Anda di halaman 1dari 5

Cultured Meat Menurut Prespektif Islam

Abstrak
Cultured meat merupakan produk yang dihasilkan dari produk rekayasa genetik, cultured
meat sendiri di tanam Secara in vitro dari sel hewan yang memiliki potensi untuk mengatasi
berbagai macam permasalahan seperti masalah moral dan etika, lingkungan dan masalah
kesehatan yang terkait dengan produk daging konvensional. Karena menurut pendapat para
ahli cultured meat merupakan produk yang berpotensi berkelanjutan karena ramah
lingkungan dan ramah hewan dari pada daging konvensional. Namun untuk memproduksi
cultured meat, produsen dan pendukung teknologi harus mempertimbangkan berbagai macam
masalah sosial seperti pandangan terhadap agama khususnya agama islam. Bagi umat islam,
pertanyaan krusial apakah cultured meat itu halal, artinya sesuai dengan syariat Islam. Karena
cultured meat adalah penemuan baru dan inovasi dari para ilmuan. Sebuah ijtihad oleh para
fuqaha kontemporer harus mencari dan memberikan jawaban atas setiap teknologi yang
diperkenalkan, apakah itu memenuhi persyaratan hukum islam atau tidak. Jadi, artikel ini
akan membahas perspektif islam tentang cultured meat berdasarkan kita suci Al-Qur’an dan
interpretasi oleh ahli hukum islam otoritatif. Status halalnya cultured meat dapat diselesaikan
melalui identifikasi sel sumber dan media kultur yang digunakan dalam budidaya daging.
Cultured meat yang halal dapat diperoleh jika sel induknya di ekstraksi dari hewan yang
disembelih (halal) dan tidak ada darah atau serum yang digunakan Dalam prosesnya.
Kata Kunci : cultured meat, Halal , Pandangan Islam

Pendahuluan
Sistem produksi daging kita saat ini menggunakan sumber daya yang intensif,
memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, menyebabkan penderitaan hewan, dan terkait
dengan sejumlah masalah kesehatan masyarakat, termasuk pandemi yang ditularkan melalui
hewan dan resistensi antibiotik. Salah satu solusi yang diusulkan untuk mengurangi konsumsi
daging dari hewan dengan mengonsumsi cultured meat. Cultured meat adalah salah satu
produk terbaru dalam dunia ilmu gizi. Ini diproduksi tidak melalui metode peternakan
konvensional, tetapi diproduksi di laboratorium. Saat ini masih dalam taraf studi laboratorium
dan belum merambah ke pasar konsumen. Ketika cultured meat akan dipasarkan kemudian,
penerimaan konsumen terhadap produk ini harus dipertimbangkan dengan cermat. Misalnya,
jika ditujukan untuk konsumen muslim, daging budidaya harus memenuhi standar Halal
dalam Islam. Mematuhi standar halal adalah peluang yang harus dimiliki mengingat pasar
halal sangat besar karena diperkirakan akan mencapai USD 1,6 triliun pada tahun
2018 . Selain itu, relatif mudah untuk mematuhi standar halal dan mengabaikan kemungkinan
ini dapat berarti kerugian besar bagi industri.
Pembahasan Topik
Konsep Cultured Meat
Para ilmuwan telah menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan daging yang
dibudidayakan. Di antara istilah yang digunakan adalah daging yang dibudidayakan, daging
sapi yang dibudidayakan, daging laboratorium, daging yang ditanam di laboratorium, daging
buatan dan daging in vitro. Sel induk dan jaringan ditempatkan di media yang tepat untuk
pertumbuhan dan pematangan menjadi serat otot, yang merupakan komponen utama
daging. Media harus memiliki semua nutrisi dan substrat yang dibutuhkan untuk sel dan
jaringan atau sel punca untuk berkembang biak dan matang. Biasanya, sel punca awalnya
harus diekstraksi dari jaringan spesifik hewan seperti sapi. Garis sel ini kemudian tumbuh ex
vivo atau di luar tubuh hewan biasanya pada cawan petri untuk produksi skala kecil di bawah
kondisi yang tepat. Begitu, sel-sel baru yang tumbuh telah tumbuh dalam jumlah yang sesuai,
sumber asli jaringan dibuang.
Sejarah Cultured Meat
Pada tahun 1932, Winston Churchill meramalkan bahwa masa depan, daging dapat di
produksi secara terpisah dari tubuh hewan. Pada tahun 1943, seorang penulis novel yang
menulis fiksi ilmiaih telah merefleksikan penggunaan cultured meat di restoran dalam
novelnya yang berjudul Ravage. Saat itu, teknologi kultur sel dan khususnya kultur jaringan
masih dalam masa pertumbuhan dan pembuatan daging dengan teknologi ini bukan lah
prioritas yang mendesak. Oleh karena itu, gagasan cultured meat tetap menjadi mimpi selama
beberapa decade.
Namun, setelah penemuan sel induk otot dan kemampuannya untuk berdiriferensiasi dan
berkembang biak menjadi sel otot, gagasan tentang daging yang dibudidayakan secara
bertahap direvitalisasi. Pada tahun 1999, Willem van Eelen yang berasal dari Belanda
menjadi ilmuan pertama yang mengajukan dan memperoleh paten di tingkat internasional dan
USA untuk konsep pengolahan daging dengan teknik cultured meat. Paten tersebut diberi
judul produksi industry daging menggunakan metode kultur sel. Alasan utama dia sangat
tertarik untuk mengkultur daging adalah pengalamannya dengan kelaparan sebagai tawanan
perang dunia kedua. Daging ikan mas budidaya dimasak dengan minyak zaitun dan beberaoa
jenis rempah-rempah. Anggota panel telah menyimpulkan bahwa daging itu adalah sesuatu
yang bisa dimakan.
Mark Post adalah ilmuwan pertama yang memproduksi daging burger dari hasil cultured
meat. Daging dimasak dan diuji oleh dua anggota panel di riverside studios pada 5 agustus
2013. Anggota panel sangat puas dengan rasannya dan menyatakan bahwa rasanya sangat
mirip dengan daging asli.
Faktor-Faktor Produksi Daging Budidaya
Jika Peningkatan permintaan pangan, khususnya daging, tidak berkelanjutan, masa
depan ketahanan pangan global pasti akan terganggu. Sebagai contoh, antara tahun 1950 dan
1990 konsumsi energi meningkat lima kali lipat, konsumsi air tiga kali lipat, konsumsi
gandum 2,6 kali, konsumsi ikan 4,4 kali dan jumlah sapi yang dipotong meningkat dari 2,1
miliar menjadi 4,4 miliar per tahun. Produksi karbon dioksida dilaporkan meningkat tiga kali
lipat. Di antara metode yang disarankan untuk mengekang bahaya lingkungan ini adalah
produksi daging di laboratorium, atau cultured meat.
Produksi cultured meat akan ramah lingkungan, membutuhkan lebih sedikit
penggunaan lahan dan mengkonsumsi lebih sedikit air dibandingkan dengan metode produksi
daging konvensional. Berdasarkan statistik ini, jika cultured meat berhasil menembus pasar
secara luas di seluruh Eropa, diharapkan dapat mengurangi tingkat populasi GRK,
penggunaan lahan dan air masing-masing sebesar 78-96,99% dan 82-96%. Kesejahteraan
hewan tampaknya menarik perhatian utama di barat. Melalui cultured meat, jumlah hewan
yang dipotong dapat dikurangi secara signifikan. Secara teori, pendekatan ini dapat
menggantikan kebutuhan pabrik pengolahan yang besar kaena satu sel punca tunggal dapat
digunakan untuk menopang permintaan dunia produksi daging konvensional saat ini
melibatkan penggunaan energi, tanah, air dan waktu yang sangat besar.
Memang, laporan FAO pada tahun 2006 menunjukkan bahwa 30% dari tanah di dunia
ini telah digunakan untuk produksi daging dan 8% untuk air bersih . Studi lain menunjukkan
hampir 50.000 hingga 100.000 L air dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram
daging. Melalui pendekatan budidaya daging, para ilmuwan dapat mengukur kandungan
nutrisi untuk kebutuhan manusia. Hal ini membuat daging budidaya menjadi pilihan yang
lebih sehat dan aman dibandingkan dengan daging konvensional karena ada hubungan sebab
akibat antara konsumsi daging dan peningkatan risiko beberapa penyakit seperti serangan
jantung, diabetes dan kanker juga dapat dikendalikan.

Teknik
Terlepas dari keuntungan ini, ada beberapa kelemahan terkait dengan penggunaan
ESC alam produksi dagig budidaya temasuk kurangnya informasi mengenai ‘sinyal’ yang
berfungsi untuk mempromosikan transformasi ESC menjadi sel otot yang berbeda, dan
beberapa masalah etika utama dengan menggunakan embrio sebagai sumber ESC Dalam
studi laboratorium atau pengaturan produksi nyata jenis sumber daya ESC kedua adalah sel
myosatellite yang merupakan salah satu sel induk dewasa. MC dapat di ekstraksi dari
beberapa jaringan hewan dewasa dan ‘berubah’ menjadi sel otot. Sel MC dianggap sebagai
pilihan terbaik untuk produksi cultured meat karena tidak ada sinyal eksternal yang
diperlukan untuk mendorong transformasi menjadi sel otot. ESC dan MC produksi skala
besar mungkin diperlukan beberapa minggu atau bahkan bulan untuk sel induknya tumbuh
dan berkembang biak di daalam bioreactor. Sel punca akan berdiferensiasi menjadi sel otot
berdasarkan sinyal yang tersedia dari media. Setelah dewasa sel-sel otot dapat dipanen,
diprpses dan siap untuk dimasak. Teknik ini mampu mwnghasilkan daging yang menyerupai
daging sebenernya tetapi masih kekurangan pembuluh darah yang berfungsi memberikan
nutrisi pada sel-sel otot yang hidup.
Secara umum, daging merupakan gabungan dari milyaran sel otot, sel lemak, sel
darah dan sebagainya. Dengan menggunakan printer 3-D, sel dapat dimasukkan dan
disuntikkan dalam bentuk tinta ke permukaan, Biasanya selembar kertas yang dilepas. Sel-sel
yang dicetak seperti sel otot, sel lemak atau sel darah kemudian dapat dibiakkan dalam media
yang sesuai dan serupa dengan Langkah-langkah yang diambil dalam Teknik scaffold.
Pandangan Islam Tentang Cultured Meat
Sel induk embrio daging yang dibudidayakan adalah sel embrio hewan yang terbentuk
sebagai hasil pembuahan antara gmet jantan dan betina. Berdasarkan sumber sel punca ini,
ESC harus berada di bawah hukum islam tentang penggunaan janin. Hal ini dikarenakan
embrio merupakan bagian dari fase pertumbuhan janin. Ada Riwayat dari Nabi Muhammad
SAW yang menggambarkan hubungan antara status penyembelihan janin dan ibunya.
Berdasarkan hadits in, ada dua poin penting yang dibahas oleh para ulama islam. Pertama,
janin yang disebutkan dalam hadits tersebut mewakili semua tahap perkembangan jan in
termasuk ‘alaqah dan mudghah. Ditinjau dari segi Bahasa, pengertian janin berasal dari kata
kerja yang berarti dilindungi atau disembunyikan dan dengan demikian, embrio yang
digunakan dalam proses pembuatan cultured meat terkait dengan hadist ini karena embrio
merupakan bagian dari perkembangan janin. Argumentasi mereka didasarkan pada Al-Quran,
hadits Nabi Muhammad SAW, analogi deduktif serta argument intelektual.
Dalil yang bersumber dari Al-Qur’an adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala
Embrio ini akan halal dengan menyembelih ibu. Setiap bagian tubuh hanya dapat
dimakan setelah hewan disembelih. Argument intelektual yang digunakan untuk
penyembelihan hewan terkait pada kondisi dan situasi hewan yang disembelih. Misalnya, jika
hewan buruan jatuh dan tersangkut di lubang atau sumur, maka penyembelihan dapat
dilakukan langsung pada bagian tubuh mana pun yang terjangkau jika lehernya tidak dapat
dijangkau. Begitu pula dengan janin karena tidak mungkin menyembelih karena berada di
dalam perut ibu. Dengan demikian, status penyembelihan janin dipatok dengan
penyembelihan ibu. Tahap mudghah terjadi setelah beberapa sel tersebut telah berdiferensiasi
menjadi sel otot. Ulama islam berpendapat bahwa setiap ca alaqah diubah menjadi mudghah,
akkan dianggap bersih, bagi mereka yang menganggap mudghaha jadi bersih.
Adapun ulama lain menganggap mudghah itu najis, maka barulah bersih jika janin
sudah berkembang sempurna termasuk bulunya. ASC diperoleh dengan mengambil sebagian
daging dari tubuh hewan seperti daging sapi, ayam atau ikan, baik saat hewan masih hidup
maupun setelah mati. Dalam proses ini, kami menganggapnya sesuai dengan hadits Nabi
Muhammad SAW tentang hukum memotong anggota badan dari tubuh ketika hewan itu
masih hidup. Pertama, para ulama terkemuka sepakat bahwa jika bagian tubuh dipotong
setelah hewan disembelih dan mati, maka bagian tubuh itu tidak dianggap bangkai dan oleh
karena itu halal untuk dimakan. Namun, jika bagian tubuh itu dipotong setelah disembelih
mengingat hewan itu belum sepenuhnya mati, maka perbuatan itu dianggap keji, tetapi
bagian-bagian tubuh itu masih dianggap bersih sehingga halal untuk dimakan.
Jadi, dalam masalah daging budidaya, jika sumber sel punca diambil setelah hewan
disembelih, maka daging budidaya yang dihasilkan bersih dan halal untuk dimakan karena
sumbernya halal atau halal. Jika sumber sel puncanya diambil pada saat hewan tersebut masih
hidup, maka daging budidaya yang dihasilkan adalah haram dan dilarang untuk dimakan
karena hadits jelas melarangnya. Ketiga, Islam telah menetapkan syarat-syarat tertentu dalam
penyembelihan, yang meliputi syarat-syarat hewan, sembelihan dan alat yang digunakan
untuk menyembelih. Jika penyembelihan memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas,
daging budidaya yang dihasilkan dapat dimakan karena sel induk berasal dari sumber yang
murni dan bersih.

Kesimpulan
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai