Documentslide - Com - Laporan PBL Skenario 3 Perdarahan - Docx
Documentslide - Com - Laporan PBL Skenario 3 Perdarahan - Docx
html
LEARNING OBJECTIVE
1. Patofisiologi Perdarahan
A. Gangguan Vaskular
Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap tingkat mekanisme hemostasis.
Pasien dengan kelainan pada sistem vaskular biasanya menunjukkan perdarahan
kulit dan sering melibatkan membrane mukosa. Perdarahan dapat diklasifikasikan
menjadi purpura alergi dan purpura nonalergi. Pada kedua keadaan ini, fungsi
trombosit dan faktor pembekuan adalah normal.
Terdapat banyak bentuk purpura nonalergi, yaitu penyakit-penyakit di mana tidak
terdapat alergi sejati tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulitis. Vaskulitis atau
radang
pembuluh,timbul
dan
merusak
integritas
pembuluh
sehingga
mengakibatkan purpura.
Jaringan penyokong pembuluh yang memburuk dan tidak efektif, seperti
yang terlihat pada proses penuaan,mengakibatkan purpura senilis. Umumnya
terlihat perdarahan kulit pada dorsum manus dan lengan bawah, yang diperburuk
oleh trauma. Kecuali gangguan kosmetik, ini merupakan keadaan yang tidak
membahayakan. Manifestasi kulit yang serupa terlihat pada terapi kortikosteroid
yang lama, yang dianggap diakibatkan oleh katabolisme protein dalam jaringan
penyokong vaskular. Hal yang serupa juga terdapat pada sariawan, penyakit yang
berkaitan dengan malnutrisi, dan alkoholisme yang mempengaruhi integritas
jaringan ikat dinding pembuluh darah.
Bentuk purpura vaskular yang dominan otosomal, , telangiectasia hemoragik
herediter (penyakit Osler Weber Rendu), menunjukkan epistaksis dan perdarahan
saluran cerna intermtten yang hebat. Telangiectasia difus ditemukan pada mukosa
bukal , lidah, hidung, dan bibir, dan mungkin meluas keseluruh saluran cerna.
Umumnya telangiectasia timbul pada masa dewasa. Tujuan pengobatan hanya
untuk suportif.
Sindrom Ehlers Danlos, suatu penyakit herediter lain, menyebabkan
penurunan daya pengembangan jaringan perivascular yang menyebabkan
perdaraha hebat.
Factor-faktor pembekuan.
Faktor
Nama deskriptif
Bentuk aktif
I
Fibrinogen
Subunit fibrin
II
Protrombin
Protease serin
III
Faktorjaringan (tromboplastin)
Reseptor/kofaktor
V
Factor labil (kalsium)
Kofaktor
VII
Prokonvertin
Protease serin
VIII
Factor anti hemofilik
Protease serin
IX
Factor Christmas
Protease serin
X
Faktor stuart-Prower
Protease serin
XI
Precursor tromboplastin plasma
Protease serin
XII
Faktor Hageman
Protease serin
XIII
Factor penstabil fibrin (prekalikrein)
Transglutaminase/Protease serin
Pada umumnya, yang sering mengalami defisiensi adalah factor VII
(penyebab penyakit hemophilia A), factor IX (penyebab penyakit hemophilia B),
dan factor XI, XIII.
Selain itu defisiensi vitamin K juga dapat mengganggu proses pembekuan.
I
3) antikoagulan yang bekerja dengan mengikat ion kalsium, salah satu faktor
pembekuan darah.
a. Heparin
Farmakokinetik :
Heparin tidak diabsorbsi secara oral, karena itu deberikan secara SK
atau IV. Pemberian secara SK biovailabilitasnya bervariasi, mula kerjanya
lambat 1-2 jam tetapi masa kerjanya lebih lama. Heparin berat molekul
rendah diabsorbsi lebih teratur. Suntikan IM dapat menyebabkan terjadinya
hematom yang besar pada tempat suntikan dan absorbsinya tidak
teraturserta tidak dapat diramalkan.
Efeknya timbul segera setelah pemberian suntikan bolus IV dengan
dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah suntikan SK. Heparin
cepat dimetabolisme terutama di hati. Masa paruh tergantung dari dosis
yang digunakan, suntikan IV 100, 400, 800 unit/kgBB memperlihatkan
masa paruh masing-masing kira-kira 1, 2 , dan 5 jam. Masa paruh
mungkin memendek pada pasien emboli paru dan memanjang pada pasien
sirrosis hepatis atau penyakit ginjal berat.
b. Antikoagulan oral
Farmakokinetik :
Semua derivate 4-hidroksikumarin dan derivate indan-1,3-dion dapat
diberikan per oral, warfarin dapat juga diberikan IM dan IV. Absorbs
dikumarol dari saluran cerna lambat dan tidak sempurna, sedangkan
warfarin diabsorbsi lebih cepat dan hampir sempurna. Kecepatan absorbs
berbeda-beda tiap individu. Dalam darah dikumarol dan warfarin hampir
seluruhnya terikat pada albumin plasma. Ikatan ini tidak kuat dan mudah
digeser oleh obat tertentu misalnya fenilbutazon dan asam mefenamat.
Masa paru warfarin 48 jam, sedangkan masa paruh dikumarol 10-30
jam. Masa paru dikumarol bergantung dosis dan faktor genetik berbeda
pada masing-masing individu. Dikumarol dan warfarin ditimbun di dalam
paru-paru, hati, limpa dan ginjal.
Efek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam
plasma, karena diperlukan waktu untuk mengosongkan faktor-faktor
pembekuan darah dalam sirkulasi. Makin besar dosis awal, makin cepat
timbulnya efek terapi; tetapi dosis harus tetap dibatasi agar tidak sampai
menimbulkan efek toksik. Lama kerja sebanding dengan masa paruh obat
dalam plasma.
Ekskresi dalam urin terutama dalam bentuk metabolit; anisindioan
dapat menyebabkan urin berwarna merah jingga. Bagian yang tiak
diabsorbsi diekskresi melalui tinja.
3.
4.
5.
6.
Epistaksis
Tidak ada riwayat demam
Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya
Tidak ada riwayat minum obat.
Pertanyaan:
1.
2.
3.
4.
5.
Jawab:
1
masih
permeable
terhadap
cairan,
sumbat
trombosit
dapat
Proses pembekuan darah terdiri dari dari rangkaian reaksi enzimatik yang
melibatkan protein plasma yang disebut sebagai factor pembekuan darah,
fosfolipid, dan ion kalsium. factor pembekuan beredar dalam darah sebagai
precursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan
mengubah precursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mua factor
pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim.
Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsic yang
dicetuskan
oleh
aktivasi
kontak
dan
melibatkan
F.XII,
F.XI,
F.IX,
plasma darah mudah keluar dari pembuluh darah atau ekstravasasi ke ruang
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada berikut:
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan
kuning seperti jerami.
b. Purpura: petechi dan echymosis
c. Kuku: koilonychia (kuku sendok)
d. Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah,
glossitis dan stomatitis angularis.
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali dan Splenomegali
h. Nyeri tulang dan nyeri sternum
i. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
j. Pembengkakan testis
k. Pembengkakan parotis
l. Kelainan sistem saraf.
3.
Pemeriksaan Hematologic
Pemeriksaan
hematologic
dilakukan
secara
bertahap.
Pemeriksaan
a. faal ginjal
b. faal endokrin
c. asam urat
d. faal hati
e. biakan kuman
f. dan lain-lain
5. Pemeriksaan Penunjang lain
Pada beberapa kasus diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, scanning, limfangiografi
c. Pemeriksaan sitogenetik
Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain reaction,
FISH = fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain)
5
Gejalan Klinik
1. Perdarahan : kulit (peteki, ekimosis), perdarahan mukosa (epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis), easy bruising dan perdarahan organ
2. Hemorrhagic tissue necrosis dan oklusi multiple pembuluh darah kecil
sehingga menimbulkan multiple organ failure antara lain :
a. Ginjal : menimbulkan gagal ginjal
b. Adrenal dan kulit : waterhouse-fredricksen syndrome
c. Pembuluh darah tepi menimbulkan gangrene
d. Hati menimbulkan ikterus
e. Otak menimbulkan kesadaran menurun
3. Gejala penyakit dasar yg menjadi penyebab DIC
Manifestasi laboratorik
1. Trombositopenia
2. APTT, PPT, thrombine time memanjang, APTT lebih sensitive
3.
4.
5.
6.
2. ITP kronik
ITP Kronik terutama dijumpai pada wanita umur 15-50 tahun,
perjalanan penyakit bersifak kronik, hilang timbul berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Jarang mengalami kesembuhan spontan.
Patogenesis
Pada ITP jumlah trombosit menurun disebabkan oleh trombosit diikat
oleh antibodi, terutama IgG. Antibodi terutama ditujukan terhadap gpIIb-IIIa
atau Ib. Trombosit yang diselimuti antibodi kemudian difagosit oleh makrofag
dalam RES terutama lien, akibatnya akan terjadi trombositopenia. Keadaan ini
menyebabkan kompensasi dalam bentuk peningkatan megakariosit dalam
sumsum tulang.
Gambaran Klinik
Terapi
Terapi untuk ITP terdiri atas :
1. Terapi untuk mengurangi proses mun sehingga mengurangi perusakan
trombosit
a. Terapi kortikosteroid :
- Untuk menekan aktivitas mononuclear phagocyte (makrofag)
-
untuk
mencapai
dosis
pemeliharaan.
Dosis
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD
adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau
hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita
DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai
virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus
dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut,
terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia
dan syok. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigenantibodi, selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP
(adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede)
positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena
atau pada bekas pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus
ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole,
yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan
dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi
dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun
pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun
pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok. Masa
kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan
sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan
gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara,
pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan -nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui
bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh
perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada
saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma
biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin
III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN
ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi
pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan
dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi
pleura dapat ditemukan bilateral.
Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma danperdarahan. Perembesan
plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dankematian. Deteksi dini
terhadap adanya perembesan plasma danpenggantian cairan yang adekuat akan
mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat
peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris)
yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada
periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya
perembesan plasma danperdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan
klinis danpemantauan kadar hematokrit danjumlah trombosit. Pemilihan jenis
cairan danjumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan
pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah,
danobat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat.