Anda di halaman 1dari 7

RINGKASAN EKSEKUTIF

REKOMENDASI
Berdasarkan dari hasil kajian ini, rekomendasi tentang evaluasi pelaksanaan Pungutan
Hasil Perikanan (PHP) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan sebagai berikut:

ertama, mengingat pengukuran kapal penangkap ikan dilakukan oleh


Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Untuk
dimasa mendatang hendaknya kewenangan pengukuran kapal perikanan
tangkap dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada KKP untuk melakukan monitoring
dan pengawasan kapal penangkap ikan.

Kedua, untuk mengurangi beban nelayan dan pemilik kapal > 30 GT terhadap pengurusan
administrasi SIPI dan SIKPI yang berlangsung setiap tahun di Jakarta, maka Kementerian
Kelautan dan Perikanan harus memberikan kewenangan bagi kantor Pelabuhan Perikanan
Samudera, dan Kantor Pelabuhan Perikanan Nusantara yang pengawasannya berada di
bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan proses pengurusan izin
pengoperasian kapal penangkap ikan di wilayahnya.

Ketiga, penggunaan logbook harusnya menjadi persyaratan utama bagi nelayan atau
pemilik kapal saat mendaratkan ikan di pelabuhan. Dan data logbook ini bisa termonitor
secara online untuk memastikan berapa volume dan nilai produksi masing-masing jenis
ikan yang ditangkap. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi petugas outsourcing untuk
mencatat berapa volume produksi ikan hasil tangkapan di laut. Data yang diperoleh dari
logbook menjadi valid dibandingkan pencatatan manual atau berdasarkan pengamatan
petugas outsourcing.

Keempat, kebijakan pengendalian bahan bakar untuk nelayan sangat diperlukan oleh PT
Pertamina. Bahan bakar subsidi yang secara khusus diberikan untuk nelayan sebaiknya
benar-benar digunakan untuk kepentingan penangkapan ikan yang dilakukan oleh
nelayan, dan bukan untuk kapal lainnya. Untuk itu pengendalian bahan bakar nelayan
dapat dilakukan dengan cara seleksi pada saat pengisian bahan bakar adalah untuk kapal
perikanan yang telah menyerahkan laporan tangkapan ikan atau logbook. Hal ini untuk
mencegah penggunaan bahan bakar subsidi digunakan oleh kapal yang bukan kapal
penangkap ikan.

PENDAHULUAN

ndonesia adalah negara maritim terbesar di dunia dimana 2/3 dari seluruh wilayah
Indonesia merupakan laut. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia No. KEP. 18/MEN/2011, luas wilayah laut Indonesia adalah 5,8
juta km2, dengan panjang pantai 95.181 km. Dengan luas wilayah laut Indonesia tersebut,
maka Indonesia dikaruniai dengan keanekaragaman kehidupan hayati (seperti ikan dan
terumbu karang) dan nonhayati. Karena itu, perikanan laut (meliputi perikanan tangkap
dan perikanan budidaya) merupakan sumber daya alam yang sangat potensial
dalamupaya mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja, dan
mengurangi kemiskinan.
Secara nasional, menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan potensi sumber
daya perikanan tangkap Indonesia sebesar 6,4 juta ton per tahun. Produksi perikanan
tangkap di laut sekitar 4,7 juta ton per tahun, dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan
Kementerian Kelautan dan Perikanan maksimum 5,2 juta ton per tahun, berarti hanya
tersisa 0,5 juta ton per tahun. Akan tetapi sumbangan dari sektor perikanan untuk seluruh
Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2011 baru sekitar 3,1% atau sebesar
Rp227.761 miliar.
Jumlah produksi perikanan Indonesia sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara
lain dengan panjang pantai yang lebih pendek. Negara India yang dengan panjang pantai
8.041 km dapat menghasilkan 2,95 juta ton pada tahun 1998, kemudian negara Cina
dengan panjang pantai hanya 14.500 km menjadi penghasil ikan terbesar pada tahun
1999 sebesar 30 juta ton1. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokmin Dahuri juga
mengatakan, potensi perikanan Indonesia pada tahun 2011 sekitar 65 juta ton per tahun,
dan baru dimanfaatkan 13,4 juta ton atau 20,7%2 Hal ini mengindikasikan bahwa sumber
daya alam dari sektor perikanan di Indonesia masih sangat berpotensi untuk digali.
Menteri Keuangan dalam Rapimsus Pembahasan Capaian Kinerja Triwulan III Cluster I
pada tanggal 29 Oktober 2012 dan hasil koordinasi di Setjen pada tanggal 22 November
2012, juga menyampaikan arahan perlu dilaksanakannya evaluasi mengenai Potensi dan
Realisasi PNBP ke depan. Pelaksanaan evaluasi ini penting dilakukan mengingat masih
banyaknya potensi dan celah untuk meningkatkan PNBP ke depan.Untuk mengetahui
potensi sumber daya perikanan di wilayah Indonesia perlu diketahui besarnya volume
produksi perikanan. Volume produksi perikanan dari tahun 2006-2011 yang dapat dilihat
pada tabel 1.

Departement of Scientific & Industrial Research. Ministry of Science & Technology, Government of India.
Fisheries.
2
Andayani F. 2012. Potensi Perikanan Indonesia Baru Digunakan 20 Persen.

halaman | iii

Tabel 1 Volume Produksi Perikanan Tahun 2006-2011 (Ton)

Sumber : KKP, 2012.

Dari tabel 1 dapat kita lihat bahwa volume perikanan tangkap kurang lebih 50%-60% dari
seluruh volume produksi perikanan tahun 2006-2011 akan tetapi kenaikan rata-rata tahun
2007 s.d 2011 hanya sebesar 3,20%. Sementara Perikanan budidaya kenaikan rata-rata
dari tahun 2007-2011 sebesar 25,62%. Dilihat dari kontribusi antara perikanan tangkap
dan perikanan budidaya, terjadi perubahan yang sangat signifikan, dimana pada tahun
2007 perikanan tangkap jumlahnya 1,5 kali lebih besar dari volume perikanan budidaya,
akan tetapi tahun 2011 jumlah volume perikanan budidaya lebih besar dari perikanan
tangkap.
Tabel 2 Nilai Produksi Perikanan Tahun 2006-2011 (Miliar Rp)

Sumber : KKP, 2012.

Seiring dengan bertambahnya volume produksi ikan, nilai produksi ikan juga ikut
meningkat setiap tahunnya. Tahun 2011, nilai produksi ikan Indonesia terutama perikanan
tangkap menjadi Rp70,03 triliun. Padahal tahun 2007 nilai produksi ikan baru mencapai
Rp48,43 triliun. Hal yang menarik adalah tingginya volume dan nilai produksi ikan
dipengaruhi oleh semakin banyaknya kapal dalam negeri dan luar negeri yang beroperasi
di perairan Indonesia. Namun, kontribusi dari hasil tangkapan belum terlihat nyata baik
dalam perekonomian Indonesia maupun APBN.Volume dan nilai produksi perikanan
tersebut seharusnya menjadi salah satu ukuran dalam menentukan besarnya PNBP
Perikanan. Target dan realisasi PNBP Perikanan 2005-2012 dapat dilihat pada tabel
berikut ini.

halaman | iv

Tabel 3 Target dan Realisasi PNBP Perikanan


Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

SDA (Rp.Miliar)
Target
Realisasi
400.00
272.22
414.15
198.76
200.00
114.84
200.00
77.40
150.00
92.03
150.00
91.99
150.00
183.80
150.00
218.92

%
68.06
47.99
57.42
38.70
61.35
61.33
122.53
145.95

Non SDA (Rp.Miliar)


Target
Realisasi
%
12.89
16.71
129.64
11.35
16.58
146.08
12.94
19.79
152.94
16.47
27.24
165.39
20.09
33.45
166.50
30.10
34.99
116.25
30.00
39.91
133.03
32.83
60.90
185.50

Total (Rp.Miliar)
Target
Realisasi
412.89
288.93
425.50
215.34
212.94
134.63
216.47
104.64
170.09
125.48
180.10
126.98
180.00
223.71
182.83
279.82

%
69.98
50.61
63.22
48.34
73.77
70.51
124.28
153.05

Sumber : KKP, 2013.

Tabel 3 menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 s.d 2009 realisasi PNBP Perikanan SDA
dan non SDA berfluktuasi berkisar antara 48 s.d 73%. PNBP perikanan yang berasal dari
non SDA realisasinya selalu diatas 100%, akan tetapi PNBP perikanan dari SDA berkisar
antara 38 s.d 68%. Tahun 2011 sampai dengan 2012 realisasi PNBP SDA melebihi
targetnya. Hal ini disebabkan adanya tunggakan penerimaan pungutan hasil perikanan
(PHP) dan pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dari tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi jumlah, realisasi PNBP Perikanan dari SDA tahun 2005 s.d 2008 mengalami
penurunan yang sangat drastis, dimana tahun 2008 jumlahnya kurang lebih sepertiga dari
tahun 2005, kemudian tahun 2009 mengalami peningkatan, walaupun peningkatan
tersebut tidak melampaui jumlah realisasi tahun sebelumnya. Untuk PNBP Perikanan dari
non SDA sendiri walaupun mengalami fluktuasi akan tetapi meningkat secara keseluruhan
dari tahun 2005 s.d 2008.
Penelitian ini memusatkan perhatian pada dua hal yaitu prosedur pemungutan dan
pengadministrasian PNBP Perikanan Tangkap dan potensinya. Prosedur pemungutan
PNBP Perikanan Tangkap menjadi penting karena diperlukan prinsip transparansi dan
akuntabilitas yang tinggi. Selain itu juga memenuhi aspek keadilan, dampak pengenaan
terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya serta biaya penyelenggaraan kegiatan yang
berhubungan dengan PNBP.
Tujuan dari penelitian ini adalah (i) mengidentifikasi prosedur dan administrasi
pemungutan PNBP Perikanan Tangkap dalam beberapa tahun ini terutama pungutan
hasil perikanan (PHP) dan (ii) mengidentifikasi formula PHP saat nelayan memperpanjang
surat izin penangkapan ikan (SIPI) setiap tahunnya.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggabungkan kedua metode kualitatif dan kuantitaf. Metode kuantitatif
digunakan untuk melakukan analisis besaran potensi perikanan beserta menghitung
dampaknya terhadap kesejahteraan nelayan, sedangkan metode kualitatif dimanfaatkan
untuk mengidentifikasi permasalahan yang menghinggapi siklus pengelolaan perikanan
tangkap. Siklus pengelolaan perikanan tangkap yang dimaksud adalah dimulasi dari awal
usaha, penerbiatan izin berlayar, sampai dengan pendaratan ikan.
Penelitian ini dilaksanakan di beberapa daerah terpilih yang memiliki sumber daya
perikanan yang besar di Indonesia. Interview dilakukan ke unit-unit yang melakukan
pengelolaan sumber daya perikanan tangkap, maupun langsung kepada pelaku usaha
halaman | v

perikanan dan asosiasi pengusaha perikanan. Pemilihan Lokasi beserta Unit unit yang
dikunjungi antara lain: (i) Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Karangangtu, Banten,
(ii) Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Sulawesi Utara, (iii) Perlabuhan
Perikanan Pantai (PPP) Pandeglang, Banten, (iv) Loka Penelitian Tuna Benoa, Denpasar
Bali, (v) Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Bantul, Yogyakarta, (vi) PPS Cilacap, Jawa
Tengah, (vii) TPI Bajomulyo, Dinas Kelautan dan Perikanan Pati, Jawa Tengah, (viii) PPS
Belawan, Medan, (ix) PPS Nizam Zachman, Jakarta, dan (x) PPN Pekalongan, Jawa
Tengah 26-28 Maret 2013. Selain pada satker daitas, depth-interview juga dilakukan
terhadap para nelayan/pelaku usaha perikanan.
Model mikrosimulasi adalah model yang melakukan analisis pada tingkatan mikro. Salah
satu hal yang membedakan model tersebut dengan model yang lain adalah
ketergantungan model ini terhadap sumber data mikro. Data yang digunakan berupa data
survei pada tingkatan rumah tangga, individu, perorangan, atau data lain dalam unit mikro.
Gambar 1. Kerangka Kajian PNBP Perikanan Tangkap

Model mikrosimulasi mencoba untuk memodelkan dampak dari perubahan dari suatu
kebijakan terhadap tiap-tiap unit mikro tersebut, misalnya dampak kebijakan pemerintah
terhadap masing-masing individu/rumah tangga. Dampak pada masing-masing unit mikro
(individu/rumah tangga) tersebut kemudian diagregasi untuk melihat dampak dari
kebijakan secara agregat/makro. Model ini sering digunakan antara lain dalam rangka
menganalisis dampak kebijakan perpajakan terhadap konsumsi masyarakat dan distribusi
pendapatannya.
Gambar 2. Model Mikrosimulasi BKF

Sumber: GSU training book

halaman | vi

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, PNBP Perikanan masih menunjukkan kinerja yang kurang optimal, karena hasil
tangkapan perikanan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan namun PNBP
perikanan tetap rendah. Salah satu penyebabnya adalah banyak ditemui kapal yang
ukuran tonase kotor (GT) tidak sesuai dengan ukuran sebenarnya. Misalnya, kapal > 30
GT yang seharusnya dilaporkan ke pemerintah pusat justru dilaporkan ke pemerintah
propinsi atau kabupaten/kota bahwa kapal yang akan dioperasikan itu < 30 GT.
Selain itu, para nelayan dan perusahaan berusaha menghindari pengenaan rate pungutan
hasil perikanan (PHP) PNBP sebesar 2,5 persen terhadap PNBP yang harus disetor
berdasarkan kapal yang dimiliki. Perusahaan atau nelayan melaporkan ke pemerintah
pusat bahwa kapal yang dioperasikan adalah > 30 tetapi 60 GT, maka rate PHP untuk
PNBP menjadi sebesar 1 persen. Kapal > 60 GT dikenakan rate PHP sebesar 2,5 persen.

Kedua, pengurusan ijin untuk kapal dengan ukuran di atas 30 GT harus dilakukan di
Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang letaknya di Jakarta dirasakan sangat
menyulitkan bagi para pengusaha perikanan yang berdomisili di luar Jakarta. Ada
beberapa pelabuhan yang membantu pengurusan izin dari pengusaha, akan tetapi
tambahan biaya pengurusan akan membebani para pengusaha. Fakta dilapangan
menunjukkan bahwa hampir setiap tahun semua nelayan atau pemilik kapal > 30 GT
dalam melakukan perpanjangan SIPI dan SIKPI dilakukan oleh biro jasa. Pengalaman
selama ini yang dihadapi nelayan seperti Juwana, Pati, Jawa Tengah adalah tidak adanya
kepastian bahwa administrasi dari kedua surat tersebut bisa selesai dalam satu atau dua
hari. Sementara, kapal sudah siap berlayar untuk menangkap ikan sesuai dengan
WPPnya. Akhirnya, biaya tambahan jadi membengkak karena prosedur administrasi yang
terpusat di Jakarta.

Ketiga, penggunaan logbook sebagai salah satu alat untuk memonitor hasil tangkapan
belum menjadi keharusan bagi nelayan (nakhoda) sebagai pelaporan ke KKP melalui
pelabuhan tempat mendaratkan ikan. Penggunaan logbook masih bersifat formalitas dan
tidak ada sanksi (punishment) apabila nelayan atau nakhoda tidak melaporkan ke KKP.
Padahal, logbook ini sangat penting untuk mengetahui berapa hasil produksi tangkapan
ikan yang diperoleh nelayan per trip.

Keempat, pengisian BBM Solar bersubsidi bagi nelayan dan pemilik kapal tidak sesuai
dengan kebutuhan. Pihak Pertamina menjatah nelayan sesuai dengan perhitungan yang
dimilikinya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah nelayan menjual BBM di tengah laut.
Namun, fakta dilapangan menunjukkan bahwa pengisian BBM Solar bersubsidi jauh
dibandingkan kebutuhan nelayan. Hal ini mengakibatkan waktu beroperasi di laut semakin
berkurang dan hasil tangkapan tidak optimal. Misalnya, kebutuhan BBM Solar adalah 50
KL per trip dengan jangka waktu dua bulan, tetapi yang diberikan PT Pertamina hanya 25
KL. Praktis, kapal tersebut hanya mampu beroperasi < 1 bulan.

halaman | vii

Hal yang menarik ditemukan di lapang untuk mengatasi kekurangan BBM adalah dengan
menyediakan kapal pengangkut ikan. Kapal ini berfungsi sebagai penyedia BBM, bahan
makanan, mengangkut anak buah kapal (ABK) dan nakhoda untuk pergantian antar waktu
dan pengangkut hasil tangkapan ikan. Biasanya, nelayan atau pemilik kapal yang maju
dan berkembang memiliki 2 atau 3 kapal pengangkut ikan. Sedangkan kapal penangkap
ikan tetap di laut dan jarang sekali ke pelabuhan, kecuali rusak atau masa perawatan.
Kapasitas BBM kapal pengangkut ikan cukup besar dan mampu menyuplai sekitar 2-4
kapal penangkap ikan.
Harga patokan ikan (HPI) yang digunakan sebagai dasar perhitungan PNBP selama ini
mengacu kepada Permendag nomor 13 tahun 2011. Padahal harga ikan saat didaratkan
bisa berubah setiap waktu tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi oleh nelayan.
Selain itu, harga ikan kemungkinan besar mengalami kenaikan setiap tahunnya
tergantung inflasi atau kenaikan harga bahan pokok lainnya di masing-masing daerah
pendaratan ikan.

halaman | viii

Anda mungkin juga menyukai