Anda di halaman 1dari 10

1.

Silahkan anda uraikan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan
manajemen publik, dan coba rumuskan dengan versi anda sendiri apa yang
dimaksud dengan manajemen publik. kemudian coba anda analisis mengenai
perkembangan teori manajemen yang ada pada ADPU 4130 Modul 4 Kegiatan
Belajar 2! (petunjuk: mahasiswa menguraikan dahulu tentang manajemen Publik,
kemudian berikan analisis mengenai perkembanagn teori manajemen !)
JAWAB :
Manajemen publik merupakan cabang keilmuan dari administrasi publik yang
membahas mengenai restrukturisasi organisasi, sistem penganggaran, manajemen
sumberdaya dan evaluasi program. Konsep manajemen publik sangat bergantung pada
situasi dan kondisi lingkungan yang ada sehingga dapat berfungsi dengan baik. Dalam
buku ini dijelaskan juga mengenai teori-teori utama dalam manajemen publik,
diantaranya Teori kelembagaan baru (New Institusionalism Theory), Teori Pilihan Publik
(Publik Choice Theory) dan Principal Agent Theory. Pada teori manajemen, terdapat
konsep manajemen tradisional dan kontemporer pada sektor publik yang kemudian
diaplikasikan pada fungsi utama manajemen yaitu PODSCORB (Planning, Organizing,
Staffing, Directing, Coordinating, Reporting, Budgeting).
Analisis perkembanagn teori manajemen Aliran manajemen kuantitatif
seringkali dirujuk sebagai manajemen ilmiah, meski dalam aliran ini kita masih
bisa mengenali 3 fokus yang berbeda, yakni, management science, operation
research, dan manajemen information sistem (MIS). Fokus utamanya pada proses-
proses dalam manajemen yang menggunakan teknik-teknik matematika dan statistik.
Maka dari itu, manajemen sains menggunakan prinsip model matematika dalam
menyelesaikan seluruh persoalan manajemen.
Ada 4 (empat) alasan mempelajari teori manajemen antara lain :
1) Teori mengarahkan keputusan Manajemen.
Mempelajari teori membantu mamahami proses yang pokok
dandapat memilih suatu tindakan yang efektif.
Pada hakikatnya suatu teori merupakan kelompok asumsi-
asumsiyang koheren/ logis, yang menjelaskan antara dua
atau lebih fakta yang dapat di observasi. Teori yang
absah,dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada situasi tertentu.
Dengan pengetahuan ini, dapat menerapkan teorimanajemen yang
berbeda terhadap situasi yang berbeda.
2) Teori membentuk pandangan kita mengenai organisasi.Mempelajari
teori manajemen juga memberi petunjuk kepada kita dimana
kita mendapatkan beberapa idemengenai organisasi dan manusia
didalamnya.
3) Teori membuat kita sadar mengenai lingkungan usaha.Dengan
mempelajari teori, kita dapat melihat bahwa setiap teori
adalah hasil dari lingkungannya –
social,e k o n o m i , p o l i t i k d a n k e k u a t a n t e k n o l o g i y a n g a d
a pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa tertentu.
Pengetahuan ini akan membantu kita memehami apa sebabnya
teori tertentu cocok terhadap keadaan yang berbeda.
4) Teori merupakan suatu sumber ide baru.Teori memungkinkan kita
pada suatu kesempatan mengambil pandangan yang berbeda dari
situasi sehari-hari.Pendekatan “electic”, yaitu praktek meminjam
prinsip-prinsip dari teori yang berbeda, seperti yang diperlukanoleh
keadaan “State of the Art” dalam teori dan praktek manajemen.

2. Silahkan uraikan dahulu mengenai ciri dari new public management , kemudian
dalam new public management ada istilah “ spirit usaha dalam birokrasi” silahkan
analisis mengenai apa yang dimaksud dengan spirit usaha dalam birokrasi tersebut,
apakah cocok diterapkan dalam birokrasi di negara kita! (Petunjuk: uraikan
terlebih dahulu mengenai ciri dari new public management, kemudian analisis
mengenai pernyataan dalam reinventing government menganai spirit usaha dalam
birokrasi, bagaimana praktik nya di negara kita).
Jawab :

Secara umum New Public Management (NPM) memiliki ciri-ciri berikut:

1) Pengendalian yang berorientasi pada persaingan dengan cara


pemisahan wewenang antara pihak yang memberi dana dan pihak pelaksana tugas

2) Pemfokusan pada efektifitas, efisiensi dan mutu pelaksanaan tugas

3) Pemisahan manajemen strategis dari manajemen operasional dalam pemberian


order dan anggaran umum

4) Pelaksana order swasta dan pemerintah diperlakukan sama.

5) Adanya upaya meningkatkan inovasi yang terarah (sebagai bagian dari order
kerja) karena adanya pendelegasian (bukan
hanya desentralisasi) manajemen operasional.

Menurut C. Hood (1991) terdapat 7 karakteristik New Public Management, yaitu:

1) Hands-on professional management. Pelaksanaan


tugas manajemen pemerintahaan diserahkan kepada manajer professional.
2) Explicit standards and measures of performance. Adanya standar dan
ukuran kinerja yang jelas.
3) Greater emphasis on out put controls. Lebih ditekankan pada control
hasil/keluaran.
4) A shift to desegregations of units in the public sector. Pembagian tugas ke
dalam unit-unit yang dibawah.
5) A shift to greater competition in the public sector. Ditumbuhkannya
persaingan ditubuh sektor publik.
6) A stress on private sectore styles of management practice. Lebih
menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor privat.
7) A stress on greater discipline and parsimony in resource use. Lebih
menekankan pada kedisiplinan yang tinggi dan tidak boros dalam
menggunakan berbagai sumber. Sektor publik seyogjanya bekerja lebih
keras dengan sumber-sumber yang terbatas (to do more with less).

How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor”


mencoba untuk menemukan kembali pemerintahan dengan mengembangkan
konsep pemerintahan yang bergaya wirausaha (Enterpreneurial Government).
Esensi dasar yang sangat strategis dari pemikiran Osborne dan Ted tersebut
berkaitan erat dengan birokrasi pemerintahan yang tidak lagi berorientasi pada
budaya sentralisasi, strukturalisasi, formalisasi dan apatistik melainkan pada
desentralisasi pemberdayaan, kemitraan, fungsionalisasi dan demokratisasi.
Fungsi pemerintahan yang moderen strateginya harus diarahkan pada daya
dukung dan daya dorong untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam
proses kebijakan, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
Selanjutnya Osborne (1996) mengungkapkan sesuatu yang perlu menjadi
pegangan dalam menerapkan prisip-prinsip kewirausahaan bahwa organisasi
bisnis tidak bisa disamakan dengan lembaga pemerintah dan memang terdapat
banyak perbedaan satu dengan yang lainnya. Pemerintah tidak dapat dijalankan
seperti sebuah bisnis, tentu saja tidak berarti bahwa pemerintah tidak bisa bergaya
wirausaha. Menurut Mohammad (2006) bahwa pemerintah wirausaha adalah
pemerintah yang mampu menghadirkan kebijakan yang berorientasi pada warga
negara. Kebijakan tersebut memiliki nilai strategis karena akan menghasilkan
dividen yaitu berupa dukungan dari warga negara. Untuk melakukan percepatan
dan perbesaran deviden yang berupa dukungan dari konstituen adalah merupakan
persaingan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan juga menghadirkan
problem solving regulation agar lembaga itu dapat memfokuskan pada tiga tugas
utama yaitu: menanggapi keluhan warganegara dengan cepat, melakukan
pemeriksaan rutin, seta menghukum para pelanggar aturan.
3. Menurut Max Weber, birokrasi mendasarkan diri pada hubungan antara
kewenangan menempatkan dan mengangkat pegawai bawahan dengan menentukan
tugas dan kewajiban masing-masing, dan perintah dilakukan secara tertulis, ada
pengaturan mengenai hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian
didasarkan dari aturan-aturan tertentu. Sumber: ADPU 4130/5 hal 5.11
Soal: Berdasarkan padangan birokrasi mengenai Max Weber diatas
bagaimana penerapannya dalam suatu birokrasi yang ada di pemerintahan kita,
tentukan menurut pandangan anda apa yang sering menjadi permasalahan dalam
birokrasi yang ada di pemerintah kita! (petunjuk : silahkan tentukan analisis
konsep birokrasi Weber dengan praktiknya yang ada di negara kita atau satu
contoh birokrasi (missal perekrutan pegawai, pendafataran BPJS Kesehatan,
pendaftaran mahasiswa baru, proses pembuatan KTP dll) apakah sesuai dengan
pengertian birokrasi menurut weber dan identifikasi permasalahan yang ada
terkait dengan birokrasi di negara kita !)
Jawab:
Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi secara jelas berdiri sendiri, tetapi
hanya mengemukakan ciri-ciri, gejala-gejala, proposisi-proposisi dan dari pengalaman
yang ia lihat sehari-hari. Dari kesemuannya ini para pembaca dapat menafsirkan
pengertian birokrasi yang dimaksudkan oleh Weber, termasuk karakteristiknya yang
khusus, dipandang sebagai bentuk birokrasi yang paling rasional. Konsep umum birokrasi
yang dikemukakan oleh Weber dibentuk melalui kesimpulan dari sejumlah besar bagian-
bagian kiasan yang dibuatkannya untuk itu. Salah satu petunjuk bagi konsep umum
Weber tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi patrimonial, di samping
jenis birokrasi lain, yaitu birokrasi rasional. Birokrasi patrimonial berbeda dengan tipe
birokrasi rasional. Birokrasi patrimonial diangkat berdasarkan kriteria subjektif karena
ada hubungan emosional dengan pejabat yang mengangkat, sedangkan birokrasi rasional
diangkat berdasarkan kriteria objektif, yakni syarat-syarat yang sudah ditetapkan lebih
dahulu sebelum seseorang masuk menjadi pegawai pemerintah. Konsep tentang pejabat
merupakan dasar bagi adanya birokrasi menurut Weber, hal ini terlihat dari seringnya
Weber dalam berbagai kesempatan menggunakan Beamtentum (staf pegawai), sebagai
suatu alternatif bagi pengertian birokrasi. Weber banyak sekali menulis tentang
kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya pejabat merupakan sebuah tipe
peranan sosial yang makin penting. Weber mengatakan ada ciri-ciri peranan yang terkait
sama lain.
Pertama, bahwa seseorang mempunyai tugas-tugas khusus yang harus dilakukan;
kedua, fasilitas dan sumber yang diperlukan untuk melakukan/memenuhi tugas-tugas atau
peran itu, yang diberikan oleh pihak lain, bukan oleh pelaku peran itu sendiri. Dalam
keadaan seperti ini pejabat memiliki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, tetapi
pejabat memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan pekerja pabrik, yaitu pejabat
memiliki otoritas, sedang pekerja pabrik tidak demikian. Kesamaannya adalah mereka
sama-sama terikat dengan kontrak dan diangkat, bukan atas dasar pilihan oleh orang
banyak (masyarakat). Dengan demikian, Weber tidak memasukkan semua pejabat yang
ada termasuk dalam konsep birokrasinya. Ciri pokok yang menonjol dari konsep
birokrasi Weber adalah ia merupakan orang yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.
Sebagai bukti bahwa ia diangkat adalah melalui Surat Keputusan (SK) dari pihak yang
mengangkatnya sebagai pejabat. Di dalam surat keputusan itu sudah tertera hak-hak dan
kewajibannya serta upah yang diberikan sebagai kontrak yang sudah disepakati oleh yang
mengangkat dan yang diangkat, sebagai kontrak antara keduanya (Albrow, 31: 1989).
Walaupun Weber tidak mendefinisikan secara utuh tentang birokrasi tetapi dari ciri-ciri
yang dikemukakan pada berbagai kesempatannya dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut. “Birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat, dan
membentuk hubungan kolektif bagi golongan pejabat itu sebagai suatu kelompok tertentu
yang berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam organisasi tertentu,
khususnya menurut prosedur pengangkatannya”.
Dengan demikian, berarti bahwa dalam konsep umum tentang birokrasi Weber,
bukan hanya terdiri dari gagasan tertentu tentang kelompok, tetapi juga gagasan tentang
bentuk-bentuk tindakan yang berbeda dalam kelompok tertentu itu. Weber memandang
birokrasi rasional sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya
jauh lebih penting dari seluruh proses sosial. Proses ini mencakup ketepatan dan
kejelasan yang dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial
sehingga memudahkan dan mendorong konseptualisasi ilmu sosial. Sesuai dengan
teorinya, Weber mengatakan bahwa legitimasi adalah dasar bagi hampir semua sistem
otoritas. Ia mengemukakan lima keyakinannya yang berkaitan dengan otoritas yang sah
bergantung pada kelima legitimasi yang secara singkat diuraikan sebagai berikut.
Birokrasi di Indonesia ketika persepsi yang muncul adalah suatu system
pelayanan dan administrasi pemerintahan yang terkesan aneh, berbelit-belit dan lamban.
Birokrasi merupakan penyakit menahun di tanah air yang sulit di ubah. Namun setelah
reformasi politik sekitar tahun 1998 terjadei, maka banyak upaya dan program-program
pembangunan dan pengembangan kelembagaan yang juga direformasi menuju system
yang lebih demokratis. Birokrasi, dunia usaha dan masyarakat adalah tiga pilar utama
dalam upaya mewujudkan pelaksanaan pemerintah yang baik dikenal dengan konsep
“good governance”. Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara
kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan atau wewenang,
semangat pelayanan public, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu
serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Jika kondisi ini
bias terpenuhi maka harapan mewujudkan cita-cita dan tujuan Negara yang demokratis
akan membawa kebaikan bagi Negara dan bangsa ini.
Karena itu birorasi harus bisa dipahami, melalui peran dan kemampuannya,
menunjang pelaksanaan system pemerintahan, baik dalam merespon berbagai
permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Inti salah satu
kondisi birokrasi yang professional adalah memberikan pelayanan tewrhadap masyarakat
(public service), sehingga cita-cita, inisiatif dan upaya-upaya birokrasi perlu diarahkan
guna memiliki wawasan pelayanan public. Birokrasi hadir sebagai kreasi dari penguasa
untuk memberikan pelayanan kepada penguasa, dengan tujuan untuk memperluas dan
memperbesar serta mempertahankan kekkuasaan. Dengan reformasi birokrasi yang
dilakukan, konseppelayanan pun dilakukan perubahan, dari orientasi pelayanan penguasa
sampai saatnya menuju orientasi pelayanan public.
Selama lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, birokrasi telah berperan besar
dalam perjalanan hidup. Khususnya, setelah reformasi politik di tanah air tahun 1998,
upaya-upaya pembaharuan dalam manajemen pemerintahan terus dilakukan untuk
meningkatkan kinerja birokrasi. Selama orde baru, birokrasi memiliki andil besar dalam
proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan public,
regulasi, proteksi, dan distribusi pada dasarnya di to[ang oleh demokrasi. Namun, peran
birokrasi pada masa itu tidak menunjukkan potret yang baik. Persepsi masyarakat
memperlihatkan bahwa citra dan kinerja birokrasi masih harus lebih ditingkatkan.
Bahkan, masyarakat terkesan enggan untuk berurusan dengan birokrasi, karena
berkonotasi dengan citra negative seperti redahnya kualitas pelayanan public, berprilaku
korup dan nepotism (KKN), memiliki kecenderunga untuk memusatkan kewenangan,
masih rendahnya profesionalisme, dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik.
Tanggapan negative masih tertanam bahkan setelah lebih dari 16 tahun reformasi
1998 begulir perbaikan birokrasi yang dicanagkan pemerintah selama ini belum berjalan
secara optimal. Berbagai upaya perbaikan telah diupayakan, namun belum dapat
menciptakan system birokrasi yang mantap dan membawa konsekwensi terlaksananya
agenda reformasi secara cepat dan tepat. Perbaikan birokrasi belum juga menunjukkan
gejala perbaikan yang positif. Bahkan sebaliknya kelembagaan birokrasi semakin
transparan dalam melakukan korupsi dan akuntabilitas public menjadi pertanyaan besar.
Hasil penelitian lembaga Political and Economic Risk Consultansy (PERC) yang
dilakukan pada tahun 2002, Indonesia masuk Negara yang terpuruk birokrasinya., sampai
saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World
Economic Forum (WEF) tahun 2004 tentang Global Competitiveness Ranking (GCR)
bahkan menempatkan Indonesia berada di urutan ke-69 dari 104 negara yang diamati.
Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang
mengindikasikan sejauh mana lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan
yang baik berorientasi pada pelanggan atau public, minjimya korupsi, atau berorientasi
pada kerangka hokum yang jelas. Banyak factor yang signifikan menjelaskan kondisi
keterpurukan birokrasi di tanah air, dan beberapa dijelaskan dalam uraian sebagai berikut.
Pertama, masih lemahnya kesadaran dan kemampuan untuk melakukan prinsip-
prinsip good governance dengan baik. Jika hal ini dilakukan secara baik, maka
masyarakat akan dapat memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang
sesungguhnya pada saat mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang
memahami dengan baik akan peran fungsi birokrasi akan menjadi kekuatan yang baik
dalam melakukan perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi
kelemahan dan bahkan penghambat dalam melakukan perubahan. Di masa reformasi
banyak yang optimis bahwa kinerja birokrasi di Indonesia akan semakin membaik. Hal
ini diperkuat oleh adanya perubahan mendasar dalam administrasi public dan
pemerintahan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999
(telah diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah), pemerintah hanya mengelolah enam bidang saja, yaitu politik luar negeri,
pertahanan keamanam, peradilan, moneter, fiscal dan agama, serta beberapa bidang
lainnya. Konsekwensinya adalah adanya perubahan kelembagaan yang sangat berarti
dalam konteks desentralisasi yang tentunya membawa implikasi baru dalam manajemen
public yang telih terfokus pada daerah dan lebih menguasai persoalan dan kondisi budaya
local.
Kedua, system pemerintahan desedntralisasi yang digulirkan sejak era reformasi
merupakan angin segar dalam pelaksanaan birokrasi, teritama di daerah. Daerah dengan
kewenagan dan tanggung jawab yang diembanya dapat merancang dan melaksanakan
pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan kondisi geografis dan demografisnya. Hal
ini juga mendorong banjgkitnya prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah bersama-
sama dengan masyarakat dan swasta untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam
rangka membangun pelayanan yang baik. Namun, dalam pelaksanaan desentralisasi di
era otonomi daerah ini muncul penafsiran yang beragam dan bahkan cenderung
kebablasan sehingga terkesan menciptakan penguasa-penguasa dan raja-raja kecil di
daerah. Artinya, dalam pelaksanaanya ada kecenderungan sebagian pemerintah daerah
menafsirkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang sangat tinggi dalam mengurus
rumah tangganya tanpa memperhatikan hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat.
Ketiga, konsekwensi dari otonomi daerah yang kebablasan inilah, tidak bisa
dinafikkan kondisinya saat ini banyak posisi atau jabatan di birokrasi di isi oelh orang-
orang yang tidak memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai dengan
pekerjaannya. Hal tersebut terjadi karena lebih mengutamakan pada pengangkatan posisi
di dalam jabatan structural, yang lebih diutamakan katena ruang, pangkat, golongan atau
karena senioritas, bukan karena kopentensinya. Kondisi inilah yang terkadang sering
menimbulkan penyimpangan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan. Birokrasi yang
demikian, tentunya bukan menjadi harapan masyarakat. Pemerintah sendiri sebenarnya
telah menyediakan paying hokum untuk menciptakan good governance sekaligus upaya
untuk menunjukkan komitmenya terhadap prakti-praktik penyimpangan dan
penyalahgunaan kekuasaaan dalam system birakrasi di tanah air. Contohnya saja, Tap
MPR RI No. XI/MPR/1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
1999 tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, demikian pula dengan UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Semua Payung
hokum ini di buat untuk menjaga aparatur birokrasi, sebagai garda terdepan pelayanan
public, menjadi bersih dan professional., sehingga harapannya kepercayaan masyarakat
akan berangsur menjadi positif.
Keempat, masih kurang efisiennya institusi birokrasi sendiri. Pada masa sebelum
reformasi dilakukan, aparatur atau SDM birokrasi banyak yang tidak berkompeten di
bidang pekerjaan dan tidak professional karena praktik-praktik nepotisme. Walaupun
sebenarnya saat ini kondisinya tidak banyak berubah secara dramatis. Birokrasi menjadi
gemuk karena harus menampung sanak saudara dan keluarga para pejabat atau penguasa
dalam birokrasi. Rendahnya mutu aparatur atau SDM birokrasi bisa dilihat dari beberapa
indicator seperti kemampuan pelayanan yang tidak optimal, sebagian besar waktu tidak
digunakan secara produktif, dan belum optimalnya peran-peran dalam menemukan
terobosan menjalankan tugas sebagaimana diamatkan.
Kelima, belum jelasnya standar kinerja yang dapat diukur untuk menentukan
mutu output yang dihasilkan aparatur. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa
seberapapun kualitas dari output kegiatan yang dilaksanakan tidak akan memberikan
perubahan terhadap penghargaan kepada aparatur yang bersangkutan. Kondisi ini terkait
dengan motivasi, yang akan berpengaruh terhadap sanksi baik reward maupun
punishment.
Keenam, pengawasan sebagai bagian dari proses interaksi pembelajaran sekaligus
memberikan wahana dijalankannya system sanksi, penghargaan tidak atau belum berjalan
sebagaimana diharapkan. Konsep pengawasan yang dijalankan saat ini masih merupakan
ritual administrative yang tidak memiliki banyak manfaat dalam pengembangan SDM
aparatur.
Ketujuh, kecenderungan lemahnya kompetensi terkait dengan penggunaan
teknologi informasi menuju e-government merupakan salah satu tantangan dan
kebutuhan. Apabila ditambah dengan minimnya fasilitas hardware dan software
teknologi informasi dan komunikasi yang lebih canggih di lembaga-lembaga birokrasi,
terutama di daerah. Hal ini berakibat pada pelaksanaan system pelayanan public yang
masih manual dan lamban.
Kedelapan, hubungan dan komunikasi yang kurang terbuka diantara aparatur
birokrasi yang ada membawa dampak terhadap kondisi ketidakpercayaan atau distrust
(Fukuyama, 1999), sehingga memberikan fasilitasi komunikasi dialog dan rendahnya
gagasan untuk pengembangan karena hubungan masih dilihat dalam konteks “siapa”
yang dibicarakan dan bukan “apa” yang dibicarakan.
Kesembilan, rendahnya kualitas SDM aparatur, yang tercermin dari kondisi
kesejahteraan pegawai,rekruitmen dan pembinaan karier, budaya kerja dan
profesionalisme sumber daya aparatur yang belum sepenuhnya mampu memberikan
pengaruh positif dalam proses perkembangan aparatur Karena persoalan kesejahteraan
inilah, seringkali tindakan-tindakan yang tidak jujur atau tidak mengandalkan moralitas
menjadi mengedepankan. Pungutan liar, tindak penyuapan dan semacamnya menjadi
bagian yang membuat birokrasi semakin kompleks.
Kesepuluh, selain mentalitas dan budaya kekuasaan masih merupakan karakter
sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah
terbentuk semenjak masa pra-modern ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari prilaku
aparat atau pejabat birokrasi. Kultur seperti itu telah menyebabkan perilaku pejabat
birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat (Bagir, 2002). Perilaku-
perilaku tersebut telah menyebabkan antara lain budaya kerja yang tidak disiplin, tidak
tepat waktu, menunda-nunda pekerjaan, serta tidak ada kerjasama dan koordinasi dengan
rekan kerja.perilaku birokrasi yang demikian dapat ditemui pada saat pengurusan
pembuatan surat perizinan, yang tidak tepat waktu akibat penundaan suatu pekerjaan,
disamping kurang adanya kerjasama di antara pegawai kerja untuk menyelesaikan surat
perizinan sesuai waktunya.
Permasalahan dan kondisi seperti yang dijelaskan di atas, memang secara
perlahan-lahan telah diantisipasi dan diatasi oleh pemerintah sendiri. Beberapa
kementerian telah melakukan reformasi birokrasi sendiri diwilayah kerjanya. Memang
jika tidak diperbaiki hal-hal terjadi diatas, maka akan sulit untuk mewujudkan tujuan
mencapai kondisi reformasi birokrasi yang berorientasi pada pelayanan public atau public
service.
4. Di akhir tahun 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap
terjadinya korupsi dalam internal Kementerian Sosial. Menteri Sosial, Juliari
Batubara ditetapkan menjadi tersangka karena diduga menerima uang sebesar
Rp17 Miliar dari dana bantuan sosial COVID-19. Di tengah hingar bingar
pengadaan barang dan jasa untuk menolong banyak orang, Juliari menemukan
celah untuk menerima suap dan diduga telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal
12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Ia bersama dengan MJS dan AW, sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen, ditetapkan sebagai tersangka. Kasus korupsi ini akhirnya menjadi
perhatian publik karena telah merugikan negara, melanggar etika, serta dianggap
tidak bermoral karena dilakukan di masa pandemi. Tindakannya pun dikecam
banyak pihak. Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi, kasus korupsi bantuan
sosial ini dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana korupsi yang melawan
hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara serta
menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat
merugikan keuangan negara. https://www.viva.co.id/vstory/opini-vstory/1336239-
menilik-pelanggaran-etika-pada-korupsi-bansos
soal: silahkan analisis terkait kasus diatas dikaitkan dengan etika
administrasi public! (Petunjuk: uraikan dulu mengenai cakupan etika adminsitrasi
kemudian analisis kasus diatas berdasakan perspektif etika administrasi public !)
Jawab :
Berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi, kasus korupsi bantuan sosial ini dapat
dikelompokkan sebagai tindak pidana korupsi yang melawan hukum untuk memperkaya
diri dan dapat merugikan keuangan negara serta menyalahgunakan kewenangan untuk
kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara. Penulis mencoba
menganalisis kasus korupsi ini melalui perspektif etika administrasi publik, etika
antikorupsi, dan etika profesi.
Perspektif Etika Administrasi Publik

Dilihat dari perspektif etika administrasi publik, kasus ini merupakan pelanggaran
etika berat karena telah melanggar aturan dan standar dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Berdasarkan PERPRES No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial,
dijelaskan bahwa Kementerian Sosila memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan di
bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial serta
penanganan fakir miskin dan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara. Dalam hal ini, JB sebagai Menteri Sosial dinilai telah melanggar
tugasnya dalam menyelenggarakan jaminan sosial. Dalam menjalankan tugasnya,
Kemensos juga memiliki pedoman dan nilai yang tercantum dalam Keputusan Menteri
Sosial No. 30/HUK/2020 tentang Nilai-Nilai Kementerian Sosial. Nilai tersebut antara
lain humanis, adaptif, dedikatif, inklusif dan responsif. Dalam membantu pemerintah
menangani dampak Pandemi, Kemensos mengadakan Program Jaring Pengaman Sosial
dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat yang secara ekonomi terdampak
langsung. Hal ini tentu telah menggambarkan nilai adaptif dan responsif yang tercantum
dalam peraturan tersebut karena Kementerian Sosial telah tanggap memberi bantuan
sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Namun, sayangnya, dalam pelaksanaannya
program ini tidak menggambarkan keempat nilai lain dalam peraturan tersebut.

Pertama, tidak menggambarkan nilai humanis karena Menteri dan jajarannya telah
melakukan korupsi yang dianggap tidak bermoral untuk dilakukan saat semua orang
sedang membutuhkan bantuan.

Kedua, tidak menggambarkan nilai dedikatif karena dalam pelaksanaannya JB


menetapkan jumlah fee untuk tiap paket sembako. Padahal, nilai dedikatif yang
seharusnya dilakukan adalah bekerja dengan dedikasi dan tidak hanya menganggap
pekerjaan tersebut sekedar bisnis.

Ketiga, dalam pelaksanaannya tidak menggambarkan nilai inklusif karena


Kemensos tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai