TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Polivinil Klorida
Polivinil klorida (PVC) adalah polimer termoplastik urutan ketiga dalam jumlah
pemakaian di dunia, setelah polietilena dan polipropilena. Di seluruh dunia, lebih dari
50% PVC yang diproduksi dipakai dalam konstruksi. Sebagai bahan bangunan, PVC
relatif murah, tahan lama, dan mudah dirangkai. PVC bisa dibuat lebih elastis dan
fleksibel dengan menambahkan plasticizer, umumnya ftalat. PVC yang fleksibel
umumnya dipakai sebagai bahan pakaian, perpipaan, atap, dan insulasi kabel listrik.
PVC diproduksi dengan cara polimerisasi monomer vinil klorida (CH2=CHCl).
Karena 57% massanya adalah klor, PVC adalah polimer yang menggunakan bahan
baku minyak bumi terendah di antara polimer lainnya (Cowd, 1991).
PVC adalah termasuk bahan polimer yang paling banyak digunakan selain
polietilen, polipropilen dan polistiren, dimana menguasai 75% pasaran bahan polimer
dunia baik disebabkan karena beragamnya senyawa turunan PVC maupun karena
luasnya bidang penggunaannya (Anasagasti, 1999). PVC mempunyai sifat keras dan
kaku. Kekuatan benturannya baik, mudah terdegradasi akibat panas dan cahaya,
mudah disintesis, bentuknya serbuk putih sehingga mudah diolah, mudah larut dalam
suhu kamar serta tidak mudah terbakar (Billmeyer, 1984). Berikut ini adalah bentuk
serbuk dari polivinil klorida (PVC).
mempunyai rumus molekulnya adalah (-CH2 CHCl -)n. Bentuk ini mempunyai titik
leleh (melting point) sekitar 2040C dan temperatur transisi glass antara 70 -1000C.
Kegunaan dalam kehidupan adalah sebagai pipa plastik (paralon), peralatan
kelistrikan, dashboard mobil, atap bangunan dan lain-lain.
Ada tiga klasifikasi utama dari industri polimer, yaitu plastik, serat dan karet
atau elastomer. Salah satu bahan polimer yang populer dimasyarakat adalah plastik.
Berdasarkan sifat termalnya polimer terbagi atas dua bagian yaitu termoplastik dan
termoset (Steven, 2001). PVC adalah suatu bahan polimer yang bersifat termoplastik
yaitu jika diberi beban akan berubah bentuk dan jika beban dilepaskan tidak akan
kembali ke bentuk semula (Wirjosentono, 1998).
PVC dibuat dengan cara reaksi polimerisasi suspensi atau emulsi monomer vinil
0
klorida (CH2=CHCl) pada suhu 20 dan 50 C (Cowd, 1991). Setiap molekul PVC kira
kira mengandung 100 sampai 150 monomer berulang vinil klorida. Untuk
menghasilkan PVC yang lebih banyak (lebih dari 80%) digunakan polimerisasi
suspensi. Dengan polimerisasi ruah dan emulsi hanya diperoleh PVC dengan kadar
rendah (Billmeyer, 1984).
1. PVC Isotaktik
Cl
Cl
Cl
2. PVC Sindiotaktik
Gambar 2.2. Bentuk Str uktur PVC ber dasar kan Taksisitas
PVC merupakan tepung putih dengan massa jenis 1,4 g/cm sehingga
ketahanannya terhadap air sangat baik. Selain itu juga ketahanan terhadap asam (asam
lemak dan kuat), serta terhadap alkali juga baik. Tidak bersifat racun, tidak mudah
terbakar, isolasi listriknya baik dan tahan terhadap banyak larutan (Surdia, 1985).
Sifat fisika PVC, jika tidak diberi pemlastis, bentuknya keras dan kaku,
kekuatan benturannya baik, sedangkan yang telah diberi pemlastis bentuknya lembut,
fleksibel, elastis dan dimensi stabilitasnya baik. PVC mudah terdegradasi akibat panas
dan cahaya, dimana warnanya akan berubah, sehingga tidak pernah dijumpai dalam
keadaan murni. PVC selalu ditambahkan zat-zat aditif seperti pewarna, pelembut,
pengisi, penguat serta pemantap (Fried, 1995). Sifat-sifat umum kemasan PVC adalah
sebagai berikut:
-
Berikut ini adalah gambar reaksi pembentukan dari polivinil klorida (PVC)
Penggunaan PVC sangat luas, mulai sebagai barang-barang lunak sampai pada bahanbahan konstruksi bangunan yang keras dan kaku. Dengan proses ekstruksi, PVC dapat
dipakai untuk pembungkus, busa dan sebagainya. Untuk bahan kaku dan keras
biasanya dibuat dengan mencampurkan PVC murni dengan bahan aditif lain. Derajat
polimerisasi (DP) PVC dapat menunjukkan sifat mekanik bahan. Jika DP tinggi, akan
memberikan sifat mekanik yang baik. Jika
PVC dengan DP lebih kecil dari 400 dipakai untuk pembuatan cat dan perekat.
(Surdia, 1985).
Untuk mendapatkan bahan PVC seperti yang diharapkan (sebab bahan ini
Masalah yang perlu diatasi pada pemakaian bahan PVC adalah kecenderungannya
mengalami degradasi pada proses pengolahan oleh pengaruh panas dan pada
pemakaiannnya oleh pengaruh cuaca dan sinar matahari serta media penggunaan.
Disamping itu, kondisi lingkungan seperti adanya oksigen dan bahan-bahan kimia
oksidator turut pula mempengaruhi kecepatan degradasi. Pada proses degradasi akan
membebaskan atom Cl dari molekul PVC disamping dehidroklorinasi yang
mengakibatkan perubahan warna dan perubahan sifat fisiknya (Wirjosentono, et.al,
1995).
Mekanisme umum degradasi PVC oleh pengaruh panas telah dirumuskan oleh
Stromberg yang terdiri dari tahap inisiasi, propagasi dan terminasi (Grassie, 1985).
Tahap Inisiasi
Tahap ini dimulai dengan proses dehidroklorinasi oleh pengaruh panas membentuk
rantai poliena terkonjugasi. Ini kemudian dapat membentuk makroradikal kloroalkil
(sebagai hasil pemutusan rantai pada pengolahan) atau reaksi dengan oksigen.
CHCl
CH2
CHCl
Cl -
CH2
CHCl
CH2
CH
CH2
+ Cl
Tahap Pr opagasi
Makroradikal yang terbentuk akibat pelepasan atom H atau Cl pada tahap inisisasi
akan segera bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida. Selanjutnya, ini
akan bereaksi dengan molekul PVC membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal
baru, yang selanjutnya dapat bereaksi dengan oksigen kembali secara berulang
CHCl
CH2
CH
CH2
+ Cl
HCHCl
CH
CH
CH2
+ HCl
CH2
CHCl
CH2
CHCl
CH
CH
CH2
+ HCl
2.2.
Bahan Pendisper si
Penambahan bahan pendispersi berfungsi sebagai pelunak dan pembasah pada matriks
polimer. Pelunak atau pemlastis merupakan bahan yang ditambahkan kedalam bahan
polimer sehingga molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer yang
mempengaruhi mobilitas rantai dan menaikkan plastisitas bahan (Wirjosentono, 1993).
Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan
titik didih tinggi atau padatan dengan titik leleh rendah yang ditambahkan kedalam
resin yang keras atau kaku, sehingga akumulasi gaya antar molekul pada rantai
panjang akan menurun, akibatnya kelenturan, pelunakan dan pemanjangan resin akan
bertambah (Fras, 1998).
Dengan berkurangnya gaya antar molekul, menyebabkan gerakan rantai lebih
mudah bergerak, akibatnya bahan yang tadi keras atau kaku akan menjadi lembut pada
suhu kamar (Cowd, 1991). Pemlastis yang banyak digunakan untuk PVC, biasanya
mengandung ester-ester dari asam organik seperti DOP (Dioctyl Phtalate), DOA
(Dioctyl Adipate), DIOP (Di Iso Octyl Phtalate), TOP (Tri Octyl Phthalate) dan lainlain (Gibbon, et.al, 1998).
Sementara untuk keperluan-keperluan medis seperti pembuat kantung darah,
tabung transfusi, kantung urin, pembungkus obat dan lain-lain, biasanya digunakan
pemlastis DEHP (Di Ethylhexyl Phtalate). DEHP ternyata mempunyai efek terhadap
kesehatan seperti terjadinya abnormalitas hati dan juga menyebabkan penyakit kanker
(Lakhsmi, 1998)
Proses pemlastis, prinsipnya adalah terjadinya dispersi molekul pemlastis
kedalam fase polimer. Bilamana pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer,
proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimerpemlastis, sehingga keadaan seperti ini disebut kompatibel. Interaksi antara pemlastis
polimer ini sangat dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen. Kalau afinitas
polimer pemlastis kecil, akan terjadi plastisasi antar molekul. Sedangkan jika afinitas
polimer pemlastis tinggi, maka molekul pemlastis akan terdifusi kedalam bundel,
disini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan mempengaruhi
mobilitas rantai (Wirjosentono, et.al, 1995).
Sifat fisik dan mekanik yang terplastisasi merupakan fungsi distribusi dari sifat
dan komposisi masing-masing komponen dalam sistem, karenanya ramalan
karakteristik polimer yang terplastisasi mudah dilakukan dengan variasi komposisi
pemlastis (Wirjosentono, et.al, 1995). Secara umum, variasi jumlah pemlastis akan
efektif (mempunyai efek plastisasi) sampai bahan kompatibel. Hasil analisis mekanik
yang dilakukan Gibbon menunjukkan bahwa membran-membran yang lebih kuat dan
lebih liat (kenyal) dihasilkan ketika sedikit pemlastis yang digunakan dalam membran.
Hasil uji mekanik ini menunjukkan bahwa pemlastis yang mempunyai berat molekul
yang lebih rendah akan memperbaiki kekuatan dan keliatan membran (Gibbon, 1997).
Ketika sejumlah kecil ditambahkan pada suatu polimer, pemlastis ini akan
menyebabkan molekul polimer bergerak kedalam konfigurasi energi yang lebih
rendah. Dalam konfigurasi ini molekul-molekul menjadi kurang bergerak, dengan
demikian akan meningkatkan kekuatan dan keliatan yang baik dari polimer.
Sebaliknya jika pemlastis yang ditambahkan terlalu banyak, molekul-molekul polimer
banyak bergerak, akibatnya terjadi penurunan kekuatan dan keliatan polimer (Gibbon,
1997).
Pemlastis yang ideal untuk PVC, memenuhi sifat-sifat berikut (Frankel, 1975):
1. Harus kompatibel
2. Suhu pembekuan dibawah -400C
3. Regangan tensile diatas 2800 psi
4. Modulus dibawah 1200 psi
5. Kehilangan perpindahan dibawah 3%
6. Kehilangan penguapan 1%
Dalam teori ini pemlastis dipandang sebagai sebuah pelumas yang tidak menunjukkan
gaya-gaya ikatan dengan polimer. Molekul pemlastis hanya terdispersi diantara fase
polimer sehingga menentukan gaya-gaya intermolekuler pada rantai polimer dan oleh
karenanya hanya menyebabkan plastisasi partial.
Jika pemlastis memiliki gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan
berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer-pemlastis. Dalam hal
ini, polimer dan pemlastis disebut bersifat kompatibel.
Senyawa-senyawa
pemlastis
yang
bertindak
sebagai
pelumas
bukan
Teori ini didasarkan pada konsep kimia koloid. Sistem polimer-pemlastis dipandang
sebagai sebuah koloid liofilik. dimana pemlastis membentuk lingkaran solvasi di
sekeliling partikel polimer (fase dispersi). Secara fisik, tidak ada perbedaan mendasar
antara bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelarut dan yang berfungsi sebagai
pemlastis. Dalam kedua hal tersebut; tidak ada interaksi kimia (hanya interaksi fisik)
antara pemlastis atau pelarut dan polimer.
Dua senyawa dapat bercampur jika energi bebas Gibbs campuran negatif.
Energi campuran dapat ditentukan secara DSC atau dari pengukuran tekanan uap
PVC-terplastis. Pemlastis adalah pelarut lemah yang memiliki kekuatan solvasi rendah
sampai menengah bagi polimer sehingga menghasilkan polimer fleksibel dipolar yang
kuat pada suhu kamar melalui pembentukan gel dengan kesetimbangan antara solvasi
dan desolvasi Kekuatan solvasi atau swelling dari pemlastis tergantung pada berat
molekui dan pada gugus fungsinya. Pemlastis effektif sebagai pelarut ditentukan oleh
tiga gaya intermolekuler; yaitu gaya pemlastis-pemlastis, pemlastis-polimer dan
polimer polimer. Pemlastis harus memiliki molekul-molekul yang kecil dan memiliki
gaya atraktif yang sesuai bagi polimer dimana harus lebih rendah dari pada gaya
atraktif antara sesama rantai polimer. Keefektifan pemlastis meningkat bila gaya
Sesuai teori ini gaya intermolekuler antara molekul-molekul pemlastis, molekulmolekul polimer dan molekul-molekul pemlastis-polimer harus seimbang untuk
menghasilkan gel yang stabil. Oleh karena itu, polaritas pemlastis yang mengandung
satu atau lebih gugus polar dan non polar harus sesuai dengan polaritas dari partikel
polimer. Polaritas molekul pemlastis tergantung pada adanya gugus-gugus yang
mengandung oksigen, posfat dan sulfur. Pemlastis-pemlastis yang mengandung gugusgugus ester polar; fenil terpolarisasi dan alkil non polar dapat juga bertindak sebagai
gugus yang menyelubungi polimer. Namun orientasi dan arah gugus-gugus polar
pemlastis menentukan interaksinya dengan dipol-dipol polimer (Meier, 1990).
2.3.
Asam Laur at
Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh berantai sedang yang
tersusun dari 12 atom C. Sumber utama asam lemak ini adalah minyak kelapa, yang
dapat mengandung 50% asam laurat, serta minyak biji sawit (palm kernel oil). Sumber
lain adalah susu sapi.
Asam laurat memiliki titik lebur 44 C dan titik didih 225 C sehingga pada
suhu ruang berwujud padatan berwarna putih, dan mudah mencair jika dipanaskan.
Rumus kimia: CH3(CH2)10COOH, berat molekul 200,3 g.mol-1. Asam ini larut dalam
pelarut polar, misalnya air, juga larut dalam lemak karena gugus hidrokarbon (metil)
di satu ujung dan gugus karboksil di ujung lain.
Kita dapat menemukan kandungan asam laurat dalam beberapa makanan yang
mengandung lemak nabati seperti pada minyak kelapa dan minyak inti kelapa sawit.
Bahkan sebagian besar lemak yang dikandungnya adalah lemak asam laurat. Beberapa
makanan lain yang memiliki kandungan asam laurat adalah karamel, susu bubuk, dan
mentega. Selain itu ini dimanfaatkan oleh industri pencuci, misalnya pada sampo.
Sodium lauril sulfat (SLS) adalah turunan yang paling sering dipakai dalam industri
sabun dan sampo. Pada Industri Kosmetik, Asam Laurat ini berfungsi sebagai
pengental, pelembab dan pelembut (Lide, 2005).
2.4.
Pisang Raja
Pisang raja termasuk jenis pisang buah. Menurut ahli sejarah dan botani secara umum
pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat.
Selanjutnya menyebar ke berbagai negara baik negara tropis maupun negara subtropis.
Akhirnya buah pisang dikenal di seluruh dunia. Jadi pisang raja termasuk tanaman asli
Indonesia dan kultivar-kultivarnya banyak ditemukan di pulau Jawa (Zuhairini, 1997).
Adapun klasifikasi tanaman pisang raja menurut Tjitrosoepomo (2001) adalah sebagai
berikut:
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca L.
Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup
banyak jumlahnya. Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata,
hanya dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak
seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan
memiliki nilai jual yang menguntungkan apabila bisa dimanfaatkan sebagai bahan
baku makanan (Susanti, 2006). Kandungan unsur gizi kulit pisang cukup lengkap,
seperti karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B, vitamin C dan
air. Unsur-unsur gizi inilah yang dapat digunakan sebagai sumber energi dan antibodi
bagi tubuh manusia (Munadjim, 1988).
Buah pisang banyak mengandung karbohidrat baik isinya maupun kulitnya. Pisang
mempunyai kandungan khrom yang berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan
lipid. Khrom bersama dengan insulin memudahkan masuknya glukosa ke dalam selsel. Kekurangan khrom dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa.
Umumnya masyarakat hanya memakan buahnya saja dan membuang kulit pisang
begitu saja. Di dalam kulit pisang ternyata memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium,
protein, dan juga lemak yang cukup. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa
komposisi kulit pisang banyak mengandung air yaitu 68,90 % dan karbohidrat sebesar
18,50 %.
Komposisi zat gizi kulit pisang dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1. Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 gram bahan
Zat Gizi
Kadar
Air (g)
68,90
Karbohidrat (g)
18,50
Lemak (g)
2,11
Protein (g)
0,32
Kalsium (mg)
715
Posfor (mg)
117
1,60
Vitamin B (mg)
0,12
Vitamin C (mg)
17,50
Karbohidrat atau Hidrat Arang yang dikandung oleh kulit pisang adalah
amilum. Amilum atau pati ialah jenis polisakarida karbohidrat (karbohidrat
kompleks). Amilum (pati) tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan
tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk
menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang.
Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang
penting. Amilum merupakan sumber energi utama bagi orang dewasa di seluruh
penduduk dunia, terutama di negara berkembang oleh karena di konsumsi sebagai
bahan makanan pokok. Disamping bahan pangan kaya akan amilum juga
mengandung protein, vitamin, serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Johari,
2006).
2.5.
Bahan Pengisi
Bahan pengisi digunakan secara luas sebagai bahan tambahan pada komposisi
polimer. Bahan pengisi inert ditambahkan pada komposisi polimer untuk memperbaiki
sifat dan untuk mengurangi biaya atau harga.
Ada tiga jenis pengisi yaitu :
1.
2.
Pengisi aktif
Serat yang mempunyai kekuatan mekanik disebut serat aktif dan yang tidak
mempunyai kekuatan mekanik disebut serat tidak aktif. Serat aktif (carbon black,
silika gel) lebih kuat 10 hingga 20 kali dibandingkan karet sintetik.
3.
2.6.
Kompatibilitas
Kompatibilitas pemlastis dengan bahan polimer merupakan hal yang penting, dimana
kompatibilitas yang baik menunjukkan campuran pemlastis dan polimer yang stabil
dan homogen. Kompatibilitas campuran dipengaruhi oleh interaksi molekul polimer
pemlastis, bahan aditif, tekanan, suhu, kelembaban dan cahaya.
Kemudian kompatibilitas tersebut ditentukan melalui panas reaksi campuran,
suhu transisi gelas, morfologi, sifat mekanikal dinamis dan secara viskometrik
(Chattopadhyay, 2000).
Pemlastis bisa saja kompatibel pada suhu proses namun dapat keluar kembali
dari polimer (blooming) pada suhu kamar. Polimer-pemlastis selalu berada dalam
kesetimbangan dinamis pada suhu tertentu; begitu suhu berubah efektifitas gaya-gaya
juga berubah. Pada kondisi normal; difusi selalu terjadi yaitu sejumlah tertentu
pemlastis berada dipermukaan polimer karena kesetimbangan adsorpsi/desorpsi antara
2.7.
Pengujian sifat mekanik bahan polimer penting karena penggunaan bahan polimer
sebagai bahan industri sangat bergantung pada sifat mekanisnya, yaitu gabungan
anatara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanik ini disebabkan
oleh adanya dua jenis ikatan dalam bahan polimer, yakni ikatan kimia yang kuat anatar
atom dan interaksi antara rantai polimer yang lebih lemah. Sifat mekanis biasanya
dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik ( ), yaitu beban maksimum (F max )
yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang
bahan.
=
Ket:
F max
A
...............................(2.1)
Ket:
L L0
x100%
L0
...............................(2.2)
: Kemularan (%)
L0
Jika bahan polimer dikenakan gaya tarikan dengan kecepatan tetap, mula-mula
kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan perpanjangan
spesimen, sampai dengan titik elastisitas. Bila tegangan dilepas spesimen akan
kembali kebentuk semula, tetapi jika tegangan dinaikan sedikit saja maka akan terjadi
perpanjangan yang besar. kemiringan kurva pada keadaan ini disebut modulus ( )
atau kekauan.
2.7.2
Spektroskopi Infra merah merupakan salah satu teknik identifikasi struktur baik untuk
senyawa organik maupun senyawa anorganik. Analisa ini merupakan satu metode
semi empirik, dimana kombinasi pita serapan yang khas dapat diperoleh
untuk
menentukan struktur senyawa yang terdapat dalam suatu bahan. Energi dari
kebanyakan vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada spektrum infra merah,
bila vibarasinya menghasilkan perubahan momendipol.
Radiasi infra merah yang terpenting dalam penentuan struktur atau analisis
gugus fungsi terletak pada daerah dengan bilangan gelombang antara 200 4000 cm-1
(Wirjosentono, et.al, 1995). Pada temeperatur kamar, molekul senyawa organik berada
dalam keadaan vibrasi tetap. Setiap ikatan mempunyai frekwensi ulur dan tekuk yang
khas dan dapat menyerap sinar frekwensi tersebut. Untuk mengukur intensitas serapan
dalam spektra infra merah cukup mengetahui bahwa intensitas serapan adalah kuat,
sedang, lemah atau tak menentu. Absorbansi suatu cuplikan pada frekwensi tertentu
didefenisikan sebagai:
A = Log
Ket:
L0
L
...............................(2.3)
A : Absorbansi Cuplikan
1
T
...............................(2.4)
Biasanya untuk menganalisa, sampel dapat berupa padat, cair dan gas.
Sedangkan metode penyiapan analisa untuk bahan polimer dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya melarutkan bahan polimer kedalam suatu pelarut seperti
karbon disulfida, karbon tetraklorida, kloroform dan tetrahidrofuran atau dengan
pembuatan film transparan dengan metode pelet KBr.
Analisa termal didefenisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisika dan kimia bahan
sebagai fungsi temperatur. Yang termasuk kedalam metode analisis termal adalah
Differential Thermal Analysis (DTA), Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan
Thermogravimetry Analysisis (TGA). Dalam DSC panas yang diserap atau dibebaskan
dari suatu sistem atau sampel diamati dengan cara cara mengukur perbedaan
temperatur antara sampel dengan senyawa pembanding sebagai fungsi temperatur.
Perubahan panas yang dicatat dalam metode ini adalah akibat kehilangan atau
penyerapan panas karena adanya reaksi dalam sampel baik eksotermis maupun
endotermis.
Analisa DSC sendiri adalah sebuah teknik dimana perubahan suhu (T) antara
sampel dengan pembanding yang inert diukur sebagai fungsi suhu. Pada instrumen,
mengukur perbedaan suhu antara sampel dan pembanding digunakan termkopel.
Karena menggunakan pembanding, maka dilakukan pengkorvesian dengan
menggunakan suatu tabel kalibrasi termokopel elektromative force. Kurva DSC
biasanya menjadi satu dengan kurva DTA. kedua kurva diplot sebagai fungsi
temperatur dengan kecepatan konstan. Perbedaan kedua alat ini hanya terletak pada
ordinatnya. Pada DTA menunjukkan perbedaan temperatur sampel dengan
pembanding (T), sedangkan pada DSC ordinat menunjukkan perbedaan energi anatar
sampel dengan pembanding (dQ/dt). Adapun bentuk kurva DTA dan DSC
ditujukkan pada gambar 2.5 berikut ini: