Pendahuluan
Paradigma menjadi konsep yang banyak menarik perhatian kalangan ilmuwan dan
cendekiawan di Amerika Serikat sejak Thomas Kuhn di awal 1960-an menerbitkan bukunya
yang monumental dalam perkembangan sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan, berjudul “The
Structure of Scientific Revolution”.
Sungguh pun contoh terhadap pandangan paradigma Kuhn dan latar belakang Kuhn
sendiri adalah bidang ilmu pengetahuan alam, namun pandangan paradigmatis Kuhn banyak
mempengaruhi pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial termasuk sosiologi,
ekonomi, dan administrasi negara. Di Indonesia, kata atau konsep paradigma mulai secara
lebih populer digunakan di sekitar awal tahun 1980-an; juga dalam lingkup studi
pembangunan, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan ekonomi dan administrasi negara.
Analisis “paradigmatis” itu sendiri, baik di luar Indonesia maupun di Indonesia agaknya
sudah berkembang jauh sebelum terbitnya buku Thomas Kuhn tersebut di atas
(Mustopadidjaja AR, 2003).
Makna Paradigma
Menurut Mustopadidjaja (2003), paradigma merupakan kata yang berasal dari bahasa
Yunani Paradeigma, yang berarti “model, pola, atau contoh”. Dalam perkembangan
kemudian terdapat beberapa pandangan tentang makna dan unsur paradigma. Dalam buku
Kuhn itu sendiri terdapat sekitar 21 pengertian (Mastermann, 1970 : 59-89), di antaranya
diartikannya paradigma sebagai “a framework of basic assumptions – including standards for
determining the validity of knowledge, rules of evidence and inference, and basic principles
of cause and effects – shared by a scientific community”, (Kuhn, 111 – 35; dan Harmon, 1981
: 12). Kuhn juga menulis bahwa scientific paradigms are “accepted examples of actual
scientific practice, examples which includelaws, theory, application, and instrumentation
together – (that) provide models from which spring particular coherent traditions of scientific
research”. Marilyn Ferguson (1980) mendefinisikan paradigma sebagai “a framework of
thought a scheme for understanding and explaning certain aspects of reality”.
Dalam uraian ini penulis cenderung untuk secara sederhana mengartikan paradigma
sebagai “teori dasar” atau “cara pandang” yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu,
dan berisikan teori pokok, konsep asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dapat
dipergunakan para teoritis dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam
kaitan pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan permasalahan bagi kemajuan
hidup dan kehidupan kemanusiaan” (Mustopadidjaja AR. 1985).
1. Core Strategy (Strategi inti). Menata kembali secara jelas mengenai tujuan, peran, dan
arah organisasi.
2. Consequence Strategy(Strategi Konsekuensi). Strategi yang mendorong “persaingan
sehat” guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai, melalui penerapan Reward and
Punishment dengan memperhitungkan resiko ekonomi dan pemberian penghargaan.
3. Customer strategy (Strategi pelanggan). Memusatkan perhatian untuk bertanggung
jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan dan memberikan
kepastian mutu bagi pelanggan.
4. Control strategy (Strategi kendali). Merubah lokasi dan bentuk kendali dalam
organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah yaitu pelaksana
atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi dan misi yang telah
ditentukan. Dengan demikian terjadi proses pemberdayaan organisasi, pegawai, dan
masyarakat.
5. Cultural strategy(Strategi Budaya). Merubah budaya kerja organisasi yang terdiri dari
unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan masyarakat terhadap
budaya organisasi publik ini berubah (tidak lagi memandang rendah).
Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa pembangunan
birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk
mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat
mengarahkan (steering) dari pada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi,
memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan memekankan budaya organisasi yang
lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil ketimbang budaya taat asas,
orientasi pada proses dan input (Rosenbloom & Kravchuck, 2005).
Menurut Asmawi Rewansyah (2010) bertitik tolak dari doktrin, prinsip-prinsip dan
cirri-ciri dari paradigma NPM, maka nampaknya paradigma NPM lebih cocok untuk
merformasi sektor perekonomian. Dalam bidang perekonomian, pemerintah harus
berjiwa entrepreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
sekaligus kesejahteraan masyarakat demokratis dan kurang diperhatikannya peran
kepemimpinan (leadership) dalam suatu organisasi, sehingga paradigma NPM bergeser ke
paradigma New Public Service (NPS).
King dan Stivers (1998) dalam buku Government is Us, mendesak agar para
administrator melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat rakyat sebagai warga
Negara (bukan sebagai pelanggan), sehingga dapat saling membagi otoritas dan
melonggarkan kendali, serta percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus
membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat,
dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. NPS
mengutamakan keterlibatan warga masyarakat yang harus dilihat sebagai “investasi” yang
signifikan.
Keberhasilan dalam penerapan konsep standar dan kualitas pelayanan publik yang
minimal memerlukan dimensi yang mampu mempertimbangkan realitas. Ada sepuluh
dimensi untuk mengukur keberhasilan tersebut;(1) Tangable; yang menekankan pada
penyediaan fasilitas, fisik, peralatan, personil, dan komunikasi. (2) Reability; adalah
kemampuan unit pelayanan untuk menciptakan yang dijanjikan dengan tepat. (3)
Responsiveness; kemauan untuk membantu para provider untuk bertanggungjawab terhadap
mutu layanan yang diberikan. (4)Competence; tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan dan
keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan. (5) Courtessy; sikap atau
perilaku ramah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan pelanggan serta mau melakukan
kontak atau hubungan pribadi. (6) Credibility; sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik
kepercayaan masyarakat. (7) Security; jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin dan bebas
dari bahaya dan resiko. (8) Acces; terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan
pendekatan. (9) Communication; kemaun pemberi layanan untuk mendengarkan suara,
keinginan, atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan
informasi baru kepada masyarakat. (10) Understanding the customer; melakukan segala
usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan .
Sepuluh konsep ini mempertegas bagaimana model manajemen penyediaan
standarisasi pelayanan publik dalam mengelola sektor-sektor publik yang lebih partisipatif,
transparan, dan akuntabel. Suksesnya sebuah penyelengaaraan pelayanan publik secara ideal
menetapkan(1) Tujuan; para pejabat publik harus mengetahui apa yang menjadi gagasan
pokok, tujuan tersebut harus mengakar secara mendalam dari tindakan sehari-hari dan
perencanaan jangka panjang organisasi yang bersangkutan, para penyelenggara pelayanan
publik sepanjang waktu harus mencontohi misi dan para ”street level bureaucracy”
dikendalikan untuk melakukann hal tersebut. (2) Karakter; para penyelenggara pelayanan
memiliki perasaan yang kuat tentang siapa mereka dan apa yang terpenting. Karakter
organisasi diturunkan dari kesepakatan kepercayaan yang kuat, dikomunikasikan secara
internal dan eksternal melalui aktivitas terpusat secara prinsip. Aparat birokrat sebagai
pelayanan memancarkan integritas,kepercayaan, kepedulian, keterbukaan, dan secara krusial
sebuah hasrat untuk belajar. (3) Keputusan; organisasi yang melakukan segala sesuatu,
pencapaian atas tujuan dan mendemonstrasikan karakter melalui penggunaan aturan yang
luas atas perangkat manajemen.
Organisasi yang memiliki inovasi di dalam sebuah era yang tidak pernah berhenti
melakukan perubahan, mewujudkan bahwa perangkat dan teknik yang mereka kerjakan
bermakna dalam memiliki batas akhir. Kerjasama kelompok merupakan elemen yang esensial
. Mewujudkan standar pelayanan publik yang partisipatif, kesamaan hak, keterbukaan dan
akuntabel sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, memerlukan pernyataan kedua pihak baik lembaga pemerintahan maupun
warga negara. Artinya untuk dapat melaksanakan stándar pelayanan publik tersebut, para
provider and user, harus membuat kesepakatan secara demokratis atau dengan sistem (citizen
charter), yang berorientasi visi dan misi pelayanan, standar yang berlakukan (mulai dari
jadwal, lamanya pelayanan, ruang pelayanan, alur pelayanan, hak dan kewajiban provider
and user, sanksi –sanksi bagi provider and user, serta saran, kritik, dan metode keluhan yang
disampaikan user kepada provider.
Penutup
Dengan demikian dari paradigma the new public service yang dipaparkan diatas,
penulis berpendapat bahwa semua ini menekankan pada partisipasi warga negara dalam
merumuskan program-program layanan publik yang berpihak pada kebutuhan warga negara,
memiliki hak yang sama, memberi ruang bagi partisipasi publik dan transparansi para
penyedia layanan dalam menghadapi warga negara, akuntabilitas sesuai dengan program,
norma dan implementasi yang dijalankan lembaga birokrasi selama ini.
Paradigma pelayanan publik minimal yang harus diterapakan provider kepada user
adalah akumulasi berbagai program yang berorientasi pada pilihan sekaligus suara publik
sebagai cerminan dari perjuangan yang digalakkan pemerintah menuju paradigma pelayanan
publik yang mau mendengar suara warga negara sebagai bahan pertimbangan dalam
memutuskan setiap kebijakan pelayanan publik, termasuk didalamnya pelayanan perijinan
dan sejenisnya. Semoga berhasil.