Anda di halaman 1dari 8

Penggolongan Obat

Golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas
terbatas, obat wajib apotek, obat keras, psikotropika dan narkotika.
Obat Bebas dan Bebas Terbatas dipasarkan tanpa resep dokter atau dikenal dengan nama
OTC (Over The Counter) dimaksudkan untuk menangani penyakit-penyakit simptomatis
ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri
oleh penderita. Praktik seperti ini dikenal dengan nama self medication (penanganan sendiri).
Obat Bebas
Obat bebas dapat dijual bebas di warung kelontong, toko obat berizin, supermarket serta
apotek. Dalam pemakaiannya, penderita dapat membeli dalam jumlah sangat sedikit saat obat
diperlukan, jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman sehingga pemakainnya tidak
memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada
kemasan obat. Oleh karena itu, sebaiknya golongan obat ini tetap dibeli bersama
kemasannya.

Di Indonesia, obat golongan ini ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi
berwarna hitam. Yang termasuk golongan obat ini yaitu obat analgetik/pain
killer (parasetamol), vitamin dan mineral. Ada juga obat-obat herbal tidak masuk dalam
golongan ini, namun dikelompokkan sendiri dalam obat tradisional (TR).
Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat
dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda
khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam.

Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi
panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter dan
memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:

Seharusnya obat jenis ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin (dipegang seorang
asisten apoteker) serta apotek (yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker, no pharmacist
no service), karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat
membeli obat bebas terbatas.
Contoh obat golongan ini adalah: pain relief, obat batuk, obat pilek dan krim antiseptik.
Obat Keras
Golongan obat yang hanya boleh diberikan atas resep dokter, dokter gigi, dan dokter hewan
ditandai dengan tanda lingkaran merah dan terdapat huruf K di dalamnya. Yang termasuk
golongan ini adalah beberapa obat generik dan Obat Wajib Apotek (OWA). Juga termasuk
didalamnya narkotika dan psikotropika tergolong obat keras.

Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Contoh : Diazepam, Phenobarbital
Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan


ketergantungan.
Contoh : Morfin, Petidin
Note:
1. Obat bebas dan obat bebas terbatas, termasuk obat daftar W (Warschuwing) atau OTC
(over the counter).
2. Pada obat bebas terbatas terdapat salah satu tanda peringatan nomor 1- 6.
3. Obat keras nama lain yaitu obat daftar G (Gevarlijk), bisa diperoleh hanya dengan
resep dokter.
4. OWA (obat wajib apoteker) yaitu obat keras yang dapat diberikan oleh apoteker
pengelola apotek (APA), hanya bisa didapatkan di apotek.
OBAT WAJIB APOTEK (OWA)
Selain memproduksi obat generik, untuk memenuhi keterjangkauan pelayanan kesehatan
khususnya akses obat pemerintah mengeluarkan kebijakan OWA. OWA merupakan obat
keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun
APA boleh memberikan obat keras, namun ada persayaratan yang harus dilakukan dalam
penyerahan OWA.
1. Apoteker wajib melakukan pencatatan yang benar mengenai data pasien (nama,
alamat, umur) serta penyakit yang diderita.
2. Apoteker wajib memenuhi ketentuan jenis dan jumlah yang boleh diberikan kepada
pasien. Contohnya hanya jenis oksitetrasiklin salep saja yang termasuk OWA, dan
hanya boleh diberikan 1 tube.
3. Apoteker wajib memberikan informasi obat secara benar mencakup: indikasi, kontraindikasi, cara pemakain, cara penyimpanan dan efek samping obat yang mungkin
timbul serta tindakan yang disarankan bila efek tidak dikehendaki tersebut timbul.
Jenis OWA
Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk masayrakat, maka obat-obat
yang digolongkan dalam OWA adalah obat ang diperlukan bagi kebanyakan penyakit yang
diderita pasien. Antara lain: obat antiinflamasi (asam mefenamat), obat alergi kulit (salep
hidrokotison), infeksi kulit dan mata (salep oksitetrasiklin), antialergi sistemik (CTM), obat
KB hormonal.
Sesuai permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat diserahkan:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2
tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan
penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan


untuk pengobatan sendiri.
Tabel. Contoh OWA
Obat
Asam mefenamat
Salep hidrokortison
Obat KB

Indikasi
Antiinflamasi dan anlagesik
Antialergi topikal
antifertilitas

Jumlah yang boleh diberikan


10 tablet
1 tube
1 siklus (28 hari)

Obat Generik versus Obat Paten


Obat generik adalah obat yang mengandung zat aktif sesuai nama generiknya, contoh
parasetamol generik berarti obat yang dibuat dengan kandungan zat aktif parasetamol,
dipasarkan dengan nama parasetamol, bukan nama merek seperti Panadol (Glaxo), Nizoral
(Johnson and Johnson). Atau obat generik adalah obat dengan nama resmi yang ditetapkan
dalam Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya.
Obat paten adalah obat dengan nama dagang dan menggunakan nama yang merupakan milik
produsen obat yang bersangkutan. Misal: Lipitor (Pfizer), produk innovator/originator yaitu
merek dagang untuk Atorvastatin, Nizoral adalah produk originator dari ketokonazol. (Baca
:Lipitor: informasi untuk pasien).
Produsen obat dalam negeri lebih banyak mengeluarkan obat me-too, alias versi generik dari
obat yang telah habis masa patennya yang lalu diberi merek dagang. Kalangan perusahaan
farmasi di Indonesia sekali lagi, yang lokal cenderung memposisikan produk semacam
ini sebagai obat paten (mungkin karena mereknya didaftarkan di kantor paten), walau
sebenarnya lebih tepat disebut sebagai branded generic, alias obat generik bermerek itu
tadi.
Obat generik ditargetkan sebagai program pemerintah untuk meningkatkan keterjangkauan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas khususnya dalam hal daya beli obat. Oleh karena
pemasaran obat generik tidak memerlukan biaya promosi (iklan, seminar, perlombaan, dll)
maka harga dapat ditekan sehingga produsen (pabrik obat) tetap mendapat keuntungan,
begitu pula konsumen mampu membeli dengan harga terjangkau.
Pada awal kebijakan ini diluncurkan (awal tahun 1990-an), pemerintah mencanangkan
penggunaan obat generik (OG), artinya pabrik pembuat obat tidak boleh mencantumkan logo
pabrik, namun tetap mencantumkan nama pabriknya. Seiring berjalannya waktu, desakan
datang dari produsen obat menginginkan adanya logo pada obat buatannya. Maka muncullah
Obat Generik Berlogo (OGB). Pemerintah merasa perlu meluluskan permintaan industri ini
asal harga OGB tetap dikontrol oleh pemerintah (khususnya Depkes). Oleh karena itu,
sekarang dapat kita jumpai parasetamol produk generik dengan logo yang berbeda-beda,
contoh: Kimia Farma, Indo Farma, Dexa Medica, Hexpharm, dll.
Mengapa OGB bisa murah?

Banyak orang meragukan khsiat OGB karena harganya jauh dari obat branded (bermerek).
Bisa jadi harganya hanya -nya. Beberapa obat bahkan bisa jadi harganya 1/10 dari brandednya. Lihat perbandingan harga pada tabel berikut.
Jenis Obat

Merek

Harga
(per Keterangan
100 tablet)
Amoxycillin
Generik
(Indofarma) Rp
40.340 Produk
Sanbe
tergolong
tablet 500mg
Amoxil
(originator) Rp 313.390 murah di antara generik
Amoxsan
(Sanbe) Rp 240.000 bermerek dari produsen Top
Kalmoxillin
(Kalbe) Rp 275.000 10 lain, tetapi lebih dari empat
Dexymox
(Dexa) Rp 225.000 kali lipat harga OGB dan
Pehamoxil Forte (Phapros) Rp 180.000 hampir 80% harga produk
originator.
Cefadroxil tablet Generik
(Hexpharm) Rp 198.000 Produk Sanbe termahal di
500mg
Duricef
(originator) Rp1.329.870 antara generik bermerek dari
Cefat
(Sanbe) Rp 670.000 produsen Top 10 lain, tetapi
Longcef
(Dankos) Rp 650.000 kurang dari empat kali harga
Dexacef
(Ferron) Rp 635.000 OGB dan hanya sekitar 50%
Rp 484.000 harga produk originator.
Docef (Kimia Farma)
Ciprofloxacin
Generik
(Hexpharm) Rp
77.000 Produk Sanbe termahal di
tablet 500mg
Ciproxin
(originator) Rp1.853.500 antara generik bermerek dari
Baquinor
(Sanbe) Rp 865.000 produsen Top 10 lain dan
Scanax
(Tempo
Scan) Rp 625.000 harganya lebih dari 10 kali
Quidex
(Ferron) Rp 833.333 lipat harga OGB, tetapi
Phaproxin (Phapros)
Rp 658.000 kurang dari 50% harga produk
originator.
Wajar saja hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan produsen untuk menghasilkan obat
lebih dari 50% merupakan biaya non-produksi. Alokasi biaya yang paling besar adalah biaya
promosi baik berupa iklan, launching produk, seminar di kalangan medis, dan brosur dan
barang promosi lain seperti alat tulis, map, kaos, topi, dll. Kalaupun ada iklan OGB sifatnya
massal dan dilakukan oleh pemerintah disebut iklan layanan masyarakat. Biaya yang
dikenakan oleh media terhadap pemerintah jauh lebih kecil daripada iklan obat branded yang
jumlahnya bisa mencapai miliaran. Iklan populer yaitu OGB-nya Indo Farma yang dibintangi
Ida Kusuma dan Kak Seto: Yang penting kan khasiatnya, buat apa beli merek-nya.
Bedakah khasiat OGB deng obat branded?
Tidak hanya masyarakat awam, banyak tenaga kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan yang terjangkau masih ragu dengan khasiat OGB. Banyak rekan dokter dan dokter
gigi yang sangsi dengan khasiat OG karena kurangnya informasi yang sampai ke mereka.
Faktor lainnya adalah gencarnya para detailer/medrep dari produsen obat branded dengan
memberikan iming-iming/gimmick menarik jika meresepkan obat dari produsen tersebut.
Pada dasarnya sebelum OGB dipasarkan harus dilakukan uji khasiat OGB pada sukarelawan
sehat di RS (clinical trial fase I), minimal 6 perempuan dan 6 pria dewasa dengan kriteria
inklusif yang ketat sebagai probadus. Contohnya probandus harus tidak merokok selama 3
bulan terkahir, kalau bisa yang tidak merokok, tidak mengkonsumsi daging selama seminggu
terakhir, tidak mengkonsumsi obat lain 2 minggu sebelumnya.
5

Untuk menjadi probandus biasanya diambil dari pedusunan. Para probandus akan diberi
informasi sebelumnya, keselamatan diasuransikan, dibayar dan bila sewaktu-waktu merasa
tidak nyaman boleh menyatakan berhenti dari trial ini.
Tes ini harus dilakukan di RS, didukung oleh dokter penanggung jawab yang mampu
mengatasi munculnya efek samping, bahkan efek racun obat, dan para peneliti adalah ahli
farmakologi biasanya dokter dan apoteker/farmasis.
Sebelum uji dilakukan, proposal harus dipresentasikan di hadapan komisi etik biomedik
penelitian pada manusia di fakultas kedokteran yang ditunjuk Depkes. Begitu pula institusi
pemegang lisensi clinical trial ini adalah institusi yang independen dari pabrik obat. Di
Indonesia setidaknya terdapat 4 lembaga yang direkomendasikan Depkes untuk uji seperti ini
antara lain: Pusat Uji Khasiat Obat (PUKO) FK UI, Bagian Farmakologi dan Pusat
Farmakologi Klinik FK UGM, Bagian Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi
UGM, dan Bagian Biomedisin Fakultas Farmasi UNAIR (Lebih lengkap: Baca Clinical
Research).
Pengujian clinical trial fase I ini harus menyertakan kontrol sebagai perbandingan yakni obat
paten yang dinilai telah siap digunakan oleh para klinisi. Contohnya bila akan dilakukan uji
ketersediaaan hayati (bioavaibilitas) OGB nifedipin produksi Kimia Farma, maka harus
dilakukan uji simultan dengan melakuka desain cross-over dengan Adalat (Bayer, zat khasiat
Nifedipin).
Setelah dillakukan sampling cairan biologis (darah, urin, atau air ludah) dilakukan analisis
kadar obat dengan metode yang sesuai misal HPLC karena spesifitas dan sensitivitas yang
tinggi. Akhirnya, uji statistik dilakukan untuk mengetahui adalah perbedan yang signifikan
antara OGB dengan pembanding (obat paten).
Bern melakukan uji clinical trial fase I untuk OGB, biasanya OGB yang diproduksi oleh
pabrik besar memiliki khasiat yang sama dengan obat paten pembanding. Harga satu uji
bervariasi dari 75-350 juta.
Berapa jumlah OGB yang dipasarkan di Indonesia?
Awal peluncuran hanya beberapa puluh saja OGB yang diproduksi, itu pun oleh prabrik milik
pemerintah BUMN. Namun seiring dengan upaya memudahkan keterjangkauan oleh daya
beli masyarakat, maka diproduksilah lebih dari 170 item obat. Obat-obatan yang dibuat dalam
bentuk OGB terutama obat yang diperlukan bagi masyarakat, mulai penyakit simtomatis,
misal parasetamol, antalgin, ibuprofen, asetosal, efedrin, CTM, dekstrometorfan, gliseril
guaiakolat, ergotamine cafein, antasida, papaverin hingga penyakit infeksi seperti ampisilin,
amoksisilin, sefallosporin, kotrimoksasol, metrodinazol, griseofulvin, oksitetrasiklin, dan
siprofloksasin.
Juga tidak ketinggalan obat penyakit degenaratif seperti nifediin, kaptopril, HCT, salbutamol,
teofilin, isosorbid dinitrat (ISDN), amitriptilin, diazepam, codein, haloperidol, natrium
diklofenak, asam mefenamat, INH, rifampisin, etambutol, dan streptomisin.
Bentuk obat juga bervariasi mulai dari sirup, sirup kering/dry syrup, tablet, kaplet, tablet
kapul, salep. Apotek yang beroperasi mau tidak mau harus melangkapi persediaan OGB
tersebut sejumlah item yang ada (sesuai aturan Depkes). Namun kadang banyak apotek yang
6

nakal, hanya pada saat berdiri saja OGB-nya komplit, seiring berjalannya waktu kian lama
makin berkurang. Bagaimana analisisnya? (Baca: Kemanakah OGB sekarang?)
Bolehkah pasien meminta OGB?
Salah satu hak pasien adalah boleh meminta obat generik saat dokter menulis resep. Petugas
apotek/farmasis yang mengganti OGB dengan obat paten tanpa seizin pasien, dapat
dilaporkan ke komisi etik karena melanggar hak pasien. Begitu pula sebaliknya, jika dokter
menuliskan resep berupa obat paten, sementara pasien memiliki daya beli yang rendah dan
meminta OGB sebagai gantinya di apotek, hal ini dapat dibenarkan. Intinya, OGB adalah hak
pasien dan tanggung jawab semua tenaga medis untuk memberikannya.
Perlu diketahui, sesungguhnya banyak dokter yang tidak pernah menyatakan bahwa obat
tidak dapat diganti tanpa sepengetahuan dokter. Tulisan seperti ini yang biasanya tercantum
di bagian bawah kertas resep sebagian besar buatan pabrik obat karena biasanya pabrik obat
melalui medrep-nya merayu dokter dengan mebuatkan kertas resep satu rim secara gratis tapi
ada embel-embel tulisan di bawah kertas resep.
Sebenarnya, sepanjang masih ada OGB yang zat khasiatnya sama dengan obat paten, maka
bisa saja diganti.
Glosarium:
Medrep : medical representatif
Simptomatis : obat yang menutup/menghilangkan gejala, misal rasa sakit/nyeri diberikan
analgesik.
Degeneratif : penyakit yang sering muncul seiring bertambahnya usia dan sakit pada
kemunduran fungsi tubuh, misal hipertensi, TBC, diabetes melitus
Dry syrup : sirup kering, berupa serbuk jika akan digunakan maka dilarutkan dalam air.
HPLC : High Perfomence Liquid Chromatography yaitu alat ukur dengan prinsip pemisahan
campuran dengan kinerja yang sangat tinggi
Psikotropika adalah merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan narkotika
yang berkhasiat, psikoaktif melalui pengaruh selektif menurut susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (UU RI No 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika).
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan tingkat atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU RI No 22 Tahun 1997
Tentang Narkotika).
Indikasi : petunjuk, tanda gejala yang dapat menjadi alasan dilakukannya suatu tindakan
Kontra indikasi : obat dengan alasan apapun untuk mencegah makin parahnya penyakit atau
terjadinya penyakit baru.
7

Referensi:
Pupitasari, I, 2006, Cerdas Mengenali Penyakit dan Obat, Penerbit B-First, Yogyakarta.
Permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993
Sarnianto, P., 2007, Strategi Sanbe menekuk pasar ethical, SWA MAJALAH, 28 Juni 2007
UU RI No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
UU RI No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Depkes RI, 2006, Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
Posted for akfarsam by Dr. Sadeli Ilyas

Anda mungkin juga menyukai