Anda di halaman 1dari 23

PARADIGMA BARU PELAYANAN PUBLIK

Category: News
Published on Tuesday, 27 August 2013 20:21
Written by Super User
Hits: 2070

PARADIGMA BARU PELAYANAN PUBLIK


Drs. Kariono, M. Si BPPT Provinsi Sumatera Utara
Pendahuluan
Paradigma menjadi konsep yang banyak menarik perhatian kalangan ilmuwan dan
cendekiawan di Amerika Serikat sejak Thomas Kuhn di awal 1960-an menerbitkan bukunya
yang monumental dalam perkembangan sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, berjudul The
Structure of Scientific Revolution.
Sungguh pun contoh terhadap pandangan paradigma Kuhn dan latar belakang Kuhn
sendiri adalah bidang ilmu pengetahuan alam, namun pandangan paradigmatis Kuhn banyak
mempengaruhi pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial termasuk sosiologi,
ekonomi, dan administrasi negara. Di Indonesia, kata atau konsep paradigma mulai secara lebih
populer digunakan di sekitar awal tahun 1980-an; juga dalam lingkup studi pembangunan,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan ekonomi dan administrasi negara. Analisis
paradigmatis itu sendiri, baik di luar Indonesia maupun di Indonesia agaknya sudah
berkembang jauh sebelum terbitnya buku Thomas Kuhn tersebut di atas (Mustopadidjaja AR,
2003).
Makna Paradigma
Menurut Mustopadidjaja (2003), paradigma merupakan kata yang berasal dari bahasa
Yunani Paradeigma, yang berarti model, pola, atau contoh. Dalam perkembangan kemudian
terdapat beberapa pandangan tentang makna dan unsur paradigma. Dalam buku Kuhn itu sendiri
terdapat sekitar 21 pengertian (Mastermann, 1970 : 59-89), di antaranya diartikannya paradigma
sebagai a framework of basic assumptions including standards for determining the validity of
knowledge, rules of evidence and inference, and basic principles of cause and effects shared by
a scientific community, (Kuhn, 111 35; dan Harmon, 1981 : 12). Kuhn juga menulis
bahwa scientific paradigms are accepted examples of actual scientific practice, examples which
includelaws, theory, application, and instrumentation together (that) provide models from
which spring particular coherent traditions of scientific research. Marilyn Ferguson
(1980) mendefinisikan paradigma sebagai a framework of thought a scheme for understanding
and explaning certain aspects of reality.
Sedangkan Baker menawarkan rumusan A paradigm is a set of rules and regulations
(written or unwritten) that does two things : (1) it establishes or defines boundaries; and (2) it
tells you to behave inside the boundaries in order to be successful (Baker, JA; 1993). Pada

awalnya Kuhn berpandangan bahwa paradigma tersebut bebas nilai, Kuhn excludes values
from paradigmatic analysis kata Scot dan kawan-kawannya (Scott et all., 1981 : 64). Namun
kemudian dia melakukan modifikasi dan mendefinisikan paradigma, bukan saja sebagai (a) an
achievement, a new, accepted way of solving a problem which then is used as a model of future
work, tetapi juga sebagai (b) a set of shared values, the methods, standard and generalizations
shared by those trained to carry on the scientific work modeled on that paradigma (Kuhn, 1970;
Elgues. 1985 : 215).
Dalam uraian ini penulis cenderung untuk secara sederhana mengartikan paradigma
sebagai teori dasar atau cara pandang yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan
berisikan teori pokok, konsep asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dapat dipergunakan
para teoritis dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam kaitan
pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan permasalahan bagi kemajuan hidup dan
kehidupan kemanusiaan (Mustopadidjaja AR. 1985).
Paradigma New Public Management
Menurut Asmawi Rewansyah (2010), berawal dari kenyataan bahwa birokrasi
pemerintahan yang terlalu besar, boros, inefisien dan merosotnya kinerja pelayanan publik,
Ronald Reagan (Presiden Amerika Serikat) mengeluarkan pernyataan bahwa government is not
solution to our problem, government is the problem.
Kata administrasi dirasakan kurang agresif, maka digunakan kata manajemen
(bisnis/privat) guna mentransformasi prinsip-prinsip bisnis atau wirausaha kedalam sektor
publik. Kemudian paradigma ini lebih dikenal dengan New Public Management (NPM) yang melihat
bahwa paradigma Old Public Administration (OPA) kurang efektif dalam memecahkan masalah dan
dalam memberi pelayanan publik, termasuk membangun warga masyarakat. Konsep dan strategi
pemangkasan birokrasi (banishing bureaucracy), sebagai opersionalisasi dari Reinventing
Government.
Osborne & Plastrik (1997) mengemukakan makna mewirausahakan/ reinventing, sebagai
transformasi fundamental terhadap sistem dan organisasi sektor publik untuk menciptakan
peningkatan secara menakjubkan dalam hal efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kapasitasnya
untuk berinovasi. Tranformasi tersebut intinya bagaimana membangun sektor publik yang
bersifat
self
renewing
system dengan
pendekatan
prinsip-prinsip
bisnis
(wirausaha). Banishing bureaucracy berisi 5 strategi untuk melaksanakan prinsip Reinventing
Government yang bernama The Five CSyaitu :
1. Core Strategy (Strategi inti). Menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan arah
organisasi.
2. Consequence Strategy(Strategi Konsekuensi). Strategi yang mendorong persaingan
sehat guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui penerapan Reward and
Punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.
3. Customer strategy (Strategi pelanggan). Memusatkan perhatian untuk bertanggung jawab
terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan kepastian
mutu bagi pelanggan.

4. Control strategy (Strategi kendali). Merubah lokasi dan bentuk kendali dalam organisasi.
Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana atau masyarakat.
Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi yang telah ditentukan. Dengan
demikian terjadi proses pemberdayaan organisasi, pegawai, dan masyarakat.
5. Cultural strategy(Strategi Budaya). Merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari
unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap
budaya organisasi publik ini berubah (tidak lagi memandang rendah).
Selanjutnya,
dalam NPM, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Dwiyanto

(2008),

mengutarakan

tujuh

komponen

doktrin

Pemanfaatan manajemen professional dalam sektor publik,


Penggunaan indikator kinerja,
Penekanan yang lebih besar pada kontrol keluaran,
Pergeseran perhatian ke unit yang lebih kecil,
Pergeseran ke kompetisi yang lebih tinggi,
Penekanan gaya sektor swasta pada praktek manajemen,
Penekanan disiplin dan penghematan yang lebih tinggi dalam penggunaan sumber
daya.

Paradigma NPM dipandang sebagai pendekatan dalam administrasi publik dengan


menerapkan pengetahun dan pengalaman yang diperoleh dari dunia bisnis dan disiplin lain untuk
memperbaiki efektivitas, efisiensi, dan kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern. Ketika
muncul pertama kali, NPM hanya meliputi lima doktrin, yaitu : (1) penerapan deregulasi
pada line management; (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri
sendiri; (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak antara
regulator dengan operator; (4) penerapan mekanisme kompetensi seperti melakukan
kontrak (contracting out), dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (marketoriented).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi
harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai
hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat
mengarahkan (steering) dari pada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi,
memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan memekankan budaya organisasi yang
lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas,
orientasi pada proses dan input (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).
Paradigma New Public Service

Menurut Asmawi Rewansyah (2010) bertitik tolak dari doktrin, prinsip-prinsip dan cirriciri dari paradigma NPM, maka nampaknya paradigma NPM lebih cocok untuk merformasi
sektor
perekonomian.
Dalam
bidang
perekonomian,
pemerintah
harus
berjiwa entrepreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sekaligus kesejahteraan masyarakat demokratis dan kurang diperhatikannya peran
kepemimpinan (leadership) dalam suatu organisasi, sehingga paradigma NPM bergeser ke

paradigma New

Public

Service

(NPS)

King dan Stivers (1998) dalam buku Government is Us, mendesak agar para
administrator melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat rakyat sebagai warga Negara
(bukan sebagai pelanggan), sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali,
serta percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap
responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari efisiensi
yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. NPS mengutamakan keterlibatan warga
masyarakat yang harus dilihat sebagai investasi yang signifikan.
Denhardt dan R.B. Denhardt (2003), menyarankan meninggalkan prinsip paradigma OPA
dan paradigma NPM, beralih ke prinsip paradigma NPS dalam administrasi publik, yaitu para
birokrat/administrator harus :
1. Melayani dari pada mengendalikan (service rather than steer);
2. Mengutamakan kepentingan publik (seek the public interest);
3. Lebih menghargai warga Negara dari pada kewirausahaan (value citizenship over
entrepreneurship);
4. Berpikir strategis, dan bertindak demokratis (think strategically, act democratically);
5. Melayani warga masyarakat, bukan pelanggan (serve citizen not customer);
6. Menyadari akuntabilitas bukan merupakan hal mudah (recognize that accountability is not
simple);
7. Menghargai orang, bukan hanya produktivitas (value people, not just productivity).
Beberapa permasalahan tentang ketidakpuasan kinerja pemerintah, keinginan dan harapanharapannya tidak didengar, hak-haknya dipasung, aspek dan peluang publiknya dihambat,
adanya dominasi hak rakyat, berisi keras kepada rakyat, bertindak represif dan lupa bahwa
kedaulatan ini adalah milik rakyat, bahkan pilihan untuk kebutuhan-kebutuhan publik dan suara
demokrasi yang substantif telah ditinggalkan atau diabaikan begitu saja bagi pejabat. Padahal
mereka para pejabat publik ada, karena adanya rakyat yang memiliki hak suara sebagai
instrumen penting dalam memulai wacana pemerintah ke depan. Secara praksis pemerintah
dalam pelayanan publik harus memperhatikan ide brilian yang digagas oleh paradigma the new
public services karena membawa pesan moral sebagaimana tuntutan masyarakat kontemporer
dewasa ini. Paradigma the new public service (NPS) manakah yang diterapkan pemerintah dalam
pelayanan publik? Apakah paradigma NPS cukup handal bagi pemerintahan di Indonesia dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang muncul dalam melayani warga negara? Atau sebaliknya
keinginan warga negara dengan harapan yang begitu banyak berakhir di kekuasaan birokrasi
yang birokratis mengandalkan hirarki, tidak efisien, tidak efektif, tidak transparan, bahkan
berujung pada praktek-praktek patrimonial yang melindungi (memberikan hak-hak istimewa
kepada seseorang) dan memihak pada afiliasi ras, suku, etnis, partai politik dan pemerintahan
yang sedang berjalan Menuju Paradigma The New Public Service(NPS)
Gagasan Denhardt & Denhardt tentang Pelayanan Publik Baru(PPB) menegaskan bahwa
pemerintah seharusnya tidak dijalankan seperti layaknya sebuah perusahaan tetapi melayani
masyarakat secara demokratis, adil, merata, tidak diskriminatif, jujur dan akuntabel . Karena bagi
paradigma ini; (1) nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan kepentingan publik adalah
merupakan landasan utama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan; (2) nilai-nilai tersebut
memberi energi kepada pegawai pemerintah atau pelayan publik dalam memberikan
pelayanannya kepada publik secara lebih adil, merata, jujur, dan bertanggungjawab.

Oleh karenanya pegawai pemerintah atau aparat birokrat harus senantiasa


melakukan rekonstruksi dan membangun jejaring yang erat dengan masyarakat atau warganya.
Pemerintah perlu mengubah pendekatan kepada masyarakat dari suka memberi perintah
dan mengajari masyarakat menjadi mau mendengarkan apa yang menjadi keinginan dan
kebutuhan masyarakat, bahkan dari suka mengarahkan dan memaksa masyarakat menjadi mau
merespon dan melayani apa yang menjadi kepentingan dan harapan masyarakat. Karena dalam
paradigma the new public service dengan menggunakan teori demokrasi ini beranggapan bahwa
tugas-tugas pemerintah untuk memberdayakan rakyat dan mempertanggungjawabkan kinerjanya
kepada rakyat pula. Hal ini dimaksudkan bahwa para penyelenggara negara harus mendengar
kebutuhan dan kemauan warga negara (citizens). Pelayanan publik yang di praktekkan dengan
situasi yang kreatif, dimana warga negara dan pejabat publik dapat bekerja sama
mempertimbangkan tentang penentuan dan implementasi dari birokrasi publik, yang berorientasi
pada aktivitas administrasi dan aktivitas warga negara.
Untuk meningkatkan suatu pelayanan publik yang demokratis,maka pilihan terhadap the
New Public Service (NPS) dapat menjanjikan suatu perubahan realitas dan kondisi birokrasi
pemerintahan. Aplikasi dari konsep ini agak menantang dan membutuhkan keberanian bagi
aparatur pemerintahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, karena mengorbankan waktu,
tenaga untuk mempengaruhi semua sistem yang berlaku. Alternatif yang ditawarkan adalah
pemerintah harus mendengar suara publik dalam berpartisipasi bagi pengelolaan tata
pemerintahan. Memang tidak gampang meninggalkan kebiasaan memerintah atau mengatur pada
konsep administrasi lama, dari pada mengarahkan, menghargai pendapat sebagaimana yang
disarankan konsep NPS.
Standar Pelayanan Publik yang Partisipatif, Transparan dan Akuntabel
Keberhasilan dalam penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang
minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas. Ada sepuluh dimensi
untuk mengukur keberhasilan tersebut;(1) Tangable; yang menekankan pada penyediaan fasilitas,
fisik, peralatan, personil, dan komunikasi. (2) Reability; adalah kemampuan unit pelayanan
untuk menciptakan yang dijanjikan dengan tepat. (3) Responsiveness; kemauan untuk membantu
para provider untuk bertanggungjawab terhadap mutu layanan yang diberikan. (4)Competence;
tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam
memberikan layanan. (5) Courtessy; sikap atau perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap
keinginan pelanggan serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi. (6) Credibility; sikap
jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat. (7) Security; jasa pelayanan
yang diberikan harus dijamin dan bebas dari bahaya dan resiko. (8) Acces; terdapat kemudahan
untuk mengadakan kontak dan pendekatan. (9) Communication; kemaun pemberi layanan untuk
mendengarkan suara, keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu
menyampaikan informasi baru kepada masyarakat. (10) Understanding the customer; melakukan
segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan .
Sepuluh konsep ini mempertegas bagaimana model manajemen penyediaan standarisasi
pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif, transparan, dan
akuntabel. Suksesnya sebuah penyelengaaraan pelayanan publik secara ideal menetapkan(1)
Tujuan; para pejabat publik harus mengetahui apa yang menjadi gagasan pokok, tujuan tersebut
harus mengakar secara mendalam dari tindakan sehari-hari dan perencanaan jangka panjang
organisasi yang bersangkutan, para penyelenggara pelayanan publik sepanjang waktu harus
mencontohi misi dan para street level bureaucracy dikendalikan untuk melakukann hal

tersebut. (2) Karakter; para penyelenggara pelayanan memiliki perasaan yang kuat tentang siapa
mereka dan apa yang terpenting. Karakter organisasi diturunkan dari kesepakatan kepercayaan
yang kuat, dikomunikasikan secara internal dan eksternal melalui aktivitas terpusat secara
prinsip. Aparat birokrat sebagai pelayanan memancarkan integritas,kepercayaan, kepedulian,
keterbukaan, dan secara krusial sebuah hasrat untuk belajar. (3) Keputusan; organisasi yang
melakukan segala sesuatu, pencapaian atas tujuan dan mendemonstrasikan karakter melalui
penggunaan aturan yang luas atas perangkat manajemen.
Organisasi yang memiliki inovasi di dalam sebuah era yang tidak pernah berhenti
melakukan perubahan, mewujudkan bahwa perangkat dan teknik yang mereka kerjakan
bermakna dalam memiliki batas akhir. Kerjasama kelompok merupakan elemen yang esensial .
Mewujudkan standar pelayanan publik yang partisipatif, kesamaan hak, keterbukaan dan
akuntabel sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, memerlukan pernyataan kedua pihak baik lembaga pemerintahan maupun
warga negara. Artinya untuk dapat melaksanakan stndar pelayanan publik tersebut, para
provider and user, harus membuat kesepakatan secara demokratis atau dengan sistem
(citizen charter), yang berorientasi visi dan misi pelayanan, standar yang berlakukan (mulai dari
jadwal, lamanya pelayanan, ruang pelayanan, alur pelayanan, hak dan kewajiban provider and
user, sanksi sanksi bagi provider and user, serta saran, kritik, dan metode keluhan yang
disampaikan user kepada provider.
Penutup
Dengan demikian dari paradigma the new public service yang dipaparkan diatas, penulis
berpendapat bahwa semua ini menekankan pada partisipasi warga negara dalam merumuskan
program-program layanan publik yang berpihak pada kebutuhan warga negara, memiliki hak
yang sama, memberi ruang bagi partisipasi publik dan transparansi para penyedia layanan dalam
menghadapi warga negara, akuntabilitas sesuai dengan program, norma dan implementasi yang
dijalankan lembaga birokrasi selama ini.
Paradigma pelayanan publik minimal yang harus diterapakan provider kepada user adalah
akumulasi berbagai program yang berorientasi pada pilihan sekaligus suara publik sebagai
cerminan dari perjuangan yang digalakkan pemerintah menuju paradigma pelayanan publik yang
mau mendengar suara warga negara sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan setiap
kebijakan pelayanan publik, termasuk didalamnya pelayanan perijinan dan sejenisnya. Semoga
berhasil.

Perkembangan dan Dinamika Administrasi


Negara
Pendahuluan
Sejak Woodrow Wilson menggegerkan publik Amerika Serikat
melalui tulisannya yang berjudul The Study of Administration (1887) pada
jurnal Political
Science
Quarterly,
administrasi
negara[1] mulai
berkembang sampai ke antero dunia, termasuk ke Indonesia. Sejak
dekade 1990an, administrasi negara telah berkembang pesat dibandingkan
zamannya Wilson. Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan ilmu
administrasi negara begitu masif terjadi di negara asalnya Amerika Serikat
dan negara-negara Anglo-Saxon lainnya seperti Inggris, Kanada, Australia
dan Selandia Baru. Sedangkan di negara-negara berkembang, dinamika
administrasi negara tidak begituintens karena masih kuatnya kontrol politik,
birokrasi dan budaya.
Secara teori, konsep dan paradigma, administrasi negara mengalami
perkembangan yang cukup cepat. Banyak bermunculan teori-teori
kontemporer di dalam khasanah administrasi negara yang mengkritik dan
memperkaya teori-teori klasik seperti teori tentang organisasi dan birokrasi.
Perkembangan itu adalah sesuatu yang wajar mengingat administrasi
negara merupakan bagian dari ilmu sosial yang memiliki karakteristik yang
dinamis, tidak seperti halnya ilmu-ilmu alam yang cenderung pasif dan
positivistik. Perkembangan ini patut diapresiasi karena hal ini menandakan
administrasi negara mampu eksis di tengah persoalan-persoalan
masyarakat yang semakin kompleks dan butuh solusi yang konkrit.
Perkembangan teori, konsep dan paradigma di dalam administrasi
juga begitu beragam (distinct) dan unik. Setiap cerdik-cendikia administrasi
negara memiliki teori dan konsep administrasi negara dengan argumentasi
dan penafsiran yang berbeda satu sama lain, sehingga dinamika pemikiran
administrasi negara begitu terasagezah-nya. Di samping itu, kondisi dunia
yang sudah semakin menglobal dimana semakin tidak jelasnya batas-

batas geografis negara berkat revolusi teknologi informasi, ikut


mempengaruhi perkembangan teori, konsep dan paradigma administrasi
negara. Sedikit-banyaknya teori, konsep dan paradigma administrasi
negara telah terkooptasi dengan ideologi globalisasi yang menginginkan
setiap negara, menjadi satu kesatuan teritorial secara non-fisik. Artinya,
tidak ada lagi sekat-sekat atau batas negara yang terlalu jauh untuk
dijangkau karena semuanya dapat dijelajahi dalam waktu singkat dengan
memanfaatkan media teknologi informasi.
Dinamika ini membawa pengaruh besar dalam keilmuwan
administrasi negara di berbagai belahan dunia. Tidak saja di negara
asalnya dan di negara maju lainnya, di negara-negara sedang
berkembang, terutama Indonesia wacana keilmuwan administrasi negara
berkembang dengan cepat dan begitu dinamis. Secara konseptual telah
terjadi perkembangan yang sangat signifikan dalam teori dan paradigma
administrasi negara di Indonesia. Perkembangan ini tentu saja dipelopori
oleh kalangan akademisi kampus yang menggeluti administrasi negara
maupun masyarakat luas yang memiliki concern terhadap administrasi
negara. Fakta ini bisa dilacak dari dinamika keilmuwan yang berkembang
di berbagai perguruan tinggi negeri, swasta dan perguruan tinggi
kedinasan yang menyelenggarakan program administrasi negara.
[2] Setiap tempat yang menyelenggarakan pendidikan administrasi negara
memiliki horison tersendiri dan berbeda satu sama lain. Dinamika ini lebih
disebabkan karena interpretasi yang berbeda tentang teori, konsep dan
paradigma administrasi negara yang berkembang dalam keilmuwan
administrasi negara.
Tidak bisa dinafikan bahwa teori, konsep dan paradigma administrasi
negara yang berkembang di Indonesia diimpor dari luar. Teori tentang
kebijakan publik, teori manajemen publik dan teorigovernance adalah teori
yang lahir di Barat, yang kemudian diadopsi oleh kalangan akademisi dan
praktisi administrasi negara di Indonesia. Sampai saat ini, penulis belum
menemukan satu pun tulisan atau pun buku tentang teori administrasi
negara yang asli Indonesia. Kebanyakan, buku-buku tentang teori
administrasi negara yang ditulis oleh orang Indonesia dan beredar di
Indonesia merupakan buku-buku yang mencuplik teori-teori administrasi
negara dari luar dengan sedikit modifikasi (threatment) dan tambahan di

sana-sini dengan kasus Indonesia.[3] Fenomena ini jika dibiarkan


berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan
hilangnya kemandirian dan identitas administrasi negara Indonesia.
Keilmuwan administrasi negara di Indonesia berlangsung dalam
kondisi yang dinamis sudah terasa sejak terjadinya reformasi politik di
Indonesia yang ditandai dengan lengsernya Orde Baru tahun 1998 hingga
saat ini., dialektika keilmuwan administrasi terjadi begitu hangat. Masingmasing jurusan/departemen/program studi yang menawarkan pendidikan
administrasi negara di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia
memiliki cakrawala keilmuwan yang berbeda satu sama lain. Labih jauh,
hal ini menimbulkan perspentif yang berbeda dalam memandang dan
menjalankan pendidikan administrasi negara. Dalam konteks kekinian,
perkembangan dan dinamika yang sangat menarik untuk disoroti adalah
dialektika dan perdebatan tentang administrasi negara dan administrasi
publik. Sekilas, persoalan ini terkesan sederhana karena hanya
menyangkut masalah nama (label). Namun, lebih dari itu, perkembangan
dan dinamika ini memiliki akar filosofis dan historis yang panjang serta
layak untuk dianalisis karena berkaitan dengan identitas administrasi
negara Indonesia itu sendiri.
Tulisan ini pada intinya akan menyoroti perkembangan dan dinamika
administrasi negara di Indonesia, termasuk wacana keilmuwannya-dalam
hal ini dimotori oleh dunia kampus- yang dikembangkan oleh masingmasing perguruan tinggi di Indonesia, pemikirannya dan utamanya pada
pergulatan wacana administrasi negara vis a vis administrasi publik.
Sebelum masuk pada persoalan pokok, tulisan ini sedikit akan mengulas
hakikat (nature) administrasi negara, perkembangan paradigmanya dan
teorinya dalam rangka menemukan state of the art administrasi negara.
Sebagai bahan perbandingan tulisan ini juga akan melihat perkembangan
keilmuwan administrasi negara di Amerika Serikat, Inggris, Belanda,
Australia, Singapura dan Malaysia sebagai upaya outward looking dan
menemukenali dinamika wacana keilmuwan administrasi negara di negaranegara maju yang karena pengaruh globalisasi sering menjadi kiblat
administrasi negara bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pada akhirnya tulisan ini akan ditutup dengan sebuah masukan bagi

perkembangan ilmu administrasi negara di Indonesia dalam rangka


mencari identitas administrasi negara Indonesia.

Nature Administrasi Negara


Sebenarnya, jauh sebelum Wilson menulis tentang The Study of
Administration, administrasi negara itu sudah ada sejak abad ke15.Namun, praktik administrasi Negara sudah ada sejak dikenalnya
Negara Kota di Athena jauh sebelum abad ke-15. Untuk mengurus dan
melaksanakan pemerintahan, tentu membutuhkan administrator publik
yang handal, administrator inilah yang sekarang dikenal dengan birokrasi.
Perbedaannya adalah permasalahan publik pada masa itu belum
sekompleks sekarang sehingga tugas dan fungsi administrasi negara
belum terlalu menonjol.
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan terpisah dari ilmu
politik, administrasi negara baru menemukan jati dirinya sebagai sebuah
ilmu pada abad ke-19, yaitu ketika Wilson menulis The Study of
Administration. Pada zamannya Wilson administrasi dipamahi sebagai
pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintah dan mengimplementasikan
kebijakan publik. Dengan demikian, administrasi harus dipisahkan dengan
politik. Pemikiran inilah yang mengilhami munculnya paradigma dikotomi
politik-administrasi. Lebih jauh, dalam tulisannya Wilson mengatakan
bahwa,
Administration is the most obvious part of government; it is the executive,
the operative, the most visible side of government, and is of course as old
as government itself. It is government in action, and one might very
naturally expect to find that government in action had arrested the
attention and provoked the scrutiny of writers of politics very early in the
history of systematic thought.

Dalam pengertiannya yang klasik, administrasi negara dipahami


sebagai implementasi kebijakan yang dibuat oleh pejabat publik,

penggunaan kekuasaan untuk memaksakan aturan untuk menjamin


kebaikan publik dan relasi antara publik dan birokrasi yang telah ditunjuk
untuk melaksanakan kepentingan bersama.[4] Administrasi negara
dibentuk untuk menyelenggarakan kepentingan publik dan melayani
publik. Pada prinsipnya, administrasi negara dibentuk untuk mengabdi
kepada publik dan tidak boleh memihak kepada salah satu kepentingan
politik apapun, dengan alasan apapun. Administrasi negara harus netral
dan tidak partisan agar pelayanan kepada publik dapat dilakukan dengan
adil tanpa membeda-bedakan satus sosial, jabatan dan preferensi politik
seseorang.
Lalu pada titik ini muncul pertanyaan, siapa publik itu? Publik adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat luas dan
kepentingan orang banyak. Publik bisa berarti negara berserta otoritas dan
alat kelengkapannya, organisasi masyarakat sipil, organisasi privat,
organisasi pendidikan, organisasi keagamaan, bahkan organisasi terkecil
seperti RT sekalipun merupakan manifestasi dari publik. Jadi adalah keliru
apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa publik itu hanyalah negara,
di luar negara bukanlah publik. Konsep publik itu sendiri tidak hanya
menjadi monopoli negara, tetapi lebih dari itu publik merupakan domain
yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat secara luas.

Perkembangan Paradigma dan Teori Administrasi Negara


Paradigma merupakan cara pandang sekelompok akademisi tentang
suatu permasalahan atau fenomena sosial. Paradigma digunakan sebagai
alat analisis untuk memotret dan memecahkan masalah-masalah sosial.
Paradigma mencapai statusnya karena paradigma lebih berhasil
memecahkan persoalan-persoalan yang gawat dibandingkan dengan
pesaing-pesaingnya atau para kelompok praktisi.[5] Konsep paradigma
sendiri sebenarnya berasal dari ilmu-ilmu alam yang kemudian diadopsi
oleh scientists ilmu sosial guna memecahkan masalah-masalah sosial
yang semakin rumit.
Administrasi negara juga memiliki paradigma atau cara pandang
yang dapat dibagi berdasarkan konteks waktu kemunculannya. Henry

membagi paradigma administrasi negara atas lima paradigma secara


diakronis. Menurut Henry paradigma dalam administrasi negara terdiri atas:
[6]
1. Dikotomi politik-administrasi (1900-1926)
2. Prinsip-prinsip administrasi (1927-1937)
3. Administrasi sebagai ilmu politik (1950-1970)
4. Administrasi negara sebagai manajemen (1956-1970)
5. Administrasi negara sebagai administrasi Negara (1970-?)

Mencermati pendapat Henry dalam Public Administration and Public


Affairs, terlihat ada keterputusan ide pada paradigma kelima karena Henry
hanya menyebutkan bahwa paradigma kelima dimulai pada tahun 1970,
tetapi tidak jelas berakhir sampai kapan. Bahkan dalam revisi yang keenam
kali terhadap bukunya itu, Henry belum berani mengungkapkan apakah
paradigma administrasi negara sebagai administrasi negara masih relevan
sampai saat ini. Padahal dinamika administrasi negara berlangsung sangat
cepat karena perkembangan zaman yang semakin bergejolak
(turbulence).Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah, apakah
administrasi negara masih berada pada paradigma kelima? Apakah
paradigma kelima masih relevan atau tidak untuk situasi saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tulisan Denhardt dan
Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, yang ditulis
pada tahun 2003, dapat dijadikan sebagai rujukan. Denhardt dan Denhardt
membagi paradigma administrasi negara tersebut atas 3 paradigma
yaitu, Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM)
dan New Public Service (NPS). Paradigma OPA tidak bisa dilepaskan dari
paradigma-paradigma klasik dalam administrasi negara yang dikemukakan
oleh Henry, sedangkan gagasan mengenai NPM dicover dari pemikiranpemikiranentrepreneurial governmentnya Osborne dan Gaebler.
Paradigma yang paling mutakhir dalam administrasi negara menurut
Denhardt dan Denhardt adalah NPS. Secara umum alur pikir NPS

menentang paradigma-paradigma sebelumnya (OPA dan NPM). Dasar


teoritis paradigma NPS ini dikembangkan dari teori tentang demokrasi,
dengan lebih menghargai perbedaan, partisipasi dan hak asasi warga
negara. Dalam NPS konsep kepentingan publik merupakan hasil dialog
berbagai nilai yang ada di tengah masyarakat. Nilai-nilai seperti keadilan,
transparansi dan akuntabilitas merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
dalam pelayanan publik. Paradigma NPS berpandangan bahwa
responsivitas (tanggung jawab) birokrasi lebih diarahkan kepada warga
negara (citizens) bukan clients, konstituen (constituent) dan bukan pula
pelanggan (customer). Pemerintah dituntut untuk memandang
masyarakatnya sebagai warga negara yang membayar pajak. Dalam suatu
negara yang menganut paham demokrasi, sebenarnya warga negara tidak
hanya dipandang sebagai customer yang perlu dilayani dengan standar
tertentu saja, tetapi lebih dari itu, mereka adalah pemilik (owner)
pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut.[7]

New Public Service-Bisa kah diterapkan di Indonesia


09:11

Dian Prihantini Prihantini


0
Berpikir strategis, Bertindak demokratis
Kebijakan dan program yang berisi kebutuhan masyarakat akan efektif dan
bertanggung jawab dapat dicapai melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. Dalam
New Public Management, ide ini tidak hanya untuk membangun visi dan kemudian
meninggalkan pelaksanaannya kepada masyarakat dalam pemerintahan, melainkan
untuk bergabung bersama semua pihak dalam proses merancang dan melaksanakan
program-program yang akan bergerak ke arah yang diinginkan.
Pemerintah tidak dapat menciptakan masyarakat; tetapi lebih khusus, kepemimpinan
politik dapat meletakkan dasar bagi tindakan warga negara yang efektif dan
bertanggung jawab. Cara terbaik untuk melakukannya adalah untuk menciptakan
peluang bagi partisipasi dan kolaborasi dalam mencapai kepentingan publik. Tujuan
kemudian adalah untuk memastikan bahwa pemerintah terbuka dan dapat diakses,
bahwa itu adalah responsif, dan yang sudah beroperasi untuk melayani warga negara
dan menciptakan peluang untuk kewarganegaraan dalam semua tahap proses
kebijakan.
Implementasi dalam Perspektif Sejarah
Meskipun perhatian telah diberikan kepada implementasi kebijakan selama tiga dekade
terakhir, melakukan pemetaan batasan teori implementasi tetap sulit. Kebingungan ini
sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa penelitian implementasi terus tumpang
tindih dan menarik banyak dari teori organisasi, pengambilan keputusan, perubahan
organisasi, dan hubungan antar pemerintah.

Penelitian generasi pertama mengenai implementasi, oleh Wildavsky dan Pressman,


diasumsikan proses kebijakan linear top-down yang didorong oleh undang-undang dan
maksud dari pejabat terpilih. Model Topdown dimulai dengan keputusan pembuat
kebijakan, biasanya dinyatakan dalam bahasa hukum, dan kemudian menjadi proses
kebijakan. Model ini mengasumsikan implementasi yang seharusnya menjadi proses
kebijakan arahan linear dijabarkan ke dalam program kegiatan dengan sedikit mungkin
deviasi.
Dalam pelaksanaan penelitian generasi kedua, asumsi top-down dirubah. Karena
ketidakpuasan dengan teori perspektif top-down untuk mengembangkan sejumlah
model pada pelaksanaan bottom up.
Pada penelitian generasi ketiga, pertanyaan semakin berfokus pada desain kebijakan
dan jaringan kebijakan dan implikasinya terhadap bagaimana implementasi Sukses"
yang paling tepat dievaluasi. Dengan kata lain, ada peningkatan pengakuan bahwa cara
di mana program dan kebijakan dirancang menentukan bagaimana, dan seberapa
berhasil, mereka akan diimplementasikan dalam jaringan kebijakan tertentu.
Dalam Old Public Administration ada sedikit perbedaan antara proses administrasi dan
proses implementasi. Penyebabnya adalah adanya asumsi :
1. Bahwa proses implementasi kebijakan adalah top-down, hirarkis, dan searah.
2. Karena pengaruh manajemen ilmiah dan penekanan pada organisasi formal, fokus
pada pengendalian perilaku sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah .
3. Implementasi yang bukan merupakan bagian dari proses kebijakan.
Dua pendekatan utama untuk pelaksanaan dari New Public Management adalah
privatisasi dan produksi bersama. Seperti disebutkan sebelumnya, privatisasi
merupakan ciri dari New Public Management. Dengan demikian pemerintah bisa lebih
efektif, efisiensi, ekuitas atau akuntabilitas.
Brudney dan England (1983), berpendapat bahwa coproduction yang terbaik untuk
mengurangi biaya dan meningkatkan kinerja jika didasarkan pada kerjasama sukarela

pihak warga, dan perilaku aktif bukan pasif . Dengan kata lain, dalam New Public
Management, keterlibatan warga menyangkut "perilaku produktif yang dapat
meningkatkan tingkat dan kualitas layanan yang diberikan .
Dalam New Public Service, fokus utama implementasi adalah keterlibatan warga dan
pembangunan komunitas. Warga tidak diperlakukan untuk terlalu campur tangan
dengan pelaksanaan, mereka juga tidak digunakan sebagai alat untuk pengurangan
biaya. Sebaliknya, keterlibatan warga dipandang sesuai dan perlu bagian dari
implementasi kebijakan dalam demokrasi.
Dari berbagai penjelasan yang ada maka dapat dilihat beberapa perbedaan mendasar
teori NPM dan NPS. NPM menekankan pada teori ekonomi sedangkan NPS pada teori
demokrasi dan beragam pendekatan lain.

NPM menekankan kepentingan individual

sedangkan NPS mengutamakan kepentingan bersama. Karena melihat pengguna


sebagai konsumen akibatnya yang dilihat adalah kepuasan masing-masing pelanggan,
bukan kepentingan bersama seperti dalam NPS yang melihatnya sebagai warga negara
yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Kenali Akuntabilitas yang Bukankah Sederhana?
Pertanyaan tentang akuntabilitas dalam pelayanan publik adalah kompleks, melibatkan
keseimbangan persaingan norma dan tanggung jawab dalam jaringan kontrol eksternal
rumit, standar profesional, referensi warga negara; moral yang isu, hukum publik, dan
pada akhirnya, kepentingan publik. Kepada siapa harus manajer publik bertanggung
jawab? Jawabannya adalah setiap'orang

Akuntabilitas pada Old Public Administration


Pandangan formal, hirarkis, dan hukum pertanggungjawaban mencirikan Old Public
Administration dan tetap, dalam beberapa hal, model yang paling akrab untuk melihat
tanggung jawab administratif dan akuntabilitas. Pandangan akuntabilitas bergantung
pada asumsi bahwa administrator tidak harus latihan sejumlah besar kebijaksanaan.
Akuntabilitas pada New Public Management
1. Pada New Public Management, asumsinya adalah bahwa birokrasi tradisional tidak
efektif karena mengukur kontrol input daripada hasil.
2. Masyarakat adalah sebagai pasar terdiri dari individu pelanggan yang masing-masing

bertindak dalam perilaku untuk melayani kepentingan diri mereka. Dengan cara
ini,lembaga publik tidak bertanggung jawab, baik secara langsung maupun tidak
langsung, untuk warga negara atau kepentingan publik atau umum.
3. Dalam pandangan dominan terhadap akuntabilitas administratif disarankan dalam
perspektif Manajemen Publik Baru adalah ketergantungan pada privatisasi.
Akuntabilitas New Public Service
Ukuran efisiensi dan hasil yang penting, tetapi mereka tidak dapat mengatasi atau
mencakup seluruh harapan untuk administrator publik untuk bertindak bertanggung
jawab, etis, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kepentingan umum.
Dalam NPS, cita-cita dankepentingan kewarganegaraan berada di tengah . NPS
mengakui bahwa menjadi pegawai negeri adalah menuntut, menantang, kadangkadang heroik berusaha melibatkan akuntabilitas kepada orang lain, kepatuhan
terhadap hukum, moralitas, penghakiman, dan tanggung jawab.

Melayani Bukannya Mengarahkan


Hal yang semakin penting bagi pegawai publik untuk berbagi, kepemimpinan berbasis
nilai dalam membantu warga menjelaskan dan memenuhi kepentingan bersama
daripada mencoba untuk mengontrol atau mengarahkan masyarakat ke arah baru.
Mengubah Perspektif Kepemimpinan
Kepemimpinan tradisional model top-down jika kita kaitkan dengan kelompok-kelompok
seperti militer sudah ketinggalan jaman dan tidak mampu dalam masyarakat modern.
Kepemimpinan berubah dalam banyak hal, dan kita harus memperhatikan orang-orang
perubahan.
Di model tradisional top-down dari kepemimpinan organisasi, pemimpin adalah orang
yang menetapkan visi kelompok, cara yang dirancang untuk mencapai itu visi, dan
terinspirasi atau dipaksa orang lain ke dalam membantu untuk mewujudkan visi
tersebut. Tapi kian banyak orang dalam organisasi ingin terlibat, mereka ingin sepotong
tindakan. Selain itu, klien atau warga negara juga ingin berpartisipasi, sebagaimana
mestinya.
Pandangan yang berlaku kepemimpinan dalam OPA adalah didasarkan pada model
manajemen eksekutif. Di New Public Management, kebutuhan akan kepemimpinan
setidaknya sebagian terhalang oleh aturan-aturan keputusan dan insentif. Dalam kasus

tersebut, kepemimpinan tidak berada dalam diri seseorang, melainkan agregasi pilihan
individu menggantikan kebutuhan untuk beberapa fungsi kepemimpinan.
NPM melihat kepemimpinan dalam hal tidak manipulasi individu maupun manipulasi
insentif. Sebaliknya, kepemimpinan dipandang sebagai bagian alami dari pengalaman
manusia, tunduk baik rasional dan kekuatan intuitif, dan peduli dengan memfokuskan
energi manusia pada proyek-proyek bermanfaat
Dalam NPS, kepemimpinan didasarkan pada nilai-nilai dan dibagi seluruh organisasi dan
dengan masyarakat. Perubahan dalam konseptualisasi peran administrator publik
memiliki implikasi yang mendalam untuk jenis tantangan kepemimpinan dan tanggung
jawab yang dihadapi oleh masyarakat pegawai. Pertama, administrator publik harus
mengetahui dan mengelola lebih dari hanya persyaratan dan sumber daya dari program
mereka. Sempit pandangan tidak sangat membantu warga yang dunianya tidak mudah
dibagi oleh program departemen dan kantor.
Untuk melayani warga, maka, administrator publik tidak hanya harus tahu dan
mengelola sumber daya mereka sendiri, mereka juga harus menyadari dan terhubung
sumber-sumber lain dari dukungan dan bantuan, melibatkan warga dan masyarakat
dalam proses. Mereka tidak berusaha untuk mengontrol, juga tidak menganggap bahwa
Nilai Rakyat, Bukan Hanya Produktivitas
Organisasi publik dan jaringan di mana mereka berpartisipasi lebih mungkin untuk
berhasil dalam jangka panjang jika mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan
kepemimpinan bersama didasarkan pada penghormatan bagi semua orang.
Dalam pendekatan manajemen dan organisasi, NPS menekankan pentingnya
pengelolaan melalui orang. Sistem perbaikan produktivitas , proses rekayasa ulang, dan
pengukuran kinerja dilihat sebagai alat penting dalam merancang sistem manajemen.
Tapi NPS menunjukkan bahwa upaya rasional tersebut untuk mengontrol perilaku
manusia cenderung gagal dalam jangka panjang jika, pada saat yang sama, perhatian
memadai diberikan kepada nilai-nilai dan kepentingan masing-masing anggota dari
sebuah organisasi.
Old Public Administration menggunakan kontrol untuk mencapai Efisiensi didasarkan

pada gagasan bahwa efisiensi adalah Nilai unggul dan bahwa orang tidak akan menjadi
produktif dan bekerja keras kecuali Anda membuat mereka. Dalam pandangan ini,
pekerja akan menjadi produktif hanya jika mereka diberi insentif moneter, dan ketika
mereka percaya bahwa manajemen dapat dan akan menghukum mereka karena kinerja
yang buruk. Karyawan motivasi tidak dianggap dalam cara yang langsung.
New Public Management menggunakan Insentif untuk mencapai Produktivitas . Seperti
yang kita lihat sebelumnya, teori public choice didasarkan pada sejumlah penting
asumsi tentang perilaku orang dan cara terbaik untuk mengelola itu perilaku untuk
mencapai tujuan kebijakan publik. Teori principal agent berlaku asumsi ini untuk
menjelaskan hubungan antara eksekutif dan pekerja dalam sebuah organisasi
menggunakan kontrak metafora. Karena tujuannya adalah efisiensi, pertanyaannya
kemudian menjadi suatu pendekatan apa yang paling murah yang dapat digunakan
organisasi untuk menjaga karyawan mencari sendiri, bukan organisasi, tujuan dan
memverifikasi bahwa mereka melakukannya.
New Public Service menghargai pelayanan publik yang ideal dengan asumsi tentang
motivasi dan penanganan orang-orang di NPS berbeda dengan OPA dan New Public
Management. Manajer sektor publik memiliki tanggung jawab khusus dan kesempatan
yang unik untuk memanfaatkan "jantung" dari pelayanan publik. Orang-orang tertarik
terhadap pelayanan publik karena mereka termotivasi oleh nilai-nilai pelayanan publik.
Nilai-nilai-untuk melayani orang lain, untuk membuat dunia lebih baik dan lebih aman,
dan untuk membuat demokrasi bekerja-mewakili yang terbaik dari apa artinya menjadi
warga negara di pelayanan masyarakat.
Sebuah kerangka teoritis yang memberikan prioritas penuh untuk demokrasi,
kewarganegaraan, dan pelayanan untuk kepentingan umum. Yang telah disebut
kerangka New Public Service. NPS menawarkan alternatif penting dan layak untuk baik
tradisional dan model managerialist sekarang yang dominan dalam manajemen publik .
Ini merupakan alternatif yang telah dibangun atas dasar eksplorasi teoritis
dan inovasi praktis dalam lembaga-lembaga publik. Hasilnya adalah model normatif,
sebanding dengan model seperti lainnya.
Model New Public Service berdasarkan kewarganegaraan, demokrasi, dan pelayanan

untuk kepentingan umum sebagai alternatif model sekarang dominan didasarkan pada
teori ekonomi dan kepentingan. Sementara perdebatan antara teori akan terus dan
sementara praktisi administrasi akan menguji dan mengeksplorasi kemungkinankemungkinan baru, penting untuk mengakui bahwa ini bukan hanya perdebatan abstrak

Permasalahan Birokrasi Indonesia


27 Desember 2010SWAMANDIRI.wordpress.COMTinggalkan KomentarGo to comments

Sumber: transparansi.or.id

Birokrasi di Indonesia memiliki posisi dan peran yang sangat strategis.


Birokrasi menguasai banyak aspek dari hajat hidup masyarakat. Mulai dari urusan
kelahiran, pernikahan, perizinan usaha sampai urusan kematian, masyarakat tidak
bisa menghindar dari birorkasi. Ketergantungan masyarakat sendiri terhadap
birokrasi juga masih sangat besar.
Ditinjau dari aspek kebudayaan, aparatur birokrasi memiliki status sosial yang
tinggi di tengah masyarakat. Status sosial tersebut merupakan aset kekuasaan,
karena orang cenderung mau tunduk pada orang lain yang memiliki status sosial
lebih tinggi.
Dalam kaitan penyelenggaraan pemerintahan, dengan sifat dan lingkup
pekerjaannya, birokrasi menguasai aspek-aspek yang sangat luas dan strategis.
Birokrasi menguasai akses-akses sumber daya alam, anggaran, pegawai, proyekproyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki pihak
lain.
Dengan posisi dan kemamampuan besar yang dimilikinya tersebut, birokrasi bukan
saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara
teknis, tetapi juga mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia
usaha. Birokrasi dengan aparaturnya juga memiliki berbagai keahlian teknis yang
tidak dimiliki oleh pihak-pihak non birokrasi, seperti dalam hal perencanaan
pembangunan, pengelolaan infrastruktur, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan
transportasi dan lain-lain.
Birokrasi di Indonesia juga memegang peranan penting dalam perumusan,
pelaksanaan, dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi
kinerjanya. Dari gambaran di atas nyatalah, bahwa birokrasi di Indonesia memiliki
peran yang cukup besar. Besarnya peran birokrasi tersebut akan turut menentukan
keberhasilan
pemerintah
dalam
menjalankan
program
dan
kebijakan
pembangunan.

Jika birokrasi buruk, upaya pembangunan akan dipastikan mengalami banyak


hambatan. Sebaliknya, jika birokrasi bekerja secara baik, maka program-program
pembangunan akan berjalan lebih lancar. Pada tataran ini, birokrasi menjadi
salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
Di tengah posisinya yang cukup strategis, birokrasi di Indonesia sulit menghindar
dari berbagai kritik yang hadir yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.

Buruknya pelayanan publik


Besarnya angka kebocoran anggaran negara
Rendahnya profesionalisme dan kompetensi PNS
Sulitnya pelaksanaan koordinasi antar instansi
Masih banyaknya tumpang tindih kewenangan antar instansi, aturan yang
tidak sinergis dan tidak relevan dengan perkembangan aktual, dan masalahmasalah lainya.
6.
Birokrasi juga dikenal enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan
terlalu dominan, sehingga hampir seluruh urusan masyarakat membutuhkan
sentuhan-sentuhan birokrasi
7.
Tingginya biaya yang dibebankan untuk pengurusan hal tertentu baik yang
berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu yang lama, banyaknya pintu
layanan yang harus dilewati dan tidak berperspektif pelanggan.
Dalam survei Doing Business 2009 yang dibuat oleh International Finance
Corporation (IFC) di 181 negara, Indonesia berada pada urutan 129. Survei yang
dilakukan terhadap 10 indikator berusaha, yaitu: starting a business, dealing with
construction permits, employing workers,registering property, getting credit,
dan protecting investor.
Selain itu paying taxes, trading across borders, enforcing contract serta closing a
business. Dari kesepuluh indikator tersebut, Indonesia hanya mengalami
kemudahan berusaha dalam halgetting credit, yakni kemudahan memperoleh kredit
yang merupakan buah kerja Bank Indonesia yang mememberikan kemudahan dan
informasi institusi keuangan, termasuk profil risiko peminjam.
Posisi Indonesia berada jauh di bawah Thailand yang menduduki peringkat 13,
Malaysia di urutan 20, dan Vietnam posisi ke 92. Indonesia hanya sedikit di atas
Kamboja dengan peringkat 135 dan Filipina dengan urutan 140. ASEAN perlu
berbangga karena negeri jiran, Singapura, mempertahankan posisinya di peringkat
pertama, disusul urutan berikutnya Selandia Baru, AS, Hong Kong, dan Denmark.
R Nugroho Dwijowiyoto (2001) menyatakan kondisi riil birokrasi Indonesia saat ini,
digambarkan sebagai berikut :
1.

Secara generik, ukuran keberhasilan birokrasi sendiri sudah tidak sesuai


dengan tuntutan organisasional yang baru. Di Indonesia, birokrasi di departemen

atau pemerintahan paling rendah, yang diutamakan adalah masukan dan proses,
bukan hasil. Karenanya, yang selalu diperhatikan oleh para pelaku birokrasi adalah
jangan sampai ada sisa pada akhir tahun buku.
2.
Birokrasi kita tidak pernah menyadari bahwa ada perubahan besar di dunia.
Di mana semua hal harus mengacu kepada pasar, bisnis harus mengacu kepada
permintaan pasar, dan kalau mau berhasil dalam kompetisi ia harus mampu
melayani pasar. Pasar birokrasi adalah seluruh masyarakat, yang dilayani oleh
birokrasi bukannya pejabat pemerintahan atau pimpinan birokrasi itu sendiri, tetapi
rakyat.
Birokrasi sangatlah commanding dan sentralistik, sehingga tidak sesuai dengan
kebutuhan zaman mondial kini dan masa depan, di mana dibutuhkan kecepatan
dan akurasi pengambilan keputusan.

Anda mungkin juga menyukai