Bab Perbabian
Bab Perbabian
com/Bungmanto/posts/10157276633250523
Babi, Ayam, dan Agama Semit (1)
https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157282756650523
Babi, Ayam, dan Agama Semit (2)
https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157323782220523
Sejarah Pengharaman Babi di Timur Tengah (3)
https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157457506685523
Sejarah Pengharaman Babi di Timur Tengah (4)
https://www.facebook.com/Bungmanto/posts/10157606717405523
Ayam Datang, Babi Hilang (5)
Jadi, sebetulnya agama Yahudi jauh lebih ketat dalam hal "tata boga" karena itu jika kebetulan
akhi/ukhti sedang jalan-jalan atau plesiran di negara-negara Barat, kalau Anda khawatir makan
makanan haram di "warung sekuler", maka jangan sungkan-sungkan makan saja di warungwarung milik Yahudi. Dijamin 100% halal tanpa harus mencantumkan label atau "papan halal"
dari MUI.
Bagaimana dengan Kristen? Meskipun banyak atau bahkan mayoritas umat Kristen
membolehkan mengonsumsi daging babi tetapi ada juga yang mengharamkannya seperti kaum
Advent (Seventh-day Adventist Church atau Gereja Advent Hari Ketujuh). Gereja Ortodoks
Etiopia juga mengharamkan mengonsumsi daging babi. Sebagian pengikut Gereja Koptik di
Aleksandria, Mesir, juga mengharamkannya. Perlu diingat, meskipun Kristen "meng-ok-kan"
daging babi, banyak umat Kristen yang tidak mau memakannya dengan alasan lain-lain.
Bukan hanya dalam rumpun agama Semit saja sebetulnya. Konon mengternak dan memakan
daging babi juga ditabukan di peradaban kuno Suriah dan beberapa kawasan di Timur Tengah.
Pertanyaannya sekarang? Kenapa babi diharamkan? Apa sih sebetulnya alasan pelarangan babi?
Kenapa Islam atau Al-Qur'an hanya secara eksplisit mengharamkan babi? Kenapa hewan-hewan
lain yang perilaku dan pola-hidupnya agak mirip-mirip dengan babi (misalnya kuda nil, buaya,
atau apa saja silakan cari contoh sendiri), tidak ditegaskan dalam Islam?
Sejumlah teks keagamaan (baik dalam Islam maupun Yahudi) yang sering kita dengar adalah
bahwa pengharaman mengonsumsi daging babi itu karena daging babi mengandung banyak
penyakit sehingga tidak sehat dan membahayakan. Pertanyaanya, kalau memang tidak sehat dan
penuh penyakit, kenapa orang-orang Kristen yang memakan daging babi kok sehat-sehat dan
segar-bugar? Kalau memang alasannya karena membahayakan tubuh atau bikin tubuh sakit, kan
tinggal masakknya saja diperbaikin. Zaman modern sekarang sudah sangat canggih dalam
mengolah makanan supaya sehat wal afiat.
Alasan lain yang muncul dalam teks-teks keislaman dan keyahudian adalah karena babi itu
hewan kotor dan menjijikkan? Kalau soal hewan yang "kotor" dan "menjijikkan" kan banyak:
kuda nil, buaya, ubur-ubur, monyet dlsb. Tapi kenapa babi yang disebut?
Lalu, alasan teologi-keagamaan lain, karena babi memiliki "telapak kaki dengan kuku terbelah".
Ah, yang ini sih lebih tidak masuk akal lagi sebagai dasar pengharaman.
Menurutku, alasan yang lebih "masuk akal" tentang larangan babi ini dalam konteks Arab dan
Timur Tengah lebih pada persoalan ekologi-ekonomi. Dalam kajian arkeologis-kesejarahan,
merosotnya perkembangan babi dari Timur Tengah itu (padahal dulu pernah menjadi trend)
seiring dengan munculnya ayam sebagai hewan ternak yang efektif, efisien, bergizi, dan ramah
lingkungan. Bagaimana penjelasan selanjutnya? Panteng terus di FB ini...
Kent Vale, Singapore
Yang jelas ada sejumlah teori tentang bahaya mengonsumsi daging babi bagi kesehatan tubuh
yang kemudian dijadikan sebagai "legitimasi tambahan" mengenai status pengharaman
mengosumsi daging babi. Salah satunya mengenai "teori cacing pita" (trichinosis), yakni bahwa
binatang "mamalia omnivora" ini mengandung cacing pita yang sangat membahayakan bagi
kesehatan manusia. Ada pula "teori kromosom" (chromosome), yakni bahwa mengonsumsi
daging babi berpotensi bagi manusia akan meniru perilaku babi karena manusia dan babi
memiliki kromosom yang, katanya, 11-12.
"Manusia modern" boleh saja berteori, tetapi ribuan tahun lalu ketika Bangsa Israel kuno atau
disebut "Israel Alkitab" atau Israelite mengharamkan babi ini jelas tidak mengenal "teori cacing
pita" maupun "teori kromosom" ataupun "teori DNA." Kedua teori ini baru lahir belakangan
seiring dengan penemuan "teknologi medis" yang kemudian oleh sejumlah kelompok agama
tertentu dijadikan sebagai "data tambahan" untuk memperkuat argumen pengharaman babi.
Jika memang seperti disebutkan dalam teks-teks keagamaan bahwa daging babi itu kotor dan
tidak higienis bagi kesehatan manusia, lalu kenapa si babi diharamkan? Bukankah seharusnya
yang diharamkan itu cara memasak daging babi, bukan babinya? Bukankah logikanya, kalau cara
memasaknya oke, mengonsumsi daging babi pun juga oke? Maka, seperti pernah disinggung
oleh antropolog Marvin Harris, jika memang pengharaman babi itu merupakan "ordinasi atau
peraturan kesehatan yang diinspirasi nilai-nilai ketuhanan", maka ini kasus "malpraktek medis"
tertua yang pernah dicatat dalam sejarah kemanusiaan.
Jika dikaji secara seksama, sebetulnya bukan hanya babi yang membahayakan, jika cara
masaknya tidak benar. Semua "hewan domestik" (sapi, kambing, domba, dlsb) adalah berpotensi
membahayakan kesehatan manusia jika cara memasaknya tidak benar. Daging sapi, misalnya,
jika masaknya tidak beres, juga bisa memunculkan cacing (tapeworm) yang bisa memicu
sejumlah penyakit. Sapi, kambing dan domba konon juga bisa menyebarkan "penyakit bakteri"
yang dikenal dengan nama "brucellosis".
Jelasnya, tidak ada hewan yang betul-betul higienis dan bebas-penyakit. Lalu, kenapa si babi
yang menjadi korban dan "dibabihitamkan"? Ada apa dengan situasi-kondisi di Timur Tengah
waktu itu sehingga sampai-sampai penduduk Israel, Arab Muslim, dan sejumlah "suku nomad"
di padang pasir mengharamkan babi?
Padahal pada zaman duhulu kala di Timur Tengah (Mesopotamia maupun Mesir), masyarakat
pernah mengternak babi. Para arkeolog menemukan bukti-bukti tentang ini khususnya
masyarakat yang tinggal di kawasan pantai Tigris dan Eufrat. Masyarakat daerah Ur, sebuah
negara-kota di Sumeria di zaman Mesopotamia kuno juga mengonsumsi daging babi. Sampai
kira-kira zaman Raja Hammurabi (sekitar 1900 BC) di Kerajaan Babilonia, masyarakat Timur
Tengah masih mengternak babi dan memakan dagingnya.
Lalu, sejak kapan babi ditabukan? Adakah faktor-faktor ekonomi-ekologi yang menyebabkan
babi kemudian pelan-pelan tersingkir dari sebagian masyarakat di Timur Tengah? Lalu,
bagaimana ceritanya Islam bisa, ujug-ujug, mengharamkan babi? Bagaimana pula kisah
sekelompok Muslim Berber di Pegunungan Atlas di Maroko yang mentradisikan mengternak dan
memakan babi? Entar aja deh lanjutannya, capek nih tangan ane nulis terus dari tadi sampai
gempor. Yang sabar ya bos?
Kent Vale, Singapore
kitab hukum Islam) sangat "menggelikan", rapuh dan tidak memadai serta sangat tidak rasional
dan bertolak belakang dengan fakta-fakta sosial-kesejarahan peradaban umat manusia.
Sementara itu, bagi pemeluk Islam (atau Yahudi) kebanyakan, sering kali menghindar jika
dimintai penjelasan mengenai alasan mendasar, "rationale" dan asal-muasal sejarah pengharaman
babi. "Pokoknya Tuhan (baik Allah maupun Yahweh) telah melarang si babi untuk dimakan.
Jangan tanya macam-macam lu, goa kepret nyahok lu." Ya ya haram. Tapi kenapa kok babi yang
jadi "korban" dan "pesakitan": diharamkan dan "dibabihitamkan"? Kenapa bukan kuda nil,
buaya, badak, monyet, tapir, macam, atau komodo he he?
Sebagai ilmuwan sosial, khususnya antropologi, saya tidak bisa "berdiam diri" melihat halikhwal yang sepertinya menarik untuk diselidiki. Jika memang alasan pengharaman itu karena
daging babi mengandung banyak penyakit yang berbahaya buat tubuh manusia sehingga bisa
menyebabkan "kematian dini", kenapa orang Cina (Tiongkok) dan Jepang (dan kawasan Asia
Timur lain) yang hobi mengonsumsi daging babi umurnya panjang-panjang dan hidupnya sehat
wal afiat?
Teman-teman Kristen-ku di Indonesia (dari Ambon, Manado, Papua, Batak, Flores, dlsb) yang
suka makan "rica-rica babi" juga badannya gede-gede, kuat-kuat dan segar-bugar. Daging babi
memang sumber protein yang aduhai dan konon rasanya juga aduhai.
Menarik untuk diketahui bahwa meskipun Islam masuk ke Tiongkok sudah sangat lama sejak
zaman Sahabat Nabi (jauh lebih lama ketimbang masuknya Islam di Indonesia) bahkan Islam
pernah menjadi penguasa politik di Tiongkok" (misalnya Dinasti Yuan dan Ming) tetapi kenapa
agama Islam tidak mampu merebut hati dan pikiran mayoritas warga Tiongkok (khususnya etnis
Han) kecuali hanya sebagian kecil kaum Hui dan Uighur saja di beberapa kawasan China Selatan
maupun Barat?
Jawabannya sangat simpel: karena Islam melarang pemeluknya memelihara / mengternak babi
dan mengonsumsi dagingnya sementara Tiongkok adalah salah satu pusat produksi babi terbesar
dunia dan masyarakat Tiongkok sejak zaman dahulu kala tidak bisa dipisahkan dengan "dunia
babi". Jika warga Tiongkok menolak menjadi Muslim karena "keberatan berpisah dengan babi,"
sejumlah warga Muslim Berber di Pegunungan Atlas di Maroko (seperti pernah ditulis oleh
Carlton Coon dalam buku klasiknya yang cemerlang: "Caravan") tetap memelihara babi dan
mengonsumsi dagingnya. Setiap pagi-sore, babi-babi peliharan warga setempat digembala di
hutan-hutan sekitar dan dibawa pulang jika malam telah tiba.
Karena alasan-alasan yang dikemukakan dalam berbagai teks keagamaan tentang pengharaman
babi tidak memadai (silakan simak postinganku sebelumnya), maka perlu dicari penjelasan lain
yang lebih sedikit "masuk akal." Berdasarkan kajian "antropologi sejarah" dengan diperkuat oleh
bukti-bukti arkeologi kehidupan masyarakat Timur Tengah zaman bahula, alasan mendasar dari
Bangsa Israelite yang kemudian mengharamkan babi adalah karena (1) faktor ekologi dan (2)
faktor ekonomi.
Masalah pengtabuan babi ini harus dilihat dalam konteks Bangsa Israelite yang merupakan
"bangsa pastoral nomad" ("nomadic pastoralists" atau "pastoral nomads") yang hidupnya
berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain mengikuti iklim/cuaca yang berkembang.
Ini persis seperti komunitas Arab Badui (Arab Bedouins) yang kemudian memperkenalkan Islam
di Jazirah Arab. Nah, si babi ini dipandang tidak cocok dengan iklim gersang dan keringkerontang Timur Tengah serta "gaya hidup" dan "sistem ekonomi" suku-suku nomadik (baik
Israelite maupun Arab Badui). Bagiamana penjelasan rinciannya? Bersambung ajalah...
Kent Vale, Singapore
ekologi, dan seterusnya, tidak melulu berkonotasi "teologi-keimanan." Dengan kata lain,
pengharaman itu bisa karena faktor-faktor yang bersifat "profan-sekuler" bukan "agamis-sakral".
Hanya saja mayoritas umat beragama (baik Muslim maupun non-Muslim) berpandangan bahwa
bahasa "haram" itu selalu berdimensi "teologi-keagaman" yang memiliki implikasi "dosa-dosa
spiritual" terhadap Tuhan (bukan "dosa-dosa sosial" terhadap alam dan manusia) serta
berdampak pada "nasib" manusia kelak di alam akhirat. Padahal, dalam realitasnya, "bahasa
haram" itu konteksnya bisa bermacam-macam, termasuk dalam urusan perbabian ini.
Jelasnya, berdasarkan kajian-kajian antropologi-historis, pengharaman babi di sejumlah kawasan
di Timur Tengah seperti peradaban Mesir Kuno maupun Mesopotamia (kini Irak) sangat terkait
dengan persoalan ekonomi-ekologi: konservasi alam, subsistence system, kebutuhan terhadap
makanan, efisiensi produksi daging, keperluan sumber-sumber protein, dlsb.
Perlu diingat bahwa peternakan babi itu pernah menjadi "primadona" di Timur Tengah karena
hewan ini merupakan sumber protein yang tinggi. Masyarakat Ur, Sumeria, para penduduk yang
tinggal di pinggiran sungai Eufrat dan Tigris, misalnya mereka pernah mengternak babi dan
mengonsumsi dagingnya. Tradisi mengternak dan mengembangbiakan babi ini masih berlanjut,
khususnya di sejumlah masyarakat yang tinggal di daerah hutan-pegunungan seperti di
pegunungan Zagros, Taurus, dan beberapa kawasan perbukitan Lebanon. Begitu pula di kawasan
hutan di Iran dan Turki bagian timur. Sebagian penduduk Timur Tengah yang bukan pastoralisnomadik juga masih mengternak babi. Jadi, hewan babi tidak 100% musnah dari Timur Tengah.
Pengtabuan babi ini memiliki faktor dan konteks berbeda. Di Mesir Kuno, pengharaman itu
karena terjadi "konflik" atau "rebutan makanan dan area" antara manusia dan babi. Maksudnya,
penduduk yang cukup padat mendiami kawasan Lembah Nil yang gersang tanpa pohon itu
berebut sumber-sumber makanan yang sama dengan babi. Makanan yang dimakan babi juga bisa
dikonsumsi oleh manusia. Maka, daripada makanan (misalnya, makanan-makanan tumbuhan
atau "plant foods" seperti gandum dan bahkan kurma seperti ditulis oleh sejarawan Roma, Pliny)
yang jumlahnya terbatas itu diberikan pada babi yang boros membutuhkan banyak makanan,
maka lebih baik dikonsumsi sendiri.
Sebuah teks klasik dari Kerajaan Lama (istilah ini merujuk pada Millennium ketiga Sebelum
Masehi dimana Mesir pertama kali mengalami puncak peradaban) misalnya dengan jelas
menyebutkan bagaimana manusia dan babi berebut sumber-sumber makanan yang terbatas:
"Babi-babi telah 'merampok' makanan-makanan manusia yang membuat mereka marah..."
Sementara itu, dalam konteks peradaban Mesopotamia, merosotnya pupulasi babi karena banyak
ladang-ladang irigasi tempat menanam gandum yang terkontaminasi oleh garam dalam waktu
yang sangat panjang yang menyebabkan merosotnya Emperium Sumeria dan lenyapnya babi dari
Mesopotamia dan menandai peradaban baru: Babilonia.
Lalu, kenapa Islam tiba-tiba atau ujug-ujug mengharamkan babi? Bersambung lagi aja deh...
Jabal Dhahran, Arabia