sejarah budaya, nilai, keinginan pendudukan dan potensi
potensi sumber daya alam yang besar. Penduduk banten berasumsi mampu
membangun daerahnya dan memutuskan untuk tidak bersatu dengan
provinsi jawa barat.
Masyarakat dan kebudayaan Banten memiliki keunikan tersendiri
yang membedakan daerah yang satu dengan daerah atau provinsi lainnya.
Keunikan tersebut menjadikan sebuah modal bagi eksistensi budaya
Banten dapat diperkenalkan kepada masyarakat umum. Keunikan banten
dapat dilihat dari berbagai macam kesenian tradisional, upacara adat,
tradisi, dan kepercayaan yang timbul. Kegiatan budaya ini masih
dipertahankan dan dilestarikan karena masyarakat Banten beranggapan
bahwa suatu budaya itu menandung nilai nilai budaya kewarganegaraan
yang

telah

membakar

jiwa

masyarakat

banten.

Nilai

budaya

kewarganegaraan tersebut tercermin dari pola tingkah laku dan kebiasaan


masyarakat setempat.
Keunikan dalam hal pewarisan nilai nilai budaya dilakukan secara
turun menurun, berawal dari salah satu tokohh pejuang masyarakat banten
bernama (alm) H.Moch Idris yang berukim didaerah kecamatan walantaka.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Bagaimana profil (monografi) dari Provinsi Banten?


Bagaimana tipe masyarakat sunda lama di Provinsi Banten (Baduy)?
Bagaimana tipe masyarakat modern di Provinsi Banten?
Adakah hubungan anatara masyarakat sunda lama dan masyarakat

modern di Provinsi banten.


C. Tujuan

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun


dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Profil (monografi) dari Provinsi Banten.
2. Tipe masyarakat sunda lama di Provinsi Banten (Baduy).
3. Tipe masyarakat modern di Provinsi Banten
4. Hubungan anatara masyarakat sunda lama dan masyarakat modern di
Provinsi banten.
D. Manfaat
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik
secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis makalah ini berguna
sebagai pengembangan wawasan antropologi budaya khususnya budaya
yang terdapat di provinsi banten yang diterapkan di sekolah atau bangku
perkuliahan. Secara praktis laporan berguna sebagai betuk pengetahuan
sederhana mengenai persebaran karakteristik budaya yang dilatar
belakangi persamaan dan perbedaan di permukaan bumi.

E. Prosedur Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Metode yang digunakan adalah metode deskripstif. Melalui metode ini
penulis akan menguraikan permasalahan yang dibahas secara jelas dan
komprehensif. Data teoretis dalam makalah ini dikumpulkan dengan
menggunakan teknik studi pustaka, artinya penulis mengambil data
melalui kegiatan membaca berbagai literatur yang relevan dengan tema
makalah. Data tersebut diolah dengan teknik analisisisi malalui kegiatan
mengeksposisikan data serta mengaplikasikan data tersebut dalam konteks
tema makalah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Profil Daerah Provinsi Banten
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling
barat di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari
Provinsi Jawa Barat, namun menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000,
dengan

keputusan Undang-Undang Nomor

pemerintahannya berada di Kota Serang.

23

Tahun

2000.

Pusat

Gambar 2.1: Peta Provinsi Banten


1. Letak geografis provinsi banten
Wilayah

Banten

terletak

di

antara

57'50"-71'11" Lintang

Selatan dan 1051'11"-1067'12" Bujur Timur, berdasarkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000luas wilayah Banten
adalah 9.160,70 km. Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten,
154 kecamatan, 262 kelurahan, dan 1.273 desa.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial,
Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis
menghubungkan Australia dan Selandia

Baru dengan

kawasan Asia

Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Di samping itu


Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila
dikaitkan posisi geografis, dan pemerintahan maka wilayah Banten
terutama daerah Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang,
dan Kota Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta.
Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah
Provinsi

Banten

juga

memiliki

beberapa pelabuhan laut

yang

dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas

dari pelabuhan laut di Jakarta, dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan


alternatif selain Singapura.
a. Lokasi relatif provinsi banten

No

Arah orientasi

Wilayah

Utara

Laut Jawa

Timur

Provinsi Jawa Barat

Selatan

Samudera Hindia

Barat

Selat Sunda / Sumetera


Tabel 2.1: Lokasi Relatif

b. Topografi
Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut:
1) Wilayah datar (kemiringan 0-2 %) seluas 574.090 hektare
2) Wilayah bergelombang (kemiringan 2-15%) seluas 186.320 hektare
3) Wilayah curam (kemiringan 15-40%) seluas 118.470,50 hektare
Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya
wilayah hutan dari 233.629,77 hektare pada tahun 2004 menjadi
213.629,77 hektare.
2. Sejarah Provinsi Banten
Banten atau dahulu dikenal dengan nama Bantam pada masa lalu
merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan masyarakat yang terbuka, dan makmur. Banten pada abad
ke-5 merupakan bagian dari KerajaanTarumanagara. Salah satu
prasasti

peninggalan

Kerajaan

Tarumanagara

adalah Prasasti

Cidanghiyang atau prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak


di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947, dan berisi 2 baris kalimat
berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Isi

prasasti tersebut mengagungkan keberanian Raja Purnawarman.


Setelah

runtuhnya

Kerajaan Tarumanagara (menurut

beberapa

sejarawan ini akibat serangan Kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di


bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali
Brebes dilanjutkan olehKerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome
Pires, penjelajah Portugis pada tahun 1513, Bantam menjadi salah satu
pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis
tersebut, Bantam adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain
pelabuhan

Pontang,

Cigede,

Tamgara

(Tangerang), Kalapa,

dan Cimanuk.

Gambar 2.2: Lukisan pelabuhan banten tahun 1724


Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang
dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada
tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di
wilayah bekas Banten Girang. Dan pada tahun 1579, Maulana Yusuf,
penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibu
kota atau pakuan (berasal dari kata pakuwuan) Kerajaan Sunda.
Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh
Kesultanan Banten. Hal itu ditandai dengan dirampasnya Palangka
Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari
Pakuan Pajajaran ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana

Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa diboyong ke


Banten karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Pertama, dengan dirampasnya Palangka tersebut, di Pakuan tidak
mungkin lagi dinobatkan raja baru. Kedua, dengan memiliki Palangka
itu, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Kerajaan
Sunda yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri
Baduga Maharaja sementara di sisi lain para Kandaga Lante dari
Kerajaan Pajajaran secara resmi menyerahkan seluruh atribut dan
perangkat

kerajaan

beserta

abdi

kepada Kerajaan

Sumedang

Larang untuk meneruskan kelanjutan Kerajaan Sunda atau Pajajaran


yang merupakan trah Siliwangi.
Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana
dilaporkan oleh J. de Barros, Bantam merupakan pelabuhan besar
di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Bantam
terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga
mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya
400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah
kota

ada

sebuah

sungai

yang

jernih,

di

mana

kapal

jenisjung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada
sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya
perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah
pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari
bata, dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan
pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan
dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alunalun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan, dan
kesenian rakyat, dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di
bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang
ditinggikan, dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai
tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alunalun didirikan sebuah masjid agung.

Gambar 2.3: Litografi berdasarkan lukisan oleh Abraham


Salm dengan pemandangan di Banten (1865-1872)
Pada awal abad ke-17 Masehi, Bantam merupakan salah satu
pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia.
Tata administrasi modern pemerintahan, dan kepelabuhan sangat
menunjang bagi tumbuhnya perekonomian masyarakat. Daerah
kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi
Provinsi Lampung. Ketika orang Belanda tiba di Bantam untuk
pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Bantam.
Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Bantam, dan disusul oleh
orang Belanda.
Selain itu, orang-orang Perancis, dan Denmark pun pernah
datang di Bantam. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini,
Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari
Bantam (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada
Belanda di perairan Bantam. Orang Inggris pun tersingkirkan dari
Batavia

(1619)

Belanda.Pada

dan

Bantam

Januari

1926

(1684)

akibat

pemerintah

tindakan
Hindia

orang
Belanda

mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan sistem desentralisasi, dan


dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk pemerintahan
otonom provinsi. Provincie West Java adalah provinsi pertama yang
dibentuk di wilayah Hindia Belanda yang diresmikan dengan surat

keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad


(Lembaran Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No.
438, dan 1932 No. 507. Banten menjadi salah satu keresidenan
yaitu Bantam Regentschappen dalam Provincie West Java di samping
Batavia, Buitenzorg (Bogor), Preanger (Priangan), dan Cirebon.
3. Kependudukan dan ekonomi
Pada tahun 2006, penduduk Banten berjumlah 9.351.470 jiwa,
dengan perbandingan 3.370.182 jiwa (36,04%) anak-anak, 240.742
jiwa (2,57%) lanjut usia, sisanya 5.740.546 jiwa berusia di antara 15
sampai 64 tahun. Berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk
tahun 2010, jumlah penduduk banten sementara adalah 10.644.030
orang, yang terdiri atas 5.440.783 laki laki dan 5.203.247
perempuan. Dari hasil sensus penduduk 2010 kajian demografi
menyatakan populasi terbanyak berada di daerah perkotaan yang
berdekatan dengan DKI Jakarta yaitu tangerang raya yang meliputi
(kabupaten tangerang, kota tangerang, kota tangerang selatan) yakti
sebesar 55,81 % . kemudian di urutn kedua wilayah (Kabupaten
serang, kota serang, kota cilegon), sebesar 22,2 % sedangkan 22,07
berada di wilayah selatan banten (kabupaten pandeglang, dan
kabupaten lebak banten).
B. Tipe Masyarakat Sunda Lama Di Provinsi Banten (Baduy).
1. Agama dan kepercayaan
Agama yang dipeluk oleh orang kenekes (baduy) pernah menjadi
bahan pembicaraan dilingkungan Tweede kamer (parlemen) kerajaan
Belanda. Pembicaraan didasarkan pada aporan controlleur afdeling lebak.
Tahun 1907 yang menyatakan bahwa di daerahnya masih ada kelompok
masyarakat beragama hindu sebanyak 40 keluarga. Atas pertanyaan
seorang anggota Tweede kamer, menteri jajahan belanda meminta
keterangan lebih lanjut mengenai kebenaran isi laporan tersebut
(djajaningrat, 1936): 5). Yang dimaksud dengan kelompok hindu itu ialah
orang kanekes.
Berdasarkan keterangan dari kokolot kampung cikeusik bernama
naseni, bupati serang P.A.A Djajaningrat menerangkan bahwa orang

kenekes bukanlah penganut agama hindu, bukan pula penganut agama


budha,

melainkan

penganut

agama

animisme.

Animisme

yaitu

kepercayaan yang memuja pada nenek moyang. Hanya dalam kepercayaan


orang kanekes telah dimasuki unsur unsur agama hindu dan juga islam.
Menurut pengakuan yang tercatat pada kartu penduduk , agama
yang dianut oleh orang kenekes ialah agama Sunda wiwitan, wiwitan dapat
diartikan sebagai asal yang pertama, jati, pokok. Dengan kata lain, agama
yang dianut oleh orang kanekes ialah agama sunda asli. Menurut carita
parahiyangan adalah agama sunda jatisunda.
Isi ajaran agama sunda wiwitan

hanya

diketahui

serba

sedikitkarena orang kanekes bersikap tertutup dalam hal ini. Dari


pengetahuan yang sedikit itu, kalau dideskripsikan adalah sebagai berikut:
kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Karesa (yang maha kuasa)
atau Nu Ngersakeun (yang maha menghendaki). Dia disebut juga dengan
batara tunggal (tuhan yang maha esa), batara jagat (penguasa alam), dan
batara seda niskala (yang gaib).
Kehidupan beragama orang kanekes tampak pada upacara
upacara yang bersifat keagamaan serta sejumlah larangan dan suruhan
yang berasal dari leluhur mereka. Upacara upacara yang dimaksud ialah
ngukus, muja, ngawalu, ngalaksa.
a. Upacara Muja diselenggarakan disasaka pusaka buana dan sasaka domas
pada waktu yang berbeda. Pemujaan di sasaka pusaka diadakan satu tahun
sekali selama tiga hari yaitu setiap tanggal 16, 17, dan 18 bulan kawolu
(bulan kelima menurut kalender mereka). Pada hari pertama, dipimpin
oleh puun cikeusik dan didampingi oleh orang yang dipercayanya
kemudian berakat menuju dangau dangau (talahab).
b. Upacara ngalaksa mempunyai nilai sakral tertentu. Laksa yang
terbuat dari beras yang berasal dari 7 rumpun padi yang
ditanam di huma serang dan huma tuladan dipercayai
mengandung sakti bumi (kekuatan magis dari bumi), karena
huma serang dianggap sebagai pusat seluruh ladang selain itu
tempat suci tersebut mempunyai zat zat terbaik dari bumi.
Dalam pembuatan laksa itupun dilakukan sembari berpuasa.

Upacara ngalaksa merupakan upacara penutup dari segala hal


yang menyangkut ladang / pertanian.
2. Daur Hidup menurut orang kanekes / Baduy
Banyak upacara upacara dan ketentuan ketentuan lain dalam
masyarakat kanekes yang bertalian dengan daur hidup mereka masih
sesuai dengan data data mengenai hal itu dari masyarakat sunda lama.
Sebagaimana diungkapkan dalam naskah naskah sunda lama yang
disusun pada abad ke- 17 masehi ke belakang. Hal ini menunjukan pula,
betapa masyarakat kanekes masih terus mempertahankan tradisi yang
disampaikan oleh leluhur mereka yang disebut pikukuh atau patikrama.
a. Kelahiran anak
Kelahiran anak merupakan suatu yang sangat
didambakan orang kanekes / baduy yang telah berumah tangga
karena anak bagi orang kanekes turut menentukan kedudukan
orang tuanya dalam masyarakat dan juga dalam kehidupan
beragama mereka. Orang kanekes yang belum mempunyai
anak tidak dapat diangkat sebagai pejabat dilingkungan
masyarakatnya dan juga dalam masyarakatnya dan juga
dipandang sebagai orang yang dipercayai oleh yang maha
kuasa. Oleh sebab itu, pasangan yang belum mendapat anak
akan selalu disebut pannganten (pengantin)., meskipun usia
rumah tangga mereka.
Proses kelahiran bayi selalu ditolong oleh dukun beranak
yang disebut ambu beurang atau ambu girang. Dia pula yang
turut merawat bayi dan juga ibunya selama ibunya belum
mampu atau sehat benar. Pada hari ke- 7 bayi itu diberi nama.
Ada ketentuan umum yang berlaku dikanekes dalam
pemberian anak kanekes. Bahwa suku kata pertama nama
ayahnya, sedangkan untuk nama anak perempuan ketentuan itu
dikaitkaan dengan nama ibunya. Contoh ayahnya bernama
nakiwin, maka anaknya bernama nakiwin asro. Atau ibunya
bernama sawiti, maka nama ibunya bernama sawiti sainah.
Setelah diberinama anak itu diberi geulang kanten (geulang

yang terbuat dari benang) pada tangan kiri bagi anak


perempuan dan tangan kanan bagi anak laki laki. Dan
geulang tersevut dianggap sebagai penolak bala (Saleh
danasasmita & Djatisunda, 1986: 65-67).
Pada masyarakat kanekes atau baduy banyak dijumpai
nama Runtah, cudih, dan pulung. Hal itu, disebabkan karena
kebiasaan orang baduy membuang anak ke tempat sampah
sebentar jika anak tersebut sakit sakitan. Jika terjadi
demikian, maka anak itu akan segera diganti namanya menjadi
Runtah = sampah bagi anak laki laki sedangkan Cudih bagi
anak anak perempuan.
Disamping itu, ada pula tradisi lain, yaitu mengakukan
dahulu seorang anak kepada keluarga lain dengan harapan agar
anak itu selalu sehat dan bernasib baik. (saleh danasasmita &
anis djatisunda, 1986: 66-67).
b. Sunatan
Pada usia sekitar 5 7 tahun anak laki laki orang
kenekes biasa disunat. Pembersihan kulit kemaluan anak laki
laki dilakukan oleh tukang sunat. Sunatan bagi masyarakat
kenekes merupakan upacara yang bersifat sakral sebagaiamana
tampak

dari

rangkaian

upacara

sebelumnya,

seperti

pertunjukan pantun semalam suntuk yang tidak boleh ditonton


oleh orang umum. Dalam pada itu, begitu sunatan selesai
dilakukan, anak tersebut digelangi sebagai ciri bahwa dia telah
melewati masa anak anak dan mulai memasuki masa
dewasa / remaja. Sejak itu pula, anak tersebut diakui sebagai
anggota warga masyarakat secara penuh. Dengan demikian,
upacara sunatan itu dapat dipandang sebagai upacara inisiasi
dengan gelang sebagai simbolnya (Saleh Danasasmita 7 Anis
Djatisunda, 1986: 76).
Tradisi sunatan telah dikenal dalam masyarakat sunda
lama pada masa kerajaan sunda masih hidup. Menurut carita
parahiyangan , sunatan itu merupakan perbuatan asli tradisi

sunda (jati sunda). Salah seorang rajapun bernama prebu


Ratudewata diberitakan disunat ka tukangna artinya disunat
kepada yang ahlinya, dan tujuan dari disunat itu sendiri adalah
ialah agar bersih, suci dari segala kotoran (Atja, 1968: 33, 57).
c. Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu tahap baru dalam
perjalanan hidup baru manusia, dimana sejak itu manusia
dianggap memasuki masa dewasa. Dimasyarakat atau orang
orang kanekes pernikahan umumnya terjadi di usia 18 tahun
bagi perempuan dan 23 tahun bagi laki laki. Memang ada
pandangan bahwa kawin muda tidak baik keterunun, karena
bibit muda akan menghasilkan keturunan yang lemah. Walapun
secara kad masih dalam kehendak orang tua.
Masyarakat kanekes masih tetap mempertahankan norma
norma sunda lama sebagaimana dicatat oleh naskah Sahyang
saksanada Ng karesian pada tahun 1518 masehi bahwa inilah
ketentuan untuk menjdohkan anak, jangan dikawinkan terlalu
muda. Tidaklah baik menjodohkan anak dibawah umur, karena
nanti kita terbawa salah dan yang mengawinkanya disalahkan
(Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 25, 51).
Dalam masyarakat kanekes umumnya urusan jodoh masih
menjadi urusan orang tua. Orang tualah yang mencarikan
jodoh bagi anaknya baik anak laki laki atauun peremuan.
Hanya didaerah penamping dalam hal mencari jodoh sedikit
longgar, sehingga kadang kadang anak sendiri yang
menentukan pilihan hidupnya. Dalam batas batas tertentu
dikenal pula proses pacara (bobogohan).
Bila kedua orang tua sepakat untuk menjodohkan anaknya
masing masing, mereka mempersiapkan segala sesuatu guna
melaksanakan upacara lalamar (lamara, meamar, meminang).
Pertama tama mereka menghadap jaro tangtu untuk
menyampaikan maksud mereka dan mohon batuan dalam
pelaksanaannya. Kemudian, pihak laki laki menyiapkan

sirih-pinang secara lengkap dan sebanyak mungkin. Tempat


sirih-pinang terbuat dari bambu, tetapi sirih-pinang yang akan
dipersembahkan kepada puun ditempatkan oada bokor yang
terbuat dari logam. Sirih-pinang tersebut untuk sementara
disimpan dirumah jaro tangtu.
Pelaksanaan upacara lalamar diselenggarakan di ale
kapuuna pada malam hari yang dimulai pada jam 18.30.
peserta terdiri atas para calon besan, jaro tangtu, dan puun
beserta stafnya.
Jangka waktu upacara lamaran dengan pernikahan relatif
sifatnya, bisa cepat, bisa lambat. Hal itu tergantung pada
kesiapan kedua pihak orang tua calon pengantin, biasanya
jarak waktu satu tahun telah dianggap lama.
Ada beberapa upacara yang harus dilaksanakan dalam
proses upacara pernikahan itu. Pertama, upacara pasabunan,
berupa pengiriman kain putih, sirih-pinang, dan nasi kuning
(kabuli) kepada puun. Upacara ini diselenggarakan beberapa
hari sebelum acara pernikahan. Kedua, upacara ngabokoran,
berupa penyerahan bokor yanng birisi sirih-pinang kepada
puun bertempat di bale kapuunan. Seperti upacara lalamar,
upacara ngabokoran pun dilaksanakan oleh kedua orang tua
calon pengantin dan jaro tangtu dengan disaksikan oleh staf
puun. Upacara yang kedua ini diawali dengan pidato,
kemudian disampaikan juga mohon maaf karena barang
bawaannya hanya berupa sirih-pinang sedikit. Ketiga, upacara
akad nikah bertemat di rumah pengantin perempuan dan
diselenggarakan oleh jaro tangtu. Selepas upacar ngabokoran
di bale kapuunan, jaro tangtu memawa penganti pria ke rumah
pengantin

wanita.

Di

sini

kedua

pengantin

tersebut

disandingkan sambil digenggam oleh jaro tangtu. Ibu jari


kedua pengantin direndengkan sambil digemnggam oleh jaro

dan dimaterai. Selesai mantera diucapkan, jaro tangtu berkata


Nah, sejak sekarang segala hal menjadi bagian kalian berdua
Setelah menikah, biasanya pengantin wanita pindah
menetap di rumah mertuanya untuk belajar rumah tangga.
Kelak sesudah segala sesuatu siap, mereka membangun rumah
tangga sendiri terpisah dari kedua orang tuanya. Patut
dikemukaan bahwa sebagian orang kanekes atau orang baduy
yang berada di daerah panamping diberi kelonggaran untuk
menikah secara islam. Tempatnya dikampung cicakal girang.
Puun pun memberi izin kepada mereka untuk menikah secara
islam , asalkan mereka tidak berpindah agama. Kebanyakam
pernikahan dilakukan secara islam dilakukan, atas dasar
pertimbangan ekonomi.
d. Kematian
Titik akhir perjalanan hidup manusia secara indivudual
ialah kematian, walaupun secara sosial mungkin ia telah
digantikan oleh generasi berikutnya. Orang kanekes menyadari
dan memercayai bahwa setiap orang suatu saat akan
mengalami kematian. Dalam kosakata mereka dikenal dengan
istilah kaparupuhan (= kehilangan) untuk peristiwa kematian
dan ngahiyang (mendiang) yang berati menjadi hiayng,
kembali ketempat yang tinggi (hyang).
Jika terjadi kematian, dalam masyarakat kanekes tidaklah
timbul suasana hiruk pikuk tangisan anggota keluarganya
sebagai tanda duka. Suasanya tenang dan tertib sambil diiringi
oleh kegiatan beberapa oranguntuk mengurusi jenazah. Suasan
duka hanya tampak pada sorot mata keluarga yang ditinggal
mati. Memang orang kanekes dituntu oleh tradisinya untuk
bisa mengendalikan emosi, sehingga dilarang menangis sejadi
jadinya atau terbawa terbahak bahak. Tradisi mereka hanya
memperhatikan sampai batas menitikan air mata bagi
perwujudan kedukaan dan kegembiraan. Kedudukan dan

kegembiraan Dipandang oleh mereka sebagai bumbu dalam


kehidupan yang tak perlu diperlu dicurahkan berlebihan.
Jenazah orang kanekes dikuburkan di dalam tanah. Lokasi
penguburannya di sekitar perkapungan mereka. Kuburan orang
kanekes tidak diberi tanda khusus yang menonjol, sehingga
orang luar mudah mengenalnya. Tanda itu, hanya berupa
tanaman hanjuang. Kuburan tidak dipelihara secara terus
menerus. Oleh karena itu, setelah beberapa waktu lamanya,
kuburan itu tak terbekas lagi. oleh sebab itu tidak ditemukan
kompleks kuburan di desa kanekes dan tidak pula dijumpai
makam keramat.
Pengurusan jenazah orang kanekes dilakukan oleh orang
khusus yang jabatannya oleh penghulu. Ia dipandang dapat
membersihkan dosa dosa yang melekat pada tubuhnya.
Pertama tama jenazah itu dimadikan dengan air bersih;
kemudian

dibungkus

dengan

kain

kafan;

selanjutnya

dikuburkan. Keberangkatan jenzah ke kuburan di pimpin oleh


jaro tangtu dan di iringi ceurik panglayungan (tangisan
jenazah) yang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga
si mati. Tangisan tersebut dimksudkan sebagai do`a terhadap si
mati agar sukmanya dapat sampai ke mandala hyang (tempat
bersemayam hyang), tidak tersesat ke buana larang. Oleh
karena itu, begitu doa selesai berhenti pula tangisan itu.
Jenazah orang kanekes dikuburkan arah timur / barat secara
otomatis kepalanya mengarah ke arah barat / timur juga. Posisi
penguburanya berbaring menghadap ke arah selatan, yaitu ke
arah sasaka pada agung. Bagi orangtangtu kuburanya digali
dengan meggunakan alat yang terbuat dari kayu yang ujungnya
diruncingkan dan pinggirnya diratakan, sedangkan bagi orang
panamping penggalian kuburannya itu dilakukan denga
cangkul.

Pada hari ke- 7 dan hari ke- 40 setelah kematian, diadakan


upacara tujuhna dan matang puluh bagi si mati di rumahnya
dengan maksud mendoakan si mati. Orang kanekes tidak
mengenal ziarah ke kuburan karena memang kuburannya juga
dapat dikatakan tidak ada. Yang ada hanyalah memuliakan
leluhur sebagai pendahulu mereka dengan caramelaksanakan
amanat amanat leluhur (pikukuh atau patikrama).
3. Sandang, Pangan, Papan
Secara sepintas saja melihat sosok orang kanekes akan segera
tampak bhwa kehidupan lahiriah mereka sangat sederhana. Dalam hal
tersebut mereka hanya memenuhi kebutuhan pokon semata-mata. Tidak
tampak adanya upaya-upaya kearah pengembangan kebutuhan sekunder,
lebiuh-lebih yang sifatnya mewah dan hura-hura, karena memang adatistiadat mereka membatasinya hanya sampai tingkat demikian.
a. Sandang
Dapat dibedakan dalam hal pakaian orang kanekes antara
pakaian pria dan pakaian wanita serta antara pakaian orang Tangtu
(Kanekes Dalam) dengan pakaian orang

Panamping (Kanekes

Luar)namun tidaklah berbeda antara pakaian yang digunakan oleh


puun dengan rakyatnya atau oleh jaro dengan rakyatnya; pakaian
mereka semua sama, baik bahannya maupun modelnya.

Gambar 2.4: Pakaian adat suku baduy / kanekes

Pria kanekes menutupi tubuhnya dengan satu set pakaian


yang terdiri atas tiga bagian. Ketiga bagian pakaian yang dimaksud
adalah (1)ikat kepala, (2) baju, dan (3) sarung. Ikat kepala orang
kanekes terbuat dari kain terbentuk segitiga yang dalam bahasa
sunda disebut iket (ikat). Orang Tangtu memakai ikatkepala
berwarna

putih

alami.

Kainnya

dibuat

sendiri.

Mereka

menyebutnya iket, telekung, atau romal. Ikat kepala orang


panampingan yang disebut merong berwarna biru nila. Kainnya
didatangkann dari luar, biasanya dari tanah Abang, Jakarta.
Kain baju orang Tangtu dibuat sendiri dari serat daun pelah
atau kain belacu berwarna putih alami. Bajunya berlengan panjang,
tanpa krah, tanpa kancing; biasanya disebut kutung. Pria
panamping memakai baju yang disebut jamang kampret, terdiuri
atas dua lapis,yaitu yang berwarna putih disebelah dalam dan yang
berwarna hitam di sebelah luar. Tetapi banyak pula orang
panamping memakai baju hitam saja.
Sarung yang dikenakan pria Tangtu terbuat daru benang
kasar berwarna putih dan garis-garis biru nila. Sarung tersebut
yang disebut aros dipakai dengan cara diikat dengan kain pula
berukuran kecil yang disebut beubeur (ikat pinggang) dan
dikenakan sampai lutut. Dengan cara pemakaian demikian, maka
mereka dapat bergerak dengan mudah, walaupun mengenakan
sarung. Sarung pria panamping berwarna hitam, karena itu disebut
poleng hideung (sarung hitam). Sarung itu hassil buatan mereka
sendiri.
Adapun pakaian wanita Kanekes Dalam (tangtu) terdiri atas
(1) kemben (selendang) untuk menutupi badan bagian atat dan (2)
kain lunas untuk menutupi badan bagian bawah. Tetapi kalangan
orang tua banyak yang tidak memakai kemben, jadi hanya
mengenakan kain yang menutupi dari dada ke bawah. Sedangkan
wanita Kanekes Luar (Panamping)

memakai baju kebaya

berwarna biru mudan dan kain berwarna biru tua. Jika akan

melakukan upacara tertentu kebaya yang dikenakan mereka


berwarna putih.
Pakaian wanita Tangtu dibuat mereka sendiri dari bahan
benang atau serat daun pelah. Sedangkan bahan pakaian wanita
wanita Panamping dibeli dari luar desa mereka, biasanya dari
Tanah Abang, Jakarta.
Perhiasan dikenal pula dalam masyarakat Kanekes,
terutama di kalangan wanita generasi muda, perhiasan yang
dimaksud yang terbuat dari manik-manik perak dan emas terdiri
atas kalung, gelang, dan giwang. Warna perhiasan yang disenangi
oleh mereka ialah putih dan kuning. Kadang-kadang mereka
memakai kalung manik-manik sekaligus beberapa buah, sehingga
tampak bertumpuk begitu pula gelang yang mereka pakai sekaligus
dalam jumlah tertentu sehingga tampak penuh dari pergelangan
tangan hingga sikut.
Perhiasan tersebut mereka pakai sepanjang hari untuk
wanita Tangtu, tetapi wanita Panamping memakainya pada waktu
upacara tertentu. Akhir-akhir ini ada sejumlah orang Panamping
pria dan wanita yang tergolong berada memakai perhiasan pada
gigi, terbuat dari emas atau platina.
Rambut wanita orang kanekes biasanya tersisir rapi,
sedangkan rambut prianya tertutup oleh ikat kepala. Tampaknya
rambut kaum prianya jarang dipotong, terutama kalangan generasi
tuanya.
b. Pangan
Makanan pokok orang Kanekes adalah nasi. Nasi diolah
dari beras dengan cara dikukus menggunakan alat seeng (dandang).
Aseupan (kukusan), dan dulang (alat untuk merendam beras
dengan air panas dan mendinginkan nasi yang sudah matang).
Beras sendiri diolah dari padi yang dihasilkan dari huma. Cara
pengolahannya melalui ditumbuk di saung lisung (bangunan yang
didalamnya terdapat lesung terbuat dari kayu sebagai tempat

menumbuk padi) dengan menggunakan lisung (lesung) dan halu


(alu).
Lauk-pauk untuk pengiring makkan mereka terdiri atas
ikan, daging, lalab, dan sayur-mayur. Ikan diperoleh dengan cara
menangkap di sungai dan juga membeli dari luar Kanekes,
terutama ikan asin. Tidak ada ikan yang dipelihara di kolam
buatan, karna membuat kolan terlarang didaerah ini. Daging yang
mereka makan berasal dari ayam yang mereka pelihara, kerbau
atau sapi yang dibeli dari luar Kanekes ( di Kanekes dilarang
memelihara binatang berkaki empat), kancil, kijang, tupai sebagai
hasil buruan.

Gambar 2.5: Masakan khas orang baduy


Orang kanekes biasa pula memasak anak nyiruan (tawon)
dengan cara di pepes untuk lauk-pauk. Makanan mereka dimasak
dengan cara dikukus, dibakar, digodog, dan dipepes. Mereka
minum air teh yang airnya dimasak dulu dan tehnya dibuat sendiri
c.

dari daun tulang.


Papan
Rumah orang Kanekes terbuat dari bahan yang tersedia di
alam sekitarnya, yaitu kayu,bambu, daum rumbia, ijuk, rotan, dan
batu. Kayu untuk membuat tianng dan kerangka rumah. Bambu
untuk usuk, reng, lantai, dinding, pintu, dan tangga. Daun rumbia
berguna untuk membuat atap, ijuk untuk membuat bubungan, batu
untuk tatapakan ( penyangga tiang), dan rotan untuk mengikat dan
peneguh bangunan, terutama pada sambungan kayu atau bambu.

Soalnya, dilarang menggunakan paku dalam membangun rumah


didaerah Tangtu.
Didaerah tangtu kayu itu diolah dari pohon hanya dengan
dikupas kulitnya, sedangkan didaerah Panamping kayu itu di
bentuk dan dihaluskan dengan menggunakan beliung dan ketam
(sugu).
Rumah tempat tinggal di Kanekes terbentung panggung.
Dengan demikian setiap rumah mempunyai kolong ,yaitu ruangan
antara lantai rumah dengan tanah, yang tingginya sekitar 1-1,5
meter didaerah Tangtu dan 40-45 cm di Panampingan, dan tangga
untuk masuk kedalam rumah.

Gambar 2.6: Rumah adat orang kanekes/baduy


Ruangan didalam rumah terbagi menjadi dua bagian, yaitu
bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar berupa ruang beranda
(tepas) tempat menerima tamu. Bagian dalam rumah berfungsi
sebagai ruang tempat tidur, makan, dan memasak. Kedua bagian itu
dibatasi oleh dinding terbuat dari anyaman bambu (gribig).
Tidak ada jendela pada rumah orang Kanekes, yang ada
hanya lubang pada dinding berukuran sekitar 3 x 3 cm yang
berfungsi sebagai media penerang ruangan di waktu siang,
ventilasi udara, dan untuk mengintip orang yang ada di luar. Tak
ada pagr pembatas lahan rumah karena letak rumahnya berdekatan
dan berderet.
Pemukiman orang Kanekes ditata secara teratur. Lokasi
pemukiman (perkampungan) terletak pada sebidang tanah dengan

pusatnya alun-alun (sebuah lapangan terbuka) yang dikelilingi


sejumlah bangunan. Diujung selatan alun-alun berdiri bangunan
bale kapuunan yang berfungsi sebagai tempat pertemuan, tempat
menerima tamu. Di sebelah barat dan timur alun-alun berderetlah
bangunan rumah para penjabat dan rakyat. Rumah kediaman
seurat berdekatan dengan rumah puun. Semua rumah orang
kanekes sama , tak ada bedanya antara rumah penjabat dengan
rumah rakyat.
Agak jauh dari kelompok perumahan penduduk, terdapat
sejumlah bangunan leuit (lumbung) untuk menyimpan padi dan
sebuah bangunan saung lisung sebagai tempat penduduk
menumbuk padi.
Lahan perumahan di daerah Tangtu harus alamiah, tidak
boleh diratakan, misalnya, sedangkan lahan perumahan orang
Panamping bisa saja diratakan (dilelemah). Oleh karena itu,
konstruksi rumah di daerah Tangtu mengitu bentuk lahan.
Sedangkan di Panamping lahannya yang diubah sehingga rata dan
konstruksi bangunannya sama.
Ada tradisi dalam hal pemukiman orang Kanekes ialah
bahwa dalam jangka waktu tertentu harus berpindah, walaupun
jaraknya hanya beberapa belas meter dari lokasi pemukiman
semula. Mungkin tradisi ini berpangkal dari sifat petani huma
yang memang biasa berpindah-pindah lokasi garapannya. Larangan
menggunakan paku dan sederhananya tata ruang rumah orang
Kanekes, memperlihatkan karakter bangunan yang siap pidah
d.

sewaktu-waktu.
Peralatan
Peralatan hidup orang Kanekes tidak banyak ragamnya.
Bagian terbesar merupakan peralatan yang bertalian dengan
kegiatan pertanian. Umumnya peralatan yang mereka miliki dibuat
sendiri, hanya sedikit yang didatangkan dari luar. Peralatan
kelengkapan rumah tangga orang Kanekes dimaksud terdiri atas (1)
peralatan tidur, yaitu tikar (terbuat dari pandan), bantal (terbuat

dari kayu), dan selimut (kain tenunan sendiri), (2) peralatan masak,
yaitu hawu (tungku), dandang (terbuat dari tembaga), kkukusan,
kipas (terbuat dari anyaman bambu), leukeur (tempat menimpan
dandang), dan dulang (terbuat dari kayu untuk tempat merendam
beras

setengah

matang/ngagigihan

setra

mengaduk

dan

mendinginkan nasi/ngakeul), (3) peralatan makan-minum, yaitu


bakul, piring terbuat dari kayu, cangkir terbuat dari bambu,
pinggan, batok (cangkir tempurung kelapa), dan panjang (piring
porselen kuna , dan (4) peralatan lainnya, seperti totok (pelita dari
bambu yang bahanbakarnya minyak picung), kele (tempat air dari
bambu), tomo (periuk tanah tempat menyimpan air matang), siwur
(alat penyiduk air), lodong (tempat air nira atau tuak dari bambu),
koja (tas yang di rajut), nyiru (alat penampi gabah), dan pakara
(alat tenun). Di Panamping akhir-akhir ini dikenal pula cermin,
kenceng (tempat penggorengan), sendok, garpu,piring,

gelas ,

radio, lampu minyak tanah, lampu sentern tape recorder, walaupun


pemakainnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan segera
disembunyikan jika ada orang Tangtu datang ketempat tingggal
mereka.
4. Mata pencaharian dan sistem pertanian
Semua orang kanks hidup

dari

hasil

bertani,

pertanian

yangdigarapnya adalah system huma (ladang). Menggarap tanah dengan


system sawah adalah tabu bagi mereka disamping beraldang dengan
menananam padi, sumber penghidupan mereka juga diperoleh dari usaha
menyadap enau untuk dijadikan gula merah, mencari madu lebah di hutan,
berburu di hutan, menangkap ikan di sungai dan memetik buah seperti
pisang, durian, kelapa, rambutan dan lain-lain. Sebagian dari mereka
menjadi pandai besi yaitu membuat perlengkapan dari besi seperti golok,
kujang, kord, dan beliung. Selain itu para wanita memiliki usaha sebagai
peneneun kain dengan alat tenun tradisional untuk memenuhi kebutuhan
sandangnya sendiri. Hasil tenunannya antara lain berupa kain, selendang,
bahan kebaya, bahan baju pria. Selain sebagai petani dan penenun kain

adajuga yang beketja sebagi tukang yaitu orang yang memiliki keahlian
dalam pembangunan rumah.
Pada umumnya hasil pertanian di peruntukan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup mereka sendiri, walaupun begitu gula merah, buahbuahan, golok, dan madu biasa diperdagangkan ke luar, sedangkan untuk
kebutuhan seperti kain, ikan asin, cermin dan lai-lain mereka membelinya
dari luar.
Dalam masyarakat kanks tanah bukan berstatus hak milik secara
pribadi, tanah dan hutan yang ada disekitarnya, dianggap oleh masyarakat
sebagai barang titipan dari raja atau sang mahakuasa kepada mereka.
Mereka hanya bertugas untuk menjaga dan memelihara kelestariannya serta
memanfaaatkannya dengan baik sebagai alat pemenuh kebutuhan hidup
mereka.
Sehubungan dengan hal itu lahan huma dianggap oleh mereka
bukanlah lahan milik pribadi, melainkan lahan garapan pribadi jadi hanya
hasil garapannya (padi) yang menjadi milik pribadi mereka, tetapi lahannya
tidak menjadi milik pribadi, tetapi untuk tanaman keras yang ditanam di
lahan utama yang ditanam oleh seorang penggarap boleh diakui sebagai
milik penggarap tersebut, maka terdapat kecenderungan masyarakat
kanks menggarap huma yang sama pada tiap perputaran lahan garapan
masing-masing.
Berhubungan dengan pertanian huma merupakan satu-satunya
sumber usaha bagi orang kank, itu sebabnya siklus dan pola penggarapan
huma sangat mempengaruhi hidup mereka. Dalam penggarapan

huma

mereka mempunyai ciri mandiri yang berbeda dengan penggarapan ladang


berkelompok

masyarakat

lain,

kemandiriannya

itu

terletak

pada

kecenderungan pemeliharaan lingkungannya, dengan tidak melakukan


pengrusakan alam.
Sistem kalender mayarakat kanks ternyata disesuaikan dengan pola
pertanian mereka dan mereka juga sangat patuh pada pada sistem itu.
Penghitungan kalender yang mereka lakukan ditentukan berdasarkan

peredaran bulan, sama seperti kalender islam. Bulan pertama masyarakat


kanks berasamaan dengan kegiatan di huma, yaitu pada mangsa kapat
pada kalender jawa. Bulan bulan yang lainnya peenghitungannya sama
dengan urutan kalender jawa selanjutnya yaitu :
Bulan Ke-2 = Mangsa Kalima , Bulan Ke-3 = Mangsa Kanem , Bulan Ke-4
= Mangsa Kapitu, Bulan Ke-5 = Mangsa Kawolu, Bulan Ke- 6 = Mangsa
Kasanga , Bulan Ke-7 = Mangsa Kadasa, Bukan Ke 8 = Hapit Kayu,
Bulan Ke-9 = Hapit Lemah, Bulan Ke-10 = Mangsa Kasa, Bulan Ke-11 =
Mangsa Karo, Bulan Ke-12 = Mangsa Katiga. Sebenarnya jumlah kalender
orang kanks adalah 10 bulan yang lama tiap bulan masing-masing 30
hari, tetapi untuk penyesuaian dengan masa kemunculan rasi bintang pada
posisis tertentu yaitu sekita 359 hari maka disisipkanlah dua bulan, yaitu
pada buln ke-8 dan 9 dengan nama hapit layu & hapit lemah (Saleh
Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:37-38).
Alat yang digunakan orang kanks untuk menghitung kalender
adalah kolnjr dan sastra

kolnjr ini terbuat dari papan kayu yang

berukuran sekitar 6 cm 25 cm yang diberi tanda berupa titik dan garis,


sedangkan sastra adalah alt yang terbuat dari bambu atau papan. Hanya
orang kanks tertentu yang dapat menggunakan kolnjr dan sastra yang
disebut bujangga.
Orang kanks juga bisa memanfaatkan benda alam untuk
penghitungan kalender benda alam ini adalah bintang, matahari dan sarang
laba-laba, untuk menentukan awal bulan ditentukan dengan kemunculan
bintang kijang (orang Jawa menyebutnya lintang wuluku ) diufuk timur
pada saat subuh (sekitar pukul 04.30 pagi), peristiwa tersebut mereka
menyebutnya nanggalkeun kidang (awal munculnya bintang kijang). Pada
waktu bersamaan kedudukan matahari sama berada di belahan bumi utara
yang mereka sebut sebagai mata po dngdk ngalr (matahari condong ke
utara). Untuk sarang laba-laba disebut lancah kijang yang biasa bersarang
di rerumputan berlubang pada saat nanggalkeun kidang. Pada saat itulah
saatnya mulai menggarap lahan, karena itu tandanya lahan sudah dingin
waktu itu biasanya mereka sebut sebagai tanggal kidang,turun kujang

(muncul bintang kijang, turunlah kujang), yang artinya begitu muncul


bintang kijang dari ufuk timur,maka mulailah orang kanks bekerja di
huma dengan menggunakan Kujang.
a. Daur penggarapan Huma
1) Jenis huma
Berdasarkan fungsi letak, lokasi, dan tinkatan adatnya
terdapat lima jenis huma yang dikenal oleh orang kanks yaitu :
Huma Srang, Huma Puun, Huma Tangtu, Huma Tauladan dan
Huma Panamping
Huma Srang adalah huma yang lokasinya berada di daerah
tangtu dan padi hasil garapannya biasanya di pruntukan khusus
upacara kapuunan. Huma Puun adalah huma yang terletak di daerah
tangtu, diperuntukan untuk garapan puun, dan merupakan jaminan
hidup puun beserta keluarganya selama menduduki jabatan tersebut.
Huma Tamgtu adalah huma yang ada di daerah tangtu yang
diperuntukan untuk garapan penduduk di daerah tangtu (Kanks
Dalam). Huma Tauladan adalah lahan huma yang terletak di daerah
Panamping dan padi hasil garapannya diperuntukan garapan
penduduk daerah Panamping.
Dengan makin bertambahnya penduduk kanks, terutama
orang panamping, luas lahan huma tersebut tidak mencukupi lagi.
Oleh karena itu, akhir-akhir ini banyak orang kanks menyewa
lahan huma di luar daerah kanks. Sewa-menyewa lahan tersebut
ada yang berdasarkan sistem bagi hasil ada juga yang benar-benar
menyewanya dengan uang. Sejumlah penduduk kanks di
tempatkan di luar wilayah kanks yaitu di Gunung Tunggal,
menempati area bekas perkebunan dimana di pemukiman baru itu
juga di sediakan lahan huma.
2) Daur Penggarapan
Penggarapan ladang di kanks pada umumnya juga
mengalami perpindahan lokasi garapan karena ladang sejatinya
tidak bisa di garap terus-menerus karena nanti tingkat kesuburannya
akan berkurang. Lahan huma di kanks hanya di kerjakan satu

tahun satu kali garapan. Lahan huma yang ditinggalkan tersebut di


sebut jami bila waktunya masih belum lama, sedangkan huma yang
sudak menjadi semak-semak dinamai reuma.
Lahan garapan itu berpindah-pindah terus sampai waktu
tertentu sampai lahan itu bisa digunakan kembali seperti semula, di
kanks lama perputaran menggarap huma harus jatuh pada angka
ganjil sebagai pedomannya. Angka ganjil ini dipercayai sebagai
angka baik sedangkan angka genap dianggap sebagai angka jelek
atau buruk. Di daerah Tangtu jarak waktu perputaran dalam
menggarap berlangsung 9 atau 7 tahun hal ini diperkirakan adalah
waktu yang cukup untuk memberi kesempatan kepada tanah untuk
menjadi subur kembali.
Pada mulanya daerah Panamping pun jarak perputarannya
sama dengan daerah Tangtu, namun karena pertumbuhan penduduk
yang berambah mengakibatkan waktu tersebut tidak cukup sehingga
hanya cukup dengan waktu 5 tahun. Bahkan akhir-akhir ini
perputaran waktu itu banyak berubah menjadi 3 tahun krena selama
2 tahun diisi dengan menggarap lahan sewaan yang ada di daerah
luar wilayah kanks.
3) Proses penggarapan
Menggarap tanah dengan sistem huma memerlukan tahapan
penggarapan dan upacara lebih banyak serta waktu lebih panjang
dibandikan dengan sistem sawah, karena sistem huma merupakan
penggarapan tanah secara tradisional yang telah berlangsung lama.
Sejak masa pra-Islam sistem huma ini sudah dikenal dalam
masyarakat sunda.
Proses penggarapan lahan yang dilakukan oleh orang kanks
adalah dengan menggunkan rumusan berikut : pertama tanggal
kidang,turun kujang (bintang kijang mulai muncul,turunlah kujang)
ini artinya pada say bintang kijang turun kita mulai bekerja di huma.
Kujang adalah alat pertanian yang berbentuk congkrang yang
digunakan untuk membabat. Kedua, kidang rumangsang (bintang
kijang mekar diwaktu subuh). Pada waktu ini semua rumput dan

ranting sudah kering dan harus di bakar. Ketiga, kidang muhunan,


yaitu kedudukan tegak lurus dengan kepala pada waktu subuh.
Keempat kidang ilang, turun kungkang (bintang kijang menghilang,
turun wangsangit) ini adalah masa dimana muncul nya hama pada
padi seperti walang sangit. Orang kanks percaya pada masa itu
adalah masa dimana makhluk halus dan siluman berkeliaran yang
harus dilawan baik secara lahiriah ataupun batiniah.
Kalau dilihat dari kegiatan kerjanya proses penggarapan huma
itu melalui 9 tahap yaitu : narawas (merintis),nyacar (membabat,
memangkas), nukuh (mengeringkan), ngaduruk (membakar),
ngaseuk (menugal), ngirab sawan (membuang sampah), ngored
(membersihkan rerumputan), dibuat (panen), ngunjal (mengangkut
padi dari huma ke rumah).
Pada tahap Narawas petani mendatangi lahan dan memilih
lahan yang akan di garap.
Pada tahap nyacar petani membabat rumput dan memangkas
dahan kecil kemudian menumpukannya tapi pada saat proses ini
orang kanks dilarang keras untuk menebang pohon. Pada say
nyacar alat yang digunakan adalah kujang dan tidak diperkenan kan
menggunakan golok.
Nukuh pada tahap ini adalah mengumpulkan semak belukar
dan mengeringkannya kemudian di bakar. Selanjutnya adalah tahap
Ngaseuk yaitu tahap membuat lubang pada huma dengan
jarak tertentu dan teratur untuk membuat lubang ini di gunakan alat
dengan nama aseuk terbuat dari batang kayu dengan panjang 150
cm.
Ngirab sawan yaitu membersihkan padi dengan tangan dan di
buang ketempat tertentu.
Kemudian ngord

adalah bekerja dengan menggunakan

kord alat ini berbentuk seperti cangkul tapi ukurannya lebih kecil.
Kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan huma dari rerumputan
dan bisa menggemburkan tanah agar air dapat menyerap maksimal
kedalam tanah.

Setelah butir padi sudah tua dan berwarna kuning langkah


selanjutnya yaitu padi di panen dengan menggunakan alat bernama
etm. Setelah padi di panen kemudian padi di jemur sampai kering,
setelah kering padi diikat semua pekerjaan tersebut dilakukan di
huma,setelah semua beres padi di bawa dan disimpan di lumbung.
Semua kegiatan yang dilakukan tersebut di atas
mencerminkan pula urutan waktu penggarapannya dalam hal ini
narawas dilakukan di awal bulan kalender kanks atau mangsa
kapat kalender Jawa, kemudian nyacar dilakukan di bulan kedua,
nukuh pada bulan ketiga, ngaduruk pada bulan keempat, ngaseuk
pada bulan ketujuh, ngirab sawan pada bukan kedelapan, ngord
dilakukan pada bulan kesembilan, dibuat dilakukan pada bulan
kesepuluh dan ngunjal pada bulan kesebelas.
Cara pemeliharaan tanaman bersifat

batiniah

yaitu

mempertunjukan sebuah pantun lakon Langgarsari Kolot dan seni


angklung serta menyediakan alat music berupa kolcr (balingbaling) yang dipasang pada sebatang bambu yang lentur. dan
calintun (terbuat dari bambu yang di lubangi yang bisa
mengeluarkan bunyi ketika tertiup angin) yang ada di daerah
tangtu. Semua alat musik ini dimaksudkan untuk menghibut Nyi
pohaci Sanghiyang Sri sejak dari usia empat bulan keluarga orang
kanks tinggal di huma sampai padi siap panen selama
menunggui padi mereka di larang untuk berhubungan untuk
menghormati Nyi pohaci.
Karena konsistensi masyarakat kanks tidak pernah terjadi
fenomena kelaparan di lingkungan masyarakat kanks bahkan
beras yang mereka masak dan makan berasal dari beras hasil panen
tahun sebelumnya. Itu artinya kalo padi hasil panen orang kanks
jumlahnya melebihi kebutuhan hidupnya sehingga kadang selalu
terdengar kabar masyarakat kanks yang membantu masyarakat di
luar kanks dengan membagikan padi.
C. Tipe masyarakat modern di Provinsi Banten

Masyarakat modern adalah masyarakat yang telah yang telah


mengalami transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu mereka yang
telah mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi zamannya atau hidup
dengan konstelasinya zaman. Karena kondisi dan situasi setiap masyarakat
berbeda, maka modernisasi (proses menuju masyarakat modern) antara
masyarakat satu dengan yang lain berbeda, misalnya modernisasi bangsabangsa bekas jajahan (baru merdeka) yang rakyatnya masih miskin, bodoh dan
terbelakang akan lebih banyak menekankan pada penguasaan teknologi dan
ilmu pengetahuan. Sedangkan pada bangsa yang sudah maju dalam bidang
iptek dan perekonomiannya, mungkin menekankan pada bidang non-materia.
Secara garis besar ciri-ciri masyarakat modern (Soerjono Soekanto)
antara lain:
1. Bersikap

terbuka

terhadap

pengalaman-pengalaman

baru

dan

penemuan-penemuan baru
2. Sikap

menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang

dihadapinya
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungannya
4. Berorientasi ke masa kini dan masa yang akan datang
5. Menggunakan perencanaan dalam segala tindakannya
6. Yakin anak manfaat iptek
7. Menghormati hak, kewajiban dan kehormatan pihak lain (HAM)
8. Tidak mudah menyerah/ pasrah terhadap nasib (selalu berusaha untuk

memecahkan masalah).
9. Senantiasa memiliki informasi yang lengkap mengenai pendiriannya

10. Yakin bahwa potensi yang dimilikiknya dapat dikembangkan.

Dengan mempelajari ciri-ciri masyarakat modern seperti di atas dapat


ditarik satu pandangan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang
selalu bergerak (dinamis) menuju kemajuan (progres) dan masyarakat yang
ulet, tangguh serta tidak kenal menyerah sehingga adanya tantangan,
hambatan dan gangguan justru merupakan kesempatan dan harapan untuk
maju.
Maka dari itu masyarakat modern adalah masyarakat yang optimis
terhadap kehidupan ini. Kemajuan yang dicapai oleh masyarakat modern
bukan berarti melupakan nilai-nilai luhur masa lalunya, karena pandangan
modern adalah pandang yang melihat dari ukuran kesesuaian. Jadi nilai-nilai
lama yang masih sesuai dan dianggap baik masih tetap dipertahankan dan
nilai-nilai baru yang dianggap tidak sesuai akan dipergunakan. Hal ini terjadi
karena masyarakat modern adalah masyarakat yang rasional.
D. Hubungan anatara masyarakat sunda lama dan masyarakat modern
di Provinsi banten.
Masyarakat Baduy yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat
istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Kontak mereka
dengan dunia luar telah terjadi sejak abad 16 Masehi, yaitu dengan
Kesultanan Banten. Sejak saat itu berlangsunglah tradisi seba sebagai
puncak pesta panen dan menghormati kerabat non Baduy yang tinggal di
luar Kanekes. Bagi Kesultanan Banten tradisi Seba tersebut diartikan
sebagai tunduknya orang Baduy terhadap pemerintahan kerajaan setempat
(Garna,

1993).

Sampai

sekarang

upacara Seba tersebut

terus

dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi,


palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Di bidang pertanian
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat lain yang
bukan Baduy, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,


sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Baduy
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para
tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi
sendiri di pasar. Pasar bagi orang Baduy terletak di luar wilayah Kanekes
seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Baduy semakin
meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan
untuk menginap 1 malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau
odol di sungai.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy
juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat
harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang
pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan.
Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang
untuk mencukupi kebutuhan hidup.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah
paling barat di Pulau Jawa, Indonesia. Di provinsi Banten terdapat
beragam kebudayaan yang eksis hingga sekarang kebudayaan tersebut
merupakan kebudayaan yang dari segi prilaku berbeda.
Kebudayaan pertama merupakan kebudayaan masyarakt modern
atau masyarakat perkotaan dimana segala bentuk tigkah lakunya dan
segala pemenuhan kebutuhannya di bantu dengan teknologi yang sedang
berkembang

sehingga

teknologi

tersebut

memudahkan

pekerjaan

masyarakat perkotaan. Namun, selain masyarat perkotaan yang memiliki


kemampuan yang berbeda, adapula kebudayaan yang masih terhitung
tradisional atau masyarakat pedesaan dinakan masyarakat baduy atau
denan nama lain disebut masyarakt kanekes.
Masyarakat kanekes atau baduy memiliki pola kehidupan yang
masih percaya sepenuhnya pada alam. Mulai dai ekonomi sampai dengan
kepercayaan. Dimana kepercayaan orang orang baduy yaitu masih
percaya pada animisme yaitu percaya kepada orang orang terdahulu atau
nenek moyang. Upacara upacara adat orang baduy berbeda dengan
masyarakat sunda pada umumnya, seperti upacara pemakaman, upacara
pernikahan dan upacara upacara yang ada hubungannya pada pekerjaan.
Dua kebudayaan yang berbeda sama sama saling berhubungan satu
sama lain, yaitu berupa adanya interaksi sosial dibidang ekonomi seperti
adanya kegiatan jual beli yang dilakukan orang baduy dan masyarakat
moern, ketenagakerjaan, dan lahan.

B. Saran
Saran ini ditujukan kepada pemerintah provinsi dan daerah, dan
masyarakat pribumi kabupaten lebak agar suapaya kebudayaan orang
kanekes atau baduy ini tetap lestari sebagai bentuk eksistensi budaya

banten yang khas yang memiliki keunikan sehingga dapat dibedakan


dengan eksistensi budaya lainnya di wilayah pulau jawa

DAFTAR PUSTAKA

Ekadjati edi. 2014. Kebudayaan Sunda. Bandung: Pustaka Jaya

Warsito. 2015. Antropologi budaya. Yogyakarta: Ombak


Terdapat di:
http://statban.blogspot.co.id/2010/10/lunching-angka-penduduk-banten
tahun.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Banten#Ekonomi_dan_kependudukan
http://repository.upi.edu/6683/4/S_PKN_1000287_Chapter1.pdf
diunduh pada 19:21 18/02/2016
https://klipingut.wordpress.com/2008/01/11/konservasi-hutan-dan-pola-pertanian
tradisional-masyarakat-baduy-di-banten/
diunduh 01/03/2016

Anda mungkin juga menyukai